Muhammad Shulfie - C014172130
Muhammad Shulfie - C014172130
Oleh:
Sri Rahma Dani
C 014 172 024
Pembimbing Residen :
dr. Elvis Jeferson
Pembimbing Supervisor :
dr. Mappincara, Sp.B-KBD
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu Bedah Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar.
Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada AAST dan Presiden Cioffi , merupakan
suatu kehormatan besar untuk saya membawakan Master Surgeon Lecture ini. Pada hari ini,
saya harus mengakui bahwa hari ini adalah 11 September, dan kita perlu mengambil waktu
hening sejenak bagi teman sejawat dan rekan sebangsa kita yang gugur pada hari itu.
Topik saya hari ini adalah, “Kolesistitis Akut: Kapan Dilakukan Operasi dan Cara
Melakukannya dengan Aman.” pertanyaan yang jelas , mengapa saya memilih topik yang
biasa-biasa saja? Diperkirakan bahwa 30% hingga 49% dari ahli bedah akan menyebabkan
cedera saluran empedu selama karir mereka. Hal ini sulit bagi keduanya baik pada pasien dan
ahli bedah. Dasar pikiran dari pembicaraan saya adalah bahwa hampir semua cedera saluran
empedu selama kolesistektomi dapat dihindari. Sekitar 700.000 kolesistektomi dilakukan tiap
tahun di Amerika Serikat, dengan perkiraan insiden cedera saluran empedu di 0,5%(3,500
pasien). Ketika kolesistektomi laparoskopi awalnya diperkenalkan, cedera saluran empedu
empat kali lebih sering daripada kolesistektomi terbuka (open cholesistectomy). . Perkiraan saat
ini adalah bahwa insiden cedera saluran empedu tetap dua kali lebih sering pada laparoskopi
dibandingkan dengan kolesistektomi terbuka. Penelitian berbasis populasi dari Swedia,
meninjau 153.000 kolesistektomi dari 1987 hingga 2002, menunjukkan ada sedikit peningkatan
insiden cedera saluran empedu walapun memiliki pengalaman berpuluh-puluh tahun dengan
kolesistektomi laparoskopi (0,32-0,47%). Demikian pula, kejadian cedera saluran empedu di
Jepang tidak berubah dari 1990 hingga 2009 (0,66- 0,62%) . Dengan demikian, kolesistektomi
laparoskopi jelas merupakan operasi yang belum sempurna, meskipun sering dilakukan.
Dalam sebuah penelitian berbasis populasi dari Ontario, dilakukan peninjauan terhadap
25.397 orang dewasa pasien yang dirawat dari 2004 hingga 2011 dengan episode pertama
kolesistitis akut. Follow up rata-rata adalah 3,4 tahun. Lima puluh sembilan persen pasien
menjalani kolesistektomi selama awal masuk rumah sakit ; 41% (10.304 pasien) dipulangkan
tanpa kolesistektomi. Dari pasien yang keluar tanpa kolesistektomi, insiden keluhan terkait
masalah batu empedu setelah keluar dari rumah sakit adalah 14% dalam 6 minggu, 19% dalam
12 minggu, dan 29% dalam 1 tahun. Hal yang penting bahwa 30% dari masalah tersebut
ternyata adalah obstruksi saluran empedu atau pankreatitis, komplikasi signifikan kolelitiasis.
Menariknya, peristiwa-peristiwa ini terjadi lebih sering pada pasien berusia 18 tahun hingga
34 tahun. Dalam 1 tahun, insiden penyakit saluran empedu rekuren adalah 42% pada pasien
berusia 18 tahun hingga 34 tahun, 32% pada pasien berusia 50 tahun sampai 64 tahun, 27%
pada pasien usia 65 tahun hingga 79 tahun, dan 24% pada pasien yang lebih tua dari 80 tahun.
Penulis menyimpulkan peningkatan risiko pada pasien yang lebih muda dengan penyakit batu
empedu rekuren memperkuat dilakukannya kolesistektomi dini.
Review Cochrane yang diterbitkan pada 2013 mengulas enam percobaan dengan 488
pasien. Kolesistektomi dini didefinisikan yaitu dilakukan dalam 7 hari saat munculnya gejala
klinis. Kolesistektomi tertunda didefinisikan dilakukan lebih dari 6 minggu. Penulis
menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam insiden cedera saluran
empedu, hasil konversi yang serupa dari laparoskopi hingga kolesistektomi terbuka , dan jelas
masa rawat inap yang lebih singkat pada pasien yang menjalani kolesistektomi dini. Namun,
Review Cochrane ini tidak cukup kuat untuk mengevaluasi perbedaan signifikan pada cedera
saluran empedu. Diperkirakan untuk mendokumentasikan perbedaan 50% (signifikan secara
statistik, cukup kuat) pada insiden cedera saluran empedu membutuhkan 30.000 pasien. Selain
itu, penulis menyimpulkan bahwa “semua uji coba berisiko tinggi untuk bias dan mungkin
memperkirakan manfaatnya terlalu tinggi atau meremehkan bahaya baik kolesistektomi
laparoskopi dini ataupun kolesistektomi laparoskopi tertunda. Namun, uji coba dengan risiko
bias yang tinggi menunjukkan bahwa kolesistektomi laparoskopi dini selama kolesistitis akut
tampaknya aman dan mungkin mempersingkat masa rawat inap di rumah sakit.”
KONSEP KUNCI: Kolesistektomi harus dilakukan saat awal rawat inap untuk
kolesistitis akut, kecuali pasien dianggap memiliki risiko operasi yang terlalu tinggi.
Masalah berikutnya yang akan dibahas adalah pada titik waktu apa saat awal inap
kolesistektomi harus dilakukan. Dalam sebuah artikel yang disajikan di AAST, menggunakan
data American College of Surgeons’ National Surgical Quality Improvement Program dari
2005 hingga 2010, dilakukan evaluasi pada kolesistektomi emergensi untuk kolesistitis akut
pada 5.268 pasien. Variabel prediktor utama adalah masa lama pra operasi di rumah sakit
dilaporkan dalam 0, 1, 2, 3, atau 4 hingga 7 hari. Pada penelitian ini, 83% dari pasien menjalani
kolesistektomi pada Hari 0 atau 1. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2, morbiditas dan
mortalitas meningkat secara signifikan dari Hari 0 hingga 2 hingga Hari 4 hingga 7. Hal ini
mungkin lebih merupakan faktor komorbid pasien daripada operasi itu sendiri. Jika kita secara
khusus melihat dampak dari operasi yang lebih awal, nilai konversi meningkat secara
signifikan pada 2 hari (hampir dua kali lipat) dan terus meningkat tiap harinya. Waktu operasi
meningkat secara signifikan dengan penundaan hingga dilakukannya kolesistektomi. Jelas,
lama tinggal di rumah sakit meningkat jika operasi ditunda. Penulis menyimpulkan bahwa
“pasien yang dirawat di rumah sakit selama 2 hari atau lebih sebelum operasi menjalani lebih
lama waktu operasi dan secara signifikan lebih mungkin terjadi konversi ke kolesistektomi
terbuka. Tertundanya operasinya melewati awal masuk rumah sakit mengakibatkan masa
tinggal yang lebih lama secara signifikan”.
Sebuah studi berbasis populasi dari SALTS [Swiss Association of Laparoscopic and
Thoracoscopic Surgery] melaporkan 4.100 pasien yang menjalani kolesistektomi laparoskopi
emergensi dari 1995 hingga 2006. Mereka dikelompokkan berdasarkan hari masuk rumah sakit
didefinisikan sebagai Hari 0, 1, 2, 3, 4 atau 5, atau 6 atau lebih. Usia rata-rata dalam penelitian
ini adalah 60 tahun. Tingkat konversi dari laparoskopi hingga kolesistektomi terbuka
adalah12% pada Hari 0 dan meningkat menjadi 28% pada Hari 6 atau lebih. Komplikasi pasca
operasi meningkat dari 5,7% menjadi 13%, dari Hari 0 hingga Hari 6. Perlunya dilakukan
operasi ulang meningkat tiga kali lipat dari Hari 0 hingga 6 Hari, dari 0,9% menjadi 3%.
Demikian, penulis menunjukkan bahwa penundaan kolesistektomi laparoskopi untuk
kolesistitis akut menyebabkan peningkatan secara signifikan tingkat konversi dan komplikasi
yang jauh lebih tinggi. tingkat dan komplikasi. Penulis menyatakan bahwa “investigasi ini
memberikan bukti kuat bahwa kolesistitis akut harus dioperasi dalam waktu 48 jam sejak awal
masuk rumah sakit.”
Dalam studi yang dipresentasikan di American Surgical Association baru-baru ini, 35
pusat dari Jerman dan Slovenia melaporkan sebuah studi prospektif randomized yang
mengevaluasi kolesistektomi awal versus kolesistektomi tertunda. Kolesistektomi dini
dilakukan dalam 24 jam sejak masuk rumah sakit, dan kolesistektomi lambat didefinisikan
dilakukan Hari 7 hingga 45. Enam ratus delapan belas pasien dewasa diacak. Morbiditas
berbeda signifikan, 12% pada kolesistektomi dini versus 34% pada kolesistektomi lambat.
Mereka mencatat tidak ada perbedaan dalam tingkat konversi, 10% versus 12%. Lama tinggal
di rumah sakit meningkat signifikan meningkat pada mereka yang menjalani kolesistektomi
tertunda. Para penulis menyimpulkan bahwa “kolesistektomi laparoskopi segera harus menjadi
terapi pilihan untuk kolesistitis akut pada pasien yang dapat dioperasi”.
Sebuah studi yang menarik oleh Catani menunjukkan korelasi antara durasi gejala,
bukan masa rawat inap, dan lamanya waktu operasi. Mereka melaporkan hubungan linier
antara waktu operasi relatif terhadap durasi gejala dan waktu operasi. Ada titik infleksi pada
60 jam. Pada titik ini, setiap jam penundaan dalam kolesistektomi akan menyebabkan 2 kali
lipat penambahan waktu untuk operasi dibandingkan dengan operasi lebih cepat dari 60 jam.
Studi berbasis populasi lain dari Ontario, melihat 22.202 pasien dirawat dengan
kolesistitis akut dan menjalani kolesistektomi dari 2004 hingga 2011. Kolesistektomi dini
dalam 7 hari sejak awal masuk rumah sakit dan dibandingkan dengan kolesistektomi tertunda.
Tujuan utama dari penelitian ini adalah menentukan insiden cedera saluran empedu. Mereka
melaporkan dua kali lipat insiden cedera saluran empedu pada kolesistektomi tertunda
dibandingkan kolesistektomi dini, masing-masing 0,53% berbanding 0,28% (p = 0,025). Rasio
risiko relatif dengan keunggulan untuk kolesistektomi dini adalah 0,53 (interval kepercayaan
95%, 0.31-0.90). Seperti yang dinyatakan oleh penulis, ini adalah penelitian pertama dengan
signifikansi yang kuat untuk mendeteksi perbedaan dalam cedera saluran empedu,
menunjukkan keuntungan yang jelas untuk operasi awal pada kolesistitis akut.
Diagnosis
kolesistitis akut
Penilaian
Keparahan
Sedang/ Berat/Severe
Ringan/Mild
Moderate (Grade III)
(Grade I)
(Grade II)
Drainase kandung
LC Dini (lebih
LC Dini/elektif empedu urgen
dipilih)
(lebih dipilih)
Masuk RS kembali
untuk LC elektif
Gambar 1. Tokyo Guidelime untuk manajemen kolesistitis akut. (Sumber: Miura et al.34 Disadur ulang dengan
izin dari John Wiley and Sons.)
Selanjutnya, kita perlu membahas Tokyo Guideline. Ini adalah kontribusi penting yang
dihasilkan oleh puluhan para ahli kolesistitis dan penyakit saluran empedu internasional.
Seluruh masalah dari Journal of Hepato-Biliary-Pankreas Surgery dikhususkan untuk ini pada
tahun 2007. Pedoman ini telah diperbarui dengan artikel lain pada 2013 dan 2014 (Tabel 3).
Tokyo Guideline membagi kolesistitis akut secara bertingkat menjadi kolesistitis ringan (Grade
1), kolesistitis moderate (Grade 2), dan kolesistitis berat (Grade 3). Kolesistitis ringan (Grade
1) didefinisikan sebagai kolesistitis pada pasien sehat tanpa disfungsi organ dan hanya
perubahan inflamasi ringan pada kantong empedu. Kolesistitis moderate (Grade 2) ada respon
inflamasi local atau keluhan selama lebih dari 72 jam. Kolesistitis berat (Grade 3) adalah
kolesistitis akut disertai oleh adanya bukti disfungsi organ. Seperti yang ditunjukkan pada
diagram alur, menentukan tingkat kolesistitis akut menentukan penatalaksanaan (Gbr. 1).
Pasien dengan kolesistitis ringan, yaitu, tanpa faktor penyulit, harus menjalani kolesistektomi
laparoskopi dini. Kolesistitis akut Berat, Grade 3 paling baik ditangani dengan drainase
kandung empedu urgen, biasanya perkutan. Yang kurang terjelaskan dengan baik adalah
pengobatan yang ideal untuk pasien dengan kolesistitis akut sedang, di mana baik drainase
perkutan atau kolesistektomi laparoskopi sesuai berdasarkan pada faktor faktor kombinasi.
Pada pasien dengan peningkatan jumlah sel darah putih, massa yang teraba di kuadran
kanan atas, atau tanda-tanda inflamasi lokal yang signifikan, drainase perkutan sebagai
pengobatan akut diikuti oleh kolesistektomi tertunda mungkin opsi paling aman. Manajemen
pasien yang diklasifikasikan sebagai Grade 2 semata-mata berdasarkan durasi keluhan selama
lebih dari 72 jam sangatlah sulit. Sering kali, kolesistektomi pada pasien seperti itu sangat
mudah. Di waktu lainnya kali, peradangan dan jaringan parut akut kadang dijumpai, dan
operasi menjadi sulit. Ini adalah masalah dimana kita tidak punya jawaban yang jelas. Beberapa
penulis telah merekomendasikan saat pertama masuk rumah sakit, kecuali ada alasan yang jela ,
setiap pasien dengan kolesistitis akut harus menjalani operasi, berapa lama pun durasinya.
Namun, mereka mengakui bahwa ahli bedah harus menerima operasi yang lebih lama dan lebih
sulit, dan keahlian ahli bedah juga harus dipertimbangkan.
Kolesistostomi Perkutan
Indikasi untuk kolesistostomi perkutan masih belum jelas. Untuk kasus kolesistitis akut
Grade 3 yang kurang umum, insersi kolesistostomi dianjurkan oleh Tokyo Guideline. Selain
itu, kolesistostomi merupakan pilihan yang aman pada pasien dengan kolesistitis yang belum
terlalu berat yang dianggap memiliki kondisi yang buruk jika dioperasi atau diseksi sulit
dijumpai. Prediktor kegagalan terapi antibiotik sendiri dan pertimbangan untuk kolesistostomi
tube yaitu usia lebih dari 70 tahun, riwayat diabetes mellitus, dan leukositosis persisten lebih
dari 15.000 / µL pada 48 jam. Drainase yang berkelanjutan harus diteruskan karena hanya
dengan aspirasi saja tidaklah efektif. Tingkat keberhasilan hampir sama yaitu lebih dari 80%
baik prosedur tersebut dilakukan untuk kalkulus atau kolesistitis akalkulus. Perbaikan klinis
umumnya terlihat dalam 72 jam. Mortalitas setelah prosedur cukup tinggi (5-40%) tetapi
umumnya terkait dengan beratnya masalah penyakit yang mendasarinya. Sebagaimana
dinyatakan dalam review sistematis terbaru mengenai kolesistostomi perkutan, “Tidak ada
keraguan bahwa kolesistostomi perkutan bersama-sama dengan pemberian antibiotik dapat
mengubah kolesistitis septik menjadi nonseptik kondisi”. Namun, indikasi spesifik dan kriteria
tersebut belum dijelaskan dengan baik.
Dari pasien-pasien yang menjalani kolesistostomi perkutan dan mereka yang tabungnya
dilepas, perlunya penundaan kolesistektomi masih kontroversial, dengan laporan mulai dari
0% menjadi 87% . de Mestral et al. melaporkan dalam laporan studi berbasis populasi mereka
bahwa sekitar 40% akan mengalami penyakit saluran empedu rekuren dalam 1 tahun setelah
kolesistostomi. Dalam review dari 47 artikel dan 1.724 pasien, Winbladh et al. mengamati
bahwa lebih dari 40% pasien yang akhirnya menjalani kolesistektomi. Uji coba randomized
prospektif (CHOCOLATE Trial) di Belanda sedang berlangsung, membandingkan
kolesistektomi dini dengan kolesistostom perkutan.
Duktus sistikus yang bergabung dengan duktus komunis umumnya berbentuk angular
(75%). Namun, union parallel terjadi pada 20%. Apalagi dengan derajat inflamasi, duktus
sistikus yang menyatu dan duktus komunis akan menciptakan sebuah situasi dimana cedera
lebih rentan terjadi. Demikian pula, union spiral antara duktus sistikus dan duktus komunis
dapat disalahartikan.
Jaringan parut kronis akibat kolesistitis dengan serangan berulang atau neglected (yang
dibiarkan) sama bahayanya dengan inflamasi akut. Hal ini akan menyebabkan kontraksi pada
semua struktur portal akibat respon inflamasi, yang akan menghilangkan bidang yang aman.
Hal ini bisa diperkirakan berdasarkan riwayat pra operasi dan imaging yang menunjukkan
penyusutan dan kontraksi pada kantong empedu. Kolesistektomi dalam keadaan ini bisa sangat
sulit dilakukan.
KONSEP UTAMA: Apa prosedur terbuka terbaik dan paling aman untuk prosedur
laparoskopi.
Dengan kolesistektomi first-infundibulum, kita akan melanggar prinsip ini. Dengan
demikian, seharusnya tidak mengejutkan kita jika pada saat itu terjadi sebuah masalah. Fundus-
first( top-down) telah dijelaskan dengan baik, meniru apa yang kita lakukan pada
kolesistektomi terbuka. Tentu saja, dengan inflamasi akut, hal ini adalah pendekatan yang lebih
disukai. Namun, hal ini bisa menjadi canggung karena kantong empedu yang lembek ketika
sepenuhnya terlepas dari hati. Tarik permukan hepar dengan hati-hati umumnya akan
menstabilkan hal ini. Kadang-kadang, retraktor hepar mungkin diperlukan.
Teknik semi top-down pada kolesistektomi laparoskopi akan menggabungkan
keuntungan dari kedua pendekatan dan meminimalisir kerugiannya. Diseksi dimulai lebih
tinggi pada kantong empedu, di atas infundibulum kantong empedu. Peritoneum disusun
melingkar, sisi lateral dahulu, melintasi peritoneum di atas infundibulum kantong empedu, lalu
membuka peritoneum dari sisi medial kantong empedu, hati-hati agar tidak memasukkan arteri
sistikus saat Anda melakukannya. Kemudian, dengan menggulirkan kantong empedu bolak-
balik, sebagian besar kantong empedu akan terlepas dari hati, hanya menyisakan fundus yang
menempel yang bisa ditarik dengan mudah. Pada titik ini dan hanya pada titik ini, infundibulum
dan tautannya dan duktus sistikus dapat dicapai, dengan demikian menyebabkan pendekatan
top-down ke duktus sistikus dan arteri sistikus. Saat melanjutkannya dengan semi-top down
hanya ambil jaringan yang dapat Anda lihat dengan jelas, struktur apa pun yang mungkin
ditemui seperti duktus aberrant, arteri hepatika kanan, atau arteri sistika posterior dapat dilihat
dan dihindari. Saat Anda melanjutkan pembedahan ini, seringkali, arteri kistik akan terpisah
dengan lebar dari kantong empedu. Pada titik ini dalam operasi, apa yang telah Anda hasilkan
adalah critical view of safety yang berlebihan. Sekarang jelas struktur mana yang merupakan
arteri sistikus dan duktus sistikus, setelah melanjutkannya dengan diseksi top-down.
Saat melanjutkan dengan semi-top-down lakukan pengambilan hanya pada jaringan
yang dapat Anda lihat dengan jelas, setiap struktur yang mungkin anda lihat seperti duktus
aberrant, arteri hepatik kanan, atau arteri sistikus posterior dapat dilihat dan dihindari. Critical
view of safety diciptakan. Arteri kistik telah dibagi, dan duktus sistikus terbagi dengan baik
dengan jelas dan siap untuk di klip dan dipotong.
KONSEP UTAMA: Bidang yang paling aman untuk dilakukan pembedahan pada
kolesistektomi, terbuka atau secara laparoskopi, pada dinding kandung empedu. Diseksi
menjauh dari dinding kantong empedu akan menyebabkan munculnya masalah.
Trik danTips Operasi
Operasi pada kantong empedu yang inflamasi akut pada kolesistitis akut atau hidrops
sangat menantang dan sulit. Ketika menempatkan laparoskop dan melihat ini, Anda harus
berhenti dan mempertanyakan, Seberapa sakit pasien saya? Dapatkah dia mentolerir
kolesistektomi terbuka? Apakah dia akan tahan dengan operasi yang panjang? Bagaimana cara
melindungi struktur di porta hepatis? Mungkin yang paling kritis, dapatkah saya melindungi
struktur di porta hepatis? Jika jelas bahwa pasien terlalu sakit atau anatomi terlalu berbahaya
akibat inflamasi, kolesistostomi adalah pilihan yang tepat. Jika diputuskan bahwa
kolesistektomi dapat dilakukan dengan aman, maka kantong empedu umumnya harus
didekompresi.
Yang penting, melakukan kolesistektomi pada kolesistitis yang akut dan inflamasi,
kantong empedu hidroptik melibatkan perubahan paradigma pada strategi operasi
dibandingkan dengan kolesistektomi langsung. Sekarang, strategi untuk melindungi struktur
portal adalah untuk menemukan dan hanya tetap berada di dinding kantong empedu (Kadang-
kadang submukosa) dan tahu di mana tidak boleh dilakukan pembedahan. Ahli bedah harus
tahu bahwa upaya atau usaha dalam memperoleh pandangan kritis tentang keamanan klasik
akan menyebabkan cedera bilier atau vaskular. Salah satu kesulitan dalam operasi ini adalah
menemukan dinding dan tetap berada pada dinding kantong empedu. Di pikiranku,
apa yang saya lihat ketika saya menemukan hidroptik, kantong empedu yang inflamasi akut
analog dengan bawang dengan beberapa kulitnya yang berupa jaringan inflamasi. Hati-hati
membedah melalui lapisan ini agar dapat dengan aman mencapai dinding kantung empedu,
seringkali submukosa dan menyelesaikan pembedahan pada bidang ini.
Kolesistektomi Parsial
KONSEP UTAMA: Kadang-kadang, bidang teraman dengan melihat anatomi dari
dalam kantong empedu itu sendiri.
Kolesistektomi parsial telah didokumentasikan oleh beberapa penulis sebagai pilihan
yang aman dan tahan lama dalam mengobati kolesistitis akut. Dinding lateral, medial, dan
anterior kandung empedu dieksisi menggunakan electrokauter. Dinding posterior yang padat
masih tersisa melekat pada hati. Mukosa sepenuhnya dikauterisasi. Saat Anda melanjutkannya
secara proksimal, Anda sekarang berada dalam infundibulum kantong empedu dan
memvisualisasikan infundibulum dan duktus sistikus dari dalam kantong empedu. Pastikan
semua batu telah diekstraksi. Mukosa kemudian dijahit dengan purse string suture, yakinkan
tidak terlalu dalam sehingga menyebabkan resiko terkena struktur portal. Opsi lain dalam
penanganan inflamasi akut jika kantong empedu dapat diangkat dengan aman dari hati hati
tetapi infundibulum meradang jelas adalah amputasi dari kantong empedu pada
infundibulum.Anatomi dapat diidentifikasi kembali dari dalam kantong empedu; menentukan
tautan duktus sistikus dan infundibulum. Pembedahan sering kali dapat dilanjutkan di bidang
yang aman, memotong peritoneum yang meradang dari dinding kantong empedu dan
melanjutkan pembedahan. Seperti yang diterapkan sebelumnya, menjahit(oversew) duktus
sistikus dari dalam mungkin adalah pilihan yang paling aman. Jika Anda tidak dapat menutup
duktus sistikus dari dalam dengan aman, pada keadaan yang tidak biasa, dimana keadaan tidak
jelas apakah bisa dilakukan jahitan pada daerah itu, maka drain akan disisakan.
Seperti yang disebutkan, metode dan teknik identifikasi dari pembedahan sangat terkait
tetapi berbeda. Kita akan membahas tiga metode untuk mengidentifikasi anatomi selama
kolesistektomi: pandangan kritis tentang keamanan, IOC, dan ultrasonografi intraoperatif.
Pandangan kritis tentang keamanan, yang dianut oleh Strasberg selama dua dekade, dalam
beberapa penelitian telah dikonfirmasi menjadi metode yang efektif.
KONSEP UTAMA: Ada tiga komponen penting dari pandangan kritis terhadap
kemanan yaitu ebagai berikut:
1. Setidaknya sepertiga dari kantong empedu harus dibedah dari liver bed
2. Segitiga Calot harus dibersihkan luas
3. Hanya arteri sistikus dan duktus sistikus yang tersisa sebagai dua struktur antara
kantong empedu dan ligament hepatik
Dalam sebuah penelitian yang menarik, kecukupan pandangan kritis terhadap
keamanan ditinjau dalam foto dari 100 kasus. Dari ketiga kriteria tersebut, hanya setengah dari
100 foto itu yang memenuhi kriteria, dengan pembedahan yang tidak adekuat pada kandung
empedu dari liver bed sebagai kekurangan yang paling banyak.
Dengan demikian, dalam penerapan pandangan kritis terhadap keamanan, , ketiga
kriteria tersebut diperlukan untuk mengidentifikasi anatomi dengan aman.
Kolangiografi Intraoperatif
IOC juga telah diterapkan sebagai metode untuk mengidentifikasi struktur anatomi.
Tujuan IOC sebagai berikut yaitu: untuk mencegah tersimpannya batu pada saluran
empedu/duktus choledocus, menentukan anatomi bilier, dan untuk mencegah atau
mengidentifikasi cedera saluran empedu.
Bagi mereka yang melakukan kolangiografi secara selektif, yang merupakan
pendekatan kita, indikasi termasuk riwayat batu saluan empedu termasuk pankreatitis atau
jaundice atau pertanyaan apapun tentang anatomi bilier selama kolesistektomi. Berbagai
penelitian telah mengevaluasi IOC secara rutin sebagai sarana untuk membuat kolesistektomi
laparoskopi yang lebih aman. Hasil data yang ada saling bertentangan. Beberapa penelitian
kohort observasional menunjukkan bahwa penggunaan IOC secara rutin dapat mengurangi
risiko cedera saluran empedu sebesar 50% .Dalam meta-analisis besar yang dilakukan Ludwig
et al. dari lebih dari 300.000 kolesistektomi laparoskopi, terjadi 405 cedera saluran empedu,
insiden cedera saluran empedu mayor adalah 0,21% pada kelompok di mana kolangiografi
rutin digunakan dibandingkan dengan 0,43% pada kelompok kolangiografi selektif,
menunjukkan pengurangan yang signifikan secara statistik . Selanjutnya, 87% dari cedera
didiagnosis pada saat operasi pada kelompok rutin, dibandingkan dengan kelompok selektif
yang hanya 45%. pendukung dilakukannya kolangiografi rutin menyebut pengurangan insiden,
lebih awal mengenali cedera yang ada, dan mungkin hasil dan perbaikan sebagai alasan utama
untuk menggunakan kolangiografi Secara rutin. Sebaliknya, yang menentang hal ini,
menganggap bahwa kolangiografi rutin tidak hemat biaya, menambah waktu yang dianggap
tidak perlu untuk dilakukannya operasi dan tidak selalu efektif untuk mencegah atau
mengidentifikasi cedera. Editorial terbaru yang mendukung kolangiografi rutin
mempertanyakan, "Mengapa kita masih berdebat?". Sebaliknya, dalam tinjauan sistematis IOC
yang diterbitkan baru-baru ini,dilakukan evaluasi pada delapan percobaan acak dengan 1.715
pasien. Hanya ada dua kasus cedera saluran empedu, yang mengartikan bahwa percobaan
tersebut kurang kuat. Penulis menyimpulkan bahwa “tidak ada bukti kuat untuk mendukung
atau meninggalkan penggunaan IOC untuk mencegah batu yang tersimpan atau cedera saluran
empedu.” Ulasan lain baru-baru ini dari 92.392 pasien Medicare dengan kohort berpasangan
melaporkan bahwa 40% pasien menjalani IOC dan 60% tidak. Para penulis menyimpulkan
bahwa, ketika faktor perancu dikontrol, “kolangiografi intraoperatif tidak efektif sebagai
strategi pencegahan terhadap cedera saluran empedu selama kolesistektomi”.
IOC tergantung pada interpretasi yang benar yang dilakukan oleh ahli bedah, seperti,
duktus hepatikus kanan posterior yang dipotong lintang seperti yang dijelaskan sebelumnya.
Selain itu, kegagalan IOC untuk mencegah cedera saluran empedu dapat diprediksi dan
berhubungan dengan (a) pengisian CBD hanya pada bifurkasi dan tidak sepenuhnya mengisi
hepar dan, mungkin yang lebih penting, (b) kurangnya pengalaman ahli bedah umum dalam
membaca kolangiogram, khususnya konsep “apa yang tidak Anda lihat seringkali lebih penting
dari apa yang Anda lihat”. Sebaliknya, cedera saluran empedu yang ditemukan lebih awal pada
IOC dapat mengarah ke diagnosis yang cepat dan hasil pengobatan yang baik dari cedera ke
saluran empedu.
Ultrasonografi Intraoperatif
Ultrasonografi Laparoskopi (LUS) adalah alternatif untuk IOC untuk penilaian anatomi
empedu intraoperatif. LUS dapat menggambarkan duktus choledocus; duktus sistikus-tautan
duktus choledocus; arteri hepatika; vena portal; anomali anatomi; khususnya vaskular; dan
choledocholithiasis. Kurva pembelajaran dikaitkan dengan LUS, diperkirakan 30 sampai 50
kasus.Visualisasi dari duktus choledocus distal lebih sulit dengan LUS, dan IOC juga memiliki
kelebihan mengkonfirmasikan aliran bebas empedu (kontras) ke dalam duodenum. Setelah
keahlian mengenai LUS tercapai, hal ini memakan waktu lebih sedikit dibanding IOC, tanpa
paparan radiasi, dan dapat diulang selama operasi. Biffl et al. melaporkan 842 kolesistektomi,
dengan latihan mereka awalnya dibagi mengenai LUS rutin. Mereka melaporkan LUS yang
terkait dengan komplikasi saluran empedu terjadi lebih sedikit (cedera saluran empedu, batu
yang tertahan, kebocoran saluran sistikus) daripada tanpa LUS. Pada meta-analisis mereka,
dilakukan penilaian akurasi LUS dalam mendeteksi choledocholithiasis, Aziz et al. melaporkan
sensitivitas 0,87 dan spesifisitas 1,00, hampir identik dengan IOC (sensitivitas, 0,87;
spesifisitas, 0,99). Machi et al. telah menarik kesimpulan yang sama. SAGES Guideline
menetapkan bahwa literatur tersebut menyediakan data Level II, Grade B baik untuk LUS
maupun IOC sebagai sarana untuk menggambarkan anatomi bilier dan mencegah cedera
saluran empedu. Teknologi lainnya untuk menggambarkan anatomi bilier dan menghindari
cedera saluran empedu antara lain kolangiografi infrared pasif, kolangiografi cahaya,
kolangiografi fluoresensi near-infrared, dan kolangiografi hiperspektral.
KONSEP UTAMA: Waspada terhadap vena hepatika media.
Vena hepatika media membagi dua lobus kanan dan kiri dan biasanya berjalan beberapa
milimeter dari fossa kandung empedu. Pada 20% pasien, cabang dari vena hepatika media pada
dasarnya berada pada dasar kandung empedu. Saat melakukan kolesistektomi untuk kolesistitis
akut, “membaringkan” dinding kantong empedu dapat menyebabkan perdarahan yang
mengancam jiwa dengan cedera yang terjadi pada vena hepatika media (Gbr. 7).
Apa yang Harus Dilakukan Ketika Cedera Saluran Empedu Terjadi
Jika dikenali secara intraoperatif, seseorang harus menilai kemampuan dirinya untuk
memperbaiki cedera tersebut. Hasil terbaik bisa didapatkan dengan repair yang lebih awal,
Kecuali pada keadaan yang tidak biasa, hindari anastomosis duktus ke duktus; lakukan Roux-
Y tension-free. Jika ahli bedah tidak berpengalaman dengan repair seperti itu, biarkan saluran
empedunya dan Tempatkan drain segera di sebelah saluran dan transfer pasien. Keahlian ahli
bedah menangani komplikasi ini akan berdampak pada hasil jangka panjang. Jika arteri hepatic
juga telah terluka, mungkin sebaiknya tidak perlu memperbaiki saluran empedu segera, tetapi
tunggu beberapa bulan sampai ada kolateral yang berkembang. Parenkim hepar dapat lebih
mudah bertahan pada vena porta dengan kira-kira 70 -75% dari aliran darah parenkim dari vena
porta. Namun bagaimanapun, sistem biliar sangat tergantung pada aliran darah arteri.
Jika cedera diketahui setelah operasi, lakukan drain perkutan dan transfer pasien.
Penanganan yang ideal jika terjadi repair tertunda adalah menempatkan kolangiokateter
transhepatik perkutan (PTC) (yang sulit karena adanya dekompresi) dan drainase intraabdomen
(perkutan jika memungkinkan) untuk membatasi / mengalirkan peritonitis empedu. Duktus
choledocus akan menciptakan bekas luka di sekitar PTC dan,drain abdomen akan
menghentikan drain cairan empedu. Drain abdomen kemudian dapat disingkirkan, dan saluran
empedu dapat diperbaiki beberapa bulan kemudian. Jelas, PTC tidak bisa dijepit tetapi harus
tetap terhubung ke drainase eksternal.
KONSEP UTAMA
Lakukan kolesistektomi saat awal masuk rawat inap pada kolestitis akut
Lakukan kolesistektomi dalam 24-48 jam sejak masuk RS.
Ketahui error traps; Hindari hal-hal tersebut.
Teknik Semi-top-down
Pandangan kritis terhadap keselamatan
±IOC
± Ultrasonografi intraoperative
Bidang teraman untuk diseksi- terbuka atau laparoskopi pada dinding
kantong empedu.
Kadang-kadang, bidang paling aman yaitu dengan melihat sesuatu dari
dalam kantong empedu.
Hindari penggunaan kauter di dekat duktus choledocus atau tempat
dilakukan klip sebelumnya.
Ketahui kapan kolesistostomi adalah operasi yang tepat –dan tahu kapan
tidak boleh dioperasi.
Referensi