Bahkan beberapa ahli berpendapat, bahwa dengan pola konsumsi seperti sekarang,
maka dalam waktu 50 tahun cadangan minyak bumi dunia akan habis. Keadaan ini bisa
diamati dengan kecenderungan meningkatnya harga minyak di pasar dalam negeri, serta
ketidak stabilan harga tersebut di pasar internasional, karena beberapa negara maju
sebagai konsumen minyak terbesar mulai melepaskan diri dari ketergantungannya
kepada minyak bumi sekaligus berusaha mengendalikan harga, agar tidak meningkat.
Sebagai contoh; pada tahun 1970 negara Jerman mengkonsumsi minyak bumi sekitar
75% dari total konsumsi energinya, namun pada tahun 1990 konsumsi tersebut menurun
hingga tinggal 50% (Pinske, 1993).
Jika dikaitkan dengan penggunaan minyak bumi sebagai bahan bakar sistem pembangkit
listrik, maka kecenderungan tersebut berarti akan meningkatkan pula biaya operasional
pembangkitan yang berpengaruh langsung terhadap biaya satuan produksi energi
listriknya. Di lain pihak biaya satuan produksi energi listrik dari sistem pembangkit listrik
yang memanfaatkan sumber daya energi terbarukan menunjukkan tendensi menurun,
sehingga banyak ilmuwan percaya, bahwa pada suatu saat biaya satuan produksi
tersebut akan lebih rendah dari biaya satuan produksi dengan minyak bumi atau energi
fosil lainnya.
Pembakaran energi fosil akan membebaskan Karbondioksida (CO2) dan beberapa gas
yang merugikan lainnya ke atmosfir. Pembebasan ini merubah komposisi kimia lapisan
udara dan mengakibatkan terbentuknya efek rumah kaca (treibhouse effect), yang
memberi kontribusi pada peningkatan suhu bumi. Guna mengurangi pengaruh negatif
tersebut, sudah sepantasnya dikembangkan pemanfaatan sumber daya energi
terbarukan dalam produksi energi listrik. Sebagai ilustrasi, setiap kWh energi listrik yang
diproduksi dari energi terbarukan dapat menghindarkan pembebasan 974 gr CO2, 962
mg SO2 dan 700 mg NOx ke udara, dari pada Jlka diproduksi dari energi fosil. Bisa
dihitung, jika pada tahun 1990
yang lalu 85% dari produksi energi listrik di Indonesia (sekitar 43.200 GWh) dihasilkan
oleh energi fosil, berarti terjadi pembebasan 42 juta ton CO2, 41,5 ribu ton SO2 serta 30
ribu ton NOx. Kita tahu bahwa CO2 merupakan salah satu penyebab terjadinya efek
rumah kaca, SO2 mengganggu proses fotosintesis pada pohon, karena merusak zat hijau
daunnya, serta menjadi penyebab terjadinya hujan asam bersama-sama dengan NOx.
Sedangkan NOx sendiri secara umum dapat menumbuhkan sel-sel beracun dalam tubuh
mahluk hidup, serta meningkatkan derajat keasaman tanah dan air jika bereaksi dengan
SO2.
Akan tetapi bukan berarti pengembangan pemanfaatan sumber daya energi terbarukan
ini terbebas dari segala kendala. Khususnya di Indonesia ada beberapa kendala yang
menghambat pengembangan energi terbarukan bagi produksi energi listrik, seperti:
1. harga jual energi fosil, misal; minyak bumi, solar dan batubara, di Indonesia masih
sangat rendah. Sebagai perbandingan, harga solar/minyak disel di Indonesia Rp.
4.600,-/liter sementara di Amterdam mencapai Rp.17.565,-/liter, atau sekitar epat kali
lebih tinggi.
2. rekayasa dan teknologi pembuatan sebagian besar komponen utamanya belum
dapat dilaksanakan di Indonesia, jadi masih harus mengimport dari luar negeri.
3. biaya investasi pembangunan yang tinggi menimbulkan masalah finansial pada
penyediaan modal awal.
4. belum tersedianya data potensi sumber daya yang lengkap, karena masih
terbatasnya studi dan penelitian yang dilkakukan.
5. secara ekonomis belum dapat bersaing dengan pemakaian energi fosil.
6. kontinuitas penyediaan energi listrik rendah, karena sumber daya energinya sangat
bergantung pada kondisi alam yang perubahannya tidak tentu.
Potensi sumber daya energi terbarukan, seperti; matahari, angin dan air, ini secara prinsip
memang dapat diperbarui, karena selalu tersedia di alam. Namun pada kenyataannya
potensi yang dapat dimanfaatkan adalah terbatas. Tidak di setiap daerah dan setiap
waktu; matahari bersinar cerah air jatuh dari ketinggan dan mengailr deras serta angin
bertiup dengan kencang Di sebabkan oleh keterbatasan-keterbatasan tersebut, nilaii
sumber daya energi sampal saat ini belum dapat begitu menggantikan kedudukan sumber
daya energi fosil sebagai bahan baku produksi energi listrik. Oleh sebab itu energi
terbarukan ini lebih tepat disebut sebagai energi aditif, yaitu sumber daya energi
tambahan untuk memenuhi peningkatan kebutuhan energi listrik, serta menghambat atau
mengurangi peranan sumber daya energi fosil.
Pembangunan sistem pembangkit energi listrik yang memanfaatkan sumber daya energi
terbarukan, terutama air, sudah banyak dilaksanakan di Indonesia. Pemanfaatan energi
angin banyak diterapkan di daerah pantai, seperti di Jepara, pulau Lombok, Sulawesi dan
Bali. Sementara energi matahari telah dimanfaatkan di beberapa wilayah di Jawa Timur,
Jawa Tengah, Jawa Barat dan wlayah timur Indonesia. Sebagian besar dari
pembangunan tersebut berupa proyea-proyek percontohan.
Selain itu, makin berkurangnya ketersediaan sumber daya energi fosil, khususnya minyak
bumi, yang sampai saat ini masih merupakan tulang punggung dan komponen utama
penghasil energi listrik di Indonesia, serta makin meningkatnya kesadaran akan usaha
untuk melestarikan lingkungan, menyebabkan kita harus berpikir untuk mencari altematif
penyediaan energi listrik yang memiliki karakter;
Sistem penyediaan energi listrik yang dapat memenuhi kriteria di atas adalah sistem
konversi energi yang memanfaatkan sumber daya energi terbarukan, seperti: matahari,
angin, air, biomas dan lain sebagainya (Djojonegoro,1992). Tak bisa dipungkiri bahwa
kecenderungan untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensi sumber-sumber daya
energi terbarukan dewasa ini telah meningkat dengan pesat, khususnya di negara-negara
sudah berkembang, yang telah menguasai rekayasa dan teknologinya, serta mempunyai
dukungan finansial yang kuat. Oleh sebab itu, merupakan hal yang menarik untuk disimak
lebih lanjut, bagaimana peluang dan kendala pemanfaatan sumber-sumber daya energi
terbarukan ini di negara-negara sedang berkembang, khususnya di Indonesia.
Kebutuhan energi listrik tersebut diharapkan dapat dipenuhi oleh pusat-pusat pembangkit
listrik, baik yang dibangun oleh pemerintah maupun non-pemerintah. Sebagai ilustrasi,
pada tahun 1990 kebutuhan energi listrik sebesar 51.919 GWh telah dipenuhi oleh seluruh
pusat pembangkit listrik yang ada dengan kapasitas daya terpasang sekitar 22.000 MW.
Sehingga pada tahun 2010 dari kebutuhan energi listrik, yang diramalkan mencapai
258.747 GWh per tahun, diharapkan dapat dipenuhi oleh sistem suplai energi listrik
dengan kapasitas total sebesar 68.760 MW, yang komposisi sumber daya energinya
Dari tampak jelas terlihat, bahwa penggunaan minyak bumi, termasuk solar/minyak disel,
sebagai bahan bakar produksi energi listrik akan sangat berkurang, sebaliknya
pemanfaatan sumber-sumber daya energi baru dan terbarukan, seperti air, matahari,
angin dan biomas, mengalami peningkatan yang cukup tajam. Kecenderungan ini tentu
akan terus bertahan seiring dengan makin berkurangnya cadangan minyak bumi serta
batubara, yang pada saat ini masih merupakan primadona banan bakar bagi pembangkit
listrik di Indonesia.
Akan tetapi sejak tahun 1992 kebutuhan energi listrik nasional meningkat mencapai 18%
rata-rata per tahun, atau sekitar dua kali lebih tinggi dari skenario yang dibuat pada tahun
1990. Hal ini disebabkan oleh tingginya pertumbuhan ekonomi nasional kaitannya dengan
pertumbuhan industri dan jasa konstruksi. Jika keadaan ini terus bertahan, berarti
diperlukan pula pengadaan sistem pembangkit energi listrik tambahan guna
mengantisipasi peningkatan kebutuhan tersebut. Dilema yang timbul adalah bahwa di
satu sisi, pusat-pusat pembangkit energi listrik yang besar tentu akan diorientasikan untuk
mencukupi kebutuhan beban besar, seperti industri dan komersial. Di sisi lain perlu juga
dipikirkan agar beban kecil, seperti perumahan dan wilayah terpencil, dapat dipenuhi
kebutuhannya akan energi listrik. Salah satu alternatif yang dapat diupayakan adalah
dengan membangun pusat-pusat pembangkit kecil sampai sedang yang memanfaatkan
potensi sumber daya energi setempat, khususnya sumber daya energi baru dan
terbarukan.
Daftar Pustaka
• Archie W Culp, Jr, 1979, Principle of energy Convertion, Mc Graw Hill, Ltd
• Djojonegoro,W., 1992, Pengembangan dan penerapan energi baru dan terbarukan,
Lokakarya "Bio Mature Unit" (BMU) untuk pengembangan masyarakat pedesaan,
BPPT, Jakarta.
• Fritzler,M., 1993, Stichwort-Umweltgiffe, Wilhelm Heyne Verlag, Moenchen,
Germany.
• Jarass, 1980, Strom aus Wind-Integration einer regenerativen EnergieQuelle,
Springer-Verlag, Berlin. Pinske,J.D., 1993, Elektrische Energieerzeugung, 2.vollst.
ueberarb. Aufl., BG.Teubner, Stuttgart
• Ramani,K.V., 1992, Rural electnEcation and rural development, Rural electrification
guide book for Asia & Pacific, Bangkok.
• Soetendro,H.,Soedirman,S.,Sudja,N., 1992, Rural Electnfication in Indonesia, Rural
Electrification Guide book for Asia & the Pacific, Bangkok.
• Schleswag (Hrsg.), 1993, Additive Energien-intelligent genutzt, Flensburg, Germany.
• Wibawa,U., 1996, Effahrung mit dem Betneb Kleinwindhybrid Eanlage in Ciparanti-
Ciamis, ARTES-lnstitu, Flensburg
• Zuhal,1995, Policy & Development Programs on Rural ElectriScation for next 10
years, Ditjen.Listrik & Pengembangan Energi, Departemen Pertambangan dan
Energi, Jakarta.
Biaya pembangkitan listrik dipengaruhi oleh dua hal utama, yaitu biaya bahan bakar, dan
biaya operasi dan pemeliharaan. Pada pembangkit listrik berbahan bakar fosil
menunjukkan bahwa biaya bahan bakar mencapai 80% biaya total pembangkitan listrik.
Sedangkan pada pembangkit listrik tenaga nuklir, biaya bahan bakar mencapai 50% biaya
total pembangkitan listrik. Sisanya adalah biaya operasi dan pemeliharaan, 20% untuk
pembangkit listrik berbahan bakar fosil dan 50% untuk pembangkit listrik tenaga nuklir.
Dari hal tersebut di atas dapat terlihat tingkat ketergantungan pembangkit terhadap harga
bahan bakar di pasaran.
Setelah bertahun tahun sejak nuklir digunakan, sang kompetitor ini jatuh dan
mensejajarkan diri dengan pembangkit batubara pada sekitar tahun 1986. Tahun tersebut
untuk pertama kalinya biaya pembangkitan batubara di bawah nuklir. Sejak saat itu
pembangkit batubara menyatakan diri sebagai pembangkit paling murah. Nuklir jatuh
disebabkab karena biaya tambahan yang makin meningkat untuk peningkatan pembinaan
sumber daya manusia dan biaya operasi yang berhubungan dengan kecelakaan
pembangkit Three Mile Island pada tahun 1979. Tetapi perbedaan biaya pembangkitan
dua kompetitor ini cukup kecil, yaitu 0.0192 dolar/kWh untuk batubara dan 0.02 dolar/kWh
untuk nuklir pada tahun 1994. Dan biaya pembangkitan untuk nuklir dan batubara masih
jauh lebih kecil dibandingkan dengan gas alam dan minyak bumi, masing masing sebesar
0.029 dolar/kWh dan 0.032 dolar/kWh. Dengan menerapkan perencanaan dan teknik
manajemen baru secara terpadu dan menyeluruh, biaya pembangkitan nuklir masih dapat
dikurangi.
C. Gas "Greenhouse"
Pada tahun 1990 di Rio de Janeiro, USA dan negara negara lain menyatakan perang
terhadap musuh musuh kasat mata yaitu gas gas "greenhouse". Menurut hasil studi yang
berjudul "Impact of Nuclear Energy on U.S. Electric Utility Fuel Use and Atmospheric
Emissions: 1973 1995" menyebutkan bahwa energi nuklir adalah faktor tunggal yang
paling penting di dalam pengurangan emisi karbon sebesar 1.9 milyar metrik ton CO2">
untuk sektor kelistrikan di USA. Tanpa nuklir, bahan bakar fosil sudah digunakan untuk
memproduksi listrik bagi pertumbuhan ekonomi USA dan kebutuhan yang meningkat
karena pertambahan penduduk. Dengan peningkatan kebutuhan listrik rata rata 40%
sejak tahun 1973 dan penggunaan bahan bakar fosil, 3.2 milyar ton batubara, 3.37 trilyun
meter kubik gas alam dan 2.2 milyar barrel minyak bumi, dengan unjuk kerja nuklir pada
tahun 1987 1989 sebagai dasar pertimbangan, maka emisi gas karbon atau CO2 dapat
dikurangi sampai 37 juta ton per tahun dari tahun 1990 sampai tahun 1995. Emisi CO2
secara nasional telah menurun 25% karena penggunaan pembangkit nuklir dibandingkan
jika bahan bakar fosil digunakan. Pembangkit nuklir telah membantu mencegah
pengeluaran 146 juta metrik ton emisi karbon pada tahun 1995. Dari hasil ini diharapkan
tercapai program nasional pengurangan emisi karbon sampai 108 juta metrik ton per
tahun, sehingga akan diperoleh stabilitas emisi gas "greenhouse" sebesar level tahun
1990 pada tahun 2000.
Masih banyak dokumen dokumen hasil studi yang menyatakan keuntungan demi
terciptanya lingkungan bersih dengan menggunakan energi nuklir. Studi tersebut
menyatakan pembangkit nuklir telah membantu pengurangan emisi sebanyak 75 juta ton
SO2 dan 32 juta ton NOx secara komulatif antara tahun 1973 sampai dengan tahun 1995.
Pada tahun 1995, pembangkit nuklir mengurangi 5.1 juta ton SO2. Dan ini merupakan
hampir setengah dari jumlah target yang disepakati oleh program yang disebut dengan
"Clean Air Act Amendments of 1990". Energi nuklir juga mecegah pelepasan 2.5 juta ton
NOx, dimana nilai ini melebihi dari target yang ditentukan sebesar 2 juta ton NOx oleh
Clean Air Act Amendments of 1990 tersebut di atas.
D. Biaya Pembangkitan
Biaya pembangkitan nuklir menjadi primadona kembali setalah ada peningkatan
efesiensi. Biaya pembangkitan nuklir turun dari 0.0207 dolar/kWh menjadi 0.0189
dolar/kWh pada tahun 1995. Penurunan ini konstan sebesar 8.7% untuk kurs dolar 1995.
Beberapa pembangkit nuklir terbaru mencapai biaya pembangkitan sampai 0.012
dolar/kWh. Hal tersebut bisa dicapai karena beberapa pembangkit nuklir terbaru tersebut
meningkatkan kapasitas faktor dari 75.1% menjadi 78.8%. Kapasitas faktor adalah unjuk
kerja pembangkit nuklir yang dihitung berdasarkan jumlah listrik yang dihasilkan secara
nyata dibagi jumlah maksimum listrik yang bisa dicapai oleh pembangkit tersebut.
Makin menurunnya biaya pembangkitan oleh nuklir sebagai salah satu faktor yang
menyebabkan beberapa negara yang akan mengembangkan atau meningkatkan industri
nasionalnya, meningkatkan penggunaan energi nuklir bagi negaranya masing masing.
Ketergantungan akan energi nuklir dari beberapa negara dapat terlihat pada Gambar 2.
Dimana Perancis memimpin dengan memenuhi kebutuhan energi listrik dalam negerinya
sebanyak 75% dari kebutuhannya menggunakan energi nuklir. Menyusul negara negara
lain seperti Belgia, Swedia, dst. Terlihat pula negara indutri baru seperti Korea Selatan
menggunakan energi nuklir sebesar 36% dari kebutuhan listrik nasional.
E. Kesimpulan
Kebutuhan energi di dunia akan terus meningkat dan proyeksi peningkatannya sebesar
2% per tahun. Hal itu berarti bahwa negara-negara di dunia selalu membutuhkan dan
harus memproduksi energi dalam jumlah yang besar sampai dua dekade mendatang.
Minyak bumi sebagai sumber energi utama dunia diproyeksikan penggunaannya
meningkat sebesar 2% per tahun sampai tahun 2015 mendatang, tetapi dengan perkiraan
harga minyak tidak melampaui 25 dolar per barrel sebelum tahun 2015. Pertambahan
penggunaan batubara juga terus meningkat sampai 50% pada tahun 2015. Kedua bahan
bakar fosil tersebut masih menghadapi persaingan dan pengetatan aturan yang
berhubungan dengan emisi karbon ke lingkungan. Penggunaan energi nuklir
diproyeksikan mencapai 20% dari penggunaan total energi dunia sampai tahun 2015.
Pertumbuhan penggunaan energi nuklir berkembang pesat di negara Perancis dan
Jepang. Sementara itu, negara-negara di Asia sedang memulai untuk menggunakan
nuklir sebagai pendukung program energi nasional.
Daftar Pustaka
• Nuclear Energy Institute, "Electricity Costs: Nuclear Closes Gap with Coal", Nuclear
Energy Insight 96, Washington-D.C., September 1996.
• Nuclear Energy Institute, "Nuclear Energy: Superhero in the War Against Greenhouse
Gases", Nuclear Energy Insight 96, Washington-D.C., July 1996.
• Nuclear Energy Institute, "Nuclear Production Costs: Bring on the Competition",
Nuclear Energy Insight 96, Washington-D.C., May/June 1996.
• Department Of Energy-USA, "World Energy Consumption", p.5-20, International
Energy Outlook 1996 - With Projection to 2015, Washington-D.C., May 1996.
• Department Of Energy-USA, "Coal", p.49-56, International Energy Outlook 1996 -
With Projection to 2015, Washington-D.C., May 1996.
• Department Of Energy-USA, "Nuclear Power", p57-64, International Energy Outlook
1996 - With Projection to 2015, Washington-D.C., May 1996.
Indonesia memiliki garis pantai terpanjang kedua setelah Norwegia. Sayangnya potensi
energi pantai yang ada belum banyak dimanfaatkan. hal ini membuat Badan Pengkajian
dan Penerapan Teknologi (BPPT) tergerak mengembnagkan dan memanfaatkan potensi
energi terbarukan, berupa angin, omba dan energi surya untuk menjawab kebutuhan
energi listrik.
Model yang dikembnagkan di Parang Racuk Technopark untuk menjawab tantangan itu,
kita membuka ilmuan dari berbagai bidang di Indonesia memanfaatkan kawasan sesuai
minatnya, ini yang pertama di Indonesia, kata Kepala BPPT Said D Jenie kepada Jurnal
Nasional di Yogyakarta, Jumat (22/6)
Di kawasan seluas 12 hektare yang ada disepanjang pantai itu kini telah hadir beberapa
perangkat teknologi pembangkit listrik terbarukan yaitu Oscillating Water Column (OWC)
dengan biaya pengembangan Rp2,5 miliar yang mengubah energi ombak menjaaadi
energi listrik. Selain itu telah terpasang juga pembangkit tenaga bayu (angin) berupa kincir
angin serta panel sel surya untuk mengolah energi listrik dari matahari.
Di tahap awal memang dikembangkan model fix based, ke floating base yang ada di
perairan. secara bertahap akan terus dilanjutkan proyek pwemhembangan pemanfaatan
energi alternatif yang ramah lingkungan, ujar Said melanjutkan.
A. Energi Persilangan
Melengkapi fasilitas penyimpanan energi listrik yang dibangkitkan dari tenaga ombak,
angin dan surya disediakan pula sistem pengendali beban otomatis berbasis DC dengan
kapasitas 3599 kW.
Sistem energi persilangan (hybrid) itu telah diujicobakan dan dapat bekerja dengan
optimal, meski pasokan energi sangat teergantung dari kondisi alam yaitu ada atau
tidaknya ombak ataupun angin yang mencukupi untuk sumber energi pembnagkit listrik.
Sistem pengendali beban diperlukan setelah ada konversi sebelum listrik dimanfaatkan
oleh konsumen, kata Dr Erzi Agson Gani Meng, Kepala Divisi Mesin Perkakas, Teknik,
Produksi dan Otomatisasi (MEPPO) BPPT.
Sejak tahun 2005 telah ada upaya pemanfaatan energi terbarukan seperti ombak, angin
dan energi surya yang ditangkap panel surya untuk memnuhi kebutuhan energi listrik.
Meski hasilnya masih terbatas, karena perlu pengembangan lebih lanjut teknologi yang
disebutkan cocok untuk pasokan listrik di daerah terpencil atau sbagai bagian daari
sumber daya rambu navigasi.
Di luar itu, dapat juga menjadi wisata teknologi energi dan riset dari akademisi dan
lembaga litbang lainnya. Itu menjadi sumber energi bersih yang potensial di masa depan,
kata Erzi.
Bagi masyarakat Gunung Kidul, hadirnya taman teknologi yang memanfaatkan tanah
Sultan (Sultan Ground) tentu saja menjadikan keuntungan tersendiri. Jika selama ini
hanya mengandalkan wisata pantai, ke depan pengembangan teknologi itu jelas akan
memancing hadirnya rekayasa baru yang dapat memanfaatkan potnsi alam di kawasan
pesisir pantai.
Guning Kidul itu sudah dikenal dengan kondisi alam yang kering, tepi memiliki sumber
daya alan di pesisir pantai yang belum dikembangkan. Hadirnya teknologi untuk energi
tebarukan membantu pengembangan di kawasan pantai, kata Bupati Gunungkidul
Suharto, SH.
Kita punya potensi alam saja, itu pun dnegan kondisi yang cukup berat bagi upaya
mengundang investor. Jika ada teknologi yang masuk jelas membantu kebutuhan energi
wrga, kata Suharto.
Berkaitan dengan hal tersebut pada 22 Juni 2007 bertempat di Parang Racuk Jogjakarta
telah diresmikan Technopark Parang racuk melalui Uji Operasional PLTO (Pembangkit
Listrik Tenaga Ombak) pada Konsi Air Pasang oleh Kepala BPPT Said D Jenie.
Acara yang dihadiri Sekretaris Utama, Deputi TIRBR, Deputi TPSA, Deputi TAB, Eselon
II di lingkungan Setama dan Eselon I, II, III di lingkungan TIRBR, dan Bupati Gunung Kidul,
Staf Ahli Kepala BPPT serta pimpinan dan peneliti dari BPDP Yogyakarta.
Tujuan kegiatan ini untuk memberikan paket model sumber energi alternatif yang
ketersediaan sumbernya cukup melimpah di wilayah perairan pantai Indonesia.
paket model tersebut akan menunjukan tingkat efisiensi energi yang dihasilkan dan
parameter-parameter minimal hirosenografi yang layak, baik itu secara teknis maupun
ekonomis untuk melakukan konversi energi.
Hasil survey hidrosenografi di wilayah perairan Parang Racuk menunjukan, sistem akan
dapat membangkitkan daya listrik optimal jika ditempatkan sebelum gelombang pecah
atau pada kedalaman 4 m-11 m.
Pada kondisi ini akan dapat dicapai putaran turbin antara 3000-700 rpm. Posisi prototipe
II OWC (Oscillating Wave Column) masih belum mencapai minimal yang diisyaraatkan,
karena kesulitan pelaksanaan operasional alat mekanis. Posisi ideal akan dicapai melalui
pembangunan prototipe III yang berupa sistem OWC apung.
Khusus untuk pengembnagan energi angin, BPPT melakukan kajian tehadap tipe-tipe
konversi energi angin yang efisien dan tepat diterapkan di Indonesia sesuai kegunaannya:
mekanikal ataupun kelistrikan.
Kegiatan ini dimulai pada tahun 2005 dan menghasilkan Sistem Pengandali Berbasis DC
dengan kapasitas 3500 KW.
Sistem tersebut telah dipasang di Baron Energy park-BPPT dan Parang Racuk yang siap
diuji coba (OT&E) bersama UPT LAGG yang mengemangkan wind turbine serta
BPDP yang mengembangkan sistem OWC. (Jurnal Nasional / Humas Ristek)