Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH SEMINAR EMERGENCY

TRAUMA TULANG BELAKANG

OLEH :
KELOMPOK 4 REGULER 2011

HARTONO 115070200111055
AFFRIDA NURLILY CHINTYA W 115070201111009
NI WAYAN ASMA NIRA YUSTIKA 115070201111011
ATIKA DYAH SETYANINGATI 115070201111013
FITRI OCTAVIA HADI PUTRI 115070201111015
RAHMI NURROSYID P 115070201111017
ETRI NURHAYATI 115070201111019
SHINTA ARDIANA P 115070201111021
DANASTRI DANNISWARI 115070201111023

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
BRAWIJAYA
2014
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di era globalisasi saat ini kebanyakan manusia memerlukan mobilisasi cepat
dalam kehidupannya sehari – hari. Salah satu dampak yang ditimbulkannya berupa
trauma, yang dapat terjadi dari semua aktivitas kehidupan sehari – hari baik dalam
bekerja, olahraga, lalu lintas dan lain-lainnya.Trauma yang terjadi dapat berupa
trauma tumpul, trauma tajam atau trauma lainnya.
Tulang Belakang (vertebrae) adalah tulang yang memanjang dari leher sampai
ke selangkangan. Tulang vertebrae terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12
buah tulang torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sacral. Diskus intervertebrale
merupakan penghubung antara dua korpus vertebrae. Sistem otot ligamentum
membentuk jajaran barisan (aligment) tulang belakang dan memungkinkan mobilitas
vertebrae. Di dalam susunan tulang tersebut terangkai pula rangkaian syaraf-syaraf,
yang bila terjadi cedera di tulang belakang maka akan mempengaruhi syaraf-syaraf
tersebut (Mansjoer, Arif, et al. 2000).
Cidera tulang belakang adalah cidera mengenai cervicalis, vertebralis dan lumbalis
akibat trauma ; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga
dsb yang dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang vertebra
sehingga mengakibatkan defisit neurologi ( Sjamsuhidayat, 1997).
Pada saat ini trauma merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas yang
tinggi dimasyarakat. Dalam jam – jam awal setelah trauma, merupakan periode emas,
dimana pada waktu ini risiko kematian dan kecacatan dapat dicegah dengan
penanganan yang cepat dan tepat.Kematian yang terjadi akibat trauma kebanyakan
terjadi pada jam – jam awal trauma, sedangkan kematian yang terjadi beberapa
minggu akibat trauma biasanya diakibatkan oleh komplikasi lambat dan mengalami
kegagalan organ multiple.
Maka dari itu sangatlah penting untuk mengetahui pemeriksaan awal dan
pengelolaan penderita trauma tulang belakang yang dapat mengancam nyawa dan
ancaman kehilangan anggota gerak.Trauma tulang belakang dapat menyebabkan
disfungsi struktur di sekitarnya dan struktur yang dilindungi atau disangganya serta
kerusakan pada otot, pembuluh darah dan saraf. Secara umum dikenal dalam bentuk
fraktur dan dislokasi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Konsep Trauma Tulang Belakang
a. Apa pengertian / definisi dari Trauma Tulang Belakang?
b. Apa Penyebab / Etiologi dari Trauma Tulang Belakang?
c. Sebutkan dan jelaskan Jenis / klasifikasi dari Trauma Tulang Belakang?
d. Jelaskan bagaimana patofisiologi dari Trauma Tulang Belakang?
e. Sebutkan tanda gejala / Manifestasi klinis dari Trauma Tulang Belakang?
f. Apa saja pemeriksaan Diagnostik dari Trauma Tulang Belakang?
g. Bagaimana penatalaksanaan dariTrauma Tulang Belakang ?
h. Sebutkan dan jelaskan komplikasi yang ditimbulkan olehTrauma Tulang
Belakang ?
2. Konsep asuhan keperawatan Trauma Tulang Belakang
a. Bagaimana pengkajian dari Trauma Tulang Belakang?
b. Sebutkan apa saja yang menjadi diagnose keperawatan Trauma Tulang
Belakang?
c. Jelaskan intervensi yang dapat dilakukan untuk Trauma Tulang Belakang?
d. Serta mengevaluasi tindakan intervensi yang dilakukan untuk Trauma Tulang
Belakang

1.3 Tujuan
Memberikan pemahaman serta pengetahuan kepada mahasiswa tentang konsep dasar
fundamental patofisiologi dan asuhan keperawatan pada Trauma Tulang Belakang
.
1.4 Manfaat
1. Dapat mengetahui konsep dasar fundamental patofisiologi dari Trauma Tulang
Belakang
2. Dapat melakukan pengkajian pada penderita Trauma Tulang Belakang
3. Dapat merumuskan diagnosa keperawatan pada penderita Trauma Tulang
Belakang
4. Dapat membuat intervensi pada penderita Trauma Tulang Belakang
BAB II

Konsep Trauma Tulang Belakang

A. DEFINISI
Trauma tulang belakang adalah trauma yang diakibatkan kecelakaan lalu
lintas, jatuh dari tempat tinggi serta pada aktivitas olahraga yang berbahaya yang
dapat mengakibatkan cedera/fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang pada
daerah cervicalis, lumbalis, vetebralis sehingga mengakibatkan deficit neurologi
(Sjamsuhidayat,1997).
Adapun menurut dr. Iskandar Japardi (2002), lokasi fraktur atau fraktur
dislokasi cervical paling sering pada C2 diikuti dengan C5 dan C6 terutama pada
usia decade 3.
B. ETIOLOGI
Menurut Harsono (2000) trauma tulang belakang dapat disebabkan oleh :
1. Kecelakaan lalu lintas
2. Kompresi atau tekanan pada tulang belakang akibat jatuh dari ketinggian
3. Kecelakaan sebab olahraga (penunggang kuda, pemain sepak bola, penyelam,
dll
4. Luka jejas, tajam, tembak, pada daerah vertebra
5. Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau kondisi patologis yang
menimbulkan penyakit tulang atau melemahnya tulang

Menurut Ducker dan Perrot dalam dr. Iskandar Japardi (2002), melaporkan :

1. 40% spinal cord injury disebabkan kecelakaan lalu lintas


2. 20% jatuh
3. 40% luka tembak, olahraga, kecelakaan kerja
C. KLASIFIKASI
Menurut Yefta D. Bastian, dapat dibedakan menjadi :
1. Whiplash Injury : akibat strain atau sprain pada segmen servikal. Disebabkan
oleh kecelakaan lalu lintas
2. Fraktur Kompresi (Wedge) : karena gaya vertical di depan garis tengah vertebra
yang menekan tepi anterior vertebra. Sering terjadi pada torakolumbal. Pada
lansia dikarenakan akibat jatuh terduduk sedangkan pada usia mudah akibat
jatuh mendarat pada kaki
3. Burst Fracture : karena kompresi aksial dari bagian anterior vertebra. Bagian-
bagian tepi vertebra terdoromg keluar, materi diskus dapar terdorong ke korpus
vertebra atau ke kanal spinal sehingga sering disertai kerusakan neurologis
karena pergeseran korpus vertebra atau fragmennya ke belakang.
4. Fraktur Distraksi : deselerasi cepat pada kecelakaan lalu lintas akan melembar
korban ke depan sehingga tubuh akan tertekan pada sabuk pengamanan yang
mengakibatkan fraktur korpus vertebra dan dapat terjadi displacement berat.
5. Fraktur Dislokasi : kombinasi gaya fleksi, kompresi dan rotasi yang
mengakibatkan fraktur korpus vertebra, fraktur pledikel dan dislokasi sendi faset
yang menyebabkan paraplegia atau tetraplegia.
Menurut dr. Iskandar Japardi (2002), klasifikasi cedera tulang belakang dapat
dikategorikan sebagai berikut :
D. PATOFISIOLOGI

E. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala umum dari trauma pada tulang belakang adalah (National
Institutes of Health US):
1. Kepala berada pada posisi yang tidak semestinya
2. Mati rasa atau sensasi geli di sepanjang kaki maupun lengan
3. Kelemahan
4. Ketidakmampuan berjalan
5. Paralisis (kehilangan control pergelangan ekstremitas, yakni lengan dan kaki)
6. Tidak ada control pada GIT dan system perkemihan, pasien cenderung tidak bisa
mengontrol BAB maupun BAK
7. Syok (pucat, kulit basah dan hangat, jari dan tangan kebiru-biruan, pusing, sakit
kepala, dan setengah tidak sadar)
8. Kurang perhatian terhadap stimuli/lingkungan sekitar
9. Leher kaku, sakit kepala, atau nyeri pada leher
Menurut ASIA (American Spinal Injury Association) skala terjadinya gangguan
dikatagorikan sebagai berikut :
1. A = komplit, tidak ada fungsi sensorik maupun motorik pada segmen sacrum (S4-
S5)
2. B = tidak komplit, fungsi sensoris masih berada dibawah staus neurologis
3. C = tidak komplit
4. D = tidak komplit, fungsi motorik
5. E = normal, fungsi motorik dans ensoris normal

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan fisik seperti pasien trauma, evaluasi klinis awal dimulai dengan
survey - ABCDE. SCI (Spinal Cord Injury) harus dilakukan secara bersamaan.
Masing-masing pemeriksaannya adalah:
a) Fungsi paru - Respiration rate, sianosis, distress pernapasan, kesimetrisan dada,
suara tambahan, ekspansi dada, gerakan dinding perut, batuk, dan cedera paru.
Analisis gas darah arteri dan oksimetri.
b) Disfungsi respirasi pada akhirnya akan tergantung pada keadaan paru yang
sudah ada, tingkat SCI, cedera paru-paru. Hal-hal yang mungkin terganggu
dalam pengaturan SCI:
1. Hilangnya fungsi otot ventilasi akibat adanya cedera dada.
2. Cedera paru, seperti pneumothoraks, hemotoraks, atau contusio paru.
3. Penurunan pengaturan ventilasi berhubungan dengan cedera kepala atau
efek eksogen alkohol dan obat-obatan.
c) CVS – nadi dan volume, tekanan darah (hemoragik atau shock
neurogenik).
d) Suhu – hipotermia – shock spinal.
e) Pemeriksaan neurologis.
Menentukan tingkat cedera yang dialami, complete atau incomplete.
c) Tes motorik – dilakukan bersamaan, tes tonus otot, kekuatan otor, refleks otot,
koordinasi, pemeriksaan refleks tendon dalam dan evaluasi perineal sangat
penting. Ada atau tidaknya prognosis sparingis sakral, indikator evaluasi sakral.
Hal-hal yang dievaluasi dapat didokumentasikan sebagai berikut:
 Sensai perineum terhadap sentuhan ringan dan cocokan peniti
 Refleks bulbocavernous (S3 atau S4)
 Kedipan mata (S5)
 Retensi urine atau inkontinensia
 Priapisme
d) Seks – Rasio laki-laki : perempuan adalah sekitar 2,5-3,0 : 1.
e) Umur – Sekitar 80% dari laki-laki dengan SCIS berusia 18-25 tahun. SCIWORA
terjadi terutama pada anak-anak.

 Pemeriksaan Motorik Tulang Belakang


 C5 – Fleksor siku (bisep, brakialis) dan bahu
 C6 – Ekstensor pergelangan tangan (ekstensor karpi radialis longus dan
brevis)
 C7 – Ekstensor siku (trisep)
 C8 – Fleksor jari (fleksor digitorum profunda) untuk jari tengah
 T1 – Jari kelingking (digiti mini)
 L2 – Hip fleksor (iliopsoas)
 L3 – Ekstensor lutut (quadrisep)
 L4 – Ankle dorsifleksor (tibialis anterior)
 L5 – Ekstensor kaki (ekstensor halusis longus)
 S1 – Fleksor ankle plantar (gastrocnemius, soleus)

 Pemeriksaan Sensori Tulang Belakang


 C2 – Tonjolan oksipital
 C3 – Fossa supraklavikula
 C4 – Atas sendi akromioklavikularis
 C5 – Sisi lateral lengan
 C7 – Jari tengah
 C8 – Jari kelingking
 T1 – Sisi medial lengan
 T2 – apex dari aksila atau ICS 2
 T3 – ICS 3
 T4 – ICS 4 lurus puting susu
 T5 – ICS 5 (tengah antara T4 dan T6)
 T6 – ICS 6 setinggi xiphisternum
 T7 – ICS 7 (tengah antara T6 dan T8)
 T8 – ICS 8 (tengah antara T6 dan T10)
 T9 – ICS 9 (tengah antara T8 dan T10)
 T10 – ICS 10 atau umbilikus
 T11 – ICS 11 (tengah antara T10 dan T12)
 T12 – Midpoint ligamentum inguinalis
 L1 – Setengah jarak antara T12 dan L2
 L2 – Paha mid-anterior
 L3 –Kondilus femoralis medial atau kondilus femoralis lateralis
 L4 – Maleolus medial
 L5 – lateral kaki atau maleolus lateral atau dorsum kaki pada sendi
metatarsophalangeal ketiga
 S1 – Tumit lateral
 S2 – Fossa popliteal di garis tengah
 S3 – tuberositas iskia
 S4-S5 – Perianal
 C6 – ibu jari dan lengan lateral
 Imaging
a) Sinar x spinal
Menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau dislok)
b) CT-scan
CT-scan untuk untuk menentukan tempat luka/jejas
c) X-Ray
3 standar untuk mendapatkan gambaran X-ray:
1. Antero-posterior
2. Gambaran lateral
3. Gambaran odontoid-membuka mulut
Gambaran oblique termasuk gambaran penekanan bahu
 Direkomendasikan gambaran antero-posterior dan lateral dada serta
lumbal
 Radiografi leher harus menyertakan C7-T1
d) MRI
MRI baik untuk kecurigaan adanya lesi sumsum tulang belakang, ligamentum
atau kondisi lainnya. MRI dapat digunakan untuk mengevaluasi hematoma
tulang belakang seperti ekstra dural, abses atau tumor, dan hemoragi tulang
belakang, memar, dan/atau edema.
e) Foto rongent thorak
Untuk mengetahui keadaan paru
f) AGD
Untuk menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi
G. PENATALAKSANAAN MEDIS
Pertolongan pertama untuk cedera tulang belakang dalam kecelakaan terdiri
dari:
1. Jangan asal mengajak korban bergerak karena dapat menyebabkan kerusakan tulang
permanen.
2. Tempatkan handuk yang sudah digulung di bagian nyeri agar menghindari kerusakan
leher dan kepala.
3. Jangan lupa untuk meminta perhatian medis segera.

Pembagian trauma atau fraktur tulang belakang secara umum:

1. Fraktur Stabil
a. Fraktur wedging sederhana (Simple wedges fraktur)
b. Burst fraktur
c. Extension
2. Fraktur tak stabil
a. Dislokasi
b. Fraktur dislokasi
c. Shearing fraktur
Perawatan:

1. Faktur stabil (tanpa kelainan neorologis) maka dengan istirahat saja penderita akan
sembuh.
2. Fraktur dengan kelainan neorologis.
Fase Akut (0-6 minggu)
a. Live saving dan kontrol vital sign
b. Perawatan trauma penyerta
• Fraktur tulang panjang dan fiksasi interna.
• Perawatan trauma lainnya.
c. Fraktur/Lesi pada vertebra
1) Konservatif (postural reduction) (reposisi sendiri)
Tidur telentang alas yang keras, posisi diubah tiap 2 jam mencegah
dekubitus, terutama simple kompressi.
2) Operatif
Pada fraktur tak stabil terdapat kontroversi antara konservatif dan
operatif. Jika dilakukan operasi harus dalam waktu 6-12 jam pertama
dengan cara:
- Laminektomi
mengangkat lamina untuk memanjakan elemen neural pada kanalis
spinalis, menghilangkan kompresi medulla dan radiks.
- fiksasi interna dengan kawat atau plate
- anterior fusion atau post spinal fusion
3) Perawatan status urologi
Pada status urologis dinilai tipe kerusakan sarafnya apakah supra
nuldear (reflek bladder) dan infra nuklear (paralitik bladder) atau campuran.
Pada fase akut dipasang keteter dan kemudian secepatnya dilakukan
bladder training dengan cara penderita disuruh minum segelas air tiap jam
sehingga buli-buli berisi tetapi masih kurang 400 cc. Diharapkan dengan
cara ini tidak terjadi pengkerutan buli-buli dan reflek detrusor dapat
kembali.
Miksi dapat juga dirangsang dengan jalan:
a) Mengetok-ngetok perut (abdominal tapping)
b) Manuver crede
c) Ransangan sensorik dan bagian dalam paha
d) Gravitasi/ mengubah posisi
4) Perawatan dekubitus
Dalam perawatan komplikasi ini sering ditemui yang terjadi karena
berkurangnya vaskularisasi didaerah tersebut.
Penanganan Cedera Akut Tanpa Gangguan Neorologis
Penderita dengan diagnose cervical sprain derajat I dan II yang sering karena
“wishplash Injury” yang dengan foto AP tidak tampak kelainan sebaiknya dilakukan
pemasangan culiur brace untuk 6 minggu. Selanjutnya sesudah 3-6 minggu post
trauma dibuat foto untuk melihat adanya chronik instability
Kriteria radiologis untuk melihat adanya instability adalah:
1) Dislokasi feset >50%
2) Loss of paralelisine dan feset.
3) Vertebral body angle > 11 derajat path fleksi.
4) ADI (atlanto dental interval) melebar 3,5-5 mm (dewasa- anak)
5) Pelebaran body mas CI terhadap corpus cervical II (axis) > 7 mm pada foto AP
Pada dasarnya bila terdapat dislokasi sebaiknya dikerjakan emergensi closed
reduction dengan atau tanpa anestesi. Sebaiknya tanpa anestesi karena masih ada
kontrol dan otot leher. Harus diingat bahwa reposisi pada cervical adalah
mengembalikan keposisi anatomis secepat mungkin untuk mencegah kerusakan
spinal cord.
Penanganan Cedera dengan Gangguan Neorologis

Patah tulang belakang dengan gangguan neorologis komplit, tindakan


pembedahan terutama ditujukan untuk memudahkan perawatan dengan tujuan
supaya dapat segera diimobilisasikan. Pembedahan dikerjakan jika keadaan umum
penderita sudah baik lebih kurang 24-48 jam. Tindakan pembedahan setelah 6-8 jam
akan memperjelek defisit neorologis karena dalam 24 jam pertama pengaruh
hemodinamik pada spinal masih sangat tidak stabil. Prognosa pasca bedah
tergantung komplit atau tidaknya transeksi medula spinalis.

H. KOMPLIKASI
Menurut Mansjoer, Arif, et al. 2000 trauma tulang belakang bisa
mengakibatkan berbagai macam komplikasi, diantaranya
1. Syok hipovolemik
akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak
sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar akibat trauma.
2. Pendarahan Mikroskopik
Pada semua cidera madula spinalis atau vertebra,terjadi perdarahan-
perdarahan kecil.Yang disertaireaksi peradangan,sehingga menyebabkan
pembengkakan dan edema dan mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan
didalam dan disekitar korda.Peningkatan tekanan menekan saraf dan
menghambat aliran darah sehingga terjadi hipoksia dan secara drastis
meningkatkan luas cidera korda.Dapat timbul jaringan ikat sehingga saraf
didarah tersebut terhambat atau terjerat.
3. Hilangnya Sesasi, Kontrol Motorik, Dan Refleks.
Pada cidera spinal yang parah, sensasi,kontrol motorik, dan refleks
setingg dan dibawah cidera korda lenyap. Hilangnya semua refleks disebut syok
spinal. Pembengkakan dan edema yang mengelilingi korda dapat meluas kedua
segmen diatas kedua cidera. Dengan demkian lenyapnya fungsi sensorik dan
motorik serta syok spinal dapat terjadi mulai dari dua segmen diatas cidera.
Syok spinal biasanya menghilang sendiri, tetap hilangnya kontor sensorik dan
motorik akan tetap permanen apabila korda terputus akan terjadi
pembengkakan dan hipoksia yang parah.
4. Syok Spinal.
Syok spinal adalah hilangnya secara akut semua refleks-refleks dari dua
segme diatas dan dibawah tempat cidera. Repleks-refleks yang hilang adalah
refleks yang mengontrol postur, fungsi kandung kemih dan rektum, tekanan
darah, dan pemeliharaan suhu tubuh. Syok spinal terjadi akibat hilangnya
secara akut semua muatan tonik yang secara normal dibawah neuron asendens
dari otak, yang bekerja untuk mempertahankan fungsi refleks.Syok spinl
biasanya berlangsung antara 7 dan 12 hari, tetapi dapat lebih lama. Suatu syok
spinal berkurang dapat tmbul hiperreflekssia, yang ditadai oleh spastisitas otot
serta refleks, pengosongan kandung kemih dan rektum.
5. Hiperrefleksia Otonom.
Kelainan ini dapat ditandai oleh pengaktipan saraf-saraf simpatis secar
refleks, yang meneyebabkan peningkatan tekanan darah. Hiper refleksia
otonom dapat timbul setiap saat setelah hilangnya syok spinal. Suatu
rangsangan sensorik nyeri disalurkan kekorda spnalis dan mencetukan suatu
refleks yang melibatkan pengaktifan sistem saraf simpatis.Dengan
diaktifkannya sistem simpatis,maka terjadi konstriksi pembuluh-pembuluh
darah dan penngkatan tekanan darah system. Pada orang yang korda
spinalisnya utuh,tekanan darahnya akan segera diketahui oleh
baroreseptor.Sebagai respon terhadap pengaktifan baroreseptor,pusat
kardiovaskuler diotak akan meningkatkan stimulasi parasimpatis kejantung
sehingga kecepatan denyut jantunhg melambat,demikian respon saraf simpatis
akan terhenti dan terjadi dilatasi pembuluh darah.Respon parasimpatis dan
simpatis bekerja untuk secara cepat memulihkan tekanan darah kenormal.Pada
individu yang mengalami lesi korda,pengaktifan parasimpatis akan
memperlambat kecepatan denyut jantung dan vasodilatasi diatas tempat
cedera,namun saraf desendens tidak dapat melewati lesi korda sehngga
vasokontriksi akibat refleks simpatis dibawah tingkat tersebut terus
berlangsung.Pada hiperrefleksia otonom,tekanan darah dapat meningkat
melebihi 200 mmHg sistolik,sehingga terjadi stroke atau
infark miokardium.Rangsangan biasanya menyebabkan hiperrefleksia otonom
adalah distensi kandung kemih atau rektum,atau stimulasi reseptor-reseptor
permukaan untuk nyeri.
6. Paralisis
Paralisis adalah hilangnya fungsi sensorik dan motorik volunter.Pada
transeksi korda spinal,paralisis bersifat permanen.Paralisis ekstremitas atas
dan bawah terjadi pada transeksi korda setinggi C6 atau lebih tinggi dan disebut
kuadriplegia.Paralisis separuh bawah tubuh terjadi pada transeksi korda
dibawah C6 dan disebut paraplegia.Apabila hanya separuh korda yang
mengalami transeksi maka dapat terjadi hemiparalisis.
Persentase terjadinya komplikasi pada individu dengan tetraplegia
komplit adalah sebagai berikut :
 pneumonia (60,3 %),
 ulkus akibat tekanan (52,8 %),
 trombosis vena dalam (16,4 %),
 emboli pulmo (5,2 %),
 infeksi pasca operasi (2,2 %).

Sedangkan untuk fraktur, komplikasi yang mungkin terjadi antara lain:


1. Mal union, gerakan ujung patahan akibat imobilisasi yang jelek menyebabkan
mal union, sebab-sebab lainnya adalah infeksi dari jaringan lunak yang terjepit
diantara fragmen tulang, akhirnya ujung patahan dapat saling beradaptasi dan
membentuk sendi palsu dengan sedikit gerakan (non union).
2. Non union adalah jika tulang tidak menyambung dalam waktu 20 minggu. Hal
ini diakibatkan oleh reduksi yang kurang memadai.
3. Delayed union adalah penyembuhan fraktur yang terus berlangsung dalam
waktu lama dari proses penyembuhan fraktur.
4. Tromboemboli, infeksi, kaogulopati intravaskuler diseminata (KID). Infeksi
terjadi karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur terbuka atau pada saat
pembedahan dan mungkin pula disebabkan oleh pemasangan alat seperti plate,
paku pada fraktur.
5. Emboli lemak
6. Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum
tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak akan bergabung dengan
trombosit dan membentuk emboli yang kemudian menyumbat pembuluh darah
kecil, yang memasok ke otak, paru, ginjal, dan organ lain.
7. Sindrom Kompartemen. Masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot
kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Berakibat kehilangan
fungsi ekstermitas permanen jika tidak ditangani segera.
Konsep Asuhan Keperawatan Trauma Tulang Belakang

PENGKAJIAN
a.Identitas klien,
Meliputi nama, usia (kebanyakan terjadi pada. usia muda), jenis kelamin (kebanyakan
laki-laki karena sering mengebut saat mengendarai motor tanpa pengaman helm),
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit
(MRS), nomor register, dan diagnosis medis.
b.Keluhan utama
Yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan adalah nyeri, kelemahan
dan kelumpuhan ekstremitas, inkontinensia urine dan inkontinensia alvi, nyeri tekan
otot, hiperestesia tepat di atas daerah trauma, dan deformitas pada daerah trauma.
c. Riwayat penyakit sekarang.
Kaji adanya riwayat trauma tulang belakang akibat kecelakaan lalu lintas, kecelakaan
olahraga, kecelakaan industri, jatuh dari pohon atau bangunan, luka tusuk, luka tembak,
trauma karena tali pengaman (fraktur chance), dan kejatuhan benda keras.Pengkajian
yang didapat meliputi hilangnya sensibilitas, paralisis (dimulai dari paralisis layu
disertai hilangnya sensibilitas secara total dan melemah/menghilangnya refleks alat
dalam) ileus paralitik, retensi urine, dan hilangnya refleks-refleks.
d. Riwayat kesehatan dahulu.
Merupakan data yang diperlukan untuk mengetahui kondisi kesehatan klien sebelum
menderita penyakit sekarang , berupa riwayat trauma medula spinalis. Biasanya ada
trauma/ kecelakaan.
e.Riwayat kesehatan keluarga.
Untuk mengetahui ada penyebab herediter atau tidak
f. Masalah penggunaan obat-obatan adiktif dan alkohol.
g.Riwayat penyakit dahulu.
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat penyakit degeneratif pada
tulang belakang, seperti osteoporosis dan osteoartritis.
h.Pengkajian psikososiospiritual.
i.Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data pengkajian anamnesis.
Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan per sistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan
B3 (Brain) dan B6 (Bone) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan klien.

1. Pernapasan.
Perubahan sistem pernapasan bergantung pada gradasi blok saraf
parasimpatis (klien mengalami kelumpuhan otototot pernapasan) dan
perubahan karena adanya kerusakan jalur simpatik desenden akibat trauma
pada tulang belakang sehingga jaringan saraf di medula spinalis terputus.
Dalam beberapa keadaan trauma sumsum tulang belakang pada daerah
servikal dan toraks diperoleh hasil pemeriksaan fisik sebagai berikut.
Inspeksi.
Didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas,
penggunaan otot bantu napas, peningkatan frekuensi pemapasan, retraksi
interkostal, dan pengembangan paru tidak simetris. Respirasi paradoks
(retraksi abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat terjadi jika otot-otot
interkostal tidak mampu mcnggerakkan dinding dada akibat adanya blok saraf
parasimpatis.
Palpasi.
Fremitus yang menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan didapatkan
apabila trauma terjadi pada rongga toraks.
Perkusi.
Didapatkan adanya suara redup sampai pekak apabila trauma terjadi pada
toraks/hematoraks.
Auskultasi.
Suara napas tambahan, seperti napas berbunyi, stridor, ronchi pada klien
dengan peningkatan produksi sekret, dan kemampuan batuk menurun sering
didapatkan pada klien cedera tulang belakang yang mengalami penurunan
tingkat kesadaran (koma).
2. Kardiovaskular
Pengkajian sistem kardiovaskular pada klien cedera tulang belakang
didapatkan renjatan (syok hipovolemik) dengan intensitas sedang dan berat.
Hasil pemeriksaan kardiovaskular klien cedera tulang belakang pada
beberapa keadaan adalah tekanan darah menurun, bradikardia, berdebar-
debar, pusing saat melakukan perubahan posisi, dan ekstremitas dingin atau
pucat.
3.Persyarafan
Tingkat kesadaran. Tingkat keterjagaan dan respons terhadap Iingkungan
adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem persarafan. Pemeriksaan
fungsi serebral. Pemeriksaan dilakukan dengan mengobservasi penampilan,
tingkah laku, gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien. Klien
yang telah lama mengalami cedera tulang belakang biasanya mengalami
perubahan status mental.
Pemeriksaan Saraf kranial:
- Saraf I. Biasanya tidak ada kelainan pada klien cedera tulang belakang dan
tidak ada kelainan fungsi penciuman.
- Saraf II. Setelah dilakukan tes, ketajaman penglihatan dalam kondisi normal.
- Saraf III, IV, dan VI. Biasanya tidak ada gangguan mengangkat kelopak mata
dan pupil isokor.
- Saraf V. Klien cedera tulang belakang umumnya tidak mengalami paralisis pada otot
wajah dan refleks kornea biasanya tidak ada kelainan
- Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal dan wajah simetris.
- Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
- Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Ada
usaha klien untuk melakukan fleksi leher dan kaku kuduk
- Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikulasi, Indra pengecapan normal.
4. Pemeriksaan refleks:
a.Pemeriksaan refleks dalam.
Refleks Achilles menghilang dan refleks patela biasanya melemah karena
kelemahan pada otot hamstring.
b.Pemeriksaan refleks patologis.
Pada fase akut refleks fisiologis akan menghilang. Setelah beberapa hari
refleks fisiologis akan muncul kembali yang didahului dengan refleks
patologis.
c.Refleks Bullbo Cavemosus positif
d.Pemeriksaan sensorik.
Apabila klien mengalami trauma pada kaudaekuina, mengalami hilangnya
sensibilitas secara me-netap pada kedua bokong, perineum, dan anus.
Pemeriksaan sensorik superfisial dapat memberikan petunjuk mengenai
lokasi cedera akibat trauma di daerah tulang belakang
5.Perkemihan
Kaji keadaan urine yang meliputi warna, jumlah, dan karakteristik urine,
termasuk berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi
cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi pada ginjal.
6. Pencernaan.
Pada keadaan syok spinal dan neuropraksia, sering dida-patkan adanya ileus
paralitik. Data klinis menunjukkan hilangnya bising usus serta kembung dan
defekasi tidak ada. Hal ini merupakan gejala awal dari syok spinal yang akan
berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu. Pemenuhan nutrisi
berkurang karena adanya mual dan kurangnya asupan nutrisi.
7. Muskuloskletal.
Paralisis motor dan paralisis alat-alat dalam bergantung pada ketinggian
terjadinya trauma. Gejala gangguan motorik sesuai dengan distribusi
segmental dari saraf yang terkena

PENGKAJIAN A - I
PENGKAJIAN PRIMER
Data Subyektif
1. Riwayat Penyakit Sekarang
Mekanisme Cedera
Kemampuan Neurologi
Status Neurologi
Kestabilan Bergerak
2. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Keadaan Jantung dan pernapasan
Penyakit Kronis
Data Obyektif
1. Airway
adanya desakan otot diafragma dan interkosta akibat cedera spinal sehingga
mengganggu jalan napas
2. Breathing
Pernapasa dangkal, penggunaan otot-otot pernapasan, pergerakan dinding
dada
3. Circulation
Hipotensi (biasanya sistole kurang dari 90 mmHg), Bradikardi, Kulit teraba
hangat dan kering, Poikilotermi (Ketidakmampuan mengatur suhu tubuh, yang
mana suhu tubuh bergantung pada suhu lingkungan)
4. Disability
Kaji Kehilangan sebagian atau keseluruhan kemampuan bergerak, kehilangan
sensasi, kelemahan otot
· PENGKAJIAN SEKUNDER
a) Exposure
Adanya deformitas tulang belakang
b) Five Intervensi
- Hasil AGD menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi
- CT Scan untuk menentukan tempat luka atau jejas
- MRI untuk mengidentifikasi kerusakan saraf spinal
- Foto Rongen Thorak untuk mengetahui keadaan paru
- Sinar – X Spinal untuk menentukan lokasi dan jenis cedera tulang
(Fraktur/Dislokasi)
c) Give Comfort
- Kaji adanya nyeri ketika tulang belakang bergerak
d) Head to Toe
- Leher : Terjadinya perubahan bentuk tulang servikal akibat cedera
Dada : Pernapasa dangkal, penggunaan otot-otot pernapasan, pergerakan dinding
dada,bradikardi, adanya desakan otot diafragma dan interkosta akibat
cedera spinal
Pelvis dan Perineum : Kehilangan control dalam eliminasi urin dan feses,
terjadinyagangguan pada ereksi penis (priapism)
Ekstrimitas : terjadi paralisis, paraparesis, paraplegia atau quadriparesis/quadriplegia
e) Inspeksi Back / Posterior Surface
- Kaji adanya spasme otot, kekakuan, dan deformitas pada tulang belakang

ANALISA DATA

No Data Etiologi Dx Keperawatan


1 DS: Etiologi (jatuh dari Ketidakefektifan pola
 Klien mengatakan ketinggian, kecelakaan, nafas b.d kelemahan otot
sulit bernafas jatuh saat olahraga, diafragma
 Klien mengatakan osteoporosis)
otot dadanya lemas
DO: Fraktur tulang belakang
 Tampak pernafasan
dangkal dan cepat Blok saraf parasimpatis
 Tampak pernafasan
cuping hidung Kelumpuhan otot

 Klien mengalami pernafasan

dispnue, takipnue
 RR meningkat Otot diafragma lemah
Hasil laboratorium Ketidakefektifan pola nafas
saturasi oksigen
menurun (kurang dari
normal)
2 Etiologi (jatuh dari Nyeri akut b.d agen
DS: ketinggian, kecelakaan, cedera fisik
 Klien mengeluh nyeri jatuh saat olahraga,
di bagian leher dan osteoporosis)
punggung.
 Klien mengatakan Fraktur tulang belakang
nyerinya sangat
hebat dan terus terjadi gencetan antar
menerus dengan kolumna vertebre
skala 9 sekaligus terlepasnya
 Klien mengatakan mediator kimia
tidak bisa menahan
nyeri yang ia rasakan Nyeri akut
DO:
 Hasil pemeriksaan
TTV:
TD meningkat
RR meningkat
Nadi meningkat
Suhu meningkat
 Klien mengalami sulit
tidur
 Dilatasi pupil
Klien tampak berkeringat
3 Jatuh dari ketinggian, Hambatan mobilitas fisik

DS : kecelakaan lalu lintas, b.d

 Klien mengatakan kecelakaan olahraga, dll kerusakanmusculoskeletal

aktivitasnya dibantu ↓ dan neuromuskuler

perawat dan Frkatur servicalis

keluarga ↓
Fraktur dapat berupa patah
 Klien merasa sulit
tulang
untuk
menggerakkan sederhana,kompresi,
angoota badannya kominutif, dislokasi
 pasien mengatakan ↓
sulit melakukan Gangguan neurologis dan
perubahan posisi Gangguan musculoskeletal
DO : ↓
 Klien terlihat lemah Kemampuan dalam
 Kebutuhan klien di menggerakan anggota
bantu oleh keluarga badan menurun (lemah)
dan perawat ↓
 Klien hanya Hambatan mobilitas fisik
beraktifitas di tempat
tidur dan itu pun
hanya berbaring
 Kekuatan otot lemah

4 DS : Jatuh dari ketinggian, Gangguan eliminasi urin


 Klien mengatakan kecelakaan lalu lintas, b.d Gangguan sensorik
sering ngompol kecelakaan olahraga, dll motorik
DO : ↓
 Baju, sprei dan Cedera cervikalis
selimut yang ↓
digunakan pasien Kompresi medulla spinalis
tampak basah ↓
 Pasien berbau Gangguan sensorik
pesing motorik

Kelumpuhan saraf
perkemihan

Inkontinensia urine

Gangguan pola eliminasi
urine
5 Ds : Jatuh dari ketinggian, Resiko kerusakan
 Pasien mengatakan kecelakaan lalu lintas, integritas kulit b.d
badan terasa panas/ kecelakaan olahraga, dll imobilisasi fisik
gerah dan sumpek ↓
karena selalu Fraktur servicalis
berbaring di tempat ↓
tidur Fraktur dapat berupa patah
Do : tulang
 Pasien tirah baring sederhana,kompresi,
 Kulit pasien lembab kominutif, dislokasi

Gangguan neurologis dan
Gangguan musculoskeletal

Kemampuan dalam
menggerakan anggota
badan menurun (lemah)

Hambatan mobilitas fisik

Berbaring di tempat tidur
lama

Resiko kerusakanintegritas
kulit

INTERVENSI
No Dx Keperawatan Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil
1 Ketidakefektifan pola nafas b.d Tujuan : NIC:
kelemahan otot diafragma Setelah dilakukan Mechanical Ventilation
intervensi selama 1x24 Management:Noninvas
jam pola nafas klien ive
efektif 1. Monitor kondisi
Kriteria Hasil: pasien yang
NOC: Mechanical mengindikasikan untuk
Ventilation Response: pemasangan ventilator
Adult mekanik noninvasive
 RR klien dalam (pada pasien trauma
rentang normal (16- tulang belakang yang
20x/menit) menyebabkan
 Ritme respirasi kelemahan otot
klien teratur pernafasan (otot
 Tidal volum sesuai diafragma))
kebutuhan (500cc) 2. Monitor
Saturasi oksigen klien kontraindikasi
dalam rentang normal pemasangan ventilator
mekanik noninvasive
3. Observasi
kesadaran pasien
terlebih dahulu
sebelum meutuskan
memasang alat
ventilator mekanik
4. Secara rutin cek
kepatenan alat
ventilator mekanik
5. Secara teratur
evaluasi efek
pemasangan ventilator
mekanik (apakah ada
perbaikan pernafasan
jika iya segera lakukan
penyapihan alat
ventilator mekanik)

2 Nyeri akut b.d agen cedera fisik Tujuan : NIC: Management


Setelah dilakukan nyeri
intervensi keperawatan  Kaji secara
selama 2x24 jam nyeri komprehensif
tentang nyeri
yang dirasakan klien meliputi lokasi,
berkurang karakteristik serta
Kriteria Hasil: onset, durasi,
NOC: Tingkat frekuensi, kualitas,
kenyamanan intensitas /
 Melaporkan beratnya, nyeri dan
kenyamanan fisik faktor-faktor
NOC: Control nyeri presipitasi
 Mengenali serangan  Observasi isyarat-
nyeri isyarat non verbal
NOC:Tingkat nyeri dan
 Melaporkan nyeri ketidaknyamanan,
berkurang khususnya dalam
 Frekuensi nyeri ketidakmampuan
berkurang untuk komunikasi
 Panjangnya episode secara efektif.
nyeri berkurang  Anjurkan
 Perubahan pada penggunaan
jumlah pernafasan tekhnik non

 Perubahan pada farmakologis

denyut nadi (relaksasi, guided

 Perubahan pada imagery, terapi

tekanan darah musik, distraksi,


aplikasi panas-
dingin, massase,
TENS, hipnotis,
terapi bermain,
terapi aktivitas,
akupresure)
 Berikan analgetik
sesuai anjuran
 Evaluasi
ketidakefektifan
dari tindakan
mengontrol nyeri
 Modifikasi
tindakan nyeri
berdasarkan
respon pasien
 Tingkatkan tidur /
istirahat yang
cukup
 Beritahu dokter jika
tindakan tidak
berhasil atau
terjadi keluhan
 Monitor perubahan
nyeri dan bantu
pasien
mengidentifikasi
faktor presipitasi
nyeri baik aktual
dan potensial
 Lakukan tekhnik
variasi untuk
mengontrol nyeri
(farmakologi, non
frmakologi dan
interpersonal)
 Libatkan keluarga
untuk mengurangi
nyeri
NIC: Analgetik
administration
 Tentukan lokasi,
karakteristik,
kualitas dan derajat
nyeri sebelum
pemberian obat
 Cek instruksi
dokter tentang
pemberian
bat, dosisi dan
frekuensi
 Cek riwayat alergi
 Pilih analgesik
yang diperlukan
atau kombinasi dari
analgesik ketika
pemberian lebih
dari satu
 Tentukan pilihan
analgetik
tergantung tipe dan
beratnya nyeri
 tentukan analgetik
pilihan, rute
pemberian dan
dosis optimal
 Pilih rute
pemberian secra
IV, IM untuk
pengobatan nyeri
secara teratur
 Monitor vital sign
sebelum dan
sesudah
pemberian
analgesik pertama
kali
 Berikan analgesik
tepat waktu
terutama saat nyeri
hebat
Evaluasi efektifitas
analgesik, tanda dan
gejala (efek samping)
Tujuan : NIC : Exercise therapy
3 Hambatan mobilitas fisik b.d Setelah dilakukan : ambulation
kerusakan musculoskeletal dan tindakan keperawatan  kaji kemampuan
neuromuskuler 3 x 24 jam mobilitas aktivitas motorik
pasien meningkat pasien
Kriteria hasil :  konsultasikan
NOC : Mobility dengan terapi fiisk
 kekuatan otot tentang rencana
meningkat, ambulasi sesuai
 pasien mampu dengan
menggerakkan kemampuan dan
anggota badan kebutuhan pasien
dan melakukan  bantu klien
perpindahan mengubah
secara bertahap posisinya setiap 2
jam sekali
 ajarkan pasien
cara merubah
posisi dan berikan
bantuan dan
dampingi klien saat
melakukan
mobilisasi
 latih pasien ROM
aktif untuk
meningkatkan
kekuatan otot
 monitoring TTV
sebelum dan
sesudah
melakukan latihan
dan lihat respon
klien saat latihan
2
Gangguan
r eliminasi urin b.d Tujuan : NIC : Urinary
Gangguan
t sensorik motorik Setelah dilakukan incontinence care
tindakan keperawatan - Monitor eliminasi
2 x 24 jam urin meliputi
polaeliminasi pasien frekuensi,
mengalami perbaikan konsistensi, bau,
Kriteria hasil : volume,
NOC : Urinary kejernihan, dan
elimination warna urin
 inkontinensia urine  Bersihkan area
menurun genitalia secara
 pola eliminasi regular
membaik  Anjurkan pasien
 masukan cairan untuk minum
adekuat minimal 1500
cc/hari.
 Kolaborasi
pemberian diuretic
Resiko
5 kerusakan integritas kulit Tujuan : NIC : Pressure
b.d imobilisasi fisik Setelah dilakukan management
tindakan keperawatan  Anjurkan dan
2 x 24 jam tidak terjadi bantu pasien
gangguan integritas menggunakan
kulit pakaian yang
Kriteria hasil : longgar
NOC : Tissue integrity :  Hindari kerutan
skin mucous pada tempat tidur
membranes  Jaga kulit agar
 tidak ada luka/ lesi tetap bersih dan
 perfusi jaringan kering
baik  Lakukan
 integritas kulit yang perubahan posisi
baik dapat
dipertahankan pasien setiap 2
(sensasi, jam sekali
elastisitas,  Monitor kulit
temperature, adanya
hidrasi, kemerahan
pigmentasi)  Oleskan lotion
atau baby oil pada
daerah yang
tertekan
 Monitor aktivitas
dan mobilisasi
pasien

EVALUASI
No Dx Keperawatan Evaluasi
1 Ketidakefektifan pola nafas b.d S: pasien mengatakan sudah tidak susah
kelemahan otot diafragma lbernafas lagi
O: - klien tampak lega saat bernafas
- Klien tampak tenang saat bernafas
- RR klien dalam batas normal (16-20x/menit)
A: masalah teratasi sebagian
P: melanjutkan intervensi
Pertahankan pemasangan alat ventilator mekanik
sampai pola nafas pasien membaik, dan inisiasi
penyapihan ventilator mekanik jika pasien
menunjukkan perbaikan
2 Nyeri akut b.d agen cedera fisik S : pasien mengatakan nyeri berkurang, nyaman
dengan dirinya dan klien melaporkan dapat
beristirahat
O: - klien mengekspresikan bahwa nyeri
berkurang
- Klien mampu menggunakan teknik non
analgesic
- TTV klien dalam rentang normal
A : masalah teratasi sebagian
P : melanjutkan intervensi
 Anjurkan penggunaan tekhnik non
farmakologis (relaksasi, terapi musik,
distraksi, aplikasi panas-dingin, massase ,
hipnotis, terapi bermain, terapi aktivitas)
 Berikan analgetik sesuai anjuran
 Tingkatkan tidur / istirahat yang cukup
 Pilih analgesik yang diperlukan atau
kombinasi dari analgesik ketika pemberian
lebih dari satu
 Evaluasi efektifitas analgesik, tanda dan
gejala (efek samping)

3 Hambatan mobilitas fisik b.d S : pasien mengatakan bahwa otot – otot


kerusakan musculoskeletal dan badannya sudah agak lemas
neuromuskuler O : pasien dapat menggerakkan anggota badan
(mika miki), mobilisasi
A : tujuan tercapai
P : pertahankan kondisi pasien dan lanjutkan
intervensi
4 Gangguan eliminasi urin b.d S : pasien mengatakan sudah tidak ngompol lagi
Gangguan sensorik motorik O : pasien dapat minum atau memasukkan cairan
A : tujuan tercapai sebagian karena inkontinensia
belum teratasi sepenuhnya tapi pola eliminasi
pasien mengalami perbaikan
P : lanjutkan intervensi
5 Resiko kerusakan integritas S : pasien mengatakan dapat melakukan
kulit b.d imobilisasi fisik mobilisasi saat terjadi gerah/ sumpek/ panas
O : tidak terdapat lesi/ luka di badan pasien
A : tujuan tercapai
P : pertahankan kondisi klien dan
lanjutkanintervensi
BAB III

PEMBAHASAN

Trigger
Seorang laki-laki mengalami kecelakaan lalu lintas.Laki-laki tersebut tergeletak
setengah sadar. Petugas emergency segera memindahkan pasien ke tempat yang aman dan
melakukan rapid assessment serta melakukan intervensi yang dibutuhkan segera dan
pemasangan servikal kolar setelah melepas helm korban. Saat melakukan assessment tidak
ditemukan sumbatan jalan nafas, ditemukan nafas cepat dan dangkal, nadi yang teraba hanya
nadi carotis dan brakhialis dan teraba lemah 60 x/menit , CRT < 2 detik, akral teraba hangat,
suhu tubuh agak menurun . pada bagian ekstermitas bagian atas didapatkan fraktur komplit
pada lengan atas sebelah kanan, babras pada telapak tangan kiri dan pada bagian ektremitas
bawah sebelah kanan, petugas segera melakukan stabilisasi pada lengan . Saat akan
dilakukan transportasi pasien, petugas menemukan luka lebam pada bagian punggung atas
korban.

A. Pengkajian Awal Pasien Trauma Tulang Belakang


No. Parameter Pengkajian dan Intervensi Pertimbangan Kasus
Pengkajian Keperawatan
1 Jalan napas - Kaji kepatenan jalan nafas, - Gigi susu mungkin
dan tulang Observasi apakah ada gigi yang patah: tanyakan
belakang lepas, Muntahan, Obstruksi, kepada teman atau
Perhatikan posisi kepala klien. saudara klien apakah
ada gigi yang sudah
hilang atau patah
untuk memastikan
tidak ada gigi yang
patah saat kejadian
yang dapat
menyumbat saluran
- Pertahankan kelurusan vertebra nafas
(allignment) yang netral selama - Ingatkan pasien untuk
pengkajian. menjawab pertanyaan
dengan kata-kata dan
bukan dengan
menganggukkan atau
menggelengkan
kepalanya (mengkaji
vokalisasi pasien)
- Evaluasi terhadap ukuran dan - Tunjuk seorang regu
penempatan yang benar dari medis untuk
kolar servikal, alat imobilisasi bertanggung jawab
servikal, atau alat imobilisasi atas tindakan
lainnya. stabilisasi servikal
pada pasien yang
mengalami cidera
multiple.
- Membuka kolar servikal untuk - Kolar servikal
menemukan deviasi trakea dan terpasang dengan pas
distensi vena jugularis jika dagu sudah
terletak pada bagian
penahan dagu, bagian
bawah kolar tertahan
pada sternum, dan
kolar tidak menutup
telinga.
2. Pernapasan a. Auskultasi suara [ernapasan di 1. Kaji suara napas
(Breathing) aksila untuk menilai keberadaan
dan eksualitas.
b. Pengkajian dada untuk 2. Inspeksi terhadap
menemukan kontusi, luka adanya DCAP BLS
tembus, abrasi, atau gerakan (ditensi, contusion,
paradoksal abrasi, puncture, burn,
laserasi, swelling).
3 Sirkulasi - Pengkajian denyut apical 1. Mungkin terdapat
(Sirculation) untuk menilai frekuensi, penyakit jantung
irama dan kualitasnya;
bandingkan kualitas dan
ekualitas dari denyut nadi
apical dengan perifer

 Pengkajian Data Dasar


- Pengkajian fisik didasarkan pada pemeriksaan pada neurologis (Apendiks J)
kemungkinan didapati deficit motoric dan sensorik dibawah area yang terkena :
- Syok spinal yang ditandai dengan adanya paralisi flaksid atau arefleksia
(hilangnya semua reflex dibawah area terkena). Sering keadaan ini bersifat
sementara berkisar dari beberapa hari sampai 6 bulan. Namun, dengan
adanya transeksi total, pergerakan otot-otot hiperfleksia atau spastis terjadi
kemungkinan setelah edema berkurang. Semua pergerakan yang tidak
disadari ini sering merupakan indikasi berakhirnya syok spinal. Obat- obatan
seperti baclofen, valium atau dantrolene dapat mengurangi spastisitas.
- Nyeri
- Perubahan fungsi kandung kemih :
- Kandung kemih neurogenic ditandai dengan adanya berkemih secara
spontan dalam jumlah yang sedikit dengan interval sering . Pola
berkemih seperti ini mencerminkan adanya lesi motor neuron atas.
- Arkus reflex tetap baik, tetapi mekanisme menghambatnya hilang.
Stimulasi ringan seperti mengusap daerah perut atau paha atau
genetalia dapat merangsang berkemih.
- Kandung kemih atonik dikarakteristikkan adanya retensi urin tanpa
indivudi merasakan adanya kebutuhan untuk berkemih. Kadang kemih
distensi berlebihan, urin menetes terus-menerus. Jenis gangguan
fungsi kandung kemih seperti ini mencerminkan gangguan pada motor
neuron bawah (LMN). Arkus reflex hilang dan rangsangan tidak dapat
mencapai otak.
- Kerusakan fungsi seksual pada pria, sering terjadi impotensi,
menurunnya sensasi dan kesulitan ejakulasi. Keadaan ini paling sering
terjadi pada kerusakan sumsum tulang di area sacrum. Fungsi seksual
tetap normal pada cedera yang terjadi di atas area sacrum meskipun
kepuasan seksual bias berkurang. Pada wanita, fungsi seksual
umumnya tetap tidak terganggu.
- Perubahan fungsi defekasi, dapat berupa inkontinensia dan konstipasi.
- Kaji perasaan pasien terhadap kondisinya.
- Pemeriksaan diagnostic.
- Sinar x tulang belakang menggambarkan letak dan jenis fraktur.
- Diagnosa Keperawatan
MASALAH
DATA ETIOLOGI
KEPERAWATAN
Data Subjektif: Trauma Ketidakefektifan Pola
Tidak dapat dikaji ↓ Napas
Fraktur
Data Objektif: ↓
ditemukan nafas cepat dan Diskontinuitas tulang
dangkal, nadi yang teraba ↓
hanya nadi carotis dan Perubahan jaringan sekitar
brakhialis dan teraba ↓
lemah 60 x/menit Spasme otot

Peningkatan tekanan kapiler

Ketidakefektifan pola napas

Data Subjektif: Trauma Kerusakan integritas


Tidak dapat dikaji ↓ kulit
Fraktur
Data Objektif: ↓
Pada lengan atas sebelah Diskontinuitas tulang
kanan, babras pada ↓
telapak tangan kiri dan Perubahan jaringan sekitar
pada bagian ektremitas ↓
bawah sebelah kanan Laserasi kulit

Kerusakan integritas kulit
Data Subjektif: Trauma Kerusakan Integritas
Tidak dapat dikaji ↓ Jaringan
Fraktur
Data Objektif: ↓
Pada ekstermitas bagian Diskontinuitas tulang
atas didapatkan fraktur ↓
komplit Perubahan jaringan sekitar

Laserasi kulit

Kerusakan integritas jaringan

- Intervensi Keperawatan

No. Diagnosa Tujuan & KH Intervensi


Keperawatan
1. Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan 1. Lakukan pengisapan secret bila
Pola Nafas b/d keperawatan selama 1x24 jam pola perlu. Kaji jenis, jumlah, dan
Injury Tulang nafas klien efektif. karakteristik sekresi
Belakang 2. Kaji fungsi pernapasan dengan
KH: menginstruksikan pasien untuk
- Menunjukkan jalan nafasyang paten melakukan napas dalam
(klien tidakmerasa tercekik, 3. Auskultasi suara napas
iramanafas, frekuensipernafasan 4. Observasi warna kulit, adanya
dalamrentang normal, tidakada sianosis, atau keabu-abuan
suara nafasabnormal) 5. Berikan oksigen dengan cara
- Tanda Tanda Vital dalamrentang yang tepat seperti dengan akanul
normal (tekanandarah 120/80 oksigen, masker, intubasi
mmHg, nadi 60-100x/menit, 6. Pertahankan jalan nafas yang
pernafasan 16-20x/menit) paten
7. Observasi adanya tanda
tandahipoventilasi
8. Monitor adanya kecemasan
pasienterhadap oksigenasi
9. Monitor vital sign
10. Informasikan pada pasien dan
keluargatentang tehnik relaksasi
untukmemperbaiki pola nafas.
2. Kerusakan Setelah di lakukan tindakan 1. Kaji secara teratur fungsi motorik
Integritas Jaringan keperawatan selama 2x24 jam 2. Bantu lakukan latihan room pada
kerusakan integritas jaringan dapat semua ekstremitas dan sendi
berkurang atau teratasi. dengan perlahan dan lembut
3. Gantilah posisi secara periodic
KH: walaupun dalam keadaan duduk
- Mempertahankan posisi-posisi 4. Kaji rasa nyeri, kemerahan,
fungsi yang dibuktikan dengan ada bengkak, ketegangan otot jari
tidaknya kontraktur footdrop. 5. Berikan posisi yang mengurangi
- Meningkatkan kekuatan bagian tekananpada luka
tubuh yang sakit atau kompensasi 6. Anjurkan pasien untuk
menggunakanpakaian yang
longgar
7. Jaga kulit agar tetap bersih dan
kering
8. Konsultasi dengan ahli terapi fisik

- Evaluasi
No. Diagnosa Evaluasi
1. Ketidakefektifan Pola Nafas S:
- Klien mengatakan mampu bernapas dengan
baik
- Klien menyatakan mampu melakukan tehnik
napas dalam
- Klien mampu mengungkapkan kecemasan
terhadap oksigenasi
O:
- Auskultasi napas menunjukkan pola napas
yang baik, tidak ada suara abnormal
- Tidak ditemukan adanya tanda sianosis dan
hipoventilasi
- Tanda vital berangsur-angsur membaik ke
rentang normal
A: Masalah teratasi
P: Lanjutkan intervensi monitor TTV, monitor
oksigenasi, dan tanda hipoventilasi.
2. Kerusakan Integritas Jaringan S:
- Klien menyatakan mampu melakukan gerakan
latihan motorik dengan perlahan
- Klien melaporkan adanya nyeri, bengkak,
ketegangan otot dan ketidaknyamanan
- Klien menyatakan nyaman dengan posisi yang
dianjurkan untuk mengurangi tekanan pada
luka
O:
- Klien mampu menggerakan ekstremitas dan
gerakan motorik secara lembut dan perlahan
- Klien mampu mengikuti anjuran untuk memilih
posisi yang nyaman untuk mengurangi
tekanan pada luka
- Klien mampu mengganti posisi secara periodik
- Klien merasa nyaman dengan baju longgar
A: Masalah teratasi
P: Lanjutkan intervensi latihan gerakan motorik,
ekstremitas, monitor kemerahan, bengkak, nyeri
dan berikan posisi nyaman pada klien.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Cidera tulang belakang adalah cidera mengenai cervicalis, vertebralis dan
lumbalis akibat trauma jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah
raga dsb yang dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang
vertebra sehingga mengakibatkan defisit neurologi.
Gambaran klinik tergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang terjadi.
Pertolongan pertama untuk cedera tulang belakang yaitu:
1. Jangan asal mengajak korban bergerak karena dapat menyebabkan kerusakan tulang
permanen.
2. Tempatkan handuk yang sudah digulung di bagian nyeri agar menghindari kerusakan
leher dan kepala.
3. Jangan lupa untuk meminta perhatian medis segera.

Setelah mendapat pertolongan oleh tenaga medis maka segera akan


dilakukan penanganan segera untuk trauma tulang belakang dan intervensi
keperawatan untuk kesembuhan pasien.

B. Saran
Semoga apa yang kami sajikan dalam makalah ini terkait dengan penyakit
tentang kasus yang kami buat ini dapat menjadi sebuah pelajaran untuk mahasiswa
maupun pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Arif Muttaqin. 2008. pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan sitem
Persarafan. Jakarta : Salemba Medika.
Bastian, Yefta. D. Cedera Tulang Belakang.
http://www.scribd.com/document_downloads/direct/95168862?extension=pdf&ft=1399
050654&lt=1399054264&user_id=101651355&uahk=BUni/yqUaAFhJg9yLbxTA5ohti0
Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8 volume 3, EGC,
Jakarta
Haryani dan Siswandi, 2004, Nursing Diagnosis: A Guide To Planning Care, available
on:www.Us.Elsevierhealth.com
Japardi, Iskandar dr.Cervical Injury. Fakultas Kedokteran Bagian Bedah Universitas Sumatera
Utara http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1957/1/bedah-
iskandar%20japardi7.pdf
Jong, W, 1997, Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC Jakarta
McCloskey, 1996, Nursing Interventions Classification (NIC), Mosby, USA
Ralph & Rosenberg, 2003, Nursing Diagnoses: Definition & Classification 2005-2006,
Philadelphia USA

https://plus.google.com/111876121943239617552/posts/STBBsuqoAm2

Anda mungkin juga menyukai