Makalah Seminar Emergency Trauma Tulang Belakang
Makalah Seminar Emergency Trauma Tulang Belakang
OLEH :
KELOMPOK 4 REGULER 2011
HARTONO 115070200111055
AFFRIDA NURLILY CHINTYA W 115070201111009
NI WAYAN ASMA NIRA YUSTIKA 115070201111011
ATIKA DYAH SETYANINGATI 115070201111013
FITRI OCTAVIA HADI PUTRI 115070201111015
RAHMI NURROSYID P 115070201111017
ETRI NURHAYATI 115070201111019
SHINTA ARDIANA P 115070201111021
DANASTRI DANNISWARI 115070201111023
1.3 Tujuan
Memberikan pemahaman serta pengetahuan kepada mahasiswa tentang konsep dasar
fundamental patofisiologi dan asuhan keperawatan pada Trauma Tulang Belakang
.
1.4 Manfaat
1. Dapat mengetahui konsep dasar fundamental patofisiologi dari Trauma Tulang
Belakang
2. Dapat melakukan pengkajian pada penderita Trauma Tulang Belakang
3. Dapat merumuskan diagnosa keperawatan pada penderita Trauma Tulang
Belakang
4. Dapat membuat intervensi pada penderita Trauma Tulang Belakang
BAB II
A. DEFINISI
Trauma tulang belakang adalah trauma yang diakibatkan kecelakaan lalu
lintas, jatuh dari tempat tinggi serta pada aktivitas olahraga yang berbahaya yang
dapat mengakibatkan cedera/fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang pada
daerah cervicalis, lumbalis, vetebralis sehingga mengakibatkan deficit neurologi
(Sjamsuhidayat,1997).
Adapun menurut dr. Iskandar Japardi (2002), lokasi fraktur atau fraktur
dislokasi cervical paling sering pada C2 diikuti dengan C5 dan C6 terutama pada
usia decade 3.
B. ETIOLOGI
Menurut Harsono (2000) trauma tulang belakang dapat disebabkan oleh :
1. Kecelakaan lalu lintas
2. Kompresi atau tekanan pada tulang belakang akibat jatuh dari ketinggian
3. Kecelakaan sebab olahraga (penunggang kuda, pemain sepak bola, penyelam,
dll
4. Luka jejas, tajam, tembak, pada daerah vertebra
5. Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau kondisi patologis yang
menimbulkan penyakit tulang atau melemahnya tulang
Menurut Ducker dan Perrot dalam dr. Iskandar Japardi (2002), melaporkan :
E. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala umum dari trauma pada tulang belakang adalah (National
Institutes of Health US):
1. Kepala berada pada posisi yang tidak semestinya
2. Mati rasa atau sensasi geli di sepanjang kaki maupun lengan
3. Kelemahan
4. Ketidakmampuan berjalan
5. Paralisis (kehilangan control pergelangan ekstremitas, yakni lengan dan kaki)
6. Tidak ada control pada GIT dan system perkemihan, pasien cenderung tidak bisa
mengontrol BAB maupun BAK
7. Syok (pucat, kulit basah dan hangat, jari dan tangan kebiru-biruan, pusing, sakit
kepala, dan setengah tidak sadar)
8. Kurang perhatian terhadap stimuli/lingkungan sekitar
9. Leher kaku, sakit kepala, atau nyeri pada leher
Menurut ASIA (American Spinal Injury Association) skala terjadinya gangguan
dikatagorikan sebagai berikut :
1. A = komplit, tidak ada fungsi sensorik maupun motorik pada segmen sacrum (S4-
S5)
2. B = tidak komplit, fungsi sensoris masih berada dibawah staus neurologis
3. C = tidak komplit
4. D = tidak komplit, fungsi motorik
5. E = normal, fungsi motorik dans ensoris normal
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan fisik seperti pasien trauma, evaluasi klinis awal dimulai dengan
survey - ABCDE. SCI (Spinal Cord Injury) harus dilakukan secara bersamaan.
Masing-masing pemeriksaannya adalah:
a) Fungsi paru - Respiration rate, sianosis, distress pernapasan, kesimetrisan dada,
suara tambahan, ekspansi dada, gerakan dinding perut, batuk, dan cedera paru.
Analisis gas darah arteri dan oksimetri.
b) Disfungsi respirasi pada akhirnya akan tergantung pada keadaan paru yang
sudah ada, tingkat SCI, cedera paru-paru. Hal-hal yang mungkin terganggu
dalam pengaturan SCI:
1. Hilangnya fungsi otot ventilasi akibat adanya cedera dada.
2. Cedera paru, seperti pneumothoraks, hemotoraks, atau contusio paru.
3. Penurunan pengaturan ventilasi berhubungan dengan cedera kepala atau
efek eksogen alkohol dan obat-obatan.
c) CVS – nadi dan volume, tekanan darah (hemoragik atau shock
neurogenik).
d) Suhu – hipotermia – shock spinal.
e) Pemeriksaan neurologis.
Menentukan tingkat cedera yang dialami, complete atau incomplete.
c) Tes motorik – dilakukan bersamaan, tes tonus otot, kekuatan otor, refleks otot,
koordinasi, pemeriksaan refleks tendon dalam dan evaluasi perineal sangat
penting. Ada atau tidaknya prognosis sparingis sakral, indikator evaluasi sakral.
Hal-hal yang dievaluasi dapat didokumentasikan sebagai berikut:
Sensai perineum terhadap sentuhan ringan dan cocokan peniti
Refleks bulbocavernous (S3 atau S4)
Kedipan mata (S5)
Retensi urine atau inkontinensia
Priapisme
d) Seks – Rasio laki-laki : perempuan adalah sekitar 2,5-3,0 : 1.
e) Umur – Sekitar 80% dari laki-laki dengan SCIS berusia 18-25 tahun. SCIWORA
terjadi terutama pada anak-anak.
1. Fraktur Stabil
a. Fraktur wedging sederhana (Simple wedges fraktur)
b. Burst fraktur
c. Extension
2. Fraktur tak stabil
a. Dislokasi
b. Fraktur dislokasi
c. Shearing fraktur
Perawatan:
1. Faktur stabil (tanpa kelainan neorologis) maka dengan istirahat saja penderita akan
sembuh.
2. Fraktur dengan kelainan neorologis.
Fase Akut (0-6 minggu)
a. Live saving dan kontrol vital sign
b. Perawatan trauma penyerta
• Fraktur tulang panjang dan fiksasi interna.
• Perawatan trauma lainnya.
c. Fraktur/Lesi pada vertebra
1) Konservatif (postural reduction) (reposisi sendiri)
Tidur telentang alas yang keras, posisi diubah tiap 2 jam mencegah
dekubitus, terutama simple kompressi.
2) Operatif
Pada fraktur tak stabil terdapat kontroversi antara konservatif dan
operatif. Jika dilakukan operasi harus dalam waktu 6-12 jam pertama
dengan cara:
- Laminektomi
mengangkat lamina untuk memanjakan elemen neural pada kanalis
spinalis, menghilangkan kompresi medulla dan radiks.
- fiksasi interna dengan kawat atau plate
- anterior fusion atau post spinal fusion
3) Perawatan status urologi
Pada status urologis dinilai tipe kerusakan sarafnya apakah supra
nuldear (reflek bladder) dan infra nuklear (paralitik bladder) atau campuran.
Pada fase akut dipasang keteter dan kemudian secepatnya dilakukan
bladder training dengan cara penderita disuruh minum segelas air tiap jam
sehingga buli-buli berisi tetapi masih kurang 400 cc. Diharapkan dengan
cara ini tidak terjadi pengkerutan buli-buli dan reflek detrusor dapat
kembali.
Miksi dapat juga dirangsang dengan jalan:
a) Mengetok-ngetok perut (abdominal tapping)
b) Manuver crede
c) Ransangan sensorik dan bagian dalam paha
d) Gravitasi/ mengubah posisi
4) Perawatan dekubitus
Dalam perawatan komplikasi ini sering ditemui yang terjadi karena
berkurangnya vaskularisasi didaerah tersebut.
Penanganan Cedera Akut Tanpa Gangguan Neorologis
Penderita dengan diagnose cervical sprain derajat I dan II yang sering karena
“wishplash Injury” yang dengan foto AP tidak tampak kelainan sebaiknya dilakukan
pemasangan culiur brace untuk 6 minggu. Selanjutnya sesudah 3-6 minggu post
trauma dibuat foto untuk melihat adanya chronik instability
Kriteria radiologis untuk melihat adanya instability adalah:
1) Dislokasi feset >50%
2) Loss of paralelisine dan feset.
3) Vertebral body angle > 11 derajat path fleksi.
4) ADI (atlanto dental interval) melebar 3,5-5 mm (dewasa- anak)
5) Pelebaran body mas CI terhadap corpus cervical II (axis) > 7 mm pada foto AP
Pada dasarnya bila terdapat dislokasi sebaiknya dikerjakan emergensi closed
reduction dengan atau tanpa anestesi. Sebaiknya tanpa anestesi karena masih ada
kontrol dan otot leher. Harus diingat bahwa reposisi pada cervical adalah
mengembalikan keposisi anatomis secepat mungkin untuk mencegah kerusakan
spinal cord.
Penanganan Cedera dengan Gangguan Neorologis
H. KOMPLIKASI
Menurut Mansjoer, Arif, et al. 2000 trauma tulang belakang bisa
mengakibatkan berbagai macam komplikasi, diantaranya
1. Syok hipovolemik
akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak
sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar akibat trauma.
2. Pendarahan Mikroskopik
Pada semua cidera madula spinalis atau vertebra,terjadi perdarahan-
perdarahan kecil.Yang disertaireaksi peradangan,sehingga menyebabkan
pembengkakan dan edema dan mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan
didalam dan disekitar korda.Peningkatan tekanan menekan saraf dan
menghambat aliran darah sehingga terjadi hipoksia dan secara drastis
meningkatkan luas cidera korda.Dapat timbul jaringan ikat sehingga saraf
didarah tersebut terhambat atau terjerat.
3. Hilangnya Sesasi, Kontrol Motorik, Dan Refleks.
Pada cidera spinal yang parah, sensasi,kontrol motorik, dan refleks
setingg dan dibawah cidera korda lenyap. Hilangnya semua refleks disebut syok
spinal. Pembengkakan dan edema yang mengelilingi korda dapat meluas kedua
segmen diatas kedua cidera. Dengan demkian lenyapnya fungsi sensorik dan
motorik serta syok spinal dapat terjadi mulai dari dua segmen diatas cidera.
Syok spinal biasanya menghilang sendiri, tetap hilangnya kontor sensorik dan
motorik akan tetap permanen apabila korda terputus akan terjadi
pembengkakan dan hipoksia yang parah.
4. Syok Spinal.
Syok spinal adalah hilangnya secara akut semua refleks-refleks dari dua
segme diatas dan dibawah tempat cidera. Repleks-refleks yang hilang adalah
refleks yang mengontrol postur, fungsi kandung kemih dan rektum, tekanan
darah, dan pemeliharaan suhu tubuh. Syok spinal terjadi akibat hilangnya
secara akut semua muatan tonik yang secara normal dibawah neuron asendens
dari otak, yang bekerja untuk mempertahankan fungsi refleks.Syok spinl
biasanya berlangsung antara 7 dan 12 hari, tetapi dapat lebih lama. Suatu syok
spinal berkurang dapat tmbul hiperreflekssia, yang ditadai oleh spastisitas otot
serta refleks, pengosongan kandung kemih dan rektum.
5. Hiperrefleksia Otonom.
Kelainan ini dapat ditandai oleh pengaktipan saraf-saraf simpatis secar
refleks, yang meneyebabkan peningkatan tekanan darah. Hiper refleksia
otonom dapat timbul setiap saat setelah hilangnya syok spinal. Suatu
rangsangan sensorik nyeri disalurkan kekorda spnalis dan mencetukan suatu
refleks yang melibatkan pengaktifan sistem saraf simpatis.Dengan
diaktifkannya sistem simpatis,maka terjadi konstriksi pembuluh-pembuluh
darah dan penngkatan tekanan darah system. Pada orang yang korda
spinalisnya utuh,tekanan darahnya akan segera diketahui oleh
baroreseptor.Sebagai respon terhadap pengaktifan baroreseptor,pusat
kardiovaskuler diotak akan meningkatkan stimulasi parasimpatis kejantung
sehingga kecepatan denyut jantunhg melambat,demikian respon saraf simpatis
akan terhenti dan terjadi dilatasi pembuluh darah.Respon parasimpatis dan
simpatis bekerja untuk secara cepat memulihkan tekanan darah kenormal.Pada
individu yang mengalami lesi korda,pengaktifan parasimpatis akan
memperlambat kecepatan denyut jantung dan vasodilatasi diatas tempat
cedera,namun saraf desendens tidak dapat melewati lesi korda sehngga
vasokontriksi akibat refleks simpatis dibawah tingkat tersebut terus
berlangsung.Pada hiperrefleksia otonom,tekanan darah dapat meningkat
melebihi 200 mmHg sistolik,sehingga terjadi stroke atau
infark miokardium.Rangsangan biasanya menyebabkan hiperrefleksia otonom
adalah distensi kandung kemih atau rektum,atau stimulasi reseptor-reseptor
permukaan untuk nyeri.
6. Paralisis
Paralisis adalah hilangnya fungsi sensorik dan motorik volunter.Pada
transeksi korda spinal,paralisis bersifat permanen.Paralisis ekstremitas atas
dan bawah terjadi pada transeksi korda setinggi C6 atau lebih tinggi dan disebut
kuadriplegia.Paralisis separuh bawah tubuh terjadi pada transeksi korda
dibawah C6 dan disebut paraplegia.Apabila hanya separuh korda yang
mengalami transeksi maka dapat terjadi hemiparalisis.
Persentase terjadinya komplikasi pada individu dengan tetraplegia
komplit adalah sebagai berikut :
pneumonia (60,3 %),
ulkus akibat tekanan (52,8 %),
trombosis vena dalam (16,4 %),
emboli pulmo (5,2 %),
infeksi pasca operasi (2,2 %).
PENGKAJIAN
a.Identitas klien,
Meliputi nama, usia (kebanyakan terjadi pada. usia muda), jenis kelamin (kebanyakan
laki-laki karena sering mengebut saat mengendarai motor tanpa pengaman helm),
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit
(MRS), nomor register, dan diagnosis medis.
b.Keluhan utama
Yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan adalah nyeri, kelemahan
dan kelumpuhan ekstremitas, inkontinensia urine dan inkontinensia alvi, nyeri tekan
otot, hiperestesia tepat di atas daerah trauma, dan deformitas pada daerah trauma.
c. Riwayat penyakit sekarang.
Kaji adanya riwayat trauma tulang belakang akibat kecelakaan lalu lintas, kecelakaan
olahraga, kecelakaan industri, jatuh dari pohon atau bangunan, luka tusuk, luka tembak,
trauma karena tali pengaman (fraktur chance), dan kejatuhan benda keras.Pengkajian
yang didapat meliputi hilangnya sensibilitas, paralisis (dimulai dari paralisis layu
disertai hilangnya sensibilitas secara total dan melemah/menghilangnya refleks alat
dalam) ileus paralitik, retensi urine, dan hilangnya refleks-refleks.
d. Riwayat kesehatan dahulu.
Merupakan data yang diperlukan untuk mengetahui kondisi kesehatan klien sebelum
menderita penyakit sekarang , berupa riwayat trauma medula spinalis. Biasanya ada
trauma/ kecelakaan.
e.Riwayat kesehatan keluarga.
Untuk mengetahui ada penyebab herediter atau tidak
f. Masalah penggunaan obat-obatan adiktif dan alkohol.
g.Riwayat penyakit dahulu.
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat penyakit degeneratif pada
tulang belakang, seperti osteoporosis dan osteoartritis.
h.Pengkajian psikososiospiritual.
i.Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data pengkajian anamnesis.
Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan per sistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan
B3 (Brain) dan B6 (Bone) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan klien.
1. Pernapasan.
Perubahan sistem pernapasan bergantung pada gradasi blok saraf
parasimpatis (klien mengalami kelumpuhan otototot pernapasan) dan
perubahan karena adanya kerusakan jalur simpatik desenden akibat trauma
pada tulang belakang sehingga jaringan saraf di medula spinalis terputus.
Dalam beberapa keadaan trauma sumsum tulang belakang pada daerah
servikal dan toraks diperoleh hasil pemeriksaan fisik sebagai berikut.
Inspeksi.
Didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas,
penggunaan otot bantu napas, peningkatan frekuensi pemapasan, retraksi
interkostal, dan pengembangan paru tidak simetris. Respirasi paradoks
(retraksi abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat terjadi jika otot-otot
interkostal tidak mampu mcnggerakkan dinding dada akibat adanya blok saraf
parasimpatis.
Palpasi.
Fremitus yang menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan didapatkan
apabila trauma terjadi pada rongga toraks.
Perkusi.
Didapatkan adanya suara redup sampai pekak apabila trauma terjadi pada
toraks/hematoraks.
Auskultasi.
Suara napas tambahan, seperti napas berbunyi, stridor, ronchi pada klien
dengan peningkatan produksi sekret, dan kemampuan batuk menurun sering
didapatkan pada klien cedera tulang belakang yang mengalami penurunan
tingkat kesadaran (koma).
2. Kardiovaskular
Pengkajian sistem kardiovaskular pada klien cedera tulang belakang
didapatkan renjatan (syok hipovolemik) dengan intensitas sedang dan berat.
Hasil pemeriksaan kardiovaskular klien cedera tulang belakang pada
beberapa keadaan adalah tekanan darah menurun, bradikardia, berdebar-
debar, pusing saat melakukan perubahan posisi, dan ekstremitas dingin atau
pucat.
3.Persyarafan
Tingkat kesadaran. Tingkat keterjagaan dan respons terhadap Iingkungan
adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem persarafan. Pemeriksaan
fungsi serebral. Pemeriksaan dilakukan dengan mengobservasi penampilan,
tingkah laku, gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien. Klien
yang telah lama mengalami cedera tulang belakang biasanya mengalami
perubahan status mental.
Pemeriksaan Saraf kranial:
- Saraf I. Biasanya tidak ada kelainan pada klien cedera tulang belakang dan
tidak ada kelainan fungsi penciuman.
- Saraf II. Setelah dilakukan tes, ketajaman penglihatan dalam kondisi normal.
- Saraf III, IV, dan VI. Biasanya tidak ada gangguan mengangkat kelopak mata
dan pupil isokor.
- Saraf V. Klien cedera tulang belakang umumnya tidak mengalami paralisis pada otot
wajah dan refleks kornea biasanya tidak ada kelainan
- Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal dan wajah simetris.
- Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
- Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Ada
usaha klien untuk melakukan fleksi leher dan kaku kuduk
- Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikulasi, Indra pengecapan normal.
4. Pemeriksaan refleks:
a.Pemeriksaan refleks dalam.
Refleks Achilles menghilang dan refleks patela biasanya melemah karena
kelemahan pada otot hamstring.
b.Pemeriksaan refleks patologis.
Pada fase akut refleks fisiologis akan menghilang. Setelah beberapa hari
refleks fisiologis akan muncul kembali yang didahului dengan refleks
patologis.
c.Refleks Bullbo Cavemosus positif
d.Pemeriksaan sensorik.
Apabila klien mengalami trauma pada kaudaekuina, mengalami hilangnya
sensibilitas secara me-netap pada kedua bokong, perineum, dan anus.
Pemeriksaan sensorik superfisial dapat memberikan petunjuk mengenai
lokasi cedera akibat trauma di daerah tulang belakang
5.Perkemihan
Kaji keadaan urine yang meliputi warna, jumlah, dan karakteristik urine,
termasuk berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi
cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi pada ginjal.
6. Pencernaan.
Pada keadaan syok spinal dan neuropraksia, sering dida-patkan adanya ileus
paralitik. Data klinis menunjukkan hilangnya bising usus serta kembung dan
defekasi tidak ada. Hal ini merupakan gejala awal dari syok spinal yang akan
berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu. Pemenuhan nutrisi
berkurang karena adanya mual dan kurangnya asupan nutrisi.
7. Muskuloskletal.
Paralisis motor dan paralisis alat-alat dalam bergantung pada ketinggian
terjadinya trauma. Gejala gangguan motorik sesuai dengan distribusi
segmental dari saraf yang terkena
PENGKAJIAN A - I
PENGKAJIAN PRIMER
Data Subyektif
1. Riwayat Penyakit Sekarang
Mekanisme Cedera
Kemampuan Neurologi
Status Neurologi
Kestabilan Bergerak
2. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Keadaan Jantung dan pernapasan
Penyakit Kronis
Data Obyektif
1. Airway
adanya desakan otot diafragma dan interkosta akibat cedera spinal sehingga
mengganggu jalan napas
2. Breathing
Pernapasa dangkal, penggunaan otot-otot pernapasan, pergerakan dinding
dada
3. Circulation
Hipotensi (biasanya sistole kurang dari 90 mmHg), Bradikardi, Kulit teraba
hangat dan kering, Poikilotermi (Ketidakmampuan mengatur suhu tubuh, yang
mana suhu tubuh bergantung pada suhu lingkungan)
4. Disability
Kaji Kehilangan sebagian atau keseluruhan kemampuan bergerak, kehilangan
sensasi, kelemahan otot
· PENGKAJIAN SEKUNDER
a) Exposure
Adanya deformitas tulang belakang
b) Five Intervensi
- Hasil AGD menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi
- CT Scan untuk menentukan tempat luka atau jejas
- MRI untuk mengidentifikasi kerusakan saraf spinal
- Foto Rongen Thorak untuk mengetahui keadaan paru
- Sinar – X Spinal untuk menentukan lokasi dan jenis cedera tulang
(Fraktur/Dislokasi)
c) Give Comfort
- Kaji adanya nyeri ketika tulang belakang bergerak
d) Head to Toe
- Leher : Terjadinya perubahan bentuk tulang servikal akibat cedera
Dada : Pernapasa dangkal, penggunaan otot-otot pernapasan, pergerakan dinding
dada,bradikardi, adanya desakan otot diafragma dan interkosta akibat
cedera spinal
Pelvis dan Perineum : Kehilangan control dalam eliminasi urin dan feses,
terjadinyagangguan pada ereksi penis (priapism)
Ekstrimitas : terjadi paralisis, paraparesis, paraplegia atau quadriparesis/quadriplegia
e) Inspeksi Back / Posterior Surface
- Kaji adanya spasme otot, kekakuan, dan deformitas pada tulang belakang
ANALISA DATA
dispnue, takipnue
RR meningkat Otot diafragma lemah
Hasil laboratorium Ketidakefektifan pola nafas
saturasi oksigen
menurun (kurang dari
normal)
2 Etiologi (jatuh dari Nyeri akut b.d agen
DS: ketinggian, kecelakaan, cedera fisik
Klien mengeluh nyeri jatuh saat olahraga,
di bagian leher dan osteoporosis)
punggung.
Klien mengatakan Fraktur tulang belakang
nyerinya sangat
hebat dan terus terjadi gencetan antar
menerus dengan kolumna vertebre
skala 9 sekaligus terlepasnya
Klien mengatakan mediator kimia
tidak bisa menahan
nyeri yang ia rasakan Nyeri akut
DO:
Hasil pemeriksaan
TTV:
TD meningkat
RR meningkat
Nadi meningkat
Suhu meningkat
Klien mengalami sulit
tidur
Dilatasi pupil
Klien tampak berkeringat
3 Jatuh dari ketinggian, Hambatan mobilitas fisik
keluarga ↓
Fraktur dapat berupa patah
Klien merasa sulit
tulang
untuk
menggerakkan sederhana,kompresi,
angoota badannya kominutif, dislokasi
pasien mengatakan ↓
sulit melakukan Gangguan neurologis dan
perubahan posisi Gangguan musculoskeletal
DO : ↓
Klien terlihat lemah Kemampuan dalam
Kebutuhan klien di menggerakan anggota
bantu oleh keluarga badan menurun (lemah)
dan perawat ↓
Klien hanya Hambatan mobilitas fisik
beraktifitas di tempat
tidur dan itu pun
hanya berbaring
Kekuatan otot lemah
INTERVENSI
No Dx Keperawatan Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil
1 Ketidakefektifan pola nafas b.d Tujuan : NIC:
kelemahan otot diafragma Setelah dilakukan Mechanical Ventilation
intervensi selama 1x24 Management:Noninvas
jam pola nafas klien ive
efektif 1. Monitor kondisi
Kriteria Hasil: pasien yang
NOC: Mechanical mengindikasikan untuk
Ventilation Response: pemasangan ventilator
Adult mekanik noninvasive
RR klien dalam (pada pasien trauma
rentang normal (16- tulang belakang yang
20x/menit) menyebabkan
Ritme respirasi kelemahan otot
klien teratur pernafasan (otot
Tidal volum sesuai diafragma))
kebutuhan (500cc) 2. Monitor
Saturasi oksigen klien kontraindikasi
dalam rentang normal pemasangan ventilator
mekanik noninvasive
3. Observasi
kesadaran pasien
terlebih dahulu
sebelum meutuskan
memasang alat
ventilator mekanik
4. Secara rutin cek
kepatenan alat
ventilator mekanik
5. Secara teratur
evaluasi efek
pemasangan ventilator
mekanik (apakah ada
perbaikan pernafasan
jika iya segera lakukan
penyapihan alat
ventilator mekanik)
EVALUASI
No Dx Keperawatan Evaluasi
1 Ketidakefektifan pola nafas b.d S: pasien mengatakan sudah tidak susah
kelemahan otot diafragma lbernafas lagi
O: - klien tampak lega saat bernafas
- Klien tampak tenang saat bernafas
- RR klien dalam batas normal (16-20x/menit)
A: masalah teratasi sebagian
P: melanjutkan intervensi
Pertahankan pemasangan alat ventilator mekanik
sampai pola nafas pasien membaik, dan inisiasi
penyapihan ventilator mekanik jika pasien
menunjukkan perbaikan
2 Nyeri akut b.d agen cedera fisik S : pasien mengatakan nyeri berkurang, nyaman
dengan dirinya dan klien melaporkan dapat
beristirahat
O: - klien mengekspresikan bahwa nyeri
berkurang
- Klien mampu menggunakan teknik non
analgesic
- TTV klien dalam rentang normal
A : masalah teratasi sebagian
P : melanjutkan intervensi
Anjurkan penggunaan tekhnik non
farmakologis (relaksasi, terapi musik,
distraksi, aplikasi panas-dingin, massase ,
hipnotis, terapi bermain, terapi aktivitas)
Berikan analgetik sesuai anjuran
Tingkatkan tidur / istirahat yang cukup
Pilih analgesik yang diperlukan atau
kombinasi dari analgesik ketika pemberian
lebih dari satu
Evaluasi efektifitas analgesik, tanda dan
gejala (efek samping)
PEMBAHASAN
Trigger
Seorang laki-laki mengalami kecelakaan lalu lintas.Laki-laki tersebut tergeletak
setengah sadar. Petugas emergency segera memindahkan pasien ke tempat yang aman dan
melakukan rapid assessment serta melakukan intervensi yang dibutuhkan segera dan
pemasangan servikal kolar setelah melepas helm korban. Saat melakukan assessment tidak
ditemukan sumbatan jalan nafas, ditemukan nafas cepat dan dangkal, nadi yang teraba hanya
nadi carotis dan brakhialis dan teraba lemah 60 x/menit , CRT < 2 detik, akral teraba hangat,
suhu tubuh agak menurun . pada bagian ekstermitas bagian atas didapatkan fraktur komplit
pada lengan atas sebelah kanan, babras pada telapak tangan kiri dan pada bagian ektremitas
bawah sebelah kanan, petugas segera melakukan stabilisasi pada lengan . Saat akan
dilakukan transportasi pasien, petugas menemukan luka lebam pada bagian punggung atas
korban.
- Intervensi Keperawatan
- Evaluasi
No. Diagnosa Evaluasi
1. Ketidakefektifan Pola Nafas S:
- Klien mengatakan mampu bernapas dengan
baik
- Klien menyatakan mampu melakukan tehnik
napas dalam
- Klien mampu mengungkapkan kecemasan
terhadap oksigenasi
O:
- Auskultasi napas menunjukkan pola napas
yang baik, tidak ada suara abnormal
- Tidak ditemukan adanya tanda sianosis dan
hipoventilasi
- Tanda vital berangsur-angsur membaik ke
rentang normal
A: Masalah teratasi
P: Lanjutkan intervensi monitor TTV, monitor
oksigenasi, dan tanda hipoventilasi.
2. Kerusakan Integritas Jaringan S:
- Klien menyatakan mampu melakukan gerakan
latihan motorik dengan perlahan
- Klien melaporkan adanya nyeri, bengkak,
ketegangan otot dan ketidaknyamanan
- Klien menyatakan nyaman dengan posisi yang
dianjurkan untuk mengurangi tekanan pada
luka
O:
- Klien mampu menggerakan ekstremitas dan
gerakan motorik secara lembut dan perlahan
- Klien mampu mengikuti anjuran untuk memilih
posisi yang nyaman untuk mengurangi
tekanan pada luka
- Klien mampu mengganti posisi secara periodik
- Klien merasa nyaman dengan baju longgar
A: Masalah teratasi
P: Lanjutkan intervensi latihan gerakan motorik,
ekstremitas, monitor kemerahan, bengkak, nyeri
dan berikan posisi nyaman pada klien.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Cidera tulang belakang adalah cidera mengenai cervicalis, vertebralis dan
lumbalis akibat trauma jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah
raga dsb yang dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang
vertebra sehingga mengakibatkan defisit neurologi.
Gambaran klinik tergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang terjadi.
Pertolongan pertama untuk cedera tulang belakang yaitu:
1. Jangan asal mengajak korban bergerak karena dapat menyebabkan kerusakan tulang
permanen.
2. Tempatkan handuk yang sudah digulung di bagian nyeri agar menghindari kerusakan
leher dan kepala.
3. Jangan lupa untuk meminta perhatian medis segera.
B. Saran
Semoga apa yang kami sajikan dalam makalah ini terkait dengan penyakit
tentang kasus yang kami buat ini dapat menjadi sebuah pelajaran untuk mahasiswa
maupun pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Arif Muttaqin. 2008. pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan sitem
Persarafan. Jakarta : Salemba Medika.
Bastian, Yefta. D. Cedera Tulang Belakang.
http://www.scribd.com/document_downloads/direct/95168862?extension=pdf&ft=1399
050654<=1399054264&user_id=101651355&uahk=BUni/yqUaAFhJg9yLbxTA5ohti0
Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8 volume 3, EGC,
Jakarta
Haryani dan Siswandi, 2004, Nursing Diagnosis: A Guide To Planning Care, available
on:www.Us.Elsevierhealth.com
Japardi, Iskandar dr.Cervical Injury. Fakultas Kedokteran Bagian Bedah Universitas Sumatera
Utara http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1957/1/bedah-
iskandar%20japardi7.pdf
Jong, W, 1997, Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC Jakarta
McCloskey, 1996, Nursing Interventions Classification (NIC), Mosby, USA
Ralph & Rosenberg, 2003, Nursing Diagnoses: Definition & Classification 2005-2006,
Philadelphia USA
https://plus.google.com/111876121943239617552/posts/STBBsuqoAm2