Laporan - Pendahuluan - Stroke Fix
Laporan - Pendahuluan - Stroke Fix
Disusun oleh:
DEVI AYU LESTARI
E. Manifestasi Klinis
Menurut Tarwanto, dkk (2007) pada stroke akut gejala klinis meliputi:
1. Kelumpuhan wajah atau anggota badan sebelah (hemiparesis) yang timbul secara
mendadak.
2. Gangguan sensibilitas pada satu atau lebih anggota badan.
3. Penurunan kesadaran (konfusi, delirum, letargi, stupor atau koma).
4. Afasia (kesulitan dalam berbicara).
5. Disatria (bicara pelo).
6. Gangguan penglihatan, diplopia.
7. Ataksia
8. Vertigo, mual, muntah dan nyeri kepala.
F. Patofisiologi
Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di otak. Luasnya infark
bergantung pada faktor–faktor seperti lokasi dan besarnya pembuluh darah dan adekuatnya
sirkulasi kolateral terhadap area yang disuplai oleh pembuluh darah yang tersumbat. Suplai darah
ke otak dapat berubah (makin lambat atau cepat) pada gangguan lokal (trombus, emboli,
perdarahan, dan spasme vaskular) atau karena gangguan umum (hipoksia karena gangguan paru
dan jantung). Aterosklerosis sering sebagai faktor penyebab infark pada otak. Trombus dapat
berasal dari plak aterosklerotik, atau darah dapat beku pada area stenosis, tempat aliran darah
mengalami perlambatan atau terjadi turbulensi.
Trombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa sebagai emboli dalam aliran
darah. Trombus mengakibatkan iskemia jaringan otak yang disuplai oleh pembuluh darah yang
bersangkutan dan edema dan kongesti di sekitar area. Area edema ini menyebabkan disfungsi
yang lebih besar dari pada area infark itu sendiri. Edema dapat berkurang dalam beberapa jam
atau kadang–kadang sesudah beberapa hari. Dengan berkurangnya edema klien mulai
menunjukkan perbaikan. Oleh karena trombosis biasanya tidak fatal, jika tidak terjadi perdarahan
masif. Oklusi pada pembuluh darah serebral oleh embolus menyebabkan edema dan nekrosis
diikuti trombosis. Jika terjadi septik infeksi akan meluas pada dinding pembuluh darah maka
akan terjadi abses atau ensefalitis, atau jika sisa infeksi berada pada pembuluh darah yang
tersumbat menyebabkan dilatasi aneurisma pembuluh darah. Hal ini akan menyebabkan
perdarahan serebral, jika aneurisma pecah atau ruptur.
Perdarahan pada otak disebabkan oleh ruptur arteriosklerotik dan hipertensi pembuluh
darah. Perdarahan intraserebral yang sangat luas akan lebih sering menyebabkan kematian
dibandingkan keseluruhan penyakit serebrovaskular, karena perdarahan yang luas terjadi
destruksi massa otak, peningkatan tekanan intrakranial dan yang lebih berat dapat menyebabkan
herniasi otak pada falk serebri atau lewat foramen magnum.
Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hemisfer otak, dan perdarahan
batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang otak. Perembesan darah ke ventrikel
otak terjadi pada sepertiga kasus perdarahan otak di nukleus kaudatus, talamus, dan pons.
Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang anoksia serebral. Perubahan yang
disebabkan oleh anoksia serebral dapat reversibel untuk waktu 4-6 menit. Perubahan ireversibel
jika anoksia lebih dari 10 menit. Anoksia serebral dapat terjadi oleh karena gangguan yang
bervariasi salah satunya henti jantung.
Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan yang relatif banyak akan
mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial dan penurunan tekanan perfusi otak serta
gangguan drainase otak. Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar dan kaskade iskemik akibat
menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan saraf di area yang terkena darah dan sekitarnya
tertekan lagi (Muttaqin, 2008).
G. Pathways
I. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Misbach (2011), pemeriksaan penunjang stroke, terdiri dari:
1. Laboratorium
a. Pemeriksaan darah rutin
b. Pemeriksaan kimia darah lengkap, diantaranya gula darah sewaktu, ureum, kreatinin,
asam urat, fungsi hati (SGOT/SGPT/CPK), dan profil lipid (kolesterol total,
trigliserida, LDL, HDL)
c. Pemeriksaan hemostasis (darah lengkap) meliputi: waktu protrombin, APTT, kadar
fibrinogen, D-dimer, INR, dan viskositas plasma
d. Pemeriksaan tambahan yang di lakukan atas indikasi: Protein S, Protein C, ACA, dan
Homosisten.
2. Pemeriksaan Kardiologi
Pada sebagian penderita stroke terdapat juga perubahan elektrokardiografi (EKG).
Perubahan ini dapat berarti kemungkinan mendapat serangan infark jantung atau pada
stroke dapat terjadi perubahan-perubahan EKG sebagai akibat perdarahan otak yang
menyerupai suatu infark mikroid.
3. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang paling penting adalah:
a. Pemeriksaan foto thoraks: dapat memperlihatkan keadaan jantung, apakah terdapat
pembesaran ventrikel kiri yang merupakan tanda hipertensi kronis. Selain itu dapat
mengidentifikasi kelainan paru yang potensial mempengaruhi oksigenasi serebral dan
dapat memperburuk prognosis.
b. CT scan otak: segera memperlihatkan perdarahan intra serebral. Pemeriksaan ini sangat
penting karena perbedaan management perdarahan otak dan infark otak.
Perdarahan/infark di batang otak sangat sulit diidentifikasi, oleh karena itu perlu
dilakukan pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Imaging) untuk memastikan proses
patologik di batang otak.
J. Penatalaksanaan
Menurut Batticaca (2011), penatalaksanaan penyakit stroke meliputi:
1. Penatalaksanaan Medis
a. Terapi stroke hemoragik pada serangan akut.
1) Saran operasi di ikuti dengan pemeriksaan
2) Masukan klien ke unit perawatan syaraf untuk di rawat di bagian bedah syaraf
3) Penatalaksanaan umum di bagian saraf
4) Penatalaksanaan khusus pada kasus tertentu seperti parenchymatous hemorrhage
5) Neurologis: pengawasan tekanan darah dan konsentrasinya, kontrol adanya edema
yang dapat menyebabkan kematian jaringan otak
6) Terapi perdarahan dan perawatan pembuluh darah
7) kontrol adanya yang dapat menyebabkan kematian jaringan otak
8) pengawasan tekanan darah dan konsentrasinya.
b. Perawatan umum klien dengan serangan stroke akut
1) Pengaturan suhu, atur suhu menjadi 8-20o C
2) Pemantauan (monitoring) keadaan umum klien
3) Pengukuran suhu tubuh tiap 2 jam.
2. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Pasien ditempatkan pada posisi lateral atau semi telungkup dengan kepala tempat tidur
agak ditinggikan sampai tekanan vena serebral agak berkurang.
b. Intubasi endotrakhea dan ventilasi mekanik diperlukan untuk pasien dengan stroke
masif, karena henti pernafasan biasanya faktor yang mengancam kehidupan.
c. Memantau adanya komplikasi pulmonal (aspirasi, ateletaksis, pneumonia), yang
mungkin berkaitan dengan kehilangan refleks jalan nafas, immobilitas, atau
hipoventilasi.
d. Pemeriksaan fisik jantung, untuk abnormalitas dalam ukuran dan irama serta tanda
gagal jantung kongestif.
K. Fokus Pengkajian
Menurut Misbach (2011), pengkajian pasien stroke di mulai dari riwayat penyakit atau
status kesehatan sebelum sakit: apakah pasien memiliki riwayat hipertensi, diabetes militus,
penyakit jantung, TIA (Transient Ischemic Attack), dislipiemia, hiperagregasi trombosit,
obesitas, atau penyakit lain sebagai faktor resiko stroke.
Pola atau kebiasaan atau gaya hidup sebelum sakit: merokok, minum alkohol, stres,
kurang aktifitas, kepribadian tipe A.
1. Pemeriksaan fisik
a. Tanda-tanda vital: tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu
b. Tingkat kesadaran
c. Pupil: ukuran, bentuk, dan reaksi terhadap cahaya
d. Fungsi serebral umum: orientasi, atensi, konsentrasi, memori, retensi, kalkulasi,
similaritas, keputusan, dan berfikir abstrak
e. Fungsi serebral khusus: kemampuan bicara dan berbahasa, kemampuan mengenal objek
secara visual, audio dan perabaan, serta kemampuan melakukan suatu ide secara benar
dan tepat
f. Fungsi saraf kranial I-XII
g. Fungsi serebellum: tes keseimbangan dan koordinasi otot
h. Fungsi motorik: ukuran otot, tonus otot, kekuatan otot, gerakan involunter
i. Fungsi sensorik
j. Faktor psikososial: respon terhadap penyakit, tersedianya sistem pendukung atau
support system, kebiasaan menyelesaikan masalah, pekerjaan, peran dan tanggung jawab
dalam keluarga dan masyarakat serta pengambilan keputusan dalam keluarga
k. Pemeriksaan penunjang: CT Scan otak, MRI otak, photo Thorax, EKG, laboratorium.
2. Diagnosa keperawatan
Kemungkinan diagnosa keperawatan yang ada pada pasien stroke adalah:
a. Risiko/aktual: jalan nafas tidak efektifnya, berhubungan dengan penumpukan lendir
sekunder terhadap penurunan tingkat kesadaran, gangguan menelan atau isfagia
b. Perubahan perfusi serebral dengan iskemik, edema, peningkatan tekanan intra kranial
c. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan penurunan intake
cairan sekunder terhadap penurunan tingkat kesadaran, disfagia
d. Perubahan pemasukan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
penurunan tingkat kesadaran, disfagia
e. Perubahan eliminasi urin: inkontinensia urine berhubungan dengan penurunan tingkat
kesadaran, gangguan fungsi kognisi, immobilisasi
f. Perubahan eliminasi bowel: konstifasi berhubungan dengan immobilisasi
g. Perubahan sensori persepsi: audio, visual, sentuhan berhubungan dengan penurunan
fungsi serebral sekunder terhadap kerusakan struktur serebri
h. Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran,
hemiparese
i. Gangguan komunikasi verbal
j. Kurang mampu merawat diri/ketergantungan dalam pemenuhan hidup sehari-hari
k. Respon emosi psikologis secara umum terhadap stroke, termasuk: takut, koping tidak
efektif, cemas, isolasi sosial, perubahan konsep diri
l. Risiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi.
L. Asuhan Keperawatan
Menurut Doenges (2000), fokus intervensi penyakit stroke adalah sebagai berikut:
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan gangguan oklusif, hemoragi,
vasospasme serebral, edema serebral.
Tujuan: Perfusi jaringan serebral kembali utuh.
Kriteria Hasil:
a. Mempertahankan atau meningkatkan kesadaran, kognitif, sensorik, motorik.
b. Menunjukkan kestabilan tanda–tanda vital dan tidak ada peningkatan TIK.
c. Menunjukkan tidak ada kelanjutan deteriorasi/kekambuhan defisit.
Intervensi:
Tentukan faktor–faktor yang berhubungan dengan keadaan atau penyebab khusus
selama koma atau penurunan perfusi serebral dan potensial terjadinya peningkatan
TIK.
Rasionalisasi: mempengaruhi penetapan intervensi. Kerusakan atau kemunduran
tanda dan gejala neurologis atau kegagalan memperbaikinya setelah fase awal
memerlukan tindakan pembedahan dan pasien harus dipindahkan ke ruang
perawatan kritis untuk melakukan pemantauan terhadap peningkatan TIK.
Catat status neurologis sesering mungkin dan bandingkan dengan keadaan standar.
Rasionalisasi: mengetahui kecenderungan tingkat kesadaran dan potensial
peningkatan TIK dan mengetahui lokasi, luas dan kemajuan kerusakan Susunan
Saraf Pusat (SSP). Dapat menunjukkan TIK yang merupakan tanda terjadi trombosis
CVS yang baru.
Catat perubahan dalam penglihatan, seperti adanya kebutaan dan gangguan lapang
pandang.
Rasionalisasi: gangguan penglihatan yang spesifik mencerminkan daerah otak yang
terkena, mengindikasikan keamanan yang harus mendapat perhatian dan
mempengaruhi intervensi yang akan dilakukan.
Letakkan kepala agak tinggi dan dalam posisi anatomis.
Rasionalisasi: menurunkan tekanan arteri dengan meningkatkan drainase dan
meningkatkan perfusi serebral.
Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi oksigen.
Rasionalisasi: menurunkan hipoksia yang dapat menyebabkan vasodilatasi serebral
dan tekanan meningkat atau terbentuknya edema.
Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antikoagulasi.
Rasionalisasi: dapat digunakan untuk meningkatkan aliran darah serebral dan
selanjutnya dapat mencegah pembekuan saat embolus atau trombus merupakan
faktor masalahnya.
Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antihipertensi.
Rasionalisasi: hipertensi kronis memerlukan penanganan yang hati–hati, sebab
penanganan yang berlebihan meningkatkan resiko terjadinya perluasan kerusakan
jaringan.
Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian vasodilatasi perifer.
Rasionalisasi: digunakan untuk memperbaiki sirkulasi kolateral atau menurunkan
vasospasme.
2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan, parestesia, paralisis hipotonik,
paralisis spastik.
Tujuan: Mobilitas pasien meningkat.
Kriteria Hasil:
a. Mempertahankan posisi dan fungsi optimal dengan tidak adanya kontraktur.
b. Mempertahankan kekuatan dan fungsi area yang sakit serta kompensasi bagian tubuh
yang lain.
c. Menunjukkan perilaku aktifitas yang lebih baik.
d. Mempertahankan integritas kulit.
Intervensi:
Kaji kemampuan fungsional otot. Klasifikasikan dengan skala 0–4.
Rasionalisasi: mengidentifikasi kekuatan atau kelemahan dan dapat memberikan
informasi mengenai pemulihan.
Ubah posisi tiap 2 jam, terutama pada bagian yang sakit. Rasionalisasi: menurunkan
resiko terjadinya trauma atau iskemia jaringan. Daerah yang terkena mengalami
sirkulasi yang lebih jelek dan menurunkan sensasi dan lebih besar menimbulkan
dekubitus.
Berikan posisi telungkup jika pasien dapat mentoleransinya. Rasionalisasi:
membantu mempertahankan ekstensi pinggul fungsional.
Berikan rentang gerak aktif dan pasif untuk semua ekstremitas. Rasionalisasi:
meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi, mencegah terjadinya kontraktur
hiperkalsuria dan menurunkan resiko terjadinya osteoporosis. Jika masalah
utamanya adalah perdarahan.
Sangga ekstremitas pada posisi fungsionalnya.
Rasionalisasi: mencegah kontraktur dan memfasilitasi kegunaannya jika berfungsi
kembali.
Observasi sisi yang sakit meliputi warna, edema atau tanda lain dari gangguan
sirkulasi.
Rasionalisasi: jaringan yang mengalami edema lebih mudah mengalami trauma dan
penyembuhannya lambat.
Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat relaksan otot dan anti spasmodik.
Rasionalisasi: diperlukan untuk menghilangkan spastisitas pada ekstremitas yang
terganggu.
3. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan sirkulasi serebral, kerusakan
neuromuskuler, kehilangan tonus/kontrol otot fasial.
Tujuan: kemampuan komunikasi pasien meningkat.
Kriteria Hasil:
a. Pasien dapat menunjukkan masalah komunikasi.
b. Pasien mampu mengekspresikan perasaannya.
c. Mampu menggunakan bahasa isyarat.
Intervensi:
Kaji tipe atau derajat disfungsi.
Rasionalisasi: membantu menentukan daerah atau derajat kerusakan serebral yang
terjadi dan kesulitan pasien dalam beberapa atau seluruh tahap proses komunikasi.
Perhatikan kesalahan komunikasi dan berikan umpan balik.
Rasionalisasi: membantu dalam mengklarifikasikan isi dan makna yang terkandung
dalam ucapan pasien.
Mintalah pasien untuk mengikuti perintah sederhana.
Rasionalisasi: melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan sensorik.
Tunjukkan objek dan minta pasien untuk menyebutkan nama benda tersebut.
Rasionalisasi: melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan motorik.
Gunakan kata–kata singkat tapi jelas dan biarkan pasien berespon.
Rasionalisasi: menurunkan kebingungan selama proses komunikasi dan berespon
pada informasi yang lebih banyak pada satu waktu tertentu.
Berikan metode komunikasi alternatif, misal dengan menulis.
Rasionalisasi: memberikan komunikasi tentang kebutuhan berdasarkan keadaan atau
defisit yang mendasarinya.
4. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, penurunan kekuatan
dan ketahanan, kehilangan koordinasi otot.
Tujuan: Kemampuan pasien dalam merawat diri meningkat.
Kriteria Hasil:
a. Mampu melakukan perubahan gaya hidup untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri.
b. Melakukan aktifitas perawatan diri dalam tingkat kemampuan sendiri.
c. Mengidentifikasi sumber pribadi atau komunitas memberikan bantuan sesuai
kebutuhan.
Intervensi:
Kaji kemampuan dan tingkat kekurangan dengan menggunakan skala 0–4.
Rasionalisasi: membantu dalam mengantisipasi atau merencanakan kebutuhan secara
individual.
Biarkan pasien melakukan aktifitas yang ditoleransi.
Rasionalisasi: sangat diperlukan untuk melakukan aktifitas sebanyak mungkin untuk
diri sendiri sehingga dapat mempertahankan harga diri dan meningkatkan pemulihan.
Berikan umpan balik yang positif untuk setiap usaha yang dilakukan.
Rasionalisasi: meningkatkan rasa makna diri, kemandirian, dan mendorong pasien
untuk berusaha secara kontinyu.
Pertahankan dukungan, sikap yang tegas dan beri pasien waktu untuk mengerjakan
tugasnya.
Rasionalisasi: pasien sangat memerlukan sikap empati dari perawat, tetapi juga perlu
ditegaskan bahwa perawat hanya akan membantu pasien secara konsisten.