Anda di halaman 1dari 4

Data untuk hutan

Pengertian hutan

Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan tumbuhan lainnya.
Kawasan-kawasan semacam ini terdapat di wilayah-wilayah yang luas di dunia dan berfungsi sebagai
penampung karbon dioksida (carbon dioxide sink), habitat hewan, modulator arus hidrologika, serta
pelestari tanah, dan merupakan salah satu aspek biosfer Bumi yang paling penting.

Hutan menurut Undang-Undang tentang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999 adalah suatu kesatuan
ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan
dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

Hutan adalah bentuk kehidupan yang tersebar di seluruh dunia. Kita dapat menemukan hutan baik
di daerah tropis maupun daerah beriklim dingin, di dataran rendah maupun di pegunungan, di pulau
kecil maupun di benua besar.

Hutan merupakan suatu kumpulan tumbuhan dan juga tanaman, terutama pepohonan atau
tumbuhan berkayu lain, yang menempati daerah yang cukup luas.

Pohon adalah tumbuhan cukup tinggi dengan masa hidup bertahun-tahun. Jadi, tentu berbeda
dengan sayur-sayuran atau padi-padian yang hidup semusim saja. Pohon juga berbeda karena secara
mencolok memiliki sebatang pokok tegak berkayu yang cukup panjang dan bentuk tajuk (mahkota
daun) yang jelas.

Suatu kumpulan pepohonan dianggap hutan jika mampu menciptakan iklim dan kondisi lingkungan
yang khas setempat, yang berbeda daripada daerah di luarnya. Jika kita berada di hutan hujan tropis,
rasanya seperti masuk ke dalam ruang sauna yang hangat dan lembap, yang berbeda daripada
daerah perladangan sekitarnya. Pemandangannya pun berlainan. Ini berarti segala tumbuhan lain
dan hewan (hingga yang sekecil-kecilnya), serta beraneka unsur tak hidup lain termasuk bagian-
bagian penyusun yang tidak terpisahkan dari hutan.

Hutan sebagai suatu ekosistem tidak hanya menyimpan sumberdaya alam berupa kayu, tetapi masih
banyak potensi non kayu yang dapat diambil manfaatnya oleh masyarakat melalui budi daya
tanaman pertanian pada lahan hutan. Sebagai fungsi ekosistem hutan sangat berperan dalam
berbagai hal seperti penyedia sumber air, penghasil oksigen, tempat hidup berjuta flora dan fauna,
dan peran penyeimbang lingkungan, serta mencegah timbulnya pemanasan global. Sebagai fungsi
penyedia air bagi kehidupan hutan merupakan salah satu kawasan yang sangat penting, hal ini
dikarenakan hutan adalah tempat
Analisis pemetaan terbaru lembaga Greenpeace menemukan 10 perusahaan kelapa
sawit yang memiliki area lahan terbakar terbesar pada karhutla 2015-2018, hingga
kini belum mendapat sanksi yang serius. Bahkan, pemerintah Indonesia juga belum
mencabut satu pun izin konsensi lahan tersebut.

Demikian halnya sejumlah perusahaan bubur kertas yang terlibat karhutla dalam
periode yang sama.

Padahal, dalam karhutla tahun ini, titik api tercatat di area konsesi yang sama, yakni
kelapa sawit dan bubur kertas.

Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Indonesia, Kiki Taufik, menyebut, hal
ini mengindikasikan "pemerintah tidak serius dalam hal penegakan hukum" dan
menjadi alasan utama "mengapa karhutla kembali terjadi setiap tahun".

"Kita bisa lihat ternyata perusahaan-perusahaan yang dari 2015 sampai 2018
lokasinya terbakar, tapi tidak ada satupun yang mendapat sanksi, baik sanksi
administratif atau sanksi perdata," ujar Kiki kepada BBC Indonesia, Selasa (24/09).

Dia mengungkapkan pemerintah sudah memberikan sanksi kepada 64 perusahaan


terkait karhutla baik paksaan perintah perbaikan, pembekuan maupun pencabutan
izin.

Hingga kini, tercatat tiga perusahaan yang izinnya telah dicabut, yakni PT Hutani
Sola Lestari, PT. Mega Alam Sentosa dan PT. Dyera Hutan Lestari

"Penegakan hukum administratif tegas kita lakukan sejak tahun 2015. Kita juga
melakukan gugatan perdata terhadap 17 korporasi yang lahan mereka terbakar, 9
sudah berkeputusan tetap, 5 sedang berproses di pengadilan dan 3 kita sedang
masukan gugatan ke pengadilan, 4 perusahaan dipidana oleh penyidik KLHK," jelas
Ridho.

Selain kasus yang ditangani KLHK, saat 75 kasus pidana karhutla sedang ditangani
kepolisian dan kejaksaan.

'Bencana lingkungan hidup berbesar pada abad ke-


21'
Dari hasil analisis terbaru Greenpeace, lahan seluas 3,4 juta hektare terbakar antara
2015 sampai 2018 di Indonesia.

Pada 2015 saja, lebih dari 2,6 juta hektare lahan terbakar. Atasan alasan itu
Greenpeace menyebutnya sebagai salah satu bencana lingkungan hidup berbesar
pada abad ke-21, hingga kini.

Data ini kemudian dibandingkan dengan data konsesi terbaik yang tersedia pada
perusahaan kelapa sawit dan bubur kertas serta sanksi administratif dan perdata
terhadap perusahaan, yang disusun melalui permintaan sesuai hak atas
keterbukaan informasi dan laporan resmi pemerintah.
Merujuk analisis Greenpeace Indonesia, tidak ada satu pun dari 10 konsesi kelapa
sawit di Indonesia dengan total area terbakar terbesar diberikan sanksi yang serius,
baik sanksi perdata maupun sanksi administratif.

Justru, sejumlah perusahaan tersebut memiliki jumlah titik api yang tinggi di konsesi
mereka pada tahun ini. Salah satunya adalah PT Deny Marker Indah Lestari di
Sumatra Selatan, dengan total hotspot sebanyak 182 titik pada karhutla tahun ini.

Pada periode 2015-2018, lahan yang terbakar dalam konsensi itu seluas 5.400 ha.

Hak atas
fotoANTON RAHARJO/ANADOLU AGENCY VIA GETTY IMAGES

Sander Van Den Ende, Direktur Lingkungan dan Konservasi SIPEF - perusahaan
yang mengakuisisi Deny Marker Indah Lestari pada 2017, menjelaskan bahwa pada
karhutla 2015, cakupan lahan yang terbakar mencapai 4.817 hektare.

"Ini menjadi subjek dari sanksi yang diberikan polisi, dan diselesaikan oleh pemilik
sebelumnya dengan Kementerian Lingkungan Hidup," tulis Sander Van Ende dalam
responsnya.

Menanggapi tingginya titik api yang terjadi di lahannya pada karhutla tahun ini, dia
menegaskan bahwa perusahaannya tidak pernah membakar hutan untuk
pembukaan lahan.

Sementara, menurut laporan Greenpeace Indonesia, lahan seluas 5.000 ha di


Kalimantan Tengah yang konsesinya dimiliki oleh PT GLobalindo Agung Lestari -
yang tergabung dalam Grup Genting terbakar dalam karhutla 2015-2018. Namun
kini, ada sejumlah 297 titik api di lahan itu.

Demikian halnya, PT Monrad Intan Barakat di Kalimantan Selatan yang areanya


seluas 8.100 ha terbakar selama kurun waktu 2015-2018, kini ditemukan 103 titik api
di lahan itu.

Laporan Greenpeace pula mencatat, lima grup perusahaan kelapa sawit yang
memiliki area kebakaran terbesar dalam konsesi mereka, pada periode 2015-2018,
antara lain Sungai Budi/Tunas Baru Lampung dengan area kebakaran 16.500 hektar,
Bakrie (16.500 ha), Best Agro Plantation (13.700 ha) LIPPO (13.000 ha) dan Korindo
(11.500 ha).

"Berdasar grup perusahaan perkebunan kelapa sawit, ada 12 grup yang terlibat
dalam karhutla pada periode 2015-2018, hanya dua grup yang mendapat sanksi,"
ujar Kiki Taufik dari Greenpeace Indonesia.
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-49806272

sumber lain
https://nasional.kompas.com/read/2019/09/24/19304331/klhk-sebut-kebakaran-hutan-di-
sumatera-dan-kalimantan-tak-bakar-vegetasi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan
Lahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rafless Brotestes Panjaitan menyebutkan
bahwa kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan tidak
membakar vegetasi pepohonan. Dia mengatakan, karhutla terjadi sebagian besar di area lahan
masyarakat yang berupa lahan gambut. "Tapi secara umum, dari hutan yang terbakar, dari
328.000 ha yang berhutan, hanya 28.000 ha dari coverage area yang terbakar. 300.000 ha yang
terbakar itu tidak ada pohon," kata Rafless dalam jumpa pers di Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan ( KLHK), Selasa (24/9/2019).

Menurut Rafless, hal tersebut berdasarkan hasil pemeriksaan citra satelit, citra hotspot, dan
pengecekan langsung ke lapangan. "Itu bukan vegetasi pohon berhutan," kata dia. Raffles
mengatakan, jumlah hotspot di beberapa wilayah juga sudah menurun meskipun masih
ditemukan di sejumlah titik pada Selasa pagi. Namun titik kebakaran tersebut sudah ditangani
langsung oleh satgas. Antara lain seperti di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Menurut
dia, teknologi modifikasi cuaca (TMC) dengan melakukan hujan buatan menjadi penyebab
berkurangnya jumlah hotspot yang ada.

Sejauh ini, diketahui masih ada 64 hotspot di Riau, 165 hotpsot di Sumatera Selatan, dan 130
hotspot di Jambi. Kemudian di Kalimantan Tengah masih ditemukan hotspot hingga 475,
terutama di wilayah Kota Waringin Timur. Selanjutnya di Kalimantan Barat tinggal 39 hotspot,
Kalimantan Selatan 61 hotspot, serta Papua yang juga ditemukan ada 7 hotspot.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "KLHK Sebut Kebakaran Hutan di Sumatera
dan Kalimantan Tak Bakar Vegetasi
Pohon", https://nasional.kompas.com/read/2019/09/24/19304331/klhk-sebut-kebakaran-hutan-di-
sumatera-dan-kalimantan-tak-bakar-vegetasi.
Penulis : Deti Mega Purnamasari
Editor : Krisiandi

Anda mungkin juga menyukai