Anda di halaman 1dari 10

PAJAK DALAM ISLAM

Oleh
Abu Ibrahim Muhammad Ali

Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membiarkan manusia saling menzhalimi satu dengan yang
lainnya, Allah dengan tegas mengharamkan perbuatan zhalim atas diri-Nya, juga atas segenap
makhluk-Nya. [1] Kezhaliman dengan berbagai ragamnya telah menyebar dan berlangsung turun
temurun dari generasi ke generasi, dan ini merupakan salah satu tanda akan datangnya hari
kiamat sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda.

ْ َ ‫ي ْال َم ْر ُء ِب َما أ َ َخذَ ْال َما َل أ‬


ْ ‫من َحالَل أَم‬
‫من َح َرام‬ ٌ ‫لَ َيأْتِ َي َّن َعلَى النَّا س زَ َم‬
َّ ‫ان الَيُ َبال‬

“Sungguh akan datang kepada manusia suatu zaman saat manusia tidak peduli dari mana mereka
mendapatkan harta, dari yang halalkah atau yang haram” [HR Bukhari kitab Al-Buyu : 7]

Di antara bentuk kezhaliman yang hampir merata di tanah air kita adalah diterapkannya sistem
perpajakan yang dibebankan kepada masyarakat secara umum, terutama kaum muslimin, dengan
alasan harta tersebut dikembalikan untuk kemaslahatan dan kebutuhan bersama. Untuk itulah,
akan kami jelaskan masalah pajak ditinjau dari hukumnya dan beberapa hal berkaitan dengan
pajak tersebut, di antaranya ialah sikap kaum muslimin yang harus taat kepada pemerintah dalam
masalah ini. Mudah-mudahan bermanfaat.

DEFINISI PAJAK
Dalam istilah bahasa Arab, pajak dikenal dengan nama ‫( ْالعُ ْش ُر‬Al-Usyr) [2] atau ‫س‬ ُ ‫( ْال َم ْك‬Al-Maks),
ُ
atau bisa juga disebut ‫( لض َِّر ْيبَة‬Adh-Dharibah), yang artinya adalah ; “Pungutan yang ditarik dari
rakyat oleh para penarik pajak” [3]. Atau suatu ketika bisa disebut ‫( ْالخ ََرا ُج‬Al-Kharaj), akan tetapi
Al-Kharaj biasa digunakan untuk pungutan-pungutan yang berkaitan dengan tanah secara
khusus.[4]

Sedangkan para pemungutnya disebut ‫احبُ ْال َم ْك ِس‬


ِ ‫ص‬َ (Shahibul Maks) atau ‫ار‬
ُ ‫ش‬َّ ‫( ْال َع‬Al-Asysyar).

Adapun menurut ahli bahasa, pajak adalah : “ Suatu pembayaran yang dilakukan kepada
pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan dalam hal
menyelenggaraan jasa-jasa untuk kepentingan umum”[5]

MACAM-MACAM PAJAK
Diantara macam pajak yang sering kita jumpai ialah :

1. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yaitu pajak yang dikenakan terhapad tanah dan lahan dan
bangunan yang dimiliki seseorang.
2. Pajak Penghasilan (PPh), yaitu pajak yang dikenakan sehubungan dengan penghasilan
seseorang.
3. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
4. Pajak Barang dan Jasa
5. Pajak Penjualan Barang Mewam (PPnBM)
6. Pajak Perseroan, yaitu pajak yang dikenakan terhadap setiap perseroan (kongsi) atau badan
lain semisalnya.
7. Pajak Transit/Peron dan sebagainya.

ADAKAH PAJAK BUMI/KHARAJ ( ‫)الخ ََرا ُج‬ ْ DALAM ISLAM?


Imam Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitabnya Al-Mughni (4/186-121) menjelaskan bahwa
bumi/tanah kaum muslimin terbagi menjadi dua macam.

1. Tanah yang diperoleh kaum muslimin dari kaum kafir tanpa peperangan, seperti yang terjadi
di Madinah, Yaman dan semisalnya. Maka bagi orang yang memiliki tanah tersebut akan terkena
pajak kharaj/pajak bumi sampai mereka masuk Islam, dan ini hukumnya adalah seperti hukum
jizyah, sehingga pajak yan berlaku pada tanah seperti ini berlaku hanya terhadap mereka yang
masih kafir saja.

2. Tanah yang diperoleh kaum muslimin dari kaum kafir dengan peperangan, sehingga penduduk
asli kafir terusir dan tidak memiliki tanah tersebut, dan jadilah tanah tersebut wakaf untuk kaum
muslimin (apabila tanah itu tidak dibagi-bagi untuk kaum muslimin). Bagi penduduk asli yang
kafir maupun orang muslim yang hendak tinggal atau mengolah tanah tersebut, diharuskan
membayar sewa tanah itu karena sesungguhnya tanah itu adalah wakaf yang tidak bisa dijual dan
dimiliki oleh pribadi ; dan ini bukan berarti membayar pajak, melainkan hanya ongkos sewa
tanah tersebut.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa pajak pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
pernah diwajibkan atas kaum muslimin, dan pajak hanya diwajibkan atas orang-orang kafir saja.

HUKUM PAJAK DAN PEMUNGUTNYA MENURUT ISLAM


Dalam Islam telah dijelaskan keharaman pajak dengan dalil-dalil yang jelas, baik secara umum
atau khusus masalah pajak itu sendiri.

Adapun dalil secara umum, semisal firman Allah.

ِ ‫َيا أ َ ُّي َها الَّذِينَ آ َمنُوا َال ت َأ ْ ُكلُوا أَ ْم َوالَ ُك ْم َب ْينَ ُك ْم ِب ْال َب‬
‫اط ِل‬

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
cara yang batil….”[An-Nisa : 29]

Dalam ayat diatas Allah melarang hamba-Nya saling memakan harta sesamanya dengan jalan
yang tidak dibenarkan. Dan pajak adalah salah satu jalan yang batil untuk memakan harta
sesamanya

Dalam sebuah hadits yang shahih Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

ِ ‫ئ ُمس ِل ٍم إِالَّ بِ ِط ْي‬


ُ‫ب نَ ْف ٍس ِم ْنه‬ ٍ ‫الَ يَ ِح ُّل َما ُل ْام ِر‬

“Tidak halal harta seseorang muslim kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya” [6]
Adapun dalil secara khusus, ada beberapa hadits yang menjelaskan keharaman pajak dan
ancaman bagi para penariknya, di antaranya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda.

‫ار‬ ِ ‫ب ْال َم‬


ِ َّ‫كس فِ ْي الن‬ َ ‫اح‬
ِ ‫ص‬َ ‫ِإ َّن‬

“Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka” [HR Ahmad 4/109, Abu Dawud
kitab Al-Imarah : 7]

Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dan beliau berkata :”Sanadnya
bagus, para perawinya adalah perawi (yang dipakai oleh) Bukhari-Muslim, kecuali Ibnu Lahi’ah
; kendati demikian, hadits ini shahih karena yang meriwayatkan dari Abu Lahi’ah adalah
Qutaibah bin Sa’id Al-Mishri”.

Dan hadits tersebut dikuatkan oleh hadits lain, seperti.

ُ‫َّللاُ أَ ْن ي َُو ِليَه‬


َّ ‫ي‬ َ ‫ض‬ ِ ‫ت َر‬ ْ ‫يرا َعلَى ِم‬
ٍ ِ‫ص َر ُر َو ُ ْي ِفعِ ب ِْن ثَاب‬ ً ‫ض َم ْسلَ َمةُ ْبنُ َم ْخلَّ ٍد َو َكانَ أَ ِم‬َ ‫َّللاُ َع ْنهُ قَا َل َع َر‬
َّ ‫ي‬ ِ ‫َع ْن أَبِ ْي ْال َخي ِْر َر‬
َ ‫ض‬
‫ار‬ ْ
ِ َّ‫ب ال َم ْك ِس فِ ْي الن‬ َ ‫اح‬
ِ ‫ص‬َ ‫سلَّ َم يَقُ ْو ُل ِإ َّن‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َّ ‫س ْو َل‬
َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫س ِم ْعتُ َر‬ َ ‫ش ْو َر فَقَا َل ِإنِ ْي‬ ْ
ُ ُ‫الع‬

“Dari Abu Khair Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata ; “Maslamah bin Makhlad (gubernur di
negeri Mesir saat itu) menawarkankan tugas penarikan pajak kepada Ruwafi bin Tsabit
Radhiyallahu ‘anhu, maka ia berkata : ‘Sesungguhnya para penarik/pemungut pajak (diadzab) di
neraka”[HR Ahmad 4/143, Abu Dawud 2930]

Berkata Syaikh Al-Albani rahimahullah : “(Karena telah jelas keabsahan hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Lahi’ah dari Qutaibah) maka aku tetapkan untuk memindahkan hadits ini
dari kitab Dha’if Al-Jami’ah Ash-Shaghir kepada kitab Shahih Al-Jami, dan dari kitab Dha’if At-
Targhib kepada kitab Shahih At-Targhib” [7]

Hadits-hadits yang semakna juga dishahihkan oleh Dr Rabi Al-Madkhali hafidzahulllah dalam
kitabnya, Al-Awashim wal Qawashim hal. 45

Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang mengisahkan dilaksanakannya hukum rajam
terhadap pelaku zina (seorang wanita dari Ghamid), setelah wanita tersebut diputuskan untuk
dirajam, datanglah Khalid bin Walid Radhiyallahu ‘anhu menghampiri wanita itu dengan
melemparkan batu ke arahnya, lalu darah wanita itu mengenai baju Khalid, kemudian Khalid
marah sambil mencacinya, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

ْ ‫صلَّى َعلَ ْي َها َودُفِن‬


‫َت‬ َ َ‫احبُ َم ْك ٍس لَغُ ِف َر لَهُ ث ُ َّم أ َ َم َر بِ َها ف‬
ِ ‫ص‬َ ‫ت ت َْوبَةً لَ ْو ت َا َب َها‬ ْ ‫َم ْهالً يَا خَا ِلدُ فَ َو الَّ ِذ‬
ْ َ‫ي نَ ْف ِس ْي بِيَ ِد ِه لَ َقدْ ت َاب‬

“Pelan-pelan, wahai Khalid. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh dia telah
bertaubat dengan taubat yang apabila penarik/pemungut pajak mau bertaubat (sepertinya) pasti
diampuni. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan (untuk disiapkan
jenazahnya), maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menshalatinya, lalu dikuburkan” [HR
Muslim 20/5 no. 1695, Ahmad 5/348 no. 16605, Abu Dawud 4442, Baihaqi 4/18, 8/218, 221,
Lihat Silsilah Ash-Shahihah hal. 715-716]
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa dalam hadits ini terdapat beberapa
ibrah/hikmah yang agung diantaranya ialah : “Bahwasanya pajak termasuk sejahat-jahat
kemaksiatan dan termasuk dosa yang membinasakan (pelakunya), hal ini lantaran dia akan
dituntut oleh manusia dengan tuntutan yang banyak sekali di akhirat nanti” [Lihat : Syarah
Shahih Muslim 11/202 oleh Imam Nawawi]

KESEPAKATAN ULAMA ATAS HARAMNYA PAJAK


Imam Ibnu Hazm Al-Andalusi rahimahullah mengatakan dalam kitabnya, Maratib Al-Ijma (hal.
121), dan disetujui oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah :”Dan mereka (para ulama)
telah sepakat bahwa para pengawas (penjaga) yang ditugaskan untuk mengambil uang denda
(yang wajib dibayar) di atas jalan-jalan, pada pintu-pintu (gerbang) kota, dan apa-apa yang
(biasa) dipungut dari pasar-pasar dalam bentuk pajak atas barang-barang yang dibawa oleh
orang-orang yang sedang melewatinya maupun (barang-barang yang dibawa) oleh para pedagang
(semua itu) termasuk perbuatan zhalim yang teramat besar, (hukumnya) haram dan fasik.
Kecuali apa yang mereka pungut dari kaum muslimin atas nama zakat barang yang mereka
perjualbelikan (zakat perdagangan) setiap tahunnya, dan (kecuali) yang mereka pungut dari para
ahli harbi (kafir yang memerangi agama Islam) atau ahli dzimmi (kafir yang harus membayar
jizyah sebagai jaminan keamanan di negeri muslim), (yaitu) dari barang yang mereka
perjualbelikan sebesar sepersepuluh atau setengahnya, maka sesungguhnya (para ulama) telah
beselisih tentang hal tesebut, (sebagian) berpendapat mewajibkan negara untuk mengambil dari
setiap itu semua, sebagian lain menolak untuk mengambil sedikitpun dari itu semua, kecuali apa
yang telah disepakati dalam perjanjian damai dengan dengan ahli dzimmah yang telah disebut
dan disyaratkan saja” [8]

PAJAK BUKAN ZAKAT


Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah dalam kitabnya Syarh Ma’ani Al-Atsar (2/30-31),
berkata bahwa Al-Usyr yang telah dihapus kewajibannya oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam atas kaum muslimin adalah pajak yang biasa dipungut oleh kaum jahiliyah”. Kemudian
beliau melanjutkan : “… hal ini sangat berbeda dengan kewajiban zakat..” [9]

Perbedaan lain yang sangat jelas antara pajak dan zakat di antaranya.

1. Zakat adalah memberikan sebagian harta menurut kadar yang ditentukan oleh Allah bagi
orang yang mempunyai harta yang telah sampai nishabynya [10]. Sedangkan pajak tidak ada
ketentuan yang jelas kecuali ditentukan oleh penguasaa di suatu tempat.

2. Zakat berlaku bagi kaum muslimin saja, hal itu lantaran zakat berfungsi untuk menyucikan
pelakunya, dan hal itu tidak mungkin kita katakan kepada orang kafir [11] karena orang kafir
tidak akan menjadi suci malainkan harus beriman terlebih dahulu. Sedangkan pajak berlaku bagi
orang-orang kafir yang tinggal di tanah kekuasaan kaum muslimin

3. Yang dihapus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang penarikan sepersepuluh
dari harta manusia adalah pajak yang biasa ditarik oleh kaum jahiliyah. Adapun zakat, maka ia
bukanlah pajak, karena zakat termasuk bagian dari harta yang wajib ditarik oleh imam/pemimpin
dan dikembalikan/diberikan kepada orang-orang yang berhak. [12].
4. Zakat adalah salah satu bentuk syari’at Islam yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Sedangkan pajak merupakan sunnahnya orang-orang jahiliyah yang asal-
usulnya biasa dipungut oleh para raja Arab atau non Arab, dan diantara kebiasaan mereka ialah
menarik pajak sepersepuluh dari barang dagangan manusia yang melalui/melewati daerah
kekuasannya. [Lihat Al-Amwal oleh Abu Ubaid Al-Qasim]

PERSAKSIAN PARA SALAFUSH SHALIH TENTANG PAJAK


1. Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma pernah ditanya apakah Umar bin Khaththab Radhiyallahu
‘anhu pernah menarik pajak dari kaum muslimin. Beliau menjawab : “Tidak, aku tidak pernah
mengetahuinya” [Syarh Ma’anil Atsar 2/31]

2. Umar bin Abdul Aziz rahimahullah pernah menulis sepucuk surat kepada Adi bin Arthah, di
dalamnya ia berkata : “Hapuskan dari manusia (kaum muslimin) Al-Fidyah, Al-Maidah, dan
Pajak. Dan (pajak) itu bukan sekedar pajak saja, melainkan termasuk dalam kata Al-Bukhs yang
telah difirmankan oleh Allah.

ِ ‫اس أ َ ْشيَا َء ُه ْم َو َال تَ ْعث َ ْوا فِي ْاْل َ ْر‬


َ‫ض ُم ْف ِسدِين‬ ُ ‫َو َال ت َ ْب َخ‬
َ َّ‫سوا الن‬

“…Dan janganlah kamu merugikan/mengurangi manusia terhadap hak-hak mereka, dan


janganlah kamu berbuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan” [Hud : 85]

Kemudian beliau melanjutkan : “Maka barangsiapa yang menyerahkan zakatnya (kepada kita),
terimalah ia, dan barangsiapa yang tidak menunaikannya, maka cukuplah Allah yang akan
membuat perhitungan dengannya” [Ahkam Ahli Dzimmah 1/331]

3. Imam Ahmad rahimahullah juga mengharamkan pungutan pajak dari kaum muslimin,
sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitab Jami’ul Ulum wal Hikam
[13]

4. Imam Al-Jashshash rahimahullah berkata dalam kitabnya Ahkamul Qur’an (4/366) : “Yang
ditiadakan/dihapus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari pungutan sepersepuluh
adalah pajak yang biasa dipungut oleh kaum jahiliyah. Adapun zakat, sesungguhnya ia bukanlah
pajak. Zakat termasuk bagian dari harta yang wajib (untuk dikeluarkan) diambil oleh
imam/pemimpin (dikembalikan untuk orang-orang yang berhak)”

5. Imam Al-Baghawi rahimahullah berkata dalam kitabnya Syarh As-Sunnah (10/61) :” Yang
dimaksud dengan sebutan (‫احبُ ْال َم ْك ِس‬
ِ ‫ص‬َ )Shahibul Maks, adalah mereka yang biasa memungut
pajak dari para pedagang yang berlalu di wilayah mereka dengan memberi nama Al-Usyr (‫ار‬ ُ ‫ش‬ ْ
َّ ‫)ال َع‬.
Adapun para petugas yang bertugas mengumpulkan shadaqah-shadaqah atau yang bertugas
memungut upeti dari para ahli dzimmah atau yang telah mempunyai perjanjian (dengan
pemerintah Islam), maka hal ini memang ada dalam syari’at Islam selama mereka tidak
melampaui batas dalam hal itu. Apabila mereka melampaui batas maka mereka juga berdosa dan
berbuat zhalim. Wallahu a’lam.

6. Imam Syaukani rahimahullah dalam kitabnya, Nailul Authar (4/279) mengatakan : “Kata
Shahibul Maks (‫احبُ ْال َم ْك ِس‬
ِ ‫ص‬َ )adalah para pemungut pajak dari manusia tanpa haq”.
7. Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dalam kitabnya, Huquq Ar-Ra’iy war Ra’iyyah, mengatakan :
“Adapun kemungkaran seperti pemungutan pajak, maka kita mengharap agar pemerintah
meninjau ulang (kebijakan itu)”.

PEMERINTAH BERHAK ATAS RAKYATNYA


Berkata Imam Ibnu Hazm rahimahullah dalam kitabnya, Al-Muhalla (4/281) ; “Orang-orang
kaya ditempatnya masing-masing mempunyai kewajiban menolong orang-orang fakir dan
miskin, dan pemerintah pada saat itu berhak memaksa orang-orang kaya (untuk menolong fakir-
miskin) apabila tidak ditegakkan/dibayar zakat kepada fakir-miskin..”

Ibnu Hazm rahimahullah berdalil dengan firman Allah.

َّ ‫ت ذَا ْالقُ ْربَ ٰى َحقَّهُ َو ْال ِم ْسكِينَ َوابْنَ ال‬


‫سبِي ِل‬ ِ ‫َوآ‬

“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin, dan
orang yang dalam perjalanan ….” [Al-Isra : 26]

Dalam ayat di atas dan nash-nash semisalnya, seperti Al-Qur’an surat An-Nisa ; 36, Muhammad
: 42-44 dan hadits yang menunjukkan bahwa : “Siapa yang tidak mengasihi orang lain maka dia
tidak dikasihi oleh Allah” [HR Muslim : 66], semuanya menunjukkan bahwa orang-orang fakir
dan miskin mempunyai hak yang harus ditunaikan oleh orang-orang kaya. Dan barangsiapa (di
antara orang kaya melihat ada orang yang sedang kelaparan kemudian tidak menolongnya, maka
dia tidak akan dikasihi oleh Allah: [16]

BAGAIMANA SIKAP KAUM MUSLIMIN TERHADAP PAJAK?


Setelah jelas bahwa pajak merupakan salah satu bentuk kezhaliman yang nyata, timbul
pertanyaan : “Apakah seorang muslim menolak dan menghindar dari praktek pajak yang sedang
berjalan atau sebaliknya?”

Jawabnya.
Setiap muslim wajib mentaati pemimpinnya selama pemimpin itu masih dalam kategori muslim
dan selama pemimpinnya tidak memerintahkan suatu kemaksiatan. Memang, pajak termasuk
kezhaliman yang nyata. Akan tetapi, kezhaliman yang dilakukan pemipimpin tidak membuat
ketaatan rakyat kepadanya gugur/batal, bahkan setiap muslim tetap harus taat kepada
pemimpinnya yang muslim, selama perintahnya bukan kepada kemaksiatan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan kepada para sahabatnya Radhiyallahu


‘anhum bahwa akan datang di akhir zaman para pemimpin yang zhalim. Kemudian beliau
ditanya tentang sikap kaum muslimin : “Bolehkah melawan/memberontak?”. Lalu Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab ; “Tidak boleh! Selagi mereka masih menjalankan
shalat” [15]

Bahkan kezhaliman pemimpin terhadap rakyatnya dalam masalah harta telah dijelaskan oleh
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaimana seharusnya rakyat menyikapinya. Dalam sebuah
hadits yang shahih, setelah berwasiat kepada kaum muslimin agar selalu taat kepada Allah,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada kaum muslimin supaya selalu
mendengar dan mentaati pemimpin walaupun seandainya pemimpin itu seorang hamba sahaya
(selagi dia muslim). [16]

Dijelaskan lagi dalam satu hadits yang panjang, setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjelaskan akan datangnya pemimin yang zahlim yang berhati setan dan berbadan manusia,
Hudzaifah bin Al-Yaman Radhiyallahu ‘anhu bertanya tentang sikap manusia ketika menjumpai
pemimpin seperti ini. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab.

َ‫ظ ْه َركَ َؤأَ َخذَ َمالَك‬


َ ‫ب‬ َ ‫أط ْع َوإِ ْن‬
َ ‫ض َر‬ ِ ‫اِ ْس َم ْع َو‬

“Dengarlah dan patuhlah (pemimpinmu)! Walaupun dia memukul punggungmu dan mengambil
(paksa) hartamu” [HR Muslim kitab Al-Imarah : 1847]

Fadhilatusy Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzahullah memberi alasan yang sangat tepat dalam
masalah ini. Beliau mengatakan : “Melawan pemimpin pada saat itu lebih jelek akibatnya
daripada sekedar sabar atas kezhaliman mereka. Bersabar atas kezhaliman mereka (memukul dan
mengambil harta kita) memang suatu madharat, tetapi melawan mereka jelas lebih besar
madharatnya, seperti akan berakibat terpecahnya persatuan kaum muslimin, dan memudahkan
kaum kafir menguasai kaum muslimin (yang sedang berpecah dan tidak bersatu) [17]

DIANTARA SUMBER PEMASUKAN NEGARA


Di antara sumber pemasukan negara yang pernah terjadi di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa salam ialah.

1. Zakat, yaitu kewajiban setiap muslim yang mempunyai harta hingga mencapai nishabnya. Di
samping pemilik harta berhak mengeluarkan sendiri zakatnya dan diberikan kepada yang
membutuhkan, penguasa juga mempunyai hak untuk menarik zakat dari kaum muslimin yang
memiliki harta, lebih-lebih apabila mereka menolaknya, kemudian zakat itu dikumpulkan oleh
para petugas zakat (amil) yang ditugaskan oleh pemimpinnya, dan dibagikan sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an surat At-Taubah : 60. Hal ini bisa
kita lihat dengan adanya amil-amil zakat yang ditugaskan oleh pemimpin kaum muslimin baik
yang terjadi pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam ataupun generasi berikutnya.

2. Harta warisan yang tidak habis terbagi. Di dalam ilmu waris (faraidh) terdapat pembahasan
harta yang tidak terbagi. Ada dua pendapat yang masyhur di kalangan para ahli faraidh. Pendapat
yang pertama, harus dikembalikan kepada masing-masing ahli waris disesuaikan dengan
kedekatan mereka kepada mayit, kecuali salah satu dari istri atau suami. Pendapat kedua
mengatakan, semua harta yang tidak terbagi/kelebihan, maka dikembalikan ke baitul mal/kas
negara. Walau demikian, suatu ketika harta yang berlebihan itu tidak bisa dikembalikan kepada
masing-masing ahli waris, semisal ada seorang meninggal dan ahli warisnya seorang janda saja,
maka janda tersebut mendapat haknya 1/6, dan sisanya –mau tidak mau- harus dikembalikan ke
baitul mal. [18]

3. Jizyah, adalah harta/upeti yang diambil dari orang-orang kafir yang diizinkan tinggal di negeri
Islam sebagai jaminan keamanannya. [19]
4. Ghanimah dan fai’. Ghanimah adalah harta orang kafir (al-harbi) yang dikuasai oleh kaum
muslimin dengan adanya peperangan. Sedangkan fai’ adalah harta orang kafir al-harbi yang
ditinggalkan dan dikuasai oleh kaum muslimin tanpa adanya peperangan. Ghanimah sudah
ditentukan oleh Allah pembagiannya dalam Al-Qur’an surat Al-Anfal : 41, yaitu 4/5 untuk
pasukan perang sedangkan 1/5 yang tersisa untuk Allah, RasulNya, kerabat Rasul, para yatim,
fakir miskin, dan ibnu sabil. Dan penyalurannya melalui baitul mal. Sedangkan fai’
pembagiannya sebagaimana dalam Al-Qur’an surat Al-Hasyr : 7, yaitu semuanya untuk Allah,
RasulNya, kerabat Rasul, para yatim, fakir miskin, dan ibnu sabil. Dan penyalurannya (juga)
melalui mal.

5. Kharaj, hal ini telah kami jelaskan dalam point : Adakah Pajak Bumi Dalam Islam?”, diatas.

6. Shadaqah tathawwu, yaitu rakyat menyumbang dengan sukarela kepada negara yang
digunakan untuk kepentingan bersama.

7. Hasil tambang dan semisalnya.

Atau dari pemasukan-pemasukan lain yang dapat menopang anggaran kebutuhan pemerintah,
selain pemasukan dengan cara kezhaliman semisal badan usaha milik negara.

PENUTUP
Sebelum kami mengakhiri tulisan ini, perlu kiranya kita mengingat kembali bahwa kemiskinan,
kelemahan, musibah yang silih berganti, kekalahan, kehinaan, dan lainnya ; di antara sebabnya
yang terbesar tidak lain ialah dari tangan-tangan manusia itu sendiri. [Ar-Rum : 41]

Di antara manusia ada yang terheran-heran ketika dikatakan pajak adalah haram dan sebuah
kezhaliman nyata. Mereka mengatakan mustahil suatu negara akan berjalan tanpa pajak.

Maka hal ini dapat kita jawab : Bahwa Allah telah menjanjikan bagi penduduk negeri yang mau
beriman dan bertaqwa (yaitu dengan menjalankan perintah dan menjauhi laranganNya), mereka
akan dijamin oleh Allah mendapatkan kebaikan hidup mereka di dunia, lebih-lebih di akhirat
kelak, sebagaimana Allah berfirman.

َ‫ض َو ٰلَ ِك ْن َكذَّبُوا فَأ َ َخذْنَا ُه ْم ِب َما كَانُوا َي ْك ِسبُون‬


ِ ‫اء َو ْاْل َ ْر‬
ِ ‫س َم‬ ٍ ‫َولَ ْو أ َ َّن أ َ ْه َل ْالقُ َر ٰى آ َمنُوا َواتَّقَ ْوا لَفَتَحْ نَا َعلَ ْي ِه ْم َب َركَا‬
َّ ‫ت ِمنَ ال‬

“Seandainya penduduk suatu negeri mau beriman dan beramal shalih, niscaya Kami limpahkan
kepada merka berkah (kebaikan yang melimpah) baik dari langit atau dari bumi, tetapi mereka
mendustakan (tidak mau beriman dan beramal shalih), maka kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya” [Al-A’raf : 96]

Ketergantungan kita kepada diterapkannya pajak, merupakan salah satu akibat dari pelanggaran
ayat di atas, sehingga kita disiksa dengan pajak itu sendiri. Salah satu bukti kita melanggar ayat
di atas adalah betapa banyak di kalangan kita yang tidak membayar zakatnya terutama zakat mal.
Ini adalah sebuah pelanggaran. Belum terhitung pelanggaran-pelanggaran lain, baik yang
nampak atau yang samara.
Kalau manusia mau beriman dan beramal shalih dengan menjalankan semua perintah (di
antaranya membayar zakat sebagaimana mestinya) dan menjauhi segala laranganNya (di
antaranya menanggalkan beban pajak atas kaum muslimin), niscaya Allah akan berikan janji-
Nya yaitu keberkahan yang turun dari langit dan dari bumi.

Bukankah kita menyaksikan beberapa negeri yang kondisi alamnya kering lagi tandus, tetapi
tatkala mereka mengindahkan sebagian besar perintah Allah, maka mereka mendapatkan apa
yang dijanjikan Allah berupa berkah/kebaikan yang melimpah dari langit dan bumi, mereka
dapat merasakan semua kenikmatan dunia. Sebaliknya, betapa banyak negeri yang kondisi
alamnya sangat strategis untuk bercocok tanam dan sangat subur, tetapi tatkala penduduknya
ingkar kepada Allah dan tidak mengindahkan sebagian besar perintah-Nya, maka Allah hukum
mereka dengan ketiadaan berkah dari langit dan bumi mereka, kita melihat hujan sering turun,
tanah mereka subur nan hijau, tetapi mereka tidk pernah merasakan berkah yang mereka
harapkan. Allahu A’lam.

[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi I, Tahun VI/Sya’ban 1427/2006. Diterbitkan Oleh Lajnah
Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Alamat : Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]
_______
Footnote
[1]. Lihat Ali-Imran : 117 dan HR Muslim 2578 dari jalan Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu.
[2]. Lihat Lisanul Arab 9/217-218, Al-Mu’jam Al-Wasith hal. 602, Cet. Al-Maktabah Al-
Islamiyyah dan Mukhtar Ash-Shihah hal. 182
[3]. Lihat Lisanul Arab 9/217-218 dan 13/160 Cet Dar Ihya At-Turats Al-Arabi, Shahih Muslim
dengan syarahnya oleh Imam Nawawi 11/202, dan Nailul Authar 4/559 Cet Darul Kitab Al-
Arabi
[4]. Lihat Al-Mughni 4/186-203
[5]. Dinukil definisi pajak ini dari buku Nasehat Bijak Tuk Para Pemungut Pajak oleh Ibnu Saini
bin Muhammad bin Musa, dan sebagai amanah ilmiah kami katakan bahwa tulisan ini banyak
mengambil faedah dari buku tersebut.
[6]. Hadits ini shahih, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Jami’ush Shagir
7662, dan dalam Irwa’al Ghalil 1761 dan 1459.
[7]. Lihat Silsilah Ash-Shahihah jilid 7 bagian ke-2 hal. 1198-1199 oleh Al-Albani
[8]. Lihat Nasehat Bijak hal. 75-77 oleh Ibnu Saini, dan Al-washim wal Qawashim hal. 49 oleh
Dr Rabi Al-Madkhali.
[9]. Lihat Nasehat Bijak Tuk Pemungut Pajak hal. 88 oleh Ibnu Saini
[10]. Lihat At-Taubah : 60
[11]. Lihat Al-Mughni 4/200
[12]. Asal perkataan ini diucapkan oleh Al-Jashshah dalam Ahkamul Qur’an 4/366
[13]. Lihat Iqadh Al-Himmam Al-muntaqa Jami’ Al-Ulum wal Hikam hal. 157
[14]. Asal perkataan ini dinukil dari perkataan Ibnu Hazm rahimahullah, dengan penyesuaian.
(Lihat. Al-Muhalla bil-Atsar dengan tahqiq Dr Abdul Ghaffar Sulaiman Al-Bandari 4/281-282
[15]. HR Muslim : 1855 dari jalan Auf bin Malik Al-Asyja’i Radhiyallahu ‘anhu
[16]. Hadits no. 28 dalam kitab Al-Arbaun An-Nawawi diriwayatkan oleh Abu Dawud no 2676,
dan Ahmad 4/126.
[17]. Lihat Al-Fatawa As-Syar’iyah Fi Al-Qodhoya Al-Ashriyyah halaman.93
[18]. Lihat Al-Khulashoh Fi Ilmi Al-Faro’idh hal. 375-385
[19]. Lihat Lisan Al-Arab 2/280/281 cetakan Dar Ihya At-Turots

Sumber: https://almanhaj.or.id/2437-pajak-dalam-islam.html

Anda mungkin juga menyukai