Anda di halaman 1dari 61

BAB I

PENDAHULUAN
Membahas masalah etika profesi dan hukum kebidanan sangat penting bagi
mahasiswa kebidanan untuk mengetahui tentang apa itu etika, apa itu moral dan
bagaimana menerapkannya dalam praktik kebidanan. Sehingga dengan hal tersebut
seorang bidan akan terlindung dari kegiatan pelanggaran etik/moral ataupun
pelanggaran dalam hukum yang sedang berkembang di hadapan publik dan erat
kaitannya dengan pelayanan kebidanan sehingga seorang bidan sebagai provider
kesehatan harus kompeten dalam menyikapi dan mengambil keputusan yang tepat
untuk bahan tindakan selanjutnya sesuai standar asuhan dan kewenangan bidan.
Etika juga sering dinamakan filsafat moral yaitu cabang filsafat sistematis yang
membahas dan mengkaji nilai baik buruknya tindakan manusia yang dilaksanakan
dengan sadar serta menyoroti kewajiban-kewajiban yang seharusnya dilakukan oleh
manusia. Perbuatan yang dilakukan sesuai dengan norma moral maka akan
memperoleh pujian sebagai rewardnya, namun perbuatan yang melanggar norma
moral, maka si pelaku akan memperoleh celaan sebagai punishmentnya.

Istilah etik yang kita gunakan sehari-hari pada hakikatnya berkaitan dengan falsafah
moral yaitu mengenai apa yang dianggap baik atau buruk di masyarakat dalam
kurun waktu tertentu, sesuai dengan perubahan/perkembangan norma/nilai. Pada
zaman sekarang ini etik perlu dipertahankan karena tanpa etik dan tanpa diperkuat
oleh hukum, manusia yang satu dapat dianggap sebagai saingan oleh sesama yang
lain. Saingan yang dalam arti lain harus dihilangkan sebagai akibat timbulnya nafsu
keserakahan manusia.

Kalau tidak ada etik yang mengekang maka pihak yang satu bisa tidak segan¬segan
untuk melawannya dengan segala cara. Segala cara akan ditempuh untuk
menjatuhkan dan mengalahkan lawannya sekadar dapat tercapai tujuan.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
PENGERTIAN ETIKA (KODE ETIK)
Etika merupakan bagian filosofis yang berhubungan erat dengan nilai manusia
dalam menghargai suatu tindakan, apakah benar atau salah, dan penyelesaiannya
baik atau tidak.
Etika diartikan “sebagai ilmu yang mempelajari kebaikan dan keburukan dalam
hidup manusia khususnya perbuatan manusia yang didorong oleh kehandak dengan
didasari pikiran yang jernih dengan pertimbangan perasaan”.
Etik ialah suatu cabang ilmu filsafat. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa etik
adalah disiplin yang mempelajari tentang baik atau buruk sikap tindakan manusia.
Menurut bahasa, Etik diartikan sebagai: dalam bahasa Yunani yaitu Ethos, kebiasaan
atau tingkah laku, sedangkan dalam bahsa Inggris berarti Ethis, tingkah laku/prilaku
manusia yg baik – tindakan yg harus dilaksanakan manusia sesuai dengan moral
pada umumnya.

Selain itu etik juga merupakan aplikasi dari proses & teori filsafat moral terhadap
kenyataan yg sebenarnya. Hal ini berhubungan dengan prinsip-prinsip dasar &
konsep yg membimbing makhluk hidup dalam berpikir & bertindak serta
menekankan nilai-nilai mereka.

Bagi sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan
budaya tertentu. Bagi praktisi profesional termasuk dokter dan tenaga kesehatan
lainnya etika berarti kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan
(ekspekatasi) profesi dan amsyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang
profesional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga terjalinnya interaksi antara
pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, profesional dan
terhormat.

1. Sistematika Etika
Sebagai suatu ilmu maka etika terdiri atas berbagai macam jenis dan ragamnya
antara lain:

1. Etika deskriptif, yaitu memberikan gambaran atau ilustrasi tentang tingkah


laku manusia ditinjau dari nilai baik/buruk serta hal-hal yangboleh
dilakukan sesuai dengan norma etis yang dianut oleh masyarakat.
2. Etika Normatif, yaitu membahas dan mengkaji ukuran baik buruk tindakan
manusia, etika normatif juga dikelompokkan menjadi beberapa kelompok ,
sbb:
1). Etika umum, yaitu membahas hal-hal yang berhubungan dengan kondisi manusia
untuk bertindak etis dalam mengambil kebijakan berdasarkan teori-teori dan
prinsip-prinsip moral.

2). Etika khusus; yaitu terdiri dari Etika sosial, Etika individu dan Etika Terapan.

1. a) Etika sosial menekankan tanggung jawab sosial dan hubungan antar


sesama manusia dalam aktivitasnya.
2. b) Etika individu lebih menekankan pada kewajiban-kewajiban manusia
sebagai pribadi.
3. c) Etika terapan adalah etika yang diterapkan pada profesi.
Pada tahun 2001 ditetapkan oleh MPR-RI dengan ketetapan MPR-
RI No.VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Bangsa. Etika kehidupan bangsa
bersumber pada agama yang universal dan nilai-nilai luhur budaya bangsa yaitu
Pancasila.
Etika kehidupan berbangsa antara lain meliputi: Etika Sosial Budaya, Etika Politik
dan Pemerintahan, Etika Ekonomi dan Bisnis, Etika Penegakkan Hukum yang
Berkeadilan, Etika Keilmuan, Etika Lingkungan, Etika Kedokteran dan Etika
Kebidanan.

2. Kode Etik Profesi


Kode etik suatu profesi adalah berupa norma-norma yang harus diindahkan oleh
setiap anggota profesi yang bersangkutan didalam melaksanakan tugas profesinya
dan dalam hidupnya di masyarakat. Pada dasarnya tujuan menciptakan atau
merumuskan kode etik suatu profesi adalah untuk kepentingan anggota dan
kepentingan organisasi.
Secara umum tujuan menciptakan kode etik adalah sebagai berikut:

1. Untuk menjunjung tinggi martabat dan citra profesi


Dalam hal ini yang dijaga adalah image dad pihak luar atau masyarakat mencegah
orang luar memandang rendah atau remeh suatu profesi. Oleh karena itu, setiap
kode etik suatu profesi akan melarang berbagai bentuk tindak tanduk atau kelakuan
anggota profesi yang dapat mencemarkan nama baik profesi di dunia luar. Dari segi
ini kode etik juga disebut kode kehormatan.

1. Untuk menjaga dan memelihara kesejahtraan para anggota


Yang dimaksud kesejahteraan ialah kesejahteraan material dan spiritual atau mental.
Dalam hal kesejahteraan materil angota profesi kode etik umumnya menerapkan
larangan-larangan bagi anggotanya untuk melakukan perbuatan yang merugikan
kesejahteraan. Kode etik juga menciptakan peraturan-peraturan yang ditujukan
kepada pembahasan tingkah laku yang tidak pantas atau tidak jujur para anggota
profesi dalam interaksinya dengan sesama anggota profesi.

1. Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi


Dalam hal ini kode etik juga berisi tujuan pengabdian profesi tertentu, sehingga para
anggota profesi dapat dengan mudah mengetahui tugas dan tanggung jawab
pengabdian profesinya. Oleh karena itu kode etik merumuskan ketentuan-ketentuan
yang perlu dilakukan oleh para anggota profesi dalam menjalankan tugasnya.

1. Untuk meningkatkan mutu profesi


Kode etik juga memuat tentang norma-norma serta anjuran agar profesi selalu
berusaha untuk meningkatkan mutu profesi sesuai dengan bidang pengabdiannya.
Selain itu kode etik juga mengatur bagaimana cara memelihara dan meningkatkan
mutu organisasi profesi.

1. ETIKA (KODE ETIK) PROFESI KEBIDANAN


Kode etik profesi merupakan “suatu pernyataan komprehensif dari profesi yang
memberikan tuntunan bagi angotanya untuk melaksanakan praktik dalam bidang
profesinya baik yang berhubungan dengan klien /pasien, keluarga, masyarakat,
teman sejawat, profesi dan dirinya sendin”.

1. Fungsi Etika dan Moralitas Dalam Pelayanan


1. Menjaga otonomi dari setiap individu khususnya Bidan dan Klien
2. Menjaga kita untuk melakukan tindakan kebaikan dan mencegah tindakan yg
merugikan/membahayakan orang lain.
3. Menjaga privacy setiap individu
4. Mengatur manusia untuk berbuat adil dan bijaksana sesuai dengan porsinya
5. Dengan etik kita mengatahui apakah suatu tindakan itu dapat diterima dan
apa alasannya
6. Mengarahkan pola pikir seseorang dalam bertindak atau dalam menganalisis
suatu masalah
7. Menghasilkan tindakan yg benar
8. Mendapatkan informasi tenfang hal yg sebenarnya
9. Memberikan petunjuk terhadap tingkah laku/perilaku manusia antara baik,
buruk, benar atau salah sesuai dengan moral yg berlaku pada umumnya
10. Berhubungan dengans pengaturan hal-hal yg bersifat abstrak
11. Memfasilitasi proses pemecahan masalah etik serta mengatur hal-hal yang
bersifat praktik
12. Mengatur tata cara pergaulan baik di dalam tata tertib masyarakat maupun
tata cara di dalam organisasi profesi
13. Mengatur sikap, tindak tanduk orang dalam menjalankan tugas profesinya yg
biasa disebut kode etik profesi.
2. Hak Kewajiban dan Tanggungjawab Kebidanan
Hak dan kewajiban adalah hubungan timbal balik dalam kehidupan sosial sehari-
hari. Pasien memiliki hak terhadap bidan atas pelayanan yang diterimanya. Hak
pasti berhubungan dengan individu, yaitu pasien.

Sedangkan bidan mempunyai kewajiban/keharusan untuk pasien, jadi hak adalah


sesuatu yang diterima oleh pasien. Sedang kewajiban adalah suatu yang diberikan
oleh bidan. Seharusnya juga ada hak yang harus diterima oleh bidan dan kewajiban
yang harus diberikan oleh pasien.

1. Hak Pasien
Hak pasien adalah hak-hak pribadi yang dimiliki manusia sebagai pasien/klien,
seperti:

1) Pasien berhak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang
berlaku di rumah sakit atau instusi pelayanan kesehatan.
2) Pasien berhak atas pelayanan yang manusiawi, adil dan jujur.

3) Pasien berhak memperoleh pelayanan kebidanan sesuai dengan profesi bidan


tanpa diskriminasi.

4) Pasien berhak memilih bidan yang akan menolongnya sesuai dengan


keinginannya.

5) Pasien berhak mendapatkan informasi yang meliputi kehamilan, persalinan,


nifas dan bayinya yang baru dilahirkan.

6) Pasien berhak mendapat pendampingan suami atau keluarga selama proses


persalinan berlangsung.

7) Pasien berhak memilih dokter dan kelas perawatan seuai dengan keinginannya
dan sesuai dengan peraturan yang berlaku di rumah sakit.

8) Pasien berhak dirawat oleh dokter yang secara bebas menentukan pendapat
kritis dan pendapat etisnya tanpa campur tangan dari pihak luar.

9) Pasien berhak meminta konsultasi kepada dokter lain yang terdaftar di rumah
sakit tersebut (second opinion) terhadap penyakit yang dideritanya, sepengatahuan
dokter yang merawat.
10) Pasien berhak meminta atas privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita
termasuk data-data medisnya.

11) Pasien berhak mendapat informasi yang meliputi:

1. Penyakit yang diderita


2. Tindakan kebidanan yang akan dilakukan
3. Alternatif terapi lainnya
4. Prognosisnya
5. Perkiraan biaya pengobatan
12) Pasien berhak menyetujui/memberikan izin atas tindakan yang akan dilakukan
oleh dokter sehubungan dengan penyakit yang dideritanya.

13) Pasien berhak menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan
mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggungjawab sendiri sesudah
memperoleh informasi yang jelas tentang penyakitnya.

14) Pasien berhak didampingi keluarganya dalam keadaan kritis.

15) Pasien berhak menjalankan ibadah sesuai agama/kepercayaan yang dianutnya


selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya.

16) Pasien berhak atas keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan
di rumah sakit.

17) Pasien berhak menerima/menolak bimbingan moril maupun spiritual.

18) Pasien berhak mendapatkan perlindungan hukum atas terjadinya kasus


mal¬praktek.

1. Kewajiban Pasien
1) Pasien dan keluarganya berkewajiban untuk mentaati segala peraturan dan tata
tertib rumah sakit atau institusi pelayanan kesehatan.

2) Pasien berkewajiban untuk mematuhi segala instruksi dokter, bidan, perawat


yang merawatnya.
3) Pasien atau penanggungnya berkewajiban untuk melunasi semua imbalan atas
jasa pelayanan rumah sakit atau institusi pelayanan kesehatan, dokter, bidan dan
perawat.

4) Pasien dan atau penangggungnya berkewajiban memenuhi hal-hal yang selalu


disepakati/perjanjian yang telah dibuatnya.

1. Hak Bidan
1) Bidan berhak mendapat perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai
dengan profesinya.

2) Bidan berhak untuk bekerja sesuai dengan standar profesi pada setiap tingkat
jenjang pelayanan kesehatan.

3) Bidan berhak menolak keinginan pasien/klien dan keluarga yang bertentangan


dengan peraturan perundangan dan kode etik profesi.

4) Bidan berhak atas privasi dan menuntut apabila nama baiknya dicemarkan baik
oleh pasien, keluarga maupun profesi lain.

5) Bidan berhak atas kesempatan untuk meningkatkan diri baik melalui pendidikan
maupun pelatihan.

6) Bidan berhak memperoleh kesempatan untuk meningkatkan jenjang karir dan


jabatan yang sesuai.

7) Bidan berhak mendapat kompensasi dan kesejahteraan yang sesuai.

1. Kewajiban Bidan
1) Bidan wajib mematuhi peraturan rumah sakit sesuai dengan hubungan hukum
antara bidan tersebut dengan rumah sakit bersalin dan sarana pelayanan tempat dia
bekerja.

2) Bidan wajib memberikan pelayanan asuhan kebidanan sesuai dengan standar


profesi dengan menghormati hak-hak pasien.

3) Bidan wajib merujuk pasien dengan penyulit kepada dokter yang mempunyai
kemampuan dan keahlian sesuai dengan kebutuhan pasien.
4) Bidan wajib memberi kesempatan kepada pasien untuk didampingi suami atau
keluarga.

5) Bidan wajib memberikan kesempatan kepada pasien untuk menjalankan ibadah


sesuai dengan keyakinannya.

6) Bidan wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang


pasien.
7) Bidan wajib memberikan informasi yang akurat tentang tindakan yang akan
dilakukan serta risiko yang mungkiri dapat timbul.

8) Bidan wajib meminta persetujuan tertulis (informed consent) atas tindakan yang
akan dilakukan.

9) Bidan wajib mendokumentasikan asuhan kebidanan yang diberikan.

10) Bidan wajib mengikuti perkembangan IPTEK dan menambah ilmu


pengetahuannya melalui pendidikan formal atau non formal.

11) Bidan wajib bekerja sama dengan profesi lain dan pihak yang terkait secara
timbal balik dalam memberikan asuhan kebidanan.

1. KODE ETIK HUKUM KEBIDANAN


Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu
berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah”, sedangkan
“praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek
berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian
tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan
yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.
Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang
dokter atau tenaga keperawatan (perawat dan bidan) untuk mempergunakan tingkat
kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang
lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran
dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los
Angelos, California, 1956).

Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan
norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek
sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut.
Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut
pandang hukum disebut yuridical malpractice.

Hal ini perlu dipahami mengingat dalam profesi tenaga bidan berlaku norma etika
dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa
yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang
mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif
yang dipakai untuk menentukan adanya ethica malpractice atau yuridical
malpractice dengan sendirinya juga berbeda. Yang jelas tidak setiap ethical
malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical
malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).

1. Malpraktek Dibidang Hukum


Untuk malpraktek hukum (yuridical malpractice) dibagi dalam 3 kategori sesuai
bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil malpractice dan
Administrative malpractice.

1. Criminal malpractice
Criminal malpractice adalah seseorang yang melakukan perbuatan yang mana
perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yaitu seperti positive act /
negative act yang merupakan perbuatan tercela dan dilakukan dengan sikap batin
yang salah yang berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau
kealpaan (negligence).
1) Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional)

1. a) Pasal 322 KUHP, tentang Pelanggaran Wajib Simpan Rahasia Kebidanan,


yang berbunyi:
 Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib
disimpannya karena jabatan atau pencahariannya, baik yang sekarang,
maupun yang dahuluj diancam dengan pidana penjara paling lama sembi Ian
bulan atau denda paling banyak enam ratu rupiah.
 Ayat (2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan
itu hanya dapat dituntut ata pengaduan orang itu.
1. b) Pasal 346 sampai dengan pasal 349 KUHP, tentang Abortus Provokatus.
Pasal 346 KUHP Mengatakan: Seorang wanita yang sengaja menggugurkan
atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam
dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
2. c) Pasal 348 KUHP menyatakan:
 Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun enam bulan.
 Ayat (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut,
dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
1. d) Pasal 349 KUHP menyatakan: Jika seorang dokter, bidan atau juru obat
membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan
atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal
347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah
dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian
dalam mana kejahatan dilakukan.
1. e) Pasal 351 KUHP (tentang penganiayaan), yang berbunyi:
 Ayat (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
 Ayat (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah
dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun.
 Ayat (3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama
tujuh tahun.
 Ayat (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
 Ayat (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
2) Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness)

Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan


tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent.

1. a) Pasal 347 KUHP menyatakan:


 Ayat (l) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan dan me¬matikan
kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahun.
 Ayat (2) Jika perbuatan itu menyebabkan matinya wanita tersebut, dikenakart
pidana penjara paling lama lima belas tahun.
1. b) Pasal 349 KUHP menyatakan: Jika seorang dokter, bidan atau juru obat
membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan
atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal
347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah
dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian
dalam mana kejahatan dilakukan.
3) Criminal malpractice yang bersifat kealpaan/lalai (negligence) misalnya kurang
hati-hati melakukan proses kelahiran.

1. a) Pasal-pasal 359 sampai dengan 361 KUHP, pasal-pasal karena lalai


menyebabkan mati atau luka-luka berat.
 Pasal 359 KUHP, karena kelalaian menyebabkan orang mati : Barangsiapa
karena kealpaannya menyebabkan mati-nya orang lain, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.
 Pasal 360 KUHP, karena kelalaian menyebakan luka berat:
Ayat (1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebakan orang lain mendapat
luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
kurungan paling lamasatu tahun.
Ayat (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka
sedemikian rupa sehinga menimbulkan penyakit atau alangan menjalankan
pekerjaan, jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam de¬ngan
pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling tinggi tiga ratus
rupiah.
 Pasal 361 KUHP, karena kelalaian dalam melakukan jabatan atau pekerjaan
(misalnya: dokter, bidan, apoteker, sopir, masinis dan Iain-lain) apabila
melalaikan peraturan-peraturan pekerjaannya hingga mengakibatkan mati
atau luka berat, maka mendapat hukuman yang lebih berat pula.
 Pasal 361 KUHP menyatakan: Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini
di-lakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencaharian, maka pidana
ditambah dengan pertiga, dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk
menjalankan pencaharian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat
memerintahkan supaya putusnya di-umumkan.
Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat
individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau
kepada rumah sakit/sarana kesehatan.

1. Civil Malpractice
Seorang bidan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan
kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati
(ingkar janji). Tindakan bidan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:

1) Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.


2) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat
melakukannya.

3) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak


sempurna.

4) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.


Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan
dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan
prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas
kesalahan yang dilakukan karyawannya (bidan) selama bidan tersebut dalam rangka
melaksanakan tugas kewajibannya.

1. Administrative Malpractice
Bidan dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala bidan
tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam
melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan
berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi bidan
untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas
kewenangan serta kewajiban bidan.

Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat
dipersalahkan melanggar hukum administrasi.

2. Landasan Hukum Wewenang Bidan


Bidan adalah salah satu tenaga kesehatan. Pengaturan tenaga kesehatan ditetapkan
di dalam undang-undang dan Peraturan Pemerintah. Tugas dan kewenangan bidan
serta ketentuan yang berkaitan dengan kegiatan praktik bidan diatur di dalam
peraturan atau Keputusan Menteri Kesehatan.

Kegiatan praktik bidan dikontrol oleh peraturan tersebut. Bidan harus dapat
mempertanggungjawabkan tugas dan kegiatan yang dilakukannya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Setiap bidan memiliki tanggung jawab memelihara kemampuan profesionalnya.


Oleh karena itu bidan harus selalu meningkatkan pengetahuan dan ketrampilannya
dengan cara mengikuti pelatihan, pendidikan berkelanjutan, seminar, dan
pertemuan ilmiah lainnya.
1. Syarat Praktik Profesional Bidan
1) Harus memiliki Surat Ijin Praktek Bidan (SIPB) baik bagi bidan yang praktik
pada sarana kesehatan dan/atau perorangan Bdan Praktek Swasta (BPS).

2) Bidan yang praktik perorangan harus memenuhi persyaratan yang meliputi


tempat dan ruangan praktik, tempat tidur, peralatan, obat-obatan dan kelengkapan
administrasi.

3) Dalam menjalankan praktik profesionalnya harus sesuai dengan kewenangan


yang diberikan, berdasarkan pendidikan dan pengalaman serta berdasarkan standar
profesi.

4) Dalam menjalankan praktik profesionalnya harus menghormati hak pasien,


memperhatikan kewajiban bidan, merujuk kasus yang tidak dapat ditangani,
meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan dan melakukan medical record
dengan baik.

5) Dalam menjalankan praktik profesionalnya bidan wajib melakukan pencatatan


dan pelaporan.

1. Wewenang Bidan dalam Menjalankan Praktik Profesionalnya


Dalam menangani kasus seorang bidan diberi kewenangan sesuai dengan Keputusan
Menteri Kesehatan Indonesia No:900/Menkes/SK/VII/2002 tentang registrasi dan
praktek bidan,yang disebut dalam BAB V praktik bidan antara lain:

1). Pasal 14 : bidan dalam menjalankan prakteknya berwenang untuk memberikan


pelayanan yang meliputi : (a). Pelayanan kebidanan, (b). Pelayanan keluarga
berencana, dan (c). Pelayanan kesehatan masyarakat.

2). Pasal 15 :

a). Pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 huruf (pelayanan


kebidanan) ditujukan pada ibu dan anak.

b). Pelayanan kepada ibu diberikan pada masa pra nikah, pra hamil, masa hamil,
masa bersalin, masa nifas, menyusui dan masa antara (periode interval).
c). Pelayanan kebidanan pada anak diberikan pada masa bayi baru lahir,masa
bayi,masa anak balita dan masa pra sekolah.

3). Pasal 16 :

a). Pelayanan kebidanan kepada meliputi :

 Penyuluhan dan konseling


 Pemeriksaan fisik
 Pelayanan antenatal pada kehamilan normal
 Pertolongan pada kehamilan abnormal yang mencakup ibu hamil dengan
abortus iminens, hiperemesis grafidarum tingkat 1, pre eklamsi ringan dan
anemia ringan.
 Pertolongan persalinan normal
 Pertolongan persalinan abnormal yang mencakup letak sungsang, partus
macet kepala di dasar panggul, ketuban pecah dini (KPD) tanpa infeksi,
perdarahan post partum, laserasi jalan lahir, distosia karena inersia uteri
primer, post aterm dan preterm.
 Pelayanan ibu nifas normal
 Pelayanan ibu nifas abnormal yang mencakup retensio plasenta,renjatan dan
infeksi ringan
 Pelayanan dan pengobatan pada kelainan ginekologi yang meliputi
keputihan,perdarahan tidak teratur dan penundaan haid.
b). Pelayanan kebidanan kepada anak meliputi:

– Pemeriksaan bayi baru lahir

– Perawatan tali pusat

– Perawatan bayi

– Resusitasi pada bayi baru lahir

– Pemantauan tumbuh kembang anak

– Pemberian imunisasi

– Pemberian penyuluhan
4). Pasal 18 : Bidan dalam memberikan pelayanan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 16,berwenang untuk :

– Memberikan imunisasi

– Memberikan suntikan pada penyulit kehamilan dan nifas

– Mengeluarkan plasenta secara secara manual

– Bimbingan senam hamil

– Pengeluaran sisa jaringan konsepsi

– Episiotomi

– Penjahitan luka episiotomi dan luka jalan lahir sampai tingkat 2

– Amniotomi pada pembukaan serviks lebih dari 4 cm

– Pemberian infuse

– Pemberian suntikan intramuskuler uterotonika

– Kompresi bimanual

– Versi ekstrasi gemelli pada kelahiran bayi kedua dan seterusnya

– Vakum ekstraksi dengan kepala bayi di dasar panggul

– Pengendalian anemi

– Peningkatan pemeliharaan dan penggunaan air susu ibu

– Resusitasi bayi baru lahir dengan asfiksia

– Penanganan hipotermi

– Pemberian minum dengan sonde/pipet


– Pemberian obat-obatan terbatas melalui lembaran ,permintaan , obat sesuai
dengan formulir IV terlampir

– Pemberian surat kelahiran dan kematian.

1. Standar Kompetensi Kebidanan


Standar kompetensi kebidanan yang berhubungan dengan anak dan imunisasi diatur
dalam Undang-Undang Kesehatan No. 23 Th 1992, yaitu sbb:

1) Pasal 15

 Ayat (1): Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyclamatkan jiwaibu
hamil dan atau janinnya, dapat ditakukan tindakan medis tertentu.
 Ayat (2): Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
hanya dapat dilakukan :
1. a) berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan
tersebut;
2. b) oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk
itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan
pertimbangan tim ahli;
3. c) dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau
keluarganya;
4. d) pada sarana kesehatan tertentu.
2) Pasal 80

 Ayat (1): Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu
terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Dalam hal bidan didakwa telah melakukan ciminal malpractice, harus dibuktikan
apakah perbuatan bidan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya, yakni:
apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela
dan apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah
(sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan).

Selanjutnya apabila bidan dituduh telah melakukan kealpaan sehingga


mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus
dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan
sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga.

Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan
dengan dua cara yakni :

1. Cara langsung, kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :


2. Duty (kewajiban). Dalam hubungan perjanjian bidan dengan pasien, bidan
haruslah bertindak berdasarkan:
1) Adanya indikasi medis

2) Bertindak secara hati-hati dan teliti

3) Bekerja sesuai standar profesi

4) Sudah ada informed consent.

1. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban) Jika seorang bidan


melakukan pekerjaan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak
melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya,
maka bidan tersebut dapat dipersalahkan.
2. Direct Causation (penyebab langsung)
3. Damage (kerugian)
Bidan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara
penyebab (causal) dan kerugian (damage)yang diderita oleh karenanya dan tidak ada
peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan
jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan bidan. Sebagai
adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan
dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).

2. Cara tidak langsung


Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni
dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan (doktrin
res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang
ada memenuhi kriteria:

1. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila bidan tidak lalai


2. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab bidan
3. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak
ada contributory negligence.
Tidak setiap upaya kesehatan selalu dapat memberikan kepuasan kepada pasien baik
berupa kecacatan atau bahkan kematian. Malapetaka seperti ini tidak mungkin dapat
dihindari sama sekali. Yang perlu dikaji apakah malapetaka tersebut merupakan
akibat kesalahan bidan atau merupakan resiko tindakan, untuk selanjutnya siapa
yang harus bertanggung gugat apabila kerugian tersebut merupakan akibat kelalaian
bidan.

Di dalam transaksi teraputik ada beberapa macam tanggung gugat, antara lain:

1). Contractual liability

Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari
hubungan kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan kewajiban yang harus
dilaksanakan adalah daya upaya maksimal, bukan keberhasilan, karena health care
provider baik tenaga kesehatan maupun rumah sakit hanya bertanggung jawab atas
pelayanan kesehatan yang tidak sesuai standar profesi/standar pelayanan.

2). Vicarius liability

Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas
kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya
(sub ordinate), misalnya rumah sakit akan bertanggung gugat atas kerugian pasien
yang diakibatkan kelalaian bidan sebagai karyawannya.

3). Liability in tort

Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum


(onrechtmatige daad). Perbuatan melawan hukum tidak terbatas hanya perbuatan
yang melawan hukum, kewajiban hukum baik terhadap diri sendiri maupun
terhadap orang lain, akan tetapi termasuk juga yang berlawanan dengan kesusilaan
atau berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup
terhadap orang lain atau benda orang lain (Hogeraad 31 Januari 1919).

3. Upaya Pencegahan Malpraktek Dalam Pelayanan Kesehatan


Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat bidan karena adanya
mal praktek diharapkan para bidan dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak
hati-hati, yakni:

1). Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena
perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan
berhasil (resultaat verbintenis).

2). Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.

3). Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.

4). Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.

5). Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala


kebutuhannya.

6). Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat
sekitarnya.

4. Upaya Menghadapi Tuntutan Hukum


Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga
bidan menghadapi tuntutan hukum, maka bidan seharusnyalah bersifat pasif dan
pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian bidan.

Apabila tuduhan kepada bidan merupakan criminal malpractice, maka bidan dapat
melakukan :

1) Informal defence

Dengan mengajukan bukti untuk menangkis/menyangkal bahwa tuduhan yang


diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada,
misalnya bidan mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi
merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya
tidak mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan
delik yang dituduhkan.

2) Formal/legal defence
Yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada doktrin-
doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-
unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri
dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah
pengaruh daya paksa.

Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya bidan menggunakan jasa penasehat


hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya. Pada
perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat membayar
ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil
penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus
membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus
membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (bidan) bertanggung jawab
atas derita (damage) yang dialami penggugat.

Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak


diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk
membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan
adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya
rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-
orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan bidan.

DAFTAR PUSTAKA
Ameln,F. 1991. Kapita Selekta Hukum Kedokteran. Grafikatama Jaya: Jakarta.
Dahlan, S. 2002. Hukum Kesehatan: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Semarang.
Guwandi, J. 1993. Malpraktek Medik: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta.
MAKALAH KONSEP

Pendahuluan
Negara hukum (rechtstaat), mengandung sekurang-kurangnya 2 (dua) makna.
Pertama, adalah pengaturan mengenai batasan-batasan peranan negara atau
pemerintahan dalam mencampuri kehidupan dan pergaulan masyarakat. Kedua,
jaminan-jaminan hukum akan hak-hak, baik sipil atau hak-hak pribadi (individual
rights), hak-hak politik (political rights), maupun hak-hak sebagai sebuah
kelompok atau hak-hak sosial sebagai hak asasi yang melekat  Tulisan ini
merupakan bagian dari penelitian dengan judul yang sama, dilakukan dengan
biaya mandiri pada tahun 2012 secara alamiah pada setiap insan, baik secara
pribadi atau kelompok.1 Peran masyarakat guna membangun kesehatan sangatlah
penting, dengan pembangunan adanya masyarakat yang sehat dan kuat maka
kesejahteraan dan peningkatan derajat kesehatan juga meningkat dalam hal ini
membutuhkan tenaga kesehatan yang profesional. Meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat, banyak hal yang perlu diperhatikan. Salah satu
diantaranya yang dipandang memiliki peranan cukup penting adalah
penyelenggaraan pelayanan keseha- 1 Bagir Manan, 2003, Teori Politik dan
Konstitusi, Yogyakarta: Fakultas Hukum UII Press, hlm. 24 218 Jurnal Dinamika
Hukum Vol. 13 No. 2 Mei 2013 tan untuk memberikan upaya pelayanan
kesehatan. Undang-undang No 36 Tahun 2009 (selanjutnya disebut UU No. 36
Tahun 2009) menyebutkan upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan atau
serangkaian yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan
untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehata masyarakat dalam bentuk
pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan
pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/masyarakat. Pembangunan kesehatan
pada hakekatnya diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemampuan dan
kemauan hidup sehat bagi setiap orang, menyangkut fisik,mental, maupun sosial
budaya dan ekonomi. Untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal dilakukan
berbagai upaya pelayanan kesehatan yang menyeluruh, terarah dan
berkesinambungan. Masalah reproduksi di Indonesia mempunyai dua dimensi.
Pertama, yang laten yaitu: kematian ibu dan kematian bayi yang masih tinggi
akibat berbagai faktor termasuk pelayanan kesehatan yang relatif kurang baik.
Kedua, timbulnya penyakit degeneratif yaitu menepouse dan kanker. Hak atas
pelayanan dan perlindungan kesehatan bagi ibu dan anak merupakan hak dasar
sebagaimana termaktub dalam Undang–undang Dasar 1945. Pasal 28 H UUD
1945 menentukan bahwa setiap orang hidup sejahtera lahir dan batin bertempat
tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan. Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 menentukan
bawha negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan
dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Pencantuman hak terhadap pelayanan
kesehatan tersebut, tidak lain bertujuan untuk menjamin hak-hak kesehatan yang
fundamental seperti tertuang dalam Declaration of Human Right 1948, bahwa
health is a fundamental human right. Selain itu terdapat juga serangkaian
konvensi internasional yang ditandatangani oleh pemerintah Indonesia yaitu UU
No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Penghapusan segala bentuk diskriminasi
terhadap perempuan, kesepakatan konvensi internasional tentang perempuan di
Beijing tahun 1995. Adapun mengenai pembangunan kesehatan nasional yang
diatur dalam UU No. 36 Tahun 2009. 2 Sebagai salah satu negara yang ikut
menandatangani Deklarasi Millennium Development Goals (MDGs), Indonesia
mempunyai komitmen menjadikan program-program MDGs sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dari program pembangunan nasional baik dari jangka pendek
maupun jangka menengah dan panjang. Termasuk dalam hal ini poin ke empat
dan kelima dimana menurunkan angka kematian anak dan meningkatkan
kesehatan maternal.3 Ketentuan mengenai kategori, jenis, dan kualifikasi tenaga
kesehatan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 36
Tahun 2009 tentang Tenaga Kesehatan. Bidan merupakan salah satu tenaga
kesehatan yang memiliki posisi penting dan strategis terutama dalam penurunan
angka kematian ibu (AKI) dan angka kesakitan serta angka kematian bayi (AKB).
Bidan memberikan pelayanan kebidanan yang berkesinambungan dan paripurna,
berfokus pada aspek pencegahan, promosi dengan berlandaskan kemitraan dan
pemberdayaan masyarakat bersama-sama dengan tenaga kesehatan lainnya untuk
senantiasa melayani siapa saja yang membutuhkannya, kapan dan dimanapun ia
berada. Untuk menjaga kualitas tersebut diperlukan suatu standar profesi sebagai
acuan untuk melakukan segala tindakan dan sesuatu yang diberikan dalam
seluruh aspek pengabdian profesinya kepada individu, keluarga dan masyarakat
baik dari aspek input, proses dan output. Sebagai seorang tenaga kesehatan yang
langsung memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, seorang bidan
harus melakukan tindakan dalam praktik kebidanan secara etis, serta harus
memiliki etika kebidanan yang sesuai dengan nilai-nilai keyakinan filosofi profesi
dan masyarakat. Selain itu 2 Tedi Sudrajat dan Agus Mardiyanto, “Hak Atas
Pelayanan dan Perlindungan Kesehatan Ibu dan Anak (Implementasi Kebijakan di
Kabupaten Banyumas)”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 2 Mei 2012,
Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, hlm. 261-262 3
Emmy Latifah, “Harmonisasi Kebijakan Pengentasan Kemiskinan di Indonesia
Yang Berorientasi Pada Millennium Development Goals”, Jurnal Dinamika Hukum,
Vol. 11 No. 3 2011, Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman,
hlm. 403 Kajian Perbuatan Melawan Hukum terhadap Wewenang Pelayanan Bidan
Praktik Mandiri di Kabupaten Banyumas 219 bidan juga berperan dalam
memberikan persalinan yang aman, memastikan bahwa semua penolong
persalinan mempunyai pengetahuan, ketrampilan dan alat untuk memberikan
pertolongan yang aman dan bersih.4 Seorang bidan harus melakukan tindakan
dalam praktik kebidanan secara etis serta harus memiliki etika kebidanan yang
sesuai dengan nilai-nilai keyakinan filosofi profesi dan masyarakat. Selain itu
bidan juga berperan memberikan pelayanan yang maksimal dan profesional,
memberika pelayanan yang aman dan nyaman. Disinilah kita harus memastikan
bahwa semua peNolong persalinan mempunyai pengetahuan, ketrampilan dan alat
untuk memberikan pertolongan yang aman dan bersih. Adanya etika pelayanan
bisa memberikan kepedulian, kewajiban dan tanggung jawab moral yang dimiliki
oleh bidan tentang hidup dan makna kesehatan selama daur kehidupan. Ketika
kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan meningkat, terutama
pelayanan bidan, tidak diimbangi oleh keahlian dan keterampilan bidan untuk
membentuk suatu mekanisme kerja pelayanan yang baik. Masih sering dijumpai
pelayanan bidan tidak sesuai dengan wewenangnya dan juga kurangnya
perlindungan hukum terhadap bidan. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas
Kesehatan Kabupaten Banyumas dalam kurun waktu tahun 2010-2011 diperoleh
fakta seputar perbuatan melawan hukum terhadap wewenang pelayanan Bidan
Praktik Mandiri (BPM) di Kabupaten Banyumas. Ada 13 kamatian perinatal (bayi
baru lahir) dan 6 kematian materal (ibu bersalin) yang diperoleh dari data daftar
tilik pelacakan kematian dan otopsi verbal maternal dan perinatal di Kabupaten
Banyumas. Kejadian tersebut sebagian bukan wewenang bidan dalam melakukan
praktiknya dan seharusnya dirujuk ke tingkat yang lebih tinggi untuk memperoleh
pertolongan dan sesuai dengan wewenangnya atau tanggung jawabnya. Oleh
karena itu, pentingnya penelitian ini adalah dapat ditegakannya penegakan
hukum terhadap pelanggaran bidan dan akibat hukumnya, karena seorang bi- 4
Yanti dan W E Nurul, 2010, Etika Profesi Dan Hukum Kebidanan, Yogyakarta:
Pustaka Rihama, hlm. 85 dan sudah mempunyai wewenang dan standar praktik
bidan dalam hal ini guna membatasi wewenang sesuai dengan peraturan yang
verlaku. bidan mengetahui dan dapat mengimplementasikan tanggung jawabnya
sesuai dengan peraturan yang ada tanpa melampaui wewenang sesuai dengan
kompetensinya, sehingga mortalitas dan morbiditas pasien khususnya ibu dan
anak akan lebih terhindar. Permasalahan Kedudukan dari bidan mandiri,
khususnya dalam melaksanakan praktik mandiri merupakan hal yang menarik
untuk dikaji. Permasalahan yang dikaji pada artikel ini adalah berkaitan dengan
masalah konsepsi perbuatan melawan hukum terhadap wewenang pelayanan
bidan praktik mandiri di Kabupaten Banyumas. Metode Penelitian Penelitian ini
merupakan penelitian yuridis Normatif, mempunyai spesifikasi secara preskriptif.
Metode penelitian digunakan studi kasus (case study), dengan lokasi penelitian di
wilayah Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas pada tahun 2010-2011. Data yang
diperoleh, disajikan dalam bentuk teks naratif yang disusun secara sistematis,
logis, dan rasional. Dalam arti keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan
satu dengan yang lain disesuaikan dengan masalah dan tujuan utama penelitian,
sehingga merupakan suatu kesatuan yang utuh. Dengan menggunakan metode
analisis kualitatif, yaitu: data yang diperoleh dengan menggabungkan antara
permasalahan dan data yang diperoleh untuk dicapai pada kesimpulan tertentu
sehingga diperoleh hasil yang signifikan dan ilmiah. Pembahasan Analisis
Pelanggaran Wewenang Bidan Praktik Mandiri yang Berkenaan dengan Unsur-
unsur Perbuatan Melawan Hukum Cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana
tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah melindungi
segenap bangsa Indonesia dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang 220 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 13 No. 2
Mei 2013 berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Dalam rangka mencapai cita-cita bangsa tersebut diselenggarakan pembangunan
nasional di semua bidang kehidupan yang berkesinambungan yang merupakan
suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh, terpadu, dan terarah.
Pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional
diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup
sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang
optimal. Berbicara mengenai hukum dibidang kesehatan (kebidanan), apabila yang
dimaksud dengan hukum itu dalam arti sebagai struktur dan aturan-aturan,
maka pernyataan ini merupakan salah satu dari 3 (tiga) macam pedoman yang
ada. Pertama, hukum dalam arti bahwa ada kekuatan-kekuatan sosial (dan
hukum) yang dalam beberapa hal dirasakan sebagai suatu keharusan atau wajib,
sehingga dalam hal demikian itu terbentuk hukum; kedua, baru pada hukumnya
sendiri yang berupa struktur dan aturan yang dalam kenyataannya juga
disebutkan sebagai hukum positif; dan ketiga, hukum terhadap pelaku dalam
kenyataannya. Berdasarkan pembagian di atas, hukum kesehatan (kebidanan)
masuk pada kategori yang kedua, yaitu struktur dan aturan-aturan sebagai satu
keseluruhan yang secara utuh berhubungan dengan sistem hukum tertentu, yaitu
sistem yang dianut dalam masyarakat dan negara Republik Indonesia, hukum
kesehatan (kebidanan dalam hal ini) meliputi peraturan hukum tertulis,
kebiasaan, yurisprudensi dan doktrin/ajaran ilmu pengetahuan, sedangkan objek
hukum kesehatan (kebidanan) adalah perawatan kesehatan. Berdasarkan data
yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas dalam kurun waktu
tahun 2010-2011 diperoleh fakta seputar perbuatan melawan hukum terhadap
wewenang pelayanan Bidan Praktik Mandiri (BPM) di Kabupaten Banyumas. Ada
13 kamatian perinatal (bayi baru lahir) dan 6 kematian materal (ibu bersalin) yang
diperoleh dari data daftar tilik pelacakan kematian dan otopsi verbal maternal dan
perinatal kabupaten Banyumas. Sebagian kasus bukan wewenang bidan dalam
melakukan praktiknya dan seharusnya dirujuk ke tingkat yang lebih tinggi untuk
memperoleh pertolongan dan sesuai dengan wewenangnya atau tanggung
jawabnya. Saat ini masih cenderung terjadi penyimpangan dalam pelayanan
kebidanan. Penyimpangan disini diartikan sebagai pelayanan kebidanan yang
tidak sesuai dengan Kode Etik Bidan, standar profesi dan hukum, meskipun para
bidan praktisi di lapangan sudah berusaha menjalankan pelayanan sesuai standar
yang ada. Sehingga dapat disebutkan sebagai dugaan perbuatan melawan hukum.
Kemudian terkait dengan kerugian yang ditimbulkan akibat penyimpangan
tersebut, angka kesakitan dan kematian baik ibu dan bayi masih menjadi fokus
utama di Banyumas. Angka kematian ibu dan bayi masih cenderung tinggi dan
belum dapat diturunkan secara signifikan. Berdasarkan hasil penelitian di wilayah
kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas, diperoleh 3 kasus yang diduga
melakukan pelanggaran hukum medik bidan dalam kurun waktu tahun 2010
diperoleh fakta-fakta seputar penegakan hukum medik bidan di Kabupaten
Banyumas. Dalam penelitian ini, peneliti membatasi hasil penelitian dan
pembahasan yaitu difokuskan pada proses penegakan hukum perdata terhadap
pelanggaran hukum perdata medik bidan yang merupakan perbuatan melanggar
hukum, ketiga kasus tersebut dijabarkan sebagai berikut. Kasus I diperoleh data
dari daftar tilik pelacakan kematian bayi/perinatal Dinas Kesehatan Kabupaten
Banyumas; adanya riwayat kehamilan pernah melahirkan 3 kali, jarak kehamilan
5 tahun, jumlah periksa 7 kali, tempat pemeriksaan rumah bidan R dan rumah
bidan SR, status imunisasi 2 kali waktu hamil terdahulu, imunisasi TT sudah 5
kali selama hidup, pemberian tablet besi ya dengan jumlah 110 tablet dan
diminum sesuai petunjuk, komplikasi kehamilan ada yaitu pernah presentasi
lintang pada saat usia kehamilan 28 minggu. Riwayat persalinan; tanggal
kelahiran 14-2-2010, lahir hidup, jenis kelamin laki-laki, kelahiran tunggal,
presentasi bokong, menangis rintih, berat lahir Kajian Perbuatan Melawan Hukum
terhadap Wewenang Pelayanan Bidan Praktik Mandiri di Kabupaten Banyumas
221 3000 gr, panjang badan 48 cm, lingkar lengan kiri 10 cm, lingkar dada 32 cm,
lingkar kepala 32 cm. Umur kehamilan 38 minggu lebih 1 hari, dengan HPHT (Hari
Pertama Haid Terakhir) tanggal 20-5-2009 HPL(Hari Perkiraan Lahir) 27- 2-2010,
penolong persalinan bidan R, tempat persalinan rumah bidan (praktik swasta),
jarak ke tempat persalinan
Pasien harus mendapatkan haknya sesuai dengan perjanjian yang secara tidak
sengaja telah tersepakati, pasien sebagai konsumen berhadapan dengan keadaan
yang menyangkut keselamatan dirinya. Pasien berhak mengetahui segala sesuatu
yang berkaian dengan pelayanan medis yang diberikan oleh tenaga medis. Jika
pelayanan bidan diberikan kepada pasien sesuai dengan standar operasional
prosedur, berkualitas dan bermartabat, maka pelayanan itu akan terhindar dari
bayangan-bayangan tuntutan hukum maupun tuntutan etika profesi.
Permasalahan Angka Kematian Ibu (AKI) yang terdeteksi masih sangat tinggi ini
setidaknya karena beberapa penyebab baik langsung maupun tidak langsung.
Salah satu pemasok terbesar penyebab langsung perdarahan, pre eklamsi, baik
dalam kehamilan, saat bersalin dan setelah bersalin. Sedangkan yang menjadikan
penyebab tidak langsung karena keterlambatan membawa ke tempat rujukan,
terlambat mencari pertolongan dan terlambat memberi pertolongan di tempat
rujukan. Memberikan pelayanan kesehatan kepada ibu hamil bersalin, nifas dan
neonatal haruslah sesuai denga ketentuan yang ditetapkan serta berdasarkan
pada kode etik profesi sehingga meningkatkan kuwalitas diri perlu selalu
dipelihara. Teamwork yang baik dalam pelayanan kesehatan perlu dieratkan
dengan kejelasan wewenang dan fungsinya. Oleh karena tanpa mengindahkan hal-
hal yang disebutkan sebelumnya, maka konsekwensi hukum akan muncul tatkala
terjadi penyimpangan kewenangan atau karena kelalaian. Mengenai kasus di atas,
seorang bidan tidak memberikan informasi tentang keadaan pasiennya serta bidan
tidak merujuk pasien yang bukan wewenangnya atau kompetensinya. Penempatan
terhadap jenis tenaga kesehatan tertentu ditetapkan berdasarkan kebijaksanaan
melalui pelaksanaan masa bakti terutama bagi tenaga kesehatan yang sangat
potensial di dalam kebutuhan penyelenggaraan upaya kesehatan. Disamping itu
tenaga kesehatan tertentu yang bertugas sebagai pelaksana atau pemberi
pelayanan kesehatan diberi wewenang sesuai dengan kompetensi pendidikan yang
diperolehnya, sehingga terkait erat dengan hak dan kewajibannya. Kompetensi dan
kewenangan tersebut menunjukan kemampuan profesional yang baku dan
merupakan standar profesi untuk tenaga kesehatan tersebut. Menurut Pasal 2
ayat (3) PP No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, disebutkan bahwa
bidan termasuk dalam kelompok tenaga keperawatan. Sehubungan dengan hal
tersebut, bidan juga memiliki hubungan dengan pasien, khususnya dalam praktik
seperti halnya dengan tenaga kesehatan lainnya. Dalam pemberi pelayanan
kesehatan oleh rumah sakit dokter, bidan dan perawat merupakan tenaga
kesehatan yang memegang peran penting. Perawat (bidan) melakukan tindakan
medik tertentu berdasakan ilmunya. Selanjutnya pasien tidak dirujuk oleh bidan
dalam kasus diatas, dijelaskan di UU No. 44 Tahun 2009 Pasal 41 ayat (1)
pemerintah dan asosiasi Rumah Sakit membentuk jejaring dalam rangka
peningkatan pelayanan kesehatan dan ayat (2) jejaring sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi informasi, sarana prasarana, pelayanan, rujukan,
penyediaan alat dan pendidikan tenaga. Pasal 42 ayat (1) sistem rujukan
merupakan penyelenggaraan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan
tanggung jawab secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal, maupun
struktural dan fungsional terhadap kasus penyakit atau masalah penyakit atau
permasalahan kesehatan. Pasal 42 ayat (2) menentukan bahwa setiap rumah sakit
berkewajiban merujuk pasien yang memerlukan pelayanan di luar kemampuan
pelayanan Rumah Sakit. Upaya peningkatan derajat kesehatan semata-mata tidak
hanya dilakukan oleh tenaga kesehatan (bidan) tetapi peran serta aktif masyarakat
termasuk swasta perlu diarahkan, dibina dan dikembangkan sehingga dapat
melakukan fungsi dan tanggung jawab sosialnya sebagai mitra pemerintah. Peran
pemerintah lebih dititik beratkan pada pembinaan, pengaturan, dan pengawasan
untuk terciptanya pemerataan pelayanan kesehatan dan tercapainya kondisi yang
serasi dan seimbang antara upaya kesehatan yang dilaksanakan oleh pemerintah
dan masyarakat termasuk swasta. Kewajiban untuk melakukan pemerataan dan
peningkatan pela- Kajian Perbuatan Melawan Hukum terhadap Wewenang
Pelayanan Bidan Praktik Mandiri di Kabupaten Banyumas 225 yanan kesehatan
bagi seluruh lapisan masyarakat, tetap menjadi tanggung jawab Pemerintah.
Keberhasilan pembangunan diberbagai bidang dan kemajuan ilmu pengetahuan
dan tekNologi telah meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat dan kesadaran
akan hidup sehat. Hal Ini mempengaruhi meningkatnya kebutuhan pelayanan dan
pemerataan yang mencakup tenaga, sarana, dan prasarana baik jumlah maupun
mutu. Oleh karena itu diperlukan pengaturan untuk melindungi pemberi dan
penerima jasa pelayanan kesehatan. Bidan sebagai pendukung upaya kesehatan
dalam menjalankan tugasnya harus selalu dibina dan diawasi. Pembinaan
dilakukan untuk mempertahankan dan meningkatkan kemampuannya, sehingga
selalu tanggap terhadap permasalahan kesehatan yang menjadi tanggung
jawabnya, sedangkan pengawasan dilakukan terhadap kegiatannya agar tenaga
kesehatan tersebut dapat melaksanakan tugasnya sesuai dengan kebijaksanaan
peraturan perundangundangan dan sistem yang telah ditetapkan. Setiap
penyimpangan pelaksanaan tugas oleh tenaga kesehatan mengakibatkan
konsekuensi dalam bentuk sanksi. Telah ditentukan secara jelas bahwasannya
tugas atau wewenang bidan sudah diatur oleh pemerintah sebagai berikut:
pemberian kewenangan lebih luas kepada bidan dimaksudkan untuk
mendekatkan pelayanan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal kepada setiap
ibu hamil/bersalin, nifas dan bayi baru lahir (0- 28 hai) agar penanganan dini atau
pertolongan pertama sebelum rujukan dapat dilakukan secara cepat dan tepat
waktu. Dalam menjalankan kewenangan yang diberikan bidan harus;
melaksanakan tugas kewenangannya sesuai dengan standar profesi, memiliki
ketrampilan dan kemampuan untuk tindakan yang dilakukannya, mematuhi dan
melaksanakan protap yang berlaku diwilayahnya, bertanggung jawab atas
pelayanan yang diberikan dan berupaya secara optimal dalam mengutamakan
keselamatan ibu calon bayi atau janin. Perhatian khusus yang diberikan pada
masa sekitar persalinan karena kebanyakan kematian ibu dan bayi dalam masa
tersebut. Pelayanan kesehatan pada anak diberikan kepada bayi(khususnya bayi
baru lahir), balita dan anak pra sekolah. Pelayanan dan pengobatan genekologi
yang dapat dilakukan oleh bidan adalah kelainan genekologi ringan seperti
keputihan dan penundaan haid. Pengobatan ginekologik yang diberikan tersebut
pada dasarnya bersifat pertolongan sementara sebelum dirujuk ke dokter atau
tindak lanjut pengobatan sesuai advis dokter. Pelayanan neonatal esensial dan
tata laksana neonatal sakit diluar rumah sakit meliputi; pertolongan persalinan
traumatik, bersih dan aman;menjaga tubuh bayi tetap hangan dengan kontak dini;
membersihkan jalan nafas, mempertahankan bayi bernafas spontan; pemberian
ASI dini dalam 30 menit setelah melahirkan; mencegah infeksi pada bayi baru
lahir antara lain melalui perawatan tali pusat secara higenis, pemberian imunisasi
dan pemberian ASI eksklusif; pemeriksaan dan perawatan bayi baru lahir
dilaksanakan pada bayi 0-28 hari. Peraturan Menteri Kesehatan No. 1464/
MenKes/per/X/2010 tentang Izin dan Penyelanggaraan Praktik Bidan Indonesia
pada BAB III Penyelanggaraan Praktik Pasal 9 menentukan bahwa bidan dalam
menjalankan praktik, berwenang untuk memberikan pelayanan yang meliputi
pelayanan kesehatan ibu; pelayanan kesehatan anak; dan pelayanan kesehatan
reproduksi perempuan dan keluarga berencana. Pasal 10 ayat (1) menentukan
bahwa pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a
diberikan pada masa pra hamil, kehamilan masa persalinan, masa nifas, masa
menyusui dan masa antara dua kehamilan. Pasal 13 ayat (1) selain wewenang
bidan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pelayanan kesehatan ibu
sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi pelayanan konseling pada masa pra
hamil; pelayanan antenatal pada kehamilan Normal; pelayanan persalinan normal;
pelayanan ibu nifas normal; pelayanan ibu menyusui; dan pelayanan konseling
pada masyarakat kedua kehamilan; Pasal 13 ayat (3) menentukan bahwa bidan
dalam memberikan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berwenang
untuk episiotomi; penjahitan luka jalan lahir tingkat I 226 Jurnal Dinamika
Hukum Vol. 13 No. 2 Mei 2013 dan II penanganan kegawatdaruratan dilanjutkan
perujukan; pemberian tablet Fe pada ibu hamil; pemberian vitamin A dosis tinggi
pada ibu nifas; fasilitas atau bimbingan inisiasi menyusui dini dan promosi air
susu ibu eksklusif; pemberian uterotonika pada menejemen aktif kala III dan
postpartum; penyuluhan dan konseling; bimbingan pada kelompok ibu hamil;
pemberian surat keteranagan kematian; dan emberian surat keterangan cuti
bersalin. Berdasarkan Pasal 13 ayat (1), selain kewenangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12, bidan yang menjalankan
program Pemerintah berwenang melakukan pelayanan kesehatan meliputi: butir g
melaksanakan deteksi dini, merujuk dan memberikan penyuluhan terhadap
Infeksi Menular Seksual (IMS) termasuk pemberian kondom dan penyakit lainnya.
Suatu perbuatan dikatakan perbuatan melawan hukum apabila memenuhi
beberapa unsur. Pertama, bertentangan dengan hak orang lain. Kedua,
bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri (kewajiban hukum si pelaku).
Ketiga, bertentangan dengan kesusilaan baik. Keempat, bertentangan dengan
keharusan yang diindahkan dalam pergaulan. Berdasarkan data di atas, beberapa
unsur terpenuhi. Pertama, bertentangan dengan hak orang lain. Maksud
bertentangan dengan hak orang lain adalah bertentangan dengan hak subjektif
(subjektiferecht) orang lain. Hak-hak pribadi (Persoonlijkheidsrechten) seperti hak
atas keutuhan badan, kebebasan, hak atas kehormatan dan nama baik. Keluarga
pasien dalam hal ini adalah suami tidak diberikan informasi sesuai dengan
keadaan istri dan janinnya. Kedua, bertentangan dengan kewajiban hukumnya
sendiri (kewajiban hukum si pelaku). Suatu perbuatan adalah melawan hukum
apabila perbuatan tersebut adalah bertentangan dengan kewajiban hukum
(rechtsplicht) si pelaku. Rechtsplicht adalah kewajiban yang berdasar atas hukum.
Menurut pendapat umum dewasa ini, maka hukum, mencakup keseluruhan
Norma-norma, baik tertulis maupun tidak tertulis. Pada kasus I, bidan melanggar
KepMenkes No. 1464/MenKes/per/X/2010. Bidan melanggar wewenangnya
dimana menolong persalinan dengan kondisi janin premature dengan keadaan
presentasi bokong, sedangkan dalam peraturan KepMenKes ataupun wewenang
bidan diatas sudah jelas bahwasannya bidan hanya menolong kehamilan,
persalinan fisiologis dan mendeteksi dini komplikasi persalinan serta dilanjutkan
rujukan. Setelah melakukan diagnosa kebidanan bahwa usia kehamilan masih
tergolong premature bidan tersebut tidak melakukan rujukan hal ini selain diatur
dalam KepMenKes diatas dan wewenang bidan dijelaskan juga pada UU No. 44
Tahun 2009 Pasal 41 dan Pasal 42. Ketiga, bertentangan dengan kesusilaan.
Keempat, bertentangan dengan keharusan yang diindahkan dalam pergaulan
masyarakat mengenai orang lain atau benda milik orang lain. Unsur ketiga dan
empat ini tidak terpenuhi dalam kasus diatas. Jadi kesimpulan sementara pada
kasus di atas, bidan tersebut memenuhi unsur pertama dan kedua. Simpulan itu
dapat diketahui dari KepMenkes No 1464/MenKes/per/X/2010. Pasal 23 ayat (1)
menentukan bahwa dalam rangka pelaksanaan pengawasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21, Menteri, Pemerintah daerah provinsi dan pemerintah
daerah kabupaten/ kota dapat memberian tindakan administratif kepada bidan
yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan penyelenggaraan praktik dalam
peraturan ini. Ayat (2) dari pasal tersebut menentukan bahwa tindakan
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui teguran
lisan, teguran tertulis, pencabutan SIKB/SIPB untuk sementara paling lama 1
tahun; atau pencabutan SIKB/SIPB selamanya. Dari sudut hukum, profesi tenaga
kesehatan dapat diminta pertanggung jawaban berdasarkan hukum
perdata,hukum pidana maupun hukum administrasi. Tanggungjawab dibidang
hukum perdata dapat ditemukan disetiap pelayanan kesehatan. Hal ini dapat
dipahami karena dalam setiap pelayanan kesehatan selalu terjadi hubungan
antara kedua belah pihak sebagai subjek hukum, dimana masing-masing pihak
memiliki kewajiban dan haknya yang sama. Maksud kedua belah pihak ini adalah
dokter dan pasien. Hubu- Kajian Perbuatan Melawan Hukum terhadap Wewenang
Pelayanan Bidan Praktik Mandiri di Kabupaten Banyumas 227 ngan atara dokter
dengan pasien diatur dalam suatu perjanjian yang syaratnya harus terpenuhi
secara umum sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 BW. Apabila seseorang pada
waktu melakukan perbuatan melawan hukum tahu betul suatu perbuatannya
akan berakibat suatu keadaan yag merugikan orang lain pada umumnya
perbuatan orang tersebut dapat dikatakan bisa dipertanggugjawabkan. Pasal 1365
KUHPer yang menentukan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum yang
membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
mengganti kerugian tersebut. Pasal 1366 KUHPer yang menentukan bahwa seiap
orang yang bertanggung jawab tidak saja untuk kergian yang disebabkan karena
perbuatannya tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau
kekurang hati-hatiannya. Pasal 1367 KUHPer yang menentukan bahwa seseorang
tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya
sendiri tetapi juga kerugian yang disebabkan oleh orang-orang yang menjadi
tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang dibawah
pengawasannya. Pasal 1370 KUHPer yang menentukan dalam halnya suatu
kematian dengan sengaja atau karena kurang hati-hatinya seseorang maka istri
yang ditinggalkan, anak atau orang tua sikorban yang lazim mendapatkan nafkah
dari pekerjaan korban mempunyai hak menuntut ganti rugi, yang dinilai menurut
kedudukan dan kekayaan dari kedua belah pihak.9 Pasal 58 ayat (1) UU No 36
Tahun 2009 menentukan bahwa setiap orang berhak menuntut ganti rugi
terhadap seseorang, tenaga kesehatan dan atau penyelenggara kesehatan yang
menimbulkan kerugian atau kesalahan akibat kesalahan atau kelalaian dalam
pelayaan kesehatan yang diterimanya. 10 Sedangkan aspek perdata lainnya adalah
tuntutan ganti rugi berdasarkan perbuatan melanggar hukum, ukuran yang
digunakan adalah kesesuaian dengan standar profesi medik serta kerugian yang
ditimbulkan. Pengertian diatas menunjukan bahwa se- 9 Bambang Heryanto,
“Malpratik Dokter dalam Perspektif Hukum”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol 10 No
2 Mei 2010, Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, hlm.
184 10 Tedi Sudrajat dan Agus Mardiyanto, op.cit, hlm.268 kalipun hubungan
hukum antara tenaga kesehatan (bidan) dengan pasien adalah ”upaya secara
maksimal”, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan timbulnya tuntutan ganti rugi
yang didasarkan pada perbuatan melanggar hukum yang tenaga kesehatan harus
mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dari segi hukum perdata.11
Kerugian – pada gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum - juga meliputi
kerugian materi dan imateriil sebagaimana yang berlaku dalam gugatan
berdasarkan wanprestasi. Apabila ketentuan di atas dibandingkan, maka gugatan
perbuatan melawan hukum memiliki pengertian jauh lebih luas dibandingkan
dengan wanprestasi karena beberapa hal. Pertama, gugatan wan prestasi dasarnya
adalah perjanjian yang dalam hal ini adalah kontrak teraupetik (penyembuhan)
antara tenaga kesehatan dalam hal ini adalah pasien. Dengan berlakunya azas
kepribadian dalam transaksi teraupetik maka pihak yang terkait adalah pasien
dan tenaga kesehatan atau rumah sakit. Oleh karena itu jika transaksi teraupetik
tidak tercapai tujuannya karena wanprestasi, maka gugatan hanya ditujukan
kepada bidan atau rimah sakit, sedangkan pihak lain yang membantu tidak dapat
digugat berdasarkan wanprestasi. Kedua, sebaliknya gugatan berdasarkan
perbuatan melawan hukum, gugatan tidak dapat ditujukan perbuatan melawan
hukum, gugatan tidak hanya ditunjukan pada terhadap pelaku perbuatan itu saja,
melainkan juga terhadap orang-orang yang bertanggung jawab atas perbuatan
yang dilakukan oleh orang-orang yang ada di bawah tanggung jawabnya. Rumah
sakit dapat digugat untuk bertanggung jawab atas perbuatan melawan hukum
yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang bekerja dirumah sakit tersebut atau
dapat digugat untuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh laboran atau
perawat yang bekerja diperintahnya. 11 Hargianti Dini Iswandari, “Aspek Hukum
Penyelenggaraan Praktik Kedokteran: Suatu Tinjauan Berdasarkan Undang-
Undang No.9/2004 Tentang Praktik Kedokteran”, Jurnal Manajemen Pelayanan
Kesehatan, Vol 09 No 2 Juni 2006, Universitas Gadjah Mada, UGM Pusat
Manajemen Pelayanan Kesehatan, hlm. 56 228 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 13
No. 2 Mei 2013 Ketiga, gugatan berdasarkan wanprestasi dasarnya adalah
perjanjian, jadi gugatan hanya diajukan bila bidan melakukan perbuatan melawan
hukum lebih luas karena dapat bertujuan yang masuk kategori perbuatan
melawan hukum yang menimbulkan pada pihak lain.12 Penutup Simpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa bidan dalam kasus yang
diambil sebagai data dalam penelitian ini memberikan pelayanan kepada pasien
tetapi dalam hal ini dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum
karena pelayanan bidan tersebut memenuhi dua unsur yaitu unsur bertentangan
dengan hak subjektif orang lain dan bertentangan dengan kewajiban hukumnya
sendiri, tidak memberikan informasi secara lengkap dan memberikan pelayanan
yang melebihi wewenangnya yaitu meNolong persalinan dengan keadaan janin
premature. Dalam hal ini bidan bertentangan dengan PerMenKes No 1464 tahun
2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan, Undang-undang Rumah
Sakit No. 44 Tahun 2009 dan Kode Etik serta wewenang bidan. Kedua hal tersebut
secara teori termasuk perbuatan melawan hukum dalam arti sempit. DAFTAR
PUSTAKA Heryanto, Bambang. “Malpratik Dokter dalam Perspektif Hukum”.
Jurnal Dinamika Hukum, Vol 10 No 2 Mei 2010, Purwokerto: Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman; Iswandari, Dini Hargianti. “Aspek Hukum
Penyelenggaran Praktik Kedokteran: Suatu Tinjauan Berdasarkan Undang-Undang
No.9/2004 Tentang Praktik Kedokteran”. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan,
12 R.A. Antari Inaka Turingsih, “Tanggung Jawab Keperdataan Bidan Dalam
Pelayanan Kesehatan”, Jurnal Mimbar Hukum, Vol 24 No 2 Juni 2012,
Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, hlm. 268-274 Vol 09 No 2
Juni 2006. Universitas Gadjah Mada Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan;
Latifah, Emmy. “Harmonisasi Kebijakan Pengentasan Kemiskinan di Indonesia
yang berorientasi pada Millennium Development Goals”. Jurnal Dinamika Hukum,
Vol 11 No 3 September 2011. Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman; Manan, Bagir. 2003. Teori Politik dan Konstitusi. Yogyakarta: FH UII
Press; Rozah, Umi. “Pertanggungjawaban Pidana Dokter dalam Malpraktik Medis”.
Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Vol 33 No 3 2004. Semarang: Fakultas Hukum
UNDIP; Sudrajat,Tedi dan Agus Mardiyanto. “ Hak Atas Pelayanan dan
Perlindungan Kesehatan Ibu dan Anak (Implementasi Kebijakan di Kabupaten
Banyumas)”. Jurnal Dinamika Hukum, Vol 12 No 2 Mei 2012. Purwokerto:
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman; Taufiq, Muhammad. ”Perspektif
Yuridis Tanggung Jawab Dokter terhadap Rahasia Medis Pasien HIV/AIDS (Studi
di Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas)”. Jurnal Dinamika Hukum, Vol 11 No 3
September 2011. Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman;
Turingsih, Inaka Antari R.A. “Tanggung Jawab Keperdataan Bidan dalam
Pelayanan Kesehatan”. Jurnal Mimbar Hukum, Vol 24 No 2 Juni 2012.
Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada; Wahyudi, Setya.
”Tanggung Jawab Rumah Sakit Terhadap Kerugian Akibat Kelalaian Tenaga
Keshatan dan Implikasinya”. Jurnal Dinamika Hukum, Vol 11 No 3 September
2011. Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman; Yanti dan
W.E. Nurul. 2010. Etika Profesi Dan Hukum Kebidanan. Yogyakarta: Pustaka
Riham
PENDAHULUAN Kesehatan merupakan modal utama manusia dalam menjalankan
aktifitas seharihari.2 Keberhasilan upaya kesehatan salah satunya tergantung
pada ketersediaan sumber daya kesehatan yang berupa tenaga kesehatan3 . Pada
awalnya profesi di dunia kesehatan yang diakui oleh masyarakat adalah profesi
kedokteran. Namun belakangan pekerjaan keperawatan dan kebidanan mulai
dikembangkan secara sungguh-sungguh sebagai profesi sendiri dengan body of
know ledge dan bentuk pelayanan tersendiri pula.4 Pasal 1 ayat (6) UU Nomor 36
Tahun 2009 Tentang Kesehatan, menyebutkan yang dimaksud dengan Tenaga
kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan
serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang
kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan
upaya kesehatan. Ketersediaan tenaga kesehatan harus diikuti dengan
profesionalitas kerja agar pelayanan kesehatan mempunyai mutu 2 Safitri
Hariyani. 2005. Sengketa Medik : Alternatif Penyelesaian Perselisihan Antara
Dokter dengan Pasien. Jakarta: Diadit Media. Hal 1. 3 Sri Praptianingsih.2006.
Kedudukan Hukum Perawat dalam Upaya Kesehatan di Rumah Sakit. Jakarta:
RajaGrafindo Persada. Hal. 3. 4 Sofyawan Dahlan. 1999. Hukum Kesehatan
Rambu-rambu Profesi Dokter. Semarang: Universitas Diponegoro. Hal-21. yang
bagus dan sesuai dengan standar. Adapun yang dimaksud Standar adalah
pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi
yang meliputi standar pelayanan, standar profesi, dan standar operasional
prosedur (Pasal 1 ayat (6) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/ MENKES/
KES/PER/2010). Ditinjau dari sudut pandang hukum kesehatan, standar
pelayanan medis mempunyai dua tujuan yaitu Pertama, untuk melindungi
masyarakat dari praktik-praktik yang tidak sesuai standar profesi. Kedua,
melindungi anggota profesi dari tuntutan masyarakat yang tidak wajar5 .
Penentuan dari indikasi dan pelaksanaan dari tindakan medis itu haruslah
dilakukan sesuai dengan standar medis yang berlaku.6 Oleh karena itu setiap
tenaga kesehatan harus memperhatikan standar yang berlaku di profesinya
termasuk bidan, selain itu bidan juga harus patuh pada Kode Etik Kebidanan.
Kode etik Kebidanan merupakan suatu pernyataan komprehensif profesi yang
memberikan tuntunan bagi bidan untuk melaksanakan praktek kebidanan baik
yang berhubungan dengan 5 Bahder Johan Nasution. 2005. Hukum Kesehatan
Pertanggungjawaban. Jakarta: Rineka Cipta. Hal. 43. 6 H. J. J. Lenan dan P. A. F.
Lamintang. 1991. Pelayanan Kesehatan dan Hukum : suatu studi Tentang Hukum
Kesehatan. Bandung: Rineka Cipta. Hal 34. Jurnal Kesehatan dan Budaya “
HIKMAH” AKBID Islam Al-Hikmah Jepara ISSN: 1907-1396 Vol.07 No.02 Edisi
November 2014 kesejahteraan keluarga, masyarakat, teman sejawat, profesi dan
dirinya. 7 Supaya sesuai standar dan kode etik, seorang bidan dalam menjalankan
profesinya harus memperhatikan norma dan aturan yang berlaku. Norma adalah
suatu ukuran atau patokan bagi seseorang dalam bertindak atau bertingka laku
dalam masyarakat, intinya norma adalah segala aturan yang harus dipatuhi8 .
Norma merupakan aturan atau kaidah yang dipakai sebagai tolok ukur untuk
menilai sesuatu. Ada tiga macam norma yang dapat dijadikan pedoman bagi
manusia untuk berperilaku dalam masyarakat, yaitu: 1. Etika atau Norma
kesopanan 2. Norma Hukum 3. Norma moral atau etika.9 Norma hukum
merupakan peraturan yang dibuat secara resmi oleh negara yang mengikat semua
orang dan berlakunya dapat dipaksakan oleh aparat negara sehingga kaidah
hukum dapat selalu dipertahankan berlakunya.10 Bidan sebagai salah satu
Profesi yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Dalam 7
Sofyan, Mustika,dkk. 2007. Bidan Menyongsong Masa Depan. Jakarta: PP IBI. Hal-
76 8 Maria Farida Indrati Soeprapto. 2006. Ilmu Perundang-undangan dasar-dasar
dan pembentukannya. Yogyakarta: Kanisius. Hal-6. 9 Anny.Isfandyarie. 2005.
Malpraktek dan Resiko Medik dalam Kajian Hukum Pidana. Jakarta: Prestasi
Pustaka. Hal-3. 10 Anny Isfandyarie. Ibid. hal- 3 menjalankan profesinya harus
mematuhi norma hukum yang berlaku bagi tenaga kesehatan pada umumnya dan
khususnya bagi bidan. Norma hukum yang dimaksud dalam hal ini salah satunya
adalah peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia, yang mengatur
penyelenggaraan praktek bidan. Penyelenggaraan praktek Bidan diatur dalam
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/MENKES/KES/PER/2010. Adanya
peraturan ini menjadikan dua peraturan sebelumnya tidak berlaku, Sebagaimana
yang tercantum dalam Ketentuan Penutup Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1464/ MENKES/ KES/ PER/2010 yaitu pasal 29, peraturan ini sejak
ditetapkannya mencabut dua aturan yang berlaku sebelumnya yaitu: a. Menteri
Kesehatan Nomor 900/MENKES/SK/VII/2002 dan b. Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor HK. 02.02/Menkes/149/I/2010 Tugas dan Kewenangan bidan
dalam peraturan ini diatur dengan jelas, namun ada pro dan kontra terhadap
peraturan ini karena banyak perbedaan dari peraturan semula yaitu Keputusa
menteri Kesehatan Nomor 900/ MENKES/ SK/VII/2002 dan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor HK. 02.02/ Menkes/ 149/I/2010. Peraturan menteri Kesehatan
Nomor 1464/ MENKES/ KES/ PER/2010 banyak yang menganggap Jurnal
Kesehatan dan Budaya “ HIKMAH” AKBID Islam Al-Hikmah Jepara ISSN: 1907-
1396 Vol.07 No.02 Edisi November 2014 mempersempit ruang gerak bidan dalam
memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Ada juga yang berpendapat
hal tersebut wajar saja karena disamping bidan ada dokter dan dokter specialis
Kandungan yang juga mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat sesuai dengan wewenangnya. Hasil penelitian tahun 2012 yang
dilakukan oleh Fitriani Nur Damayanti11 di Semarang, menyebutkan ada
beberapa Bidan yang melakukan Praktek Mandiri Masih menggunakan atau
menerapkan Kepmenkes Nomor 900/ MENKES/ SK/ VII/2002, meski sudah ada
Permenkes 1464 alasan mereka sebagian karena tidak mengetahui Permenkes
Nomor 1464/MENKES/KES/PER/2010 sehingga tidak mengetahui perbedaan
kewenangan bidan setelah keluarnya permenkes nomor 1464 tahun 2010.
Permasalahan ketidaktahuan bidan akan peraturan yang baru (permenkes nomor
1464 tahun 2010) mengenai kewenangan bidan adalah fakta dilapangan, dan hal
itu dimungkinkan bukan hanya di 11 http://jurnal.unimus.ac.id. Fitriani Nur
Damayanti. Perbandingan antara Kepemilikan Kompetensi Bidan Dengan
Pelaksanaan Kewenangan bidan dalam Pelayanan Kebidanan pada Bidan Praktik
Mandiri menurut kepmenkes no. 900/menkes/sk/vii/2002, permenkes no.
Hk.02.02/menkes/149/2010 dan permenkes no. 1464/menkes/per/x/2010 di
Kota Semarang. Semarang saja bahkan di daerah-daerah lain apalagi di daerah
terpencil yang minim akses informasi. Selain itu banyak bidan yang pro dan
kontra terhadap adanya peraturan bidan yang baru tersebut. Berdasarkan hal
tersebut penulis tertarik untuk membahas Tinjauan Yuridis kewenangan bidan
berdasarkan Permenkes Nomor 1464/MENKES/KES/ PER/2010. Pembahasan ini
menjadi penting karena semua orang yang ada di Indonesia dianggap tahu hukum
tidak terkecuali bidan, sehingga alasan ketidaktahuan mereka akan peraturan
baru tidak berlaku di depan hukum, selain itu pembahasan ini diharapkan
memudahkan bidan dalam memahami kewenangannya sesuai peraturan yang
berlaku saat ini, sehingga mereka dapat menjalankan tugas dan wewenangnya
sesuai standart dan ketentuan yang berlaku. (asas) Dari latar belakang di atas
tulisan ini akan menjawab beberapa persoalan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah
dasar hukum kewenangan Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan? 2. Apa
sajakah wewenang bidan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes)
Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010? Jurnal Kesehatan dan Budaya “ HIKMAH”
AKBID Islam Al-Hikmah Jepara ISSN: 1907-1396 Vol.07 No.02 Edisi November
2014 PEMBAHASAN Tinjauan Yuridis Kewenanan Bidan berdasarkan Peraturan
Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang
Penyelenggaraan dan Praktek Bidan A. Dasar Kewenangan Bidan dalam
memberikan pelayanan kesehatan Menurut Wila Chandrawila Supriadi seorang
tenaga kesehatan yang melakukan pekerjaan tanpa kewenangan, dapat dianggap
melanggar salah satu standar profesi tenaga kesehatan12 . Wewenang menurut
S.F. Marbun ialah kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik,
atau secara yuridis adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh
undangundang yang berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum.13
Kata dasar kewenangan adalah wenang atau wewenang. Menurut Kamus Bahasa
Indonesia, wewenang adalah hak dan kekuasaan untuk bertindak atau
menentukan sesuatu. Menurut kamus hukum, wenang adalah 12 Wila
Chandrawila Supriadi. 2001. Hukum Kedokteran. Bandung: Mandar Maju. Hal-
140. 13Sadjijono. 2008. Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi.
Yogyakarta: LaksBang PRESSindo. Hal-50. hak untuk melaksanakan sesuatu,
berarti secara harafiah kewenangan adalah dasar hak atau dasar kekuasaan.14
Hak ialah Kewenangan yang melekat pada diri untuk melakukan atau tidak
melakukan, memperoleh atau tidak memperolah sesuatu.15 Kewenangan menurut
P.Nicolai adalah kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu (yaitu
tindakantindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum, dan
mencakup mengenai timbulnya dan lenyapnya akibat tertentu. Kewenangan berisi
hak dan kewajiban tertentu, hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak
melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain melakukan tindakan
tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak
melakukan tindakan tertentu.16 Senada dengan pendapat P. Nicolai, Bagir Manan
juga berpendapat bahwa wewenang dalam bahasa hukum berarti hak dan
kewajiban (rechten en plichten), berbeda dengan kekuasaan 14Soerjono Soekanto
& R. Otje Salman. 1996. Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial Jakarta: Rajawali
Pers. Hal-16. 15 Mariana Amiruddin. 2003. Kesehatan dan Hak Reproduksi
Perempuan Panduan untuk Jurnalis, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan (YJP)
dan the Japan Foundation. hal-10. 16 Ridwan HR. 2003. Hukum Administrasi
Negara. Yogyakarta: UII Press. Hal 71-72. Jurnal Kesehatan dan Budaya “
HIKMAH” AKBID Islam Al-Hikmah Jepara ISSN: 1907-1396 Vol.07 No.02 Edisi
November 2014 (macht) yang hanya menggambarkan hak untuk berbuat dan tidak
berbuat.17 Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kewenangan
ialah kemampuan atau hak untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang
disertai dengan kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan
tertentu. Kewenangan bidan berarti kemampuan atau hak bidan untuk
memberikan pelayaan kesehatan yang mana bidan juga mempunyai kewajiban
tertentu. Sesuai dengan dengan UndangUndang Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 23
ayat (1 dan 2) Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan
kesehatan, adapun pelayanan kesehatan yang dimaksud harus sesuai dengan
bidang keahlian yang dimiliki. Selain itu dalam ayat (3) juga disebutkan bahwa
dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan wajib memiliki
izin dari pemerintah. Tenaga kesehatan yang dimaksud meliputi : 1. Tenaga medis;
2. Tenaga keperawatan dan bidan; 3. Tenaga kefarmasian; 17 Ridwan HR. Ibid.
Hal-72. 4. tenaga kesehatan masyarakat; 5. tenaga gizi; 6. tenaga keterapian fisik;
dan 7. tenaga keteknisian medis. Dari penjelasan di atas bidan masuk dalam salah
satu tenaga kesehatan, yang mana untuk memperoleh kewenangan bidan juga
harus mematuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 23 ayat
(3) yaitu memiliki izin. Bidan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan baik
secara mandiri maupun di fasilitas pelayanan kesehatan wajib memiliki izin dari
pemerintah. Dalam hal ini pemerintah diwakili oleh Departemen Kesehatan,
Pemberian kewenangan kepada bidan yang sudah memenuhi syarat tertentu
diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor
1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaran Praktik Bidan.
Syarat-syarat bidan agar mendapat kewenangan memberikan pelayanan kesehatan
sesuai Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor
1464/Menkes/Per/X/2010 ialah: 1. Sudah memiliki STR (Surat Tanda
Regristrasi )18; 18 Apabila belum terbentuk Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia
(MTKI) Majelis Tenaga Kesehatan Provinsi (MTKP) dan/atau proses STR belum
dapat dilaksanakan, maka surat Jurnal Kesehatan dan Budaya “ HIKMAH” AKBID
Islam Al-Hikmah Jepara ISSN: 1907-1396 Vol.07 No.02 Edisi November 2014 2.
Minimal Lulusan D III bagi bidan yang Praktek Mandiri; 3. Memiliki SIPB bagi
bidan yang praktek mandiri; 4. Memiliki SIKB bagi bidan yang praktek di fasilitas
pelayanan kesehatan. 5. SIKB atau SIPB berlaku hanya untu satu tempat. (pasal
3) Bagi bidan yang sudah di berikan izin oleh pemerintah harus menjalankan
kewenangannya untuk melaksanakan pekerjaannya secara professional, sebab
seorang tenaga kesehatan dalam melakukan pekerjaannya, selalu dituntut untuk
sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur tindakan medik19 Oleh
karena itu bagi profesi kesehatan khususnya Bidan harus memahami norma dan
aturan yang berlaku di profesinya. Dasar kewenangan bidan sangat tegas dan kuat
karena telah diatur oleh Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 23, dan
untuk pelaksanaan teknisnya telah didelegasikan melalui pasal 23 ayat (5)
undang-undang tersebut kepada peraturan menteri dan dalam hal ini diatur
dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor izin Bidan ditetapkan
berlaku sebagai STR (pasal 4 ayat (3) Permenkes Nomor
1464/Menkes/Per/X/2010). 19Wila Chandrawila Supriadi. 2001. Hukum
Kedokteran. Bandung: Mandar Maju. 42-43 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang
Izin dan Penyelenggaran Praktik Bidan. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1464/MENKES/KES/PER/2010, ini mempunyai kekuatan hukum yang mengikat
profesi bidan karena peraturan ini melaksanakan ketentuan undangundang yaitu
pasal 23 ayat (5) Undangundang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan yang
ber bunyi : Ketentuan mengenai perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)20
diatur dalam Peraturan Menteri. Oleh karena itu agar tidak melanggar atau
melampaui kewenangannya bidan harus mematuhi peraturan ini, karena
mempunyai kekuatan hukum mengikat profesi bidan, sebagaimana yang
disebutkan dalam pasal 7 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang
Pembentukan peraturan peraturan perundangundangan yang menyebutkan
bahwa Jenis dan hierarkhi peraturan perundang-undangan yang mempunyai
kekuatan hukum mengikat sebagai berikut : 1. Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945; 20 Dalam menyelenggarakan pelayanan
kesehatan, tenaga kesehatan wajib memiliki izin dari pemerintah. Jurnal
Kesehatan dan Budaya “ HIKMAH” AKBID Islam Al-Hikmah Jepara ISSN: 1907-
1396 Vol.07 No.02 Edisi November 2014 2. Undang-undang atau Peraturan
pengganti Undang-undang; 3. Peraturan pemerintah; 4. Peraturan Presiden; 5.
Peraturan Daerah; 6. Peraturan perundang-undangan lain yang diperintahkan
oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Permenkes Nomor 1464/
Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaran Praktik Bidan termasuk
Peraturan perundang-undangan lain yang diperintahkan oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam hal ini diperintahkan pasal 3 ayat
(5) Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan. Oleh karena itu
semua bidan di Indonesia baik yang menyelenggarakan praktek mandiri maupun
yang di fasilitas pelayanan kesehatan harus melaksanakan kewenangannya sesuai
Peraturan Menteri Kesehatan tersebut. B. Kewenangan Bidan Dalam Peraturan
Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 Kewenangan
bidan baik di fasilitas pelayanan kesehatan maupun yang praktek mandiri
berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor
1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaran Praktik Bidan,
sebagai berikut: 1) Kewenangan Bidan secara umum 2) Kewenangan Dalam
Menjalankan Program Pemerintah 3) Kewenangan bidan yang menjalankan praktik
di daerah yang tidak memiliki dokter. Adapun Rincian Tiga (3) kewenangan Bidan
di atas sebagai berikut: 1. Kewenangan Bidan Secara Umum Kewenangan bidan
secara umum maksudnya berlaku untuk semua bidan baik di fasilitas kesehatan
maupun yang praktek mandiri meliputi: A. Pelayanan kesehatan ibu Pelayanan
kesehatan ibu diberikan pada masa pra hamil, kehamilan, masa persalinan, masa
nifas, masa menyusui dan masa antara dua kehamilan.(pasal 10 ayat 1) Adapun
ruang lingkup pelayanan kesehatan ibu meluputi: a. Pelayanan konseling pada
masa pra hamil b. Pelayanan antenatal pada kehamilan normal c. Pelayanan
persalinan normal d. Pelayanan ibu nifas normal e. Pelayanan ibu menyusui dan
Jurnal Kesehatan dan Budaya “ HIKMAH” AKBID Islam Al-Hikmah Jepara ISSN:
1907-1396 Vol.07 No.02 Edisi November 2014 f. Pelayanan konseling pada masa
antara dua kehamilan. (pasal 10 ayat 1) Pelayanan-pelayanan sebagaimana yang
dimaksud dalam pasal 10 ayat 2 di atas, bidan berwenang memberikan pelayanan
untuk: a. Episiotomi; b. Penjahitan luka jalan lahir tingkat I dan II; c. Penanganan
kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan perujukan; d. Pemberian tablet Fe pada ibu
hamil; e. Pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu nifas; f. Fasilitasi/bimbingan
inisiasi menyusu dini (IMD) dan promosi air susu ibu (ASI) eksklusif; g. Pemberian
uterotonika pada manajemen aktif kala tiga dan postpartum; h. Penyuluhan dan
konseling; i. Bimbingan pada kelompok ibu hamil; j. Pemberian surat keterangan
kematian; k. Pemberian surat keterangan cuti bersalin. Ruang lingkup pelayan
kebidanan kepada ibu dalam permenkes Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010, ada
perbedaan dengan Keputusan Menteri Kesehatan nomor
900/MENKES/SK/VII/2002 dimana perbedaan itu terletak pada dihapuskannya
beberapa kewenangan bidan yang semula ada dalam Keputusan Menteri
Kesehatan nomor 900/MENKES/SK/VII/2002 yaitu: 1. Pemeriksaan fisik 2.
Pertolongan pada kehamilan abnormal yang mencakup ibu hamil dengan abortus
iminens, hiperemesis gravidarum tingkat I, preeklamasi ringan dan anemi ringan;
3. Pertolongan pada kehamilan abnormal yang mencakup letak sungsang, partus
macet kepala di dasar panggul, ketuban pecah dini (KPD) tanpa infeksi,
perdarahan post partum, laserasi jalan lahir, distosia karena inersia uteri primer,
post term dan pre term; 4. Pelayanan ibu nifas abnormal yang mencakup retensio
plasenta, renjatan dan infeksi ringan; 5. Pelayanan dan pengobatan pada kelainan
ginekologi yang Jurnal Kesehatan dan Budaya “ HIKMAH” AKBID Islam Al-Hikmah
Jepara ISSN: 1907-1396 Vol.07 No.02 Edisi November 2014 meliputi keputihan,
perdarahan tidak teratur dan penundaan Haid. B. Pelayanan kesehatan anak
Diberikan kepada bayi baru lahir, bayi, anak balita, dan anak pra sekolah.
Kewenangan bidan dalam pelayanan kesehatan kepada anak meliputi: 1.
Melakukan asuhan bayi baru lahir normal termasuk resusitasi, pencegahan
hipotermi, inisiasi menyusu dini (IMD), injeksi vitamin K 1, perawatan bayi baru
lahir pada masa neonatal (0-28 hari), dan perawatan tali pusat 2. Penanganan
hipotermi pada bayi baru lahir dan segera merujuk 3. Penanganan
kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan perujukan 4. Pemberian imunisasi rutin
sesuai program Pemerintah 5. Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita
dan anak pra sekolah 6. Pemberian konseling dan penyuluhan 7. Pemberian surat
keterangan kelahiran 8. Pemberian surat keterangan kematian. (Pasal 10 ayat 3) C.
Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana Pelayanan
kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana, dengan kewenangan: 1.
Memberikan penyuluhan dan konseling kesehatan reproduksi perempuan dan
keluarga berencana 2. Memberikan alat kontrasepsi oral dan kondom Kewenangan
bidan secara umum atau yang berlaku untuk semua bidan baik yang di fasilitas
kesehatan maupun yang praktek mandiri, dibatasi hanya untuk kesehatan ibu
dan anak sementara pelayanan kesehatan masyarakat yang dulu tercantum dalam
kepmenkes nomor 900 tahun 2002 ditiadakan. 2. Kewenangan Dalam
Menjalankan Program Pemerintah Selain kewenangan umum di atas, khusus bagi
bidan yang menjalankan program Pemerintah sebagaimana yang tercantum dalam
pasal pasal 13 ayat 1, bidan mendapat kewenangan tambahan untuk melakukan
pelayanan kesehatan yang meliputi: Jurnal Kesehatan dan Budaya “ HIKMAH”
AKBID Islam Al-Hikmah Jepara ISSN: 1907-1396 Vol.07 No.02 Edisi November
2014 a. Pemberian alat kontrasepsi suntikan, alat kontrasepsi dalam rahim, dan
memberikan pelayanan alat kontrasepsi bawah kulit; b. Asuhan antenatal
terintegrasi dengan intervensi khusus penyakit kronis tertentu (dilakukan di
bawah supervisi dokter); c. Penanganan bayi dan anak balita sakit sesuai pedoman
yang ditetapkan; d. Melakukan pembinaan peran serta masyarakat di bidang
kesehatan ibu dan anak, anak usia sekolah dan remaja, dan penyehatan
lingkungan; e. Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita, anak pra sekolah
dan anak sekolah; f. Melaksanakan pelayanan kebidanan komunitas; g.
Melaksanakan deteksi dini, merujuk dan memberikan penyuluhan terhadap
Infeksi Menular Seksual (IMS) termasuk pemberian kondom, dan penyakit lainnya;
h. Pencegahan penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya
(NAPZA) melalui informasi dan edukasi; i. Pelayanan kesehatan lain yang
merupakan program Pemerintah. Dalam pasal 13 ayat 2 disebutkan Khusus untuk
pelayanan alat kontrasepsi bawah kulit, asuhan antenatal terintegrasi,
penanganan bayi dan anak balita sakit, dan pelaksanaan deteksi dini, merujuk,
dan memberikan penyuluhan terhadap Infeksi Menular Seksual (IMS) dan
penyakit lainnya, serta pencegahan penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan
Zat Adiktif lainnya (NAPZA), hanya dapat dilakukan oleh bidan yang telah
mendapat pelatihan untuk pelayanan tersebut. 3. Kewenangan bidan yang
menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter Khusus di daerah
(kecamatan atau kelurahan/desa) yang belum ada dokter, bidan juga diberikan
kewenangan sementara untuk memberikan pelayanan kesehatan di luar
kewenangannya dalam pasal 9 (kewenangan secara umum), dengan syarat telah
ditetapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Kewenangan bidan
untuk memberikan pelayanan kesehatan di luar kewenangan Umum tersebut
berakhir dan tidak berlaku lagi jika di daerah tersebut sudah terdapat tenaga
dokter (pasal 14). Jurnal Kesehatan dan Budaya “ HIKMAH” AKBID Islam Al-
Hikmah Jepara ISSN: 1907-1396 Vol.07 No.02 Edisi November 2014 Dalam
menjalankan praktik, bidan berkewajiban untuk: 1) Menghormati hak pasien 2)
Merujuk kasus yang tidak dapat ditangani dengan tepat waktu. 3) Menyimpan
rahasia kedokteran21 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
4) Memberikan informasi tentang masalah kesehatan pasien dan pelayanan yang
dibutuhkan; 5) Meminta persetujuan tindakan kebidanan yang akan dilakukan; 6)
Melakukan pencatatan asuhan kebidanan secara sistematis; 7) Mematuhi standar;
dan 8) Melakukan pelaporan penyelenggaraan praktik kebidanan termasuk
pelaporan kelahirana dan kematian. 9) Senantiasa meningkatkan mutu pelayanan
profesinya, dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
melalui pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bidang tugasnya. 10) Membantu
program pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. (Pasal
18) 21 Kewajiban menyimpan rahasia kedokteran merupakan kesejajaran dengan
hak pasien untuk disimpan rahasianya oleh dokter (tenaga medis). (Crisdiono,
2007: 11). Hak dan kewajiban selalu beriringan oleh karena itu selain mempunyai
kewajiban di atas bidan mempunyai hak22 : 1. Memperoleh perlindngan hukum23
dalam melaksanakan praktik/kerja sepanjang sesuai dengan standar; 2.
Memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari pasien dan/atau keluarga; 3.
Melaksanakan tugas sesuai dengan kewenangan dan standar; dan 4. Menerima
imbalan jasa profesi. (pasal 19) SIMPULAN DAN SARAN Kewenangan Bidan
berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1464/ Menkes/
Per/ X/2010 dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa: 22 Hak adalah
kepentingan yang dilindungi hukum (Sudikno, 2005:43). 23 Menurut
Koerniatmanto soetoprawiro perlindungan hukum itu pada hakekatnya adalah
suatu upaya dari pihak yang berwenang untuk memberikan jaminan dan
kemudahan yang sedemikian rupa sehingga setiap warga negara ataupun segenap
warga negara dapat mengaktualisasikan hak dan kewajiban mereka secara optimal
dengan tenang dan tertib. Jurnal Kesehatan dan Budaya “ HIKMAH” AKBID Islam
Al-Hikmah Jepara ISSN: 1907-1396 Vol.07 No.02 Edisi November 2014 1. Dasar
kewenangan bidan sangat tegas dan kuat karena telah diatur oleh Undang-undang
Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 23, dan untuk pelaksanaan teknisnya telah
didelegasikan melalui pasal 23 ayat (5) undang-undang tersebut kepada peraturan
menteri dan dalam hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes)
Nomor 1464/ Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaran Praktik
Bidan. 2. Ruang lingkup kewenangan bidan yaitu: a. Kewenangan Bidan secara
umum Kewenangan bidan secara umum atau yang berlaku untuk semua bidan
baik yang di fasilitas kesehatan maupun yang praktek mandiri, dibatasi hanya
untuk kesehatan ibu dan anak sementara pelayanan kesehatan masyarakat yang
dulu tercantum dalam kepmenkes nomor 900 tahun 2002 ditiadakan. b.
Kewenangan Dalam Menjalankan Program Pemerintah c. Kewenangan bidan yang
menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter. DAFTAR PUSTAKA 1.
Anny.Isfandyarie. 2005. Malpraktek dan Resiko Medik dalam Kajian Hukum
Pidana. Jakarta: Prestasi Pustaka. 2. Bahder Johan Nasution. 2005. Hukum
Kesehatan Pertanggungjawaban. Jakarta: Rineka Cipta. 3. Chrisdiono M. Achadiat.
2007. Dinamika Etika dan Hukum kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedoktera
EGC. Hal-11. 4. H. J. J. Lenan dan P. A. F. Lamintang. 1991. Pelayanan Kesehatan
dan Hukum : suatu studi Tentang Hukum Kesehatan. Bandung: Rineka Cipta. 5.
Maria Farida Indrati Soeprapto. 2006. Ilmu Perundang-undangan dasardasar dan
pembentukannya. Yogyakarta: Kanisius. 6. Sadjijono. 2008. Memahami Beberapa
Bab Pokok Hukum Administrasi. Yogyakarta: LaksBang PRESSindo. 7. Safitri
Hariyani. 2005. Sengketa Medik : Alternatif Penyelesaian Perselisihan Antara
Dokter dengan Pasien. Jakarta: Diadit Media. 8. Soerjono Soekanto & R. Otje
Salman. 1996. Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial Jakarta: Rajawali Pers. 9.
Sofyawan Dahlan. 1999. Hukum Kesehatan Rambu-rambu Profesi Dokter.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 10. Sofyan, Mustika,dkk. 2007.
Bidan Menyongsong Masa Depan. Jakarta: PP IBI. 11. Sri Praptianingsih.2006.
Kedudukan Hukum Perawat dalam Upaya Kesehatan di Rumah Sakit. Jakarta:
RajaGrafindo Persada. 12. Wila Chandrawila Supriadi. 2001. Hukum Kedokteran.
Bandung: Mandar Maju.http://jurnal.unimus.ac.id. Fitriani Nur Damayanti.
Perbandingan Jurnal Kesehatan dan Budaya “ HIKMAH” AKBID Islam Al-Hikmah
Jepara ISSN: 1907-1396 Vol.07 No.02 Edisi November 2014 antara Kepemilikan
Kompetensi Bidan Dengan Pelaksanaan Kewenangan bidan dalam Pelayanan
Kebidanan pada Bidan Praktik Mandiri menurut kepmenkes no.
900/menkes/sk/vii/2002, permenkes no. Hk.02.02/menkes/149/2010 dan
permenkes no. 1464/menkes/per/x/2010 di Kota Semarang. 13. Undang-Undang
No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. 14. Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun
1996 Tentang Tenaga Kesehatan. 15. Kepmenkes RI No.900/ Menkes/
SK/VII/2002 Tentang Registrasi dan Praktik Bidan. 16. Kepmenkes RI No.
369/MENKES/SK/III/2007 Tentang Standar Profesi Bidan. 17. Permenkes RI No.
HK.02.02/Menkes/149/I/2010 Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan.
18. Permenkes No. 1464/ Menkes/ Per/X/2010 Tentang Izin dan Penyelenggaraan
Praktik Bidan.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sejarah menunjukkan bahwa bidan adalah salah satu profesi tertua di dunia sejak
adanya peradaban umat manusia. Bidan muncul sebagai wanita terpercaya dalam
mendampingi dan menolong ibu yang melahirkan. Peran dan posisi bidan dimasyarakat
sangat dihargai dan dihormati karena tugasnya yang sangat mulia, memberi semangat,
membesarkan hati, mendampingi, serta menolong ibu yang melahirkan sampai ibu dapat
merawat bayinya dengan baik.
Sejak zaman pra sejarah, dalam naskah kuno sudah tercatat bidan dari Mesir yang
berani ambil resiko membela keselamatan bayi-bayi laki-laki bangsa Yahudi yang
diperintahkan oleh Firaun untuk di bunuh. Mereka sudah menunjukkan sikap etika moral
yang tinggi dan takwa kepada Tuhan dalam membela orang-orang yang berada dalam posisi
yang lemah, yang pada zaman modern ini, kita sebut peran advokasi. Bidan sebagai pekerja
profesional dalam menjalankan tugas dan prakteknya, bekerja berdasarkan pandangan
filosofis yang dianut, keilmuan, metode kerja, standar praktik pelayanan serta kode etik yang
dimilikinya
Keberadaan bidan di Indonesia sangat diperlukan dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan ibu dan janinnya, salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah adalah
mendekatkan pelayanan kebidanan kepada setiap ibu yang membutuhkannya. Pada tahun
1993 WHO merekomendasikan agar bidan di bekali pengetahuan dan ketrampilan
penanganan kegawatdaruratan kebidanan yang relevan. Untuk itu pada tahun 1996 Depkes
telah menerbitkan Permenkes No.572/PER/Menkes/VI/96 yang memberikan wewenang dan
perlindungan bagi bidan dalam melaksanakan tindakan penyelamatan jiwa ibu dan bayi baru
lahir.
Pada pertemuan pengelola program Safe Mother Hood dari negara-negara di wilayah
Asia Tenggara pada tahun 1995, disepakati bahwa kualitas pelayanan kebidanan diupayakan
agar dapat memenuhi standar tertentu agar aman dan efektif.
Sebagai tindak lanjutnya WHO mengembangkan Standar Pelayanan Kebidanan.
Standar ini kemudian diadaptasikan untuk pemakaian di Indonesia, khususnya untuk tingkat
pelayanan dasar, sebagai acuan pelayanan di tingkat masyarakat.
Dengan adanya standar pelayanan, masyarakat akan memiliki rasa kepercayaan yang
lebih baik terhadap pelaksana pelayanan. Suatu standar akan lebih efektif apabila dapat
diobservasi dan diukur, realistis, mudah dilakukan dan dibutuhkan. Pelayanan kebidanan
merupakan pelayanan profesional yang menjadi bagian integral dari pelayanan kesehatan
sehingga standar pelayanan kebidanan dapat pula digunakan untuk menentukan

1.2 Ruang Lingkup Masalah


Ruang lingkup pembahasan yang akan dibahas yaitu mengenai Spek hukum dalam
praktek kebidanan

1.3 Tujuan dan Maksud Penulisan


1. Mahasiswa mampu mempelajari dan melaksanakan asuhan kebidanan pada bayi lahir dengan
trauma lahir.
2. Untuk mengingatkan kita kembali, untuk semaksimal mungkin melakukan penatalaksanaan
perioperatif pada obstuksi usus untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas pada bayi dan
anak

1.4 Metodologi Penulisan


Metodologi penulisan merupakan cara untuk memperoleh kebenaran ilmu
pengetahuan atau pemecahan suatu masalah yang pada dasarnya menggunakan metode
ilmiah, dalam penyusunan makalah ini kami menggunakan metode studi pustaka melalui
referensi-referensi yang ada di perpustakaan kampus maupun internet.

1.5 Sistematika Penulisan


KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Ruang Lingkup Masalah
1.3 Tujuan dan Maksud Penulisan
1.4 Metodologi Penulisan
1.5 Sistematika Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Bidan
2.2 Standar Asuhan Kebidanan
2.3 Registrasi Praktik Bidan
2.4 Kewenangan Bidan di Komunitas
2.5 Aspek Hukum Perdata memiliki 2 bentuk pertanggung jawaban hokum
Sanksi dari timbulnya gugatan adanya Wanprestasi maupun adanya PMH, secara hukum
perdata, dapat kita teliti pasal –pasal
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Bidan


Dalam bahasa inggris, kata Midwife (Bidan) berarti “with woman”(bersama wanita,
mid = together, wife = a woman. Dalam bahasa Perancis, sage femme (Bidan) berarti “wanita
bijaksana”,sedangkan dalam bahasa latin, cum-mater (Bidan) bearti ”berkaitan dengan
wanita”.
Menurut churchill, bidan adalah ” a health worker who may or may not formally trained and
is a physician, that delivers babies and provides associated maternal care” (seorang petugas
kesehatan yang terlatih secara formal ataupun tidak dan bukan seorang dokter, yang
membantu pelahiran bayi serta memberi perawatan maternal terkait).
Definisi Bidan (ICM): bidan adalah seorang yang telah menjalani programpendidikan
bidan yang diakui oleh negara tempat ia tinggal, dan telah berhasil menyelesaikan studi
terkait serta memenuhi persyaratan untuk terdaftar dan atau memiliki izin formal untuk
praktek bidan. Bidan merupakan salah satu profesi tertua didunia sejak adanya peradaban
umat manusia.
Bidan adalah seorang perempuan yang lulus dari pendidikan bidan, yang terakreditasi,
memenuhi kualifikasi untuk diregister, sertifikasi dan atau secara sah mendapat lisensi untuk
praktek kebidanan. Yang diakui sebagai seorang profesional yang bertanggungjawab,
bermitra dengan perempuan dalam memberikan dukungan, asuhan dan nasehat yang
diperlukan selama kehamilan, persalinan dan nifas, memfasilitasi kelahiran atas tanggung
jawabnya sendiri serta memberikan asuhan kepada bayi baru lahir dan anak.
KEPMENKES NOMOR 900/ MENKES/SK/ VII/2002 bab I pasal 1:
Bidan adalah seorang wanita yang telah mengikuti program pendidikan bidan dan
lulus ujian sesuai persyaratan yang berlaku
Menurut WHO bidan adalah seseorang yang telah diakui secara regular
dalamprogram pendidikan kebidanan sebagaimana yang telah diakui skala yuridis, dimana ia
ditempatkan dan telah menyelesaikan pendidikan kebidanan dan memperoleh izin
melaksanakan praktek kebidanan.
2.2 Standar Asuhan Kebidanan
Standar asuhan kebidanan sangat penting di dalam menentukan apakah seorang bidan
telah melanggar kewajibannya dalam menjalankan tugas profesinya. Adapun standar asuhan
kebidanan terdiri dari :
Standar I : Metode Asuhan
Merupakan asuhan kebidanan yang dilaksanakan dengan metode manajemen
kebidanan dengan tujuh langkah, yaitu : pengumpulan data, analisa data, penentuan diagnosa,
perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan dokumentasi.
Standar II : Pengkajian
Pengumpulan data mengenai status kesehatan klien yang dilakukan secara sistematis dan
berkesinambungan. Data yang diperoleh dicatat dan dianalisis.
Standar III : Diagnosa Kebidanan
Diagnosa Kebidanan dirumuskan dengan padat, jelas dan sistematis mengarah pada asuhan
kebidanan yang diperlukan oleh klien sesuai dengan wewenang bidan berdasarkan analisa
data yang telah dikumpulkan.
Standar IV : Rencana Asuhan
Rencana asuhan kebidanan dibuat berdasarkan diagnosa kebidanan.
Standar V : Tindakan
Tindakan kebidanan dilaksanakan berdasarkan rencana dan perkembangan keadaan klien dan
dilanjutkan dengan evaluasi keadaan klien.
Standar VI : Partisipasi klien
Tindakan kebidanan dilaksanakan bersama-sama/pertisipasi klien dan keluarga dalam rangka
peningkatan pemeliharaan dan pemulihan kesehatan.
Standar VII : Pengawasan
Monitoring atau pengawasan terhadap klien dilaksanakan secara terus menerus dengan tujuan
untuk mengetahui perkembangan klien.

Standar VIII : Evaluasi


Evaluasi asuhan kebidanan dilaksanakan secara terus menerus seiring dengan tindakan
kebidanan yang dilaksanakan dan evaluasi dari rencana yang telah dirumuskan.
Standar IX : Dokumentasi
Asuhan kebidanan didokumentasikan sesuai dengan standar dokumentasi asuhan kebidanan
yang diberikan.

2.3 Registrasi Praktik Bidan


Bidan merupakan profesi yang diakui secara nasional maupun intenasional oleh
International Confederation of Midwives (ICM). Dalam menjalankan tugasnya, seorang
bidan harus memiliki kualifiksi agar mendapatkan lisensi untuk praktek.
Praktek pelayanan bidan perorangan (swasta), merupakan penyedia layanan
kesehatan, yang memiliki kontribusi cukup besar dalam memberikan pelayanan, khususnya
dalam meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak. Supaya masyarakat pengguna jasa layanan
bidan memperoleh akses pelayanan yang bermutu dari pelayanan bidan, perlu adanya regulasi
pelayanan praktek bidan secara jelas, persiapan sebelum bidan melaksanakan pelayanan
praktek, seperti perizinan, tempat, ruangan, peralatan praktek, dan kelengkapan administrasi
semuanya harus sesuai dengan standar
Dalam hal ini pemerintah telah menetapkan peraturan mengenai registrasi dan praktik
bidan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
900/MENKES/SK/VII/2002 (Revisi dari Permenkes No.572/MENKES/PER/VI/1996).
Registrasi adalah proses pendaftaran, pendokumentasian dan pengakuan terhadap
bidan, setelah dinyatakan memenuhi minimal kompetensi inti atau standar tampilan minimal
yang ditetapkan. Bidan yang baru lulus dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh
SIB dengan mengirimkan kelengkapan registrasi kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi
dimana institusi pendidikan berada selambat-lambatnya satu bulan setelah menerima ijazah
bidan. Kelengkapan registrasi meliputi :
- Fotokopi ijazah bidan.
- Fotokopi transkrip nilai akademik.
- Surat keterangan sehat dari dokter.
- Pas foto ukuran 4 x 6 cm sebanyak dua lembar.
Bidan yang menjalankan praktek pada sarana kesehatan atau dan perorangan harus
memiliki SIPB dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota setempat, dengan melampirkan persyaratan yang meliputi :
- Fotokopi SIB yang masih berlaku.
- Fotokopi ijazah bidan.
Surat persetujuan atasan, bila dalam pelaksanaan masa bakti atau sebagai pegawai
negeri atau pegawai pada sarana kesehatan.
- Surat keterangan sehat dari dokter.
- Rekomendasi dari organisasi profesi.
- Pas foto 4 x 6 cm sebanyak 2 lembar.
- SIPB berlaku sepanjang SIB belum habis masa berlakunya dan dapat diperbaharui kembali.

2.4 Kewenangan Bidan Di Komunitas


Bidan dalam menjalankan praktiknya di komunitas berwenang untuk memberikan
pelayanan sesuai dengan kompetensi 8 yaitu bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi
dan komprehensif pada keluarga, kelompok dan masyarakat sesuai dengan budaya setempat,
yang meliputi :
1. Pengetahuan dasar
- Konsep dasar dan sasaran kebidanan komunitas.
- Masalah kebidanan komunitas.
- Pendekatan asuhan kebidanan komunitas pada keluarga, kelompok dan masyarakat.
- Strategi pelayanan kebidanan komunitas.
- Upaya peningkatan dan pemeliharaan kesehatan ibu dan anak dalam keluarga dan
masyarakat.
- Faktor – faktor yang mempengaruhi kesehatan ibu dan anak.
- Sistem pelayanan kesehatan ibu dan anak.
2. Pengetahuan tambahan
- Kepemimpinan untuk semua (Kesuma)
- Pemasaran social
- Peran serta masyarakat
- Audit maternal perinatal
- Perilaku kesehatan masyarakat
- Program – program pemerintah yang terkait dengan kesehatan ibu dan anak (Safe Mother
Hood dan Gerakan Sa g. Paradigma sehat tahun 2010.
3. Keterampilan dasar
- Melakukan pengelolaan pelayanan ibu hamil, nifas laktasi, bayi, balita dan KB di
masyarakat.
- Mengidentifikasi status kesehatan ibu dan anak.
- Melakukan pertolongan persalinan dirumah dan polindes.
- Melaksanakan penggerakan dan pembinaan peran serta masyarakat untuk mendukung upaya
kesehatan ibu dan anak.
- Melaksanakan penyuluhan dan konseling kesehatan.
- Melakukan pencatatan dan pelaporan
4. Keterampilan tambahan
- Melakukan pemantauan KIA dengan menggunakan PWS KIA.
- Melaksanakan pelatihan dan pembinaan dukun bayi.
- Mengelola dan memberikan obat – obatan sesuai dengan kewenangannya.
- Menggunakan tehnologi tepat guna.
- Pengertian Profesi
Profesi adalah pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu
pengetahuan khusus. Suatu profesi biasanya memiliki asosiasi profesi, kode etik, serta proses
sertifikasi dan lisensi yang khusus untuk bidang profesi tersebut. Contoh profesi adalah pada
bidang hukum, kedokteran, keuangan, militer, dan teknik.

Bidan Sebagai Profesi


Sebagai anggota profesi, bidan mempunyai ciri khas yang khusus. Sebagaii pelayan
profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan. Bidan mempunyai
tugas yang sangat unik, yaitu:
- Selalu mengedepankan fungsi ibu sebagai pendidik bagi anak-anaknya.
- Memiliki kode etik dengan serangkaian pengetahuan ilmiah yang didapat melalui proses
pendidikan dan jenjang tertentu
- Keberadaan bidan diakui memiliki organisasi profesi yang bertugas meningkatkan mutu
pelayanan kepada masyarakat,
- Anggotanya menerima jasa atas pelayanan yang dilakukan dengan tetap memegang teguh
kode etik profesi.
Perilaku Profesional Bidan
1. Bertindak sesuai keahliannya
2. Mempunyai moral yang tinggi
3. Bersifat jujur
4. Tidak melakukan coba-coba
5. Tidak memberikan janji yang berlebihan
6. Mengembangkan kemitraan
7. Terampil berkomunikasi
8. Mengenal batas kemampuan
9. Mengadvokasi pilihan ibu
2.5 Aspek Hukum Perdata memiliki 2 bentuk pertanggung jawaban hukum yaitu :
1. Wanprestasi, yaitu pertanggungjawaban hukum atas kerugian yang
disebabkannya,hasil tidak sesuai
2. Perbuatan Melawan Hukum (PMH), yaitu pertanggungjawaban atas kerugian
yang disebabkan perbuatanya, sehingga menimbulkan kerugian.baik moril atau
materil bagi keluarga ps/ps;
Prinsip pertanggungjawaban dalam hukum perdata/BW :
1. Setiap tindakan yg menimbulkan kerugian atas diri orang lain berarti orang yg
melakukanya harus membayar kompensasi kerugian(pasal 1365 BW ).
2. Seseorang harus bertanggungjawab tidak hanya karena kerugian yg
dilakukanya dengan sengaja , tetapi juga karena kelalaian atau kurang berhati-hati
(pasal 366 BW)3. Seseorang harus memberikan pertanggungjawabaan tidak hanya
karena kerugian atas tindakan pelayanannya akan tetapi juga bertanggung jawab atas
kelalaian orang lain dibawah pengawasanya.(pasal 1367 KUHPerdata).
3. Tuntutan perdata pada dasarnya bertujuan utuk memperoleh kompensasi atas
kerugian yg diderita , oleh karena itu sebagai dasar dalam menuntut seorang tenaga
kesehatan termasuk bidan dalam menjalankan profesinya adalah adanya wanprestasi
atau adanya perbuatan melawan hukum, seperti terurai diatas.
4. Dalam aspek hukum, wanprestasi adalah suatu keadaan dimana seseorang
tidak memenuhi kewajibanya yang didasarkan adanya perikatan atau
perjannjian/kontrak kerja,

2.6 Sanksi dari timbulnya gugatan adanya Wanprestasi maupun adanya PMH, secara
hukum perdata, dapat kita teliti pasal –pasal berikut ini :
1. Pasal 1354 KUH Perdata:
“Jika seorang dengan sukarela, dengan tidak mendapat perintah untuk itu, mewakili
urusan orang lain dengan atau tanpa pengetahuan orang ini, maka ia secara diam-diam
mengikat dirinya untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan tersebut, hingga orang yang
diwakili kepentinganya dapat mengerjakan sendiri urusan itu. Ia memikul segala kewajiban
yang harus dipikulnya, seandainya ia kuasakan dengan suatu pemberian kuasa yang
dinyatakan dengan tegas “
Contoh kasus seorang tenaga kesehatan memberikan pertolongan
pernafasan/Resusitasi pada ps, hrs dilakukan sp selesai jangan ditinggal begitu saja. Atau
sampai ps mampu untuk meneruskan atau keluarganya. Jika terjadi “penanganan “resusitasi
ditinggalkan ,maka ia akan dituntut sesuai pasal 1354 KUHPerdata, kepengadilan.

2. Dalam UU No.8/1999 Tentang Perlindungan Konsumen,


Sebagai konsumen dalam pelayanan kesehatan, pasien dapat dikatagorikan sebagai
konsumen akhir, karena ps bukan produksi. Keadaan ini telah merubah paradigma, yang
mengatakan pelayanan kesehatan adlah sosial , sekarang beralih kekomersial, dimana setiap
tempat pelayanan kesehatan Rumah Sakit, Klinik, RB, akhirnya pasien harus mengeluarkan
biaya cukup tinggi dalam hak dan kewajiban sebagai seorang pasien.
• Analog ini tertuang dalam UU Konsumen No.8/1999:
• Pasal 19 ayat (1): Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran, akibat mengkonsumsi barang atau/ jasa/ barang/obat yang diperdagangkan.
• Ganti rugi yg dimaksud dalam ayat (1) adalah dapat berupa pengembalian uang/barang yang
setara nilainya/perawatan kesehatan yang sesuai dg ketentuan perundang-undangan.
3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah
tanggal transaksi.
 Pemberian ganti rugi kepada pasien , tetap dapat memberi peluang jika pasien tidak puas
dengan yang digantikannya, bahkan dapat meningkat dari tuntutan perdata menjadi tuntutan
pidana, seperti tercantum dalam pasal 19 ayat (4).
 Hal-hal yang dapat merubah tuntutan:
 Jika terbukti dalam pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
 Atau tuntutan menjadi tidak berlaku, apabila pelaku usaha kesehatan dapat membuktikan
bahwa kesalahan ada pada konsumen atau ps.
PERUNDANG_UNDANGAN KESEHATAN
1. Ilmu Hukum, mencakup dan membicarakan segala hal yang berhubungan dengan hukum.
Demikian luasnya masalah –masalah yang dicakup oleh ilmu hukum, sehingga banyak
pendapat yang mengatakan bahwa hukum batas-batasnya tidak jelas, yang salah bisa benar,
yang benar bisa salah. Seorang Pakar hukum menyebut ilmu hukum adalah “ Jurisprudence”.
2. Karena luasnya Ilmu hukum, maka kita batasi dengan bidang kesehatan, apa-apa yang
menjadi daftar masalah/isu yang berkembang, sehingga ilmu hukum masuk kedalam bidang
kesehatan yang kita pelajari sekarang tentang Hukum Kesehatan/Perundang-undangan
kesehatan.

Daftar Masalah Aspek hukum kesehatan :


1. Mempelajari asas-asas hukum pokok
2. Mempelajari arti dan fungsi hukum dalam masyarakat
3. Mempelajari kepentingan apa yang dapat dilindungi untuk masyarakat oleh peraturan hukum
4. Mempelajari apakah keadilan dimata hukum umum, bidang sosial, bidang kesehatan
5. Mempelajari bagaimana sesungguhnya hukum kedudukan hukum itu dalam masyarakat,
bagaimana hubungan atas perikatan/perjanjian yang berkaitan dengan pelaksanaan pelayanan
kesehatan.
6. Kepastian hukum, melalui perundang-undangan yang berlaku, menjadi tujuan dari resiko
pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
Tatanan dalam konsep hukum
1. Kalau kita mendengar kata Tatanan , yang ada dalam pemahaman kita adalah suatu keadaan
dalam masyarakat , yang dapat menciptakan suasana, hubungan, yang tetap, teratur, antara
anggota masyarakat pada umumnya.
2. Termasuk dalam tatanan masyarakat adalah :
Kebiasaan, hukum, dan kesusilaan.
Kebiasaan adalah tatanan yang terdiri dari norma-norma yang dekat sekali dengan
kenyataan, yang normal/normatif. Normatif terkandung arti apa yang harus kita lakukan.
Hukum; adalah peraturan-peraturan tertulis dan tidak tertulis, yang dibuat oleh lembaga
tertentu, dengan tujuan tercipta ketertiban, keadilan dalam masyarakat. Menurut Fuller ada
prinsip legal dari hukum yaitu :
1. suatu sistim hukum harus mengandung peraturan-peraturan.
2. Peraturan-peraturan yang di buat harus diumumkan
3. Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, oleh karena apabila yg demikian itu tidak bisa
dipakai dgn untuk menjadi pedoman tingkah laku.
4. Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang harus mudah dimengerti
5. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung peraturan yang bertentangan satu sama lain
6. Tidak boleh ada kebiasaan yang sering ingin mengubah peraturan-peraturan yang berlaku
7. Harus ada kecoccokan dariperaturan dg pelaksanaan sehari2.
Kehadiran Hukum, dalam masyarakat dan tenaga kesehatan, dapat melindungi
keApeAntingan denAgan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak
dlm rangka kepentingan itu. Kekuasaan mengandung arti hak seseorang, penguasaan adalah
hubungan yang nyata antara seseorang dengan sesuatu yang berada dalam kekeuasaanya,
pada keadaan ini ia tidak perlu legitimasi, karena sesuatu ada pada kekeuasaanya.
Ini berkaitan dengan tingkat kemampuan/kompetensi seorang tenaga kesehatan,
apabila dalam keadaan tertentu seorang bidan meninggalkan saat pertolongan persalinan
kepada asistenya, jika terjadi sesuatu atas tindakan yang dilakukan asistenya maka,
tanggungjawab resiko terdapat pada bidan tersebut, karena ia meninggalkan waktu
pertolongan persalinan padahal secara legitimasi bahwa kewenangan untuk menolong
persalinan tersebut ada pada nya.
Penguasaan kebijikan melekat pada bidan tersebut, sehingga apapun alasanya tidak
menutup kemungkinan bidan akan kena sanksi hukum, yaitu dengan sengaja melalaikan
pekerjaanya.
Hukum Tertulis dan Hukum Tidak Tertulis.
a. Hukum tertulis lebih dikenal dengan sebutan Perundang-undangan
b. Hukum tertulis lebih menjadi ciri dari hukum modern, lebih dapat diterima dalam kehidupan
modern masa kini, dimana kehidupan semakin kompleks, serta masyarakat yang lebih
tersusun secara organisatori, dan hubungan antar manusia yang dinamis dan kompleks ini
sudah tidak bisa lagi mengatur dengan tradisi, kebiasaan, kepercayaan, tahayul, atau budaya
semata.
c. Kelebihan hukum tertulis dibanding tidak tertulis adalah apa yang diatur dengan mudah
dapat diketahui orang/masyarakat
d. Pengetahuan tentang hukum mulai meningkat di masyarakat, dengan adanya tulisan/cetakan
perundang-undangan mulai UU Kesehatan, UU konsumen, UU Praktik Kedokteran, UU
Politik dsb.
e. Memungkinkan untuk merevisi UU yang sdh ada dgn yang baru.
f. Hukum sebagai pijakan keadilan dalam masyarakatMembicarakan hukum adalah
membicarakan antar hidup manusia, membicarakan antar hidup manusia adalah
membicarakan keadilan.
g. Sehingga kalau berbicara hukum kita akan berbicara keadilan
h. Keadilan merupakan salah satu kebutuhan dalam masyarakat, dalam pembukaan UUD 45
jelas tertuang bahwa keadilan adalah hak setiap warga negara.
i. Agar keadilan dapat seiring dengan keteraturan dan ketaatan dalam dinamika kehidupan dan
seluruh bidang termasuk bidang kesehatan, maka perlu kelengkapan dari beberapa step
berikut yaitu :stabilitas, maka kehadiran hukum sangat dituntut untuk dapat tercipta keadilan
dan stabilitas kehidupan.
Tahap terbentuknya hukum tertulis: Pembuatan hukum atau pembuatan Perundang-
undangan dilakukan oleh lembaga yang membidangi dan juga pendapat para ahli serta publik
atau masyarakat dapat memberikan saran atau masukan melalui instansi yang berwenang.
Bahan Hukum :
Bahan pembuatan hukum dimulai dari gagasan atau ide yang kemudian diproses lebih
lanjut sehingga pada akhirnya benar-benar menjadi bahan yang siap dipakai untuk dijadikan
sanksi hukum.
contoh: gagasan ini muncul dari masyarakat dalam bentuk ada permasalahan
pelayanan kesehatan yang harus diatur oleh hukum, misal masyarakat menganggap
belakangan ini telah ada tindakan-tindakan tenaga kesehatan yang berakibat merugikan
masyarakat.
Ciri-ciri Hukum Modern.
1. Mempunyai bentuk tertulis dalam bentuk Perundang-undangan
2. Hukum itu berlaku untuk seluruh wilayah negara, meskipun sampai kini masih
ada diskriminasi antar penduduk, antar kekuasaan dan antar bangsa
3. Hukum adalah sebagai instrumen yang dapat dipakai secara sadar untuk
mewujudkan keputusan-keputusan masyarakatnya.
Fungsi Hadirnya Hukum Kebidanan :
a. Adanya kebutuhan tenagakesehatan akan perlindungan hukum
b. Adanya kebutuhan pasien akan perlindungan hukum
c. Adanya pihak ketiga akan perlindungan hukum
d. Adanya kebutuhan dan kebebasan warga masyarakat untuk menentukan kepentinganya serta
identifikasi kewajiban dari pemerintah
e. Adanya kebutuhan akan keterarahan
f. Adanya kebutuhan tingkat kwalitas pelayanan kesehatan
g. Adanya kebutuhan akan pengendalian biaya kesehatan
h. Adanya kebutuhan pengaturan biaya jasa pelayanan kesehatan dan keahlian
Tujuan adanya Hukum Kebidanan
a. Dapat menyelesaikan sengketa yang timbul antara tenaga kesehatan terhadap pasien atau
keluarga pasien sebagai pihak ketiga, sebagaimana kita ketahui akhir-akhir ini banyak
tuduhan terhadap para tenakes dalam melaksanakan profesinya, kadang hanya masalah sepele
dapat diangkat kemeja hijau.
b. Dalam situasi seperti ini Hukum Kesehatan sangat diperlukan, sebagai acuan bagi
penyelesaian sengketa yang terjadi, lebih-lebih kita Negara Indonesia mengaut asas Legalitas,
karena sebagai Negara Hukum
c. Dapat menjaga ketertiban dalam masyarakat
d. Dapat membantu merekayasa masyarakat, dalam hal pandangan bahwa sebenarnya tenakes
juga adalah manusia biasa dan meluruskan pandangan serta sikap bagi para tenakes yang
kerap merasa kebal hukum, dan tidak dapat disentuh pengadilan. Jaman ini tidak ada lagi.
PERUNDANG_UNDANGAN YANG MELANDASI BIDANG KEBIDANAN
a. Dalam upaya melaksanakan pelayanan kesehatan/kebidanan, perlu peran dari masyarakat itu
sendiri untuk dapat membantu terciptanya suatu masyarakat yang memiliki kesadaran akan
hukum, berkemauan untuk hidup sehat dan kemampuan untuk dapat membantu agar
terciptanya kondisi masyarakat yang memiliki derajat kesehatan yang optimal, sejahtera.
b. Pemerintah dalam hal ini lebih berperan untuk memusatkan perhatian , pengawasan, , upaya
pembinaan, , serta pengaturan, agar tercipta pemerataan pelayanan kesehatan serta tercipta
suatu kondisi yang serasi, seimbang , adil, harmonis antara sesama pelayan kesehatan,
sehingga tidak ragu dalam melaksanakan profesi karena akan terlindung dari sanksi hukum.

AZAS-AZAS UU KEBIDANAN NOMOR.23 TAHUN 1992


Azaz perikemanusiaan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dimana dalam
melaksanakan kegiatan kita tidak membeda-bedakan golongan, kepentingan, agama dan
bangsa
1. Azas manfaat, harus dapat memberikan manfaat yang sebenarnya sesuai dengan tujuan kita
menolong adalah ikhtiar, tidak untuk menipu atau menggandakan tujuan bagi masyarakat
2. Azaz usaha bersama dan kekeluargaan
3. Azas adil dan merata
4. Azas perikemenusiaan dalam keseimbangan
5. Azas kepercayaan dan kemempuan diri sendiri, menguatkan potensi diri maupun potensi
nasional.
Syarat syah Pelayanan Kesehatan, sesuai UU. No 23 Tentang Kesehatan :
Setiap orang yang meminta pertolongan pada umunya berada dalam posisi ketergantungan,
artinya ada tujuan tertentu.
- Misal jika sakit datang ke tenakes
- Melakukan tuntutan hukum datang ke Advokat
- Membuat wasiat/surat tanah datang kenotaris
- Setiap orang yang meminta pertolongan pada seorang profesi kesehatan, bersifat rahasia,
termasuk hubungan antara pasien dengan tenakesnya
- Setiap orang yg menjalani profesi kesehatan bersifat rahasia,, bebas, dan otonomi profesi.
- Sifat pekerjaan kesehatan bukan harga mati, tapi berupa ikhtiar, harus melalukan yang
terbaik, sesuai kompetensi, dapat dipertanggungjawabkan baik secara hukum kesehatan.
LANDASAN HUKUM KEBIDANAN
a. Dari sudut pandang hukum perdata, hubungan antara health care provider dan health care
receiver , merupakan hubungan perikatan /kontraktual, diantara kedua belah pihak, sehingga
dari masing-masing pihak akan muncul antara hak dan kewajiban.
b. Health care provider, wajib memberikan prestasinya dalam bentuk layanan medik yang layak
berdasarkan keilmuan yang telah teruji.Dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan
wajib memperhatikan hak-hak lain dari pasien, baik yang timbul dari perundang-undangan
yang berlaku maupun dari kebiasaan dan kepatutan.
Pasal 1 ayat (3) UU Kesehatan No.23/92, tenaga kesehatan adalah setiap orang yang
mengabdikan dirinya dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan atau ketrampilan
melalui pendidikan yang untuk
Bidang tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan pelayanan kesehatan.
Yang termasuk Tenakes sesuai UU 23/92 dan PP 32/96 adalah :
a. Tenaga medis, tenaga keperawatan, tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga
gizi, tenaga terapi fisik, tenaga teknis medis.
b. Pasal 53 UU 23/92, tentang hak-hak pasien, diantaranya adalah hak atas informasi dan hak
untuk mendapatkan persetujuan tindakan medik yang akan dilakukan terhadapnya,
persetujuan selanjutnya di sebut Informent concern.
c. Jika tindakan medik tanpa persetujuan, termasuk pelanggaran hukum, berikutnya dapat
digugat bahkan sampai pengadilan.
d. Pasal 1239 KUHPerdata, jika seseorang tidak dapat melakukan dan tidak dapat memenuhi
kewajibanya yang didasari adanya perjanjian (perikatan antara tenakes dengan pasien, dan
perikatan ini terikat dengan asas iktiar ), jika tidak terpenuhi ini dianggap tindakan
wanprestasi( ingkar janji) dan ini termasuk perbuatan melawan hukum (PMH), apabila
kemudian menimbulkan kerugian baik materl maupun moril selanjutnya dapat digugat
sebagai tindakan malpraktek.
e. Pasal 1365 ayat (1) KUHP tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian, maka
wajib bertanggung jawab mengganti kerugian/timbulnya gugutan.
f. Ayat (3), begitu pula jika kerugian pasien yang dilakukan oleh tenakes dibawah
pengawasanya, perawat, asisten bidan , bidan, dalam hal ini tenakes yang memiliki
kewenangan kompetensi yang bertanggung jawab.
Syarat syah suatu Kesepakatan/Perjanjian hukum :
Pasal 1320 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian adalah jika terpenuhi hal
–hal berikut ini :
- Adanya kesepakatan
- Adanya kecakapan, dewasa, tidak gila, tdk dalam pengampuan(anak-anak), wanita dalam
keadaan inpartu.
Legal, artinya yang tidak bertentangan dengan UU dan hukum, dengan ketertiban
umum, dengan publik/masyarakat, dan tidak bertentangan dengan norma kesusilaan yag
berlaku di masyarakat.
Jika tidak sesuai dengan kreteria di atas apalagi dengan norma-norma, maka akan
mengarah kepada penyimpangan prilaku, ada perbuatan yang tidak sesuai, tidak
menyenangkan, Undang-undang Nomor 13.Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan,
al 81 ayat(1) , masa haid bagi wanita tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua.
ayat (2), pelaksanaan diatur dengan perjanjian
al 82 ayat(1). Buruh wanita berhak dapat cuti 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan sesudah
melahirkan.
ayat (2) , yang mengalami keguguran berhak mendapat cuti 1,5 bulan atau sesuai dengan surat sakit
dari dokter.
al 84 , setiap pekerja berhak mendapatkan upah/gaji yang sesuai atau dengan kesepakatan,
KESEHATAN ( HEALTH )
a. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia ( WHO ), dulu batasan tentang keadaan sehat hanya
mencakup kondisi tidak sakit, tetapi sekarang telah mencakup beberapa aspek.
b. Menurut UU Nomor 23/1992, ada 4 aspek yang termasuk kedalam kesehatan yaitu :
- Fisik
- Mental
- Sosial * Ekonomi.
c. Kesehatan Menurut Teori BLUM ( 1974 ), bahwa kesehatan sangat dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu :
- Lingkungan, lingkungan fisik, sosial, budaya, politik, ekonomi
- Perilaku, Pelayanan kesehatan dan keturunan/genetik.

HAK DAN KEWAJIBAN PROFESI


a. Setiap undang-undang selalu mengatur hak dan ewajiban, baik pemerintah maupun warga
masyarakatnya, demikian dalam UU 23/92 tentang kesehatan.
b. Hak dan kewajiban berdasarkan pasal 4 dan 5 UU kesehatan mengatakan bahwa: setiap
orang mempunyai hak yg sama dalam memperoleh derajat kesehatan yg optimal, setiap orang
berkewajiban ikut serta dalam pemeliharaan kes perorang, keluarga juga masyarakat.
ASPEK HUKUM DAN KETERKAITANNYA DG PRAKTEK BIDAN
a. Praktek bidan selain bertujuan menjalani profesi sebagai bidan, namun senantiasa wajib
merahasiakan keadaan penyakit klien yang ditangani, bukan saja sebagai kewajiban moral
akan tetapi melekat sebagai kewajiban hukum.
b. Perlu diketahui dan diingat bahwa klien yang datang ke praktek bidan , itu karena ia sangat
membutuhkan pertolongan, siapapun keadaan klien kita tidak boleh meremehkan dan lupa
akan norma kesusilaan yang berlaku pada saat tersebut di masyarakat, atas dasar tersebut
norma susila yang telah ada lebih dikuatkan dengan undang-undang, yang mana apabila apa
yang telah dilakukan bidan diduga ada kesalahan atau mengakibatkan cacat , maka terkena
sanksi hukum baik perdata maupun pidana.
c. Di Indonesia telah dikeluarkan mengenai Peraturan Pemerintah, dan Undang-undang
Kesehatan.
d. Pasal 53 UU Kesehatan 1992, beserta penjelasanya menyatakan dengan tegas bahwa rahasia
pasien merupakan hak yang perlu dihormati, selain sanksi moral tentunya ada sanksi hukum
yang dapat diterapkan jika bidan melanggar ketentuan yang berlaku.
e. Sanksi pidana pada pasal 322 KUHP, berbunyi :
f. “Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang ia wajib menyimpanya oleh karena
jabatan atau pekerjaanya, baik sekarang maupun dulu, dihukum dg hukuman penjara selama-
selamanya 6 bulan atau denda 600 jt rupiah”
SELAIN BIDAN , TENAKES LAIN YG HARUS MERAHASIAKAN PS :
1. Semua tenaga kesehatan
2. Semua mahasiswa pendidikan kesehatan
3. Orang-orang yang ditetapkan oleh peraturan Menteri Kesehatan, misalnya tata
usaha pegawai laboratorium yang mengurus/pegawai rekam medik.
Bidan tidak terkena sanksi hukum dalam pembocoran kerahasiaan , jika pasien telah
memberi ijin kepada bidan , apabila suatu keadaan ada yang bertanya tentang keadaanya.
Bukan merupakan informed concern, manakala bidan diluar ruang praktek sedang
membicarakan akibat pemerkosaan,abortus.
HAK- HAK KLIEN, PERSETUJUAN UNTUK BIDAN BERTINDAK
a. Perlu diketehui bahwa pasien/klien mempunyai hak untuk menyampaikan persetujuan/
informed concern, terhadap setiap tindakan yang akan dilakukan oleh bidan.
b. Secara hukum hak persetujuan tersebut, tertuang pada penjabaran dari hak asasi manusia, dan
dijamin oleh undang-undang kesehatan no. 23/92.
c. Akan tetapi dalam keadaan gawat darurat atau kritis, seorang yang berpacu dengan nyawa,
seorang tenaga kesehatan tidak ada waktu untuk menjelaskan kepada keluarga klien, maka
dibenarkan untuk melakukan sesuatu demi keselaman yang mendasar dari klien tersebut.
KONTRASEPSI
a. Setiap tindakan medik, termasuk kontrasepsi, memerlukan persetujuan dalam pelasanaanya.
b. Sebaiknya sebelum bidan menawarkan kontrasepsi kepada klien, dimintakan dulu
persetujuan dari suami klien , kecuali untuk kontrasepsi yang tidak menetap/reversible seperti
:
c. Pil, suntik, tissue, kondom, implant/susuk kontraseosi ini diperbolehkan tidak ada
persetujuan dari suami.
d. Sedangkan kontrasepsi yang tetap/irreversible, seperti IUD, Steril, MOP, harus ada
persetujuan kedua belah pihak.
e. Ingat selain persetujuan pasien, juga informasi yang benar, termasuk informasi lain yang
memungkinkan harus menjadi bagian wajib bidan kepada klien.

TANGGUNG JAWAB DAN TANGGUNG GUGAT BIDAN DALAM PRAKTEK


a. Kurang kehati-hatian atau kesalahan dalam melaksanakan tindakan medik yang terjadi,
menunjukan adanya perilaku tenaga kesahatan yang tidak sesuai dengan standar profesi yang
telah di atur dalam perundang-undangan.
b. Kesalahan tersebut diatas dapat dianggap sebagai PMH( perbuatan melawan hukum ), dan ini
yang dapat dijadikan bahan gugatan oleh keluarga klien atau pihak lain.
c. Syarat adanya dugaan kesalahan tindakan apabila :
- Ada kerugian
- Ada sebab akibat dari apa yang dilaksanakan
- Masih dalam hubungan perikatan antara bidan dan klien tsb.
TANGGUNG GUGAT
a. Dalam pasal 1367 ayat(3) KUHPerdata, seorang tenaga kesehatan harus memberikan
pertanggung jawaban tidak hanya atas kerugian ang ditimbulkan dari tindakan diri sendiri ,
akan tetapi juga apabila terjadi kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya, atau perawat,
bidan yang diberi delegasi, melakukanya, sementara ia masih dibawah pengawasanya, dan
apabila keadaan tersebut dijadikan suatu gugatan maka selain bidan/tenaga kesehatan yang
pertama melakukan tindakan, kemudian ada perawat yang juga melakukan perawatan, ini
akan terkena sanksi hukum tangung renteng, tanggung gugat.
b. Begitu juga apabila bidan mempunyai Klinik Bersalin, dimana sebagai penanggung jawab
adalah seorang dokter kandungan, akan tetapi ia tidak sebagai dokter tetap,
STANDAR PRAKTEK BIDAN
a. Pengertian profesi memiliki arti sebagai ukuran, dan untuk profesi medik , bidan, dan profesi
lain diluar medik misal, advokat, guru, jurnalis, hakim dan jaksa juga memiliki status profesi,
akan tetapi dalam hal profesi medik, didalam pekerjaanya senantiasa bersinggungan dengan
nyawa/jiwa manusia, sehingga diperlukan kehati-hatian yang tinggi , dan bersifat mandiri,
meskipun memiliki kemandiririan tetap , teliti, penuh kehati-hatian dan harus ingat
perundang-undangan, yang kini sebagai payung hukum tenaga kesehatan adalah hukum
kesehatan.
b. Pasal 53 ayat(2) UU No.23/92 Tentang Kesehatan, menjelaskan bahwa standar profesi adalah
pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesinya dengan
baik dan benar.
PERATURAN PERUNDANG_UNDANGAN YG MELANDASI PRAKTIK BIDAN
a. Peraturan perundang-undangan yang melandasi bidan, berupa hubungan “keterikatan” antara
klien dan bidan, secara hukum kesehatan keterikatan adalah mengabdung pengertian hak dan
kewajiban.
b. Tindakan bidan adalah sebagai subjek hukum, jika dilakukan berkaitan dengan profesi bidan,
apabila bukan menyandang profesi bidan maka tidak termasuk perikatan secara hukum.
c. Perundang-undangan sbg landasan praktik bidan :
Kep. MenKes No.43/MenKes/SK/X/1983 tentang KODEKI, memuat segala sesuatu
tanggung jawab terhadap ketentuan profesi. UU.No.23 /1992 Tentang Kesehatan dan UUPK
No.29/2004 Tentang Praktik Kedokteran, memuat ketentuan perdata dan pidana.
PERMENKES TENTANG REGISTRASI
a. Seperti tercantum dalam UU. No 23/92 Tentang Kesehatan dan adanya UUPK No29/2004
Tentang Praktik Kedokteran, ini menjadi bagian tanggung jawab tenaga kesehatan, dan
adalah kewajiban Bidan untuk melaksanakan nya antara lain:
1. Mengikuti pendidikan dan pelatihan, ini tercantum dalam pasal 28 ayat (1) dan pasal 52 e,
yang diselenggarakan oleh organisasi profesi dan lembaga lain yang terakreditasi.
2. Kewajiban mengurus STR dan SIB ( Surat izin Bidan ), dengan mengisi formulir
permohonan , diajukan ke kepala dinas kesehatan kesehatan provinsi untuk diterbitkannya
SIB.
SYARAT-SYARAT REGISTRASI
a. Memiliki ijasah
b. Mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji
c. Memiliki surat keterangan fisik sehat dan mental sehat
d. Memiliki sertifikat kompetensi ( surat ini dikeluarkan oleh kolegium yang bersangkutan )
e. Membuat pernyataan akan memenuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi
Masa berlaku surat tanda Registrasi adalah maksimal 5 tahun dan kemudian di ulanh
tiap 5 tahun berikut, pada saat membuat registrasi ulang , seorang bidan harus menyertakan
surat sehat jasmani dan mental ( surat keterangan tsb harus ditandatangi oleh dokter yang
memiliki SIP ).
SURAT IZIN PRAKTIK BIDAN
a. Merupakan bukti tertulis yang wajib dimiliki oleh setiap tenaga kesehatan yang berprofesi
b. yang berhak mengeluarkan adalah pejabat yang berwenang di Provinsi dimana seseai tempat
praktik bidan (SIPB )
c. Praktik bidan juga telah diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan
No.900/MenKes/SK/VII/2002, yang merupakan revisi dari Permenkes
No.572/MenKes/per/VI/1996.
Dan dapat dikaji dalam melaksanakan praktik bidan sesuai :
- KepMenkes 900/MenKes/SK/VII/2002 tentang registrasi praktik bidan standar pelayanan
kebidanan
- UU Kesehatan 23/92
- PP 32/1996 Tentang otonomi Daerah, UU 13/2003 Ketenagakerjaan
- UU Aborsi, Adopsi, bayi tabung dan transplantasi.

Sebaliknya bagi bidan lulus pendidikan dan merencanakan menjadi pegawai tetap
baik negeri atau swasta, wajib mengurus STR, SIPB dan berkewajiban meningkatkan
keilmuan dan/atau ketrampilanya melalui pendidikan formal dan pelatihan.
BENTUK PELAYANAN PRAKTIK BIDAN
1. Pelayanan kebidanan , terhadap ibu dan anak
Pelayanan ibu: pada masa pranikah, prahamil,masa kehamilan, masa nifas, masa menyusui
dapat eksklusif sampai 6 bulan.
2. Untuk anak, masa baru lahir, masa bayi, masa balita dan masa prasekolah.
Pasal 17, dalam praktik bidan, perlu diwaspai apabila dalam keadaan pelayanan kadang klien
ingin langsung dengan pengobatan, akan tetapi sebagai tenaga kesehatan profesional,
sebaiknya pemberian obat-obatan dapat diberikan oleh yang memiliki kewenangan ( dalam
hal penulisan resep, maupun pemberian obat, ada tenaga medis/dokter/dokter spesialis, )
kecuali diwilayah tersebut tidak ada dokter.
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
a. Organisasi profesi bidan, menetapkan kepada seluruh anggotanya untuk mengumpulkan
angka kredit selama pelayanan kebidanan, yang dikumpulkan melalui pendidikan, kegiatan
ilmiah, pengabdian kepada masyarakat.
b. Organisasi profesi berkewajiban membibing dan mendorong para anggotanya untuk dapat
mencapai jumlah anggka kredit yang telah ditentukan.( selama praktek bidan wajib mentaati
aturan perundang-undangan yg berlaku ).
c. Pimpinan sarana kesehatan wajib elaporkan bidan yang praktek maupun sudah tidak praktek
kepada dinas kesehatan kabupaten/kota dengan surat tembusan kepada ketua organisasi
profesi setempat.
SANKSI HUKUM BAGI BIDAN
a. Sanksi Hukum Perdata :
- Berupa Wanprestasi ( pasal 1239 KUHP ), jika melakukan :
- Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan
- Terlambat melakukan apa yang dijanjikan
- Melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi tidak sesuai hasil yang dijanjikan, melakukan
sesuatu yang sebenarnya tidak boleh dilakukan oleh bidan misal melakukan tindakan curretge
pada kasus abortus ( kewenangan mutlak ada pada dokter spesialis ).
b. Contoh kasus atas gugatan wanprestasi :
Pada papan nama bidan, mencantumkan praktik dari jam 17 wib-19 wib, akan tetapi setiap
datang bidan tersebut jam 18 wib, ini pelanggaran krn tidak sesuai dg apa yg dijanjikan.
Sanksi hukum Pidana atas PMH
1. Bentuk Perbuatan Melawan Hukum oleh bidan adalah :
Akibat asuhan kebidanan yang dilakukan menimbulkan cacat tubuh, luka berat, adanya
kerugian materi yang berlebih, timbul rasa sakit yang terus menerus, sampai tidak dapat
melakukan aktfitas klien sebagai ibu rt atau tidak dapat bekerja, merusak kepercayaan dan
keagamaan , bahkan sampai klien meninggal dunia.
2. Dalam buku KUHPidana , pasal 183,184, hakim harus memiliki alat bukti yang syah dari
gugatan pidana dengan syarat bahwa alat bukti tersebut terpenuhi : adanya keterangan saksi,
keterangan ahli, surat yg dibuat menurut ketentuan perundang-undangan oleh pejabat, untuk
pembuktian dari suatu keadaan, adanya petunjuk sesuai kebijakan hakim, keterangan
terdakwa dapat menerangkan akan Rekam medik ( sebagai alat bukti di persidangan ).
KETENTUAN PERALIHAN
1. Dengan telah terbitnya ketentuan Registrasi dan Surat izin Bidan , diatur melalui Keputusan
MenKes Nomor.900/MenKes/SK/VII/2002, maka Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
572/MenKes/VI/1996, tentang registrasi dan praktek bidan sudah tidak berlaku lagi.
2. Surat Izin Bidan dan Surat Izin Praktik Bidan berlaku selama 5 tahun dan apabila telah habis masa berlakunya
dapat diperbaharui sesuai ketentuan yang berlaku.
3. Pengambilan tindakan atas sanksi hukum terhadap bidan yang diduga telah melakukan kesalahan ,baik suatu
wanprestasi, maupun perbuatan melawan hukum, dapat teguran lisan, tertulis, denda, maupun penjara
sesuai ketentuan perundangan yg berlaku.

KOMITE PENGAWASAN,PIMBINAAN KODE ETIK MEDIK


a. SULITNYA MEMBUKTIKAN ADANYA DUGAAN MALPRAKTIK:
Didalamnya melaksanakan pelayanan kesehatan, mulai diagnostik, anamnestik,analitik
sampai melakukan tindakan tertentu kepada klien, harus melakukannya secara “LEGE
ARTIS”.
Tindakan harus mengacu kepada prosedur operasional, yang telah ditetapkan oleh ikatan
profesinya. Niat seorang medik menolong klien ,adalah dengan itikad baik, namun hasilnya
terkadang tidak sesuai dengan persetujuan, bahkan bisa terjadi cacat, sampai meningal dunia.
Oleh pihak lain ini serin dianggap adanya dugaan malpraktik,
padahal tenakes juga manusia. Dugaan dpt dibuktikan dg pengaduan keaparat hukum.
ADA DUA TANGGUNG JAWAB HUKUM TERHADAP DUGAAN MALPRAKTIK
1. Tanggung jawab terhadap ketentuan-ketentuan profesional yaitu : KODEKI, pengawasan dan
pembinaan dilakukan oleh MPKETM (Majelis Pengawasan Kode Etik Tenaga Medik )
2. Tanggung jawab hukum terhadap ketentuan-ketentuan hukum yg berlaku di Indonesia,
melalui bidang hukum Administrasi, Perdata,Pidana. Termasuk tanggung jawab lain diluar
hukum.
KUHP, pasal 359 .360, mengatakan unsur yg menyebabkan cacat,mati:
a. Adanya kelalaian
b. Adanya wujud perbuatan
c. Adanya luka berat,cacat
d. Adanya hubungan kausal antara kelalaian dg wujud perbt sp terjadi kematian orang/klien.
TIGA PRINSIP UMUM DLM MELAKUKAN PROFESI TENAKES:
a. Kewenangan, ( Registrasi, SIB.SIPB)
b. Kemampuan Rata-rata (Bidan yang baru lulus beda dengan senior)
c. Ketelitian yang umum (berkaitan dg knowledge, skill,profesional attitude/prilaku baik).
Dalam rangka terselenggaranya praktik medik yang sesuai dg peraturan, maka perlu
pengawasan dilakukan oleh organisasi profesi keehatan,pembinaan dilakukan oleh Konsil
pusat bekerja sama dengan organisasi profesi di tempat bertugas.
MAJELIS KEHORMATAN DISIPLIN PROFESI
a. Merupakan lembaga otonom dari KKI ( Konsil Kedokteran Indonesia).
b. Bersifat independen
c. Majelis kehormatan tingkat kab/kota dibentuk oleh KKI pusat &Prov
d. Keanggotaan majelis kehormatan tdd: satu orang ketua, satu orang wakil ketua, satu orang
sekretaris, keanggotaan harus ada dokter, dokter gigi, profesi kesehatan lain, dan sarjana
hukum kesehatan, sarjana hukum (diusakan 3 orang tiap disiplin)
e. Syarat menjadi anggota MKDP: warga negara ina,sehat,berkelakuan baik,usia minimal 40
tahun maksimal 65 thn, pengalaman dibidangnya 10 tahun, memiliki STR, tidak cacat
hukum, dedikasi tinggi, jujur, dan baik.
f. Masa bakti 5 thn dan dapat diangkat 1 kali pemilihan MKDP.
KETUA MKDP dapat menerima Aduan:
a. Syarat pengaduan dugaan malpraktik harus memuat :
Identitas pengadu/penggugat, nama dan alamat praktik tergugat,dan waktu kejadian,alasan
pengaduan, Gugatan dapat juga dikirimkan ke polisi, untuk menempuh jalur pengadilan dan
ada proses hukum baik perdata, pidana.
b. Pengaduan ke MKDP dapat dilanjutkan kepada organisasi profesi, untuk menjatuhkan
keputusan :
Dapat dinyatakan tidak bersalah atau ada kesalahn etik sehingga terkena sanksi Disiplin:
peringatan tertulis, pencabutan SIPB, wajib mengikuti pendidikan .
FUNGSI MKDP :
 Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan
 Melindungi masyarakat atas tindakan medik
 Memberikan kepastian hu

BAB III
PENUTUP

3.1.Kesimpulan
Bidan adalah seorang yang telah menjalani program pendidikan bidan yang diakui
oleh negara tempat ia tinggal, dan telah berhasil menyelesaikan studi terkait serta memenuhi
persyaratan untuk terdaftar dan atau memiliki izin formal untuk praktek bidan.Sebagai
anggota profesi, bidan mempunyai ciri khas yangkhusus. Sebagai pelayan profesional yang
merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan.
Kebidanan sebagai profesi merupakan komponen yang paling penting dalam
meningkatkan kesehatan perempuan.

3.2.Saran
Agar pemerintah terus berupaya mendukung profesi bidan dengan cara meningkatkan
kwalitas SDM bidan melalui penyediaan fasilitas pendidikan bagi bidan.
Bagi organisasi diharapkan agar terus berupaya mengembangkan pelayanan dan
pengetahuan bagi semua bidan secara adil dan merata.
Bidan sebagai tenaga profesional diharapkan dapat berpartisipasi secara aktif dalam
organisasi dan mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya sesuai dengan etika profesi
Dari ciri-ciri tsb dapat disimpulkan pelayanan kesehatan memberikan pelayanan,
dengan sifat ikhtiar, pasien/klien dengan penuh kepercayaan dan keyakinan, pasrah akan
penderitaanya. Dan itu adalah syarat mutlak untuk memperoleh hasil yang terbaik. Jujur
profesi medis penuh dengan resiko, dalam berikhtiar dapat timbul kelalaian/kesalahan
menimbulkan cacat, kerugian, bahkan kematian. Resiko ini oleh orang-orang/pihak-pihak lain
diartikan sebagai kesalahan profesi dan tudingan adl: MALPRAKTIK.

DAFTAR PUSTAKA

Bidan Menyongsong Masa Depan, PP IBI. Jakarta.


Behrman. Kliegman. Arvin. (2000). Ilmu Kesehatan Anak (Nelson Textbook of Pediatrics). EGC.
Jakarta.
Depkes RI, (2006) Modul Manajemen Terpadu Balita Sakit, Direktorat Bina Kesehatan Anak,
Direktorat Bina Kesehatan Masyarakat, Jakarta.
Depkes RI. (2006). Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS-KIA).
Direktorat Bina Kesehatan Anak, Direktorat Bina Kesehatan Masyarakat, Jakarta.
Depkes RI. (2006). Manajemen BBLR untuk Bidan. Depkes. Jakarta.
Depkes RI. (2003). Buku Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta.
Depkes RI. (2002). Standar Profesi Kebidanan. Jakarta.
Depkes RI. (2002). Standar Pelayanan Kebidanan. Jakarta.
Depkes RI. (2002). Kompetensi Bidan Indonesia. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai