Anda di halaman 1dari 15

MANAJEMEN KASUS

“Hernia Inguinalis”

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat dalam Mengikuti Stase Anestesi di RSUD
dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri

Oleh:
Dirga Asna Ceria (18712072)

Pembimbing :
dr. Girindro, Sp.An

SMF ILMU ANESTESI


RSUD DR. SOEDIRAN MANGUN SUMARSO KAB. WONOGIRI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2019

1
UNIVERSITAS DEPARTEMEN ANESTESI
ISLAM
INDONESIA
FAKULTAS STATUS PASIEN UNTUK UJIAN
KEDOKTERAN Untuk Dokter Muda
Nama Dokter Muda Dirga Asna Ceria Tanda Tangan
NIM 18712072
Tanggal Ujian
Rumah Sakit RSUD dr. Soediran
Mangun Sumarso
Kab. Wonogiri
Gelombang Periode 29 April 2019

A. IDENTITAS
Identitas Pasien
Nama/Inisial : Tn.S
No RM : 646XXX
Umur : 58 tahun
Jenis Kelamin :L
Diagnosis/kasus : Hernia Inguinalis Reponibel
B. ANAMNESIS
 Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan terdapat benjolan di area
selangkangan
 Riwayat Penyakit Sekarang
Benjolan dirasakan keluar masuk selangkangan. Keluhan ini
berlangsung sejak 3 bulan yang lalu. Benjolan terutama dirasakan
saat berdiri, mengejan atau mengangkat beban. Pasien tidak
mengeluhkan adanya nyeri, mual ataupun muntah. Pasien sehari-
hari bekerja sebagai petani.

2
 Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat operasi (-)
Pasien tidak memiliki riwayat gangguan pernafasan
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit jantung
Pasien tidak memiliki riwayat DM
Pasien tidak memiliki alergi obat atau makanan
 Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga tidak memiliki riwayat penyakit jantung, pernafasan, dan
DM. Keluarga juga tidak memiliki alergi obat atau makanan

C. PEMERIKSAAN FISIK
 Keadaan Umum : cukup
 Kesadaran : compos mentis
 Vital Sign
- Tekanan Darah : 118/79 mmHg
- Nadi : 80
- Respirasi : 24
- Suhu : 36,5oC
 Status Generalis
1 Pemeriksaan Kepala Konjungtiva anemis (-), Sklera
ikterik (-)
2 Pemeriksaan Leher Deformitas (-), pembesaran
kelenjar limfa (-), pembesaran
kelenjar tiroid (-)
3 Pemeriksaan Dada 1) Inspeksi : rektraksi (-),
ketertinggalan gerak (-)
2) Palpasi : fremitus taktil dalam
batas normal, nyeri di bagian
kanan atas, gerakan nafas
simetris
3) Perkusi : sonor di seluruh
lapang paru

3
4) Auskultasi : vesikuler di
seluruh lapang paru, suara
jantung S1 dan S2
4 Pemeriksaan 1) Inspeksi : tinggi dinding dada
Abdomen lebih rendah daripada dinding
perut, terlihat adanya benjolan
pada area inguinal, tidak
eritem
2) Auskultasi : bunyi bising usus
dalam batas normal
3) Perkusi : timpani
4) Palpasi : nyeri (-), teraba
benjolan pada area inguinal
kanan, tidak ada nyeri tekan
5 Pemeriksaan Nyeri (-), akral hangat (+), edema
Ekstremitas (-)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Darah Rutin
Pemeriksaan Hasil Nilai Satuan Keterangan
Rujukan
Hemoglobin 14,6 14 – 18 g/dl
Eritrosit 4,56 4,6 – 6,2 juta/mikroL L
Hematokrit 43,9 40 – 54 %
MCV 96,3 80 – 97 fl
MCH 32 26 – 32 fl
MCHC 33,2 31 – 36 pg
Leukosit 5,5 4,1 – 10,9 ribu/mikroL
Trombosit 255 308 ribu/mikroL
Gol. Darah
ABO
BT 1’00” 1’ – 3’

4
CT 10’00” 9’ – 15 ‘
RDW-CV 13,5 11,5 – 14,5 %
MPV 7,7 0,1 – 14 fl
Limfosit 34,7 22 – 40 %
Granulosit 60,9 50 – 70 %
MID% 5,6 3–9 %
HBsAg Non reaktif Non Reaktif

E. DIAGNOSIS
Hernia Inguinalis Dextra
F. PENTALAKSANAAN
Medikamentosa
- Infus RL 20 tpm
- Injeksi cefoperazone 2 gram/24 jam

Non Medikamentosa

- Herniorepair

Assesment Pra Anestesi

Diagnosis pra operasi/tindakan : Hernia Inguinalis Dextra

Riwayat operasi :-

Riwayat alergi :-

Skor nyeri :1

Evaluasi Jalan Napas


Bebas Ya
Protrusi mandibular Tidak
Buka mulut Normal
Jarak mentohyoid Normal

5
Jarak hyothyroid Normal
Leher Tidak pendek
Gerak leher Bebas
Mallampathy I
Obesitas Tidak
Massa Tidak
Gigi palsu Tidak
Sulit ventilasi Tidak

Pernafasan : dalam batas normal

Kardiovaskular : dalam batas normal

Neuro/musculoskeletal : dalam batas normal

Renal/endokrin : dalam batas normal

Hepato/gastrointestinal : dalam batas normal

Rencana Anestesi Operasi

Jenis Pembiusan : Regional Anestesi (Subarachnoid Blok)

Rencana Anestesi

Teknik Anestesi : Regional Anestesi

Makan Terakhir : 24.00

Vital Sign

- Tekanan Darah : 120/82 mmHg


- Nadi : 65
- Respirasi : 22

Masalah saat evaluasi pra induksi : -

Diagnosis operatif : ASA I (Pasien sehat)

6
Obat yang diberikan : Ketorolac 2 mg

Lidodex 1 amp

Landasan Teori

1. Anestesi Spinal

Anestesi spinal adalah injeksi obat anestesi lokal ke dalam ruang


intratekal yang menghasilkan analgesia. Pemberian obat lokal anestesi ke dalam
ruang intratekal atau ruang subaraknoid di regio lumbal antara vertebra L2-3, L3-
4, L4-5, untuk menghasilkan onset anestesi yang cepat dengan derajat kesuksesan
yang tinggi. Kontra indikasi absolut anastesi spinal meliputi pasien menolak,
infeksi di daerah penusukan, koagulopati, hipovolemi berat, peningkatan tekanan
intrakranial, stenosis aorta berat dan stenosis mitral berat. Sedangkan
kontraindikasi relatif meliputi pasien tidak kooperatif, sepsis, kelainan neuropati
seperti penyakit demielinisasi sistem syaraf pusat, lesi pada katup jantung serta
kelainan bentuk anatomi spinal yang berat. Ada juga menyebutkan kontraindikasi
kontroversi yang meliputi operasi tulang belakang pada tempat penusukan,
ketidakmampuan komunikasi dengan pasien serta komplikasi operasi yang
meliputi operasi lama dan kehilangan darah yang banyak. Anestesi spinal
dihasilkan oleh injeksi larutan anestesi lokal ke dalam ruang subarakhnoid lumbal.
Larutan anestesi lokal dimasukkan ke dalam cairan serebrospinal lumbal, bekerja
pada lapisan superfisial dari korda spinalis, tetapi tempat kerja yang utama adalah
serabut preganglionik karena mereka meninggalkan korda spinal pada rami
anterior. Karena serabut sistem saraf simpatis preganglionik terblokade dengan
konsentrasi anestesi lokal yang tidak memadai untuk mempengaruhi serabut
sensoris dan motoris, tingkat denervasi sistem saraf simpatis selama anestesi
spinal meluas kira-kira sekitar dua segmen spinal sefalad dari tingkat anestesi
sensoris. Untuk alasan yang sama, tingkat anestesi motorik rata-rata dua segmen
dibawah anestesi sensorik.

7
2. Anatomi Kolumna Vertebra

Pengetahuan yang baik tentang anatomi kolumna vertebralis merupakan


salah satu faktor keberhasilan tindakan anestesi spinal. Di samping itu,
pengetahuan tentang penyebaran analgesia lokal dalam cairan serebrospinal dan
level analgesia diperlukan untuk menjaga keamanan tindakan anestesi spinal.
Vertebra lumbalis merupakan vertebra yang paling penting dalam spinal anestesi,
karena sebagian besar penusukan pada spinal anestesi dilakukan pada daerah ini.
Kolumna vertebralis terdiri dari 33 korpus vertebralis yang dibagi menjadi 5
bagian yaitu 7 servikal, 12 thorakal, 5 lumbal, 5 sakral dan 4 koksigeus. Kolumna
vertebralis mempunyai empat lengkungan yaitu daerah servikal dan lumbal
melengkung ke depan, daerah thorakal dan sakral melengkung ke belakang
sehingga pada waktu berbaring daerah tertinggi adalah L3, sedang daerah
terendah adalah L5. Segmen medulla spinalis terdiri dari 31 segmen : 8 segmen
servikal, 12 thorakal, 5 lumbal, 5 sakral dan 1 koksigeus yang dihubungkan
dengan melekatnya kelompok-kelompok saraf. Panjang setiap segmen berbeda-
beda, seperti segmen tengah thorakal lebih kurang 2 kali panjang segmen servikal
atau lumbal atas. Terdapat dua pelebaran yang berhubungan dengan saraf servikal
atas dan bawah. Pelebaran servikal merupakan asal serabut-serabut saraf dalam
pleksus brakhialis. Pelebaran lumbal sesuai dengan asal serabut saraf dalam
pleksus lumbosakralis. Hubungan antara segmen-segmen medulla spinalis dan
korpus vertebralis serta tulang belakang penting artinya dalam klinik untuk
menentukan tinggi lesi pada medulla spinalis dan juga untuk mencapainya pada
pembedahan. Lapisan yang harus ditembus untuk mencapai ruang subarakhnoid
dari luar yaitu kulit, subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum flavum
dan duramater. Arakhnoid terletak antara duramater dan piamater serta mengikuti
otak sampai medulla spinalis dan melekat pada duramater. Antara arakhnoid dan
piamater terdapat ruang yang disebut ruang sub arakhnoid. Duramater dan
arakhnoid berakhir sebagai tabung pada vertebra sakral 2, sehingga dibawah batas
tersebut tidak terdapat cairan serebrospinal. Ruang sub arakhnoid merupakan
sebuah rongga yang terletak sepanjang tulang belakang berisi cairan otak, jaringan
lemak, pembuluh darah dan serabut saraf spinal yang berasal dari medulla

8
spinalis. Pada orang dewasa medulla spinalis berakhir pada sisi bawah vertebra
lumba

Tempat yang ideal untuk memasukkan jarum tulang belakang adalah


antara L2 dan S2.Garis yang ditarik di antara titik-titik tertinggi dari iliac crests
(intercristalline) melintasi proses spinosus L 4. masukkan jarum ke tulang
belakang di ruang L3-4. Ketika yang ditusukkan di tulang belakang memasuki
kulit di garis tengah antara lumbar kemudian menuju ke jaringan adiposa subkutan
yang memiliki ketebalan sekitar 1-2 cm. Selanjutnya adalah ligamentum
supraspinous dan ligamentum interspinous serta ligamentum flavum yang
memiliki tekstur keras, berpasir. Setelah ligamentum flavum adalah ruang
epidural (yang berisi vena epidural berdinding tipis besar serta jaringan adiposa).
Selanjutnya majukan jarum beberapa milimeter lagi dan tarik stylet. Jarak dari
kulit ke dura rata-rata 4 - 5 cm.

Anestesi lokal yang sering dipakai adalah bupivakain. Lidokain 5%


sudah ditinggalkan karena mempunyai efek neurotoksisitas, sehingga bupivakain
menjadi pilihan utama untuk anestesi spinal saat ini. Anestesi lokal dapat dibuat
isobarik, hiperbarik atau hipobarik terhadap cairan serebrospinal. Barisitas
anestesi lokal mempengaruhi penyebaran obat tergantung dari posisi pasien.
Larutan hiperbarik disebar oleh gravitasi, larutan hipobarik menyebar berlawanan
arah dengan gravitasi dan isobarik menyebar lokal pada tempat injeksi. Setelah
disuntikkan ke dalam ruang intratekal, penyebaran zat anestesi lokal akan
dipengaruhi oleh berbagai faktor terutama yang berhubungan dengan, hukum
fisika dinamika dari zat yang disuntikkan, antara lain Barbotase (tindakan
menyuntikkan sebagian zat anestesi lokal ke dalam cairan serebrospinal,
kemudian dilakukan aspirasi bersama cairan serebrospinal dan penyuntikan
kembali zat anestesi lokal yang telah bercampur dengan cairan serebrospinal),
volume, berat jenis, dosis, tempat penyuntikan, posisi penderita saat atau sesudah
penyuntikan.

Adapun langkah yang harus diperhatikan saat melakukan subarachnoid


block ialah pertama dengan menghubungkan montor dan oksigen, lalu masukkan
kanula intravena 18 G dan infus normal saline atau ringer laktat, sebaiknyainfus

9
sampai 500 - 1000 ml telah masuk kedalam tubuh pada saat injeksi tulang
belakang sebagai upaya untuk mengkompensasi vasodilatasi perifer. Selanjutnya
berikan midazolam sebagai ansiolitik intravena. Lalu posisikan pasien duduk atau
lateral. Posisi duduk bermanfaat pada pasien yang gemuk atau hamil. Kemudian
desinfeksi kulit dengan alkohol povidone / yodium dan mulai identifikasi garis L4
dan siapkan lidokain. Tempatkan telunjuk dan jari tengah di kedua sisi prosesus
spinosus di ruang L 3 - 4. Setelah itu masukkan jarum dan tarik stilette maka
cairan serebrospinal akan keluar. Kemudian masukkan lidokain.

Dua agen anestesi yang sering digunakan pada blok subaraknoid ialah
bupivacaine dan lidocaine. Lidocaine adalah pilihan yang sangat baik untuk SAB
akantetapi terkadang pasien mengeluhkan adanya Transient Radicular Iritation
(TRI) dengan gejala seperti ketidaknyamanan punggung yang menyebar hingga
bokong dan kaki. Bupivakain dan lidokain bersifat hipobarik (kurang padat)
dibandingkan dengan cairan serebrospinal sehingga jika obat ini diberikan dalam
posisi duduk, mereka perlahan-lahan akan menyebar di CSF. Bupivacaine 0,5%
(mengandung 6 - 8% glukosa) secara komersial tersedia dalam 4 ml ampul steril.
Untuk prosedur yang sangat singkat seperti artroskopi lutut (berlangsung 45 - 60
menit) dapat menggunakan lidokain 2% polos pada L3-L4. Perlu diketahui juga
bahwa morfin (0,15 - 0,25 mg) merupakan obat yang dapat berikatan dengan
reseptor opioid sumsum tulang belakang dan dapat meningkatkan analgesia pasca
operasi. Efeknya berlangsung selama 24 jam. Namun dapat memberikan efek
samping seperti retensi urin, pruritus dan mual.

3. Dampak Pemberian Anestesi Spinal


a. Sistem kardiovaskuler
Pada anestesi spinal tinggi terjadi penurunan aliran darah jantung dan
penghantaran (supply) oksigen miokardium yang sejalan dengan penurunan
tekanan arteri rata-rata. Penurunan tekanan darah yang terjadi sesuai dengan
tinggi blok simpatis, makin banyak segmen simpatis yang terblok makin
besar penurunan tekanan darah. Untuk menghindarkan terjadinya penurunan
tekanan darah yang hebat, sebelum dilakukan anestesi spinal diberikan cairan
elektrolit NaC1 fisiologis atau ringer laktat 10-20 ml/kgbb. Pada Anestesi

10
spinal yang mencapai T4 dapat terjadi penurunan frekuensi nadi dan
penurunan tekanan darah dikarenakan terjadinya blok saraf simpatis yang
bersifat akselerator jantung.
b. Sistem pernafasan
Pada anestesi spinal blok motorik yang terjadi 2-3 segmen di bawah blok
sensorik, sehingga umumnya pada keadaan istirahat pernafasan tidak banyak
dipengaruhi. Tetapi apabila blok yang terjadi mencapai saraf frenikus yang
mempersarafi diafragma, dapat terjadi apnea.
c. Sistem pencernaan
Ketika terjadi blok serabut simpatis preganglionik yang kerjanya menghambat
aktifitas saluran pencernaan (T4-5), maka aktifitas serabut saraf parasimpatis
menjadi lebih dominan, tetapi walapun demikian pada umumnya peristaltik
usus dan relaksasi spingter masih normal. Pada anestesi spinal bisa terjadi
mual dan muntah yang disebabkan karena hipoksia serebri akibat dari
hipotensi mendadak, atau tarikan pada pleksus terutama yang melalui saraf
vagus
4. Definisi Hernia

Hernia merupakan protrusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek
atau bagian lemah dari dinding rongga bersangkutan dimana rongga tersebut
harusnya berada dalam keadaan normal tertutup. Hernia inguinalis indirek disebut
juga hernia inguinalis lateralis yaitu hernia yang keluar dari rongga peritonium
melalui anulus inguinalis internus yang terletak lateral dari pembuluh epigastrika
inferior, kemudian hernia masuk ke dalam kanalis inguinalis. Hernia inguinalis
direk disebut juga hernia inguinalis medialis yaitu hernia yang melalui dinding
inguinal posteromedial dari vasa epigastrika inferior di daerah yang dibatasi
segitiga Hesselbach.
5. Etiologi Hernia

Penyebab dari hernia adalah adanya peningkatan tekanan intraabdominal


akibat adanya tindakan valsava maneuver seperti batuk, mengejan, mengangkat
benda berat atau menangis. Hernia inguinalis dapat terjadi karena anomaly
congenital atau karena sebab yang didapat. Berbagai faktor penyebab berperan

11
pada pembentukan pintu masuk hernia pada anulus internus yang cukup lebar,
sehingga dapat dilalui oleh kantong dan isi hernia. Selain itu diperlukan pula
faktor yang dapat mendorong isi hernia melewati pintu yang sudah terbuka cukup
lebar itu. Faktor yang dipandang berperan kausal adalah adanya prosesus vaginalis
yang terbuka, peninggian tekanan di dalam rongga perut dan kelemahan otot
dinding perut karena usia. Tekanan intra abdominal yang meninggi serta kronik
seperti batuk kronik, hipertrofi prostat, konstipasi dan asites sering disertai hernia
inguinalis. Anak yang menjalani operasi hernia pada waktu bayi mempunyai
kemungkinan mendapat hernia kontralateral pada usia dewasa. Bertambahnya
umur menjadi faktor risiko, dimungkinkan karena meningkatnya penyakit yang
meninggikan tekanan intra abdomen dan berkurangnya kekuatan jaringan
penunjang. Setelah apendektomi menjadi faktor risiko terjadi hernia inguinalis
karena kelemahan otot dinding perut antara lain terjadi akibat kerusakan nervus
ilioinguinalis dan nervus iliofemoralis.

6. Klasifikasi Hernia
a. Berdasarkan tempatnya:
1) Hernia Inguinalis
Penonjolan organ intraabdomen melalui lubang anulus inginalis

2) Hernia femoralis
Batang usus masuk melalui cincin femoral ke dalam kanalis femoralis

3) Hernia umbilikalis
Hernia keluar melalui umbilikus akibat peningkatan tekanan intraabdomen.

4) Hernia skrotalis
Hernia inguinalis lateralis yang mencapai skrotum
5) Hernia Umbilikalis
Hernia keluar melalui umbilikus akibat peningkatan tekanan intraabdomen

b. Berdasarkan sifatnya

1) Hernia reponibel

12
Bila isi hernia dapat keluar masuk usus keluar jika berdiri atau mengejan
dan masuk lagi jika berbaring atau duduk.

2) Hernia ireponibel
Bila isi hernia berada didalam kantung hernia dan terjepit cincin hernia
sehingga tidak dapat masuk kembali ke dalam rongga abdomen.
3) Hernia inkarserata/strangula
Bila isi hernia berada didalam kantong hernia dan terjepit cincin hernia
sehingga tidak dapat masuk kembali ke dalam rongga abdomen, dapat
disertai gangren pasase akibat peredaran darah terganggu.
d. Berdasarkan penyebabnya
1) Hernia kongenital
Hernia yang disebabkan karena kelemahan dinding otot abdomen yang
bersifat bawaan (dari lahir)
2) Hernia traumatik(dapatan)
Hernia yang disebabkan karena adanya trauma seperti peningkatan
tekanan intra abdominal (batk kronis, sering mengejan, mengangkat
beban berat)
3) Hernia insisionalis
Hernia yang disebabkan karena dinding abdomen lemah akibat sayatan
atau pembedahan sebelumnya, seperti post laparotomi dan
prostatektomi
7. Manifestasi Klinis

a. Gejala Klinis
Gejala klinis hernia banyak ditentukan oleh keadaan isi hernia. Gejala
yang muncul biasanya berupa adanya benjolan di lipat paha yang muncul pada
waktu berdiri, batuk, bersin, atau mengedan dan menghilang setelah berbaring.
Keluhan nyeri jarang dijumpai kalau ada biasanya dirasakan di daerah epigastrium
atau periumbilikal berupa nyeri visceral karena regangan pada mesenterium
sewaktu satu segmen usus halus masuk ke dalam kantong hernia. Hernia
inguinalis yang paling sering pada anak adalah hernia inguinalis lateralis
(indirect).

13
b. Tanda Klinis
Tanda klinis pada pemeriksaan fisik bergantung pada isi hernia. Pada saat
inspeksi, pasien diminta mengedan maka akan terlihat benjolan pada lipat paha,
bahkan benjolan bisa saja sudah nampak meskipun pasien tidak mengedan.Pada
saat melakukan palpasi, teraba benjolan yang kenyal, mungkin isinya berupa usus,
omentum atau ovarium, juga dapat ditentukan apakah hernia tersebut dapat
didorong masuk dengan jari / direposisi.Sewaktu aukultasi dapat terdengar bising
usus dengan menggunakan stetoskop pada isi hernia yang berupa usus.
8. Penatalaksanaan
Pengobatan konservatif terbatas pada tindakan melakukan reposisi dan
pemakaian penyangga atau penunjang untuk mempertahankan isi hernia yang
telah direposisi. Reposisi tidak dilakukan pada hernia inguinalis strangulata,
kecuali pada pasien anak-anak, reposisi spontan lebih sering (karena cincin hernia
yang lebih elastis). Reposisi dilakukan secara bimanual. Tangan kiri memegang
hernia membentuk corong sedangkan tangan kanan mendorongnya ke arah cincin
hernia dengan sedikit tekanan perlahan yang tetap sampai terjadi reposisi.
Pemakaian bantalan penyangga hanya bertujuan menahan hernia yang telah
direposisi dan tidak pernah menyembuhkan, sehingga harus dipakai seumur
hidup. Namun, cara yang sudah berumur lebih dari 4000 tahun ini masih saja
dipakai sampai sekarang. Sebaiknya cara seperti ini tidak dianjurkan karena
menimbulkan komplikasi, antara lain merusak kulit dan tonus otot dinding perut
di daerah yang tertekan, sedangkan strangulasi tetap mengancam. Pengobatan
operatif merupakan satu-satunya pengobatan hernia inguinalis yang rasional.
Indikasi operatif sudah ada begitu diagnosa ditegakkan. Prinsip dasar operatif
hernia terdiri atas herniotomi dan hernioplastik. Pada herniotomi dilakukan
pembebasan kantong hernia sampai ke lehernya, kantong dibuka dan isi hernia
dibebaskan kalau ada perlekatan, kemudian direposisi. Kantong hernia dijahit-ikat
setinggi mungkin lalu dipotong. Pada hernioplastik dilakukan tindakan untuk
memperkecil annulus inguinalis internus dan memperkuat dinding belakang
kanalis iguinalis. Hernioplastik lebih penting dalam mencegah terjadinya residif
dibandingkan dengan herniotomi. Hernia bilateral pada orang dewasa, dianjurkan
melakukan operasi dalam satu tahap kecuali jika ada kontra indikasi. Begitu juga

14
pada anak-anak dan bayi, operasi hernia bilateral dilakukan dalam satu tahap,
terutama pada hernia inguinalis sinistra.

15

Anda mungkin juga menyukai