Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

“CIDERA KEPALA SEDANG ”

DI RUANGAN IGD

RSU WONOLANGAN

Dosen Pembimbing:

Di Susun Oleh:

Umi Asiseh
14201.07.15024

PROGRAM SARJANA KEPERAWATAN

PESANTREAN HASHAWATY ZAINUL HASAN

PROBOLINGGO

2018 – 2019
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

“ANSIETAS ”

DI RUANGAN RANAP I

Probolinggo, 02 Juli 2019

Mahasiswa

Pembimbing Ruangan Pembimbing Akademik

Kepala Ruangan
A. ANATOMI

B. FISIOLOGI

a. Otak

Otak merupakan alat tubuh yang sangat penting karena merupkan


pusat dari semua bagian tubuh. Bagian dari saraf sentral yang terletak di
dalam rongga tengkorak (kranium) dibungkus oleh selaput otak yang
kuat (syaifuddin, 2003).

Serebrum terdiri dari dua hemisfer serebri, korpus kolosum dan


korteks serebri. Masing-masing hemisfer serebri terdiri dari lobus
frontalis yang merupakan area motorik primer yang bertanggung jawab
untuk gerakan-gerakan voluntar, lobur parietalis yang berperanan pada
kegiatan memproses dan mengintegrasi informasi sensorik yang lebih
tinggi tingkatnya, lobus temporalis yang merupakan area sensorik untuk
impuls pendengaran dan lobus oksipitalis yang mengandung korteks
penglihatan primer, menerima informasi penglihatan dan menyadari
sensasi warna.

Serebelum terletak di dalam fosa kranii posterior dan ditutupi oleh


duramater yang menyerupai atap tenda yaitu tentorium, yang
memisahkannya dari bagian posterior serebrum. Fungsi utamanya adalah
sebagai pusat refleks yang mengkoordinasi dan memperhalus gerakan
otot, serta mengubah tonus dan kekuatan kontraksi untuk
mempertahankan keseimbangan sikap tubuh.
Bagian-bagian batang otak dari bawak ke atas adalah medula
oblongata, pons dan mesensefalon (otak tengah). Medula oblongata
merupakan pusat refleks yang penting untuk jantung, vasokonstriktor,
pernafasan, bersin, batuk, menelan, pengeluaran air liur dan muntah.
Pons merupakan mata rantai penghubung yang penting pada jaras
kortikosereberalis yang menyatukan hemisfer serebri dan serebelum.
Mesensefalon merupakan bagian pendek dari batang otak yang berisi
aquedikus sylvius, beberapa traktus serabut saraf asenden dan desenden
dan pusat stimulus saraf pendengaran dan penglihatan.

Diensefalon di bagi empat wilayah yaitu talamus, subtalamus,


epitalamus dan hipotalamus. Talamus merupakan stasiun penerima dan
pengintegrasi subkortikal yang penting. Subtalamus fungsinya belum
dapat dimengerti sepenuhnya, tetapi lesi pada subtalamus akan
menimbulkan hemibalismus yang ditandai dengan gerakan kaki atau
tangan yang terhempas kuat pada satu sisi tubuh. Epitalamus berperanan
pada beberapa dorongan emosi dasar seseorang. Hipotalamus berkaitan
dengan pengaturan rangsangan dari sistem susunan saraf otonom perifer
yang menyertai ekspresi tingkah dan emosi. (Sylvia A. Price, 2012).

b. Sirkulasi darah otak

Otak menerima 17 % curah jantung dan menggunakan 20 %


konsumsi oksigen total tubuh manusia untuk metabolisme aerobiknya.
Otak diperdarahi oleh dua pasang arteri yaitu arteri karotis interna dan
arteri vertebralis. Da dalam rongga kranium, keempat arteri ini saling
berhubungan dan membentuk sistem anastomosis, yaitu sirkulus Willisi.
(Satyanegara, 2008).

Arteri karotis interna dan eksterna bercabang dari arteria karotis


komunis kira-kira setinggi rawan tiroidea. Arteri karotis interna masuk ke
dalam tengkorak dan bercabang kira-kira setinggi kiasma optikum,
menjadi arteri serebri anterior dan media. Arteri serebri anterior memberi
suplai darah pada struktur-struktur seperti nukleus kaudatus dan putamen
basal ganglia, kapsula interna, korpus kolosum dan bagian-bagian
(terutama medial) lobus frontalis dan parietalis serebri, termasuk korteks
somestetik dan korteks motorik. Arteri serebri media mensuplai darah
untuk lobus temporalis, parietalis dan frontalis korteks serebri.

Arteria vertebralis kiri dan kanan berasal dari arteria subklavia sisi
yang sama. Arteri vertebralis memasuki tengkorak melalui foramen
magnum, setinggi perbatasan pons dan medula oblongata. Kedua arteri
ini bersatu membentuk arteri basilaris, arteri basilaris terus berjalan
sampai setinggi otak tengah, dan di sini bercabang menjadi dua
membentuk sepasang arteri serebri posterior. Cabang-cabang sistem
vertebrobasilaris ini jmemperdarahi medula oblongata, pons, serebelum,
otak tengah dan sebagian diensefalon. Arteri serebri posterior dan
cabang-cabangnya memperdarahi sebagian diensefalon, sebagian lobus
oksipitalis dan temporalis, aparatus koklearis dan organ-organ vestibular.
(Sylvia A. Price, 2012).

Darah di dalam jaringan kapiler otak akan dialirkan melalui


venula-venula (yang tidak mempunyai nama) ke vena serta di drainase ke
sinus duramatris. Dari sinus, melalui vena emisaria akan dialirkan ke
vena-vena ekstrakranial. (Satyanegara, 2008).

C. DEFINISI

Cedera kepala pada dasarnya dikenal dua macam mekanisme


trauma yang mengenai kepala yakni benturan dan goncangan (Gernardli
and Meany, 2015). Cedera Kepala sedang adalah suatu trauma yang
menyebabkan Kehilangan kesadaran dan amnesia lebih dari 30 menit
tetapi kurang dari 24 jam dapat mengalami fraktur tengkorak dengan GCS
9-12.

Cedera kepala yaitu adanya deformitas berupa penyimpangan


bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan
perlambatan (accelerasi – descelarasi) yang merupakan perubahan bentuk
dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan factor dan
penurunan percepatan, serta rotasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan
juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan
(Sylvia,2012).

D. ETIOLOGI

1. Trauma tumpul

a) Kecepatan tinggi : tabrakan motor dan mobil

b) Kecepatan rendah : terjatuh atau dipukul

2. Trauma tembus

luka tembus peluru dari cedera tembus lainnya

3. Jatuh dari ketinggian

4. Cedera akibat kekerasan

5. Cedera otak primer

Adanya kelainan patologi otak yang timbul segera akibat langsung


dari trauma. Dapat terjadi memar otak dan laserasi

6. Cedera otak sekunder

Kelainan patologi otak disebabkan kelainan biokimia metabolisme,


fisiologi yang timbul setelah trauma.

E. KLASIFIKASI STROKE

1. Cedera kepala Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan mekanisme,


keparahan dan morfologi cidera.

1. Mekanisme: berdasarkan adanya peterasi durameter

2. Trauma tumpul : kecepatan tinggi ( tabrakan otomobil )

Kecepatan rendah ( terjatuh,dipukul ).

3. Trauma tembus (luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya)


2. Keparahan cedera

a. Ringan : Skala koma Glasgow ( Glasgow Coma Scale, GCS ) 14-


15

b. Sedang : GCS 9-13

c. Berat : GCS 3-8

3. Morfologi

a. Fraktur tulang tengkorak : kranium : linear / stelatum; depresi / non


depresi; terbuka / tertutup, basisi : dengan / tanpa kebocoran cairan
cerebrospinal, dengan / tanpa kelumpuhan nervus VII..

b. Lesi intra cranial : fokal : epidural, subdural, intra cerebral , difusi:


konkusi ringan, konkusi klasik, cidera aksonal difus. ( Arief
Mansjoer, 2000 )

F. PATOFISIOLOGI

a. Cedera kulit kepala

Karena bagian ini banyak mengandung pembuluh darah, kulit


kepala berdarah bila mengalami cedera dalam. Kulit kepala juga
merupakan tempat masuknya infeksi intrakranial. Trauma dapat
menimbulkan abrasi, kontusio, laserasi atau avulsi.

b. Fraktur tengkorak

Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuitas tulang tengkorak


disebabkan oleh trauma. Ini dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan
otak. Adanya fraktur tengkorak biasanya dapat menimbulkan dampak
tekanan yang kuat. Fraktur tengkorak diklasifikasikan terbuka/tertutup.
Bila fraktur terbuka maka dura rusak dan fraktur tertutup dura tidak
rusak. Fraktur kubah kranial menyebabkan bengkak pada sekitar
fraktur dan karena alasan yang kurang akurat tidak dapat ditetapkan
tanpa pemeriksaan dengan sinar X, fraktur dasar tengkorak cenderung
melintas sinus paranasal pada tulang frontal atau lokasi tengah telinga
di tulang temporal, juga sering menimbulkan hemorragi dari hidung,
faring atau telinga dan darah terlihat di bawah konjungtiva. Fraktur
dasar tengkorak dicurigai ketika CSS keluar dari telinga dan hidung.

c. Cedera otak

Kejadian cedera “ Minor “ dapat menyebabkan kerusakan otak


bermakna. Otak tidak dapat menyimpan oksigen dan glukosa sampai
derajat tertentu yang bermakna sel-sel cerebral membutuhkan suplai
darah terus menerus untuk memperoleh makanan. Kerusakan otak
tidak dapat pulih dan sel-sel mati dapat diakibatkan karena darah yang
mengalir tanpa henti hanya beberapa menit saja dan kerusakan neuron
tidak dapat mengalami regenerasi.

d. Komosio

Komosio cerebral setelah cedera kepala adalah kehilangan fase


neurologik sementara tanpa kerusakan struktur. Jika jaringan otak dan
lobus frontal terkena, pasien dapat menunjukkan perilaku yang aneh
dimana keterlibatan lobus temporal dapat menimbulkan amnesia
disorientasi.

e. Kontusio

Kontusio cerebral merupakan CKB, dimana otak mengalami


memar dan kemungkinan adanya daerah hemoragi. Pasien berada pada
periode tidak sadarkan diri. Pasien terbaring kehilangan gerakan,
denyut nadi lemah, pernafasan dangkal, kulit dingin dan pucat.

f. Hemoragi cranial

Hematoma (pengumpulan darah) yang terjadi dalam tubuh kranial


adalah akibat paling serius dari cedera kepala. Ada 3 macam
hematoma:

a) Hematoma Epidural (hematoma Ekstradural)


Setelah terjadi cedera kepala, darah berkumpul di
dalam ruang epidural (ekstradural) diantara tengkorak di
dura. Keadaan ini sering diakibatkan dari fraktur tulang
tengkorak yang menyebabkan arteri meningkat tengah
putus atau rusak (laserasi), dimana arteri ini berada diantara
dura dan tengkorak daerah frontal inferior menuju bagian
tipis tulang temporal, hemoragi karena arteri ini
menyebabkan penekanan pada otak.

b) Hematoma subdural

Hematoma subdural adalah pengumpulan darah


diantara dura dan dasar otak, yang pada keadaan normal
diisi oleh cairan. Hemoragi subdural lebih sering terjadi
pada vena dan merupakan akibat putusnya pembuluh darah
kecil yang menjembatani ruang subdural. Hematoma
subdural dapat terjadi akut, sub akut atau kronik tergantung
pada ukuran pembuluh darah yang terkena dan jumlah
perdarahan yang ada. Hematoma subdural akut:
dihubungkan dengan cedera kepala mayor yang meliputi
kontusio atau laserasi. Hematoma subdural subakut: sekrela
kontusio sedikit berat dan dicurigai pada bagian yang gagal
untuk menaikkan kesadaran setelah trauma kepala.
Hematoma subdural kronik: dapat terjadi karena cedera
kepala minor dan terjadi paling sering pada lansia. Lansia
cenderung mengalami cedera tipe ini karena atrofi otak,
yang diperkirakan akibat proses penuaan.

c) Hemoragi Intra cerebral dan hematoma

Hematoma intracerebral adalah perdarahan ke


dalam substansi otak. Hemoragi ini biasanya terjadi pada
cedera kepala dimana tekanan mendesak kepala sampai
daerah kecil. Hemoragi in didalam menyebabkan
degenerasi dan ruptur pembuluh darah, ruptur kantong
aneorima vasculer, tumor infracamal, penyebab sistemik
gangguan perdarahan.

Trauma otak mempengaruhi setiap sistem tubuh.


Manifestasi klinis cedera otak meliputi:

a. Gangguan kesadaran
b. Konfusi
c. Sakit kepala, vertigo, gangguan pergerakan
d. Tiba-tiba defisit neurologik
e. Perubahan TTV
f. Gangguan penglihatan
g. Disfungsi sensorik
h. lemah otak
G. PATHWAYS
Trauma kepala

Ekstra kranial Tulang kranial Intra kranial

Terputusnya kontinuitas Terputusnya kontinuitas Jaringan otak rusak (kontusio,


jaringan kulit, otot dan jaringan tulang laserasi)
vaskuler

Gangguan suplai
darah Resiko Nyeri - Perubahan
infeksi autoregulasi
- Perdarah - Oedema serebral
an
- Iskemia
hematom
a
Hipoksia Perubahan perfusi kejang
jaringan

Perubahan sirkulasi Gangg. Fungsi otak Gangg. - Bersihan


CSS Neurologis jln nafas
fokal - Obstruksi
jln. Nafas
Peningkatan TIK  Mual-muntah - Dispnea
 Papilodema - Henti
nafas
 Pandangan - Perubaha
n. Pola nafas
kabur
Defisit neurologis

Girus medialis lobus


temporalis tergeser Resiko tidak
Gangg. Persepsi
Resiko kurangnya efektif jln nafas
sensori
volume cairan

Herniasi unkus
Tonsil cerebrum tergeser Kompresi medula oblongata

Messenfalon tertekan

Resiko gangg.
Resiko injuri
Gangg. Integritas kulit
kesadaran immobilitasi

Kurangnya
cemas
perawatan diri
H. MANIFESTASI KLINIS

a. Keadaan kulit kepala dan tulang tengkorak.

a) Trauma kepala tertutup

b) Trauma kepala terbuka

b. Trauma pada jaringan otak

a) Konkosio : di tandai adanya kehilangan kesadaran


sementara tanpa adanya kerusakan jaringan otak, terjadi
edema serebral.

b) Kontosio : di tandai oleh adanya perlukaan pada


permukaan jaringan otak yang menyebabkan perdarahan
pada area yang terluka, perlukaan pada permukaan jaringan
otak ini dapat terjadi pada sisi yang terkena ( coup) atau
pada permukaan sisi yang berlawanan (contra coup).

c) Laserasi : ditandai oleh adanya perdarahan ke ruang


subaraknoid, ruang epidural atau subdural.Perdarahan yang
berasal dari vena menyebabkan lambatnya pembentukan
hematome, karena rendahnya tekanan. Laserasi arterial
ditandai oleh pembentukan hematome yang cepat karena
tingginya tekanan.

1. Hematom epidural.

a. Perdarahan anatara tulang tengkorak dan duramater.

b. Lokasi tersering temporal dan frontal.

c. Sumber : pecahnya pembuluh darah meningen dan sinus


venosus.

d. Katagori talk and die.

e. Gejala : (manifestasi adanya proses desak ruang).


f. Penurunan kesadaran ringan saat kejadian —– periode Lucid
(beberapa menit – beberapa jam) —- penurunan kesadaran
hebat — koma, deserebrasi, dekortisasi, pupil an isokor, nyeri
kepala hebat, reflek patologik positip.

2. Hematom subdural.

a. Perdarahan antara duramater dan arachnoid.

b. Biasanya pecah vena — akut, sub akut, kronis.

a) Akut :

I. Gejala 24 – 48 jam.

II. Sering berhubungan dnegan cidera otak &


medulla oblongata.
III. PTIK meningkat.
IV. Sakit kepala, kantuk, reflek melambat, bingung,
reflek pupil lambat.

b) Sub Akut :

I. Berkembang 7 – 10 hari, kontosio agak berat,


adanya gejal TIK meningkat
II. Kesadaran menurun.

c) Kronis :

I. Ringan , 2 minggu – 3 – 4 bulan.


II. Perdarahan kecil-kecil terkumpul pelan dan
meluas.
III. Gejala sakit kepala, letargi, kacau mental,
kejang, disfagia.

3. Hematom intrakranial.

a. Perdarahan intraserebral ± 25 cc atau lebih, diikuti oleh


kontosio.
b. Penyebab : Fraktur depresi, penetrasi peluru, gerakan
akselerasi – deselerasi mendadak.

c. Herniasi merupakan ancaman nyata, adanya bekuan darah,


edema lokal.

I. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. CT-Scan (dengan/ tanpa kontras)

Mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran


ventrikuler, pergeseran jaringan otak.

b. Aniografi Cerebral

Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran


jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma

c. X-Ray

Mengidentifikasi atau mendeteksi perubahan struktur tulang


(fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan/ edema)

d. AGD (Analisa Gas Darah)

Mendeteksi ventilasi atau masalah pernapsan (oksigenisasi)


jika terjadi peningkatan intracranial

e. Elektrolit

Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebgai akibat


peningkatan tekanan intracranial

J. PENATALAKSANAAN

Pedoman Resusitasi Dan Penilaian Awal


a. Menilai jalan nafas: bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan,
lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal segaris dengan badan
dengan memasang kolar servikal, pasang guedel bila dapat ditolerir,
jika cedera orofasial mengganggu jalan nafas, bila pasien harus
diintubasi.

b. Menilai penafasan: tentukan apakah pasien bernafas sepontan atau


tidak. Jika tidak beri oksigen melalui masker oksigen Jika pasien
bernafas spontan, selidiki dan atasi cedera dada berat seperti
pneumotoraks, pneumotoraks tensif, hemopneumotoraks.Pasang
oksimeter nadi,jika tersedia, dengan tujuan menjaga satutasi oksigen
minimum 95%. Jika jalan nafas pasien tidak terlindungi bahkan
terancam atau memperoleh oksigen yang adekuat ( PaO2 > 95 mmHg
dan PaCO2 < 40 mmHg serta saturasi O2 > 95 % ) atau muntah maka
pasien harus diintubasi oleh ahli anestesi.

c. Menilai sirkulasi: Otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi.


Hentikan semua perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan
secara khusus adanya cedera intraabdomen atau dada. Ukur dan catat
frekuensi denyut jantung dan tekanan darah, pasang alat pemantau dan
EKG bila tersedia. Pasang alur intravena yang besar, ambil darah vena
untuk pemeriksaan darah perifer lengkap, ureum, elektrolit, glukosa,
dan analisis gas darah arteri. Berikan larutan koloid. Sedangkan larutan
kristaloid ( dekstrosa atau dekstrosa dalam salin ) menimbulkan
eksaserbasi edema otak pascacedera kepala. Keadaan hipotensi,
hipoksia, dan hiperkapnia memperburuk cedera kepala.

d. Obati kejang: kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan
harus diobati. Mula-mula berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-
lahan dan dapat diulangi sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak
berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kgBB diberika intravena
perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit.

e. Menilai tingkat keparahan


a. Cedera kepala sedang ( kelompok resiko sedang )

I. Skor skala koma Glasgow 9-14 ( konfusi, latergi, atau stupor )


II. Konkusi ( tidak terjadi kerusakan struktural )
III. Amnesia pasca-trauma
IV. Muntah
V. Tanda kemungkinan fraktur kranium ( tanda Battle,
hemotimpanum, otorea ( keluar cairan dari telinga ) atau
rinorea ( keluar cairan dari hidung )
VI. Kejang

Penatalaksanaan Khusus

1. Cedera kepala sedang:

pasien yang menderita konkusi otak (komosio), dengan


skala koma Glasgow 15 ( sadar penuh, orientasi baik dan
mengikuti perintah ) dan CT Scan normal, tidak perlu dirawat.
Pasien ini dapat dipulangkan untuk observasi dirumah. meskipun
terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing atau amnesia. Resiko
timbulnya lesi intracranial lanjut yang bermakna pada pasien
dengan cedera kepala sedang adalah minimal.

2. Penilaian ulang jalan nafas dan ventilasi: umumnya,

pasien dengan stupor atau koma ( tidak dapat mengikuti


perintah karena derajat kesadaran menurun ) harus diintubasi untuk
proteksi jalan nafas. Jika tidak ada bukti tekanan intrakranial
meninggi, parameter ventilasi harus diatur sampai pCO2 40 mmHg
dan pO2 90-100 mmHg.

Monitor tekanan darah: jika pasien memperlihatkan tanda


ketidakstabilan hemodinamik ( hipotensi atau hipertensi ),
pemantauan paling baik dilakukan dengan keteter arteri. Karena
autoregulasi sering terganggu pada cedera kepal akut, maka
tekanan arteri rata-rata harus dipertahankan untuk menghindarkan
hipotensi ( < 70 mmHg ) hipertensi ( > 130 mmHg ). Hipotensi
dapat menyebabkan iskemia otak sedangkan hipertensi dapat
mengeksaserbasi serebri.

3. Pemasangan alat monitor tekanan intracranial pada pasien dengan


skor GCS < 8, bila memungkinkan

4. Penatalaksanaan cairan: hanya larutan isotonis ( salin normal atau


Ringer laktat ) yang diberikan kepada pasien dengan cedera kepala
karena air bebas tambahan dalam salain 0,45% atau dekstrosa 5 %
dalam air (D5W) dalam menimbulkan eksaserbasi edema serebri.

5. Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik


dan katabolik, dengan keperluan 50-100 % lebih tinggi dari
normal. Pemberian makanan enteral melalui pipa nasogastrik atau
nasoduodenal harus diberikan sesegera mungkin ( biasanya hari ke
2 perawatan )

6. Temperatur badan: demam ( temperature > 101 derajat F )


mengeksaserbasi cedera otak dan harus diobati secara agresif
dengan asetaminofen atau kompres dingin. Pengobatan penyebab
( antibiotik ) diberikan bila perlu.

7. Anti kejang: fenitoin 15-20 mgkg BB bolus intravena, kemudian


300 mg/hari intravena mengurangi frekuensi kejang pascatrauma
dini ( minggu pertama ) dari 14 % menjadi 4 % pada pasien dengan
perdarahan intracranial traumatik. Pemberian fenitoin tidak
mencegah timbulnya epilepsi pascatrauma dikemudian hari. Jika
pasien tidak menderita kejang, fenitoin harus dihentikan setelah 7-
10 hari. Kadar fenitoin harus dipantau ketat karean kadar subtrapi
sering disebabkan hipermetabolisme fenitoin.

K. KOMPLIKASI

a. Edema Pulmonalis
Komplikasi paru-paru yang serius pada cedera kepala
adalah edema paru. Ini mungkin terutama berasal dari
gangguan neurologis atau akibat dari sindrom distress
pernapasan dewasa. Edema paru dapat akibat dari cedera otak
yang menyebabkan adanya Refleks Cusihing. Peningkatan
pada tekanan darah simtemik terjadi sebagai respons dari
system saraf simpatis pada peningkatan TIK.

b. Kejang

Kejang terjadi kira-kira 10% dari pasien cedera kepala


selama fase akut. Satu-satunya tindakan medis terhadap kejang
adalah terapi obat. Diazepam merupakan obat yang paling
banyak dipergunakan dan diberikan secara perlahan melalui
intravena.

c. Kebocoran Cairan Serebrospinal

Hal yang tidak umum pada beberapa pasien cedera kepala


dengan fraktur tengkorak untuk mengalami kebocoran CSS
dari telinga atau hidung. Hal ini dapat akibat dari fraktur pada
fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur tengkorak
basilar bagian petrous dari tulang temporal. ( Hudak,1996 )

Pemeriksaan Saraf Kranial

a) Fungsi Saraf Kranial I (N. Olfaktorius)


Pastikan rongga hidung tidak tersumbat oleh apapun dan
cukup bersih. Lakukan pemeriksaan dengan menutup sebelah
lubang hidung klien dan dekatkan bau-bauan seperti kopi dengan
mata tertutup klien diminta menebak bau tersebut. Lakukan untuk
lubang hidung yang satunya.
b) Fungsi saraf kranial II (N. Optikus)
I. Catat kelainan pada mata seperti katarak dan infeksi
sebelum pemeriksaan. Periksa ketajaman dengan membaca,
perhatikan jarak baca atau menggunakan snellenchart untuk
jarak jauh.
II. Periksa lapang pandang: Klien berhadapan dengan
pemeriksa 60-100 cm, minta untuk menutup sebelah mata
dan pemeriksa juga menutup sebelah mata dengan mata
yang berlawanan dengan mata klien. Gunakan benda yang
berasal dari arah luar klien dank lien diminta ,
mengucapkan ya bila pertama melihat benda tersebut.
Ulangi pemeriksaan yang sama dengan mata yang
sebelahnya. Ukur berapa derajat kemampuan klien saat
pertama kali melihat objek. Gunakan opthalmoskop untuk
melihat fundus dan optic disk (warna dan bentuk)
c) Fungsi saraf kranial III, IV, VI (N. Okulomotoris, Troklear dan
Abdusen)
Pada mata diobservasi apakah ada odema palpebra, hiperemi
konjungtiva, dan ptosis kelopak mata
I. Pada pupil diperiksa reaksi terhadap cahaya, ukuran pupil,
dan adanya perdarahan pupil
II. Pada gerakan bola mata diperiksa enam lapang pandang
(enam posisi cardinal) yaitu lateral, lateral ke atas, medial
atas, medial bawah lateral bawah. Minta klien mengikuti
arah telunjuk pemeriksa dengan bolamatanya
d) Fungsi saraf kranial V (N. Trigeminus)
I. Fungsi sensorik diperiksa dengan menyentuh kilit wajah
daerah maxilla, mandibula dan frontal dengan
mengguanakan kapas. Minta klien mengucapkan ya bila
merasakan sentuhan, lakukan kanan dan kiri.
II. Dengan menggunakan sensori nyeri menggunakan ujung
jarum atau peniti di ketiga area wajah tadi dan minta
membedakan benda tajam dan tumpul.
III. Dengan mengguanakan suhu panas dan dingin juag dapat
dilakukan diketiga area wajah tersebut. Minta klien
menyebabkanutkan area mana yang merasakan sentuhan.
Jangan lupa mata klien ditutup sebelum pemeriksaan.
IV. Dengan rasa getar dapat pukla dilakukan dengan
menggunakan garputala yang digetarkan dan disentuhkan
ke ketiga daerah wajah tadi dan minta klien mengatakan
getaran tersebut terasa atau tidak
V. Pemerikasaan corneal dapat dilakukan dengan meminta
klien melihat lurus ke depan, dekatkan gulungan kapas kecil
dari samping kea rah mata dan lihat refleks menutup mata.
VI. Pemeriksaan motorik dengan mengatupkan rahang dan
merapatkan gigi periksa otot maseter dan temporalis kiri
dan kanan periksa kekuatan ototnya, minta klien melakukan
gerakan mengunyah dan lihat kesimetrisan gerakan
mandibula.
e) Fungsi saraf kranial VII (N. Fasialis)
I. Fungsi sensorik dengan mencelupkan lidi kapas ke air
garam dan sentuhkan ke ujung lidah, minta klien
mengidentifikasi rasa ulangi untuk gula dan asam
II. Fungsi motorik dengan meminta klien tersenyum, bersiul,
mengangkat kedua alis berbarengan, menggembungkan
pipi. Lihat kesimetrisan kanan dan kiri. Periksa kekuatan
otot bagian atas dan bawah, minta klien memejampan mata
kuat-kuat dan coba untuk membukanya, minta pula klien
utnuk menggembungkan pipi dan tekan dengan kedua jari.
f) Fungsi saraf kranial VIII (N. Vestibulokoklear)
I. cabang vestibulo dengan menggunakan test pendengaran
mengguanakan weber test dan rhinne test
II. Cabang choclear dengan rombreng test dengan cara
meminta klien berdiri tegak, kedua kaki rapat, kedua lengan
disisi tubuh, lalu observasi adanya ayunan tubuh, minta
klien menutup mata tanpa mengubah posisi, lihat apakah
klien dapat mempertahankan posisi
g) Fungsi saraf kranial IX dan X (N. Glosovaringeus dan Vagus)
I. Minta klien mengucapkan aa lihat gerakan ovula dan
palatum, normal bila uvula terletak di tengan dan palatum
sedikit terangkat.
II. Periksa gag refleks dengan menyentuh bagian dinding
belakang faring menggunakan aplikator dan observasi
gerakan faring.
III. Periksa aktifitas motorik faring dengan meminta klien
menel;an air sedikit, observasi gerakan meelan dan
kesulitan menelan. Periksa getaran pita suara saat klien
berbicara.
h) Fungsi saraf kranial XI(N. Asesoris)
I. Periksa fungsi trapezius dengan meminta klien
menggerakkan kedua bahu secara bersamaan dan observasi
kesimetrisan gerakan.
II. Periksa fungsi otot sternocleidomastoideus dengan meminta
klien menoleh ke kanan dan ke kiri, minta klien
mendekatkan telinga ke bahu kanan dan kiri bergantian
tanpa mengangkat bahu lalu observasi rentang pergerakan
sendi
III. Periksa kekuatanotottrapezius dengan menahan kedua bahu
klien dengan kedua telapak tangan danminta klien
mendorong telapak tangan pemeriksa sekuat-kuatnya ke
atas, perhatikan kekuatan daya dorong.
IV. Periksa kekuatan otot sternocleidomastoideus dengan
meminta klien untuk menoleh kesatu sisi melawan tahanan
telapak tangan pemeriksa, perhatikan kekuatan daya dorong
i) Fungsi saraf kranial XII (N. Hipoglosus)
Periksa pergerakan lidah, menggerakkan lidah ke kiri dan
ke kanan, observasi kesimetrisan gerakan lidah
Periksa kekuatan lidah dengan meminta klien mendorong salah
satu pipi dengan ujung lidah, dorong bagian luar pipi dengan ujung
lidah, dorong kedua pipi dengan kedua jari, observasi kekuatan
lidah, ulangi pemeriksaan sisi yang lain.

ASUHAN KEPERAWATAN TEORI

A. Pengkajian (Assesment)
Anamnesis pada Cidera otak sedang meliputi identitas klien,
keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat
penyakit keluarga dan pengkajian psikososial.
a. Identitas Klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis
kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa,
tanggal dan jam MRS, no register dan diagnosa medis.
b. Keluhan Utama
Sering kali menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan
kesehatan adalahpasien tidak tersadarkan diri, terjadi perdarahan,
tidak dapat berkomonikasi, dan penurunan tingkat kesadaran.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
merupakan rangkaian kejadianmulai dari terjadinya trauma sehingga
klien masuk rumah sakit. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual,
muntah bahkan kejang sampai tidak sadar, selain gejala perdarahan
atau gangguan fungsi otak yang lain. Adanya penurunan atau
perubaha pada tingkat kesadaran disebabkan perubahan didalam
intrakranial. Keluhan perubahan prilaku juga umum terjadi. Sesuai
perkembangan penyakit, terjdi letargi, tidak resporsif dan koma.
d. Penyakit Dahulu
Adanya riwayat hiprtensi, riwayat strok sebelumnya, diabetes
meletus, penykit jantung, anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi
oral yang lama, penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin,
vasodilator, obat-obat adiktif, dan kegemukan. Pengkajian
pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien, seperti pemakaian
obat anti hipertensi, anti lepedemia, penghambat beta, dan lainnya.
Adanya riwayat merokok, penggunaan alkohol dan penggunaan obat
kontrasepsi oral. Penyakit riwayat ini dapat mendukung pengkajian
dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk
mengkaji lebih jauh dan untuk memberika tindakan selanjutnya.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Meliputi susunan anggota keluarga khususnya yang kemungkinan
biasa berpengaruh pada kesehatan anggota keluarga yang lain.
B. Pemeriksaan Fisik :

a) pada dasarnya dalam pemeriksaan fisik menggunakan pendekatan


secara sistematik yaitu : inspeksi, palpasi, auskultasi dan perkusi
a) Keadaan Umum
Meliputi tanda-tanda vital, BB/TB,
b) Kesadaran
Skala Koma Glasgow ( Glasgow Coma Scale, GCS )
1.Respon membuka mata ( E )
I. Membuka mata dengan spontan ( 4 )
II. Membuka mata dengan perintah ( 3 )
III. Membuka mat dengan rangsangan nyeri ( 2 )
IV. Tidak reaksi reaksi apapun ( 1 )
2. Respon motorik ( M )
I. mengikuti perintah ( 6 )
II. melokalisir nyeri ( 5 )
III. menghindar nyeri ( 4 )
IV. fleksi abnormal ( 3 )
V. ekstensi abnormal ( 2 )
VI. Tidak ada reaksi apapun ( 1 )
3. Respon verbal ( V )
I. orientasi baik dan sesuai ( 5 )
II. disorienasi tempat dan waktu ( 4 )
III. bicara kacau ( 3 )
IV. mengerang ( 2 )
V. tidak ada reaksi papaun ( 1 )
C. Pemeriksaan head to toe

1. Kepala dan rambut


Dikaji bentuk kepala, kesemetrisan, keadaan kulit kepala
2. Wajah
Struktur wajah, warna kulit, ekspresi
3. Mata
Bentuk bola mata,ada tidaknya gerakan kelainan pada bola mata

4. Hidung
Kesemetrisan, kebersihan
5. Telinga
Kesemtrisan, kebersihan dan tidaknya kelainan fungsi
pendengaran
6. Mulut dan bibir
Kesemetrisan bibir, kelembaban, mukosa, kebersihan mulut.
7. Gigi
Jumlah gigi lengkap atau tidak, kebersihan, ada tidaknya
peradangan pada gusi, ada tidaknya caries.
8. Leher
Posisi trakea ( deviasi trachea ), ada tidaknya pembesaran kelenjar
tiroid atau vena jugularis.
9. Integumen
Meliputi warna, kebersihan, turgor, tekstur kulit, dan kelembaban,
perubahan bentuk dan warna pada kulit.
10. Thorax
Dikaji kesemetrisannya, ada tidaknya suara redup pada perkusi,
kesemetrisan ekspansi dada, ada tidaknya suara ronchi dan
whezzing.
11. Abdomen
Ada tidaknya distensi abdomen. Asites, nyeri tekan
12 .Ektremitas atas dan bawah
Kesemetrisannya, ada tidaknya oedema, pergerakan dan tonus otot,
serta kebersihan
D. Diagnosa Keperawatan (NANDA, 2015)
1. Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan perdarahan
intraserebral
2. Defisit perawatan diri: makan berhubungan dengan kelemahan fisik
3. Hambatan komunikasi verbal berhubungan Gangguan sistem saraf pusat.
E. Intervensi
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan otak
A. Batasan karakteristik :
a. Embolisme
b. Hipertensi
c. Koagulopati (missal, anemia sel sabit)
(Heather,252)
B. NOC :
P: perfusi jaringan serebral (Sue Moorhead ,451)

No Indikator 1 2 3 4 5

1 Sakit kepala

2 Kegelisahan

3 Muntah

4 Kecemasan yang tidak


dijelaskan

5 Penurunan tingkat kesadaran

6 Reflek saran terganggu

7 Kelesuan

E: Status Neurologi (Sue Moorhead 545), Kontrol Resiko


strok(Sue Moorhead ,268)

No Kode Indikator 1 2 3 4 5

1 090901 Kesadaran

2 090903 Fungsi sensorik dan


motorik kranial

3 090904 Fungsi sensorik dan


motorik spinal

4 090905 Fungsi otonom

5 090906 Tekanan intrakranial


No Kode Indikator 1 2 3 4 5

1 193101 Mencari informasi


terkait pencegahan
stroke

2 193102 Mengidentifikasikan
faktor resiko stroke

3 19310 Memiliki
kemampuan untuk
memodifikasi faktor
resiko

4 193107 Berkomitmen dalam


strategi kontrol
resiko

5 193108 Memonitor tekanan


darah

Keterangan :
1. Deviasi berat dari kisaran normal
2. Deviasi yang cukup besar dari kisaran normal
3. Deviasi sedang dari kisaran normal
4. Deviasi ringan dari kisaran normal
5. Tidak ada deviasi dari kisaran normal
C. NIC
a Manajemen edema serebral
a) Monitor adanya kebingungan, perubahan pikiran, keluhan pusing,
pingsan
b) Rencanakan asuhan keperawatan untuk memberikan periode
istirahat
c) Posisikan tinggi kepala tempat tidur 30 derajat atau lebih
b Pencegahan emboli
a) Ganti posisi pasien 2 jam, dorang mobilisasi dini atau ambulasi
sesuai toleransi
b) Instruksikan pasien untuk menghindari kegiatan yang
menghasilkan valsava manuver (misalnya, mengejan saat buang
air besar )
c) Anjurkan pasien untuk tidak menyilangkan kaki dan menghindari
duduk untuk waktu yang lama dengan kaki tergantung
c Monitor Tekanan Intra Kranial (TIK)
a) Monitor tekanan aliran darah otak
b) Letakkkan kepala dan leher pasien dalam posisi netral, hindari
fleksi pinggang yang berlebihan
c) Berikan ruang untuk perawat agar meminimalkan elevasi TIK
d. Monitor neurologi
a) Monitor tingkat kesadaran
b) Monitor tanda-tanda vital(suhu, tekanan darah,denyut
nadi,dan respirasi
c) Monitor kekuatan pegangan
d) Tingkatkan frekuensi pemantauan neurologis yang sesuai
e. Identifikasi risiko
a) Instruksikan faktor resiko dan rencana untuk mengurangi
faktor resik.
b)Pertimbangkan kriteria yang berguna dalam
memprioritaskan area-area untuk mengurangi faktor
resiko(misalnya tingkat kesadaran dan motivasi efektifitas,)
c) Implementasikan aktivitas-aktivitas pengurangan resiko.
d)Rencanakan monitor resiko kesehatan dalam jangka panjang.
e) Rencanakan tindak lanjut strategi dan aktivitas pengurangan
resiko jangka panjang
f. Pencegahan pendarahan subarakhnoid
a) Monitor intrakranial (TIK) dan tekanan perfusi serebral jika
diindikasikan
b) Monitor denyut nadi dan tekanan darah pasien
c) Monitor status neurologi pasien
d) Batasi pengunjung jika diindikasikan
e) Monitor keluaran dan karakteristik cairan serebrispinal jika
diindikasikan
( Gloria M. Bulechek, 569)

2. Defisit perawatan diri: makan


A. Batasan Karakteristik
a) Bantuan perawatan diri
b) Peningkatan efikasi diri
c) Peningkatan harga diri ( Heather, 566)
B. NOC

No Kode Indikator 1 2 3 4 5

1 030314 Menghabiskan makana

2 030313 Menelan makanan


3 030317 Menelan minuman

( Sue Moorhead, 440)

No Kode Indikator 1 2 3 4 5

1 101004 Kemampuan mengunyah

2 101008 Jumlah menelan sesuai


dengan ukuran atau tekstur
bolus

3 101010 Refleks menelan sesuai


dengan waktunya

4 101016 Penerimaan makanan

(Sue Moorhead ,541)

No Kode Indikator 1 2 3 4 5

1 091701 Sensasi ekstermitas kanan


atas

2 091703 Sensasi ekstermitas kanan


bawah

3 091706 Fungsi motorik ekstermitas


kanan atas

4 091708 Fungsi motorik ekstermitas


kanan bawah

Keterangan : 1 = Deviasi berat dari kisaran normal


2 = Deviasi yang cukup berat dari kisaran normal
3 = Deviasi sedang dari kisaran normal
4 = Deviasi ringan dari kisaran normal
5 = Tidak ada deviasi dari kisaran normal

C. NIC
a. Manajemen nutrisi
a) Monitor kalori dan asupan makanan
b) Monitor kecenderungan terjadinya penurunan dan
kenaikan berat badan
c) Anjurkan pasien untuk memantau kalori dan intake
makanan (misalnya,buku harian makanan).
b. Monitor nutrisi
a) Lakukan evaluasi kemampuan menelan (misalnya,
fungsi motorik wajah mulut, otot otot lidah:reflek
menelan :
b) Monitor diet dan asupan kalori
c) Monitor adanya mual dan muntah
c. Terapi menelan
a) Monitor tanda-tanda kelelahan selama makan, minum
dan menelan
b) Monitor pergerakan lidah pasien selama makan
c) Bantu untuk menjaga intake cairan dan kalori yang
adekuat
( Gloria M. Bulechek, 505)

3. Hambatan komunikasi verbal


A. Batasan Karakteristik
a) Kesulitan memahami komunikasi
b) Kesulitan mempertahankan komunikasi
c) Kesulitan menggunakan ekspresi wajah
( Heather ,278)
B. NOC
P : komunikasi (Sue Moorhead ,229)

No Kode Indikator 1 2 3 4 5

1 090402 Interpretasi bahasa lisan

2 090404 Interpretasi bahasa


isyarat

3 090405 Interpretasi bahasa non


verbal

E:status pernafasan(Sue Moorhead ,556),

No Kode Indikator 1 2 3 4 5

1 041501 Frekuensi pernafasan

2 041502 Irama pernafasan

3 041519 Gangguan kesadaran

4 041523 Gangguan ekspirasi

S: Status Neurologi (Sue Moorhead ,545), Status Neurologi


:Sensori kranial / fungsi motorik(Sue Moorhead ,550)
No Kode Indikator 1 2 3 4 5

1 090901 Kesadaran

2 090903 Fungsi sensorik dan


motorik

3 090904 Fungsi sensorik dan


motorik spinal

4 090905 Fungsi otonom

5 090905 Tekanan intrakranial

Keterangan : 1 = Sangat Terganggu


2 = Banyak Terganggu
3 = Cukup Terganggu
4 = Sedikit Terganggu
5 = Tidak Terganggu
(Sue Moorhead 231,)

C. NIC
a. Mendengarkan aktif
a) Tujukkan kesadaran dan rasa sensitif terhadap
emosi yang ditunjukkan klien
b) Dengarkan isi pesan maupun perasaan yang tidak
terungkup selama percakapan
c) Klarifikasi pesan yang diterima dengan
menggunakan pertanyaan maupun memberikan
umpan balik
b. Peningkatan komunikasi: kurang pendengaran
a) Lakukan atau atur pengkajian dan scrining rutin
terkait dengan fungsi pendengaran
b) Dengarkan dengan penuh perhatian, sehingga
memberikan waktu yang adekuat bagi pasien
untuk menanggapi dan memproses komunikasi
c) Gunakan gerakan tubuh bila diperlukan
c. Peningkatan komunikasi: kurang bicara
a) Monitor kecepatan bicara, tekanan, kecepatan,
kuantitas, volume,
b) Monitor proses kognitif, anatomis dan fisiologis
terkait dengan kemampuan berbicara
misalnya(memori pendengaran, )
c) Sediakan rujukan pada terapis bicara patologis
( Gloria M. Bulechek, 539).
DAFTAR PUSTAKA

Ariani, tutu april. 2014. Sistem Neurobehaviour. Jakarta: Salemba Medeka

Bulechek, Gloria M.; Butcher, Howard K.; Dochterman, Joanne M.; Wagner,
Cheryl M. 2016. Nursing Interventions Classification (NIC) (Edisi 6). Elsevier.

Nursing Outcomes Classification (NOC) (Edisi 5). Elsevier.

Nurrarif, Amin Huda dan Kusuma Hardi. 2013. Nanda nic-noc jilid 2. Jakarta:
media Action

Price, Sylvia Anderson. 2012. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses - Proses


Penyakit. Ed.6. EGC. Jakarta

Sylvia A. Price,Lorraine M. Wilson ( 2010 ).Patofisiologi,konsep klinis proses-


proses penyakit. EGC. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai