Anda di halaman 1dari 14

Faktor Risiko Gangguan Kesehatan Pada Pekerja Ditinjau Dari Kondisi Fisik

Lingkungan Kerja dan Karakteristik Pekerjaan di Pusat Bengkel dan Onderdil


Margonda Depok Tahun 2014

Adistikah Aqmarina

Departemen Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Maysarakat, Universitas Indonesia, Depok 16424,
Indonesia

Email : adistikah.aqmarina@ui.ac.id / adistikah.aqmarina@gmail.com

Abstrak

Data Badan Pusat Statistik (2013) menunjukkan bahwa selama tahun 2010 hingga 2013 laju
pertumbuhan angkatan kerja di Indonesia mengalami peningkatan. Hal tersebut mendorong terbukanya
keberagaman lapangan pekerjaan, salah satunya industri otomotif. Sektor industi otomotif berperan cukup besar
dalam memberikan polusi udara dikarenakan banyaknya exposure yang terdapat di wilayah kerja. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa pekerja bengkel memiliki risiko untuk terkena berbagai jenis gangguan
kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko gangguan kesehatan pada pekerja ditinjau
dari kondisi fisik lingkungan kerja dan karakteristik pekerjaan di Pusat Bengkel dan Onderdil Margonda Depok.
Disain penelitian yang digunakan adalah Cross sectional dengan metode Sampling Aksidental. Hasil analisis
menunjukkan bahwa 55,0% pekerja di Pusat Bengkel dan Onderdil Margonda Depok berisiko terhadap
gangguan kesehatan dengan jenis gangguan kesehatan yang paling banyak dialami oleh pekerja adalah
gangguan pernafasan (74,2%). Faktor risiko tertinggi yang berhubungan signifikan dengan gangguan kesehatan
pekerja yakni konsentrasi PM10 di wilayah kerja (OR = 4,24) dan kondisi kios (OR = 3,77). Perlunya dibuat
kebijakan untuk melindungi kesehatan pekerja wilayah ini.

Kata kunci : Gangguan Kesehatan, Fisik Lingkungan Kerja, Pekerja, Bengkel Kendaraan Bermotor
 

Risk Factors In Worker Health Problems Seen of Physical Work Environment and
Characteristics of Work at Central Workshop and Parts Margonda Depok 2014
 

Abstract

Central Bureau of Statistics (2013) show that during the year 2010 to 2013 the rate of growth of the
labor force in Indonesia increased. It encourages diversity job opening, one of the automotive industry. Sectors
of the automotive industry, a large enough role in providing air pollution exposure due to the amount contained
in the working area. Several studies have shown that the workshop workers are at risk for various types of health
problems. This study aimed to determine the risk factors for health problems in workers seen of Physical Work
Environment and Characteristics of Work at Central Workshop and Parts Margonda Depok 2014. The design of
the study is Cross-sectional with Accidental Sampling method. The analysis showed that 55,0% of workers in
Central Workshop and Parts Margonda Depok had risk for health problems with most types of health problems
experienced by workers are respiratory problems (74,2%). The highest risk factor significantly associated with
the health problems of workers in the region of PM10 concentrations (OR = 4,24) and a stall condition (OR =
3,77). It needs to make policies to protect the health of workers in this place.

Keywords : Health Disorders, Physical Work Environment, Worker, Motor Vehicle Repair Shop

1   Universitas Indonesia  
 
Faktor risiko.…, Adistikah Aqmarina, FKM UI, 2014
2  
 

Pendahuluan

Dewasa ini, pertumbuhan jumlah penduduk semakin pesat. Selama tahun 2010 hingga 2013
laju pertumbuhan angkatan kerja di Indonesia mengalami peningkatan. Berdasarkan data
Badan Pusat Statistik (2013) mengenai ketenagakerjaan, pada tahun 2010 jumlah angkatan
kerja di Indonesia yakni sebesar 116 juta. Kemudian terjadi peningkatan di tahun 2011
menjadi sebesar 119,4 juta angkatan kerja dan menjadi 120,41 juta di tahun 2012. Data
terakhir di tahun 2013 menunjukkan jumlah angkatan kerja yakni 121,19 juta1.

Pertumbuhan jumlah penduduk di seluruh dunia yang demikian cepat telah mendorong
lahirnya era industrialisasi. Sebuah masa yang ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi sehingga manusia dapat lebih mudah memenuhi kebutuhan
hidupnya. Keadaan tersebut selanjutnya akan membuka keberagaman lapangan kerja.
Lapangan kerja tersebut di satu sisi sangat dibutuhkan. Namun, di lain pihak perlu disadari
adanya permasalahan yang perlu diperhatikan yaitu berkaitan dengan dampak atau risiko
kesehatan bagi pekerjanya2.

Salah satu industri yang berkembang pesat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk
yakni bengkel kendaraan bermotor. Indonesia merupakan salah satu produsen otomotif yang
sangat potensial di kawasan Asia Tenggara, menduduki peringkat ketiga terbesar setelah
Thailand dan Malaysia dengan peningkatan produksi otomotif sebesar 2,41%3.

Berbagai jenis gangguan kesehatan pada pekerja didapatkan melalui berbaai jalur pajanan.
Timbulnya gangguan kesehatan pada pekerja di bengkel akibat adanya exposure atau pajanan
dari emisi kendaraan bermotor, limbah bahan pelarut atau pembersih yang mudah menguap,
limbah padat barang onderdil yang dapat menghasilkan partikulat, serta partikulat berbentuk
aerosol yang berasal dari cat semprot mobil. Kondisi fisik lingkungan kerja seperti suhu,
kelembaban, serta fisik lingkungan kios yang sehari-hari dihuni oleh pekerja dapat
mempengaruhi kerentanan tubuh pekerja. Selain itu, juga terdapat limbah cair berupa sisa oli
bekas maupun accu (aki) yang banyak mengandung kontaminan kimia4.

Penelitian Asean Development Bank (2010) memberikan gambaran bahwa sektor industi
otomotif berperan cukup besar dalam memberikan polusi udara3. Di Indonesia lebih dari 30%
sumber polutan udara berasal dari sektor transportasi, 28 % berasal dari emisi partikel dan

Universitas Indonesia
 
Faktor risiko.…, Adistikah Aqmarina, FKM UI, 2014
3  
 

10% berasal dari sektor industri. Beberapa bukti dari hasil penelitian oleh American Lung
Association yang dikutip oleh Bruce menyimpulkan bahwa kontaminasi udara oleh partikel-
partikel pada lingkungan kerja merupakan faktor risiko bagi kesehatan pernafasan pekerja,
dan penurunan paparan dapat menurunkan risiko tersebut5. Penelitian yang dilakukan oleh
Piirila (2005) menunjukkan dari 13 jenis pekerjaan di Finlandia, pekerjaan yang prevalensi
kejadian penyakit saluran pernafasannya paling tinggi adalah pekerja pengecatan mobil6.
Penelitian Budiono (2007) pada pekerja bengkel pengecatan mobil di Kota Semarang,
menunjukkan bahwa prevalensi pekerja yang mengalami gangguan fungsi paru cukup tinggi
yakni sebesar 46,7%2. Penelitian Zuhriyah (2008) menunjukkan bahwa kadar COHb rata-rata
pada 20 pekerja bengkel 15,32% melebihi batas normal dengan kadar keracunan tertinggi
pada pekerja servis mesin yakni sebesar 33,3%. Tingginya kandungan COHb menyebabkan
para pekerja menyebabkan mereka mengalami gangguan kesehatan diantaranya cepat merasa
lelah, cepat merasa mengantuk, mata menjadi pedih dan sakit kepala yang merupakan tanda-
tanda gejala keracunan7. Adapun, penelitian dr. Lestari (2009) pada pekerja bengkel mobil
menunjukkan bahwa prevalensi kejadian dermatitis kontak iritan pada pekerja bengkel mobil
di Jakarta sebesar 2% dan prevalensi riwayat kejadian dermatitis kontak iritan subjektif
sebesar 64%. Pekerja teknisi yang semuanya pria berisiko mengalami dermatitis kontak iritan
akibat pajanan accu zuur dan APD sarung tangan yang terbuat dari bahan kain8. Dengan
demikian, dari penelitian-penelitian tersebut dapat terlihat bahwa pekerja bengkel mobil dari
berbagai jenis pekerjaannya memiliki risiko gangguan kesehatan.

Salah satu tempat berisiko bagi pekerja di Depok yakni Pusat Bengkel dan Onderdil
Margonda. Pusat Bengkel dan Onderdil Margonda ini merupakan suatu kawasan yang terdiri
dari kumpulan bengkel (dalam bentuk kios-kios) bagi kendaraan pribadi. Kawasan ini
memiliki tiga jenis pekerjaan atau kios yang masing-masing memberikan pelayanan yang
berbeda yakni bengkel pengecatan, bengkel servis dan penjualan onderdil dan aksesoris atau
variasi. Hingga saat ini belum ada penelitian yang pernah dilakukan di kawasan Pusat
Bengkel dan Onderdil Margonda Depok, padahal pekerja tersebut telah banyak
menghabiskan waktunya di bengkel. Oleh sebab itu, tujuan penelitian ini adalah untuk
melihat Faktor Risiko Gangguan Kesehatan Pada Pekerja Ditinjau dari Kondisi Fisik
Lingkungan Kerja dan Karakteristik Pekerjaan di Pusat Bengkel dan Onderdil Margonda
Depok tahun 2014.

Universitas Indonesia
 
Faktor risiko.…, Adistikah Aqmarina, FKM UI, 2014
4  
 

Tinjauan Teoritis

Bengkel umum kendaraan bermotor adalah bengkel yang berfungsi untuk


memperbaiki dan merawat kendaraan bermotor agar tetap memenuhi persyaratan teknis dan
layak jalan. Bengkel merupakan tempat para teknisi untuk melakukan kegiatan atau aktivitas.
Dari berbagai kegiatan atau aktivitas tersebut tentu akan menghasilkan pencemaran di
lingkungan bengkel tersebut baik pencemaran tanah, pencemaran air, maupun pencemaran
udara4. Pencemaran tersebut tentu akan menjadi faktor risiko yang dapat menimbulkan
gangguan kesehatan bagi pekerja di bengkel. Sakit merupakan suatu kedaan yang
memperlihatkan adanya keluhan atau gangguan gejala sakit secara subjektif dan objektif
sehingga pekerja memerlukan pengobatan untuk mengembalikan keadaan sehat9. Gangguan
saluran pernafasan adalah ganguan pada organ mulai dari hidung sampai alveoli serta organ-
organ adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura10. Gejala keracunan CO
adalah sesak nafas karena kekurangan oksigen. Gejala keracunan akut akibat gas karbon
monoksida ini seperti sakit kepala, mual dan pusing, sesak nafas/nafas tidak teratur, suhu
badan turun, shock, peredaran darah tepi tidak lancar hingga dapat terjadi oedema paru yang
sifatnya reversibel10. Definisi penyakit kulit akibat kerja menurut American Medical
Assosiation (1939) adalah penyakit kulit dimana paparan bahan-bahan pada tempat kerja
merupakan penyebab utama timbulnya kelainan kulit11.

Metode Penelitian

Desain studi dalam penelitian ini adalah cross sectional dengan mengumpulkan data primer
variabel dependen berupa gangguan kesehatan pada pekerja (berupa gangguan pernafasan,
gejala keracunan CO, iritasi kulit), dan variabel independen berupa kondisi fisik lingkungan
kerja, dan karakteristik pekerjaan. Penelitian ini dilakukan di Pusat Bengkel dan Onderdil
Margonda Depok pada bulan April tahun 2014. Populasi dalam penelitian ini adalah pekerja
yang memiliki aktivitas atau kegiatan di bengkel meliputi pekerja cat, pekerja servis, serta
pedagang aksesoris/onderdil yang berjumlah sekitar 300 orang dari sebanyak 158 kios. Dari
sebanyak 158 kios yang ada di wilayah Pusat Bengkel dan Onderdil Margonda Depok
terdapat sebanyak sekitar 300 populasi. Kemudian dari jumlah populasi tersebut diambil
sejumlah sampel menggunakan rumus estimasi proporsi. Selanjutnya, peneliti akan me-list
atau mendaftar seluruh kios yang terdapat di Pusat Bengkel dan Onderdil Margonda Depok.

Universitas Indonesia
 
Faktor risiko.…, Adistikah Aqmarina, FKM UI, 2014
5  
 

Untuk metode pengambilan sampel peneliti menggunakan Sampling Aksidental, yakni


dengan mengambil seorang pekerja yang pada saat penelitian berlangsung pekerja tersebut
sedang bekerja dan berada di kios. Hal ini dilakukan agar peneliti dapat mengobservasi
seluruh kios yang berada di kawasan Pusat Bengkel dan Onderdil Margonda Depok. Dengan
demikian, dari masing-masing kios terdapat satu sampel pekerja yang mewakili populasi.
Adapun, rumus yang digunakan untuk menentukan jumlah sampelnya adalah rumus estimasi
proporsi. Hasil perhitungan sebagai berikut12.
Z 1-α/2 2 p (1-p) N
n = x deff
2 2
d (N-1)+ Z 1-α/2 p (1-p)

dengan :
n = besar sampel
Z 1-α/2 = nilai z pada derajat kepercayaan (95% = 1,96)
P = Proporsi
d = derajat penyimpangan/presisi mutlak (10%)
N = jumlah populasi
Deff = design effect (2)

Jumlah sampel sebesar 96 tersebut ditambah 10% untuk mengurangi terjadinya terjadinya
kehilangan sampel sehingga jumlah sampel minimal yang harus diambil oleh peneliti yakni
sebesar 96 + 0,1 (96) = 106. Akan tetapi, peneliti akan mengambil sampel sebanyak 120
sampel untuk penelitian ini.

Data gangguan kesehatan pada pekerja dan karaktersitik pekerjaan diukur melalui wawancara
menggunakan kuesioner. Data kondisi fisik lingkungan berupa konsentrasi PM10 diukur secara
langsung menggunakan alat ukur Haz Dust EPAM 5000. Variabel suhu, dan kelembaban
dalam udara lingkungan kerja diukur secara langsung menggunakan alat ukur WBGT. Data
berupa kondisi fisik lingkungan kerja berupa jenis dan kondisi lantai, dinding, atap, dan
ventilasi pada kios yang ditempati oleh pekerja diukur melalui observasi secara langsung.
Adapun, pengambilan sampel lingkungan berupa konsentrasi PM10, suhu, dan kelembaban
disesuaikan dengan SNI 19-7119.6-2005 tentang penentuan lokasi pengambilan contoh uji
pemantauan kualitas udara ambien. Dari pedoman tersebut, ditentukan 7 titik sampling point di
area terbuka berdasarkan bentuk denah lokasi bengkel. Masing-masing titik akan mewakili

Universitas Indonesia
 
Faktor risiko.…, Adistikah Aqmarina, FKM UI, 2014
6  
 

lokasi yang telah ditentukan. Analisis data yang dilakukan yakni analisis univariat, analisis
bivariat, dan analisis multivariat.

Hasil Penelitian

Uji Normalitas Data. Uji normalitas data dilakukan pada data numerik dengan menggunakan
nilai Skewness dan standar eror. Data berdistribusi normal jika nilai Skewness dibagi standar
eror menghasilkan angka ≤2, sehingga standar yang dipakai adalah nilai mean. Akan tetapi,
jika data berdistribusi tidak normal, standar yang dipakai adalah nilai median. Risiko gangguan
kesehatan pada pekerja dikelompokkan berdasarkan nilai median, yakni Berisiko (pekerja yang
berisiko yakni pekerja yang mengalami gangguan sebanyak lebih dari sama sengan 3 kali
selama tiga bulan terakhir) dan Tidak Berisiko (pekerja yang tidak berisiko yakni pekerja yang
mengalami gangguan sebanyak kurang dari 3 kali selama tiga bulan terakhir). Konsentrasi
suhu dalam udara ambien dikategorikan berdasarkan nilai mean , yaitu Kurang dari rata-rata (<
33,31oC) dan Lebih dari sama dengan rata-rata (≥ 33,31 oC). Konsentrasi kelembaban dalam
udara ambien dikategorikan berdasarkan nilai median, yaitu Kurang dari median (< 57,00%)
dan Lebih dari sama dengan median (≥ 57,00%). Lama kerja dikategorikan berdasarkan nilai
mean, yaitu Kurang dari rata-rata (< 8,89 jam/hari) dan Lebih dari sama dengan rata-rata (≥
8,89 jam/hari). Masa kerja dikategorikan berdasarkan nilai mean, yaitu Kurang dari rata-rata (<
6,50 tahun) dan Lebih dari sama dengan rata-rata (≥ 6,50 tahun).

Risiko Gangguan Kesehatan Pada Pekerja. Jenis gangguan kesehatan yang paling sering
dialami oleh pekerja yakni sebesar 74,2% pekerja paling sering mengalami gangguan
pernafasan, sebesar 14,2% pekerja mengalami gejala keracunan CO, sebesar 4,2% pekerja
mengalami iritasi kulit, dan sisanya (7,5%) tidak pernah mengalami gangguan. Gejala
gangguan pernafasan terbanyak yang dirasakan oleh pekerja yakni batuk (23%) dan pilek
(23%). Gejala keracunan CO terbanyak yang dirasakan oleh pekerja yakni sakit kepala (31%),
mudah lelah (15%), mual (13%), dan mudah mengantuk (10%). Gejala iritasi kulit terbanyak
yang dirasakan oleh pekerja yakni berupa gatal pada kulit (49%) dan kulit kering (35%).
Berdasarkan hasil perhitungan distribusi frekuensi gangguan yang paling sering dialami selama
3 bulan terakhir, pekerja yang berisiko terhadap gangguan kesehatan yakni sebanyak 61
pekerja (55,0%), sedangkan pekerja yang tidak berisiko terhadap gangguan kesehatan yakni
sebanyak 50 pekerja (45,0%).

Universitas Indonesia
 
Faktor risiko.…, Adistikah Aqmarina, FKM UI, 2014
7  
 

Hubungan dan Besar Nilai Risiko Gangguan Kesehatan Berdasarkan Kondisi Fisik
Lingkungan Kerja. Variabel fisik lingkungan kerja yang berhubungan dengan risiko
gangguan kesehatan pada pekerja adalah konsentrasi PM10 dalam udara ambien dan kondisi
kios. Pekerja yang berada pada wilayah kerja dengan konsentrasi PM10 dalam udara ambien
melewati Baku Mutu memiliki risiko 4,24 kali lebih besar untuk terkena gangguan kesehatan
dibandingkan dengan pekerja yang berada pada wilayah kerja dengan konsentrasi PM10 tidak
melewati Baku Mutu. Adapun, pekerja dengan kondisi kios yang Tidak Memenuhi Syarat
memiliki risiko 3,77 kali lebih besar untuk terkena gangguan kesehatan dibandingkan dengan
pekerja dengan kondisi kios yang Memenuhi Syarat. Selain itu, meskipun variabel suhu dan
kelembaban tidak berhubungan secara signifikan besar nilai risiko gangguan kesehatannya
yakni pekerja yang berada pada wilayah kerja dengan suhu udara ambien ≥ 33,31oC memiliki
risiko 1,34 kali lebih besar untuk terkena gangguan kesehatan dibandingkan dengan pekerja
yang berada pada wilayah kerja dengan suhu udara ambien < 33,31oC. Adapun, pekerja yang
berada pada wilayah kerja dengan kelembaban udara ≥ 57,00% memiliki risiko 1,99 kali
lebih besar untuk terkena gangguan kesehatan dibandingkan dengan pekerja yang berada
pada wilayah kerja dengan kelembaban udara < 57,00% (Tabel 1).

Tabel 1. Hubungan dan Besar Nilai Risiko Gangguan Kesehatan Berdasarkan Kondisi
Fisik Lingkungan Kerja di Pusat Bengkel dan Onderdil Margonda Depok
Tahun 2014

Gangguan Kesehatan
Jumlah
Variabel Tidak OR (95% CI) P value
Berisiko
Berisiko
n % n % N %
Konsentrasi PM10
Melewati Baku Mutu 13 81,3 3 18,8 16 100 4,24 0,03
Tidak Melewati Baku Mutu 48 50,5 47 49,5 95 100 (1,14 - 15,86)
Suhu
≥ 33,31oC 30 58,8 21 41,2 51 100 1,34 0,57
< 33,31oC 31 51,7 29 48,3 60 100 (0,63 -2,84)
Kelembaban
≥ 57,00% 36 63,2 21 36,8 57 100 1,99 0,09
< 57,00% 25 46,3 29 53,7 54 100 (0,93 -4,25)
Kondisi Kios
Tidak Memenuhi Syarat 49 65,3 26 34,7 75 100 3,77 0,002
Memenuhi Syarat 12 33,3 24 66,7 36 100 (1,63 – 8,74)

Hubungan dan Besar Nilai Risiko Gangguan Kesehatan Berdasarkan Karakteristik


Pekerjaan. Variabel karakteristik berupa jenis pekerjaan tidak ada yang memiliki hubungan
signifikan dengan risiko gangguan kesehatan. Akan tetapi, besar nilai risiko gangguan

Universitas Indonesia
 
Faktor risiko.…, Adistikah Aqmarina, FKM UI, 2014
8  
 

kesehatan dari masing-masing variabel dapat terlihat. Pekerja yang bekerja dengan lama kerja
≥ 8,89 jam/hari memiliki risiko 1,89 kali lebih besar untuk terkena gangguan kesehatan
dibandingkan dengan pekerja yang bekerja dengan lama kerja < 8,89 jam/hari. Pekerja yang
bekerja dengan masa kerja ≥ 6,50 tahun memiliki risiko 2,05 kali lebih besar untuk terkena
gangguan kesehatan dibandingkan dengan pekerja yang bekerja dengan masa kerja < 6,50
tahun. Pekerja di bagian bengkel pengecatan maupun servis memiliki risiko 1,69 kali lebih
besar untuk terkena gangguan kesehatan dibandingkan dengan pedagang onderdil dan
aksesoris/variasi (Tabel 2).

Tabel 2. Hubungan dan Besar Nilai Risiko Gangguan Kesehatan Berdasarkan


Karakteristik Pekerjaan di Pusat Bengkel dan Onderdil Margonda Depok
Tahun 2014

Gangguan Kesehatan
Jumlah
Variabel Tidak OR (95% CI) P value
Berisiko
Berisiko
n % n % N %
Lama Kerja
≥ 8,89 jam/hari 41 61,2 26 38,8 67 100 1,89 0,12
< 8,89 jam/hari 20 45,5 24 54,5 44 100 (0,88 – 4,09)
Masa Kerja
≥ 6,50 tahun 34 64,2 19 35,8 53 100 2,05 0,09
< 6,50 tahun 27 46,6 31 53,4 58 100 (0,96 – 4,40)
Jenis Pekerjaan
Pengecatan dan Servis 27 62,8 16 37,2 43 100 1,69 0,24
Pedagang Onderdil dan 34 50,0 34 50,0 68 100 (0,77 – 3,68)
Aksesoris / Variasi

Variabel Konfounding yang Mempengaruhi Risiko Gangguan Kesehatan Pekerja.


Pertama, dilakukan pemodelan lengkap mencakup variabel utama, semua kandidat
konfounding dan kandidat interaksi (interaksi dibuat antara variabel independen utama
dengan semua variabel konfounding). Selanjutnya, melakukan uji interaksi dengan cara
mengeluarkan kandidat variabel interaksi yang memiliki p-value tidak signifikan secara
berurutan satu per satu dimulai dari kandidat variabel interaksi yang memiliki p-value
terbesar13. Hasilnya adalah seluruh kandidat variabel interaksi tidak ada yang memiliki p-
value < 0,05 sehingga kesimpulannya yakni tidak ada interaksi antara variabel independen
utama dengan seluruh kandidat variabel konfounding. Terakhir, dilakukan uji konfounding
dengan cara mengeluarkan kandidat konfounding satu per satu dimulai dari yang memiliki
nilai p-value terbesar13. Apabila setelah dikeluarkan diperoleh selisih OR faktor/variabel
utama antara sebelum dan sesudah kandidat variabel konfounding (X1) dikeluarkan lebih

Universitas Indonesia
 
Faktor risiko.…, Adistikah Aqmarina, FKM UI, 2014
9  
 

besar dari 10% maka variabel tersebut dinyatakan sebagai variabel konfounding dan harus
tetap berada dalam model13. Berdasarkan hasil uji, urutan kandidat variabel yang dikeluarkan
yakni jenis pekerjaan, masa kerja, kemudian lama kerja. Adapun, hasil uji konfounding
menunjukkan bahwa variabel konfounding yang berperan dalam penelitian ini adalah lama
kerja. Hasil akhir setelah variabel independen utama dikontrol dengan variabel konfounding,
yakni variabel independen utama yang memiliki hubungan dan risiko tertinggi terhadap
terjadinya gangguan kesehatan ialah kondisi kios (Tabel 3).

Tabel 3. Besar Nilai Risiko Gangguan Kesehatan Berdasarkan Kondisi Fisik


Lingkungan Kerja Setelah Dikontrol oleh Variabel Konfounding

Variabel Sig. Exp (B)


Konsentrasi PM10 0,688 1,420
Suhu 0,389 1,641
Kelembaban 0,098 2,562
Kondisi kios 0,008 3,413
Lama kerja 0,066 2,216

Pembahasan

Tingginya gangguan pernafasan dapat disebabkan karena memang hampir sebagian besar
exposure di bengkel menghasilkan partikulat. Sumber partikulat yang utama adalah
pembakaran bahan bakar dari sumbernya14. Salah satu sumber penghasil partikulat dari
bengkel berasal dari bahan bakar kendaraan bermotor yang merupakan target atau sasaran
utama dari adanya kawasan ini. Sesuai dengan hasil penelitian oleh American Lung
Association yang dikutip oleh Bruce menyimpulkan bahwa kontaminasi udara oleh partikel-
partikel pada lingkungan kerja merupakan faktor risiko bagi kesehatan pernafasan pekerja
dan penurunan paparan dapat menurunkan risiko tersebut5.

Wilayah yang memiliki konsentrasi PM10 diatas Baku Mutu adalah wilayah pengecatan dan
beberapa bengkel servis. Sumber exposure dari keberadaan PM10 ini dapat berasal dari
kendaaraan bermotor yang diuji berkali-kali saat diperbaiki di bengkel servis dimana PM10
memang lebih banyak dihasilkan dari aktivitas kendaraan bermotor15. PM10 terdiri dari
partikel kompleks di udara. Pada ukurannya, partikel ini memungkinkan terdapat virus,
bakteri, zat kimia, dan materi lain yang dapat terdeposit di saluran pernafasan dan selanjutnya

Universitas Indonesia
 
Faktor risiko.…, Adistikah Aqmarina, FKM UI, 2014
10  
 

dapat menimbulkan iritasi serta peradangan16. Ukuran partikulat debu yang membahayakan
kesehatan umumnya berkisar antara 0,1 mikron sampai dengan 10 mikron. Pada umunya
ukuran partikulat debu sekitar 5 mikron merupakan partikulat udara yang dapat langsung
masuk kedalam paru-paru dan mengendap di alveoli. Keadaan ini bukan berarti bahwa
ukuran partikulat yang lebih besar dari 5 mikron tidak berbahaya, karena partikulat yang
lebih besar dapat menyebabkan iritasi dan mengganggu saluran pernafasan bagian atas17.

Teori menyebutkan bahwa suhu tubuh dapat mengalami pertukaran dengan lingkungan. Dua
jenis faktor yang harus dikontrol untuk menjaga pengaturan suhu tubuh secara eksternal
yakni suhu udara dan kelembaban18. Pada dasarnya suhu yang rendah dapat menyebabkan
polutan dalam atmosfir terperangkap dan tidak menyebar, sementara suhu yang tinggi dapat
menyebabkan bahan pencemar di udara menjadi kering dan ringan sehingga dapat bertahan
lebih lama di udara, kondisi itu dapat berlangsung beberapa hari atau beberapa minggu
sehingga udara yang berada dekat permukaan bumi akan penuh dengan polutan dan dapat
menimbulkan keadaan yang sangat kritis bagi kesehatan19. Terkait kelembaban udara, pada
kelembaban udara yang terlalu rendah ataupun terlalu tinggi dapat meningkatkan produksi
partikulat di udara karena kondisi tersebut dapat membantu proses pengendapan bahan
pencemar. Keadaan udara yang lembab dapat membuat partikulat berikatan dengan air yang
ada dalam udara dan membentuk partikel yang berukuran lebih besar sehingga mudah
mengendap ke permukaan bumi dengan gaya tarik bumi dan mempengaruhi kesehatan20.
Tidak adanya hubungan yang signifikan pada penelitian ini sesuai dengan penelitian yang
menyebutkan bahwa cuaca yang tidak stabil dapat mempengaruhi kondisi suhu di wilayah
tersebut. Selain itu, peran suhu dalam lingkungan juga tidak berdiri sendiri tetapi dipengaruhi
oleh kelembaban dan kecepatan angin21.

Teori menyebutkan bahwa disamping kualitas udara ambien, kualitas udara dalam ruangan
(indoor air quality) juga merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian karena akan
berpengaruh terhadap kesehatan manusia10. Kondisi keseluruhan kios berkaitan dengan
kondisi lantai, dinding, atap atau langit-langit, dan ventilasi. Berdasarkan teori, baik kondisi
lantai, dinding, atap atau langit-langit, maupun jendela atau ventilasi yang tidak baik
berpengaruh terhadap keberadaan debu atau partikulat di ruangan tersebut. Apabila dalam
suatu ruangan terjadi penumpukan debu maka tempat tersebut akan menjadi tempat yang baik
untuk perkembangbiakan bakteri atau virus, khusunya bakteri dan virus yang berkaitan
dengan saluran pernafasan. Keberadaan partikulat dapat menimbulkan efek iritasi sehingga

Universitas Indonesia
 
Faktor risiko.…, Adistikah Aqmarina, FKM UI, 2014
11  
 

meningkatkan resistensi saluran pernafasan. Saluran pernafasan yang telah teriritasi akan
lebih sensitif terhadap mikroorganisme yang masuk ke dalamnya22.

WHO (1995) menyebutkan bahwa hubungan antara paparan zat dan efek sangat bergantung
pada tiga hal yaitu kadar zat dalam udara, dosis paparan kumulatif, serta waktu tinggal atau
lamanya zat berada dalam tubuh. Paparan dengan kadar rendah dalam jangka waktu lama
menyebabkan penyakit begitu juga paparan terhadap kadar tinggi dalam waktu singkat. Teori
tersebut dapat memperkuat temuan ini bahwa memang pada dasarnya mesikipun paparan
yang bersumber dari bengkel dalam jumlah yang sedikit tetapi terjadi secara rutin dan terus
menerus dapat berpengaruh terhadap kesehatan23. Tidak adanya hubungan antara lama kerja
dengan risiko gangguan kesehatan dikarenakan butuh keberadaan variabel lain untuk
bersama-sama mempengaruhi kesehatan, khususnya gangguan pernafasan. Selain itu, juga
dipengaruhi faktor seperti status gizi, kebiasaan merokok, dan karakteristik individu
lainnya21.

Kusnoputranto (1995) menyebutkan bahwa durasi dan frekuensi pemajanan baik tunggal
maupun multiple akan menghasilkan efek kronis, sehingga berapa lama dan seringnya
seseorang terpajan sebuah agen akan menghasilkan dampak yang bervariasi. Teori tersebut
menegaskan bahwa seberapa lama dan seringnya pun seorang pekerja terkena exposure maka
akan menghasilkan dampak terhadap kesehatan24. Penelitian Budiono (2007) pada bengkel
pengecatan di Semarang menunjukkan hasil bahwa semakin lama seseoang bekerja pada
lingkungan berdebu, maka akan semakin menurunkan kapasitas vital paru2. Tidak adanya
perbedaan yang signifikan antara lama kerja dengan risiko gangguan kesehatan pada
penelitian ini dikarenakan frekuensi gangguan kesehatan yang dilihat pada pekerja yakni
hanya selama tiga bulan terakhir dengan 3 jenis gangguan kesehatan yang bukan merupakan
penyakit kronis.

Menurut penelitian Endah, dkk yang dilakukan berdasarkan hasil Riskesdas 2007, jenis
pekerjaan berhubungan dengan keterpaparan penyakit akibat pekerjaannya. Kelompok
pekerjaan tertentu akan berhubungan dengan keterpaparan terhadap suatu agen baik kimia,
fisik, maupun biologi akibat pekerjaannya sehingga berhubungan dengan faktor risiko
terhadap penyakit tertentu25. Risiko yang lebih tinggi pada pekerja di bagian bengkel
pengecatan dan servis dikarenakan kedua jenis pekerjaan itu adalah jenis pekerjaan yang
langsung berhubungan dengan kendaraan bermotor. Penelitian Piirila tahun 2005

Universitas Indonesia
 
Faktor risiko.…, Adistikah Aqmarina, FKM UI, 2014
12  
 

menunjukkan dari 13 jenis pekerjaan di Finlandia, pekerjaan yang prevalensi kejadian


penyakit saluran pernafasannya paling tinggi adalah pekerja pengecatan mobil6. Penelitian di
Indonesia juga menunjukkan hal yang sama, misalnya penelitian Riswati (2004) pada bengkel
pengecatan mobil di Kampung Ligu Semarang menunjukkan prevalensi yang cukup tinggi
yaitu sebesar 30% pekerja mengalami gangguan fungsi paru26. Adapun, terkait pekerja
mekanik bengkel penelitian Zuhriyah (2008) menunjukkan bahwa dari 20 pekerja di bengkel
Candra Buana Jombang, rata-rata kadar COHb-nya telah melebihi batas normal7. Hasil
penelitian Eliana (2004) menunjukan bahwa ada hubungan antara kadar CO udara dengan
COHb darah mekanik, meskipun pada penelitian tersebut hampir 60% kadar CO di bengkel
tidak melampaui NAB27.

Kesimpulan

Sebagian besar pekerja di Pusat Bengkel dan Onderdil Margonda Depok berisiko terhadap
gangguan kesehatan dengan jenis gangguan kesehatan yang paling banyak dialami oleh
pekerja adalah gangguan pernafasan. Faktor risiko tertinggi yang berhubungan signifikan
dengan gangguan kesehatan pekerja yakni konsentrasi PM10 di wilayah kerja (OR = 4,24) dan
kondisi kios (OR = 3,77). Adapun, setelah dikontrol variabel konfounding berupa lama kerja
faktor risiko yang berhubungan signikan yakni kondisi kios (OR = 3,41).

Saran

Dengan penelitian ini, diharapkan adanya kebijakan untuk melindungi kesehatan pekerja di
Pusat Bengkel dan Onderdil Margonda Depok. Hal tersebut dilakukan oleh pihak kantor
pengelola dengan cara menyediakan tenaga K3 atau HSE di kawasan bengkel, diterapkannya
aturan bagi pekerja untuk menggunakan APD saat bekerja, diberlakukannya sistem
controlling wilayah kerja khususnya kondisi kios, dan dilakukan program penghijauan di
kawasan bengkel untuk mengurangi konsentrasi debu di udara.

Bagi pekerja sebaiknya menggunakan APD saat bekerja (seperti masker dan sarung tangan)
terutama apabila pekerja tersebut sedang berhubungan dengan kendaraan bermotor maupun
bahan kimia. Pekerja juga harus lebih memperhatikan kondisi kios, dengan cara

Universitas Indonesia
 
Faktor risiko.…, Adistikah Aqmarina, FKM UI, 2014
13  
 

membersihkan kios setiap hari, memperbaiki bagian-bagian kios yang sudah rusak, dan
menerapkan pola hidup bersih di lingkungan kios. Untuk mengurangi lama kontak dengan
exposure, sebaiknya pekerja membatasi lama kerjanya agar tidak melebihi rata-rata. Untuk
mrngurangi risiko gangguan kesehatan di sekitar wilayah pengecatan,sebaiknya pekerja
memilih cat semprot yang kandungan bahan kimianya tidak berlebihan akan lebih baik jika
menggunakan cat kuas. Terakhir, pekerja harus lebih memperhatikan kesehatannya, yakni
dengan membiasakan pola hidup sehat, mengonsumsi vitamin setiap akan mulai bekerja,
mengatur pola makan, dan waktu istirahat setiap harinya.

Daftar Referensi

1. Badan Pusat Statistik. (2013). “Laporan Bulanan: Data Sosial Ekonomi”.


(http://www.bps.go.id/download_file/IP_September_2013.pdf diakses tanggal 21
Februari 2014).
2. Budiono, Irwan. (2007). Faktor Risiko Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja Pengecatan
Mobil (Studi Pada Bengkel Pengecatan Mobil di Kota Semarang). Tesis. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro Semarang.
3. Ayuningtyas, Dian. (2012). Pengelolaan Limbah B3 Bengkel Kendaraan Bermotor Roda
Empat di Kecamatan Tegalsari Surabaya. Tesis. Fakultas Teknik Institut Teknologi
Surabaya.
4. Badan Pengkajian Penerapan dan Teknologi/BPPT. (2003). “BAB VIII: Pengolahan
Limbah Industri Bengkel Kendaraan Bermotor”.
(http://www.kelair.bppt.go.id/Publikasi/BukuPetnisLimbLH/08BENGKEL.pdf diakses
tanggal 22 Februari 2014).
5. Small, Bruce M. Indoor Air Pollutants in Residential Settings : Respiratoy Health Effects
and Remedial Measure to Minimize Exposure. Ontario Lung Association. 2002 : 1 - 83.
6. Piirila, Paivi, Keskinen, H. M., Luukonen, R., et al. Work Unemployment and Life
Satisfaction Among Patients with Diisocyanate Induced Asthma: A Prospective Study. J
Occup Health. 2005: 47 : 112 - 118.
7. Zuhriyah, Nia Erva. (2008). Analisis Kadar Karboksihaemoglobin (COHb) dan
Dampaknya Terhadap Kesehatan Pekerja Bengkel. Skripsi. Fakultas Sains dan
Teknologi Universitas Negeri Malang.
8. Lestari, Tara dr. (2009). Hubungan Accu Zuur dan Berbagai Faktor Resiko dengan
Kejadian Dermatitis Kontak Iritan pada Pekerja Bengkel Mobil. Health Research Ethics
Committee. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
9. Mubarak, W. Iqbal. (2005). Pengantar Keperawatan Komunitas I. Jakarta: Sagung Seto.
10. Departemen Kesehatan RI. (1999). “Parameter Pencemar Udara dan Dampaknya
terhadap Kesehatan”. (www.depkes.go.id/downloads/Udara.pdf diakses tanggal 23
November 2013).
11. Kenerva, L. dan Diepgen, T. L. (2003). Occupational Skin Disease. In: Fritsch, P.,
Burgdorf, W. Skin Diseases in Europe. Berlin, Germany: ABW Wissenschaftsverlag
GmbH, 19 - 24. (Available from: http://www.abw-verlag.com/sample.pdf. diakses
tanggal 26 April 2014).

Universitas Indonesia
 
Faktor risiko.…, Adistikah Aqmarina, FKM UI, 2014
14  
 

12. Lemeshow, S. et al. (1997). Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan terjemahan
Dibyo Pramono. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
13. Hastono, Sutanto Priyo. (2006). Analisis Multivariat. Depok: Departemen Biostatistik
FKM UI.
14. Wardhana, W. A. (2004). Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta: Andi.
15. Urban Air Quality Improvement Development Sector Program (UAQ-i SDP). (2006).
Transport and Traffic Draft. United States: UAQ-i SDP.
16. US Environmental Protection Agency. (2012). “Particulate Matter 10 (PM-10)”.
(http://www.epa.gov/airtrends/aqtrnd95/pm10.html diakses tanggal 21 Februari 2014).
17. Fardiaz, Srikandi. (1992). Polusi Air dan Udara. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
18. Arief, Latar Muhammad. (2012). Monitoring: Lingkungan Kerja Tekanan Panas/Heat
Stress. Fakultas Ilmu-Ilmu Program Studi Kesmas Peminatan K3. Universitas Esa
Unggul.
19. Atmakusumah, Maskun Iskandar, dan Warief Djajanto Basorie. (1996). Mengangkat
Masalah Lingkungan Hidup ke Media Massa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
20. Leeson, S. Dan Summers, J. D. (2000). Commercial Poultry Nutrition. 3rd (ed). Canada:
University Books.
21. Sari, Nilam. (2013). Kejadian ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) Ditinjau dari
Pajanan PM10 (Particulate Matter 10) dan Karakteristik Individu di Lingkungan
Terminal Kampung Rambutan Jakarta Timur Tahun 2013. Skripsi. Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia.
22. Mukono, H. J. (1997). Pencemaran Udara dan Pengaruhnya terhadap Gangguan
Saluran Pernafasan. Surabaya: Airlangga University Press.
23. World Health Organization. (1995). Deteksi Dini Penyakit Akibat Kerja. Jakarta: EGC.
24. Kusnoputranto, Haryoto. (1995). Toksikologi Lingkungan. FKM-UI dan Pusat Penelitian
Sumber Daya Manusia dan Lingkungan, Jakarta.
25. Endah, Noer P., Daroham, dan Mutiatikum. (____). “Penyakit ISPA Hasil Riskesdas di
Indonesia”.
(http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/BPK/article/download/2193/1091 diakses
tanggal 12 Februari 2014).
26. Riswati, Y. (2004). Hubungan Masa Kerja dengan Kapasitas Vital Paksa Paru pada
Pekerja Pengecatan Mobil di Kampung Ligu Kota Semarang. Skripsi. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro.
27. Eliana, Dince. (2004). Studi Kadar CO Udara dan COHb Darah Mekanik Otomotif Pada
Bengkel Resmi Mobil di Semarang. Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Diponegoro.

Universitas Indonesia
 
Faktor risiko.…, Adistikah Aqmarina, FKM UI, 2014

Anda mungkin juga menyukai