Anda di halaman 1dari 50

1

MAKALAH TENTANG TUNA DAKSA DAN ANAK


BERPRESTASI

DISUSUN OLEH

-DIAN APRIYANI

-MELI GUSTINAWATI

-NELIS

-VINA

- RATNA

MATA KULIAH PEMBELAJARAN LUAR BIASA

LEMBAGA PENDIDIKAN GURU TAMAN KANAK-KANAK BINA PURI


HANDAYANI

2019
2

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 PENGERTIAN TUNA DAKSA


Anak tunadaksa sering disebut dengan istilah anak cacat tubuh,
cacat fisik, dan cacat ortopedi. Istilah tunadaksa berasal dari kata “tuna
yang berarti rugi atau kurang dan daksa yang berarti tubuh“. Tunadaksa
adalah anak yang memiliki anggota tubuh tidak sempurna, sedangkan
istilah cacat tubuh dan cacat fisik dimaksudkan untuk menyebut anak
cacat pada anggota tubuhnya, bukan cacat indranya. Selanjutnya istilah
cacat ortopedi terjemahan dari bahasa Inggris orthopedically
handicapped. Orthopedic mempunyai arti yang berhubungan dengan otot,
tulang, dan persendian. Dengan demikian, cacat ortopedi kelainannya
terletak pada aspek otot, tulang dan persendian atau dapat juga merupakan
akibat adanya kelainan yang terletak pada pusat pengatur sistem otot,
tulang dan persendian.
Anak tunadaksa dapat didefinisikan sebagai penyandang bentuk
kelainan atau kecacatan pada sistem otot, tulang dan persendian yang
dapat mengakibatkan gangguan koordinasi, komunikasi, adaptasi,
mobilisasi, dan gangguan perkembangan keutuhan pribadi. Salah satu
definisi mengenai anak tunadaksa menyatakan bahwa anak tunadaksa
adalah anak penyandang cacat jasmani yang terlihat pada kelainan bentuk
tulang, otot, sendi maupun saraf-sarafnya. Istilah tunadaksa maksudnya
sama dengan istilah yang berkembang, seperti cacat tubuh, tuna tubuh,
tuna raga, cacat anggota badan, cacat orthopedic, crippled, dan
orthopedically handicapped (Depdikbud, 1986:6). Selanjutnya, Samuel A
Kirk (1986) yang dialih bahasakan oleh Moh. Amin dan Ina Yusuf
Kusumah (1991: 3) mengemukakan bahwa seseorang dikatakan anak
tunadaksa jika kondisi fisik atau kesehatan mengganggu kemampuan
anak untuk berperan aktif dalam kegiatan sehari-hari, sekolah atau rumah.
Sebagai contoh, anak yang mempunyai lengan palsu tetapi ia dapat
mengikuti kegiatan sekolah, seperti Pendidikan Jasmani atau ada anak
yang minum obat untuk mengendalikan gangguan kesehatannya maka
anak- anak jenis itu tidak termasuk penyandang gangguan fisik. Tetapi
jika kondisi fisik tidak mampu memegang pena, atau anak sakit-sakitan
(mengidap penyakit kronis) sering kambuh sehingga ia tidak dapat
3

bersekolah secara rutin maka anak itu termasuk penyandang gangguan


fisik (tunadaksa).

1.2 PENGERTIAN ANAK BERPERSTASI


Prestasi sendiri mempunyai arti sebagai hasil dari suatu
kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan baik secara
individu maupun kelompok.
4

BAB II
ANAK TUNADAKSA

2.1 KLASIFIKASI TUNADAKSA


Agar lebih mudah memberikan layanan terhadap anak tunadaksa,
perlu adanya sistem penggolongan (klasifikasi). Penggolongan anak
tunadaksa bermacam-macam. Salah satu diantaranya dilihat dari sistem
kelainannya yang terdiri dari (1) kelainan pada sistem cerebral (cerebral
system) dan (2) kelainan pada sistem otot dan rangka (musculus skeletal
system).
Penyandang kelainan pada sistem cerebral, kelainannya terletak
pada sistem saraf pusat, seperti cerebral palsy (CP) atau kelumpuhan
otak. Cerebral palsy ditandai oleh adanya kelainan gerak, sikap atau
bentuk tubuh, gangguan koordinasi, kadang-kadang disertai gangguan
psikologis dan sensoris yang disebabkan oleh adanya kerusakan atau
kecacatan pada masa perkembangan otak. Soeharso (1982)
mendefinisikan cacat “cerebral palsy sebagai suatu cacat yang terdapat
pada fungsi otot dan urat saraf dan penyebabnya terletak dalam
otak. Kadang-kadang juga terdapat gangguan pada pancaindra,
ingatan, dan psikologis (perasaan)”. Menurut derajat kecacatannya,
cerebral palsy diklasifikasikan menjadi ringan, dengan ciri-ciri, yaitu
dapat berjalan tanpa alat bantu, bicara jelas, dan dapat menolong diri; (2)
sedang, dengan ciri-ciri: membutuhkan bantuan untuk latihan berbicara,
berjalan, mengurus diri, dan alat-alat khusus, seperti brace; dan (3) berat,
dengan ciri-ciri, yaitu membutuhkan perawatan tetap dalam ambulasi,
bicara, dan menolong diri.

Sedangkan menurut letak kelainan di otak dan fungsi geraknya


cerebral palsy dibedakan atas: (1) spastik, dengan ciri seperti terdapat
kekakuan pada sebagian atau seluruh ototnya; (2) dyskenisia, yang
meliputi athetosis (penderita memperlihatkan gerak yang tidak
terkontrol), rigid (kekakuan pada seluruh tubuh sehingga sulit
dibengkokkan); tremor (getaran kecil yang terus menerus pada mata,
tangan atau pada kepala); (3) Ataxia (adanya gangguan keseimbangan,
jalannya gontai, koordinasi mata dan tangan tidak berfungsi; serta (4)
jenis campuran (seorang anak mempunyai kelainan dua atau lebih dari
5

tipe-tipe di atas).
Golongan anak tunadaksa berikut ini tidak mustahil akan belajar
bersama dengan anak normal dan banyak ditemukan pada kelas-kelas
biasa. Penggolongan anak tunadaksa dalam kelompok kelainan sistem
otot dan rangka tersebut adalah sebagai berikut.

1. Poliomyelitis
Ini merupakan suatu infeksi pada sumsum tulang belakang
yang disebabkan oleh virus polio yang mengakibatkan kelumpuhan
dan sifatnya menetap. Dilihat dari sel-sel motorik yang rusak,
kelumpuhan anak polio dapat dibedakan menjadi:
a. tipe spinal, yaitu kelumpuhan atau kelumpuhan pada otot-otot
leher, sekat dada, tangan dan kaki;
b. tipe bulbair, yaitu kelumpuhan fungsi motorik pada satu atau
lebih saraf tepi dengan ditandai adanya gangguan pernapasan;
dan
c. tipe bulbispinalis, yaitu gabungan antara tipe spinal dam bulbair;
encephalitis yang biasanya disertai dengan demam, kesadaran
menurun, tremor, dan kadang-kadang kejang.

Kelumpuhan pada polio sifatnya layu dan biasanya tidak


menyebabkan gangguan kecerdasan atau alat-alat indra. Akibat
penyakit poliomyelitis adalah otot menjadi kecil (atropi) karena
kerusakan sel saraf, adanya kekakuan sendi (kontraktur), pemendekan
anggota gerak, tulang belakang melengkung ke salah satu sisi, seperti
huruf S (Scoliosis), kelainan telapak kaki yang membengkok ke luar
atau ke dalam, dislokasi (sendi yang ke luar dari dudukannya), lutut
melenting ke belakang (genu recorvatum).

2. Muscle Dystrophy
Jenis penyakit yang mengakibatkan otot tidak
berkembang karena mengalami kelumpuhan yang sifatnya
progresif dan simetris. Penyakit ini ada hubungannya
dengan keturunan.

3. Spina bifida
Merupakan jenis kelainan pada tulang belakang yang ditandai
dengan terbukanya satu atau 3 ruas tulang belakang dan tidak
tertutupnya kembali selama proses perkembangan. Akibatnya, fungsi
jaringan saraf terganggu dan dapat mengakibatkan kelumpuhan,
hydrocephalus, yaitu pembesaran pada kepala karena produksi cairan
6

yang berlebihan. Biasanya kasus ini disertai dengan ketunagrahitaan


(Black, 1975).

2.2 MEMBEDAKAN TUNADAKSA DAN CELEBRAL


PALSY
Banyak masyarakat awam yang memahami bahwa Cerebral Palsy
merupakan bagian atau salah satu jenis dari ketunadaksaan.
Padahal jika kita memerhatikan sejumlah referensi
Ortopedagogik (Pendidikan Kebutuhan khusus) akan kita
temukan penjelasan bahwa cerebral palsy berbeda dengan
tunadaksa, meskipun keduanya dibahas dalam satu bab gangguan
fisik.
Dalam buku Psikologi Anak Luar Biasa karya Dra. T. Sutjihati
Somantri, M.Si, Psi, dikatakan bahwa tunadaksa adalah suatu
keadaan rusak atau terganggunya tubuh sebagai akibat dari
gangguan bentuk dan hambatan pada tulang, otot, dan sendi,
dalam fungsinya yang normal. Sedangkan cerebral palsy adalah
salah satu bentuk brain injury. Adapun brain injury adalah suatu
kondisi yang memengaruhi pengendalian sistem motorik sebagai
akibat lesi (penyimpangan) dalam otak. Brain injury dapat juga
diartikan sebagai suatu penyakit neuromuscular (syaraf otot) yang
disebabkan oleh gangguan perkembangan atau kerusakan
sebagian dari otak yang berhubungan dengan pengendalian fungsi
motorik.
Berdasarkan pengertian di atas, penyandang tunadaksa dan
cerebral palsy seharusnya dibedakan. Seorang yang menyandang
tunadaksa adalah mereka yang sama sekali tidak dapat
menggerakkan atau memfungsikan bagian tubuh yang mengalami
gangguan atau kerusakan, sedangkan seorang yang menyandang
cerebral palsy adalah mereka yang masih dapat menggerakkan
anggota tubuhnya meskipun gerakannya terganggu karena
kelainan tonus otot.

2.3 KLASIFIKASI TUNADAKSA


Menurut Frances G. Koening, ketunadaksaan dapat
diklasifikasikan ke dalam tunadaksa sejak lahir (keturunan), tunadaksa
waktu lahir, dan tunadaksa sesudah lahir.
7

1. Kerusakan fisik sejak lahir adalah kerusakan yang dialami


sejak anak ada dalam kandungan.
2. Kerusakan fisik saat lahir adalah kerusakan yang diakibatkan
kesalahan atau kekeliruan saat proses kelahiran.
3. Kerusakan fisik sesudah lahir adalah kerusakan yang terjadi
setelah kelahiran dan disebabkan oleh banyak faktor, seperti
infeksi, sakit berkepanjangan, dan kecelakaan.

2.4 KLASIFIKASI CELEBRAL PALSY


Menurut Bakwin-Bakwin, cerebral palsy dapat dibedakan dalam
kategori berikut:

1. Spasticity, yaitu kerusakan pada korteks seribri (bagian luar


otak) yang menyebabkan hyperactive reflex atau stretch
reflex. Spasticity dapat dibedakan menjadi:

2. Paraplegia, yaitu kondisi di mana bagian bawah tubuh


(extremitas bawah) mengalami kelumpuhan atau paralysis
yang disebabkan karena lesi transversal pada medulla
spinalis. Paraplegia digunakan untuk menyebut kerusakan
yang menyerang kedua tungkai.

3. Quardplegia atau tetrapedia, apabila kerusakan menyerang


kedua lengan atau kedua tungkai.

4. Hemiplegia, apabila kelainan menyerang satu lengan dan


satu tungkai yang terletak pada belahan tubuh yang sama.

5. Athetosis, yaitu kerusakan pada basal banglia yang


mengakibatkan gerakan-gerakan menjadi tidak terkendali
dan tidak terarah.

6. Ataxia, yaitu kerusakan pada cerebellum (otak kecil) yang


mengakibatkan adanya gangguan keseimbangan.

7. Tremor, yaitu kerusakan pada basal banglia yang berakibat


timbulnya getaran-getaran berirama, baik getaran itu
bertujuan maupun tidak bertujuan pada hal tertentu.

8. Rigidity, yaitu kerusakan pada bangsal banglia yang


mengakibatkan kekakuan pada otot.
8

2.5 KARAKTERISTIK ANAK TUNADAKSA

Karakteristik anak tunadaksa yang akan dibahas dalam


hal ini adalah berikut ini.

1. Karakteristik Akademik
Pada umumnya tingkat kecerdasan anak tunadaksa yang
mengalami kelainan pada sistem otot dan rangka adalah normal
sehingga dapat mengikuti pelajaran sama dengan anak normal,
sedangkan anak tunadaksa yang mengalami kelainan pada sistem
cerebral, tingkat kecerdasannya berentang mulai dari tingkat
idiocy sampai dengan gifted. Hardman (1990) mengemukakan
bahwa “45% anak cerebral palsy mengalami keterbelakangan
mental (tunagrahita), 35% mempunyai tingkat kecerdasan
normal dan di atas normal. Sisanya berkecerdasan sedikit di
bawah rata-rata”. Selanjutnya, P. Seibel (1984:138)
mengemukakan bahwa ”tidak ditemukan hubungan secara
langsung antara tingkat kelainan fisik dengan kecerdasan
anak. Artinya, anak cerebral palsy yang kelainannya berat,
tidak berarti kecerdasannya rendah”. Selain tingkat
kecerdasan yang bervariasi anak cerebral palsy juga mengalami
kelainan persepsi, kognisi, dan simbolisasi. Kelainan persepsi
terjadi karena saraf penghubung dan jaringan saraf ke otak
mengalami kerusakan sehingga proses persepsi yang dimulai dari
stimulus merangsang alat maka diteruskan ke otak oleh saraf
sensoris, kemudian ke otak (yang bertugas menerima dan
menafsirkan, serta menganalisis) mengalami gangguan.
Kemampuan kognisi terbatas karena adanya kerusakan otak
sehingga mengganggu fungsi kecerdasan, penglihatan,
pendengaran, bicara, rabaan, dan bahasa, serta akhirnya anak
tersebut tidak dapat mengadakan interaksi dengan lingkungannya
yang terjadi terus menerus melalui persepsi dengan
menggunakan media sensori (indra). Gangguan pada simbolisasi
disebabkan oleh adanya kesulitan dalam menerjemahkan apa
yang didengar dan dilihat. Kelainan yang kompleks ini akan
mempengaruhi prestasi akademiknya.

2. Karakteristik Sosial/Emosional
Karakteristik sosial/emosional anak tunadaksa bermula
dari konsep diri anak yang merasa dirinya cacat, tidak berguna,
9

dan menjadi beban orang lain yang mengakibatkan mereka


malas belajar, bermain dan perilaku salah suai lainnya.
Kehadiran anak cacat yang tidak diterima oleh orang tua dan
disingkirkan dari masyarakat akan merusak perkembangan
pribadi anak. Kegiatan jasmani yang tidak dapat dilakukan
oleh anak tunadaksa dapat mengakibatkan timbulnya problem
emosi, seperti mudah tersinggung, mudah marah, rendah diri,
kurang dapat bergaul, pemalu, menyendiri, dan frustrasi.
Problem emosi seperti itu, banyak ditemukan pada anak
tunadaksa dengan gangguan sistem cerebral. Oleh sebab itu,
tidak jarang dari mereka tidak memiliki rasa percaya diri dan
tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.

3. Karakteristik Fisik/Kesehatan
Karakteristik fisik/kesehatan anak tunadaksa biasanya selain
mengalami cacat tubuh adalah kecenderungan mengalami
gangguan lain, seperti sakit gigi, berkurangnya daya
pendengaran, penglihatan, gangguan bicara, dan lain-lain.
Kelainan tambahan itu banyak ditemukan pada anak tunadaksa
sistem cerebral. Gangguan bicara disebabkan oleh kelainan
motorik alat bicara (kaku atau lumpuh), seperti lidah, bibir, dan
rahang sehingga mengganggu pembentukan artikulasi yang
benar. Akibatnya, bicaranya tidak dapat dipahami orang lain dan
diucapkan dengan susah payah. Mereka juga mengalami aphasia
sensoris, artinya ketidakmampuan bicara karena organ reseptor
anak terganggu fungsinya, dan aphasia motorik, yaitu mampu
menangkap informasi dari lingkungan sekitarnya melalui indra
pendengaran, tetapi tidak dapat mengemukakannya lagi secara
lisan. Anak cerebral palsy mengalami kerusakan pada pyramidal
tract dan extrapyramidal yang berfungsi mengatur sistem
motorik. Tidak heran mereka mengalami kekakuan, gangguan
keseimbangan, gerakan tidak dapat dikendalikan, dan susah
berpindah tempat. Dilihat dari aktivitas motorik, intensitas
gangguannya dikelompokkan atas hiperaktif yang menunjukkan
tidak mau diam, gelisah; hipoaktif yang menunjukkan sikap
pendiam, gerakan lamban, dan kurang merespons rangsangan
yang diberikan; dan tidak ada koordinasi, seperti waktu berjalan
kaku, sulit melakukan kegiatan yang membutuhkan integrasi
10

gerak yang lebih halus, seperti menulis, menggambar, dan


menari.

2.6 MACAM-MACAM KE TUNADAKSAAN


➢ Club-foot atau Club-hand, yaitu kerusakan pada kaki atau
tangan yang menyebabkan bentuk kaki atau tangan
menyerupai tongkat.
➢ Polydastilism (jari banyak), yaitu jumlah jari tangan dan
kaki lebih dari lima.
➢ Sydactylism, yaitu jari-jari tangan atau kaki saling
menempel sehingga menyerupai selaput bebek.
➢ Torticolis, yaitu gangguan yang terjadi pada leher sehingga
menyebabkan kepala terkulai ke depan.
➢ Spina-bifida, yaitu gangguan pada sumsum tulang belakang
yang tidak tertutup.
➢ Cretinism, yaitu gangguan fisik yang menyebabkan tubuh
kecil dan tidak dapat tumbuh dengan normal. Gangguan ini
biasa disebut kerdil atau katai.
➢ Mycrocephalus, yaitu ukuran kepala jauh lebih kecil dari
ukuran normal pada umumnya.
➢ Hydrocephalus, yaitu ukuran kepala yang besar dikarenakan
kelebihan cairan pada kepala.
➢ Clefpalats, yaitu gangguan tidak adanya langit-langit mulut.
➢ Congenital hip dislocation, yaitu kelumpuuhan yang
menyerang bagian paha.
➢ Congenital amputation, yaitu sebutan untuk bayi yang
dilahirkan tanpa anggota tubuh tertentu.
➢ Coxa valga, yaitu gangguan yang terjadi pada sendi paha
dan menyebabkan sendi paha membesar.
➢ Erb’s palsy, yaitu kerusakan pada saraf lengan akibat
tertekan atau tertarik saat kelahiran.
➢ Fragilitas osium, yaitu gangguan pada tulang yang
menyebabkan tulang rapuh dan mudah patah.

2.7 TUJUAN PENDIDIKAN ANAK TUNADAKSA


Tujuan pendidikan anak tunadaksa mengacu pada Peraturan
Pemerintah No. 72 Tahun 1991 agar peserta didik mampu
mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan sebagai pribadi
maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik
dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitar serta dapat
mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti
pendidikan lanjutan. Connor (1975) dalam Musyafak Asyari (1995)
11

mengemukakan bahwa dalam pendidikan anak tunadaksa perlu


dikembangkan 7 aspek yang diadaptasikan sebagai berikut.

1. Pengembangan Intelektual dan Akademik


Pengembangan aspek ini dapat dilaksanakan secara formal
di sekolah melalui kegiatan pembelajaran. Di sekolah khusus
anak tunadaksa (SLB-D) tersedia seperangkat kurikulum
dengan semua pedoman pelaksanaannya, namun hal yang lebih
penting adalah pemberian kesempatan dan perhatian khusus
pada anak tunadaksa untuk mengoptimalkan perkembangan
intelektual dan akademiknya.

2. Membantu Perkembangan Fisik


Oleh karena anak tunadaksa mengalami kecacatan
fisik maka dalam proses pendidikan guru harus turut
bertanggung jawab terhadap pengembangan fisiknya
dengan cara bekerja sama dengan staf medis. Hambatan
utama dalam belajar adalah adanya gangguan motorik.
Oleh karena itu, guru harus dapat mengatasi gangguan
tersebut sehingga anak memperoleh kemudahan dalam
mengikuti pendidikan. Guru harus membantu
memelihara kesehatan fisik anak, mengoreksi gerakan
anak yang salah dan mengembangkan ke arah gerak
yang normal.

3. Meningkatkan Perkembangan Emosi dan Penerimaan


Diri Anak
Dalam proses pendidikan, para guru bekerja sama dengan
psikolog harus menanamkan konsep diri yang positif terhadap
kecacatan agar dapat menerima dirinya. Hal ini dapat dilakukan
dengan menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif sehingga
dapat mendorong terciptanya interaksi yang harmonis.

4. Mematangkan Aspek Sosial


Aspek sosial yang meliputi kegiatan kelompok dan
kebersamaannya perlu dikembangkan dengan pemberian peran
kepada anak tunadaksa agar turut serta bertanggung jawab atas
tugas yang diberikan serta dapat bekerja sama dengan
kelompoknya.
12

5. Mematangkan Moral dan Spiritual


Dalam proses pendidikan perlu diajarkan kepada anak tentang
nilai-nilai, norma kehidupan, dan keagamaan untuk membantu
mematangkan moral dan spiritualnya.

6. Meningkatkan ekspresi diri


Ekspresi diri anak tunadaksa perlu ditingkatkan melalui
kegiatan kesenian, keterampilan atau kerajinan.

7. Mempersiapkan Masa Depan Anak


Dalam proses pendidikan, guru dan personel lainnya bertugas
untuk menyiapkan masa depan anak. Hal tersebut dapat dilakukan
dengan cara membiasakan anak bekerja sesuai dengan
kemampuannya, membekali mereka dengan latihan keterampilan
yang menghasilkan sesuatu yang dapat dijadikan bekal hidupnya.

Ketujuh sasaran pendidikan tersebut di atas sebenarnya bersifat


dual purpose (ganda), yaitu berkaitan dengan pemulihan fungsi
fisik dan pengembangan dalam pendidikannya. Tujuan utamanya
adalah terbentuknya kemandirian dan keutuhan pribadi anak
tunadaksa.

2.8 TEMPAT PENDIDIKAN

Model layanan pendidikan yang sesuai dengan jenis, derajat


kelainan dan jumlah peserta didik diharapkan akan memperlancar proses
pendidikan. Anak tunadaksa dapat mengikuti pendidikan pada tempat-
tempat berikut.

1. Sekolah Khusus Berasrama (Full-Time Residential School)


Model ini diperuntukkan bagi anak tunadaksa yang derajat
kelainannya berat dan sangat berat.

2. Sekolah Khusus tanpa Asrama (Special Day School)


Model ini dimaksudkan bagi anak tunadaksa yang memiliki
kemampuan pulang pergi ke sekolah atau tempat tinggal mereka
yang tidak jauh dari sekolah
.
3. Kelas Khusus Penuh (Full-Time Special Class)
Anak tunadaksa yang memiliki tingkat kecacatan ringan dan
kecerdasan homogen dilayani dalam kelas khusus secara penuh.
13

4. Kelas Reguler dan Khusus (Part-Time Reguler Class and


Part-Time Special Class)
Model ini digunakan apabila menyatukan anak tunadaksa
dengan anak normal, pada mata pelajaran tertentu. Mereka belajar
dengan anak normal dan apabila anak tunadaksa mengalami
kesulitan mereka belajar di kelas khusus.

5. Kelas reguler Dibantu oleh Guru Khusus (Reguler Class


with Supportive Instructional Service)
Anak tunadaksa bersekolah bersama-sama anak normal di
sekolah umum dengan bantuan guru khusus apabila anak
mengalami kesulitan.

6. Kelas Biasa dengan Layanan Konsultasi untuk Guru


Umum (Reguler Class Placement with Consulting Service
for Reguler Teachers)
Tanggung jawab pembelajaran model ini sepenuhnya
dipegang oleh guru umum. Anak tunadaksa belajar bersama
dengan anak normal di sekolah umum, dan untuk membantu
kelancaran pembelajaran ada guru kunjung yang berfungsi
sebagai konsultan guru reguler.

7. Kelas Biasa (Reguler Class)


Model ini diperuntukkan bagi anak tunadaksa yang memiliki
kecerdasan normal, memiliki potensi dan kemampuan yang dapat
belajar bersama-sama dengan anak normal.

2.9 SISTEM PENDIDIKAN

Sesuai dengan pengorganisasian tempat pendidikan


maka sistem pendidikan anak tunadaksa dapat dikemukakan
sebagai berikut.

1. Pendidikan Integrasi (Terpadu)


Walaupun pendidikan anak tunadaksa di Indonesia banyak
dilakukan melalui jalur sekolah khusus, yaitu anak tunadaksa
ditempatkan secara khusus di SLB-D (Sekolah Luar Biasa bagian
D), namun anak tunadaksa ringan (jenis poliomyelitis) telah ada
yang mengikuti pendidikan di sekolah biasa. Sementara ini anak
tunadaksa yang mengikuti pendidikan di sekolah umum harus
mengikuti pendidikan sepenuhnya tanpa memperoleh program
14

khusus sesuai dengan kebutuhannya. Akibatnya, mereka


memperoleh nilai hanya berdasarkan hadiah terutama dalam mata
pelajaran yang berkaitan dengan kegiatan fisik (Astati, 2000).
Sehubungan dengan itu Kirk (1986) mengemukakan bahwa
adaptasi pendidikan anak tunadaksa apabila ditempatkan di
sekolah umum adalah sebagai berikut.
a. Penempatan di kelas regular
Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut.
• Menyiapkan lingkungan belajar tambahan sehingga
memungkinkan anak tunadaksa untuk bergerak sesuai
dengan kebutuhannya, misalnya membangun trotoar,
pintu agak besar sehingga anak dapat menggunakan
kursi roda;
• Menyiapkan program khusus untuk mengejar ketinggalan
anak tunadaksa karena anak sering tidak masuk sekolah;
• Guru harus mengadakan kontak secara intensif dengan
siswanya untuk melihat masalah fisiknya secara
langsung;
• Perlu mengadakan rujukan ke ahli terkait apabila timbul
masalah fisik dan kesehatan yang lebih parah.
b. Penempatan di ruang sumber belajar dan kelas khusus
Murid yang mengalami ketinggalan dari temannya di kelas
reguler karena ia sakit-sakitan diberi layanan tambahan oleh
guru di ruang sumber. Murid yang datang ke ruang sumber
tergantung pada materi pelajaran yang menjadi
ketinggalannya, sedangkan siswa yang mengunjungi kelas
khusus biasanya anak yang mengalami kelainan fisik tingkat
sedang dengan inteligensia normal. Misalnya, anak yang tidak
dapat berbicara maka ia perlu masuk kelas khusus sebagai
persiapan anak untuk memasuki kelas reguler karena selama
anak di kelas khusus ia sering bermain, ke kantin, dan upacara
bersama dengan anak normal (siswa kelas reguler).

2. Pendidikan Segregasi (Terpisah)


Penyelenggaraan pendidikan bagi anak tunadaksa yang
ditempatkan di tempat khusus, seperti sekolah khusus adalah
menggunakan kurikulum Pendidikan Luar Biasa Anak Tunadaksa
1994 (SK Mendikbud, 1994). Perangkat Kurikulum Pendidikan
Luar Biasa 1994 terdiri atas komponen berikut.
a. Landasan, Program dan Pengembangan Kurikulum, memuat
hal-hal, yaitu landasan yang dijadikan acuan dan pedoman
dalam pengembangan kurikulum, tujuan, jenjang dan satuan
15

pelajaran, program pengajaran yang mencakup isi program,


pengajaran, lama pendidikan dan susunan program
pengajaran, pelaksanaan pengajaran dan penilaian, serta
pengembangan kurikulum sebagai suatu proses berkelanjutan
di tingkat nasional dan daerah.
b. Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) memuat:
pengertian dan fungsi mata pelajaran, tujuan, ruang lingkup
bahan pelajaran, pokok bahasan, tema dan uraian tentang
kedalaman dan keluasan, alokasi waktu, rambu-rambu
pelaksanaannya, dan uraian/cara pembelajaran yang
disarankan.
c. Pedoman pelaksanaan kurikulum memuat: pedoman
pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar, rehabilitasi,
pelaksanaan bimbingan, administrasi sekolah, dan pedoman
penilaian kegiatan dan hasil belajar.
Lama pendidikan dan penjenjangan serta isi kurikulum tiap
jenjang adalah sebagai berikut.
a. TKLB (Taman Kanak-kanak Luar Biasa) berlangsung satu
sampai tiga tahun dan isi kurikulumnya, meliputi
pengembangan Kemampuan Dasar (Moral Pancasila, Agama,
Disiplin, Perasaan, Emosi, dan Kemampuan Bermasyarakat),
Pengembangan Bahasa, Daya Pikir, Daya Cipta,
Keterampilan dan Pendidikan Jasmani. Usia anak yang
diterima sekurang-kurangnya 3 tahun.

b. SDLB (Sekolah Dasar Luar Biasa) berlangsung sekurang-


kurangnya enam tahun dan usia anak yang diterima sekurang-
kurangnya enam tahun. Isi kurikulumnya terdiri atas: Program
Umum meliputi mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia,
Matematika, IPS, IPA, Kerajinan Tangan dan Kesenian, serta
Pendidikan Jasmani dan Kesehatan; program khusus (Bina
Diri dan Bina Gerak), dan Muatan Lokal (Bahasa Daerah,
Kesenian, dan Bahasa Inggris).
c. SLTPLB (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa)
berlangsung sekurang-kurangnya 3 tahun, dan siswa yang
diterima harus tamatan SDLB. Isi kurikulumnya terdiri atas
program umum (Pendidikan Pancasila, Kewarganegaraan,
Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS,
Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, Bahasa Inggris), program
16

khusus (Bina Diri dan Bina Gerak), program muatan lokal


(Bahasa Daerah, Kesenian Daerah).
d. SMLB (Sekolah Menengah Luar Biasa) berlangsung
sekurang- kurangnya tiga tahun, dan siswa yang diterima harus
tamatan SLTPLB. Isi kurikulumnya meliputi program umum
sama dengan tingkat SLTPLB, program pilihan terdiri atas
paket Keterampilan Rekayasa, Pertanian, Usaha dan
Perkantoran, Kerumahtanggaan, dan Kesenian. Di jenjang ini,
anak tunadaksa diarahkan pada penguasaan salah satu jenis
keterampilan sebagai bekal hidupnya.
Lama belajar dan perimbangan bobot mata pelajaran untuk
tiap jenjang adalah TKLB lama belajar satu jam pelajaran 30
menit, SDLB lama belajar satu jam pelajaran 30 dan 40 menit.
Bobot mata pelajaran di SDLB yang tergolong akademik lebih
banyak dari mata pelajaran yang lainnya, SLTPLB lama
belajar satu jam pelajaran 45 menit dan bobot mata pelajaran
keterampilan dan praktik lebih banyak daripada mata pelajaran
lainnya; dan SMLB lama belajar sama dengan SLTPLB dan
bobot mata pelajaran keterampilan lebih banyak dan mata
pelajaran lainnya lebih diarahkan pada aplikasi dalam
kehidupan sehari-hari.

2.10 PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

Dalam pelaksanaan pembelajaran akan dikemukakan ha-hal yang


berkaitan dengan keterlaksanaannya, seperti berikut.

1. Perencanaan Kegiatan Belajar-Mengajar


Sehubungan dengan perencanaan kegiatan pembelajaran bagi anak
tunadaksa, Ronald L. Taylor (1984) mengemukakan, “apabila
penyandang cacat menerima pelayanan pendidikan di sekolah
formal maka ia harus memperoleh pelayanan pendidikan yang
diindividualisasikan”. Dalam rangka mengembangkan program
pendidikan yang diindividualisasikan, banyak informasi/data yang
diperlukan dan salah satunya dihasilkan melalui assessment.
Adapun langkah-langkah utama dalam merancang suatu program
pendidikan individual (PPI) adalah sebagai berikut.

a. Membentuk tim PPI atau Tim Penilai Program Pendidikan


yang diindividualisasikan (TP3I), yang mencakup guru khusus,
17

guru reguler, diagnostician, kepala sekolah, orang tua, siswa,


serta personel lain yang diperlukan.
b. Menilai kekuatan dan kelemahan serta minat siswa yang dapat
dilakukan dengan assessment.
c. Mengembangkan tujuan-tujuan jangka panjang dan sasaran-
sasaran jangka pendek.
d. Merancang metode dan prosedur pencapaian tujuan
e. Menentukan metode dan evaluasi kemajuan

2. PRINSIP PEMBELAJARAN
Ada beberapa prinsip utama dalam memberikan pendidikan pada
anak tunadaksa, diantaranya sebagai berikut.
• Prinsip multisensori (banyak indra)
Proses pendidikan anak tunadaksa sedapat mungkin memanfaatkan
dan mengembangkan indra-indra yang ada dalam diri anak karena
banyak anak tunadaksa yang mengalami gangguan indra. Dengan
pendekatan multisensori, kelemahan pada indra lain dapat
difungsikan sehingga dapat membantu proses pemahaman.
• Prinsip Individualisasi
Individualisasi mengandung arti bahwa titik tolak layanan
pendidikan adalah kemampuan anak secara individu.
Model layanan pendidikannya dapat berbentuk klasikal
dan individual. Dalam model klasikal, layanan pendidikan
diberikan pada kelompok individu yang cenderung
memiliki kemampuan yang hampir sama, dan bahan
pelajaran yang diberikan pada masing-masing anak sesuai
dengan kemampuan mereka masing-masing.

3. PENATAAN LINGKUNGA BELAJAR


Berhubung anak tunadaksa mengalami gangguan motorik maka
dalam mengikuti pendidikan membutuhkan perlengkapan khusus
dalam lingkungan belajarnya. Gedung sekolah sebaiknya
dilengkapi ruangan/sarana tertentu yang memungkinkan dapat
mendukung kelancaran kegiatan anak tunadaksa di sekolah.
Bangunan-bangunan gedung sebaiknya dirancang dengan
memprioritaskan 3 kemudahan, yaitu anak mudah ke luar masuk,
mudah bergerak dalam ruangan, dan mudah mengadakan
penyesuaian atau segala sesuatu yang ada di ruangan itu mudah
digunakan (Musyafak Assyari, 1995).
Beberapa kondisi khusus mengenai gedung itu adalah sebagai
berikut.
a. Macam-macam ruangan khusus, seperti ruang
poliklinik/UKS untuk pemeriksaan dan perawatan
18

kesehatan anak, ruang untuk latihan bina gerak


(physiotherapy), ruang untuk bina bicara (speech
therapy), ruang untuk bina diri, terapi okupasi, dan
ruang bermain, serta lapangan.
b. Jalan masuk menuju sekolah sebaiknya dibuat keras
dan rata yang memungkinkan anak tunadaksa yang
memakai alat bantu ambulasi, seperti kursi roda,
tripor, brace, kruk, dan lain-lain, dapat bergerak
dengan aman.
c. Tangga sebaiknya disediakan jalur lantai yang dibuat miring
dan landai
d. Lantai bangunan baik di dalam dan di luar gedung
sebaiknya dibuat dari bahan yang tidak licin.
e. Pintu-pintu ruangan sebaiknya lebih lebar dari pintu
biasa dan daun pintunya dibuat mengatup ke dalam.
f. Untuk menghubungkan bangunan/kelas yang satu
dengan yang lain sebaiknya disediakan lorong
(koridor) yang lebar dan ada pegangan di tembok
agar anak dapat mandiri berambulasi.
g. Pada beberapa dinding lorong dapat dipasang
cermin besar untuk digunakan anak mengoreksi
sendiri sikap/posisi jalan yang salah.
h. Kamar mandi/kecil sebaiknya dekat dengan kelas-
kelas agar anak mudah dan segera dapat
menjangkaunya.
i. Dipasang WC duduk agar anak tidak perlu
berjongkok pada waktu menggunakannya.
j. Kelas sebaiknya dilengkapi dengan meja dan kursi
yang konstruksinya disesuaikan dengan kondisi
kecacatan anak, misalnya tinggi meja kursi dapat
disetel, tanganan, dan sandaran kursi dimodifikasi,
dan dipasang belt (sabuk) agar aman.

2.11 PERSONEL
Personel yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan pendidikan
anak tunadaksa adalah berikut ini.
19

1. Guru yang berlatar belakang pendidikan luar biasa, khususnya


pendidikan anak tunadaksa;
2. Guru yang memiliki keahlian khusus, misalnya keterampilan
dan kesenian;
3. Guru sekolah biasa;
4. Dokter umum;
5. Dokter ahli ortopedi;
6. Neurolog;
7. Ahli terapi lainnya, seperti ahli terapi bicara, physiotherapist dan
bimbingan konseling, serta orthotist prosthetist.

2.12 RESILIENSI

A. Definisi Resiliensi

Kata resiliensi sendiri berasal dari bahasa latin abad

pertengahan ‘resilire’ yang berarti ’kembali’. Dalam bahasa Inggris,

kata ’resiliency’ atau ’resilient’ biasa digunakan untuk menyebutkan

suatu kondisi seseorang yang berhasil kembali dari kondisi terpuruk.

Jika dilihat dari asal dan makna kata, maka resiliensi secara umum

dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk kembali pada

kondisi semula ketika menghadapi tantangan atau kondisi yang

terpuruk (Poerwandari, 2008).

Menurut Reivich dan Shatte (2002) yang dituangkan dalam


bukunya “The Resiliency Factor” menjelaskan resiliensi adalah
kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang
berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. Bertahan dalam
keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan
(adversity) atau trauma yang dialami dalam kehidupannya.

B. Fungsi Risiliensi

Sebuah penelitian telah menyatakan bahwa manusia dapat


20

menggunakan resiliensi untuk hal-hal berikut ini (Reivich dan

Shatte, 2002).

• Overcoming

Hal ini dapat dilakukan dengan cara menganalisa dan

mengubah cara pandang menjadi lebih positif dan

meningkatkan kemampuan untuk mengontrol kehidupan kita

sendiri. Sehingga, kita dapat tetap merasa termotivasi,

produktif, terlibat, dan bahagia meskipun dihadapkan pada

berbagai tekanan di dalam kehidupan.

• Steering through

Orang yang resilien dapat memandu serta mengendalikan


dirinya dalam menghadapi masalah sepanjang perjalanan
hidupnya. Steering through dalam stres yang bersifat kronis
adalah self-efficacy yaitu keyakinan terhadap diri sendiri
bahwa kita dapat menguasai lingkungan secara efektif dapat
memecahkan berbagai masalah yang muncul.

• Bouncing back

Orang yang resiliensi biasanya menghadapi trauma dengan


tiga karakteristik untuk menyembuhkan diri. Mereka
menunjukkan task-oriented coping style dimana mereka
melakukan tindakan yang bertujuan untuk mengatasi
kemalangan tersebut, mereka mempunyai keyakinan kuat
bahwa mereka dapat mengontrol hasil dari kehidupan mereka,
dan orang yang mampu kembali ke kehidupan normal lebih
cepat dari trauma mengetahui bagaimana berhubungan dengan
orang lain sebagai cara untuk mengatasi pengalaman yang
mereka rasakan.

• Reaching out
21

Orang yang berkarakteristik seperti ini melakukan tiga hal


dengan baik, yaitu: tepat dalam memperkirakan risiko yang
terjadi, mengetahui dengan baik diri mereka sendiri, dan
menemukan makna dan tujuan dalam kehidupan mereka.

C. Faktor Risiliensi

Reivich dan Shatte (2002), memaparkan tujuh kemampuan

yang membentuk resiliensi, yaitu sebagai berikut.

• Emotion Regulation

Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di

bawah kondisi yang menekan (Reivich dan Shatte, 2002).

Reivich dan Shatte mengungkapkan dua buah keterampilan

yang dapat memudahkan individu untuk melakukan regulasi

emosi, yaitu tenang (calming) dan fokus (focusing).

• Impulse Control

Pengendalian impuls adalah kemampuan Individu untuk

mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan

yang muncul dari dalam diri. Individu yang memiliki

kemampuan pengendalian impuls yang rendah, cepat

mengalami perubahan emosi yang pada akhirnya

mengendalikan pikiran dan perilaku mereka.

• Optimism
22

Individu yang resilien adalah individu yang optimis,


optimisme adalah ketika kita melihat bahwa masa depan kita
cemerlang (Reivich dan Shatte, 2002). Optimisme yang
dimiliki oleh seorang individu menandakan bahwa individu
tersebut percaya bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk
mengatasi kemalangan yang mungkin terjadi di masa depan.

• Causal Analysis

Causal analysis merujuk pada kemampuan individu

untuk mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari

permasalahan yang mereka hadapi. Individu yang tidak

mampu mengidentifikasikan penyebab dari permasalahan

yang mereka hadapi secara tepat, akan terus menerus berbuat

kesalahan yang sama.

• Empathy

Empati sangat erat kaitannya dengan kemampuan

individu untuk membaca tanda-tanda kondisi emosional dan

psikologis orang lain (Reivich dan Shatte, 2002).

• Self-efficacy

Self-efficacy adalah hasil dari pemecahan masalah yang

berhasil. Self-efficacy merepresentasikan sebuah keyakinan

bahwa kita mampu memecahkan masalah yang kita alami dan

mencapai kesuksesan. Self-efficacy merupakan hal yang

sangat penting untuk mencapi resiliensi (Reivich dan Shatte,

2002).
23

• Reaching out

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa

resiliensi lebih dari sekedar bagaimana seorang individu

memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan dan

bangkit dari keterpurukan, namun lebih dari itu resiliensi juga

merupakan kemampuan individu meraih aspek positif dari

kehidupan setelah kemalangan yang menimpa.

D. Sumber-sumber Resiliensi

Menurut Grotberg (1999) ada beberapa sumber dari resiliensi

yaitu sebagai berikut.

• I Have ( sumber dukungan eksternal )

I Have merupakan dukungan dari lingkungan di sekitar


individu. Dukungan ini berupa hubungan yang baik dengan
keluarga, lingkungan sekolah yang menyenangkan, ataupun
hubungan dengan orang lain diluar keluarga.

• I Am ( kemampuan individu )

I Am, merupakan kekuatan yang terdapat dalam diri

seseorang, kekuatan tersebut meliputi perasaan, tingkah laku,

dan kepercayaan yang ada dalam dirinya.

• I Can ( kemampuan sosial dan interpersonal )

I Can merupakan kemampuan anak untuk melakukan


hubungan sosial dan interpersonal.

2.13 PENELITIAN RISILIENSI PADA ANAK TUNADAKSA


❖ METODE
24

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini


adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif
memungkinkan peneliti untuk mendapatkan pemahaman yang
mendalam dan mendetail mengenai fenomena yang diteliti.
Penelitian kualitatif memberi tekanan pada dinamika dan
proses. Selain itu, penelitian ini juga lebih memfokuskan pada
variasi pengalaman individu atau kelompok-kelompok yang
berbeda-beda (Poerwandari, 2007). Tipe dari penelitian ini
adalah studi kasus. Dalam penelitian studi kasus ini, menurut
Kumar, pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan
teknik non-probability sampling dimana tidak semua elemen
dalam populasi dapat menjadi sampel atau subyek penelitian
(Rahmawati, 2009). Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan teknik purposive sampling dimana peneliti
memilih subjek yang benar-benar memiliki kriteria dan
informasi yang diperlukan serta bersedia untuk membaginya.
Tipe purposive sampling yang digunakan adalah tipe tipikal,
dimana peneliti memiliki kriteria-kriteria khusus dan unik
(Herdiansyah, 2010). Subjek penelitian berjumlah 1 subjek
yang bersekolah di YPAC Kota Malang. Teknik pengumpulan
data menggunakan wawancara tak terstruktur, observasi non-
partisipan, dan dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan
menggunakan teknik analisa coding oleh Strauss dan Corbin
(Poerwandari, 2005).

❖ HASIL

Subjek ialah anak yang menderita gangguan karena polio


sehingga mengalami ketidak normalan dalam fungsi tulang,
otot-otot atau kerjasama fungsi otot-otot, tetapi
25

berkemampuan normal dalam aspek kognitif. Subjek


memiliki ketidakmampuan secara fisik untuk menjalankan
fungsi tubuh seperti dalam keadaan normal dibagian kakinya
karena kelainan sejak lahir. Menurut tingkat kerusakan serta
fisiologi dari kerusakan gerak motorik subjek (PS) tergolong
tingkat ringan dimana terdapat ciri-ciri sebagai berikut, dapat
berjalan dan berbicara walaupun memakai kursi roda dan
dapat menjalankan fungsi tubuh. Anak tuna daksa biasanya
tidak mengalami keterbelakangan mental. Fenomena yang
ditemukan peneliti adalah seorang anak berkebutuhan khusus
tuna daksa yang merupakan satu-satunya anak yang dapat
berprestasi di YPAC Kota malang. Mereka melakukan
pertahanan diri untuk tetap dapat melakukan hal-hal yang
lebih baik walaupun dengan keadaan fisik yang kurang
melalui suatu proses.
Proses untuk membuat seseorang mampu bertahan dan tidak
menyerah pada keadaan sulit disebut dengan proses resilien,
diantaranya karena subjek memiliki sumber-sumber resiliensi
yang dinyatakan oleh Reivich dan Shatte (2002).
PS merasa mandiri dan cukup bertanggungjawab. PS dapat
melakukan banyak hal dengan kemampuannya sendiri.
Individu yang resilien merasakan kebanggaan akan diri
mereka sendiri (Grotberg, 1999). PS merasa bangga karena
ia dapat berprestasi akademik di Yayasan Penyandang Anak
Cacat Kota Malang. Subjek merupakan murid anak
berkebutuhan khusus satu-satunya di sekolah yang dapat
mengikuti ujian di sekolah umum. Padahal di sekolah tempat
subjek bersekolah ada beberapa anak tuna daksa yang juga
bersekolah di tempat tersebut, namun tidak bisa mengikuti
ujian di sekolah umum. Subjek merasa bangga karena ia
26

dapat berprestasi juga di bagian non akademik, ia berprestasi


dengan cara bermain musik dan menari, subjek sering tampil
di berbagai acara yang mengundang pihak sekolah.

Subjek pernah mewakili anak berkebutuhan khusus tuna


daksa di YPAC Kota Malang untuk membuat puisi yang akan
dibukukan dan dicetak. Kebanggaan terhadap kemampuan
pada dirinya sendiri tersebut membuat subjek semakin yakin
untuk bisa melanjutkan ke SMP umum.
Menurut Grotberg (1999), I am merupakan sumber resiliensi
yang berkaitan dengan kekuatan pribadi yang dimiliki, yang
terdiri dari perasaan, sikap dan keyakinan pribadi. Dari
keyakinan yang ia miliki, ia ingin menjadi anak yang mandiri
dengan cara yang menurutnya positif. Subjek yakin dapat
belajar akademik maupun non akademik tanpa harus ada guru
bimbingan, selama ini subjek mencoba belajar musik sendiri
di sekolah maupun di rumah agar ia dapat menguasai banyak
lagu, menurutnya jika ia bermain musik dengan baik, ia akan
sering dipanggil untuk acara pentas di berbagai acara dan
mendapatkan uang untuk membantu ibu dan keluarganya.

Selain itu, Grotberg mengatakan bahwa manusia yang


beresilien merasa bahwa mereka memiliki empati dan sikap
kepedulian yang tinggi terhadap sesama. Perasaan itu PS
tunjukkan melalui sikap peduli subjek terhadap peristiwa
yang terjadi pada orang lain. PS juga merasakan
ketidaknyamanan dan penderitaan yang dirasakan oleh orang
lain dan berusaha membantu untuk mengatasi masalah yang
terjadi. Subjek tunjukkan melalui sikap peduli terhadap
peristiwa yang terjadi pada orang lain.
Dukungan dari lingkungan di sekitar individu. Dukungan ini
27

berupa hubungan yang baik dengan keluarga, lingkungan


sekolah yang menyenangkan, ataupun hubungan dengan
orang lain diluar keluarga disebut dengan I Have dalam
sumber resiliensi (Grotberg, 1999). Hubungan yang penuh
kepercayaan diperoleh dari hubungan PS dengan orang tua,
terutama ibu kandung PS.
Subjek dapat mendapatkan dukungan eksternal karena subjek
dapat melakukan interaksi sosial dengan sekitarnya (I Can)
sehingga di dalam proses beresilien subjek mendapatkan
dukungan dari lingkungannya terutama keluarga, yaitu
ibunya. Hasil penelitian membuktikan teori tersebut bahwa
PS memiliki kemampuan melalui interaksinya dengan semua
orang yang ada disekitarnya. PS juga memiliki kemampuan
untuk berkomunikasi serta memecahkan masalah dengan
baik.
Menurut teori Grotberg (1999), anak yang resilien mampu
mengekepresikan dalam kata-kata atau perilaku untuk
menghindari keterpurukannya. PS mampu mengekspresikan
perasaannya kepada peneliti, dan perilaku yang ditunjukan.
Pada sumber resiliensi, I Can merupakan kemampuan anak
untuk melakukan hubungan sosial dan interpersonal. PS
mampu belajar melalui interaksinya dengan semua orang yang
ada disekitar mereka. Individu tersebut juga memiliki
kemampuan untuk berkomunikasi serta memecahkan
masalah dengan baik. Menurut Grotberg (1999), Anak yang
resilien dapat memahami karakteristik dirinya sendiri dan
orang lain. Subjek mengetahui resiko atas kekurangan fisik
yang subjek miliki. Sehingga ia tetap yakin, bangga, dan
meningkatkan kemampuan di dalam dirinya untuk tetap
mampu berprestasi dan beradaptasi dengan keadaannya
28

tersebut.
Manusia dapat menggunakan resiliensi untuk hal-hal berikut
ini (Reivich dan Shatte, 2002). PS dapat membuktikan fungsi
resiliensinya dengan cara cara pandang yang positif dari
kekurangan fisik yang ia miliki, PS memiliki motivasi untuk
melakukan hal positif yang dapat membuktikan bahwa ia
dapat melakukan hal positif seperti anak normal lainnya
bahkan PS ingin meningkatkan kemampuannya dengan
masuk ke SMP Umum. Sehingga, PS dapat tetap merasa
termotivasi, produktif, terlibat, dan bahagia meskipun
dihadapkan pada berbagai tekanan di dalam kehidupan yaitu
kekurangan fisiknya sebagai anak berkebutuhan khusus tuna
daksa.
PS dapat memandu serta mengendalikan dirinya dalam
menghadapi masalah karena keterbatasan fisiknya. Penelitian
menunjukkan bahwa unsur esensi dari steering through
dalam stres yang bersifat kronis adalah self-efficacy yaitu
keyakinan terhadap diri sendiri bahwa PS dapat menguasai
lingkungan secara efektif dapat memecahkan berbagai
masalah dan berprestasi dengan keadaan fisik yang terbatas.
Membuktikan teori Grotberg (1999), anak yang beresilien
dapat memiliki fungsi, mampu mengatasi masalah dengan
menguasai lingkungannya, PS memiliki keyakinan karena ia
memiliki banyak teman di sekolah, disukai guru, dan kenal
dekat dengan tetangga-tetangga di rumah subjek. PS dapat
memecahkan masalah dengan lingkungannya.
Orang yang resiliensi biasanya menghadapi trauma dengan
tiga karakteristik untuk menyembuhkan diri. Anak yang
beresilien menunjukkan task-oriented coping style dimana
mereka melakukan tindakan yang bertujuan untuk mengatasi
29

kemalangan tersebut, mereka mempunyai keyakinan kuat


bahwa mereka dapat mengontrol hasil dari kehidupan
mereka, dan orang yang mampu kembali ke kehidupan
normal lebih cepat dari trauma. PS mampu berhubungan
dengan orang lain untuk mengatasi kesulitan dalam
hidupnya, biasanya ia melakukan sharing dengan cara
bercerita kepada ibunya, terkadang ia lakukan dengan
temannya. Selain itu ketika PS memberikan uang
tabungannya untuk membeli bahan makanan di rumah karena
ayah tidak memberi uang kepada ibunya.
Resiliensi selain berguna untuk mengatasi pengalaman
negatif, stres, atau menyembuhkan diri dari trauma, juga
berguna untuk mendapatkan pengalaman hidup yang lebih
kaya dan bermakna serta berkomitmen dalam mengejar
pembelajaran dan pengalaman baru (Reivich dan Shatte,
2002).
PS beresiliensi sehingga ia mampu meraih aspek positif dari
kekurangan fisiknya yang tidak dapat berjalan normal,
sehingga PS melakukan hal positif yang tidak melibatkan
fisik, seperti berprestasi akademik menjadi murid satu-
satunya yang dapat mengikuti ujian yang disetarakan sekolah
umum, menjadi anak yang pandai bermusik sehingga dapat
menghasilkan uang sendiri, dan PS menjadi perwakilan anak
berkebutuhan khusus untuk membuat puisi. PS memiliki
tujuan hidup ingin menjadi pemusik, karena itu PS mulai
belajar musik sendiri agar semakin pintar bermain musik dan
menghasilkan uang untuk membantu keluarganya dari musik.
Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di
bawah kondisi yang menekan (Reivich dan Shatte, 2002).
Emosi mempengaruhi bagaimana orang tersebut beresilien.
30

PS dapat mengendalikan emosinya dengan baik,


pengendalian emosi yang dapat dikatakan baik karena PS
mampu mengendalikan emosi dengan tetap tenang di bawah
kondisi yang menekan jika terdapat suatu masalah di dalam
dirinya.
Reivich dan Shatte (2002), mengungkapkan dua buah
keterampilan yang dapat memudahkan individu untuk
melakukan regulasi emosi, yaitu yaitu tenang (calming) dan
fokus (focusing). Dua buah keterampilan ini dimiliki PS
untuk mengontrol emosi yang tidak terkendali, menjaga fokus
pikiran individu ketika banyak hal-hal yang mengganggu
seperti hubungan dengan Ayah PS, serta mengurangi stres
yang dialami olehnya.
Menurut teori Reivich dan Shatte (2002), anak yang resilien
memiliki faktor pengendalian impuls, pengendalian impuls
adalah kemampuan Individu untuk mengendalikan
keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul
dari dalam diri. PS memiliki faktor untuk bangkit dari
keterbatasan yang ia miliki karena PS mampu mengendalikan
keinginan dengan kesukaan dirinya ketika subjek ingin sekali
beraktifitas normal seperti anak normal lainnya namun
keadaan fisik yang terbatas yang tidak memungkinkan, PS
mewujudkan keinginannya dengan cara berprestasi di
akademik maupun non akademik. PS merasa dirinya dapat
berprestasi seperti anak normal walaupun ia adalah anak yang
berkebutuhan khusus.
Individu yang resilien adalah individu yang optimis,
optimisme adalah ketika kita melihat bahwa masa depan akan
cemerlang (Reivich dan Shatte, 2002). Optimisme yang
dimiliki oleh seorang individu menandakan bahwa individu
31

tersebut percaya bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk


mengatasi kemalangan yang mungkin terjadi di masa depan.
Hal ini juga dibuktikan PS merefleksikan self-efficacy yang
dimiliki nya yaitu kepercayaan individu bahwa PS mampu
menyelesaikan permasalahan yang ada dan mengendalikan
hidupnya. PS dapat dikatakan optimis karena PS sangat yakin
bahwa dirinya dapat membanggakan ibunya dengan
melakukan hal positif walaupun tidak melibatkan fisik subjek.
Optimisme akan menjadi hal yang sangat bermanfaat untuk
individu bila diiringi dengan self- efficacy, hal ini dikarenakan
dengan optimisme yang ada seorang individu terus didorong
untuk menemukan solusi permasalahan dan terus bekerja
keras demi kondisi yang lebih baik (Reivich dan Shatte,
2002).
Hal ini juga merefleksikan self-efficacy yang dimiliki oleh
subjek, yaitu kepercayaan individu bahwa ia mampu
menyelesaikan permasalahan yang ada dan mengendalikan
hidupnya. Misalnya dengan pernyataan subjek dalam
wawancara yang menyatakan bahwa ia mengetahui resiko
dari keterbatasan yang ia miliki, sehingga ia berusaha agar
dapat berprestasi di sekolahnya, dengan melakukan suatu hal
positif yang tidak terlalu melibatkan fisiknya, karena PS tidak
bisa berjalan tanpa kruk. PS menyadari bahwa kesempatan ia
dalam mendapatkan pekerjaan kelak akan sulit dibandingkan
dengan anak normal.
Empati sangat erat kaitannya dengan kemampuan individu
untuk membaca tanda-tanda kondisi emosional dan
psikologis orang lain (Reivich dan Shatte, 2002). PS
memiliki kemampuan yang cukup mahir dalam
menginterpretasikan bahasa-bahasa nonverbal yang
32

ditunjukkan oleh orang lain, seperti ekspresi wajah, intonasi


suara, bahasa tubuh dan mampu menangkap apa yang
dipikirkan dan dirasakan orang lain. Oleh karena itu, PS
mampu berempati sehingga memiliki hubungan sosial yang
positif. Terbukti bahwa PS memiliki hubungan yang positif
dengan ibunya, juga dengan lingkungannya.
Menurut teori Reivich dan Shatte (2002), bahwa salah satu
fungsi resiliensi adalah membuat seseorang memiliki
pandangan hidup dari keterpurukan yang terjadi menimpa
dirinya. Dibuktikan bahwa PS dapat meraih aspek positif dari
kerterbatasan fisik yang ia miliki, PS mampu meraih aspek
positif dari masalah-masalah yang terjadi, mampu
menemukan tujuan hidup, dan PS mampu mengetahui
resiko yang akan terjadi atas keterbatasan fisiknya. Subjek
mampu meraih aspek positif dari kekurangan fisiknya yang
tidak dapat berjalan normal, sehingga PS melakukan hal
positif yang tidak melibatkan fisik. Subjek penelitian
memiliki cara pandang positif dari kekurangan yang ia
miliki, beberapa kali ia mengatakan bahwa ia tidak menyesali
keadaan yang menimpanya, karena ia merasa dari
kekurangannya dapat membantu orang tuanya karena PS
suka menabung untuk membantu orang tuanya. Subjek pun
mengambil sisi positif dari sikap ayah PS yang lebih
memperhatikan saudara tirinya, karena memang keadaan ia
dengan saudara tirinya berbeda, dikarenakan saudara tirinya
tidak bisa menghasilkan uang seperti dirinya. PS mengambil
sisi positif dari kekurangannya dengan membahagiakan
ibunya walaupun dengan keadaan fisik yang sangat terbatas
dengan cara berprestasi.
Setiap orang membutuhkan resiliensi untuk menghadapi
33

setiap masalah, tekanan, dan setiap konflik yang terjadi


dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang resilien akan
menggunakan sumber dari dalam dirinya sendiri untuk
mengatasi setiap masalah yang ada, tanpa harus merasa
terbebani dan bersikap negatif terhadap kejadian tersebut.
Orang yang resilien dapat memandu serta mengendalikan
dirinya dalam menghadapi masalah sepanjang perjalanan
hidupnya. PS dapat mengetahui bagaimana menempatkan
diri di dalam lingkungannya. Subjek mengetahui betul
bagaimana keadaan lingkungan di sekitarnya. Subjek selalu
ingin menguasai lingkungan seperti misalnya saat latihan
musik di kelas subjek ingin mengajarkan semua alat musik
kepada temannya yang belum bisa memainkan alat tersebut
tanpa disuruh oleh gurunya.
PS memiliki banyak teman di sekolah maupun di luar sekolah
dapat membuktikan subjek bahwa ia memiliki fungsi
resiliensi yaitu Bouncing Back, dimana subjek dapat
melakukan hubungan dengan orang lain walaupun dengan
keterbatasan fisik yang ia miliki.
Menurutnya keterbatasan fisik tidak membatasi ia untuk
melakukan hubungan dengan orang lain. Teman-teman di
sekolah subjek menyukai subjek karena sifat humoris subjek,
guru-guru subjek yang melihat subjek sebagai anak yang dapat
berinteraksi dengan siapapun, dan juga lingkungan subjek,
yaitu tetangga subjek yang juga dekat dengan subjek. Subjek
menganggap lingkungan dapat menyelesaikan masalahnya
misalnya dengan cara bercerita masalah subjek kepada orang
yang dipercayainya

❖ KESIMPULAN
34

Resiliensi anak berkebutuhan khusus tunadaksa yang


berprestasi di YPAC Kota Malang memiliki tiga sumber
resiliensi; perasaan bangga dengan prestasi akademik
maupun non akademik yang subjek miliki walaupun
memiliki kekurangan fisik (I Am), PS juga memiliki
keyakinan bahwa ia dapat melakukan kegiatan seperti anak
normal lain (I Am), Subjek yakin pada dirinya sendiri untuk
bangkit dari keterbatasan fisiknya. Sumber resiliensi I Can
(kemampuan sosial dan interpersonal), bahwa PS mampu
melakukan kemampuan sosial dan interpersonal seperti anak
lainnya walaupun memiliki keadaan fisik yang mengalami
tuna daksa dan mampu meningkatkan kemampuannyayang
tidak melibatkan fisik, dengan cara terus belajar untuk
meningkatkan prestasinya baik di akademik maupun non
akademik (I Can). PS memiliki sumber dukungan eksternal,
terutama dari ibu kandung subjek, dan guru beserta teman-
teman di sekolahnya yang berhubungan dekat dengan Subjek
(I Have).
PS memiliki faktor-faktor dalam beresilien. Faktor resiliensi
yang pertama, PS mampu tetap tenang dibawah kondisi yang
menekan dari keterbatasannya (Emotion Regulation). Kedua,
PS mampu mengendalikan keinginan dirinya yang ingin
dapat melakukan kegiatan seperti anak normal lainnya
walaupun memiliki keterbasan fisik (Impulse Control).
Ketiga, PS percaya bahwa ia mampu berprestasi dengan
keterbatasan fisiknya (Optimism). Keempat,PS mampu
memposisikan dirinya sebagai orang lain terutama ibunya
(Emphaty). Kelima, PS mampu mempresentasikan
keyakinannya dan dapat mengetahui bagaimana cara untuk
dapat menyelesaikan masalah dengan keterbatasan yang ia
35

miliki (Self-Efficacy). Ke enam, PS mampu mengedintifikasi


penyebab dan akibat dari kondisi fisik yang ia memiliki
sebagai anak tuna daksa (Causal Analysis). Faktor ketujuh
adalah PS menemukan tujuan hidup atas keterbatasannya,
mampu mengetahui resiko dari kekurangannya untuk terus
berprestasi di akademik atau di non akademik dan
mengetahui baik karakteristik diri untuk bangkit dari
keterbatasannya (Reaching Out).
PS memiliki fungsi resiliensi. Pertama, PS dapat memiliki cara
pandang yang posiif atas keterbatasan yang ia miliki
(Overcoming). Kedua, PS mampu menguasai lingkungan
dengan cara mendekatkan diri dengan lingkungannya
diantaranya, Ibu, teman-teman, dan guru di sekolah, (Steering
through). Ketiga, PS mampu mengontrol keterbatasannya
sehingga ia mengetahui bagaimana cara berhubungan dengan
orang lain, (Bouncing back). Keempat, mampu mengetahui
resiko dari kekurangannya untuk terus berprestasi di akademik
atau di non akademik dan mengetahui baik karakteristik diri
untuk bangkit dari keterbatasannya (Reaching Out).

BAB III

ANAK BERPRESTASI

3.1 Pengertian Prestasi

Prestasi belajar adalah sebuah kalimat yang terdiri dari dua kata,
yaitu;
36

“ Prestasi” dan “Belajar”. Antara kata “Prestasi” dan “Belajar”


mempunyai arti yang berbeda. Oleh karena itu sebelum membahas
pengertian prestasi belajar maka kita harus mengetahui apa yang dimaksud
dengan “Prestasi” dan “Belajar”.

Prestasi adalah hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan,


diciptakan baik secara individu maupun kelompok. Prestasi tidak akan
pernah dihasilkan selama seseorang tidak pernah melakukan suatu kegiatan.
Pencapaian prestasi tidaklah mudah, akan tetapi kita harus menghadapi
berbagai rintangan dan hambatan hanya dengan keuletan dan optimis dirilah
yang dapat membantu untuk mencapainya.

Berbagai kegiatan dapat dijadikan sebagai sarana untuk


mendapatkan “Prestasi”. Semuanya tergantung dari profesi dan kesenangan
dari masing-masing individu. Pada prinsipnya setiap kegiatan harus digeluti
secara optimal. Dari kegiatan tertentu yang digeluti untuk mendapatkan
prestasi maka beberapa ahli berpendapat tentang “Prestasi” adalah hasil dari
suatu kegiatan.

Gambar 1, anak Indonesia berprestasi kancah internasional

Sejalan dengan itu beberapa ahli berpendapat tentang prestasi


antara lain:

1. W.J.S Poerwadarminta,berpendapat bahwa prestasi adalah


hasil yang telah dicapai(dilakukan,dikerjakan,dan sebagainya).

2. Mas’ud Said Abdul Qahar, persatasi adalah apa yang telah kita
dapat ciptakan, hasil pekerjaan, hasil menyenangkan hati yang diperoleh
dengan jalan keuletan.
37

3. Nasrun Harahap dkk, prestasi adalah penilaian pendidikan


tentang perekembangan dan kemajuan murid yang berkenaan dengan
penguasaan bahan pelajaran yang disajikan kepada mereka serat nilai-
nilai yang terdapat dalam kurikulum.

3.2 Pengertian Belajar

Setelah diketahui pengertian prestasi, selanjutnya akan


dikemukakan pengertian belajar sehingga nanti sampailah pada maksud
yang dituju yaitu pengertian tentang “prestasi belajar”.

Belajar selalu mempunyai hubungan dengan arti perubahan, baik


perubahan ini meliputi keseluruhan tingkah laku ataupun hanya terjadi
beberapa aspek dari kepribadian orang yang belajar. Perubahan ini dalam
tiap-tiap manusia dalam hidupnya sejak dilahirkan. Belajar mempunyai
pengertian yang sangat umum dan luas, boleh dikatakan sepanjang
hidupnya seseorang mengalami proses belajar dari pengalamannya.

Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa belajar itu meliputi setiap
pengalaman yang menimbulkan perubahan dalam pengetahuan, sikap dan
ketrampilan seseorang, baik perubahan bersifat positif maupun negatif,
baik sengaja maupun tidak sengaja, baik terjadi di dalam sekolah maupun
diluar sekolah. Tetapi biasanya belajar diberi pengertian khusus sebagai
setiap pengalaman yang menimbulkan perubaha-perubahan tingkah laku
yang bersifat positif, yang sengaja diberikan sekolah di bawah bimbingan
guru.

Sejalan dengan itu, Sardiman AM. Mengemukakan suatu


rumusan bahwa belajar sebagai rangkaian kegiatan jiwa raga, psikofisik
menurut perkembangan pribadi manusia seutuhnya, yang menyangkut
unsur cipta, rasa dan karsa, ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.

Secara umum, belajar boleh dikatakan sebagai suatu proses


interaksi antara diri manusia (Id –Ego – Superego) dengan lingkungannya
yang mungkin berjudi, fakta, konsep maupun teori. Dalam hal ini
terkadang suatu maksud bahwa proses interaksi adalah :

- Proses internalisasi dari suatu kedaan diri yang belajar.


38

- Dilakukan secara aktif, dengan segenap panca indra ikut


bereperan.

Menurut Drs. Slameto, bahwa belajar adalah suatu proses


perubahan yaitu tingkah laku sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam
proses interaksi dengan lingkungan. Dengan demikian belajar merupakan
suatu kegiatan atau proses yang menghasilkan perubahan tingkah laku.
Perubahan itu adalah didapatkannya kemampuan baru, yang berlaku
dalam waktu yang relatif lama dan perubahan itu terjadi dikarenakan
usaha.

Setelah melihat uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa


pengertian prestasi belajar adalah hasil diperoleh seseorang setelah
mengikuti kegiatan atau belajar mengajar dalam jangka waktu tertentu
atau setelah menyelesaikan suatu program tertentu yang mengakibatkan
perubahan dalam diri individu sebagai hasil dari aktivitas dalam belajar.

Uraian ciri-ciri perubahan tingkah laku tersebut adalah:

1. Perubahan yang terjadi secara sadar. Ini berarti bahwa individu yang
belajar menyadari terjadinya perubahan yang ada pada dirinya sendiri.

2. Perubahan dalam belajar yang bersifat positif dan aktif.

Perubahan belajar anak senantiasa bertambah dan bertujuan untuk


memperoleh sesuatu yang lebih baik sebelumnya. Dengan demikian
makin banyak usaha belajar dilakukan, akan makin banyak dan baik
perubahan yang diperoleh. Perubahan bersifat efektif artinya bahwa
perubahan itu tidak terjadi dengan sendirinya melainkan karena usaha
individu itu sendiri.

3. Perubahan dalam belajar bertujuan

Sebagai hasil belajar, perubahan yang terjadi pada individu berlangsung


terus-menerus, tidak statis dan berguna bagi hidupnya. Satu perubahan
yang terjadi akan menyebabkan perubahan pada proses belajar
selanjutnya.

4. Perubahan dalam belajar bersifat kontinyu dan fungsional.


39

Perubahan yang bersifat sementara atau kontemporer terjadi hanya


beberapa saat saja, sedangkan perubahan yang terjadi setelah belajar
bersifat menetap.

5. Perubahan dalam belajar bertujuan

Perubahan tingkah laku terjadi karena ada tujuan yang akan dicapai.
Dengan adanya tujuan berarti siswa mengetahui arah mana yag harus
ditempuh agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai. Pada dasarnya
perubahan belajar terarah kepda perubahan tingkah laku yang benar-
benar disadari.

6. Perubahan mencakup seluruh tingkah laku.

Seseorang yang belajar akan mengalami perubahan tingkah laku secara


keseluruhan dalam sikap, ketrampilan, pengetahuan dan sebagainya.

Prestasi belajar berasal dari kata “prestasi dan belajar”. Menurut


Purwodarminto prestasi belajar diartikan sebagai hasil yang dicapai
(dilakukan/dikerjakan). Jadi prestasi itu adalah suatu istilah yang
digunakan untuk menunjukkan pada suatu tingkat keberhasilan tentang
suatu hal, yang disebabkan oleh suatu hal yang telah dilakukan.

Prestasi mencerminkan sejauhmana siswa telah dapat mencapai tujuan


yang telah ditetapkan disetiap bidang studi. Gambaran prestasi siswa bisa
dinyatakan dengan angka (0 s.d 10).

Dalam proses belajar mengajar, siswa mengalami suatu perubahan dalam


bidang pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan sikap. Adanya
perubahan ini dapat dilihat dari prestasi belajar siswa yang dihasilkan
oleh siswa dari kegiatan mengerjakan soal ulangan dan mengerjakan
tugas yang diberikan oleh guru. Kata prestasi belajar mengandung dua
kata yakni “prestasi “ dan “belajar” yang mempunyai arti berbeda. Oleh
karena itu sebelum pengertian “prestasi belajar” dibicarakan ada baiknya
kedua kata itu dijelaskan artinya satu persatu.

Menurut Syaiful Bahri Djamarah, menyatakan bahwa prestasi adalah


penilaian pendidikan tentang perkembangan dan kemajuan murid yang
berkenaan dengan penguasaan bahan pelajaran yang disajikan kepada
mereka dan nilai-nilai yang terdapat di dalam kurikulum.
40

Belajar adalah merupakan perubahan tingkah laku untuk mencapai tujuan


dari tidak tahu menjadi tahu atau dapat dikatakan sebagai proses yang
menyebabkan terjadinya perubahan tingkah laku dan kecakapan
seseorang.

Sardiman AM sebagaimana yang dikutip oleh Syaiful Bahri Djamarah


menyatakan bahwa belajar adalah rangkaian kegiatan jiwa raga yang
menuju perkembangan pribadi manusia seutuhnya, yang menyangkut
unsur cipta, rasa, dan karsa, ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.

Bertolak dari pendapat di atas jelas menyatakan bahwa belajar itu


bertujuan untuk mengembangkan pribadi manusia bukan hanya sekedar
mencerdaskan manusia belaka namun menjadi manusia yang
berkepribadian yang luhur itulah hakekat sebuah belajar. Dalam
mengembangkan kepribadian manusia seutuhnya itu melibatkan unsur-
unsur cipta atau membuat sesuatu, rasa/perasaan, karsa/keinginan,
kognitif, afektif dan psikomotorik.

Jadi belajar merupakan suatu aktifitas yang sadar akan tujuan. Tujuannya
adalah terjadinya suatu perubahan dalam diri individu. Perubahan yang
dimaksudkan tentu saja menyangkut semua unsur yang ada pada diri
individu.

Sedangkan islam sendiri mewajibkan pada setiap umatnya untuk belajar,


dengan tujuan agar umatnya berprestasi:

‫طلب العلم فريضة على كل مسلم ومسلمة (رواه ابن عبد البر‬
"Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap umat muslim laki - laki dan
perempuan"

Dari pendapat tersebut di atas, maka seseorang dinyatakan


melakukan kegiatan belajar, setelah ia memperoleh hasil, yakni terjadinya
perubahan tingkah laku, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak
mengerti menjadi mengerti dan sebagainya. Dari penjelasan di atas dapat
disimpulkan bahwa pengertian belajar adalah suatu proses untuk
mencapai suatu kecakapan, kebiasaan, sikap dan pengertian suatu
pengetahuan dalam usaha merubah diri menjadi semakin baik dan
mampu.
41

Selanjutnya Abdurrahman Saleh memberikan prestasi belajar atau hasil


belajar adalah hasil yang dicapai siswa dari mempelajari tingkat
penguasaan ilmu pengetahuan tertentu dengan alat ukur berupa evaluasi
yang dinyatakan dalam bentuk angkah huruf atau kata atau simbol,
dengan istilah lain yakni prestasi. Salah satu program diklat (mata
pelajaran) yang diajarkan di sekolah adalah program diklat (mata
pelajaran) kewirausahaan. Pelajaran ini sengaja diterapkan di sekolah-
sekolah bertujuan adalah menghasilkan lulusan yang akan menempati
lapangan pekerjaan maupun berwiraswasta.

Pengertian prestasi belajar adalah sebagai indikator kualitas dan kuantitas


pengetahuan yang dikuasai anak didik dalam memahami mata pelajaran
di sekolah. Sehingga dari pengertian di atas dapat diketahui yang
dimaksud dengan prestasi belajar kewirausahaan adalah bukti
keberhasilan siswa dalam penguasaan terhadap program
diklatkewirausahaan melalui tahap-tahap evaluasi belajar yang
dinyatakan dengan nilai. Untuk mengukur prestasi belajar program
diklatkewirausahaan, guru harus memberikan penilaian kepada siswa
dalam bentuk angka dan ditulis sebagai laporan pendidikan yang biasanya
tercantum dalam raport.

Prestasi belajar siswa bukan semata-mata karena faktor kecerdasan


(intelegensia) siswa saja, tetapi ada faktor lain yang dapat mempengaruhi
prestasi belajar siswa tersebut, secara garis besar faktor-faktor terebut
dibagi menjadi dua yakni faktor intern dan faktor ekstern. Faktor-faktor
yang dimaksud adalah seperti yang dikemukakan oleh Nana Sudjana
sebagai berikut:

1. Faktor interen, yaitu faktor yang terdapat dalam diri individu itu
sendiri, antara lain ialah kemampuan yang dimilikinya, minat dan
motivasi serta faktor-faktor lainnya.

2. Faktor ekstern, yaitu faktor yang berada di luar individu di antaranya


lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat.

Sementara itu Winkel merinci faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi


belajar adalah:

Faktor pada pihak siswa, terdiri dari:


42

1. Faktor-faktor psikis intelektual, yang meliputi taraf intelegensi,


meliputi motivasi belajar, sikap perasaan, minat, kondisi akibat
keadaan sosio kultural atau ekonomis.

2. Faktor-faktor fisik yang meliputi keadaan fisik.

3. Faktor dari luar siswa yang terdiri dari:

a. Faktor-faktor pengatur proses belajar di sekolah, yang meliputi


kurikulum pengajaran, disiplin sekolah, teacherefectiveness,
fasilitas belajar dan pengelompokkan siswa.

b. Faktor-faktor sosial di sekolah yang meliputi sistem sosial, status


sosial, dan interaksi guru dan siswa.

c. Faktor situasional, yang meliputi keadaan politik ekonomis, keadaan


waktu dan tempat serta musim iklim.

d. Bakat

e. Minat

f. Emosi

g. Kepribadian

h. Gangguan kejiwaan atau gangguan kepribadian lainnya.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, agar siswa dapat


memperoleh prestasi belajar yang seoptimal mungkin, maka
siswa perlu meningkatkan kemampuan, minat dan motivasi yang
ada dalam dirinya. Demikian pula halnya dengan faktor yang ada
di luar diri siswa. Faktor ini dapat mendorong dan menghambat
siswa dalam proses belajar. Lingkungan keluarga, sekolah dan
masyarakat dapat memberi dukungan siswa di dalam belajar. Di
antara ketiga lingkungan tersebut, lingkungan sekolah merupakan
lingkungan yang terpenting yang berfungsi sebagai lingkungan
kedua yang sangat mendukung dalam mendidik anak atau siswa,
setelah lingkungan utama yaitu lingkungan keluarga.
43

Selain itu, bila dikaitkan dengan al-qur'an, adanya ayat - ayat


alqur'an juga sebagai pertanda akan kesadaran kita untuk
mengkajinya lebih jauh. salah satu ayat yang menunjukkan
KeMahabesaran Allah atas ilmu pengetahuan adalah Q.S Ar-
rahman ayat 33

“Wahai golongan jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus


(melintasi) penjuru langit dan bumi, maka tembuslah! Kamu tidak
akan mampu menembusnya kecuali dengan kekuatan (dari
Allah Swt.)”. (Surah ar-Rahman/55: 33)
Isi kandungan surah ar-Rahman/55: 33 sangat cocok untuk
kalian pelajari karena ayat ini menjelaskan pentingnya ilmu
pengetahuan bagi kehidupan umat manusia. Dengan ilmu
pengetahuan, manusia dapat mengetahui benda-benda langit.
Dengan ilmu pengetahuan, manusia dapat menjelajahi angkasa
raya. Dengan ilmu pengetahuan, manusia mampu menembus
sekat-sekat yang selama ini belum terkuak. Hebat, bukan?

Manusia diberi potensi oleh Allah Swt. berupa akal. Akal ini
harus terus diasah, diberdayakan dengan cara belajar dan
berkarya. Dengan belajar, manusia bisa mendapatkan ilmu dan
wawasan yang baru. Dengan ilmu, manusia dapat berkarya untuk
kehidupan yang lebih baik.

Minat siswa terhadap suatu pelajaran (program diklat) bisa


menjadi salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan prestasi
44

belajar siswa. Minat siswa menurut Winkel termasuk faktor yang


berpengaruh pada prestasi belajar yang termasuk faktor ekstern.

Prestasi belajar merupakan hasil dari suatu usaha,


kemampuan, dan sikap seseorang dalam menyelesaikan suatu hal
di bidang pendidikan. Kehadiran prestasi belajar dalam kehidupan
manusia pada tingkat dan jenis tertentu yang berada di bangku
sekolah.

Prestasi belajar ini merupakan suatu masalah yang bersifat


perinial dalam sejarah kehidupan manusia karena sepanjang
kehidupannya manusia selalu mengejar pretasi menurut bidang
dan kemampuannya masing-masing dan prestasi ini dapat
memberikan kepuasan pada diri manusia khususnya bagi mereka
yang berada dibangku sekolah. Prestasi belajar ini terasa penting
untuk dipermasalahkan, karena mempunyai beberapa fungsi
utama;

1. Prestasi belajar sebagai indikator kualitas dan kuantitas


pengetahuan yang dikuasi oleh anak didik

2. Prestasi belajar sebagai lambang pemuasan hasrat ingin tahu.


Hal ini didasarkan atas asumsi bahwa para ahli psikologi biasanya
menyebut hal ini sebagai tendensi keingintahuan dan merupakan
kebutuhan umum pada manusia termasuk kebutuhan anak didik
dalam suatu program pendidikan.

3. Prestasi belajar sebagai bahan informasi dalam inofasi


pendidikan, asumsinya adalah bahhwa prestasi belajar dapat
dikajikan pendorong bagi anak didik dalam meningkatkan ilmu
pengetahuan dan teknologi
45

4. Prestasi belajar sebagai indikator intern dan ekstern dari suatu


institusi pendidikan. Asumsinya adalah bahwa kurikulum yang
digunakan releven dengan kebutuhan masyarakat, dan anak didik.
Indikator ekstern dalam arti bahwa tinggi rendahnya prestasi
belajar dapat dijadikan indikator kesuksesan anak didik dalam
masyarakat. Asumsinya adalah bahwa kurikulum yang digunakan
dalam relevan pula dengan kebutuhan pembangunan masyarakat.

5. Prestasi belajar dapat dijadikan indikator terhadap daya serap


(kecerdasan) anak didik. Dalam proses belajar pembelajaran anak
didik merupakan masalah anak didik. Dalam proses belajar dan
pembelajaran anak didik merupakan masalah yang utama dan
pertama karena anak didiklah yang diharapkan dapat menyerap
seluruh materi pelajaran yang diprogramkan dalam kurikulum.

Sekolah sebagai salah satu tempat belajar memberikan


bermacam-macam pelajaran yang harus ditempuh oleh para siswa
untuk mewujudkan suatu tujuan yang ingin dicapai. Pencapaian
tujuan ini diukur dengan mengadakan suatu penilaian untuk
mengukur hasil belajar tersebut dapat digunakan dengan tes
maupun non tes. Dengan istilah lain Nurkancana menyatakan
“Ada dua metode yang dapat dipergunakan untuk mengetahui
kemajuan yang dicapai oleh murid-murid dalam proses belajar
mengajar yang mereka lakukan ialah metode tes dan non tes”.

Dengan melalui pengukuran hasil belajar inilah prestasi hasil


belajar siswa dapat diketahui dengan kata lain dari pengukuran
hasil belajar siswa itu akan diperoleh tingkat prestasi yang dicapai
oleh siswa. Seperti juga dalam bidang studi lain setelah
dilaksanakan pengukuran hasil belajar maka hasil tes, sehingga
46

dengan begitu untuk mengetahui prestasi belajar siswa adalah


dengan melihat nilai raport maupun hasil tes lain.

3.3 TIPS METODE PEMBELAJAR UNTUK MENDUKUNG


ANAK BERPRESASI AKADEMIK

Ada 3 gaya tipe belajar yang perlu diketaui orangtua

• Gaya belajar AUDITORI (Pendengaran)


- mudah ingat dari apa yang pernah didengarnya dan
didiskusiskannya
- tidak bisa belajar dalam suasana berisik
- senang dibacakan atau didengarkan
- lebih suka menuliskan kembali sesuatu, senang membaca
dengan suara keras dan pandai bercerita
- bisa mengulangi apa yang didengarnya, baik nada, irama,
dan lainnya
- lebih suka humor lisan ketimbang baca buku
- senang berdiskusi, bicara, atau menjelaskan panjang
lebar

• Gaya belajar visual ( penglihatan )


─ Lebih mudah ingat dengan melihat
─ Tidak terganggu oleh suara rebut saat belajar
─ Lbih suka membaca
─ Lebih suka mendemonstrasikan sesuatu dari pada
menjelaskan
47

─ Tahu apa yang harus dikatakan tapi tak bisa


diungkapkan dengan kata-kata
─ Tertarik pada seni seperti lukisan, pahat, gambar
daripada seni music
─ Sering lupa jika harus menyampaikan pesan secara
verbal pada orang lain
• Gaya belajar kinestetik (Gerak )
─ Lebih banyak menggunakan bahasa tubuh
─ Menyukai kegiatan atau permainan yang menyibukan
secara fisik
─ Ketika membaca, menunjukan kata-ata dengan cari
tangan
─ Kalau menghafal sesuatu dengan cara berjalan atau
melihat langsung
─ Belajar melalui praktik langsung atau manipulasi
─ Banyak gerak fisik dan punya perkembangan otot yang
baik
─ Menanggapi perhatian fisik

BAB IV
KESIMPULAN

1. Tunadaksa dapat didefinisikan sebagai bentuk kelainan atau


kecacatan pada sistem otot, tulang, persendian, dan saraf yang
48

disebabkan oleh penyakit, virus, dan kecelakaan baik yang


terjadi sebelum lahir, saat lahir dan sesudah kelahiran. Gangguan
itu mengakibatkan gangguan koordinasi, komunikasi, adaptasi,
mobilisasi, dan gangguan perkembangan pribadi.
2. Klasifikasi anak tunadaksa ditinjau dari sistem kelainannya dapat
dibedakan atas kelainan pada sistem cerebral dan kelainan pada
sistem otot dan rangka. Kelainan pada sistem cerebral berupa
cerebral palsy yang menunjukkan kelainan gerak, sikap dan
bentuk tubuh, gangguan koordinasi, dan kadang disertai
gangguan psikologis dan sensoris karena adanya kerusakan pada
masa perkembangan otak. Cerebral palsy diklasifikasikan
menurut derajat kecacatannya, yaitu ringan, sedang, dan berat.
Klasifikasi berdasarkan fisiologi kelainan gerak adalah spastik,
dyskensia (atetoid, rigid, tremor), dan campuran.
Kelainan pada sistem otot dan rangka berupa poliomyelitis,
muscle dystrophy, dan spina bifida. Poliomyelitis merupakan
suatu infeksi
Penyakit pada sumsum tulang belakang yang disebabkan oleh
virus polio yang mengakibatkan kelumpuhan yang bersifat
menetap dan tidak mengakibatkan gangguan kecerdasan atau
alat-alat indra. Kelumpuhan dibedakan atas tipe spinal, bulbair,
bulbospinal, dan encephalitis. Muscle dystrophy adalah jenis
penyakit otot yang disebabkan oleh faktor keturunan dan
mengakibatkan otot tidak berkembang karena mengalami
kelumpuhan yang sifatnya progresif dan simetris. Spina bifida
merupakan jenis kelainan pada tulang belakang yang ditandai
dengan terbukanya satu atau 3 ruas tulang belakang dan tidak
tertutup lagi selama masa perkembangan sehingga fungsi
jaringan saraf terganggu dan terjadilah kelumpuhan.
3. Karakteristik anak tunadaksa ditinjau dari beberapa segi, antara
49

lain:
a. Karakteristik akademis anak tunadaksa meliputi ciri khas
kecerdasan, kemampuan kognisi, persepsi dan simbolisasi
mengalami kelainan karena terganggunya sistem cerebral
sehingga mengalami hambatan dalam belajar, dan mengurus diri.
Anak tunadaksa karena kelainan pada sistem otot dan rangka
tidak terganggu sehingga dapat belajar, seperti anak normal.
b. Karakteristik sosial/emosional anak tunadaksa
menunjukkan bahwa konsep diri dan respons serta sikap
masyarakat yang negatif terhadap anak tunadaksa mengakibatkan
anak tunadaksa merasa tidak mampu, tidak berguna, dan menjadi
rendah diri. Akibatnya, kepercayaan dirinya hilang dan akhirnya
tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.
Mereka juga menunjukkan sikap mudah tersinggung, mudah
marah, lekas putus asa, rendah diri, kurang dapat bergaul, malu,
dan suka menyendiri, serta frustrasi berat.
4. Karakteristik fisik/kesehatan anak tunadaksa biasanya selain
mengalami cacat tubuh, juga mengalami gangguan lain, seperti
sakit gigi, berkurangnya daya pendengaran, penglihatan,
gangguan bicara, dan gangguan motorik.

5. Tujuan utama pendidikan anak tunadaksa adalah terbentuknya


kemandirian dan keutuhan pribadi. Untuk mencapai tujuan
tersebut, sekurang-kurangnya tujuh aspek yang perlu
dikembangkan melalui pendidikan pada anak tunadaksa, yaitu
(1) pengembangan intelektual dan akademik, (2) membantu
perkembangan fisik, meningkatkan perkembangan emosi dan
penerimaan diri anak, mematangkan aspek sosial, (5)
mematangkan moral dan spiritual, (6) meningkatkan ekspresi
diri, dan (7) mempersiapkan masa depan anak.
50

6. Anak tunadaksa dapat mengikuti pendidikan pada sekolah


berasrama, sekolah tidak berasrama, kelas khusus penuh, kelas
reguler dan khusus, kelas umum dibantu oleh guru khusus, kelas
dengan konsultan guru-guru umum, dan kelas normal, serta
ruang sumber.
7. Penyelenggaraan pendidikan jalur persekolahan bagi anak
tunadaksa menggunakan kurikulum PLB untuk anak tunadaksa
tahun 1994, yang perangkatnya terdiri dari Landasan, Program
dan Pengembangan Kurikulum, Garis-garis Besar Program
Pengajaran (GBPP), dan Pedoman Pelaksanaan Kurikulum.
8. Satuan pendidikan yang ada dalam kurikulum PLB 1994
berjenjang mulai TKLB, SDLB, SLTPLB, dan SMLB. Semua
satuan pendidikan tersebut menerapkan sistem caturwulan,
sedangkan perencanaan kegiatan belajarnya dapat meliputi
perencanaan tahunan, caturwulan, harian, dan perencanaan
pendidikan yang diindividualisasikan (PPI).
9. Dalam memberikan pendidikan pada anak tunadaksa ada 2
prinsip utama, yaitu prinsip multisensori dan individualisasi.
Demikian juga dengan kondisi ruangan belajarnya. Ia
membutuhkan rancangan khusus sehubungan dengan kondisi
anak tunadaksa mengalami gangguan motorik maka sebaiknya
bangunan gedung sekolah dirancang dengan memprioritaskan 3
kemudahan, yaitu mudah ke luar masuk, mudah bergerak dalam
ruangan, dan mudah mengadakan penyesuaian.

Anda mungkin juga menyukai