Materi 1 Tentang Insan Kamil
Materi 1 Tentang Insan Kamil
DISUSUN OLEH :
1. Agung
2. M. Naufal Afif Muzakki
3. Muhammad Tommy Saputra
4. Nesya Patrunada
5. Novia Budiarti
6. Reza Nanda
7. Yohana Nurul Jaelani
8. Yulia Nabila
Kelas : 1SC
2018/2019
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji dan syukur selalu dipanjatkan kehadiran Allah SWT. Yang telah
melimpahkan rahmat dan kasih sayang-nya yang tak pernah dapat terhitung. Berkat kuasa
dan izinnya pula makalah “ Intregasi Iman Islam dan Ikhsan dalam Membentuk Insan Kamil”
dapat dikerjakan dan diselesaikan sebagaimana mestinya.Penulis berterima kasih kepada
bapak Muhammad Harun,SS,M selaku dosen matakuliah Pendidikan Agama Islam Fakultas
Teknik Sipil Universitas Politeknik Sriwijaya yang telah membimbing penulis sehingga
makalah ini dapat disesuiakan tepat pada waktunya.
Besar harapan penulis semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan bagi para
pembaca tentang Intregasi iman islam dan ihsan dalam membentuk insan kamil. Karena
keterbatasan pengetahuan an pengalaman penulis,penulis yakin masih banyak kekurangan
dalam penyampaian makalah ini.oleh katena itu,penulis sangat mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.Mohon maaf apabila
terdapat kata yang kurang berkenan. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.
Kelompok 2
Daftar Isi
Kata Pengantar……………………………………………………..................i
Daftar Isi…...………………………………………………………………...ii
Bab 1 Pendahuluan
1.3 Tujuan……….…………………………………….…………….…..2
Bab II Pembahasan
3.1 Kesimpulan………………………………………………...………..12
3.2 Saran……...………………………………………………………....12
Daftar Pustaka……...………………………………………………………....13
BAB I
PENDAHULUAN
Tidak ada keberuntungan bagi umat manusia di dunia dan akhirat kecuali dengan
agama islam.setiap manusia membutuhkan syari’at. Agama islam adalah penerang yang
menjelaskan perkara yang bermanfaat dan berbahaya untuk umat islam. Islam mengajarkan
kita untuk memiliki Akhlaq Al-Karimah, yang selalu berpedoman kepada kitab suci Al-
Qur’an dan Hadits. Lebih lanjut konsep ini akan memberikan gambaran menyeluruh tentang
hubungan timbal balik antara pencipta, manusia dan lingkungannya dalam konteks
pembentukan insan kamil (yang berakhalaqtul al-karimah) sebagai tujuan akhir pendidikan
Islam. Umat islam mengartikan "insan kamil" sebagai manusia sempurna, Sebagai aktualisasi
dan contoh yang pernah ada hidup di permukaan bumi ini adalah sosok Rasulullah
Muhammad Saw.
1.3 Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
Insan kamil berasal dari bahasa arab, yaitu dari dua kata: Insan dan Kamil. Secara
harfiah, Insan berarti manusia, dan kamil berarti sempurna. Dengan demikian, insan kamil
berarti manusia yang sempurna. Menurut Dr. H. Abuddin Nata, M.A. dalam bukunya Akhlak
Tasawuf mengatakan bahwa kata insan menunjukkan pada sesuatu yang secara khusus
digunakan untuk arti manusia dari segi sifatnya.Di dalam Al-Quran telah dijumpaidan
dibedakandengan istilah basyar dan al-nas. Kata insan jamaknya kata al-nas. Kata insan
mempunyai tiga asal kata. Pertama, berasal dari kata anasa yang mempunyai arti melihat,
mengetahui dan minta izin.yang kedua, berasal dari kata nasiya yang artinya lupa. Yang
ketiga berasal darikata al-uns yang artinya jinak, lawan dari kata buas. Dengan bertumpu
pada asal kata anasa, maka insan mengandung arti melihat, mengetahui dan meminta izin dan
semua arti ini berkaitan dengan kemampuan manusia dalam bidang penalaran, sehingga dapat
menerima pengajaran. Selanjutnya dengan bertumpu pada akar kata nasiya, insan
mengandung arti lupa dan menunjukkan adanya kaitan dengan kesadaran diri. Manusia lupa
terhadap sesuatu karena ia kehilangan kesadaran terhadap hal tersebut. Orang yang lupa
dalam agama dapat dimaafkan, karena hal yang demikian termasuk sifat insaniyah.
Sedangkan kata insan jika dilihat dari aslnya al-uns, atau anisa yang artinya jinak,
mengandung arti bahwa manusia sebagai makhluk yang dapat hidup berdampingan dan dapat
dipelihara, jinak.
Dilihat dari sudut kata insan yang berasal dari kata al-uns, anisa, nasiya dan anasa
maka dapatlah dikatakan bahwa kata insan menunjukkan pada suatu pengertian yang ada
kaitannya dengan sikap yang lahir dari adanya kesadaran penalaran. Selain itu sebagai insan
manusia pada dasarnya jinak, dapat menyesuaikan dengan realitas hidup an lingkungan yang
ada. Manusia mempunyai kemampuan adptasi yang cukup tinggi, untuk menyesuaikan diri
dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupannya, baik perubahan sosial maupun alamiah.
Manusia menghargai tata aturan, etik, sopan santun dan sebagai makhluk yang berbudi, ia
tidak liar, baik secara sosial maupun secara alamiah.pengguanaan kata insan di dalamnya,
menunjukkan bahwa semua kegiatan itu pada dasarnya adalah kegiatan yang di sadari dan
berkaitan dengan kapasitas akalnya dan aktualitas dalam kehidupan konkret, yaitu
perencanaan, tindakan dan akibat-akibat atau perolehan-perolehan yang di timbulkannya.
Berdasarkan keterangan tersebut istiah insan ternyata menunjukkan kepada makhluk yang
dapat melakukan berbagai kegiatan karena memiliki berbagai potensi baik yang bersifat fisik,
moral, mental maupun intelektual. Manusia yang dapat mewujudkan perbuatan-perbuatan
tersaebut itulah yang di sebut insan kamil. Kata insan lebih mengaacu kepada manusia yang
dapat melakukan berbabagai kegiatan yang bersifat moral, intelektua, sosial dan rohaniah dan
unsur insaniyah inilah yang selanjutnya di sebut sebagai makhluk yang memiliki instuisi,
sifat lahut, dan sifat ini pula yag dapat baqa dan bersatu secara rohaniyah dengan Tuhan
dalam Tasawuf, sebagai mana telah di uraikan di atas.Selanjutnya al-Nas digunakan al-
Qur’an untuk menyatakan adanya sekelompok orang atau masyarakat yang mempunyai
berbagai kegiatan untuk mengembangkan kehidupannya, seperti kegiatan bidang peternakan,
penggunaan logam besi, penguasaan laut, melakukan perubahan sosial dan kepemimpinan.
Berdasarkan keterangan tersebut kita melihat bahwa islam dengan sumber ajarannya
al-Qur’an telah memotret manusia dalam sosoknya yang benar-benar utuh dan menyeluh.
Seluruh sisi dan aspek dari keidupan manusia dipotret dengan cara yang amat akurat, dan
barang kali tidak ada kitab lain didunia ini yang mampu memotret manusia yang utuh itu,
selain itu al-Qur’an. Apa yang dikemukakan al-Qur’an ini jelas sangat membantu untuk
menjelaskan konsep insan kamil.Dengan demikian, insan kamil lebih ditujukan kepada
manusia yang sempurna dari segi pengembangan potensi intelektual, rohaniah, intuisi, kata
hati, akal sehat, fitrah dan lainnya bersifat batin, dan bukan pada manusia dari dimensi
basyariahnya. Pembinaan kesempurnaan basyariah bukan menjadi bidang garapan tasawuf,
tetapi menjadi garapan fikih. Dengan perpaduan fikih dan tasawuf inilah insan kamil akan
lebih terbina lagi. Namun insan kamil lebih ditekankan pada manusia yang sempurna dari
segi insaniyanya, atau segi potensi intelektual, rohaniah dan lainnya itu.Insan kamil juga
berarti manusia yang sehat dan terbina potensi rohaniahnya sehingga dapat berfungsi secara
optimal dan berubungan dengan Allah dan dengan makhluk lainnya secara benar menurut
akhlak islami. Manusia yang selamat rohaniah itulah yang diharapkan dari manusia insan
kamil. Manusia yang demikian inilah yang akan selamat hidupnya di dunia dan akhirat.
Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT QS. Asy-Syu’ara’: 88-89
يسلوُسم سل يسلنفسنع سماَلل سوسل بسننوُنسإ للل سملن أسستىَ اللهس بلقسلل م
ب سسلليِمم
(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna,kecuali orang-orang yang
menghadap Allah dengan hati yang bersih, (Asy-syu’ara’: 88-89)
ان ا ل ينظر الي صوُركم ول الي اجساَ مكم واموُالكم ولكن ينظر الي قلوُبكم واعماَلكم
“Sesungguhnya Allah SWT. tidak akan melihat pada rupa, tubuh dan harta kamu, tetapi Allah
melihat pada hati dan perbuatan kamu.(HR. thabrani).”
Ayat dan hadist tersebut di atas menunjukkan bahwa yang akan membawa keselamatan
manusia adalah batin, rohani, hati dan perbuatan yang baik. Orang yang demikian itulah yang
dapat disebut sebagai insan kamil. Pada ayat lain di dalam al-Qur’an banyak dijumpai bahwa
yang kelak akan dipanggil masuk surga adalah jiwa yang tenang (nafsu muthmainnah).
Menurut Murthadho Muttari manusia sempurna (Insan Kamil) yakni mempunyai ciri-
ciri sebagai berikut :
Orang islam perlu memiliki jasmani yang sehat serta kuat, terutama berhubungan
dengan penyiaran dan pembelaan serta penegakkan agama islam. Dalam surah al-Anfal : 60,
disebutkan agar orang islam mempersiapkan kekuatan dan pasukan berkuda untuk
menghadapi musuh-musuh Allah. Jasmani yang sehat serta kuat berkaitan pula dengan
menguasai keterampilan yang diperlukan dalam mencari rezeki untuk kehidupan.
Kalbu yang berkualitas tinggi itu adalah kalbu yang penuh berisi iman kepada Allah,
atau kalbu yang taqwa kepada Allah. Kalbu yang iman itu ditandai bila orangnya shalat, ia
shalat dengan khusuk, bila mengingat Allah kulit dan hatinya tenang bila disebut nama Allah
bergetar hatinya bila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, mereka sujud dan menangis.
Sifat – sifatnya manusia yang sempurna terdiri dari : Keimanan, Ketaqwaan, Keadaban,
Keilmuan, Kemahiran, Ketertiban, Kegigihan dalam kebaikan dan kebenaran, Persaudaraan,
Persepakatan dalam hidup.
Adapun beberapa ciri – ciri atau kriteria Insan Kamil yang dapat kita lihat pada diri
Rasulullah SAW yakni 4 sifat yakni :
Seseorang yang memiliki kepintaran di dalam bidang fomal atau di sekolah belum tentu dia
dapat cerdas dalam menjalani kehidupannya. Cerdas ialah sifat yang dapat membawa
seseorang dalam bergaul, bermasyarakat dan dalam menjalani kehidupannya untuk menuju
yang lebih baik.
c. Sifat siddiq (jujur)
Jujur adalah sebuah kata yang sangat sederhana sekali dan sering kita jumpai, tapi sayangnya
penerapannya sangat sulit sekali di dalam bermasyarakat. Sifat jujur sering sekali kita temui
di dalam kehidupan sehari – hari tapi tidak ada sifat jujur yang murni maksudnya ialah, sifat
jujur tersebut mempunyai tujuan lain seperti mangharapkan sesuatu dari seseorang barulah
kita bisa bersikap jujur.
Maksudnya tabligh disini ialah menyampaikan apa yang seharusnya di dengar oleh orang lain
dan berguna baginya. Tentunnya sesuatu yang akan disampaikan itu pun haruslah sesuatu
yang benar dan sesuai dengan kenyataan.Untuk mengetahui ciri-ciri insan kamil dapat
ditelusuri pada berbagai pendapat yang dikemukakan para ulama yang ke ilmuannya sudah
diakui, termasuk di dalamnya aliran-aliran. Ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut:
Fungsi akal secara optimal dapat dijumpai pada pendapat kaum Muktazilah. Menurutnya
manusia yang akalnya berfungsi secara optimal dapat mengetahui bahwa segala perbuatan
baik seperti adil, jujur, berakhlak sesuai dengan essensinya dan merasa wajib melakukan
semua itu walaupun tidak diperintahkan oleh wahyu. Dan manusia yang demikianlah yang
dapat mendekati tingkat insan kamil. Dengan demikian insan kamil akalnya dapat mengenali
perbuatan yang baik dan perbuatan buruk karena hal itu telah terkandung pada essensi
perbuatan tersebut.
2. Berfungsi Intuisinya
Insan kamil dapat juga dicirikan dengan berfungsinya intuisi yang ada dalam dirinya. Intuisi
ini dalam pandangan Ibn Sina disebut jiwa manusia (rasional soul). Menurutnya jika yang
berpengaruh dalam diri manusia adalah jiwa manusianya, maka orang itu hampir merupai
malaikat dan mendekati kesempurnaan.
4. Berakhlak Mulia
Sejalan dengan ciri keempat diatas, insan kamil juga adalah manusia yang berakhlak
mulia. Hal ini sejalan dengan pendapat Ali Syari’ati yang mengatakan bahwa manusia yang
sempurna memiliki tiga aspek, yakni aspek kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Dengan kata
lain ia memiliki pengetahuan, etika dan seni. Semua ini dapat dicapai dengan kesadaran,
kemerdekaan dan kreativitas.
5. Berjiwa Seimbang
Seluruh ciri tersebut menunjukkan bahwa insan kamil lebih menunjukkan pada manusia
yang segenap potensi intelektual, intuisi, rohani, hati sanubari, ketuhanan, fitrah dan
kejiwaannya berfungsi dengan baik. Jika demikian halnya, maka upaya mewujudkan insan
kamil perlu diarahkan melalui pembinaan intelektual, kepribadian, akhlak, ibadah,
pengalaman tasawuf, bermasyarakat, research dan lain sebagainya.
Kepribadian muslim dapat dilihat dari kepribadian orang perorang (individu) dan kepribadian
dalam kelompok masyarakat (ummah). Kepribadian individu meliputi ciri khas seseorang
dalam sikap dan tingkahlaku, serta kemampuan intelektual yang dimilikinya.
Proses pembentukan kepribadian muslim sebagai individu dapat dilakukan melalui tiga
macam pendidikan.
Proses pendidikan jenis ini dilakukan secara tidak langsung. Proses ini dimula disaat
pemilihan calon suami atau istri dari kalangan yang baik dan berakhlak. Sabda Rasulullah
SAW : “ Pilihlah tempat yang sesuai untuk benih (mani) mu karena keturunan. Kemudian
dilanjutkan dengan sikap prilaku orang tua yang islam”.
2. Education by Another (Tarbiyah Ma’aghoirih).
Proses pendidikan ini dilakukan secara langsung oleh orang lain (orang tua di rumah tangga,
guru di sekolah dan pemimpin di dalam masyarakat dan para ulama). Manusia sewaktu
dilahirkan tidak mengetahui sesuatu tentang apa yang ada dalam dirinya dan diluar dirinya.
Firman Allah SWT yang artinya : “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu tidaklah
kamu mengetahui apapun dan Ia menjadikan bagimu pendengaran, penglihatan dan hati ”
( Q.S. An-Nahl : 78 )
Proses ini dilaksanakan melalui kegiatan pribadi tanpa bantuan orang lain seperti membaca
buku-buku, majalah, Koran dan sebagainya melalui penelitian untuk menemukan hakikat
segala sesuatu tanpa bantuan orang lain. Menurut Muzayyin, Self Education timbul karena
dorongan dari naluri kemanusiaan yang ingin mengetahui. Ia merupakan kecenderungan
anugrah Tuhan. Dalam ajaran islam yang menyebabkan dorongan tersebut adalah hidayah.
Firman Allah SWT yang artinya : “Tuhan kami adalah (Tuhan) yang telah memberikan
kepada tiap-tiap makhluk bentuk kejadiannya kemudian memberinya petunjuk” (QS.
Thoha:50)
Komunitas muslim ini disebut ummah. Abdullah al-Darraz membagi kajian pembentukan itu
menjadi empat tahap, sebagaimana dikutip sebagai berikut :
· Melalui perbuatan terpuji dan memberi manfaat dalam kehidupan bermasyarakat yang
memaafkan
· Membina hubungan menurut tata tertib seperti berlaku sopan, meminta izin masuk
rumah orang lain.
· Perbuatan nilai-nilai islam dalam berkehidupan sosial bertujuan untuk menjaga dan
memelihara keharmonisan hubungan antar sesama anggota masyarakat.
Tanggung jawab dari dalam diri insan itu sendiri. Kesadaran ini bukan saja
merangkumi aspek kecintaan terhadap negara, bangsa dan agama malah menyeluruh meliputi
keinsafan dan kesedaran tentang tanggungjawab setiap manusia sesama manusia dan kepada
Penciptanya. Oleh hal yang demikian itu, pembelajaran dan pendidikan sepanjang hayat
harus terwujud dalam setiap diri manusia. Di zaman sekarang ini sangat sulit bagi kita untuk
dapat meihat atau menemukan seseorang yang menerapkan insan kamil di dalam
kehidupannya, seperti yang kita tahu insan kamil merupakan perwujudan dari sifat – sifat dan
perbuatan nabi Muhammad SAW yang sangat sempurna yang tidak semua orang dapat
melakukannya.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa moral menurut pandangan islam yang
dalam membentuk insan kamil merupakan suatu manusia yang mempunyai kepribadian
seorang muslim yang diartikan sebagai identitas yang dimiliki seseorang sebagai ciri khas
keseluruhan tingkah laku baik yang diampilkan dalam tingkah laku secara lahiriyah maupun
sikap batinya. Insan kamil sendiri merupakan suatu sosok manusia yang mempunyai
kepribadian muslim yang sempurna. Insan berarti menunjukkan pada arti manusia secara
totalitas yang secara langsung mengarah pada totalitas, bukan berarti fisiknya namun dari
segi sifatnya. Sedangkan kata yang berarti sempurna, hal ini digunakan untuk
menunjukkanpada zat dan sifat.
Dalam hal ini kepribadian muslim merupakan suatu yang lebih abstrak atau suatu yang
terlihat lagi dari pada kedewasaan rohaniah. Dan dijelaskan pula tentang konsep moral
menurut islam, ciri-ciri Insan kamil, proses pembentukan Insan kamil, penerapan moral
menurut islam untuk membentuk insan kamil, hanya ditujukan supaya manusia bisa belajar
akan penting prilaku yang baik dan bisa membentuk kepribadian yang lebih baik.
3.2 SARAN
Dari pembahasan di atas, penulis hanya bisa menyarankan agar pembaca senantiasa
meningkatan semangat keagamaan serta keimanan sesama umat islam.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. H. Abuddin Nata, M.A, Akhlak Tasawuf, 2002. Jakarta : PT. Raja Grapindo
Persada
Syukur, M. Amin, dan Usman, Fathimah. Insan Kamil. 2005. Semarang : CV.
Bima Sejati.