Anda di halaman 1dari 6

Step 1:

1. Biomedik: bioilmu yang mempelajari anatomi, biokimia, histologi, dan biologi sel
molekuler. Medikberhubungan dengan ilmu kedokteran klinik
2. Konvensional: pengobatan yg digunakan secara umum.

Step 3:
1. Apa yang dimaksud dengan Pengobatan komplementer alternatif ?

Pengobatan komplementer tradisional – alternatif adalah pengobatan non konvensional yang ditujukan untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang diperoleh
melalui pendidikan terstruktur dengan kualitas, keamanan dan efektifitas yang tinggi berlandaskan ilmu pengetahuan
biomedik dan belum diterima dalam kedokteran konvensional. Jenis pelayanan pengobatan komplementer – alternatif
berdasarkan Permenkes RI, Nomor : 1109/Menkes/Per/2007 adalah :

1. Intervensi tubuh dan pikiran (mind and body interventions) : Hipnoterapi, mediasi, penyembuhan spiritual, doa
dan yoga
2. Sistem pelayanan pengobatan alternatif : akupuntur, akupresur, naturopati, homeopati, aromaterapi, ayurveda
3. Cara penyembuhan manual : chiropractice, healing touch, tuina, shiatsu, osteopati, pijat urut
4. Pengobatan farmakologi dan biologi : jamu, herbal, gurah
5. Diet dan nutrisi untuk pencegahan dan pengobatan : diet makro nutrient, mikro nutrient
6. Cara lain dalam diagnosa dan pengobatan : terapi ozon, hiperbarik, EECP
http://buk.depkes.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=66:pengobatan-
komplementer-tradisional-alternatif

2. Bagaimana ruang lingkup komplementer alternatif?

Apakah berbeda komplementer dengan komplementer alternatif?


Upaya kesehatan selain dengan pengobatan konvensional, juga banyak
dilakukan dengan pengobatan komplementer alternatif. UU No. 36 Tahun
2009 pasal 48 menyatakan “Pelayanan kesehatan tradisional merupakan
bagian dari penyelenggaraan upaya kesehatan”. Untuk kepentingan
tersebut perlu peningkatan kualitas pelayanan kesehatan tradisional oleh
tenaga kesehatan baik di fasilitas kesehatan maupun praktek tenaga
kesehatan. Penyelenggaraan pengobatan komplementer alternatif diatur
dalam Permenkes no. 1109 tahun 2007.
Pengobatan komplementer alternatif adalah pengobatan non konvensional
yang ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat meliputi
upaya promotif, kuratif, preventif dan rehabilitatif yang diperoleh melalui
pendidikan terstruktur dengan kualitas, keamanan dan efektivitas yang
tinggi berlandaskan ilmu pengetahuan biomedik, yang belum diterima
dalam kedokteran konvensional.
Terapi komplementer adalah pengobat an tradisional yang sudah diakui
dan dapat dipakai sebagai pendamping terapi konvensional medis.
Pelaksanaannya dapat dilakukan bersamaan dengan terapi medis (Moyad
& Hawks, 2009)
3. Bagaimana keuntungan dari pengobatan komplementer alternatif?
-Dari efek samping lebih kecil dari pada pengobatan konvensional
-ketersediaan bahan yang digunakan lebih mudah diperoleh
-bahan alami yg digunakan
-biaya lebih murah
-dari pengolahannya lebih mudah

4. Apa yang dimaksud dengan Pengobatan konvensional?


Merupakan obat atau bahan obat serta tindakan medis yang diresepkan dokter pada pasien.
Bentuk dapat tablet, puyer, sudah dilakukan uji coba dan tersertifikasi

Uji coba:
-uji empiris minum ini bagus, belum dibuktikan. Berdasarkan pengalaman orang.
-uji preklinik uji coba ke hewan coba, dilihat farmakodinamik, toksisitasnya.
-uji klinis diujikan kepada manusia secara langsung, manusia sehat, manusia dengan faktor
resiko tertentu
-pemasaran selama 5 tahun dilihat efeknya, jika bahaya ditarik kembali. Jika sudah
bagusdigunakan secara tersertifikasi

5. Apa yang dimaksud dengan Obat tradisional?


Masuk pengobatan komplementer altenatif. Berasal dari bahan tumbuhan hewan dari zat-
zat mineral dan sari tumbuhan. Dari pada konvensial yg berasal dari bahan kimia. Obat
tradisional berasal dari warisan nenek moyang sehingga turun temurun.

6. Sebutkan macam – macam obat tradisional?


Tahapan Pengembangan Obat Tradisional Indonesia
Agar obat tradisional dapat diterima di pelayanan kesehatan formal/profesi dokter, maka hasil
data empirik harus didukung oleh bukti ilmiah adanya khasiat dan keamanan penggunaannya
pada manusia. Bukti tersebut hanya dapat diperoleh dari penelitian yang dilakukan secara
sistematik.
Tahapan pengembangan obat tradisional menjadi fitofarmaka adalah sebagai berikut. 2,9,22
1. Seleksi
2. Uji preklinik, terdiri atas uji toksisitas dan uji farmakodinamik
3. Standarisasi sederhana, penentuan identitas dan pembuatan sediaan terstandar
4. Uji klinik
Tahap Seleksi
Sebelum memulai penelitian, perlu dilakukan pemilihan jenis obat tradisional/obat herbal yang
akan diteliti dan dikembangkan. Jenis obat tradisional/obat herbal yang diprioritaskan untuk diteliti
dan dikembangkan adalah:2,21
 Diharapkan berkhasiat untuk penyakit yang menduduki urutan atas dalam angka kejadiannya
(berdasarkan pola penyakit)
 Berdasarkan pengalaman berkhasiat untuk penyakit tertentu
 Merupakan alternatif jarang untuk penyakit tertentu, seperti AIDS dan kanker.

Akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk meneliti tanaman obat yang mendadak populer di kalangan
masyarakat. Sebagai contoh banyak penelitian belakangan ini dilakukan terhadap tanaman Mahkota
Dewa (Phaleria macrocarpa) yang diklaim antara lain bermanfaat untuk penderita diabetes
melitus dan buah merah (Pandanus conoideus Lamk.) yang diklaim antara lain dapat
menyembuhkan kanker dan AIDS.

Tahap Uji Preklinik


Uji preklinik dilaksanakan setelah dilakukan seleksi jenis obat tradisional yang akan dikembangkan
menjadi fitofarmaka. Uji preklinik dilakukan secara in vitro dan in vivo pada hewan coba untuk
melihat toksisitas dan efek farmakodinamiknya. Bentuk sediaan dan cara pemberian pada hewan
coba disesuaikan dengan rencana pemberian pada manusia. Menurut pedoman pelaksanaan uji
klinik obat tradisional yang dikeluarkan Direktorat Jenderal POM Departemen Kesehatan RI hewan
coba yang digunakan untuk sementara satu spesies tikus atau mencit, sedangkan WHO
menganjurkan pada dua spesies. Uji farmakodinamik pada hewan coba digunakan untuk
memprediksi efek pada manusia, sedangkan uji toksisitas dimaksudkan untuk melihat
keamanannya.

Uji Toksisitas
Uji toksisitas dibagi menjadi uji toksisitas akut, subkronik, kronik, dan uji toksisitas khusus yang
meliputi uji teratogenisitas, mutagenisitas, dan karsinogenisitas. Uji toksisitas akut dimaksudkan
untuk menentukan LD50 (lethal dose50) yaitu dosis yang mematikan 50% hewan coba, menilai
berbagai gejala toksik, spektrum efek toksik pada organ, dan cara kematian. Uji LD50 perlu
dilakukan untuk semua jenis obat yang akan diberikan pada manusia. Untuk pemberian dosis tunggal
cukup dilakukan uji toksisitas akut. Pada uji toksisitas subkronik obat diberikan selama satu atau
tiga bulan, sedangkan pada uji toksisitas kronik obat diberikan selama enam bulan atau lebih.
Uji toksisitas subkronik dan kronik bertujuan untuk mengetahui efek toksik obat tradisional pada
pemberian jangka lama. Lama pemberian sediaan obat pada uji toksisitas ditentukan berdasarkan
lama pemberian obat pada manusia (Tabel 4).2

Uji toksisitas khusus tidak merupakan persyaratan mutlak bagi setiap obat tradisional agar masuk ke
tahap uji klinik. Uji toksisitas khusus dilakukan secara selektif bila:2,20
 Obat tradisional berisi kandungan zat kimia yang potensial menimbulkan efek khusus seperti
kanker, cacat bawaan.
 Obat tradisional potensial digunakan oleh perempuan usia subur
 Obat tradisional secara epidemiologik diduga terkait dengan penyakit tertentu misalnya
kanker.
 Obat digunakan secara kronik
Uji Farmakodinamik
Penelitian farmakodinamik obat tradisional bertujuan untuk meneliti efek farmakodinamik dan
menelusuri mekanisme kerja dalam menimbulkan efek dari obat tradisional tersebut.
Penelitian dilakukan secara in vitro dan in vivo pada hewan coba. Cara pemberian obat
tradisional yang diuji dan bentuk sediaan disesuaikan dengan cara pemberiannya pada manusia.
Hasil positif secara in vitro dan in vivo pada hewan coba hanya dapat dipakai untuk perkiraan
kemungkinan efek pada manusia

Standardisasi Sederhana, Penentuan Identitas dan Pembuatan Sediaan Terstandar


Pada tahap ini dilakukan standarisasi simplisia, penentuan identitas, dan menentukan bentuk sediaan
yang sesuai. Bentuk sediaan obat herbal sangat mempengaruhi efek yang ditimbulkan. Bahan segar
berbeda efeknya dibandingkan dengan bahan yang telah dikeringkan. Proses pengolahan seperti
direbus, diseduh dapat merusak zat aktif tertentu yang bersifat termolabil. 15 Sebagai contoh tanaman
obat yang mengandung minyak atsiri atau glikosida tidak boleh dibuat dalam bentuk decoct karena
termolabil. Demikian pula prosedur ekstraksi sangat mempengaruhi efek sediaan obat herbal yang
dihasilkan. Ekstrak yang diproduksi dengan jenis pelarut yang berbeda dapat memiliki efek terapi
yang berbeda karena zat aktif yang terlarut berbeda. Sebagai contoh daun jati belanda (Guazuma
ulmifolia Lamk) memiliki tiga jenis kandungan kimia yang diduga berperan untuk pelangsing yaitu
tanin, musilago, alkaloid. Ekstraksi yang dilakukan dengan etanol 95% hanya melarutkan alkaloid dan
sedikit tanin, sedangkan ekstraksi dengan air atau etanol 30% didapatkan ketiga kandungan kimia
daun jati belanda yaitu tanin, musilago, dan alkaloid tersari dengan baik. 22
Uji klinik Obat tradisional
Untuk dapat menjadi fitofarmaka maka obat tradisional/ obat herbal harus dibuktikan khasiat dan
keamanannya melalui uji klinik. Seperti halnya dengan obat moderen maka uji klinik berpembanding
dengan alokasi acak dan tersamar ganda (randomized double-blind controlled clinical trial)
merupakan desain uji klinik baku emas (gold standard). Uji klinik pada manusia hanya dapat
dilakukan apabila obat tradisional/obat herbal tersebut telah terbukti aman dan berkhasiat pada uji
preklinik. Pada uji klinik obat tradisional seperti halnya dengan uji klinik obat moderen, maka prinsip
etik uji klinik harus dipenuhi. Sukarelawan harus mendapat keterangan yang jelas mengenai
penelitian dan memberikan informed-consent sebelum penelitian dilakukan. Standardisasi sediaan
merupakan hal yang penting untuk dapat menimbulkan efek yang terulangkan (reproducible).

Uji klinik dibagi empat fase yaitu:


Fase I : dilakukan pada sukarelawan sehat, untuk menguji keamanan dan tolerabilitas obat
tradisional
Fase II awal: dilakukan pada pasien dalam jumlah terbatas, tanpa pembanding
Fase II akhir: dilakukan pada pasien jumlah terbatas, dengan pembanding
Fase III : uji klinik definitif
Fase IV : pasca pemasaran,untuk mengamati efek samping yang jarang atau yang lambat timbulnya

Untuk obat tradisional yang sudah lama beredar luas di masyarakat dan tidak menunjukkan efek
samping yang merugikan, setelah mengalami uji preklinik dapat langsung dilakukan uji klinik dengan
pembanding. Untuk obat tradisional yang belum digunakan secara luas harus melalui uji klinik
pendahuluan (fase I dan II) guna mengetahui tolerabilitas pasien terhadap obat tradisional tersebut. 2
Berbeda dengan uji klinik obat modern, dosis yang digunakan umumnya berdasarkan dosis empiris
tidak didasarkan dose-ranging study. Kesulitan yang dihadapi adalah dalam melakukan
pembandingan secara tersamar dengan plasebo atau obat standar. Obat tradisional mungkin
mempunyai rasa atau bau khusus sehingga sulit untuk dibuat tersamar. Saat ini belum banyak uji
klinik obat tradisional yang dilakukan di Indonesia meskipun nampaknya cenderung meningkat dalam
lima tahun belakangan ini.

Kurangnya uji klinik yang dilakukan terhadap obat tradisional antara lain karena:
 Besarnya biaya yang dibutuhkan untuk melakukan uji klinik
 Uji klinik hanya dapat dilakukan bila obat tradisional telah terbukti berkhasiat dan aman pada
uji preklinik
 Perlunya standardisasi bahan yang diuji
 Sulitnya menentukan dosis yang tepat karena penentuan dosis berdasarkan dosis empiris,
selain itu kandungan kimia tanaman tergantung pada banyak faktor.
 Kekuatiran produsen akan hasil yang negatif terutama bagi produk yang telah laku di pasaran

Setelah melalui penilaian oleh Badan POM, dewasa ini terdapat sejumlah obat bahan alam yang
digolongkan sebagai obat herbal terstandar dan dalam jumlah lebih sedikit digolongkan sebagai
fitofarmaka.

7. Apa saja kelemahan dari obat tradisional dan konvensional?


Kelemahan obat tradisional:
- Efek pengobatan lemah
- Belum lolos uji
- Efek samping belum diketahui
- Yang memberikan belum tentu tanakes, jumlah tanakes yang mengetahui manfaat obat
tradisional masih rendah

Kelemahan konvensional:

- Harga mahal

8. Perbedaan antara T-CAM dengan konvensional?


-Senyawa kimia: konvensional kimia murni; herbalcampuran bahan alami
-Efektifitas: konvensional lolos uji; herbal belum ada uji, kcl fitofarmaka
-Mutu: konvensional mutu terjamin; herbal mutu kurang terjamin
-Campuran bahan: konvensional diketahui bahan aktifnya; herbal belum terperinci zat
aktifnya dari tanaman

9. Jelaskan mengenai isi dari permenkes no 1109 th 2007?


Syarat pemberi obat komplenter alternatif juga

10. Apa tujuan dari permen no 1109 th 2007?


-melindungi pengguna
-menjamin mutu dan meningkatkan mutunya
-menjamin dari segi hukum

Step 4:

Anda mungkin juga menyukai