Anda di halaman 1dari 47

18

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Budaya Madura

2.1.1 Kondisi Geografis

Secara Geografis pulau Madura terletak di sebelah timur laut pulau

Jawa. Pulau Madura terdiri dari empat Kabupaten yaitu Bangkalan,

Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Jumlah penduduknya hampir

mencapai 4 juta jiwa (tepatnya 3.711.433 juta jiwa, data BPS Jawa Timur

2008). Ma’arif (2015) menjelaskan iklim Madura bercirikan dua musim,

yakni musim Barat (Musim Hujan), dan musim Timur (Musim Kemarau).

Orang Madura banyak beralih pekerjaan menjadi nelayan, pedagang, atau

bermigrasi.

2.1.2 Karakteristik Masyarakat Madura

a. Ciri Fisik dan Sifat Orang Madura


Ciri fisik orang Madura daripada orang Jawa dan Sunda

digambarkan sebagai lebih kasar, lebih kaku, lebih garang, lebih kekar

dan berotot, atau lebih berani, dan badannya lebih kuat.(De Jonge, 2011).
b. Sifat Positif dan Negatif Orang Madura
Dilihat dari segi sifat orang Madura terkenal keras. Disamping

banyak memiliki kualitas negatif, orang Madura juga diakui memiliki

jumlah sifat positif. Gagah perkasa, berani, berjiwa petualang, terpercaya,

setia, rajin, hemat, ceria, penuh semangat dan jenaka (De Jonge, 2011).

c. Solidaritas Masyarakat Madura


Kehidupan yang harmonis menjadi penekanan kehidupan yang

diharapkan. Meski kekerasan kerap menjadi indentitas orang Madura

seperti carok, sebenarnya itu dapat diselesaikan dengan cara terhormat


19

jika diawali dengan abhak-rembhak yang sebenarnya mengakar kuat

dalam masyarakat Madura (Anton, 2011).


d. Sistem Kekerabatan Masyarakat Madura
Ikatan kekerabatan dalam masyarakat Madura terbentuk melalui

dari keturunan-keturunan baik dari keluarga berdasarkan garis ayah

maupun garis ibu (paternal dan maternal relative). Tapi pada umumnya,

ikatan kekerabatan antar sesama anggota keluarga lebih erat dari garis

keturunan ayah sehingga cenderung untuk “mendominasi” (Wiyata,

2013).

2.2 Konsep Keluarga


2.2.1. Definisi Keluarga
Keluarga adalah dua atau lebih dari dua individu yang tergabung

karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan

mereka hidup dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain di

dalam peranannya masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan

suatu kebudayaan. Keberadaan keluarga di masyarakat akan menentukan

perkembangan masyarakat (Susanto, 2012).

Menurut Friedman (2010), Keluarga dalam teks ini adalah dua orang

atau lebih yang disatukan oleh kebersamaan dan kedekatan emosional

serta yang mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari keluarga.


Keluarga adalah kumpulan dua individu atau lebih yang terikat oleh

darah, perkawinan, atau adopsi yang tinggal dalam satu rumah atau jika

berpisah tetap memperhatikan satu sama lain (Muhlisin, 2012).


2.2.2 Struktur Keluarga
Struktur keluarga menurut Parad dan Caplan (1965) yang diadopsi

oleh Friedman (2010) ada empat (4) elemen, yaitu :


a. Struktur peran keluarga
20

Menggambarkan peran masing-masing anggota keluarga sendiri

dan perannya di lingkungan masyarakat atau peran formal atau

informal.
b. Nilai atau norma keluarga
Menggambarkan nilai dan norma yang dipelajari dan diyakini oleh

keluarga, khususnya yang berhubungan dengan kesehatan.


c. Pola Komunikasi Keluarga
Menggambarkan bagaimana cara dan pola komunikasi ayah/ibu

(orang tua), orang tua dengan anak, anak dengan anak, dan anggota

keluarga lain (pada keluarga besar) dengan keluarga inti.


d. Struktur kekuatan keluarga
Menggambarkan kemampuan anggota keluarga untuk

mempengaruhi dan mengendalikan orang lain untuk mengubah perilaku

keluarga yang mendukung kesehatan.

2.2.3. Tipe Keluarga

Pembagian tipe keluarga menurut Friedman (2010), yaitu :

a. Keluarga inti (nuclear family) : Keluarga yang hanya terdiri dari ayah,

ibu dan anak yang diperoleh dari keturunannya atau adopsi atau

keduanya.
b. Keluarga besar (extended family) : Keluarga inti ditambah keluarga lain

masih mempunyai hubungan darah (kakek, nenek, paman, bibi).


c. Keluarga bentukan kembali (dyadic family) : keluarga baru yang

terbentuk dari pasangan yang telah cerai atau kehilangan pasangannya.


d. Orang tua tunggal (single parent family) : keluarga yang terdiri dari salah

satu orang tua dengan anak-anak akibat perceraian atau ditinggal

pasangan.
e. Ibu dengan anak tanpa perkawinan (the umnaries teenage mother)
f. Orang dewasa (pria atau wanita) yang tinggal sendiri tanpa menikah

(the single adult living alone)


21

g. Keluarga dengan anak tanpa pernikahan sebelumnya (the nonmarital

heterosexual cohabiting family).


h. Keluarga yang dibentuk oleh pasangan yang berjenis kelamin sama (gay

and lesbian family)


2.2.4 Fungsi Keluarga
Fungsi keluarga menurut Friedman (2010), yaitu :
a. Fungsi afektif (the affective function)
Fungsi keluarga yang utama untuk mengajarkan segala sesuatu

untuk mempersiapkan anggota keluarga berhubungan dengan orang

lain. Fungsi ini untuk perkembangan individu dan psikososial anggota

keluarga.
a. Fungsi sosialisasi dan tempat bersosialisasi
Fungsi mengembangkan dan tempat melatih anak untuk

berkehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk berhubungan

dengan orang lain di luar rumah.


b. Fungsi reproduksi (the reproductive function)
Fungsi untuk mempertahankan generasi dan menjaga

kelangsungan keluarga.
c. Fungsi Ekonomi (the economic function)
Keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan keluarga secara

ekonomi dan tempat untuk mengembangkan kemampuan individu,

meningkatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.


d. Fungsi perawatan / pemeliharaan kesehatan
Fungsi untuk mempertahankan keadaan kesehatan anggota

keluarga agar tetap memiliki produktivitas tinggi (Friedman, 2010).


2.2.5 Tugas Keluarga di Bidang Kesehatan
Berikut tugas keluarga dalam bidang kesehatan (Zulkahfi, 2015) :
1) Mengenal masalah kesehatan keluarga
Kesehatan merupakan kebutuhan keluarga yang tidak boleh

diabaikan. Orang tua perlu mengenal keadaan kesehatan dan perubahan

yang dialami anggota keluarga. Perubahan sekecil apa pun yang dialami

anggota keluarga secara tidak langsung menjadi perhatian orang

tua/keluarga.
22

2) Memutuskan tindakan yang tepat bagi keluarga


Sebuah upaya keluarga yang utama untuk mencari pertolongan

yang tepat sesuai dengan keadaan keluarga. Tindakan kesehatan yang

dilakukan oleh keluarga diharapkan tepat agar masalah kesehatan dapat

dikurangi atau bahkan teratasi. Jika keluarga mempunyai keterbatasan,

mereka dapat meminta bantuan kepada orang di lingkungan tinggal

keluarga.
3) Merawat keluarga yang mengalami gangguan kesehatan
Seringkali keluarga telah mengambil tindakan yang tepat dan

benar, tetapi keluarga memiliki keterbatasan yang telah diketahui oleh

keluarga sendiri. Jika demikian, anggota keluarga yang mengalami

gangguan kesehatan perlu memperoleh tindakan lanjutan atau

perawatan agar masalah yang lebih parah tidak terjadi.


4) Memodifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin kesehatan keluarga
5) Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan di sekitarnya bagi

keluarga.
2.2.6 Teori Model Keperawatan Keluarga (Family Centered Nursing Model)

(Friedman, 2004)
Praktek keluarga sebagai pusat keperawatan (family centered

nursing) didasarkan pada perspektif bahwa keluarga adalah unit dasar

untuk perawatan individu dari anggota keluarga dan dari unit yang lebih

luas. Potensi dan keterlibatan keluarga menjadi makin besar, ketika salah

satu anggota keluarganya memerlukan bantuan terus menerus karena

masalah kesehatan (Friedman, 2003).


Aplikasi dari teori ini termasuk mempertimbangkan faktor sosial,

ekonomi, lingkungan, tipe keluarga dan budaya ketika melakukan

pengkajian dan perencanaan, implementasi dan evaluasi perawatan pada

anak dan keluarga (Friedman, 2003). Model ini menekannkan keluarga


23

sebagai system terbuka yang saling berinteraksi satu sama lain, oleh

karena itu asuhan keperawatan yang diberikan difokuskan pada

peningkatan kesehatan seluruh anggota keluarga melalui hubungan

internal keluarga, struktur, fungsi dan interdepedensi keluarga.


Friedman (2004) dalam Susanto (2012) dalam melakukan asuhan

keperawatan keluarga menerapkan langkah-langkah terkait dengan lima

langkah dalam proses keperawatan keluarga. Dalam pengkajian ditentukan

pada struktur dan fungsi keluarga secara menyeluruh dan terintegrasi.

Kerangka model konseptual Friedman dapat dilihat sebagai berikut:

2.3 Gambar
Konsep2.1Kemandirian Keluarga
Model Keperawatan Keluarga (Friedman, 2004) dalam (Susanto, 2012)
2.3.1 Pengertian Kemandirian
Karena kemandirian berasal dari kata dasar diri, pembahasan

mengenai kemandirian tidak dapat dilepaskan dari pembahasan diri itu

sendiri, yang dalam konsep Carl Rogers disebut dengan istlah self karena

diri itu merupakan inti dari kemandirian (Ali & Asrori, 2008:109). Dalam

kamus psikologi kemandirian berasal dari kata “independence” yang

diartikan sebagai suatu kondisi dimana seseorang tidak tergantung pada

orang lain dalam menentukan keputusan dan adanya sikap percaya diri

(Chaplin, 2011:343).
24

Para ahli telah memaparkan beberapa definisi tentang kemandirian,

diantaranya yaitu Emil Durkheim, kemandirian merupakan elemen esensial

ketiga dari moralitas yang bersumber pada kehidupan masyarakat. Emil

Durkheim berpendapat bahwa kemandirian tumbuh dan berkembang karena

dua faktor yang menjadi prasyarat yaitu :


a. Disiplin yaitu adanya aturan bertindak dan otoritas, serta
b. Komitmen terhadap kelompok (Ali & Asrori, 2008:110)

.1.1 Aspek Kemandirian

Menurut Masrun (dalam Widayatie, 2009 : 19) kemandirian ditunjukkan

dalam beberapa bentuk, yaitu :

c. Tanggung jawab, yaitu kemampuan memikul tanggung jawab,

kemampuan untuk menyelesaikan suatu tugas, mampu mempertanggung

jawabkan hasil kerjanya, kemampuan menjelaskan peranan baru,

memiliki prinsip mengenai apa yang benar dan salah dalam berfikir dan

bertindak.

d. Otonomi, ditunjukkan dengan mengerjakan tugas sendiri, yaitu suatu

kondisi yang ditunjukkan dengan tindakan yang dilakukan atas kehendak

sendiri dan bukan orang lain dan tidak tergantung pada orang lain dan

memiliki rasa percaya diri dan kemampuan mengurus diri sendiri.

e. Inisiatif, ditunjukkan dengan kemampuan berfikir dan bertindak secara

kreatif.

f. Kontrol Diri, kontrol diri yang kuat ditunjukkan dengan pengendalian

tindakan dan emosi mampu mengatasi masalah dan kemampuan melihat

sudut pandang orang lain.

2.3.2 Ciri – Ciri Kemandirian


25

Menurut Parker (2005: 233) ciri – ciri kemandirian yaitu:

.1.1.1.1.1.1.1 Tanggung jawab, yakni memiliki tugas untuk

menyelesaikan sesuatu dan diminta pertanggung jawaban atas hasil

kerjanya. Oleh karena itu individu harus diberi tanggung jawab dan

berawal dari tanggungjawab untuk mengurus dirinya sendiri.

.1.1.1.1.1.1.2 Indepedensi, yakni kemampuan mengurus diri

sendiri dan menyelesaikan masalah sendiri.

.1.1.1.1.1.1.3 Otonomi dan kebebasan untuk menentukan

keputusan sendiri, yakni kemampuan menentukan arah sendiri (self

determination) berarti mampu mengendalikan atau mempengaruhi apa

yang akan terjadi kepada dirinya sendiri.

Dari beberapa ciri – ciri tersebut dapat disimpulkan bahwa secara

garis besar, kemandirian itu ditandai dengan adanya tanggung jawab, bisa

menyelesaikan masalah sendiri, serta adanya otonomi dan kebebasan

untuk menentukan keputusan sendiri.

2.3.3 Tingkat Kemandirian Keluarga

Tingkat kemandirian keluarga dapat dinilai dengan memperhatikan

kriteria tingkat kemandirian seperti yang di tetapkan oleh Departemen

Kesehatan (2006), sebagai berikut :

1. Keluarga Mandiri Tingkat Satu


Keluarga hanya menerima petugas perawatan kesehatan masyarakat

dan menerima pelayanan keperawatan yang diberikan sesuai dengan

rencana keperawatan.
2. Keluarga Mandiri Tingkat Dua
Keluarga mandiri tingkat satu serta ditambah keluarga mengetahui

dan dapat mengungkapkan masalah kesehatan secara benar, melakukan


26

tindakan keperawatan sederhana sesuai yang dianjurkan dan

memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan.


3. Keluarga Mandiri Tingkat Tiga
Keluarga mandiri tingkat dua, serta ditambah melaksanakan

tindakan pencegahan sesuai anjuran.


4. Keluarga Mandiri Tingkat Empat
Keluarga mandiri tingkat tiga serta ditambah melaksanakan tindakan

pencegahan sesuai anjuran dan melakukan tindakan promotif secara aktif.

2.3.4 Level Pencegahan Keluarga Mandiri


2.2.1.1 Tindakan Promotif (Primer)
Pencegahan yang dilakukan sebelum masalah timbul, seperti

pemberian pendidikan kesehatan, kebersihan diri, penggunaan sanitasi

lingkungan yang bersih, olahraga, perubahan gaya hidup.


2.2.1.2 Tindakan Preventif
Pencegahan yang dilakukan pada awal masalah timbul maupun

saat masalah berlangsung, dengan melakukan deteksi dini (early

diagnosis) dan melakukan tindakan penyembuhan (promp treatment)

seperti deteksi dini adanya gangguan keehatan.


2.2.1.3 Rehabilitatif
Pencegahan yang dilakukan pada saat masalah kesehatan telah

selesai, selain mencegah komplikasi juga meminimalkan keterbatasan

(disability limitation) dan memaksimalkanfungsi melalui rehabilitasi

(rehabilitation).

2.4 Transcultural Nursing (Leininger, 2002)


2.4.1 Definisi
Leininger (2002) mendefinisikan keperawatan transkultural sebagai

area substansi studi dan praktek difokuskan pada perbandingan nilai-nilai

cultural care (caring), keyakinan, dan praktik individu atau kelompok yang

sama atau budaya yang berbeda dengan tujuan menyediakan praktek


27

cultural care yang spesifik dan universal dalam mempromosikan kesehatan

atau kesejahteraan atau untuk membantu orang untuk menghadapi kondisi

yang kurang baik, penyakit, atau kematian dalam budaya yang bermakna.

Teori Leininger mendeskripsikan dengan sunrise model. Sunrise model

dikembangkan untuk memberikan gambaran yang menyeluruh dan

konseptual yang komprehensif sebagai faktor yang penting untuk theory of

cultural care diversity and universality. Model ini adalah panduan visual

yang konseptual yang menggambarkan beberapa faktor yang diduga

mempengaruhi perawatan budaya.


Budaya menurut Leininger (2002), adalah keyakinan dan perilakau

yang diturunkan atau diajarkan manusia kepada generasi berikutnya

merupakan sebuah rencana untuk melakukan kegiatan tertentu. Menurut

pengertian di atas budaya adalah nilai-nilai dan norma yang diyakini

perawat untuk melakukan asuhan keperawatan. Menurut budaya Leininger

(2002) karakteristik budaya dapat digambarkan sebagai berikut : 1) budaya

adalah pengalaman yang bersifat universal sehingga tidak ada dua budaya

yang sama persis, 2) budaya bersifat stabil, tetapi juga dinamis karena

budaya tersebut diturunkan pada generasi berikutnya sehingga mengalami

perubahan, dan 3) budaya diisi dan ditentukan oleh kehidupan manusianya

sendiri tanpa disadari.


Leininger menjelaskan tentang dua jenis budaya yaitu, budaya yang

diturunkan oleh orang tuanya disebut etno caring dan budaya yang

dipelajari melalui kegiatan formal disebut profesional caring. Perawat

sebagai pemberi layanan keperawatan kepada klien yang dirawat memiliki

budaya professional caring, yang dipelajari selama mengikuti pendidikan.


28

Keperawatan professional caring yang dimiliki oleh perawat antara lain

melaksanakan keperawatan dengan pendekatan proses keperawatan. Proses

keperawatan merupakan salah satu bentuk budaya perawat dalam

melakukan asuhan keperawatan kepada klien yang dirawat. Perawat

memiliki budaya etno caring yang diperoleh selama berinteraksi dengan

keluarganya sendiri atau rumpun etniknya.


2.4.2 Komponen Sunrise Model Leininger
1. Transcultural Nursing
Sub bidang atau cabang keperawatan yang berfokus pada studi

komparatif dan analisis budaya yang berkaitan dengan keperawatan dan

praktik caring sehat-sakit, keyakinan, dan nilai-nilai, dengan tujuan untuk

memberikan pelayanan keperawatan yang bermakna dan bermanfaat

kepada klien menurut nilai-nilai budaya dan konteks sehat-sakit yang

dimiliki klien.
2. Ethnonursing
Studi tentang keyakinan asuhan keperawatan, nilai-nilai, dan

praktik yang dirasakan secara kognitif dan diketahui dari desain budaya

berdasarkan pengalaman langsung seorang perawat, keyakinan, dan

system nilai.
3. Nursing
Profesi ilmiah dan disiplin ilmu yang difokuskan pada human care

phenomena dan segala hal yang dilakukan untuk membantu, mendukung,

mamfasilitasi, atau memungkinkan intividu atau kelompok untuk

mempertahanakan kembali kesejahteraan mereka atau kesehatan dalam

budaya yang bermakna dan cara yang bermanfaat, atau untuk membantu

orang-orang yang menghadapi kecacatan atau kematian.


4. Profesional Nursing Care
Asuhan keperawatan professional (caring) sebagai pengetahuan

formal dan kognitif, pengetahuan keperawatan professional dan


29

keterampilan (knowledge and skills) yang diperoleh melalui lembaga

pendidikan yang digunakan untuk menyediakan, mendukung,

memungkinkan, atau tindakan memfasilitasi untuk individu atau

kelompok dalam rangka meningkatkan kondisi kesehatan (atau

kesejahteraan), cacat, lifeway, atau menghadapi klien dengan kondisi

sekarat (dying clients).


5. Cultural Congruent (nursing) care
Cultural Congruent (nursing) care suatu kesadaran untuk

menyesuaikan nilai-nilai budaya atau keyakinan dan cara hidup individu

atau golongan atau institusi dalam upaya memberikan asuhan

keperawatan yang bermanfaat.


6. Health
Keadaan sejahtera yang secara budaya didefinisikan , dihargai, dan

dipraktekkan, dan mencerminkan kemampuan individu atau kelompok

untuk melakukan kegiatan peran sehari-hari mereka dalam

mengekspresikan budaya, keuntungan, dan pola lifeway.


7. Human Being
Manusia diyakini peduli atau mampu untuk peduli terhadap

kebutuhan, kesejahteraan, dan kelangsungan hidup orang lain. Leininger

juga mengindikasikan bahwa keperawatan sebagai ilmu caring harus

berfokus melampaui interaksi perawat-pasien tradisional termasuk

keluarga, kelompok, komunitas, jumlah kebudayaan, dan institusi.


8. Society Environment
Masyarakat atau lingkungan bukanlah istilah yang didefinisikan oleh

Leininger, melainkan ia berbicara tentang pandangan dunia, struktur

social, dan konteks lingkungan.


9. World View
30

Cara bagaimana (pandangan) orang melihat dunia, atau alam siesta,

dan membentuk “gambar atau sikap” tentang dunia dan kehidupan

mereka.
10. Cultural and Social Structure Dimensions
Pengaruh dari faktor-faktor budaya tertentu yang mencakup agama,

kekerabatan (sosial), politik (hukum). Ekonomi, pendidikan, dan

teknologi, nilai-nilai budaya yang saling berhubungan dan berfungsi

untuk mempengaruhi perilsku dalam konteks.


11. Environment Context
Konteks lingkunagn merupakan totalitas dari suatau peristiwa,

situasi, atau pengalaman tertentu yang memberi makna pada ungkapan

manusia, interpretasi, dan interaksi social dalam pengaturan fisik,

ekologis, social politik dan atau budaya tertentu.


12. Culture
Budaya merupakan belajar, berbagi transmisi nilai-nilai,

keyakiinan, norma, dan lifeway dari kelompok tertentu yang memandu

pemikiran mereka, keputusan, dan tindakan dengan cara yang terpola

(khusus).
13. Culture Care
Perawatan budaya sebagai nilai-nilai subyektif dan obyektif

dipelajari dan obyektif dipelajari dan ditularkan, keyakinan, da pola

lideways yang membantu, mendukung, memfasilitasi, atau mengaktifkan

individu atau kelompok lain untuk mempertahankan kesejahteraan,

kesehatan mereka, meningkatkan kondisi dan lifeways mereka, atau

untuk menangani penyakit, cacat atau kematian.


14. Culture Care Diversity
Menunjukkan keragaman dan/atau perbedaan makna, pola, nilai-

nilai, lifeways, atau simbol perawatan dalam atau diantara kolektif yang
31

terkait dengan bantuan, dukungan, atau memungkinkan human care

expressions.
15. Culture Care Universality
Menunjukkan keumuman, kemiripan, atau dominasi keseragaman

makna perawatan (care), pola, nilai-nilai, lifeways atau simbol yang

tampak pada banyak budaya dan mencerminkan membantu, mendukung,

fasilitatif, atau memunginkan cara-cara untuk membantu orang lain.


16. Generik (folk or lay) Care System
Budaya dipelajari dan ditransmisikan, adat (atau tradisional), rakyat

(home based) pengetahuan dan keterampilan yang digunakan untuk

memberikan bantuan, mendukung, memyngkinkan, atau memfasilitasi

orang lain, kelompok, atau institusi dengan kebutuhan nyata untuk

memperbaiki atau meningkatkan cara hidup manusia, kondisi kesehatan

(atau kesejahteraan), atau berurusan dengan cacat dan situasi kematian.


17. Emic
Pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman langsung atau tidak

langsung dari mereka yang telah mengalami. Ini adalah generic atau

pengetahuan rakyat.
18. Professional care system
Sistem perawatan professional sebagai hal yang diajarkan dan

dipelajari secara formal, dan transmisi perawatan professional, kesehatan,

penyakit, keadaan sehat, dan pengetahuan dan praktek keterampilan

terkait yang berlaku di lembaga-lembaga profesional biasanya dengan

bagian-bagian yang multidisiplin untuk melayani konsumen.


19. Etic
Pengetahuan yang menggambarkan prespektif professional,

merupakan pengetahuan perawatan profesional.


20. Ethnohistory
Mencakup fakta-fakta masa lalu, peristiwa, kejadian, pengalaman

individu, kelompok, budaya, dan instruksi yang terutama berpusat pada


32

rakyat (etno) dan yang menguraikan, menjelaskan, dan menafsirkan

lifeways manusia dalam konteks budaya tertentu dan dalam jangka waktu

panjang atau pendek.


21. Care
Fenomena-fenomena abstrak dan konkrit yang berhubungan untuk

membantu, mendukung, atau memungkinkan pengalaman atau perilaku

kea rah atau untuk orang lain dengan kebutuhan nyata atau diantisipasi

untuk memperbaiki atau meningkatkan kondisi manusia atau lifeways.


22. Nursing Decions and Action
a. Cultural care prevesvation
Upaya mempertahankan dan memfasilitasi tindakan professional

untuk mengambil keputusan dalam memelihara dan menjaga nilai-

nilai pada individu atau kelompok sehingga dapat mempertahankan

kesejahteraan.
b. Cultural care accommodation
Teknik negosiasi dalam memfasilitasi kelompok orang dengan

budaya tertentu untuk beradaptasi/berunding terhadap tindakan dan

pengambilan kesehatan.
c. Cultural care accommodation
Menyusun kembali dalam memfasilitasi tindakan dan pengambilan

keputusan professional yang dapat membawa perubahan cara hidup

seseorang.
23. Culture schok
Terjadi bila orang luar mencoba untuk memahami atau beradaptasi

secara efektif dengan kelompok budaya yang berbeda. Orang luar akan

mengalami perasaan tidak nyaman dan ketidakberdayaan dan disorientasi

karena perbedaan dalam nilai-nilai budaya, keyakinan, dan praktik.

Culture schok dapat menyebabkan kemarahan dan dapat dikurangi

dengan mencari pengetahuan tentang budaya sebelum menghadapi

budaya itu.
33

24. Cultural imposition


Pemahaman yang benar pada diri perawat mengenai budaya kilien

baik individu, keluarga, kelompok, masyarakat dapat mencegah

terjadinya culture schock maupun culture imposition sebagai

kecenderungan tenaga kesehatan (perawat), baik secara terang terangan

maupun diam diam memaksakan nilai-nilai budaya, keyakinan dan

kebiasaan atau perilaku yang dimiliki individu, keluarga, kelompok, dan

budaya lain karena keyakinan bahwa budaya lebih tinggi daripada

kelompok lain.

Gambar 2.2 Leninger’s Sunrise Model

Penelitian ini memfokuskan pada penerapan dimensi budaya dan

struktur dengan melihat agama, kekerabatan (sosial), politik (dan hokum),

ekonomi, pendidikan, dan teknologi, nilai-nilai budaya, bagaimana faktor-

faktor ini mungkin saling terkait dan berfungsi untuk mempengaruhi

perilaku manusia dalam konteks lingkungan yang berbeda.


34

Kelebihan teori ini adalah perawat lebih memperhatikan budaya

klien dalam pemberian asuhan keperawatan. Dimensi budaya dilihat

sebagai faktor yang begitu kuat mempengaruhi pelayanan kesehatan dan

keperawatan. Penggunaan teori ini dapat mengatasi hambatan faktor

budaya yang akan berdampak terhadap pasien, staf keperawatan dan

terhadap pusat layanan keperawatan, juga dapat membantu perawat untuk

membuat keputusan yang kompeten dalam memberikan asuhan

keperawatan. Keterbatasan teori ini adalah bersifat sangat luas sehingga

tidak bisa berdiri sendiri dan hanya digunakan sebagai pendamping dari

berbagai macam konseptual model lain. Teori keperawatan transkultural

ini tidak mempunyai intervensi spesifik dalam mengatasi masalah

sehingga perlu dipadukan dengan model teori lainnya.

Untuk pelaksanaan keperawatan keluarga, teori transkultural bisa

dijadikan panduan, dengan alasan perawat keluarga akan lebih mudah

diterima apabila asuhan yang diberikan sesuai dengan budaya keluarga.

Perawat bisa masuk dalam keluarga dengan menyesuaikan dimensi

struktur dan budayanya. Keputusan dan tindakan keperawatan yang akan

diberikan kepada keluarga sebagai klien juga melihat unsure struktur dan

budaya.

2.4.3 Faktor Budaya dan Struktur Sosial Sunrise Model Leininger

1. Kekerabatan

.a Kekerabatan

Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa

keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan.


35

Anggota kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak, menantu, cucu,

kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek dan seterusnya. Dalam kajian

sosiologi-antropologi, ada beberapa macam kelompok kekerabatan

dari yang jumlahnya relatif kecil hingga besar.

Menurut Chony dalam Ali Imron (2005:27) “Sistem

kekerabatan dijelaskan bukan hanya saja karena adanya ikatan

perkawinan atau karena adanya hubungan keluarga, tetapi karena

adanya hubungan darah”. Selain itu Chony juga mengungkapkan

bahwa kunci pokok sistem perkawinan adalah kelompok keturunan

atau linege dan garis keturunan atau descent. Anggota kelompok

keturunan saling berkaitan karena mempunyai nenek moyang yang

sama. Kelompok keturunan ini dapat bersifat patrilineal atau

matrilineal.

Dari beberapa definisi kekerabatan, dapat disimpulkan bahwa

sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam

struktur sosial, yang merupakan sebuah jaringan hubungan kompleks

berdasarkan hubungan darah atau perkawinan. Berdasarkan

hubungan darah dapat diambil pengertian bahwa seseorang

dinyatakan sebagai kerabat bila memiliki pertalian atau ikatan darah

dengan seseorang lainnya.

.2 Kelompok Kekerabatan

Kelompok kekerabatan menurut Ihroni (2006:159) “adalah

yang meliputi orang- orang yang mempunyai kakek bersama, atau

yang percaya bahwa mereka adalah keturunan dari seorang kakek


36

bersama menurut perhitungan garis patrilineal (kebapaan)”. Selain

itu Ihroni juga berpendapat bahwa suatu kelompok adalah kesatuan

individu yang diikat oleh sekurang-kurangnya 6 unsur, yaitu:

)1 Sistem norma-norma yang mengatur tingkah laku warga

kelompok.

)2 Rasa kepribadian kelompok yang disadari semua warganya,

)3 Interaksi yang intensif antar warga kelompok.

)4 Sistem hak dan kewajiban yang mengatur interaksi antarwarga

kelompok.

)5 Pemimpin yang mengatur kegiatan-kegiatan kelompok.

)6 Sistem hak dan kewajiban terhadap harta produktif, harta

konsumtif, atau harta pusaka tertentu.

G.P. Murdock dalam Koentjoroningrat (2005:109)

membedakan 3 kategori kelompok kekerabatan berdasarkan fungsi-

fungsi sosialnya, yaitu:

1) Kelompok kekerabatan berkorporasi, biasanya mempunyai ke-

6 unsur tersebut. Istilah “berkorporasi” umumnya menyangkut

unsur 6 tersebut yaitu adanya hak bersama atas sejumlah harta.

2) Kelompok kekerabatan kadangkala, yang sering kali tidak

memiliki unsur 6 tersebut, terdiri dari banyak anggota,

sehingga interaksi yang terus menerus dan intensif tidak

mungkin lagi, tetapi hanya berkumpul kadang-kadang saja.

3) Kelompok kekerabatan menurut adat, biasanya tidak

memiliki unsur pada yang ke 4,5 dan 6 bahkan 3. Kelompok-


37

kelompok ini bentuknya sudah semakin besar, sehingga

warganya seringkali sudah tidak saling mengenal. Rasa

kepribadian sering kali juga ditentukan oleh tanda-tanda adat

tersebut.

Kelompok-kelompok kekerabatan yang termasuk golongan

pertama adalah kindred dan keluarga luas, sedang golongan kedua

termasuk dame, keluarga ambilineal kecil, keluarga ambilineal besar,

klen kecil, klen besar, frati, dan paroh masyarakat.

1) Kindret yakni, berkumpulnya orang-orang saling membantu

melakukan kegiatan-kegiatan bersama saudara, sepupu, kerabat

isteri, kerabat yang lebih tua dan muda. Di mulai dari seorang

watga yang memprakarsai suatu kegiatan. Dan bisanya

hubungan kekerabatan ini dimanfaatkan untuk memperlancar

bisnis seseorang.

2) Keluarga luas yakni, kekerabatan ini terdiri dari lebih dari satu

keluarga initi. Terutama di daerah pedesaan, warga keluarga luas

umumnya masih tinggal berdekatan, dan seringkali bahkan

masih tinggal bersama-sama dalam satu rumah. Kelompok

kekerabatan berupa keluarga luas biasanya di kepalai oleh

anggota pria yang tertua. Dalam berbagai masyarakat di dunia,

ikatan keluarga luas sedemikian eratnya, sehingga mereka tidak

hanya tinggal bersama dalam suatu rumah besar, tetapi juga

merupakan satu keluarga inti yang besar.

3) Keluarga ambilineal kecil yakni, terjadi apabila suatu keluarga


38

luas membentuk suatu kepribadian yang khas, yang disadari

oleh para warga. Kelompok ambilineal kecil viasanya terdiri

dari 25- 30 jiwa sehingga mereka masih saling mengetahui

hubungan kekerabatan masing-masing.

4) Klen kecil yakni, kelompok kekerabatan yang terdiri dari

beberapa keluarga luas keturunan dari satu leluhur. Ikatan

kekerabatan berdasarkan hubungan melalui garis keturunan pria

saja (patrilineal), atau melalui garis keturunan wanita saja

(matrilineal), jumlah sekitar 50-70 orang biasanya mereka masih

saling mengenal dan bergaul dan biasanya masih tinggal dalam

satu desa.

5) Klen besar yakni, kelompok kekerabatan yang terdiri dari semua

keturunan dari seorang leluhur, yang diperhitungkan dari garis

keturunan pria atau wanita, sosokl leluhur yang menurunkan

para warga klen besar berpuluh-puluh generasi yang lampau iru

sudah tidak jelas lagi dan seringkali sudah di anggap keramat.

Jumlah yang sangat besar menyebabkan mereka sudah tidak

mengenal kerabat-kerabat jauh.

6) Frati yakni, gabungan antara patrilineal maupun matrilineal, dan

dari kelompok klen setempat (bisa klen kecil, tetapi bisa juga

bagian dari klen besar). Namun penggabungannya tidak merata.

.b Sikap dan Peran Kekerabatan Keluarga

Venny; dkk (2018) menjelaskan pola asuh merupakan sikap

dan peran keluarga dalam praktik pengasuhan yang dilakukan di


39

dalam rumah tangga dan diwujudkan dengan tersedianya pangan

dan perawatan kesehatan serta sumber lainnya untuk kelangsungan

hidup, pertumbuhan, dan perkembangan anak. Pola asuh memiliki

peran dalam kejadian stunting pada balita karena asupan makanan

pada balita sepenuhnya diatur oleh keluarga terutama ibunya. Ibu

dengan pola asuh baik akan cenderung memiliki balita dengan

status gizi yang lebih baik daripada ibu yang memiliki pola asuh

yang kurang baik.

Pola asuh merupakan salah satu faktor tidak langsung yang

berhubungan dengan status gizi anak termasik stunting. Pola asuh

memiliki peranan penting dalam pertumbuhan anak yang optimal.

Kualitas dan kuantitas asupan gizi pada makanan anak perlu

mendapat perhatian, hal ini diperlukan karena makanan yang

diberikan ibu dan keluarga kepada anaknya sering rendah akan zat

gizi yang dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan. Hal ini

menunjukkan bahwa untuk mendukung asupan gizi yang baik perlu

ditunjang oleh kemampuan ibu serta keluarga dalam memberikan

pengasuhan yang baik bagi anak dalam hal praktik pemberian

makan, praktik kebersihan diri dan lingkungan maupun praktik

pencarian pengobatan (Venny; dkk., 2018).

2. Ekonomi Keluarga

a) Pengertian Ekonomi Keluarga

Ekonomi keluarga adalah tingkat penghasilan atau pendapatan

sebagai jumlah barang dan jasa yang dihasilkan oleh keluarga yang
40

dinilai dengan uang sebagai balas jasa dari kegiatan ekonominya

yang dapat berupa upah atau gaji, bunga, modal, sewa dan laba atau

keuntungan (Surajima 2009).

Menurut Ahmadi (1999) dalam (Khopsoh, 2016) golongan

sosial ekonomi keluarga dan masyarakat suatu Negara dibedakan

menjadi 3 (tiga), yaitu:

1) Golongan sosial ekonomi tinggi


2) Golongan sosial ekonomi menengah
3) Golongan sosial ekonomi rendah

b) Fungsi Ekonomi Keluarga

Ekonomi keluarga memegang peranan penting dalam hidup dan

kehidupan. Fungsi ekonomi dalam kehidupan keluarga menurut

Siswoyo (2006) adalah untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota

keluarga dan mempertahankan kelangsungan hidupnya. Pendapat

yang sama juga dikemukakan oleh Hellen (2005), bahwa pentingnya

ekonomi dalam kehidupan keluarga adalah untuk mewujudkan

kehidupan bahagia dan sejahtera dengan terpenuhinya semua

kebutuhan keluarga.

c) Indikator Sumber Ekonomi Keluarga

)1 Pendapatan

Sumardi (2008) mendefinisikan pendapatan berdasarkan

kamus ekonomi adalah uang yang diterima seseorang dalam

bentuk gaji, upah sewa, bunga, laba dan lain sebagainya.

Berdasarkan penggolongan BPS (Badan Pusat Statistik )

membedakan pendapatan penduduk menjadi 4 golongan yaitu:


41

(a) Golongan pendapatan sangat tinggi adalah jika pendapatan

rata-rata lebih dari Rp 3.500.000 per bulan.


(b) Golongan pendapatan tinggi adalah jika pendapatan rata-rata

antara Rp 2.500.000 s/d 3.500.000 per bulan.


(c) Golongan pendapatan sedang adalah jika pendapatan rata-rata

dibawah antara Rp 1.500.000 s/d 2.500.000 per bulan.


(d) Golongan pendapatan rendah adalah jika pendapatan rata-rata

Rp 1.500.000 per bulan.


)2 Pekerjaan
Jenis pekerjaan seseorang akan menentukan tingkat

penghasilan, status sosial ekonomi seseorang dan mempengaruhi

waktu luang seseorang. Pekerjaan adalah sesuatu yang dikerjakan

untuk mendapatkan nafkah atau pencaharian Poerwadarminta

(2003) dalam Khopsoh (2016). Hal ini berakiatan dengan tingkat

pendapatan seseorang.
Menurut ISCO (International Standart Clasification of

Oecupation) pekerjaan diklasifikasikan (Khopsoh, 2016):


(a) Pekerjaan yang berstatus tinggi, yaitu tenaga ahli teknik dan

ahli jenis, pemimpin ketatalaksanaan dalam suatu instansi baik

pemerintah maupun swasta, tenaga administrasi tata usaha.


(b) Pekerjaan yang berstatus sedang, yaitu pekerjaan di bidang

penjualan dan jasa.


(c) Pekerjaan yang berstatus rendah, yaitu petani/buruh tani ,

buruh kerja dan operator alat angkut/bengkel.


3. Pendidikan
.a Konsep pendidkan kesehatan
Pendidikan adalah suatu usaha yang atau kegiatan untuk

membantu individu, keluarga masyarakat dalam meningkatkan

kemampuannya untuk mencapai kesehatan yang optimal

(Notoatmodjo, 2012). Faktor ini sangat berpengaruh bagi keinginan


42

dan kemampuan keluarga untuk memahami. Keluarga dengan

pendidikan tinggi memiliki akses informasi yang lebih luas dan

banyak. Keluarga dengan pendidikan rendah, cenderung memiliki

pengetahuan dan informasi terbatas (Astuti dan Elfi, 2013). Keluarga

yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi lebih berorientasi pada

tindakan preventif, mengetahui lebih banyak tentang masalah

kesehatan dan memiliki status kesehatan yang lebih baik sehingga

keluarga dapat menjalankan perannya dalam pencegahan stunting

(Sukut, et al, 2015) dalam (Komariyah, 2017).


Tingkat pendidikan adalah tinggi rendahnya ketercapaian

seseorang dalam proses pembelajaran dalam lembaga pendidikan

formal SD, SLTP, SMA, Akademi, dan PT. Tingkat pendidikan

menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 (Depdiknas, 2003)

dalam (Khopsoh, 2016). adalah;


1) Pendidikan dasar/rendah (Tidak sekolah, SD-SMP/MTs)
2) Pendidikan menengah (SMK/SMA)
3) Pendidikan tinggi (Diploma-Strata)

.b Tujuan pendidikan kesehatan

Secara umum tujuan pendidikan kesehatan adalah mengubah

perilaku individu dan masyarakat di bidang kesehatan yang paling

pokok adalah tercapainya perubahan perilaku, dan masyarakat dalam

memelihara perilaku sehat serta berperan aktif dalam mewujudkan

derajat kesehatan yang optimal. Banyak faktor yang perlu

diperhatikan dalam keberhasilan pendidikan kesehatan antara lain

tingkat pendidikan, tingkat sosial-ekonomi, adat istiadat,


43

kepercayaan masyarakat, dan ketersediaan waktu dari masyarakat

(Notoadmodjo, 2012).

.c Sasaran Pendidikan Kesehatan

Berdasarkan pertahapan upaya promosi kesehatan ini, maka

sasaran dibagi dalam 3 (tiga) kelompok sasaran yaitu sebagai

berikut:

1) Sasaran Primer (primary target)


Masyarakat pada umumnya menjadi sasaran langsung

segala upaya pendidikan atau promosi kesehatan. Sesuai dengan

sasaran permasalahan kesehatan, maka sasaran ini dapat

dikelompokkan menjadi, kepala keluarga untuk masalah kesehata

umum, ibu hamil dan menyusui untuk masalah KIA (Kesehatan

Ibu dan Anak), anak sekolah untuk kesehatan remaja dan

sebagainya. Upaya promosi yang dilakukan terhadap sasaran

primer ini sejalan dengan strategi pemberdayaan masyarakat

(Empowermant).
2) Sasaran Sekunder (secondary target)
Para tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, dan

sebagainya. Disebut sasaran sekunder dengan memberikan

pendidikan kesehatan kepada masyarakat sekitarnya. Disamping

itu dengan perilaku sehat para tokoh masyarakat sebagai hasil

pendidikan kesehatan diterima, maka para tokoh masyarakat ini

akan memberikan contoh atau acuan perilaku sehat bagi

masyarakat sekitarnya. Upaya promosi kesehatan yang

ditunjukkan kepada sasaran sekunder ini adalah sejalan dengan

strategi dukungan social (social support).


44

3) Sasaran Tersier (Tertiarity Target)


Pada pembuatan keputusan atau penentu kebijakan baik

ditingkat pusat, maupun daerah adalah tersier pendidikan

kesehatan dengan kebijakan-kebijakan atau keputusan yang

dikeluarkan oleh kelompok ini akan mempunyai dampak terhadap

perilaku atau tokoh masyarakat (sasaran sekunder), dan juga

kepada masyarakat umum (sasaran primer). Upaya promosi

kesehatan yang ditunjukkan kepada sasaran tersier ini sejalan

dengan strategi advokasi (advocacy) (Notoadmodjo, 2012).

4. Nilai budaya

Nilai adalah konsepsi-konsepsi abstrak didalam diri manusia,

mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Nilai-

nilai budaya adalah sesuatu yang dirumuskan dan ditetapkan oleh

penganut budaya yang baik atau buruk (Soekanto, 1983). Norma adalah

aturan sosial atau patokan perilaku yang dianggap pantas. Norma-

norma budaya adalah suatu kaidah yang memiliki sifat penerapan

terbatas pada penganut budaya terkait (Sudiharto, 2007).

a. Tradisi Nutrisi

Budaya merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi sikap

ibu dalam menjalani masa kehamilannya, menjalani proses

persalinan, serta dalam pengasuhan balita. Budaya, tradisi atau

kebiasaan yang ada dalam masyarakat seperti pantangan makan, dan

pola makan yang salah dapat mengakibatkan munculnya masalah

gizi terutama bagi balita. Hal ini dapat berdampak terhadap


45

pertumbuhan dan perkembangan balita (Adriani & Wirjadmadi,

2013).

Penelitian Rizki, K, I. & Lailatul, M., (2018) menjelaskan

budaya yang dimiliki oleh Indonesia sangat kaya dan beragam.

Madura merupakan salah satu suku yang kaya akan budaya. Hasil

studi pendahuluan dan data Kemenkes (2012) menunjukkan bahwa

terdapat beerapa budaya pda etnik Madura yang berhunbungan

dengan kesehatan ibu dan anak. Budaya ini meliputi sosio budaya

gizi ibu saat hamil dan persalinan, saat menyusui, dan masa balita.

Sosio budaya gizi saat hamil misalnya beberapa pantangan makan

bagi ibu hamil. Ibu hamil dilarang makan cumi-cumi, daging

kambing, buah nanas, nangka, durian, serta cabai. Pantangan makan

cumi-cumi dipercaya dengan alasan bayi akan sulit dilahirkan karena

akan keluar masuk seperti cumi-cumi. Sosio budaya gizi saat

menyusui misalnya praktik membuang kolostrum arena diangga

kotor, dan sosio budaya gizi masa balita seperti pemberian makanan

pendampung ASI dini (sebelum usia 6 bulan).

Pamberian makanan prelakteal dikategorikan menjadi dua : 1)

diberikan makanan prelakteal jika riwayat anak diberikan makanan

(pisang kerok, madu, air tajin, dan susu formula) sebelum ASI

keluar. 2) dan tidak diberikan makanan prelakteal jika riwayat anak

tidak diberikan makanan (pisang kerok, madu, air tajin, dan susu

formula) sebelum ASI keluar. Pemberian makanan papahan

dikategorikan menjadi dua, yaitu : 1) diberikan makanan papahan


46

jika riwayat anak diberikan makanan yang dikunyah oleh ibu atau

orang yang mengasuh anak sebelum disapih kepada anak, 2) dan

tidak diberikan makanan papahan jika riwayat anak tidak diberikan

makanan yang dikunyah oleh ibu atau orang yang mengasuh anak

sebelum disapih kepada anak (Mega Sara; dkk, 2016).

b. Pola Makan Anak

Pola pemberian makan oleh orang tua yang tergolong buru

dikarenakan banyak orang tua yang tidak memberikan ASI secara

eklusif, kalaupun ada yang memberikan ASI namun ditambah

dengan jenis makanan atau minuman yang lain mulai dari bayi

beusia kurang dari 6 bulan. Makanan anak 0-6 bulan adalah ASI saja.

Saat berumur 6-9 bulan anak diberi ASI ditambah dengan buah yang

dilumatkan 1-2 kali atau dapat pula diberikan makanan lunak 1 kali

dan makanan lembek 2 kali. Umur 9-12 bulan anak tetap diberi ASI

dan ditambah buah 1-2 kali dan makanan lembek 3 kali. Pada anak

usia lebih 1 tahun masih tetap diberi ASI ditambah buah 1-2 kali,

makanan pokok serta lauk pauk 4 kali atau lebih (Ayu, 2008).

2.5 Pemberdayaan Keluarga (Family Empowerment)


2.5.1 Definisi
Gibson mendefinisikan Pemberdayaan sebagai proses sosial,

mengenali, mempromosikan dan meningkatkan kemampuan orang untuk

menemukan kebutuhan mereka sendiri, memecahkan masalah mereka

sendiri dan memobilisasi sumber daya yang diperlukan untuk

mengendalikan hidup mereka (Graves,2007).


47

Pemberdayaan Keluarga adalah mekanisme yang memungkinkan

terjadinya perubahan kemampuan keluarga sebagai dampak positif dari

intervensi keperawatan yang berpusat pada keluarga dan tindakan promosi

kesehatan serta kesesuaian budaya yang mempengaruhi tindakan

pengobatan dan perkembangan keluarga (Graves, 2007).


Konsep Pemberdayaan Keluarga memiliki tiga komponen utama.

Pertama, bahwa semua keluarga telah memiliki kekuatan dan mampu

membangun kekuatan itu. Kedua, kesulitan keluarga dalam memenuhi

kebutuhan mereka bukan karena ketidakmampuan untuk melakukannya,

melainkan sistem pendukung sosial keluarga tidak memberikan peluang

keluarga untuk mencapainya. Ketiga, dalam upaya pemberdayaan keluarga,

anggota keluarga berupaya menerapkan keterampilan dan kompetensi dalam

rangka terjadinya perubahan dalam keluarga (Graves,2007).

2.5.2 Tujuan Pemberdayaan Keluarga

Tujuan Pemberdayaan Keluarga dijelaskan berdasarkan pengertian

pemberdayaan keluarga, memiliki dimensi yang luas. (Sunarti, 2008)

menjelaskan tentang tujuan pemberdayaan keluarga sebagai berikut :

a. Membantu keluarga untuk menerima, melewati dan mempermudah

proses perubahan yang akan ditemui dan dijalani oleh keluarga.

b. Membangun daya tahan daya adaptasi yang tinggi terhadap perubahan

agar mampu menjalani hidup dengan sukses tanpa kesulitan dan

hambatan yang berarti.

c. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan hidup seluruh anggota

keluarga sepanjang tahap perkembangan keluarga dan siklus hidupnya.


48

d. Menggali kapasitas atau potensi tersembunyi anggota keluarga yang

berupa kepribadian, keterampilan manajerial dan keterampilan

kepemimpinan.

e. Membina dan mendampingi proses perubahan sampai pada tahap

kemandirian dan tahapan tujuan yang dapat diterima.

2.5.3 Pemberdayaan Sebagai Intervensi Keperawatan

Dunst, Trivette (1988), mengusulkan pemberdayaan keluarga

sebagai intervensi keperawatan dengan menyajikan model intervensi

berdasarkan tiga komponen utama pemberdayaan yang berasal dari

pengamatan ilmiah dan sintesa lieratur. Komponen pertama adalah

ideologi pemberdayaan, yang menjelaskan bahwa semua individu dan

keluarga menyakini memiliki kekuatan dan kemampuan serta kapasitas

untuk menjadi kompeten. Komponen kedua, partisipasi pengalaman,

merupakan proses membangun kekuatan dari kelemahan yang ada secara

benar, komponen ini merupakan bagian dari model intervensi keluarga.

Komponen ketiga, hasil pemberdayaan, kompenen ini terdiri dari perilaku

yang diperkuat atau dipelajari, penilaian terhadap peningkatan pengawasan

misal ; konsep diri dan motivasi instrinsik.

Intervensi Pemberdayaan Keluarga menurut Dunst et al’s.(1988)

yang diadaptasi oleh Nissim dan Sten (1991):

1. Membangun Kepercayaan dengan membentuk hubungan dengan

keluarga, membangun komunikasi empatik dan mendengarkan serta

menerima seluruh anggota keluarga.


49

2. Membangun hubungan langsung dengan anggota keluarga yang

menderita sakit (Penderita/klien)

3. Prioritaskan kebutuhan keluarga yang dirasakan oleh keluarga untuk

segera ditangani terlebih dahulu

4. Membantu keluarga menentukan praktek perawatan keluarga dengan

memperhatikan praktek perawatan yang telah dilakukan keluarga dan

kebutuhan akan pendidikan kesehatan.

5. Menyediakan informasi yang akurat dan lengkap mengenai kondisi

klien atau penderita menyangkut gejala, kontrol, dan masa depan

implikasi kondisi kronis.

6. Membantu keluarga dalam menetapkan tujuan yang realistic.

7. Membimbing Keluarga dalam menilai dukungan internal keluarga dan

sumber daya dalam memobilisasi untuk memenuhi kebutuhan

pertolongan yang dirasakan keluarga.

8. Membimbing keluarga dalam menilai kekuatan keluarga dan

memobilisasinya untuk memecahkan masalah.

9. Memperkuat kemampuan keluarga untuk mengidentifikasi beberapa

alternatif pilihan keperawatan.

10. Mendiskusikan dengan keluarga mendapatkan pelayanan dan

perawatan dari fasilitas-fasiltas kesehatan yang tersedia.

11. Berikan penilaian yang tepat (reinforcemet positif) terhadap

kemampuan dan keterampilan merawat anggota keluarga yang sakit.


50

12. Perawat dapat melakukan promosi perawatan diri pada keluarga

melalui pendidikan, negosiasi dan melakukan evaluasi pemberdayaan

keluarga.

2.5.4 Pengaruh Pemberdayaan Keluarga Sebagai Intervensi Keperawatan

Keluarga

Masalah kesehatan yang dialami oleh sesorang tidak dapat dilihat

pada prespektif individu sebagai anggota keluarga, dikarenakan individu

hidup dalam konteks keluarganya. Dimensi keluarga sebagai konteks

individu diartikan bahwa masalah yang terjadi pada anggota akan dapat

diatasi dengan meningkatkan keamampuan dan kemandirian keluarga

menghadapi masalah tersebut. Keluarga dengan masalah anggota keluarga

yang mengalami sakit atau penyakit sering menjadikan keluarga tidak

mampu memenuhi kebutuhan perawatan kesehatan atau dengan istilah lain

mengalami ketidakberdayaan yang berakibat semakin memburuknya

kondisi kesehatan anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan.

Dibutuhkan intervensi keperawatan keluarga untuk mengatasi

masalah ketidakberdayaan keluarga. Intervensi ini ditunjukkan pada

peningkatan kemampuan keluarga dalam bidang kesehatan antara lain;

kemampuan keluarga mengenal masalah kesehatan yang dihadapi,

mengambil keputusan yang tepat untuk mengatasi masalah kesehatan dan

kemampuan merawat anggota keluarga yang sakit. Intervensi

pemberdayaan keluarga didasarkan pada keyakinan bahwa setiap keluarga

memiliki potensi dan kemampuan untuk berkembang dan menjadi lebih

mandiri (Iwan Ardian, 2014). Keluarga membutuhkan strategi keterlibatan


51

untuk merekrut dan mempertahankan keluarga berisiko tinggi dalam

intervensi pencegahan masalah kesehatan. Keluarga memiliki kesiapan

sumberdaya dan kemampuan serta kemauan untuk mencegah dan

mengatasi masalah-masalah kesehatan secara mandiri (Fitriah, 2016).

2.5.5 Prinsip Pemberdayaan Keluarga

Pelaksanaan intervensi keperawatan pemberdayaan keluarga

diawal paradigma ini dikenalkan, memandang keluarga untuk dapat

berperilaku dan mampu merawat anggota keluarga yang sakit di dikte atau

diarahkan sepenuhnya oleh tenaga kesehatan. Menggambarkan pendekatan

yang dikategorikan sebagai pendekatan tradisional, transisi, dan non-

tradisional. Dalam pendekatan tradisional, dasar keyakinan yang

digunakan adalah bahwa penyakit yang diderita anggota keluarga hanya

dapat diatasi oleh perawat saja. Sedangkan pendekatan non-tradisional,

berkeyakinan bahwa penyakit yang diderita anggota keluarga dipengaruhi

oleh banyak faktor dan dapat diselesaikan tidak hanya oleh intervensi

keperawatan (Robinson (1994).

Pemberdayaan keluarga harus dilaksanakan dengan

mempertimbangkan hasil positif yang hendak dicapai oleh keluarga,

sehingga perlu memperhatikan prinsip-prinsip pemberdayaan keluarga

sebagai berikut :

1) Pemberdayaan keluarga hendaknya tidak memberikan bantuan atau

pendampingan yang bersifat Charity yang akan menjadikan

ketergantungan dan melemahkan, melainkan bantuan, pendampingan,


52

dan atau pelatihan yang mempromosikanm Self reliance dan

meinigkatakan kapasitas keluarga.

2) Menggunakan metode pemberdayaan yang menjadikan keluarga

menjadi lebih kuat (koping yang tepat), melalui pelatihan terhadap daya

tahan dan adaya juang menghadapi masalah (stressor).

3) Meningkatkan partisipasi yang menjadikan keluarga meningkat

kapasitasnya dan mampu mengambil kontrol penuh, pengambilan

keputusan penuh, dan tanggungjawab penuh untuk melakukan kegiatan.

2.5.6 Ruang Lingkup Pemberdayaan Keluarga

Pemberdayaan Keluarga mencakup dimensi yang luas dari

kebutuhan keluarga yang bersifat biopsikososiokultural dan spiritual.

Munurut Sunarti (2008) menjelaskan bahwa runag lingkup pemberdayaan

keluarga meliputi aspek-aspek :

1) Ketahanan Keluarga

Peningkatan ketahanan keluarga meliputi ketahanan fisik,sosial,

dan ketahanan psikologis keluarga. Ketahanan keluarga merupakan

konsep luas kehidupan keluarga yang meliputi konsep berfungsinya

keluarga, pengeloaan stress keluarga, kelentingan keluarga dan tahap

perkembangan keluarga.

2) Fungsi, Peran dan Tugas Keluarga

Peningkatan kapasitas dan potensi keluarga dalam memenuhi

fungsi kesehatan dan perawatan kesehatan keluarga, melaksakana peran

keluarga baik peran formal maupun informal, serta mampu


53

melaksanakan tugas kesehatan keluarga sesuai tahap perkembangan

keluarga.

3) Sumber Daya Keluarga

Rice dan Tucker 1987 dalam Sunarti 2007, mengelompokan

sumber daya keluarga dalam tiga kelompok yaitu : sumber daya

manusia, meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotor, serta sumber

daya waktu. Sumber daya ekonomi seperti pendapatan, kesehatan,

keuntungan pekerjaan dan kredit. Sumber daya lingkungan meliputi

lingkungan sosial, serta lembaga politik.

4) Pengeloaan Masalah dan Stress Keluarga

Kemampuan keluarga dalam menghadapi stressor (penyebab

stress) yang berpotensi menyebabkan stress dan krisis, termasuk

dalam hal ini adalah kemampuan keluarga menggunakan mekanisme

koping. Pemberdayaan keluarga diarahkan meningkatkan tipologi

efektif, meningkatkan kemampuan memperbanyak alternatif pilihan

stragi dan mekanisme koping dalam keluarga dalam menghadapi krisis

keluarga.

5) Interaksi dan Komunikasi Keluarga

Beberapa pendekatan dapat digunakan untuk menjelaskan interaksi

dan komunikasi keluarga, seperti pendekatan sistem yang meliputi

interaksi antara suami dan istri, interaksi antara orang tua dan anak,

interaksi antara saudara kandung. Pola komunikasi yang tidak

fungsional dalam keluarga dapat terjadi karena : adanya pesan yang


54

tidak jelas atau pesan ganda, stereotipe, yaitu pemberian nilai pada

anggota keluarga yang lain untuk menghindari konflik.

6) Tipologi Keluarga

Mc Cubbin dan Thompson (1987), mengidentifikasi keluarga

kedalam empat dimensi, yaitu ; Family Regenerative (kemampuan

keluarga tumbuh kembang), Family Resilient (Kelentingan keluarga),

Rhytmic Family (Kebersamaan keluarga), dan Tradisionalistic

Family(tradisi keluarga).

7) Kelentingan Keluarga (Family resillience)

Kelentingan Keluarga didefinisikan sebagai kemampuan keluarga

untuk merespon secara positif terhadap situasi yang menyengsasrakan

atau merusak kehidupan keluarga, sehingga memunculkan perasaan

kuat, tahan dan lebih berdaya, lebih percaya diri dibanding situasi

sebelumnya (Simon, Murphy, Smith; 2005 dalam Sunarti,2007).

8) Tahap Perkembangan Keluarga

Dalam siklus kehidupan keluarga terdapat tahap-tahap yang dapat

diprediksi. Formulasi tahap-tahap perkembangan keluarga yang paling

banyak digunakan untuk keluarga inti dengan dua orang tua adalah

delapan tahap siklus kehidupan keluarga yaitu ; Keluarga pemula,

keluarga sedang mengasuh anak, keluarga dengan anak prasekolah,

keluarga dengan anak sekolah, keluarga dengan anak remaja, keluarga

dengan melepas anak dewasa muda, keluarga dengan orang tua


55

pertengahan dan keluarga dalam masa pensiun atau lansia

(Sunarti,2008).

.3 Konsep Stunting

2.5.7 Definisi
Sunting atau pendek merupakan kondisi gagal tumbuh pada bayi (0-11

bulan) dan anak balita (12-59 bulan) akibat dari kekurangan gizi kronis

terutama dalam 1000 Hari Pertama Kehidupan sehingga anak terlalu pendek

untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan

pada masa awal setelah bayi lahir, tetapi kondisi stunting baru nampak

setelah anak berusia 2 tahun.


Balita dikatakan pendek jika nilai Z-Score-nya panjang badan menurut

umur (PB/U) atau tinggi badan menurut umur (TB/U) -2SD/strandart

deviasi (Stunted) dan kurang dari -3SD (severelly stunted) (Persagi, 2018).
2.5.8 Etiologi
Menurut Kementerian Desa, 2017 penyebab stunting yaitu:
a. Faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita.
b. Kurangnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan

pada masa kehamilan serta setelah ibu melahirkan.


c. Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC-Antenatal

Care (pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan). Post

Natal Care dan pembelajaran dini yang berkualitas.


d. Masih kurangnya akses makanan bergizi, hal ini dikarenakan harga

makanan bergizi di Indonesia masih tergolong mahal.


e. Kurangnya akses air bersih dan sanitasi.
2.5.9 Ciri Stunting Anak
Menurut (Kementerian Desa, 2017) ciri-ciri stunting anak yaitu:
a. Pertumbuhan gigi lambat.
b. Wajah tampak lebih muda dari usianya.
c. Pertumbuhan melambat.
d. Performa buruk pada tes perhatian dan memori belajar.
e. Tanda pubertas terlambat.
56

f. Usia 8-10 tahun anak menjadi lebih pendiam, tidak banyak melakukan

eye contact.
2.5.10 Dampak Buruk Stunting Anak (Kementerian Desa, 2017)
Dampak buruk stunting anak yaitu:
a. Mudah sakit.
b. Kemampuan kognitif berkurang.
c. Saat tua beresiko terkena penyakit berhubungan dengan pola makan.
d. Fungsi-fungsi tubuh tidak seimbang.
e. Mengakibatkan kerugian ekonomi.
f. Postur tubuh tak maksimal saat dewasa.

Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh stunting :

.a Jangka pendek adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan,

gangguan pertumbuhan fisik dan gangguan metabolism dalam tubuh.


.b Dalam jangka panjang akibat buruk yang dapat ditimbulkan adalah

menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya

kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan resiko tinggi untuk

menculnya penyakit diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan

pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua.


Semua itu akan menurunkan kualitas sumber daya manusia

Indonesia, produktifitas dan daya saing bangsa (Kementerian Desa, Buku

Saku Desa 2017).


2.5.11 Pencegahan Stunting
Penanganan stunting dilakukan melalui intervensi gizi spesifik

yang ditunjukkan dalam 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Intervensi

gizi spesifik untuk mengatasi permasalahan gizi pada ibu hamil, ibu

menyusui 0-6 bulan, ibu menyusui 7-23 bulan, anak usia 0-6 bulan, dan

anak usia 7-23 bulan. Permasalahan gizi ini bisa diatasi ketika mereka

memahami masalahnya dan mengetahui cara mengatasinya sesuai dengan

kondisi masing-masing (Kementerian Desa, Buku Saku Desa 2017).


Pemberian konseling gizi kepada individu dan keluarga dapat

membantu untuk mengenali masalah kesehatan terkait gizi, memahami


57

penyebab terjadinya masalah gizi, dan membantu individu serta keluarga

memecahkan masalahnya sehingga terjadi perubahan perilaku untuk dapat

menerapkan perubahan perilaku makan yang disepakati bersama (Persagi,

2018).
Menurut buku saku desa (2017) stunting bisa diintervensi dengan

10 cara anatara lain :


a. Ibu hamil mendapat tablet tambah darah, minimal 90 tablet selama

kehamilan.
b. Pemberian makanan tambahan ibu hamil.
c. Pemenuhan gizi.
d. Persalinan dengan dokter atau bidan ahli.
e. IMD (Inisiasi Menyusui Dini).
f. Berikan ASI Eklusif pada bayi hingga umur 6 bulan.
g. Berikan makanan pendamping ASI untuk bayi diatas usia 6 bulan

hingga 2 tahun.
h. Berikan imunisasi dasar lengkap dan vitamin A.
i. Pantau pertumbuhan balita di posyandu terdekat.
j. Lakukan perilaku hidup bersih dan sehat.

.4 Konsep Pencegahan Penyakit

2.7.1. Model Public Health

Pelayanan kesehatan yang diukur sehubungan dengan teori ini adalah

public health model dari Gerald Caplan (2001). Model ini menyebutkan

tentang tiga tingkat pencegahan dalam pelayanan kesehatan di masyarakat.

Pencegahan yang disebutkan dalam model ini meliputi pencegahan primer,

sekunder dan tersier. Ketiga tingkat pencegahan ini mempunyai tujuan yang

berbeda-beda. Pencegahan primer bertujuan mengintervensi potensial

masalah kesehatan melalui promosi kesehatan dan perlindungan khusus.

Alat utama untuk pencegahan primer adalah pendidikan dan perubahan

sosial. Pemanfatan agen-agen di masyarakat yang menjaga sebagai control


58

sosial. Membekali diri dengan sumber-sumber diri dan lingkungan terutama

strategi koping. Pencegahan sekunder bertujuan mengintervensi masalah

kesehatan aktual melalui diagnosis dini dan terapi tepat waktu. Pencegahan

tersier bertujuan mengintervensi leterbatadan dan ketidakmampuan akibat

penyakit kronis dan rehabilitasi, melalui rehabilitasi keterbatasan dan

mencegah komplikasi.

Pelayanan pencegahan ini ditunjukkan pada individu, keluarga,

kelompok, sekolah dan komunitas. Khusus untuk pelayanan pencegahan

tingkat primer, intervensinya dapat dilakukan oleh profesi keperawatan,

yang jumlah tenaganya paling banyak pada unit pelayanan kesehatan

masyarakat.

Tabel 2.1 Level prevention menurut model public health

Primary Prevention

(By intervening potential health problem melalui

promosi kesehatan dan perlindungan khusus


Secondary Prevention

(By intervening aktual health


PREVENTIVE
problem : diagnosis dini dan
MEASURES
pengobatan tepat waktu)
Tertiary Prevention

(By intervening limit disability by chronic illness

and rehabilitation : rehabilitasi keterbatasan dan

ketidakmampuan dan mencegah komplikasi)


Sumber : Neeraja, KP. 2009, hlm, 95
Kelebihan teori ini sangat jelas manfaat pemberian promosi kepada

keluarga, terutama untuk kegiatan mempertahankan kesehatan keluarga


59

melalui program pencegahan sebagai intervensi. Kelemahan teori ini belum

melihat program pencegahan dalam keluarga dengan melihat keluatan dan

potensi yang dimiliki. Kesimpulan model ini cukup memungkinkan

diaplikasikan dengan menggabungkan dengan beberapa teori untuk

diberikan kepada keluarga dalam meningkatkan kesehatan anggota keluarga.

2.7.2 Tingkat Pencegahan

Pencegahan penyakit mengkhususkan pada masalah kesehatan atau

penyakit dan termasuk “menghindari” perilaku berisiko serta tindakan

pencegahan atau perlindungan yang spesifik seperti imunisasi (Friedman,

et,al,. 2010).

3 Tingkat Pencegahan Penyakit (3 Level of Disease Prevention)

menurut Syafrudin (2015):

a. Pencegahan tingkat pertama (primary prevention)

Promosi kesehatan dan tindakan pencegahan yang dilakukan untuk

mempertahankan kondisi sehat lebih lama dan mencegah datangnya

suatu penyakit. Tujuan pencegahan primer adalah mencegah awitan suatu

penyakit atau cedera selama masa prapatogenesis (sebelum proses suatu

penyakit dimulai). Contoh lain adalah penggunaan imunisasi terhadap

penyakit tertentu, pratik higiene personal, misalnya, mencuci tangan,

penggunaan sarung tangan, dan klorisasi persediaan air masyarakat.

b. Pencegahan tingkat kedua (secondary prevention)

Diagnosis dini dan pengobatan yang tepat. Ketika sakit atau

adanya gejala penyakit, diperlukan tindakan pencegahan agar penyakit

tidak bertambah parah atau menahun (chronic state) dan mencegah


60

komplikasi. Salah satu tindakan pencegahan sekunder yang paling

penting adalah skrining kesehatan. Tujuan skrining ini bukan untuk

mencegah terjadinya penyakit tetapi lebih untuk mendeteksi

keberadaannya selama masa patogenesis awal, sehingga intervensi

(pengobatan) dini dan pembatasan disabilitas dapat dilakukan.

c. Pencegahan tingkat ketiga (tertiary prevention)

Fase pemulihan kondisi sakit dengan tujuan mengurangi dampak

komplikasi penyakit yang diderita dengan cara memperbaiki kualitas

aktivitas kesehatan dan keseharian (pengembalian kondisi fisik/medis,

mental/psikologis dan sosial) bertujuan mencegah berkembangnya

penyakit ke tingkat yang lebih tinggi.

Kesimpulannya pencegahan adalah tindakan promosi kesehatan

yang dilakukan sebelum, saat, atau setelah sakit untuk mencegah suatu

penyakit menjadi lebih parah.

2.7.3. Pencegahan Penyakit dalam Keluarga

Pencegahan primer, selain promosi kesehatan, melibatkan

pemeliharaan dan perbaikan tingkat ketahanan individu dan keluarga

terhadap penyakit tertentu. Hal ini dicapai dengan dijalankannya tindakan

pencegahan khusus. Metode penaksiran dan penurunan risiko juga termasuk

cara untuk menurunkan kemungkinan seorang klien menderita sakit atau

penyakit tertentu (Friedman, 2010).

a. Tindakan pencegahan spesifik

Peningkatan ketahanan terhadap kekuatan sosial, emosional,

biologis yang memicu penyakit adalah tujuan dari pencegahan primer.


61

Gaya hidup yang sehat harus dapat meningkatkan ketahanan ini. Akan

tetapi, pencegahan penyakit juga dibutuhkan. Pencegahan mencakup

serangkaian tindakan pertahanan yang mengatasi kondisi sakit tertentu

atau gejala sisanya. Tindakan pencegahan spesifik adalah bagian dari

pencegahan penyakit. Contoh dari tindakan pencegahan spesifik adalah

imunisasi.

b. Penaksiran/penurunan risiko

Risiko menyiratkan bahwa peluang konsekuensi merugikan,

meningkat dengan adanya satu atau lebih karakteristik atau faktor.

Beberapa studi epidemiologis telah memberikan data base empiris

untuk membuat perkiraan risiko beberapa masalah kesehatan tertentu.

Berdasarkan data base ini, salah satu cara yang paling popular untuk

menerapkan pencegahan primer adalah dengan menentukan risiko

pajanan jangka pendek dan jangka panjang terhadap masalah kesehatan.

c. Peran Keluarga pada Pencegahan Primer

Keluarga telah diketahui sebagai sumber bantuan paling penting

bagi orang dewasa yang mengubah gaya hidupnya. Selain itu keluarga

berperan penting terkait dengan seberapa jauh anggota keluarga

terpajan risiko. Keluarga menurunkan atau meningkatkan perilaku

berisiko, seperti merokok, penggunaan alkohol, olahraga, dan lain-lain

(Friedman, 2010).
62

2.8 Kerangka Konsep

Faktor Budaya dan Pemberdayaan


Struktur Sosial Keluarga

1. Kekerabatan 1. Kekuatan keluarga


a. Sikap keluarga 2. Sistem pendukung
b. Peran keluarga keluarga
2. Ekonomi 3. Keterampilan dan
a. Pekerjaan Kompetensi
b. Pendapatan Pencegahan Stunting
3. Pendidikan
1. Culture Care
4. Nilai budaya
a. Tradisi Nutrisi Preservation
b. Pola makan anak (pemeliharaan nilai
Kemandirian
5. Teknologi Keluarga Kesehatan budaya)
6. Teknologi
a. Akses Informasi 2. Culture Care
b. Akses
6. Politik 1. Memanfaatkan Accomodation
Informasi
a. Kebijakan pelayanan (negosiasi nilai
7. Politik
Keluarga Sehat kesehatan budaya)
c. Kebijakan
b. Sarana Pelayanan 2. Meningkatkan 3. Cuulture Care
Keluarga Sehat
Kesehatan pengetahuan
d. Sarana Restructuring
Pelayanan kesehatan (perbaikan nilai
Kesehatan 3. Melaksanakan
budaya)
tindakan promotif,
preventif dan
Faktor Anak rehabilitatif secara
aktif
1. Berat Badan Lahir
Kejadian Stunting :
Rendah
2. Nutrisi
1. Tinggi Badan
3. Infeksi
2. Umur
4. Imunisasi Dasar
Lengkap

Gambar 2.3 Kerangka Model Pemberdayaan Keluarga Melalui Faktor Budaya


dan Struktur Sosial dalam Pencegahan Stunting Menurut Fitriah
(2016)

Keterangan : = Tidak diteliti

= Diteliti
= Arah hubungan

Faktor yang mempengaruhi terjadinya stunting terdiri dari faktor

budaya, faktor anak serta faktor pemberdayaan keluarga. Faktor budaya


63

terdiri dari kekerabatan, ekonomi, pendidikan, nilai budaya, teknologi dan

politik (Mega Sara, 2016). Dan pemberdayaan keluarga meliputi pertama,

semua keluarga telah memiliki kekuatan dan mampu membangun kekuatan

itu. Kedua, kesulitan keluarga dalam memenuhi kebutuhan mereka bukan

karena ketidakmampuan untuk melakukannya, melainkan sistem pendukung

sosial keluarga tidak memberikan peluang keluarga untuk mencapainya.

Ketiga, dalam upaya pemberdayaan keluarga, anggota keluarga berupaya

menerapkan keterampilan dan kompetensi dalam rangka terjadinya

perubahan dalam keluarga (Graves,2007).


Fitriah (2016) menjelaskan unsur-unsur kemandirian keluarga bisa

menjadi tidak berjalan secara efektif karena perubahan budaya dan struktur

sosial di keluarga dan masyarakat. Perubahan dari budaya serta struktur

sosial akan berdampak pada pola keluarga melakukan pencegahan stunting

pada anaknya sebagai anggota keluarga. Pelaksanaan keperawatan keluarga

tidak lepas dari faktor kekerabatan, ekonomi, pendidikan, nilai budaya,

teknologi dan politik. Keluarga memiliki kesiapan sumberdaya dan

kemampuan serta kemauan untuk mencegah dan mengatasi masalah-

masalah kesehatan secara mandiri. Rendahnya faktor tersebut akan

mengurangi kemampuan mengembangkan fungsinya dalam kemandirian

keluarga (Wamoyi. Dkk, 2015).


Pencegahan stunting yang dilakukan oleh keluarga dipengaruhi oleh

kemandirian keluarga. Tiap keluarga memiliki potensi kemandirian

pengasuhan yang bisa dikembangkan. Potensi tersebut adalah menerima

petugas kesehatan, mencari dan memanfaatkan pelayanan kesehatan,

meningkatkan pengetahuan kesehatan, melakukan perawatan sederhana,


64

melaksanakan tindakan pencegahan secara aktif, dan melakukan tindakan

promotif secara aktif (Depkes, 2006)


Pencegahan tiap keluarga belum tentu sama, karena tiap keluarga

memiliki nilai, makna, lifeways yang berbeda (Leinenger, 2002). Upaya

pencegahan oleh keluarga terhadap stunting berdasarkan Leinenger (2002)

dalam konsep transcultural model meliputi 1) pemeliharaan budaya untuk

mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai perawatan yang relevan

sehingga keluarga dapat mempertahankan anak tetap dikondisi baik atau

sehat (cultur care preservation); 2) negosiasi kreatif dan keputusan keluarga

membantu keluarga beradaptasi atau bernegosiasi terhadap budaya global

yang sudah menjadi gaya hidup (cultur care accomodation); 3) keputusan

keluarga membantu keluarga menyusun ulang, mengubah, atau

memodifikasi lifeways yang baru, berbeda, dengan tetap menghormati nilai-

nilai budaya dan kepercayaan di masyarakat Madura, dan tetap

menyediakan lifeways yang lebih sehat dan bermanfaat dibandingkan

sebelumnya (cultur care restructuring) (Fitriah, 2016).


2.8. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka konsep penelitian pada gambar 2.2 maka hipotesis

penelitian ini adalah sebagai berikut :


H1 :Ada pengaruh dimensi budaya dan struktur sosial terhadap

pemberdayaan keluarga.
H1 : Ada pengaruh pemberdayaan keluarga terhadap kemandirian keluarga

kesehatan.

H1 : Ada pengaruh kemandirian keluarga terhadap pencegahan stunting.

H1 : Ada pengaruh upaya pencegahan stunting terhadap kejadian stunting.

Anda mungkin juga menyukai