0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
14 tayangan3 halaman
Keserakahan, hedonimse bukanlah nilai yang dianut dalam nilai-nilai dasar koperasi. Sehingga begitu nilai-nilai itu hadir, biasanya untuk kepentingan diri sendiri dan atau kelompok, maka koperasi pun akan hancur.
Keserakahan, hedonimse bukanlah nilai yang dianut dalam nilai-nilai dasar koperasi. Sehingga begitu nilai-nilai itu hadir, biasanya untuk kepentingan diri sendiri dan atau kelompok, maka koperasi pun akan hancur.
Keserakahan, hedonimse bukanlah nilai yang dianut dalam nilai-nilai dasar koperasi. Sehingga begitu nilai-nilai itu hadir, biasanya untuk kepentingan diri sendiri dan atau kelompok, maka koperasi pun akan hancur.
Keserakahan adalah jurang maut yang menguras orang dalam upaya tanpa henti untuk memenuhi kebutuhan tanpa pernah mencapai kepuasan. (Erich Fromm)
Beberapa hari belakangan, setelah diungkap dan diberitakan oleh beberapa
media massa di Bali, jagat perkoperasian untuk kesekian kalinya tertimpa prahara. Pasalnya, sebagaimana diberitakan Balipost.com, tiga koperasi tidak berijin ditemukan beroperasi di Tabanan, yang bahkan berhasil menghimpun dana masyarakat hingga ratusan miliar rupiah. Celakanya, kini koperasi- koperasi tersebut tidak mampu memberikan bunga deposito sesuai kesepakatan, bahkan dana masyarakat yang berhasil dihimpun tersebut terancam raib. Selanjutnya, setelah ditelusur, ternyata koperasi dengan nama yang berbeda- beda tersebut memiliki kantor pusat di Klungkung, yang berakte notaris dengan nama KSP Sinar Suci. Cabang-cabangnya ada di beberapa kabupaten/kota dengan nama yang berbeda-beda. Di Tabanan namanya KSP Maha Suci, KSP Maha Mulia Mandiri, dan KSP Tirta Rahayu. Sementara KSP Pramesti Dewi ada di Klungkung; KSP Maha Agung, KSP Restu Sedana, dan KSP Maha Kasih ada di Badung. Kemudian di Denpasar ada dua cabang yaitu KSP Maha Wisesa dan KSP Maha Adil Mandiri, serta KSP Siti Restu dan KSP Merta Sedana ada di Gianyar. Sama dengan kasus-kasus sejenis sebelumnya, bau busuk kotoran ketamakan dan aksi tipu-tipu baru terendus dan tiba-tiba seperti mewabah, setelah ada masyarakat (sebut saja nasabah) yang merasa dirugikan, mengadu. Biasa, ketika merasa rugi baru mengadu, tapi selama masih merasa diuntungkan apalagi mendapat banyak, ya diam saja. Dengan kasus tersebut, lagi-lagi koperasi kena batunya. Itu sudah pasti, karena baju yang dikenakan ketika melakukan aksi tipu-tipu itu adalah koperasi. Masyarakat awam, yang memang adalah masyarakat kebanyakan, sontak saja memicingkan mata sembari mencibiri lagi koperasi. Koperasi gitu loch….. Berikutnya, yang jadi bulan-bulanan tentulah otoritas yang membidangi koperasi, Dinas Koperasi dan UKM, lalu Dekopin yang merepresentasikan gerakan koperasi. “Dimana mereka?”, “apa saja yang dikerjakan?”, “kemana para pengawas koperasi itu, sampai masyarakat harus dirugikan lagi?”. Demikian batu cibiran bahkan pisuhan dilontarkan. Benarkah demikian? Coba kita urai persoalan tersebut lebih jernih dan bijaksana. Pertama, entitas tipu-tipu yang membalut diri mereka dengan baju koperasi tersebut, sudah jelas tidak memiliki badan hukum koperasi, dan sudah barang tentu juga tidak mengantongi ijin usaha simpan pinjam, alias ilegal, bodong. Pembinaan, pengawasan oleh Dinas Koperasi dan UKM hanya diberikan kepada koperasi yang memang legal, berbadan hukum. Demikian juga, Dekopin hanya akan memberi perhatian kepada gerakan koperasi yang bernaung di bawahnya. Berarti koperasi ilegal, bodong, luput dari “perhatian” dan kewenangan Dinas Koperasi maupun Dekopin. Maka jika tanggungjawab (legal formal) dimintakankan ke lembaga-lembaga tersebut, sepertinya kurang tepat alias keliru alamat. Kedua, kasus-kasus seperti itu sudah beberapa kali terjadi di Indonesia, khususnya di Bali. Dan boleh diyakini, sementara anggota masyarakat yang sudah pernah terjerumus kasus sebelumnya, bisa jadi juga terjerumus lagi pada lubang yang sama. Maka, pertanyaan sederhananya, “mengapa harus terjadi lagi?”, “mengapa harus jadi kurban lagi?”. Jujur harus diakui, masyarakat memang tidak mau belajar. Jika menoleh ke belakang, betapa heboh berita seputar KKR di Karangasem. Lalu ada juga kasus Koperasi Langit Biru di Tangerang, PT Cakrabuana Sukses Indonesia (CSI) di Cirebon, KSP Pandawa Mandiri Group di Depok. Kasus-kasus tersebut sebenarnya telah mengajarkan kita banyak hal. Yang paling sederhana adalah kemustahilan bagi sebuah usaha simpan pinjam, bahkan sektor riel memberikan imbal hasil atas dana yang disimpan atau diinvestasikan hingga puluhan persen dalam satu bulan, apalagi dalam situasi ekonomi dan usaha yang kurang bergairah. Pelajaran berikutnya adalah kesia- siaan hidup yang berakhir di penjara bagi para pelaku tipu-tipu, dan raibnya aset/dana korban di ruang hampa dan tak berjawab yang bisa jadi sebelumnya diperoleh dengan berdarah-darah. Tapi itulah. Ternyata logika rasional yang menuntut mental kerja keras dan pengorbanan akhirnya selalu tak berdaya dan lumpuh layu terpapar virus serakah, hedonisme dan pragmatisme. Mental jalan pintas, serba instan, gampangan untuk meraih hasil, rupanya masih sangat kental menguasai sementara masyarakat. Maunya dapat hasil banyak dan cepat dengan cara mudah, praktis, tidak perlu kerja keras. Mental demikianlah yang ….. lalu cenderung bebal dan sulit move on. Namun, bagaimanapun, nasi telah menjadi bubur. Kita harus lebih giat untuk belajar lebih banyak lagi. Nukilan kebijaksanaan Erich Fromm pada awal tulisan ini kiranya layak menjadi bahan refleksi kita. Maka yang harus dilakukan untuk mencegah atau setidaknya mempersempit ruang kemungkinan terjadinya kasus-kasus serupa di masa depan, yang implikasinya sangat tidak baik bagi koperasi adalah, pertama, proses secara hukum kasus koperasi bodong tersebut. Hukum harus ditegakkan dengan tegas jelas, konsisten, tanpa pandang bulu. Kedua, penggiat atau aktivis koperasi juga harus peduli, memasang sensor pemindai terhadap aktivitas simpan-pinjam tipu-tipu berkedok koperasi di lingkungan masyarakatnya, lalu melaporkan kepada pihak yang berwenang. Tidak terlalu berat apalagi alasan ewuh pekewuh untuk bertanya, sedikit menelisik, tentu dengan semacam intelligent approach agar tidak vulgar manakala kecurigaan kita terusik. Kepekaan dan kepedulian ini berlaku juga bagi aparatus di Dekopin dan Dinas Koperasi ketika berbaur di masyarakat di luar jam-jam kantor. Tidak harus menunggu laporan, baru bergerak. Harus proaktif juga. Ketiga, koperasi-koperasi hendaknya mulai dengan sungguh-sungguh menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi para anggota secara periodik dan berkelanjutan. Melalui diklat, para anggota diharapkan semakin memahami kewajiban, hak dan tanggung jawab sebagai anggota. Posisi strategis anggota sebagai pemilik dan pengguna jasa koperasi kiranya mengharuskan koperasi mencelikan mata dan hati para anggota melalui pendidikan. Ketika pemahaman yang baik telah muncul dan kesadaran tumbuh di kalangan anggota, niscaya akan menjadi semacam “gentha” yang berdentang jernih, menyuarakan kebaikan-kebaikan koperasi bagi anggota masyarakat yang lain. Keempat, media massa, baik cetak, pandang-dengar (audio visual), maupun digital agar bersama-sama semakin intens ambil bagian dalam mengedukasi masyarakat terkait dengan perkoperasian dan jati diri koperasi. Ini penting karena tidak sedikit warga masyarakat masih memersepsikan koperasi sebagai usaha yang “ecek-ecek”, sampingan, bisnis “gampangan”; bahkan ada yang menganggap sebagai semacam lembaga sosial, tempat pemerintah membagi- bagikan uang kepada masyarakat; atau ada yang menyamakannya dengan BPR, bank. Persepsi yang keliru menciptakan sikap dan tindakan yang sangat merusak koperasi. Terakhir, kiranya perlu ada semacam gerakan pencerahan, setidak-tidaknya dalam bentuk imbauan dari struktur kekuasaan terkait (OJK, BI, Kemenkop dan UKM) yang corongnya adalah aparatus paling dekat dengan masyarakat (Kadus, RT/RW) agar berhati-hati, bijaksana dan cerdas ketika memilih koperasi (simpan pinjam) untuk menyimpan/menginvestasikan dana mereka. Koperasi simpan pinjam hanya melayani anggota.*** Gede Sutmasa, aktivis koperasi