Anda di halaman 1dari 16

SKENARIO

Mr. H, male, 45 years old, comes to doctor J in the hospital he is a bussines man
but he have one dissease with risk factor for family. He have AIDS and he wants
to terminally life with euthanasia. He is not an obedient moslem, now he realize.
But, his intension is rejected with doctor. He give up.

1
BAB I

KLARIFIKASI ISTILAH

1.1 Hospital
Suatu institusi yang dari segi lokasi, konstruksi, organisasi, pengelolaan
dan personalianya sesuai untuk, menyediakan secara ilmiah, ekonomis,
efisien dan tidak menghambat, semua atau sebagian kebutuhan kompleks
yang diketahui untuk pencegahan, diagnosis, dan pengobatan aspek fisik,
mental, dan aspek medis orang yang menderita penyakit sosial (Dorland,
edisi 31).

1.2 Dissease
Semua penyimpangan dari atau gangguan struktur atau fungsi normal pada
bagian, organ, maupun sistem tubuh yang ditandai dengan gejala dan tanda
yang khas; patologi; etiologi; dan prognosis bisa atau tidak bisa diketahui.
(Dorland, edisi 31)
1.3 Risk
Bahaya atau resiko kemungkinan terkena bahaya atau hasil yg tidak
diinginkan (Dorland, edisi 31)
1.4 AIDS
Penyakit yang disebabkan oleh HIV (Human Immundeficiency Virus) sise
kekebala tubuh, juga menyerang salah satu jenis sel darah putih yang
bertugas mengakal infeksi. Karena sel-sel pertahanan tubuh semakin
banyak yang rusak maka penderita menjadi sangat rentan terhadap semua
bentuk infeksi kuman sehingga akhirnya pendeita tidak tahan terhadap
kuman-kuman yang secara normal bisa dibinasakan dengan mudah oleh
antibodi tubuh. (Mihrajudin, 2007)

sindrom yang disebabkan oleh infeksi oleh human immunodeficiency virus


(HIV) yang berperan atau berpengaruh pada sistem imun tubuh. Sifat yang
tampak merupakan cacatnya jenis leukosit tertentu terutama sel T.
Pengobatan terhadap AIDS telah maju dengan pesat beberapa diantaranya
adalah medikasi antiviral, antibakteria, dan booster imun merupakan
bagian dari protokol pengobatan saat ini.
(Kamus Kedokteran Webster’s New World)

2
1.5 Euthanasia
Berasal dari bahasa yunani yaitu euthanatos. “eu” artinya baik, “thanatos”
artinya mati. Secara umum euthanasia diartikan sebagai tindakan
mengakhiri hidup seseorang atas dasar kasihan karena menderita penyakit,
cedera atau ketidakberdayaan dan tidak mempunyai harapan untuk hidup
(Fandi, I Made. 2009)

Pengakhiran dengan sengaja hidup sesorang yang mendrita penyakit


dengan rasa sakit yang hebat dan tidak bisa disembuhkan (Dorland, edisi
31)

BAB II

IDENTIFIKASI MASALAH

2.1 Bagaimana pandangan islam terhadap euthanasia?


2.2 Apa hukum euthanasia dalam indonesia?
2.3 Apakah seorang dokter di indonesia boleh melakukan euthansia? lalu
apakah respon yg harus dilakukan seorang dokter apabila pasien mendesak
untuk euthanasia?
2.4 Bagaimana pandangan masyarakat indonesia terhadap tindakan
euthanasia?
2.5 Apa saja jenis euthanasia?

3
2.6 Atas dasar apa euthanasia dapat di lakukan?

BAB III

CURAH PENDAPAT

3.1 Bagaimana pandangan islam terhadap euthanasia?

Islam mengakui hak seseorang untuk menentukan hidup dan meninggal,


namun hak tersebut merupakan anugerah dari Allah SWT kepada manusia.
Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan
meninggal. Bagi mereka yang menderita bagaimana bentuk dan kadarnya
islam tidak membenarkan untuk merenggut kehidupan baik melalui
praktek euthanasia ataupun bunuh diri.

4
Supaya meringankan derita sakit, seorang muslim diberi pelipur lara oleh
Nabi dengan sabda-Nya, “Jika seseorang dicintai tuhan, maka ia akan
dihadapkan cobaan yang beragam”. Lain halnya dengan mereka yang tidak
mendapatkan alternatif lain dalam mengatasi penderitaan dan rasa putus
asa, islam memberikan jalan keluar dengan menjanjikan kasih sayang dan
rahmat tuhan, sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. Az-Zumar: 53
“katakanlah wahai hamba-hambaku yang melampaui batas terhadap diri
mereka sendiri janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya
Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(ejournal.uwks.ac.id)

3.2 Apa hukum euthanasia dalam indonesia?

Munculnya pro dan kontra mengenai euthanasia merupakan suatu beban


tersenduru bagi llembaga hukum. Patut menjadi catatan bagwa secara
yuridis formal dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal satu
ebntuk euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan
pasien/korban itu sendiri sebagaimana secara eksplisit diatur dalam pasal
344 KUHP yang berisi “Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas
permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan
hati di ancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”
Bertolak dari ketentuan pasal 344 KUHP tersebut tersimpul, bahwa
pembunuhan atas permintaan korban sekalipun tetap siancam pidana bagi
pelakunya. Dengan demikian dalam konteks hukum positif dalam
Indonesia, euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang.
Dengan demikian, dalam konteks hukum positif Indonesia, tidak
dimungkinkan “pengakhiran hidup sesorang” sekalipun atas permintaan
orang itu sendiri. Lain halnya apabila terdapat permintaan euthanasia dari
keluarga saat pasien dalam kondisi tidak sadar/koma. Perlu dicermati
untuk kasus seperti ini dikualifikasikan sebagai non voluntari euthanasia,
secara yuridis formal kualifikasi (yang paling mungkin) untuk kasus
seperti ini adalah pembunuhan biasa sebagai mana dimaksudkan dalam
pasal 338 KUHP atau pembunuhan berencana sebagaimana dimaksudkan

5
dalam pasal 340 KUHP. Dalam pasal 338 KUHP secara tegas dinyatakan
“barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karen
pembunuhan dengan pidana paling lama lima belas tahun”. (Tongat, 2003
dan Yusuf Qardawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer)

3.3 Apakah seorang dokter di indonesia boleh melakukan euthansia? lalu


apakah respon yg harus dilakukan seorang dokter apabila pasien
mendesak untuk euthanasia?

Respon yang seharusnya diberikan oleh dokter yaitu menolak. Dokter


memiliki hak untuk dapat menolak keinginan pasien. Hal ini sesuai dengan
etik kedokteran, yaitu dokter itu tidak lah diperbolehkan, menggugurkan
kandungan (abortus provocatus); mengakhiri hidup seorang pasien, yang
menurut ilmu dan pengalaman tidak mungkin akan sembuh lagi
(euthanasia). (Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
434/Menkes/SK/X/1983.1988:18).

3.4 Bagaimana pandangan masyarakat indonesia terhadap tindakan


euthanasia?

3.4.1 Kelompok yang menyetujui


Berpendapat bahwa euthanasia dilakukan dengan persetuuan yang
tujuan utamanya adalah menghentikan penderitaan pasien. prinsip
kelompok ini adalah manusia tidak boleh dipaksa untuk
menderita.jadi, tujuan utamanya adalah meringankan penderitaan
paien dengan resiko hidupnya diperbaiki.
3.4.2 Kelompok yang tidak setuju
Berpendapat bahwa euthanasia adalah suatu pembunuhan yang
terhubung. Jadi ini bertentangan dengan kehendak Tuhan karena
hidup diberikan oleh Tuhan sehingga tak seorangpun yang berhak
mencabut nyawa seseorang bagaimanapun keadaanya.
(Etika Kedokeran Indonesia, 2001:95)

6
3.5 Apa saja jenis euthanasia?

3.5.1Euthanasia pasif
Adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan
atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup
manausia.
3.5.2Euthanasia Aktif
Adalah perbuatan yang dilakukan secara medik melalui intervensi
aktif oleh seorang dokter dengan tujuan untuk mengahiri hidup
manusia
3.5.3Euthanasia voluntir atau sukarela
Euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien yang dilakukan
secara sadar dan diminta berulang-ulang.
3.5.4Euthanasia involuntir
Euthanasi yang dilakukan kepada pasien yang (sudah) tidak sadar,
biasanya keluarga pasien yang meminta.
(M. Jusuf Hanafiyah 2009:119-120)
3.6 Atas dasar apa euthanasia dapat dipertimbangakan untuk
dilakukan?

Faktor-faktor yang menyebabkan euthanasia direkomendasikan adalah:

3.6.1 Pasien sudah dalam keadaan merana dan sekarat.

3.6.2 Keluarga tidak tega melihat orang sakit penuh penderitaan


menjelang ajalnya pasien.

3.6.3 Finansial keluarga atau pasien yang tidak memungkinkan

(M. Jusuf Hanafiyah, 2009)

7
BAB IV

8
SISTEMATIKA MASALAH

BAB V

9
TUJUAN PEMBELAJARAN

5.1Apakah landasan legalisasi maupun penolakan terhadap tindakan euthanaisa


di beberapa negara?
5.2Apakah solusi lain bagi penderita HIV selain euthanasia?
5.3Bagaimana sudut pandang euthanasia menurut psikologi, bioetik, filosofi
kesehatan, sosiologi dan antropologi kesehatan?

BAB VI

BELAJAR MANDIRI

BAB VII

BERBAGI INFORMASI

10
7.1 Apakah landasan legalisasi maupun penolakan terhadap tindakan
euthanasia di berbagai negara?

7.1.1 Belanda

Belanda merupakan negara pertama yang melegalkan praktik


euthanasia. Pasien pasien yang telah sakit selama bertahun-tahun
dan tidak dapat disembuhkan lagi memiliki hak melakukan
euthanasia. Akan tetapi dalam pelaksanaannya pada euthanasia
secara hukum harus melapor pada polisi ketika melakukan
euthanasia. Pada tahun 2002, sebuhan konverensi yang berusia 20
tahun telah dimodifikasi oleh Undang-Undang Belanda, dimana
seorang dokter yang melakukan euthanasia, tidak akan dihukum.
(Hartanty, Agnes. 2011)

7.1.2 Swiss
Euthanasia diberikan jika yang bersangkutan memintanya sendiri.
Pasal 115 UU hukum pidana swiss tahun 1937 digunakan 1942.
“Membantu suatu pelaksanaan bunuh diri adalah merupakan suatu
perbuatan melawan hukum apabila motivasinya semata untuk
kepentingan diri sendiri”. (Hartanty, Agnes. 2011)

7.1.3 Amerika
Merupakan Negara yang diminta pasien untuk mengakhiri
hidupnya adlah negara bagian Oregon. Pada tahun 1997 Oregon
melegalisasikan kemungkinan dilakukannya euthanasia. Hal ini
didasari pada hak seorang pasien kepada hidupnya. (Hartanty,
Agnes. 2011)

7.1.4 Australia
Negara bagian di Australia, northern teritory mejadi tempat di
dunia dengan UU yang mengijinkan euthanasia UU tersebut
disebut dengan right of the terminally illbill undang undang tentang

11
hak pasien terminal. Walaupun telah di praktikkan, pada tahun
1997 oleh keputusan senat australia, keputusan ini ditarik kembali
(Hartanty, Agnes. 2011)
7.1.5 India
Di India tindakan euthanasia merupakan tindakan yang melanggar
hukum aturan mengenai larangan euthanasia terhadap dokter secara
tegas dinyatakkan dalam bab pertama pasal 300 dari kitab UU
hukm pidana India tahun 1860 namun berdasarkan aturan tersebut
dokter yang melakukan euthanasia hanya dinyatakkan bersalah atas
kelalaian yang mengakibatkan kematian dan bukannya
pembunuhan yang hukumannya didasarkan pada ketentuan pasal
304 IPC, namun ini hanya diperlakukan terhadap kasus euthanasia
sukrela, pada kasus euthanasia secara tidak sukarela. Akan
dikenakan hukuman berdasarkan pasal 92 IPC. (Hartanty, Agnes.
2011)

7.1.6 Belgia
Parlemen Belgia telah melegalisasi euthanasia pada akhir
September 2002. Belgia kini menjadi Negara ke3 yang melegalisasi
euthanasia (setelah belanda dan Negara bagian oregon di Amerika)
hal ini didasarkan pada hak seorang pasien yang menderita secara
jasmani dan psikologis untuk memutuskan kelangsungan hidupnya
dan penentuan saat saat ankhir hidupnya (Hartanty, Agnes. 2011)

7.2 Apakah solusi lain bagi penderita AIDS selain euthanasia?

Treatment yang digunakan untuk penderita AIDS sampai saat ini tidak
ada vaksin atau obat untuk HIV atau AIDS. Metode satu-satunya yang
diketahui untuk pencegahan didasarkan pada penghindaaran kontak
dengan virus atau jika gagal, perawatan anti retrovirus setelah kontak
dengan virus secara signifikan penanganan infeksi HIV terkini adalah
terapi antiretrovirus terkini.
(Highly active antiretroviral therapy/HAART)
Menurut A.F Ghazali dan salah seorang ketua MUI pusat, H.S
Prodjokusumo mengatakan bahwa mengisolasi penderita AIDS dipandang
merupakan sala satu penyelesaian yang baik, ketimbang harus dihilangkan

12
nyawanya (tindakan euthanasia). Hal ini berarti bahwa kalau sedapat
mungkin euthanasia dapat dihindari mengapa tidak dilakukan, apabila
dokter telah menyerah untuk mngobati pasiennya lebih baik dikembalikan
kepada keluarganya tanpa bermaksud untuk mengentikan bantuan pada
pasien. (ejournal.uwks.ac.id)

7.3 Bagaimana sudut pandang euthanasia menurut psikologi, bioetik,


filosofi kesehatan, sosiologi dan antropologi kesehatan?

Pandangan euthanasia menurut berbagai aspek:


7.3.1 Aspek sosiologi
Sesuai dengan pendapat dari berbagai kalangan tidak disetujui dan
dilarang untuk dilakukan di Indonesia. Hal ini dikarenakan tidak
sejalan dengan ajaran agama bahwa hidup dan mati seseorang telah
ditentukan oleh sang pencipta kehidupan sejak bayi berada di
dalam kandungan, juga melanggar HAM terutama hak hidup baik
hak untuk mempertahankan hidup atau hak untuk mendapatkan
kehidupan yang layak. (AS. Sarjono, 2014)
7.3.2 Aspek bioetik
Dalam praktiknya, dokter tidaklah mudah melakukan euthanasia
meskipun dari sudut kemanusiaan dapat dibenarkan karena
mendapatkan hak bagi pasien yang menderita sakit akut. Akan
tetapi dokter tidak dibenarkan melakukan upaya aktif untuk
memenuhi keinginan pasien tersebut. Sebab perbuatan
menghilangkan nyawa orang lain disamping merupakan
pelanggaran berat terhadap KODEKI juga merupakan tindak
pidana. (AS. Sarjono, 2014)
7.3.4 Aspek filosofi kesehatan
Dari segi filosofis, persoalan euthanasia berhubungan erat dengan
pandangan anatomi dan kebiasaan (kebebasan) manusia dimana
manusia ingin menguasai dirinya sendiri secara penuh, sehingga
dapat menentukan sendiri kapan dan dimana dia akan mati.
Perdebatan mengenai euthanasia dapat dikatakan: atas nama
penghormatan terhadap otonomi manusia, manusia harus
mempunyai kontrol secara penuh atas hidup dan matinya sehingga

13
seharus ia mempunyai kuasa untuk mengakhiri hidupnya jika ia
menghendakinya demi pengakhiran penderitaan yang tidak
berguna. (usu.ac.id)

7.3.5 Aspek antropologi


Dari zaman yunani kuno, sudah dikenal tentang euthanasia pada
zaman yunani romawi, penekanan euthanasia ditekankan pada
kehendakan manusia untuk melepaskan diri dari penderitaan
terutama yang mengalami penyakit parah. Tidakan membantu
seseorang yang mengalami kematian adalah masalah etika tingkat
tinggi yang membutuhkan pertimbangakan yang tepat, yang
memerlukan solusi berkasihan atas masalah penderitaan. Sumpah
hipocrates euthanasia 300-500 SM “saya tidak akan menyarankan
atau memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun
telah diminta untuk itu”. AIDS ini bagi penderita terlebih lagi orang
lain maka tindakan tindakan euthanasia mungkin cepat dilakukan
pada penderitanya. Usaha yang dilakukan pemerintah mengenai
AIDS adalah membuat suatu tempat khusus yang tersolir dari
keramaian untuk melakukan perawatan intensif bagi penderita serta
menghindari penularan penyakit tersebut.

BAB VIII

PENUTUP

8.1 Kesimpulan
Mr. H adalah seorang pasien yang mengidap penyakit AIDS, beliau
meminta tindakan Euthanasia kepada dr. J untuk mengakhiri hidupnya,
akan tetapi dr. J menolak karena hal ini bertentangan dengan KODEKI.
Walaupun diberbagai negara seperti Belanda, Swiss, Belgia,
memperbolehkan tindakan euthanasia yang berkebijakan lain dengan
negara-negara timur seperti Indonesia, India, dan Negara-Negara bagian di

14
Australia. Sedangkan apabila diliat dari berbagai aspek seperti antropologi,
sosiologi, psikologi, bioetik dan filosofi kesehatan, semua aspek tersebut
apabila ditinau di Indonesia semuanya menyatakan menolak atau tidak
melegalkan tindakan eutanasia. Sebagai seorang dokter, dr. J harus
memberikan pelayanan terbaik terhadap pasien yang ditanganinya, hal ini
dijelaskan didalam KODEKI. Dr. J harus memiliki opsi kedua dalam
pelaksanaan pengobatan yang dipandang sekiranya lebih baik daripada
harus melakukan tindakan euthanasia hal tersebut dapat berupa terapi
antiretrovirus yaitu terapi yang mengambat pertumbuan virus HIV yang
merupakan penyebab utama dari penyakit AIDS tersebut. Tindakan lain
yang dapat dilakukan yaitu mengisolasi penderita AIDS.
8.2 Saran

Dalam tutorial skenario pertama ini, pelaksanaan diskusi kelompok


kami sudah baik. Masing-masing anggota telah menyampaikan pendapat
disertai referensi yang jelas. Ketua juga sudah mampu memimpin diskusi
tutorial dengan baik. Diharapkan untuk tutorial-tutorial selanjutnya para
mahasiswa dapat lebih meningkatkan kualitas diskusi. Dan bisa berpikir
lebih kritis.

DAFTAR PUSTAKA

Kumala, Poppy.1998.Kamus Saku Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC


ejournal.uwks.ac.id
Mihrajudin, dkk. 2007. IPA Terpadu SMP dan MTS Jilid 3A. Jakarta:
Erlangga.
Jusuf Hanafiah, M. 2008. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan.
Jakarta: EGC.
Fandi, I Made. 2009. Euthanasia Dikaji dari Persoektif Hukum
Kesehatan dan Hak Asasi Manusia. Universitas Mataram
Qardhawi, Yusuf. Fatwa-Fatwa Kontemporer. Gema Insani Press
Tongat, Hukum Pidana Materiil. D Jambatan. 2003.
Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 434/Menkes/SK/X/1983.1988:18
______, 2010. Webster’s New World Medical Dictionary 3rd Edition.
Jakarta Barat: PT Indeks.

15
Hartanty, Agnes. 2011. Euthanasia dari Berbagai Sudut Pandang.
Semarang: Universitas Diponegoro.

16

Anda mungkin juga menyukai