Anda di halaman 1dari 34

Case Report Session

GAGAL JANTUNG

OLEH

Hidayat Makhmud 1740312450

Nadhira Daniswara 1840312296

Shafira Aghnia 1840312281

PRESEPTOR

dr. Rudy Afriant, SpPD-KHOM, FINASIM

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS


2019

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 1


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Gagal jantung didefinisikan sebagai kondisi dimana jantung tidak lagi dapat
memompakan cukup darah ke jaringan tubuh. Keadaan ini dapat timbul dengan atau tanpa
penyakit jantung. Gangguan fungsi jantung dapat berupa gangguan fungsi diastolik
atau sistolik, gangguan irama jantung, atau ketidaksesuaian preload dan afterload.
Keadaan ini dapat menyebabkan kematian pada pasien.
Gagal jantung dapat dibagi menjadi gagal jantung kiri dan gagal jantung kanan. Gagal
jantung juga dapat dibagi menjadi gagal jantung akut, gagal jantung kronis dekompensasi,
gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan penyebab
peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung, diperkirakan hampir lima persen dari
pasien yang dirawat di rumah sakit, 4,7% wanita dan 5,1% laki-laki. Insiden gagal jantung
dalam setahun diperkirakan 2,3 - 3,7 perseribu penderita pertahun. Kejadian gagal jantung
akan meningkat di masa depan karena semakin bertambahnya usia harapan hidup dan
berkembangnya terapi penanganan infark miokard mengakibatkan perbaikan harapan
hidup penderita dengan penurunan fungsi jantung.

1.2 Batasan Masalah

Pembahasan Case Report Session ini agar mengetahui tentang definisi, epidemiologi,
etiologi, patofisiologi, gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan,
komplikasi, serta prognosis dari gagal jantung kongestif.

1.3 Tujuan Penulisan

Penulisan Case Report Session ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca
mengenai gagal jantung kongestif dan sebagai salah satu syarat dalam menjalani kepaniteraan
klinik di bagian Penyakit Dalam RSUP dr. M. Djamil, Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Padang.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 2


1.4 Metode Penulisan
Case Report Session ini menggunakan metode tinjauan kepustakaan yang merujuk ke
berbagai literatur.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 3


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gagal Jantung

2.1.1 Pengertian

Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk mempertahankan curah

jantung dalam memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Apabila tekanan pengisian ini

meningkat, akan mengakibatkan edema paru dan bendungan di sistem vena, keadaan ini

disebut gagal jantung kongestif. Gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung

untuk memompa darah yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen dan

nutrisi.1,5

2.1.2 Epidemiologi

Gagal jantung telah menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia sekaligus penyebab

signifikan jumlah perawatan di rumah sakit dengan menghabiskan biaya yang tinggi.

Prevalensi kasus gagal jantung di komunitas meningkat seiring dengan meningkatnya usia:

0,7 % (40-45 tahun), 1,3 % (55-64 tahun), dan 8,4 % (75 tahun ke atas). Lebih dari 40%

pasien kasus gagal jantung memiliki ejeksi fraksi lebih dari 50%. Pada usia 40 tahun, risiko

terjadinya gagal jantung sekitar 21% untuk lelaki dan 20.3 % pada perempuan.6

Dari survey registrasi rumah sakit didapatkan angka perawatan di RS, perempuan

4,7% dan laki-laki= 5,1% adalah berhubungan dengan gagal jantung. Sebagian dari gagal

jantung ini adalah dalam bentuk manifestasi klinis berupa gagal jantung akut, dan sebagian

besar berupa eksaserbasi akut gagal jantung kronik.1

Pasien dengan gagal jantung memiliki prognosis yang sangat buruk. Dalam satu

randomized trial yang besar, pada pasien yang dirawat dengan gagal jantung yang

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 4


mengalami dekompensasi, mortalitas 60 hari adalah 9,6%, dan apabila dikombinasi dengan

mortalitas dan perawatan ulang dalam 60 hari jadi 35,2%. Angka kematian lebih tinggi lagi

pada infark jantung yang disertai gagal jantung berat, dengan mortalitas 30% dalam 12

bulan.3 Hal yang sama pada pasien edema paru akut, angka kematian di rumah sakit 12%,

dan mortalitas satu tahun 40%. Prediktor mortalitas tinggi adalah antara lain tekanan baji

kapiler paru (Pulmonary Capillary Wedge Pressure) yang tinggi, sama atau lebih dari 16

mmHg, kadar natrium yang rendah, dimensi ruang ventrikel kiri yang meningkat , dan

konsumsi oksigen puncak yang rendah.3

2.1.3 Etiologi

Secara umum terdapat beberapa pengelompokan etiologi dari gagal jantung baik
akut maupun kronik sebagaimana dapat kita lihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 2.1 Penyebab Gagal Jantung

Klasifikasi Penyebab Penyebab


Penyakit jantung
Beragam manifestasi
koroner
Sering berhubungan dengan hipertrofi ventrikel kiri
Hipertensi
dan heart failure with preserved ejection fraction
Genetic atau non-genetik (termasuk kardiomiopati
didapat, contoh miokarditis) kardiomiopati
Kardiomiopati
hipertrofi, kardiomiopati dilatasi, kardiomiopati
restriktif
Obat-obat Golongan sitotoksik
Toksin Alcohol, kokain, trace elements (kobalt, arsen)
Diabetes mellitus, hipo/hipertiroid, sindroma
Endokrin
Cushing, insufisiensi adrenal
Defisiensi tiamin, selenium, karnitin, obesitas,
Nutrisi
kaheksia
Infiltratif Sarkoidosis, amyloidosis
Penyakit chagas, infeksi HIV, kardiomiopati
Lain-lain
peripartum, gagal ginjal stadium akhir

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 5


2.1.4 Patofisiologi Gagal Jantung

Kegagalan pada jantung dapat disebabkan oleh 1 atau lebih dari beberapa mekanisme utama

di bawah ini1:

1. Kegagalan pompa

Terjadi akibat kontraksi otot jantung yang lemah, tidak adekuat, atau karena relaksasi otot

jantung yang tidak cukup untuk terjadinya pengisian ventrikel.

2. Obstruksi aliran

Obstruksi dapat disebabkan adanya lesi yang mencegah terbukanya katup atau keadaan

lain yang dapat menyebabkan peningkatan ventrikel jantung, seperti stenosis aorta dan

hipertensi sistemik.

3. Regurgitasi

Regurgitasi dapat meningkatkan aliran balik dan beban kerja ventrikel, seperti yang

terjadi pada keadaan regurgitasi aorta serta pada regurgitasi mitral.

4. Gangguan konduksi yang menyebabkan kontraksi miokardium yang tidak maksimal dan

tidak efisien.

Beberapa keadaan di atas dapat menyebabkan overload volume dan tekanan serta disfungsi

regional pada jantung sehingga akan meningkatkan beban kerja jantung dan menyebabkan

remodeling structural jantung. Jika beban kerja jantung semakin progresif, maka akan semakin

memperberat remodeling sehingga akan menimbulkan gagal jantung7,8.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 6


2.1.5 Diagnosis

Diagnosis gagal jantung ditegakkan berdasarkan gejala dan penilaian klinis, didukung oleh

pemeriksaan penunjang seperti EKG, foto toraks, biomarker, dan ekokardiografi. Alur diagnostik

pada pasien gagal jantung ditampilkan pada gambar 2.1 4. Dalam alur diagnosis di bawah ini hal

pertama yang harus kita bedakan adalah onset dari gejala yang terjadi pada pasien. Pasien dapat

datang karena gagal jantung yang akut, kronik, atau episode akut pada gagal jantung kronik.

Gambar 2.1 Skema diagnostik untuk pasien dicurigai gagal jantung4

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 7


Diagnosis gagal jantung juga dapat ditegakkan dengan kriteria Framingham.Jika terdapat

minimal 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor, maka diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan8.

Tabel 2.2 Kriteria Framingham


Kriteria Mayor
Paroxysmal Nocturnal Dyspnea
Distensi vena leher
Ronki paru
Kardiomegali
Edema paru akut
Gallop S3
Peninggian tekanan vena jugularis
Refluks hepatojugular
Kriteria Minor
Edema ekstremitas
Batuk malam hari
Dyspnea on Effort
Hepatomegali
Efusi pleura
Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
Takikardi

Setelah memastikan diagnosis gagal jantung, maka dari keseluruhan anamnesi sampai

pada pemeriksaan penunjang kita dapat menentikan derajat berat ringannya gagal jantung pada

pasien.Derajat berat ringannya gagal jantung ini sangat menentukan tatalaksana atau rencana

terapi dari seorang dokter baik di layanan primer maupun sekunder terutama pasien dengan

penyakit komplikasi atau penyakit komorbid yang berarti.

Berikut klasifikasi gagal jantung berdasarkan abnormalitas struktural jantung

(ACC/AHA) atau berdasarkan gejala berkaitan dengan kapasitas fungsional (NYHA) dapat

dilihat pada tabel di bawah ini :

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 8


Tabel 2.3 Klasifikasi Derajat Gagal Jantung

Klasifikasi gagal jantung menurut


ACC/AHA Klasifikasi fungsional NYHA
Tingkatan gagal jantung berdasarkan Tingkatan berdasarkan gejala dan aktifitas fisik
struktur dan kerusakan otot jantung
Stadium A
- Memiliki resiko tinggi untuk Kelas I
berkembang menjadi gagal - Tidak terdapat batasan dalam melakukan
jantung. aktifitas fisik.
- Tidak terdapat gangguan - Aktifitas fisik sehari-hari tidak menimbulkan
structural atau fungsional jantung, kelelahan, palpitasi atau sesak napas.
tidak terdapat tanda atau gejala
Stadium B Kelas II
Telah terbentuk penyakit struktur jantung - Terdapat batasan aktifitas ringan.
yang berhubungan dengan perkembangan - Tidak terdapat keluhan saat istirahat, namun
gagal jantung, tidak terdapat tanda atau aktifitas fisik sehari-hari menimbulkan
gejala. kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
Kelas III
Stadium C
- Terdapat batasan aktifitas bermakna.
Gagal jantung yang simptomatik
- Tidak terdapat keluhan saat istirahat, tetapi
berhubungan dengan penyakit structural
aktifitas fisik ringan menyebabkan kelelahan,
jantung yang mendasari
palpitasi atau sesak
Stadium D
Kelas IV
Penyakit jantung structural lanjut serta
- Tidak dapat melakukan aktifitas fisik tanpa
gejala gagal jantung yang sangat
keluhan.
bermakna saat istirahat walaupun sudah
- -Terdapat gejala saat istirahat. Keluhan
mendapat terapi medis maksimal
meningkat saat melakukan aktifitas
(refrakter)
ACC = American College of
Nyha =New York Hearth AssociationThe Criteria
CardiologyAHA = American Heart
Committee On The New York Heart Association
Association
Nomenclature And Criteria For Diagnosis of Disease
of the Heart and Great Vessel.9ed. Boston,
Hunt SA et al. Circulation.
Mass:Little, Brown & Co;1994:253-256
2005;112:1825-1852

Selain berdasarkan derajat kerusakan strukturan dan fungsionalnya, gagal jantung juga

dapat diklasifikasikan berdasarkan waktu terjadinya kegagalan pompa apakah saat sistolik atau

pada fase diastolik. Terdapat beberapa kriteria yang membantu kita membedakan gagal jantung

sistolik dan diastolik seperti pada gambar tabel berikut ini :

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 9


Gambar 2.2 Karakteristik Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik

Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada gagal jantung akut antara lain:

1. EKG

Pemeriksaan EKG harus dilakukan pada semua pasien diduga gagal jantung. Pemeriksaan

EKG menunjukkan irama dan konduksi listrik jantung, sehingga dapat diketahui apakah

terdapat gangguan sinoatrial, blok atrioventrikular (AV), kelainan konduksi intraventrikular,

ataupun temuan abnormal lain. Hasil EKG pada pasien dengan gagal jantung akut dapat

ditemukan kelainan seperti yang ditampilkan pada tabel 2.31,3.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 10


Tabel 2.4 Kelainan yang paling sering ditemukan pada EKG dengan gagal jantung akut10
Abnormality Causes Clinical implications
Sinustachycardia DecompensatedHF,anaemia,fever,hyperthy Clinicalassessment
roidism Laboratoryinvestigation
Sinusbradycardia Beta- Reviewdrugtherapy
blockade,digoxin,ivabradine,verapamil,diltia Laboratoryinvestigation
zem
Antiarrhythmics
Hypothyroidism
Atrialtachycardia/flutter Sicksinussyndrome
Hyperthyroidism,infection,mitralvalvedisea Slow AVconduction,
/ se anticoagulation,pharmacological
Fibrillation cardioversion,electricalcardioversion,cathe
DecompensatedHF,infarction terablation
Ventriculararrhythmias Ischaemia,infarction,cardiomyopathy, Laboratoryinvestigation
myocarditis
hypokalaemia,hypomagnesaemia Exercisetest,perfusion/viabilitystudies,coronary
Digitalisoverdose angiography, electrophysiologytesting,ICD

Myocardialischaemia/inf Coronaryarterydisease Echocardiography,troponins,perfusion/viabilitystu


arction dies,coronary angiography,revascularization
Qwaves Infarction,hypertrophic cardiomyopathy Echocardiography,perfusion/viabilitystudies,coronar
LBBB,pre-excitation y angiography
Lvhypertrophy Hypertension,aorticvalvedisease,h Echocardiography/CMR
ypertrophic cardiomyopathy

Avblock Infarction,drugtoxicity,myocarditis,sarcoido Reviewdrugtherapy,


sis,genetic cardiomyopathy evaluateforsystemicdisease;familyhistory/
(laminopathy,desminopathy),Lymedisease genetictestingindicated.PacemakerorICDmaybein
dicated.
LowQRSvoltage Obesity,emphysema,pericardialeffusion,amy Echocardiography/CMR,chestX-
loidosis ray;foramyloidosisconsider
furtherimaging(CMR,99mTc-DPD
scan)andendomyocardial biopsy
QRSduration≥120msand Electricalandmechanicaldyssynchrony Echocardiography
LBBBmorphology CRT-P,CRT-D

2. Ekokardiografi

Pemeriksaan ekokardiografi memberikan penilaian yang cepat terhadap volume ventrikel,

fungsi sistolik dan diastolik ventricular, penebalan dinding jantung, dan fungsi katup1,3.

3. Foto toraks

Pemeriksaan foto toraks lebih berguna dalam mengidentifikasi dan menjelaskan gejala

yang berhubungan dengan paru. Pada pemeriksaan akan menunjukkan adanya kongesti

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 11


atau edema pulmonal12. Berikut ini beberapa kelainan foto toraks yang sering ditemui

pada pasien gagal jantung1,4 :

Tabel 2.5 Kelainan Foto Toraks pada Pasien Gagal Jantung

Abnormalitas Penyebab Implikasi klinis


Dilatasi ventrikel kiri, ventrikel Ekokardiografi,
Kardiomegali
kanan, atria, efusi perikard Doppler
Hipertrofi Hipertensi, stenosis aorta, Ekokardiografi,
ventrikel kardiomiopati hipertrofi Doppler
Tampak paru
Bukan kongesti paru Nilai ulang diagnosis
normal
Mendukung
Kongesti vena Peningkatan tekanan pengisian
diagnosis gagal
paru ventrikel kiri
jantung kiri
Mendukung
Edema Peningkatan tekanan pengisian
diagnosis gagal
interstitial ventrikel kiri
jantug kiri
Gagal jantung dengan
Pikirkan etiologi
peningkatan tekanan pengisisan
Efusi pleura non-kardiak (jika
jika efusi bilateral, infeksi paru,
efusi banyak)
pasca bedah/ keganasan
Mitral stenosis/ gagal
Garis Kerley B Peningkatan tekanan limfatik
jantung kronik
Area paru Pemeriksaan CT,
Emboli paru atau emfisema
hiperlusen spirometri, eko
Tatalaksana kedua
Pneumonia dapat sekunder akibat penyakit:ngagal
Infeksi paru
kongesti paru jantung dan infeksi
paru
Pemeriksaan
Infiltrate paru Penyakit sistemik
diagnostic lanjutan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 12


2.1.6 Tata Laksana Gagal Jantung

Sebelum berbicara mengenai tindakan yang dapat dilakukan pada pasien gagal jantung, kita

mesti memahami terlebih dahulu tujuan dari terapi pada kondisi gagal jantung akut di setiap

tahapnya sebagai berikut11 :

a. Segera ( UGD/ unit perawatan intensif )

- Mengobati gejala

- Memulihkan oksigenasi

- Memperbaiki hemodinamik dan perfusi organ

- Membatasi kerusakan jantung dan ginjal

- Mencegah tromboemboli

- Meminimalkan lama perawatan intensif

b. Jangka menengah (Perawatan di ruangan)

- Stabilisasi kondisi pasien

- Inisiasi dan optimalisasi terapi farmakologi

- Identifikasi etiologi dan komorbiditas yang berhubungan

c. Sebelum pulang dan jangka panjang

- Merencanakan strategi tindak lanjut

- Memasukan pasien ke dalam program manajemen penyakit secara keseluruhan (edukasi,

rehab, manajemen gizi, dll )

- Rencana untuk mengoptimalkan dosis obat gagal jantung

- Mencegah rehospitalisasi dini

- Memperbaiki gejalan kualitas hidup dan kelangsungan hidup

- Memastikan dengan tepat alat bantu (bila memang diperlukan)

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 13


Tata laksana gagal jantung akut di layanan primer dapat dilakukan tindakan sebagai

berikut6:

a. Modifikasi gaya hidup:

 Pembatasan asupan cairan maksimal 1,5 liter (ringan), maksimal 1 liter (berat)

 Pembatasan asupan garam maksimal 2 gram/hari (ringan), maksimal 1 gram/hari

(berat)

 Berhenti merokok dan konsumsi alkohol

b. Aktivitas fisik:

 Kondisi akut berat: tirah baring

 Kondisi sedang atau ringan: batasi beban kerja sampai 70% – 80% dari denyut nadi

maksimal (220/umur)

c. Tata laksana farmakologi:

 Terapi oksigen 2 – 4 liter/menit

 Pemasangan iv line untuk akses dilaknjutan dengan pemberian Furosemid injeksi 20 –

40 mg bolus

 Cari pemicu gagal jantung akut

 Segera rujuk

Pada pasien dengan gagal jantung akut, dimana kondisi klinis mengalami perburukan

dalam waktu cepat, harus segera dirujuk ke layanan sekunder (Sp.JP atau Sp.PD) untuk

penanganan lebih lanjut6. Pada layanan kesehatan yang lebih tinggi PERKI

merekomendasikan terapi pasien gagal jantung akut berdasarkan beberapa kondisi sebagai berikut11 :

1. Pasien dengan edema/kongesti paru tanpa syok

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 14


2. Pasien dengan hipotensi, hipoperfusi atau syok

3. Pasien dengan Sindroma Koroner Akut

4. Pasien dengan Fibrilasi Atrial dan laju ventrikuler yang cepat

5. Pasien dengan brakikardia berat atau blok jantung

2.2 Anemia pada Gagal Jantung

Anemia merupakan komorbid yang sering ditemukan pada penderita gagal jantung dan
telah dikenal sebagai prediktor independen dari morbiditas dan mortalitas. Penyebab anemia
yang menyertai gagal jantung tidak sepenuhnya diketahui, diduga sebagai anemia multifaktor
yang umumnya diakibatkan oleh gagal ginjal kronis dan penyakit kronis lainnya. Selain itu
defisiensi besi akibat kurangnya asupan maupun absorbsi besi, serta kehilangan darah kronik
akibat konsumsi obat-obatan anti platelet turut berperan. Faktor lainnya yang berhubungan
dengan resiko terjadinya anemia pada gagal jantung adalah: usia tua, jenis kelamin perempuan,
adanya penurunan indeks massa tubuh, penggunaan obat-obat angiotensin converting enzyme
inhibitors (ACE-inhibitors) dan angiotensin receptor blockers (ARBs), serta gagal jantung tingkat
lanjut. Berdasarkan dampaknya terhadap hasil klinis, anemia perlu dipikirkan sebagai target
pengobatan pada penderita gagal jantung. Studi lanjut diperlukan untuk menentukan ambang
optimal untuk memulai pengobatan anemia, hemoglobin target, regimen dosis yang optimum,
pemilihan preparat eritropoietik, peran suplementasi besi, dan keamanan pemberian jangka
panjang preparat eritropoietik pada penderita anemia dengan gagal jantung.
Gagal jantung secara umum didefinisikan sebagai ketidakmampuan jantung untuk me-
mompa darah beserta nutrientnya, dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebu-tuhan
metabolisme jaringan, baik pada saat istirahat maupun selama aktifitas. Anemia merupakan salah
satu faktor komorbid penting yang sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung.3 Definisi
anemia berdasarkan World Health Organiza-tion (WHO)dikutip dari 1 adalah Hb < 13 gr%
untuk laki-laki, dan < 12 gr% untuk perem-puan. Beberapa studi menggunakan definisi
berdasarkan WHO sebagai dasar diagnosis anemia, se-mentara studi lain menggunakan batasan
Hb < 12 gr% sebagai definisi anemia secara umum, tanpa memandang jenis kelamin maupun
umur penderita.2 Faktor lain yang menyebabkan variabilitas ini adalah adanya perbedaan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 15


populasi penderita yang diikut-sertakan dalam studi, dimana prevalensi ane-mia meningkat pada
populasi yang didomi-nasi pasien gagal jantung dengan usia tua, je-nis kelamin perempuan, serta
adanya riwayat gangguan ginjal. Prevalensi anemia juga meningkat bermakna dengan makin
beratnya gagal jantung.4
Anemia pada gagal jantung menyebabkan makin berkurangnya toleransi terhadap beban
kerja, memperburuk klas fungsional gagal jantung berdasarkan New York Heart Association
(NYHA) functional class, serta menyebabkan meningkatnya hospitalisasi dan kematian akibat
gagal jantung.3-5 Resiko kematian pada penderita gagal jantung di-laporkan meningkat 2-3%
pada setiap penu-runan hematokrit 1%.6 Hal ini menjadikan anemia potensial untuk dijadikan
target pengobatan, bersama-sama dengan peng-obatan terhadap gagal jantungnya sendiri.1-3
Dalam tinjauan kepustakaan ini akan dibahas etiologi, patofisiologi, konsekuensi anemia
terhadap gagal jantung, serta koreksi anemia pada penderita gagal jantung.

2.2.1 Etiologi
Terdapat berbagai faktor yang berkon-tribusi terhadap resiko terjadinya anemia pada
penderita gagal jantung. Insufisiensi ginjal merupakan faktor komorbid penting yang sering
ditemukan pada gagal jantung, dan merupakan prediktor kuat meningkatnya resiko anemia pada
gagal jantung. Perkiraan jumlah penderita gagal ginjal kronik dengan laju filtrasi glomerulus <
60 mL/menit pada populasi penderita gagal jantung adalah 20-40%.7,8 Faktor lain yang
berhubungan dengan resiko terjadinya anemia pada gagal jantung adalah: usia tua, jenis kelamin
perempuan, adanya penurunan indeks massa tubuh, penggunaan obat-obat angiotensin convert-
ing enzyme–inhibitor (ACE-inhibitor) dan angiotensin receptor blocker (ARB), serta gagal
jantung tingkat lanjut.1,2,9
Sebagian besar (50-60%) anemia pada gagal jantung merupakan anemia normokrom
normositer akibat penyakit kronik dan anemia renal. Penyebab anemia lainnya ada-lah defisiensi
besi (30%) akibat kurangnya asupan maupun absorbsi besi, serta kehi-langan darah kronik akibat
konsumsi obat-obatan anti platelet. Pada gagal jantung terjadi peningkatan volum plasma yang
berakibat hemodilusi dan menyebabkan ”anemia” tanpa penurunan aktual volum sel darah
merah.13,14

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 16


2.2.2 Patofisiologi
Inflamasi memegang peranan penting dalam mekanisme terjadinya anemia pada gagal
jantung. Sitokin proinflamasi seperti TNF-ά, interleukin-1 dan interleukin-6 meningkat pada
gagal jantung, dan menyebabkan gangguan pada berbagai aspek eritropoiesis seperti mengurangi
sekresi eritropoietin serta menurunkan aktifitas ertropoietin pada prekursor eritrosit dalam
sumsum tulang.13,22 Sitokin proinflamasi juga mening-katkan kadar hepcidin, suatu peptida yang
dihasilkan oleh hepatosit. Hepcidin menye-babkan gangguan absorbsi besi di duodenum,
meningkatkan ambilan besi ke dalam makrofag serta menghambat pelepasan besi dari makrofag.
Hal ini menyebabkan besi terperangkap dalam makrofag sehingga me-ngurangi bioavailabilitas
cadangan besi un-tuk sintesis hemoglobin.13,14,23
Gagal ginjal ditemukan pada sekitar 50% penderita gagal jantung. Pada penderita gagal
ginjal dengan laju filtrasi glomerulus < 35-40 ml/menit akan terjadi anemia sebagai konsekuensi
gangguan sintesis eritropoietin yang terutama berlangsung di sel endotel peritubular ginjal.1
Patofisiologi yang mendasari belum jelas, diduga akibat terjadinya fibrosis tubulointerstisial
ginjal, adanya kerusakan tubuli, serta obliterasi pembuluh darah.24,25 Eritropoietin merupakan
komponen utama dalam sistem homeostasis, dan dapat mencegah apoptosis sel progenitor
eritrosit, serta menstimulasi pro-ses proliferasi, maturasi, dan diferensiasi eritrosit. Gangguan
terhadap produksi eritro-poietin oleh ginjal atau berkurangnya res-pons sumsum tulang terhadap
eritropoietin menyebabkan terjadinya anemia.24
Pada penderita gagal jantung terdapat resiko terjadinya defisiensi besi akibat ter-
ganggunya absorbsi besi di usus halus. Mekanisme yang mendasari keadaan ini adalah adanya
iskemi pada mukosa usus, penebalan dinding usus akibat edema, serta peranan mediator
proinflamasi yang meng-hambat absorbsi besi.13
Sistem renin-angiotensin memainkan peranan penting terhadap regulasi volum plasma dan
eritrosit. Peningkatan pengkodean angiotensin II pada ginjal merubah tekanan oksigen
peritubuler yang merupakan faktor regulasi penting terhadap sekresi eritropoietin. Penurunan
tekanan oksigen peri-tubuler pada korteks adrenal menyebabkan peningkatan aktifitas hypoxia
inducible factor-1 (HIF-1) dan ekspresi gen eritropoietin. Angiotensin II meningkatkan sekresi
eritropoietin dengan menurunkan aliran darah ginjal dan meningkatkan reabsorbsi sodium di
tubuli proksimal. Angiotensin II juga mempunyai efek stimulasi langsung terhadap prekursor
eritrosit di sumsum tulang. Penghambatan sistem renin angiotensin dengan obat-obatan ACE

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 17


inhibitor ataupun ARB berhubungan dengan penurunan produksi eritrosit sehingga
menyebabkan anemia.13,24,25
Anemia pada gagal jantung sering berhubungan dengan gejala dan tanda kongesti,
sehingga peningkatan volume plasma mungkin berkontribusi terhadap terjadinya anemia pada
gagal jantung melalui proses hemodilusi. Pada suatu penelitian terhadap 37 penderita anemia
dengan gagal jantung kongestif yang tidak disertai edema, didapatkan 46% penderita mempunyai
nilai hematokrit yang rendah dengan jumlah eritrosit yang normal, sehingga anemia pada pasien-
pasien ini diakibatkam oleh pening-katan volum plasma yang berakibat hemo-dilusi.26

2.2.3 Konsekuensi Anemia Terhadap Gagal Jantung


Anemia menyebabkan abnormalitas fungsi dan struktur jantung. Iskemi perifer akibat
anemia menyebabkan vasodilatasi dan penurunan tekanan darah. Keadaan ini akan mengaktivasi
sistem renin angiotensin aldosteron, menyebabkan penurunan aliran darah ginjal dan laju filtrasi
glomerulus, serta meningkatkan absorbsi air dan garam. Meningkatnya volum cairan ekstrasel
akibat retensi cairan menyebabkan hemodilusi dan semakin rendahnya kadar Hb. Overload
plasma menyebabkan beban jantung bertambah dan mengakibatkan dilatasi ventrikel. Pada
perlangsungan yang lama, terjadi hipertrofi ventrikel kiri, kematian otot jantung dan gagal
jantung yang selanjutnya mem-perburuk anemia.13,14
Konsentrasi Hb merupakan petunjuk penting terhadap distribusi oksigen ke otot rang-ka
selama aktifitas. Pada pasien dengan ga-gal jantung kemampuan kompensasi fisiologik terhadap
penurunan kadar Hb berkurang, sehingga terjadi penurunan kapasitas aerobik sebagai respons
terhadap anemia. Beberapa peneliti melaporkan adanya hu-bungan antara penurunan Hb dengan
makin memburuknya klas fungsional gagal jantung berdasarkan klasifikasi NYHA.27
Remodeling jantung merupakan penanda dari gagal jantung yang progresif. Anemia yang
berlangsung lama dan tidak diobati menyebabkan peningkatan curah jantung, dilatasi dan
peningkatan massa ventrikel kiri, serta mengakibatkan hipertrofi ventrikel kiri. Massa jantung
meningkat 25 % pada tikus coba dengan anemi kronik. Hubungan terba-lik antara penurunan
kadar Hb dan hipertrofi ventrikel kiri telah diperlihatkan pada berbagai studi klinis terhadap
penderita gagal ginjal kronik (GGK) predialisis maupun dengan hemodialisis rutin. Studi dari
Randomized Etanercept North American Strategy to Study Antagonism of Cytokines

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 18


(RENAISSANCE) memperlihatkan pening-katan 1 gr% Hb berhubungan dengan penu-runan 4,1
gr/m2 massa ventrikel kiri setelah 24 minggu.14,27

2.2.6 Penanganan Anemia Pada Gagal Jantung


Penanganan anemia pada gagal jantung sampai saat ini masih kontroversial. Pada
penderita gagal jantung sebaiknya dilakukan pemeriksaan berkala kadar Hb setiap enam bulan
untuk mendeteksi anemia sedini mungkin; juga harus dilakukan pemeriksaan lanjut untuk
mengetahui etiologi anemia.15

a. Transfusi darah
Penggunaan transfusi darah untuk peng-obatan anemia pada penderita dengan pe-nyakit
kardiovaskular masih kontroversial. Menurut guidelines dari American College of Physicians
and the American Society of Anesthesiologist, transfusi diberikan bila ka-dar Hb < 8gr%.
Penelitian Hebert dkk pada 838 pasien dengan penyakit kritis (26 % diantaranya dengan penyakit
kardiovaskuler) menunjukkan bahwa mempertahankan Hb pada nilai 10-12 gr% tidak
memberikan hasil lebih baik terhadap penurunan angka kema-tian <30 hari, dibandingkan
dengan kadar Hb 7-8 gr%. Transfusi juga beresiko terhadap terjadinya berbagai efek samping
seperti supresi sistem imun dengan resiko terinfeksi, sensitisasi terhadap antigen HLA, serta
kele-bihan cairan dan besi. Dengan adanya ber-bagai resiko ini maka transfusi lebih ber-manfaat
untuk mengatasi keadaan akut pada anemia berat, dan tidak ditujukan untuk pe-nanganan jangka
panjang terhadap anemia pada gagal jantung.13,14

b. Pemberian preparat eritropoietin


Anemia pada gagal jantung berespons terhadap pemberian suplemen eritropoietin.
Mekanisme utama stimulasi eritroproietin terhadap produksi eritrosit adalah melalui inhibisi
apoptosis dari progenitor eritrosit dalam sumsum tulang. Dengan demikian dapat terjadi
proliferasi, pertumbuhan dan maturasi dari proeritroblas dan normoblas, dengan hasil akhir
kenaikan kadar Hb.28
Dewasa ini terdapat tiga jenis eritro-poietin yang telah digunakan sebagai peng-obatan
terhadap anemia, yaitu: epoetin-α, epoetin-β (keduanya merupakan recombi-nant human
erythropoietin [rHuEPO]) dan darbepoetin-α. Pada tahun 1985 rHuEPO pertama kali disintesis,

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 19


dan mulai digunakan pada tahun 1988 untuk penderita anemia dengan GGK stadium akhir.
Waktu paruh rHuEPO setelah pemberian intravena adalah 6-8 jam, sedangkan pada pemberian
sub-kutan mencapai 24 jam. Jumlah rHuEPO yang diperlukan untuk mencapai target Hb pada
pasien GGK kira-kira 25% lebih kurang dibanding dengan pemberian intravena. Darbepoietin-α
merupakan eritropoietin de-ngan waktu kerja yang panjang, merupakan suatu N-linked
supersialylated analog dari human erythropoietin, dan mulai digunakan pada tahun 2001 sebagai
pengobatan anemia pada GGK. Dibandingkan dengan rHuEPO, darbepoetin-α mempunyai
afinitas yang lebih kuat terhadap reseptor eritropoietin, dan waktu paruh lebih panjang yaitu
sampai 48 jam; sebagai konsekuensi dapat diberikan dengan interval lebih lama yaitu 1-2
minggu selama pengobatan pemeliharaan.14
Efek pengobatan rHuEPO pada penderita gagal jantung dengan anemia pertama kali
dilaporkan oleh Silverberg dkk.17 Dalam pe-nelitiannya mereka menemukan bahwa pem-berian
rHuEPO subkutan dengan dosis 5000 IU dan besi sukrosa intravena 200 mg sekali seminggu
selama 28 minggu menghasilkan peningkatan Hb 2 gr%, perbaikan klas fung-sional, peningkatan
fraksi ejeksi ventrikel kiri, dan berkurangnya kebutuhan diuretik pada 26 pasien yang diteliti,
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Mancini dkk18 menemukan pada 23 pasien gagal
jantung dengan anemia, pemberian rHuEPO subku-tan 5000 IU tiga kali perminggu meningkat-
kan hematokrit dari < 35% menjadi > 45% dalam tiga bulan. Disamping itu terjadi pe-ningkatan
puncak ambilan oksigen dan perpanjangan durasi treadmill. Peningkatan kadar hematokrit
berhubungan linier dengan peningkatan ambilan oksigen.30
Pada penelitian terhadap 33 penderita gagal jantung dengan anemia (Hb <12,5 gr%)
didapatkan bahwa pemberian darbe-poetin-α satu kali perbulan dengan dosis 2,0 ug/kgBB
menyebabkan kenaikan kadar Hb tanpa adanya efek samping. Penelitian dari van Veldhuisen
dkk, pemberian darbepoetin-α 0,7 ug/kgBB subkutan dua kali seminggu selama 26 minggu pada
penderita gagal jan-tung dengan anemia (Hb 9-12 gr%), mem-perlihatkan adanya peningkatan
bermakna kadar Hb, perbaikan toleransi terhadap aktifitas, serta peningkatan kualitas hidup,
dibandingkan dengan kelompok plasebo.31

c. Pemberian suplementasi besi


Meskipun defisiensi besi hanya ditemu-kan pada sebagian kecil (< 30%) kasus ane-mia
pada gagal jantung, defisiensi besi fung-sional yang dikarakteristik oleh penurunan efektifitas

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 20


cadangan besi untuk eritropoiesis merupakan masalah pada penderita gagal jantung. Sejumlah
studi memperlihatkan adanya peningkatan Hb yang bermakna sebagai respons terhadap
pemberian rHuEPO dan suplementasi besi. National Kidney Foundation merekomendasikan
penggunaan besi intravena untuk mempertahankan kadar ferritin serum >100 ng/mL dan saturasi
transferin >20% untuk mengoptimalkan respons klinik terhadap pemberian preparat eritropoietin.
Meskipun demikian, kelebihan cadangan besi harus diwaspadai karena beresiko terhadap
terjadinya infeksi dan gangguan kardiovaskuler lebih lanjut.13,14

d. Pemberian diuretik
Pada penderita gagal jantung dengan anemia yang disebabkan oleh hemodilusi, pemberian
preparat eritropoietin akan menaikkan massa eritrosit yang berakibat peningkatan volum darah
total, yang akan memperberat gagal jantung. Pada penderita dengan hemodilusi, pemberian
diuretik yang agresif akan menurunkan volum plasma sehingga anemia dapat terkoreksi.15
Pemberian transfusi darah, preparat eritropoietin, suplementasi besi atau diuretik memerlukan
pertimbangan yang matang serta kekhususan untuk setiap kasus yang dihadapi.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 21


BAB III

LAPORAN KASUS

Identitas Pasien

Nama : Ny. YS

No MR : 01 04 88 80

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 42 tahun

Nama Ibu Kandung : Yuslaini

Pekerjaan : IRT

Status Perkawinan : Menikah

Agama : Islam

Alamat : Cengkeh

Tanggal Masuk : 11/5/2019

ANAMNESIS

Keluhan Utama :

Lemah letih semakin meningkat sejak 1 minggu yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang:

 Lemah letih semakin meningkat sejak 1 minggu yang lalu

 Batuk berdahak sejak 5 hari yang lalu

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 22


 Demam sejak 5 hari yang lalu

 Sesak nafas sejak 5 hari yang lalu, sesak dipengaruhi aktivitas, tidak dipengaruhi
makanan dan cuaca

 Riwayat pendarahan tidak ada

 Riwayat keganasan tidak ada

Riwayat Penyakit Dahulu:

 Riwayat DM tidak ada

 Riwayat Hipertensi, penyakit jantung tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga:

 Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien
 Tidak keluarga yang menderita penyakit hipertensi, DM dan penyakit jantung.

Riwayat Kebiasaan, Sosial, dan Ekonomi:

 Pasien seorang Ibu Rumah Tangga

 Riwayat alkohol disangkal.

PEMERIKSAAN FISIK (pemeriksaan dilakukan tanggal 19 Maret 2018)

Pemeriksaan Umum

 Keadaan umum : sakit sedang


 Kesadaran : komposmentis kooperatif
 Tekanan darah : 140/90 mmHg
 Nadi :115x/menit
 Pernapasan :20x/menit

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 23


 Suhu :36,8oC
 Keadaan gizi : Sedang
 Sianosis : tidak ada
 Ikterus : tidak ada
 Edema : tidak ada
 Anemis : ada
Kulit : teraba hangat, turgor kulit normal, spider naevi (-),

KGB : tidak ada pembesaran KGB

Kepala : normocephal

Rambut : hitam, tidak mudah dicabut

Mata : konjungtiva anemis(+/+), sklera ikterik (+/+),

Telinga : tidak ada kelainan

Hidung : tidak ada kelainan

Tenggorok : tidak ada kelainan

Gigi dan mulut : tidak ada kelainan

Leher : JVP 5-2 cm H2O

Toraks :

Paru : Inspeksi : bentuk normochest, simetris kiri = kanan secara dinamis dan
statis

Palpasi : fremitus sama kiri dan kanan

Perkusi : sonor

Auskultasi : bronkhovesikuler, ronkhi +/+, wheezing -/-

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 24


Jantung : Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V

Perkusi : batas jantung dalam batas normal

Auskultasi : S1-S2 irama regular, murmur (-), S3 Gallop (-)

Abdomen : Inspeksi : tidak tampak membuncit,

Palpasi : hepar tidak teraba, lien tidak teraba,

Perkusi : timpani

Auskultasi : bising usus (+) normal

Punggung : Inspeksi : tidak ada deformitas

Palpasi : nyeri tekan (-)

Perkusi : nyeri ketok CVA (-)

Genitalia : tidak diperiksa

Anus : tidak diperiksa

Ekstremitas : Palmar eritem : -/-


Pitting edema : -/-
Refleks fisiologis : +/+
Refleks patologis : -/-

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 25


Pemeriksaan Penunjang

Hb : 5,1 g/dL (N:14-18)


Leukosit : 23.960/mm3 (N: 5.000-10.000)
Eritosit : 1,59 juta (N: 4-4,5 juta)
Trombosit : 747.000/mm3 (N: 150.000-400.000)
Ht : 15% (N: 37-43%)
MCV : 96 Fl (N: 82-92)
MCH : 33 pg (N: 27-31)
MCHC : 34% (N: 32-36)
Hitung jenis : 0/0/3/76/17/0 (N:0-1/1-3/2-6/50-70/20-40/2-8)
Retikulosit : 20,12% (N: 0,5-2)
Anti-HBs Ag : Non-reaktif
Anti-HCV : Negatif
Anti HIV : Negatif
GDS : 80 mg/dL (N:<200)
Ur/Cr : 17/0,5 mg/dL (N:10-50/0,6-1,2)
Ca/Na/K/Cl : 8,3/135/ 3,9/ 105 Mmol/L (N: 8,1-10,4/136-145/3,5-5,1/ 97-111)
Total/ Alb/Glo : 6,9/ 4,1/ 2,8 g/dL (N: 6,6-8,7/3,8-5,0/1,3-2,7)
Bil. Tot/Bil I/Bil II : 3,4/1,0/2,4 (N: 0,3-1,0/<0,2/<0,6)
SGOT/SGPT : 23/10 (N: <32/<31)

Kesan: Anemia berat normositik normokrom dengan retikulositosis


Leukositiosis dengan neutrofilia shift to the left hingga mielosit
Trombositosis
Bilirubin tot, I, II meningkat

Pemeriksaan EKG

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 26


Interpretasi EKG: sinus takikardi, kecepatan QRS 120 x/menit, Gelombang P normal, Axis
Normal, Gelombang Q patologis tidak ada, Gelombang QRS normal, ST elevasi tidak ada, LVH
(-), RVH (-)

Kesan: Sinus takikardi

Rontgen Thorax

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 27


Diagnosa

Anemia Heart Disease

Anemia berat ec AIHA

HAP

Pemeriksaan Anjuran

Coomb’s Test

Tatalaksana

Tirah baring Inj. Levofloxacin 1x500mg

MB TKTP Paracetamol 3x500 PO

O2 nasal kanul 4 L/menit N-Asetil Sistein 3x200 PO

IVFD NaCl 0,9% 8 jam/ kolf Crossmatch WRC 2 Unit

Inj. Ceftriaxone 2x1 g Transfusi WRC pagi dan sore

Follow up

16 Mei 2019

S/ Pucat (-), Perdarahan (-), Batuk (-), Sesak nafas (-)

O/

Keadaan Umum : sedang Kesadaran : Komposmentis kooperatif

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 28


TD : 100/70 mmHg Mata: Konjungtiva anemis -/-

Nadi : 80 x/menit Toraks: Bronkhovesikuler, Rhonkhi -/-,


Wheezing -/-, bising jantung (-)
Napas: 20 x/menit
Abdomen : Hepar-Lien Tidak teraba
Suhu : 36 0C
Ekstremitas : Udem -/-

Hasil Laboratorium:

Hb/Leuko/Ht/Tromb :
11,7/8.030/36/468.000

A/ Anemia berat ec anemia hemolitik


autoimun (perbaikan)

HAP on therapy

P/ atasi infeksi

Th/ Inj. Metil prednisolone 1x125mg (IV)

Therapy lanjut

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 29


BAB 4
DISKUSI

Pasien adalah seorang perempuan berusia 73 tahun datang ke RSUP dr. M. Djamil karena
keluhan sesak napas sejak 12 jam sebelum masuk rumah sakit. Sesak napas tidak menciut, tidak
dipengaruhi oleh makanan, dan dipengaruhi aktivitas. Keluhan sesak napas pada pasien dapat
disebabkan oleh gangguan pada jantung atau paru, serta dapat disebabkan oleh reaksi anafilaktik.
Keluhan sesak napas pada pasien khas pada gangguan jantung, dimana sesak napas dipengaruhi
oleh aktivitas. Selain itu, pasien juga lebih suka tidur dengan bantal yang tinggi dan sering
terbangun di malam hari karena sesak napas. Sesak napas juga tidak disebabkan oleh cuaca dan
makanan. Pada pasien, terdapat riwayat hipertensi sejak 15 tahun yang lalu dan sudah kontrol
rutin dan meminum obat amlodipin dari dokter. Berdasarkan keluhan pasien dan faktor risiko
yang dimiliki pasien, diagnosis mengarah ke gagal jantung.
Pasien mengalami pucat dan badan terasa letih sejak 1 minggu yang lalu. Pasien juga
mengalami penurunan napsu makan yang menyebabkan adanya penurunan berat badan. Hal ini
dapat terjadi pada kondisi gagal jantung yang sudah terjadi dalam waktu yang lama.
Pada pemeriksaan fisik, pasien dalam keadaan umum sakit sedang dengan kesadaran
komposmentis. Pada pasien, ditemukan konjungtiva anemis, mukosa mulut anemis, JVP 5+2
cmH2O dan edema tungkai (+/+). Pada pemeriksaan paru, didapatkan suara napas
bronkovesikuler, adanya ronki, dan wheezing tidak ada. Pada pemeriksaan jantung, ditemukan
batas jantung membesar dan bising.
Pada pemeriksaan EKG, didapatkan adanya LVH dan atrial fibrilasi dengan RVR. LVH
menunjukkan adanya kardiomegali yang merupakan salah satu kriteria gagal jantung. Fibrilasi
atrium juga berkaitan erat dengan penyakit kardiovaskular lain seperti hipertensi, gagal jantung,
penyakit jantung koroner, hipertiroid, diabetes melitus, obesitas, penyakit jantung bawaan seperti
defek septum atrium, kardiomiopati, penyakit ginjal kronis maupun penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK). Gagal jantung simtomatik dengan kelas fungsional New York Heart Association
(NYHA) II sampai IV dapat terjadi pada 30% pasien FA, namun sebaliknya FA dapat terjadi
pada 30-40% pasien dengan gagal jantung tergantung dari penyebab dari gagal jantung itu
sendiri. Fibrilasi atrium dapat menyebabkan gagal jantung melalui mekanisme peningkatan
tekanan atrium, peningkatan beban volume jantung, disfungsi katup dan stimulasi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 30


neurohormonal yang kronis. Berbagai jenis penyakit jantung struktural dapat memicu
remodelling yang perlahan tetapi progresif baik di ventrikel maupun atrium.
Pada pemeriksaan laboratorium, didapatkan kesan anemia normositik normokrom dengan
retikulositosis, hipoalbumin, alkalosis respiratorik. Anemia pada pasien dapat berhubungan
dengan gangguan jantung yang dialami, terutama pada gagal jantung yang sudah terjadi lama.
Inflamasi memegang peranan penting dalam mekanisme terjadinya anemia pada gagal jantung.
Sitokin proinflamasi seperti TNF-ά, interleukin-1 dan interleukin-6 meningkat pada gagal
jantung, dan menyebabkan gangguan pada berbagai aspek eritropoiesis seperti mengurangi
sekresi eritropoietin serta menurunkan aktifitas ertropoietin pada prekursor eritrosit dalam
sumsum tulang. Pada penderita gagal jantung terdapat resiko terjadinya defisiensi besi akibat
terganggunya absorbsi besi di usus halus. Selain itu, obat-obatan seperti ACE inhibitor dan ARB
dapat menyebabkan penghambatan sistem renin-angiotensin yang dapat menyebabkan anemia.
Retikulosit menunjukkan aktivitas sumsum tulang. Adanya retikulosis menunjukkan adanya
peningkatan aktivitas sumsum tulang. Hipoalbuminemia pada pasien dapat disebabkan oleh
gangguan pada hepar, asupan yang kurang, pengeluaran yang berlebihan pada gangguan ginjal,
dan lain-lain.
Pada pemeriksaan rontgen toraks, ditemukan adanya kardiomegali (CTR >50%) dengan
kranialisasi. Pada pasien didapatkan adanya hemolitik autoimun yang ditunjukkan dengan
pemeriksaan Coomb test positif. Hal ini juga dapat memperparah anemia pada pasien karena
adanya anemia hemolitik. Penyebab anemia hemolitik masih belum jelas, namun sebagian besar
terjadi akibat penyakit virus, penyakit autoimun lain, dan keganasan atau karena obat. Selain itu,
pada pasien, ditemukan anti HCV positif yang menunjukkan bahwa pasien mengalami hepatitis
C. Hepatitis C pada pasien juga dapat menjadi penyebab terjadinya mudah lelah pada pasien dan
penurunan albumin.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, ditegakkan
diagnosis pasien adalah CHF fc III dengan atrial fibrilasi RVR. Pasien didiagnosis gagal jantung
berdasarkan kriteria Framingham, dengan kriteria mayor pada pasien ini adalah PND,
peningkatan vena jugularis, ronki paru, dan kardiomegali dan kriteria minor adalah edema
ekstremitas, dan usaha sesak saat aktivitas. Diagnosis ditegakkan apabila didapatkan minimal 2
mayor + minor atau 1 mayor + 2 minor. Pasien juga didiagnosis dengan Anemia berat ec.
hemolitik autoimun dan Hepatitis C berdasarkan semua pemeriksaan yang dilakukan.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 31


Terapi yang diberikan pada pasien ini adalah tirah baring, diet jantung, oksigen, IVFD
NaCl 0,9%, injeksi Lasix, simvastatin, digoksin, ramipril, aspilet, spironolakton, dan rencana
transfusi PRC 2 unit. Diet jantung dilakukan dengan memberikan cairan 1-1,5 liter per hari
selama 1-2 hari pertama. Diet ini merupakan diet rendah energi. Pemberian Lasix dan
spironolakton untuk mengatasi edema yang dialami pasien agar fluid balance negatif. Digoksin
diberikan pada pasien gagal jantung dengan atrial fibrilasi untuk memperlambat laju ventrikel.
Ramipril merupakan golongan ACE inhibitor untuk semua pasien gagal jantung simtomatik dan
fraksi ejeksi ventrikel ≤ 40%. ACE inhibitor untuk memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas
hidup.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 32


DAFTAR PUSTAKA

1. American Heart Association. Heart Disease and Stroke Statistic-2004 Update. Dallas,
TX: American Heart Association: 2003
2. Sudoyo, Aru. W. et.al. (editor) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III, Ed. 5. Jakarta
Pusat : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2007
3. Leonard, S. Lilly (editor) Patophysiology of the heart : a collaborative project of medical
students and faculty 5th Ed. : Lippicont Williams &Wikkins, a WolterKhower Business,
2011
4. Fox KF, Cowle MR, Wood DA et.al. Coronary artery disease as the cause incident heart
failure in the population. Eur Heart J 2001:22:228-36
5. Price SA, Wilson ML, Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit Ed.6.(Brahm
U. Pendit..., Penerj.) Editor edisi bahasa Indonesia, Hartanto H, et.al. Jakarta : ECG, 2005
6. Permenkes No 5 Tahun 2014 : Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer, 2014
7. Dewi WK. 2009. Hubungan antara Riwayat Gagal Ginjal Kronik dengan Mortalitas di
Rumah Sakit pada Pasien dengan Diagnosis Gagal Ginjal Akut di Lima Rumah Sakit di
Indonesia pada Desember 2005 – Desember 2006. Skripsi. Jakarta. Program Studi
Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
8. Manurung D. 2010. Tata Laksana Gagal Jantung Akut. Dalam (Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S ed). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed 5. Jakarta:
InternaPublishing, 1515-9.
9. Chatterjee NA, Fifer MA. 2011. Heart Failure. In(Lilly LS ed). Pathophysiology of Heart
Disease. Ed 5. Philadelphia: Lippincott Williams &Wilkins, 216-43.
10. McMurray JJV, Adamopoulos S, Anker SD, Auricchio A, Bohm M, Dickstein K, et al.
2012. ESC Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart
Failure 2012. Eur Heart J, 33: 1787-847.
11. Siswanto BB, Hersunarti N, Erwinanto, Barack R, Pratikto RS, Nauli SE, dkk. 2015.
Pedoman Tata Laksana Gagal Jantung. PERKI.
12. Setiadi, Siti, dkk. 2015. Panduan Sistematis untuk Diagnosis Fisis, Anamnesis dan
Pemeriksaan Fisis Komprehensif. Jakarta : Interna Publishing – Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam.
13. Anker SD, von Hachling S. Anaemia in chronic heart failure (First Edition). Bremen:
UNI-MED, 2009.
14. Mitchell JE. Emerging role of anemia in heart failure. Am J Cardiol 2007;99(6B):13-21.
15. Tang YD, Katz SD. Anemia in chronic heart failure. Prevalence, etiology, clinical
correlates, and treatment options. Circulation 2006;113:2454-61.
16. Horwich TB, Fonarow GC, Hamilton MA, McLellan WR, Borenstein J. Anemia is
associated with worse symptoms, greater impairment in functional capacity, and a
significant increase in mortality in patients with advanced heart failure. J Am Coll
Cardiol 2002;39:1780-6.
17. Anand I, McMurray JJV, Whitmore J, et al. Anemia and its relationship to clinical
outcome in heart failure. Circulation 2004;110:149-54.
18. Mozaffarian D, Nye R, Levy WC. Anemia predicts mortality in severe heart failure. J
AM Coll Cardiol 2003;41:1933-9.
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 33
19. McClellan WM, Flanders WD, Langston RD, Jurcovitz C, Presley R. Anemia and renal
insufficiency are independent risk factors for death among patients with congestive heart
failure admitted to community hospitals: a population-based study. J Am Soc Nephrol
2002;13:1928-36.
20. McKechnie RS, Smith D, Montoye C, Kline-Rogers E, O’Donnell MJ, DeFranco AC et
al. Prognostic implication of anemia on in-hospital outcomes after percutaneous coronary
intervention. Circulation 2004; 110:271-7.
21. Cromie N, Lee C, Struthers AD. Anemia in chronic heart failure: what is its frequency in
the UK and its underlying causes? Heart 2002;87:377-81.
22. Deswal A, Peterson NJ, Fieldman AM, Young JB, White BG, Mann DL et al. Cytokines
and cytokines receptors in advanced heart failure. Circulation 2001;103:2055-9.
23. Ganz T. Hepcidin a key regulator of iron metabolism and mediator of anaemia of
inflammation. Blood 2003;102:783-8
24. Go AS, Yang J, Ackerson LM, Lepper K, Robbins S, Massie BM et al. Hemoglobin
level, chronic kidney disease, and the risks of death and hospitalization in adults with
chronic heart failure. Circulation 2006;113:2713-23.
25. Sarnak MJ, Levey AS, Schoolwerth AC, Coresh J, Culleton B, Hamm L et al. Kidney
disease as a risk factor for the development of cardiovascular disease. Circulation
2003;108:2154-69.
26. Androne AS, Katz SD, Lund L, LaManca J, Hudaihed A, Hayniewicz K et al.
Hemodilution is common in patients with advanced heart failure. Circulation
2003;107:226-9.
27. Amin MG, Tighiouhart H, Weiner DE, Stark PC, Griffith JL, MacLeod B et al.
Hematocrit and left ventricular mass: the Framingham Heart Stydy. J Am Coll Cardiol
2004;43:1276-82.
28. Silverberg DS, Wexler D, Blum M, Tchebiner JZ, Sheps D, Keren G et al. The effect of
correction of anemia in diabetic and non diabetics with severe resistant congestive heart
failure and chronic renal failure by subcutaneous erythropoietin and intravenous iron.
Nephrol Dial Transplant 2003;18:141-6.
29. Silverberg DS, Wexler D, Blum M, Keren G, Sheps D, Leibovitch E et al. The use of
subcutaneous erythropoietin and intravenous iron for the treatment of the anemia of
severe, resistant, congestive heart failure improves cardiac and renal function and
functional cardiac class, and markedly reduces hospitalizations. J Am Coll Cardiol 2000;
35:1737-44.
30. Mancini DM, Katz SD, Lang CC, LaManca J, Hudaihed A, Androne AS. Effect of
erythropoietin on exercise capacity in patients with moderate to severe chronic heart
failure. Circulation 2003;107:294-9.
31. van Veldhuisen DJ, Dickstein K, Cohen-Solal A, Lok DJ, Wasserman SM, Baker N et
al. Randomized, double blind, placebo-controlled study to evaluate the effect of two
dosing regiments of darbepoetin-α on hemoglobin response and symptoms in patients
with heart failure and anemia. Eur Heart J 2007;28:2208-16.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 34

Anda mungkin juga menyukai