Case Study Riri
Case Study Riri
Identitas
Nama klien : Tn. A
Usia : 61 th
Jenis Kelamin : laki-laki
Diagnosa Medik : DFU (Diabetic Foot Ulcer)
2) Dressing
- cuticell
- alginet
- madu
2. Masalah Keperawatan/Diagnosis
Kerusakan integritas jaringan b.d gangguan sirkulasi
Defisiensi pengetahuan b.d kurangnya informasi
3. Rencana Keperawatan
4. Implementasi
6. Evaluasi
Tanggal Diagnosa Evaluasi
23 des Kerusakan S: Klien mengatakan terdapat luka dikaki kiri
integritas Pasien mengatakan lukanya terasa nyeri
2019 jaringan
O:Dilakukan perawatan luka: surgical debridement dan
dressing luka kaki diabetik menggunakan cuticell.
Terdapat luka
Lokasi luka di kaki sebelah kiri
Ukuran luka: 15 x 9cm
Klien dan keluarga menyimak saat diberikan informasi
Luka diperban
P:Intervensi dilanjutkan
Menjaga kulit tetap bersih dan kering
Memonitor aktivitas dan mobilisasi pasien
Memonitor luka
Mengajarkan kembali pada keluarga tentang luka dan
perawatan luka
Mengganti balutan pada interval waktu yang sesuai
25 Kerusakan S: Klien mengatakan terdapat luka dikaki kiri dan akan
integritas melakukan perawatan kembali,Pasien mengatakan luka
des jaringan masih terasa nyeri
2019
O:Dilakukan perawatan luka: surgical debridement dan
dressing luka kaki diabetik menggunakan alginate
Terdapat luka
Lokasi luka di tumit kaki kiri
Ukuran luka: 15 x 9 cm
Sekitar luka granulasi 10%, slough 90%, terdapat eritem
inflamasi
Klien dan keluarga menyimak saat diberikan informasi
Luka diperban
P:Intervensi dilanjutkan
Menjaga kulit tetap bersih dan kering
Memonitor aktivitas dan mobilisasi pasien
Memonitor luka
Mengganti balutan pada interval waktu yang sesuai
Menganjurkan untuk menjaga balutan agar tetap kering
27des Kerusakan S: klien mengatakan akan selalu merawat lukanya deng
integritas baik, mengatakan lukanya masih terasa nyeri
2019 jaringan
O:Dilakukan perawatan luka: surgical debridement dan
dressing luka kaki diabetik menggunakan
madu+mteronidazole
Terdapat luka
Lokasi luka di kaki kiri
Ukuran luka: 15 x 9 cm
Jenis luka : DFU
Sekitar luka Slough 100%, dan inflamasi
Klien dan keluarga menyimak saat diberikan informasi
Luka diperban
P:Intervensi dilanjutkan
Menjaga kulit tetap bersih dan kering
Memonitor aktivitas dan mobilisasi pasien
Memonitor luka
Mengganti balutan pada interval waktu yang sesuai
P:Intervensi selesai
8. PEMBAHASAN
Kesembuhan luka tergantung dari metode yang cocok dipakai salah satunya
menjaga keseimbangan kelembaban (Purnama, 2016). Keseimbangan kelembaban
pada permukaan balutan luka adalah faktor kunci dalam mengoptimalkan perbaikan
jaringan; mengeliminasi eksudat dari luka yang berlebihan yang merupakan bagian
penting untuk permukaan luka. Untuk itu dikembangkan suatu metode perawatan luka
dengan cara mempertahankan isolasi lingkungan luka agar tetap lembab dengan
menggunakan balutan penahan kelembaban, yang dikenal dengan Moist Wound
Healing. Metode ini secara klinis memiliki keuntungan akan meningkatkan proliferasi
dan migrasi dari sel-sel epitel disekitar lapisan air yang tipis, mengurangi resiko
timbulnya jaringan parut dan lain-lain, disamping beberapa keunggulan metode ini
dibandingkan dengan kondisi luka yang kering adalah meningkatkan epitelisasi 30-
50%, meningkatkan sintesa kolagen sebanyak 50 %, rata-rata re-epitelisasi dengan
kelembaban 2-5 kali lebih cepat serta dapat mengurangi kehilangan cairan dari atas
permukaan luka. Salah satu cara mempertahankan kelembaban adalah dengan
menggunakan madu (Tarigan Rosina, 2007)
Madu merupakan cairan kental, dengan kandungan gula jenuh, berasal dari
nektar bunga yang dikumpulkan dan dimodifikasi oleh lebah madu Apis mellifera.1
Secara umum, madu memiliki kandungan utama ± 30% glukosa, 40% fruktosa, 5%
sukrosa, dan 20% air; selain itu, terkandung pula sejumlah senyawa asam amino,
vitamin, mineral, dan enzim (Jull, 2013).
Madu memiliki beberapa karakteristik penting dalam proses penyembuhan luka
seperti aktivitas antiinflamasi, aktivitas antibakterial, aktivitas antioksidan,
kemampuan menstimulasi proses pengangkatan jaringan mati/ debridement,
mengurangi bau pada luka, serta mempertahankan kelembapan luka yang pada
akhirnya dapat membantu mempercepat penyembuhan luka (Ayu, 2016)
Saat ini aktivitas antiinflamasi madu telah terbukti secara luas baik melalui
aspek klinis, biokimiawi, maupun histologis.8 Secara klinis, aplikasi madu pada luka
terbukti dapat mengurangi edema dan pembentukan eksudat, meminimalisasi
pembentukan jaringan parut, dan mengurangi sensasi nyeri pada luka bakar atau jenis
luka lainnya. Dalam uji coba klinis membandingkan penggunaan silver sulvadiazine
dan madu pada luka bakar, diperoleh temuan biokimiawi bahwa madu mampu
menurunkan kadar malondialdehid dan lipid peroxide serta secara histologis dijumpai
penurunan jumlah sel radang pada jaringan (Gunawan, 2017).
Aktivitas antibakterial dari aktivitas senyawa fitokimia yang terkandung dalam
madu manuka dinilai lebih superior dibandingkan aktivitas antibakterial umum yang
diperantarai oleh hidrogen peroksida.8 Hidrogen peroksida pada dasarnya merupakan
agen antibakterial yang dibentuk oleh glukosa oksidase –enzim yang ditambahkan oleh
lebah ke dalam nektar yang disimpan dalam sarang lebah. Glukosa oksidase tersebut
akan tetap inaktif bila madu hanya mengandung sedikit air; oleh sebab itu, untuk
mengaktifkannya diperlukan proses dilusi misalnya oleh eksudat luka. Melalui
pemeriksaan di laboratorium telah dibuktikan bahwa madu yang telah diencerkan
hingga konsentrasi 25% tetap memiliki potensi antibakterial yang setara dengan larutan
phenol 8% (Daunton, 2012).
Potensi antioksidan madu diduga berkaitan erat dengan potensi
antiinflamasinya. Radikal bebas yang dibentuk dari oksigen, atau dikenal dengan istilah
reactive oxygen species (ROS), diproduksi pada rantai respirasi mitokondria dan oleh
leukosit saat terjadi inflamasi. ROS berperan sebagai pembawa pesan (messenger) yang
menghantarkan umpan balik positif saat timbul inflamasi dan proses ini dapat dihambat
oleh antioksidan (Molan,2011).
Manfaat madu dalam pengangkatan jaringan mati atau debridemen tidak lepas
dari potensi antiinflamasinya. Pada luka kronis, sering dijumpai adanya slough (lapisan
pada permukaan dasar luka yang merupakan akumulasi jaringan nekrotik, sel darah
putih mati, bakteri mati, dan jaringan ikat) yang dapat menghambat proses
penyembuhan luka dan meningkatkan risiko kolonisasi bakteri. Perlekatan slough pada
permukaan dasar luka yang sehat tersebut diperantarai oleh fibrin yang akan terurai
apabila terdapat cukup plasmin pada area luka tersebut (Jones, 2016).
Secara umum, madu bersifat asam dan memiliki kisaran pH 3,2 – 4,5. Kondisi
luka yang asam akan meningkatkan pelepasan oksigen dari hemoglobin, sehingga dapat
mendukung proses penyembuhan luka.8 Selain itu, pada rentang pH tersebut, aktivitas
protease dalam menghancurkan matriks kolagen yang diperlukan bagi perbaikan
jaringan pun akan dihambat. Osmolaritas madu yang tinggi akibat tingginya kandungan
gula akan menimbulkan efek osmotik, sehingga akan menarik cairan dari permukaan
luka; jika sirkulasi darah jaringan di bawah luka baik, efek osmotik gula justru akan
memperlancar aliran keluar cairan limfe (Molan, 2011)
A. Kesimpulan
Penanganan luka tergantung dari pengkajian luka, bagaimana menentukan keadaan
luka, melakukan debridemen jika terdapat jaringan mati, memberikan dressing yang
sesuai dan pastikan kebersihan kondisi luka yaitu dengan cara tindakan prinsip steril.
Dan salah satu penanganan untuk luka akut adalah menggunakan madu karena madu
menggandung anti inflamasi, aktivitas antibakterial, aktivitas antioksidan, kemampuan
menstimulasi proses pengangkatan jaringan mati/ debridement, mengurangi bau pada
luka, serta mempertahankan kelembapan luka yang pada akhirnya dapat membantu
mempercepat penyembuhan luka.
DAFTAR PUSTAKA
Ayu Diah K, Sundoro A, Sudjatmiko G. 2016. Antibacterial activity of Indonesian local honey
against strains of P. Aeruginosa, S. Aureus and MRSA. J Plast Rekonstruksi
Daunton C, Kothari S, Smith L, Steele D. 2012. A history of materials and practices for wound
management. Wound Pract Res Aust J Wound Manag [Internet].
Gunawan N.A. 2017. Madu: Efektivitasnya untuk Perawatan Luka. CDK-249/ vol. 44 no. 2
Jones VE. 2016. Essential microbiology for wound care. United Kingdom: Oxford University
Press
Jull AB,Walker N, Deshpande S. 2013. Honey as a topical treatment for wounds. Cochrane
Database Syst Rev.
Molan PC. 2011. The evidence and the rationale for the use of honey as a wound dressing.
Wound Pract Res .
Purnama Handi, Sriwidodo, Ratnawulan Soraya. 2016. Review Sistematik: Proses
Penyembuhan Dan Perawatan Luka. Farmaka. Volume 15 Nomor 2
Tarigan Rosina, Pemila Uke, 2007. Perawatan Luka; Moist Wound Healing. Program Magister
Ilmu Keperawatan. Universitas Indonesia