Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Sekolah / madrasah / pesantren merupakan lembaga pendidikan yang


keberadaannya sangat menentukan para guru untuk benar-benar dapat menanamkan
nilai-nilai pendidikan (values of education) kepada peserta didik. Dalam lingkungan
yang sangat terbatas ini, para guru diharapkan bisa mengoptimalkan perannya sebagai
tenaga profesional yang benar-benar mampu mempotensikan kemampuan yang masih
terpendam dari para peserta didik. Selain diharapkan dapat mempotensikan
kemampuan yang terpendam dari peserta didik, para guru juga diharapkan dapat
membangun keseimbangan emosi, spiritual, intelektual, dan sikap kepribadian yang
baik dari para peserta didik. Dalam konteks ini, para guru dapat mempotensikan para
peserta didik sesuai dengan spesifikasi bidang studi yang diampunya.
Sehubungan dengan kebutuhan mendesak pola pembinaan yang harus
dipersiapkan lembaga pendidikan untuk membentuk pribadi-pribadi dari peserta didik
yang seimbang, maka bimbingan dan konseling menjadi kebutuhan yang sangat
mendesak untuk dapat direalisasikan. Peranan bimbingan dan konseling ini diharapkan
menjadi penyempurna terjadinya kekurangan yang belum bisa dilakukan secara
langsung oleh para guru pengampu bidang studi. Misalnya, hal-hal yang terkait dengan
pembinaan moral, membentuk keseimbangan emosi. Jika pola bimbingan dan
konseling ini dikaitkan dengan nilai keislaman, maka akan ditemukan nilai keutamaan
dalam Islam yang dapat membantu menanamkan sikap kepribadian siswa dan
kesadaran spiritualitas berjalan secara seimbang dengan cita-cita dan harapannya.
Dikaitkan dengan tulisan ini, tidak ada bedanya posisi antara bimbingan dan
konseling secara konvensional yang selama ini sudah diterapkan di sekolah-sekolah
dengan bimbingan dan konseling Islam. Yang membedakan adalah pendekatannya
dimana dalam BKI lebih ditekankan pada penanaman nilai-nilai Islam yang mengarah
pada pembinaan akhlak yang baik (akhlakul karimah). Terkait dengan peran individu
sebagai seorang siswa atau peserta didik, maka bimbingan dan konseling Islam ini
diorientasikan pada pembinaan akhlakul karimah dan pemberian bantuan pada peserta
didik dalam menyelesaikan problem pendidikannya dengan pendekatan Islam.

1
Dari latar belakang yang disampaikan di atas, tulisan ini akan mengajak pembaca
untuk melihat dan memahami bagaimana program layanan bimbingan dan konseling
Islam yang diterapkan di sekolah / madrasah / pesantren? Bagaimana peranannya dalam
pembinaan moral peserta didik?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Program Bimbingan dan Konseling


Program pelayanan Bimbingan dan Konseling di sekolah disusun berdasarkan
kebutuhan peserta didik (need assessment) yang diperoleh melalui aplikasi
instrumentasi, dengan substansi program pelayanan mencakup: (1) empat bidang, (2)
jenis layanan dan kegiatan pendukung, (3) format kegiatan, sasaran pelayanan (4) , dan
(5) volume/beban tugas konselor.
Program pelayanan Bimbingan dan Konseling pada masing-masing satuan
sekolah/madrasah dikelola dengan memperhatikan keseimbangan dan kesinambungan
program antarkelas dan antarjenjang kelas, dan mensinkronisasikan program pelayanan
Bimbingan dan Konseling dengan kegiatan pembelajaran mata pelajaran dan kegiatan
ekstra kurikuler, serta mengefektifkan dan mengefisienkan penggunaan fasilitas
sekolah/ madrasah.
Dilihat dari jenisnya, program Bimbingan dan Konseling terdiri 5 (lima) jenis
program, yaitu:
1. Program Tahunan, yaitu program pelayanan Bimbingan dan Konseling meliputi
seluruh kegiatan selama satu tahun untuk masing-masing kelas di
sekolah/madrasah.
2. Program Semesteran, yaitu program pelayanan Bimbingan dan Konseling
meliputi seluruh kegiatan selama satu semester yang merupakan jabaran program
tahunan.
3. Program Bulanan, yaitu program pelayanan Bimbingan dan Konseling meliputi
seluruh kegiatan selama satu bulan yang merupakan jabaran program semesteran.
4. Program Mingguan, yaitu program pelayanan Bimbingan dan Konseling meliputi
seluruh kegiatan selama satu minggu yang merupakan jabaran program bulanan.
5. Program Harian,yaitu program pelayanan Bimbingan dan Konseling yang
dilaksanakan pada hari-hari tertentu dalam satu minggu. Program harian
merupakan jabaran dari program mingguan dalam bentuk satuan layanan
(SATLAN) dan atau satuan kegiatan pendukung (SATKUNG) >Bimbingan dan
Konseling.

3
Secara keseluruhan manajemen Bimbingan dan Konseling mencakup tiga
kegiatan utama, yaitu :
1. Perencanaan
Perencanaan kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling mengacu pada
program tahunan yang telah dijabarkan ke dalam program semesteran, bulanan serta
mingguan. Perencanaan kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling harian yang
merupakan penjabaran dari program mingguan disusun dalam bentuk SATLAN dan
SATKUNG yang masing-masing memuat: (a) sasaran layanan/kegiatan pendukung; (b)
substansi layanan/kegiatan pendukung; (c) jenis layanan/kegiatan pendukung, serta alat
bantu yang digunakan;(d pelaksana layanan/kegiatan pendukung dan pihak-pihak yang
terlibat; dan (e) waktu dan tempat.
Rencana kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling mingguan meliputi
kegiatan di dalam kelas dan di luar kelas untuk masing-masing kelas peserta didik yang
menjadi tanggung jawab konselor. Satu kali kegiatan layanan atau kegiatan pendukung
Bimbingan dan Konseling berbobot ekuivalen 2 (dua) jam pembelajaran. Volume
keseluruhan kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling dalam satu minggu minimal
ekuivalen dengan beban tugas wajib konselor di sekolah/ madrasah.

2. Pelaksanaan Kegiatan
Bersama pendidik dan personil sekolah/madrasah lainnya, konselor berpartisipasi
secara aktif dalam kegiatan pengembangan diri yang bersifat rutin, insidental dan
keteladanan. Program pelayanan Bimbingan dan Konseling yang direncanakan dalam
bentuk SATLAN dan SATKUNG dilaksanakan sesuai dengan sasaran, substansi, jenis
kegiatan, waktu, tempat, dan pihak-pihak yang terkait.
Pelaksanaan Kegiatan Pelayanan Bimbingan dan Konseling dapat dilakukan di
dalam dan di luar jam pelajaran, yang diatur oleh konselor dengan persetujuan pimpinan
sekolah/madrasah.
Pelaksanaan kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling di dalam jam
pembelajaran sekolah/madrasah dapat berbentuk: (1) kegiatan tatap muka secara
klasikal; dan (2) kegiatan non tatap muka. Kegiatan tatap muka secara klasikal dengan
peserta didik untuk menyelenggarakan layanan informasi, penempatan dan penyaluran,

4
penguasaan konten, kegiatan instrumentasi, serta layanan/kegiatan lain yang dapat
dilakukan di dalam kelas. Volume kegiatan tatap muka klasikal adalah 2 (dua) jam per
kelas per minggu dan dilaksanakan secara terjadwal. Sedangkan kegiatan non tatap
muka dengan peserta didik untuk menyelenggarakan layanan konsultasi, kegiatan
konferensi kasus, himpunan data, kunjungan rumah, pemanfaatan kepustakaan, dan alih
tangan kasus.
Kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling di luar jam pembelajaran
sekolah/madrasah dapat berbentuk kegiatan tatap muka maupun non tatap muka dengan
peserta didik, untuk menyelenggarakan layanan orientasi, konseling perorangan,
bimbingan kelompok, konseling kelompok, dan mediasi, serta kegiatan lainnya yang
dapat dilaksanakan di luar kelas. Satu kali kegiatan layanan/pendukung Bimbingan dan
Konseling di luar kelas/di luar jam pembelajaran ekuivalen dengan 2 (dua) jam
pembelajaran tatap muka dalam kelas. Kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling di
luar jam pembelajaran sekolah/madrasah maksimum 50% dari seluruh kegiatan
pelayanan Bimbingan dan Konseling, diketahui dan dilaporkan kepada pimpinan
sekolah/madrasah. Setiap kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling dicatat dalam
laporan pelaksanaan program (LAPELPROG)

3. Penilaian Kegiatan
Penilaian kegiatan bimbingan dan konseling terdiri dua jenis yaitu: (1) penilaian
hasil; dan (2) penilaian proses. Penilaian hasil kegiatan pelayanan Bimbingan dan
Konseling dilakukan melalui:
a. Penilaian segera (LAISEG), yaitu penilaian pada akhir setiap jenis layanan dan
kegiatan pendukung Bimbingan dan Konseling untuk mengetahui perolehan
peserta didik yang dilayani.
b. Penilaian jangka pendek (LAIJAPEN), yaitu penilaian dalam waktu tertentu
(satu minggu sampai dengan satu bulan) setelah satu jenis layanan dan atau
kegiatan pendukung Bimbingan dan Konseling diselenggarakan untuk
mengetahui dampak layanan/kegiatan terhadap peserta didik.
c. Penilaian jangka panjang (LAIJAPANG), yaitu penilaian dalam waktu tertentu
(satu bulan sampai dengan satu semester) setelah satu atau beberapa layanan
dan kegiatan pendukung Bimbingan dan Konseling diselenggarakan untuk

5
mengetahui lebih jauh dampak layanan dan atau kegiatan pendukung
Bimbingan dan Konseling terhadap peserta didik.
d. Sedangkan penilaian proses dilakukan melalui analisis terhadap keterlibatan
unsur-unsur sebagaimana tercantum di dalam SATLAN dan SATKUNG, untuk
mengetahui efektifitas dan efesiensi pelaksanaan kegiatan.
e. Hasil penilaian kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling dicantumkan
dalam LAPELPROG Hasil kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling
secara keseluruhan dalam satu semester untuk setiap peserta didik dilaporkan
secara kualitatif.

B. Implementasi Program Layanan Bimbingan dan Konseling Islam di Sekolah /


Madrasah / Pesantren.
1. Bimbingan dan Konseling di Pesantren.
Secara bahasa Konseling Pesantren berasal dari dua kata atau term. Konseling
secara bahasa berasal dari kata serapan bahasa inggris yaitu counseling. Asal kata
counseling adalah to counsel yang berarti memberikan nasehat atau memberi anjuran
kepada orang lain secara face to face. Kata ini berbeda dengan membimbing atau
memberi nasihat. Karena posisi konselor bersifat membantu, maka konsekuensinya
individu sendiri harus aktif belajar memahami dan sekaligus melaksanakan tuntunan
islam.1 Sebelum counseling diserap menjadi Konseling, counseling diartikan sebagai
penyuluhan. Namun sejak tahun 1980, penyuluhan berangsur-angsur berubah menjadi
konseling sebagaimana ada di literature- literatur yang beredar. Hal itu dikarenakan
bahasa penyuluhan juga sering dipakai oleh bidang keilmuan yang lain seperti
penyuluhan hokum, keluarga, pertanian, dan lainnya.2 Secara bahasa memang konseling
berasal dari bahasa inggris, namun jika dalam perspektif islam, sebenarnya konseling itu
sudah tercantum di dalam al-Qur’an dan disampaikan oleh Rasulullah Saw berbentuk
ajaran agar manusia memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat
(ketentraman jiwa, ketenangan hidup, dan kembalinya jiwa kepada yang Kuasa dengan
keadaan suci).3

1
Prayitno, Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling, (Jakarta: PT Rineka Cipta,
2004), h. 105.
2
Shahudi Siradj, Pengantar Bimbingan dan Konseling, (Surabaya : PT Revka Petra
Media, 2012), h. 17
3
Erhamwida, Konseling Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), h. 94

6
Secara istilah konseling adalah proses bantuan yang diberikan kepada klien dalam
bentuk hubungan terapeutik antara konselor dan klien agar klien dapat meningkatkan
kepercayaan diri, penyesuaian diri, atau berperilaku baru sehingga klien memperoleh
kebahagiaan.4 Namun dalam perspektif islam, membantu di dalam istilah konseling
adalah membantu karena pada hakikatnya individu sendirilah yang perlu hidup sesuai
dengan tuntunan Allah (jalan yang lurus) agar mereka selamat.5
Sedangkan pesantren menurut kamus bahasa Indonesaia berarti tempat santri atau
murid-murid belajar mengaji. Santri berasal dari kata sant, yang artinya adalah orang
yang baik dan disambung dengan tra yang berarti menolong. Sedangkat pesantren
adalah tempat untuk membina manusia menjadi orang baik. Sedang menurut bahasa
Tamil, pesantren memiliki arti guru mengaji. Serta di dalam bahasa India, pesantren
berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama, dan buku-buku
pengetahuan.6 Sedang secara istilah, pesantren yiatu berawalkan “pe-” dan akhiran “-
an”, yang berarti tempat tinggal para santri untuk menimba ilmu-ilmu agama dan ilmu
lainnya. Pesantren juga didefinisikan sebagai masyarakat mini yang terdiri dari santri,
guru, dan kyai (pengasuh).7 Pesantren juga memiliki struktur dan system seperti halnya
Negara. Struktur itu terdiri dari Kyai sebagai pimpinan teratas lalu jajarannya berupa
pengurus yang membantu Kyai menertibkan, mendisiplinkan, dan tangan kanan Kyai
untuk menyalurkan nasihat dan lainnya.
Maka dapat diambil pengertian Konseling Pesantren dengan menggabungkan
kedua term terebut, yaitu Konseling Pesantren adalah pelayanan atau bantuan oleh
seorang konselor (Kyai, Pembimbing, guru/ustadz) yang diberikan kepada santri (klien)
agar dapat menemukan ketenangan, kedamaian, kesejahteraan yang bukan bersifat
matrealistis melainkan lebih kepada rohaniah atau psikis agar santri dapat bahagia di
dunia dengan kedamaian itu serta dapat bahagia di akhirat dengan mengikuti pentujuk
jalan yang lurus (al- Qur’an) melalui nasihat Kyai. Konseling Pesantren, dapat diartikan
sebagai sistematika pembelajaran di Pesantren jika melihat dari teori behavioristic. Di
dalam proses pembelajaran keseharian santri, santri diharuskan bahkan diwajibkan

4
Zalfan Saam, Psikologi Konseling, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 3
5
Anwar Sutoyo, Bimbingan dan Konseling Islami, (Jogyakarta : Pustaka Pelajar Anggota
IKAPI, 2013), h. 22
6
Ali Anwar, Pembaruan Pendidikan di Pesantren Lirboyo, (Kediri: IAIT Perss, 2008), h. 24
7
Ferry Efendi, Makhfudli, Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori dan Praktik dalam
Keperawatan, ( Jakarta: Salemba, 2009), h. 313

7
untuk patuh terhadap semua tata tertib yang telah ditentukan oleh Kyati. Mau tidak mau
santri harus mengikuti aturan itu agar tidak mendapat hukuman berat ketika tidak
melaksanakannya. Namun karena aturan itu teruslah berlaku setiap harinya maka lambat
laun santri akan terbiasa dengan aturan itu.
Santri yang awalnya sama sekali tidak dapat bijaksana dalam hidup bersama-sama
(misal di dalam 1 kamar terdapat 20 santri), lambat laun akan terbiasa hidup dalam
kebersamaan karena pembiasaan tingkah laku yang terus berulang. Santri yang awalnya
jama’ah shalat fardlu lengkap 5 kali dalam satu hari dengan ogah-ogahan, kini beranjak
menjadi sebuah kebiasaan yang sulit untuk ditinggalkan santri. Tidak hanya
mengandung unsur behavioristic, bahkan konseling pesantren juga menggunakan teknik
psikoanalisa secara tidak langsung. Ketika santri sedang tidak tenang jiwanya, Kyai
memberi ijazah atau amalan doa yang dapat santri tersebut baca, seperti shalawat tibbil
qulub, dan lainnya. Doa tersebut akan membuat santri semakin tenang dan damai terkait
dengan situasi alam bawah sadarnya.
Mubarok menyebutkan bahwa ciri konseling Islam terletak pada penggunaan
getar iman (daya ruhaniyah) dalam mengatasi problem kejiwaan. 8 Dalam hal ini,
kajian kejiwaan manusia berada dalam lingkup ilmu akhlak dan tasawuf Islam. Namun
dalam mengkaji nilai-nilai pesantren, sebenarnya tidak cukup hanya akan merujuk
tingkah laku kesehariannya kepada ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam kitab-
kitab, fiqh, dan teladan kaum sufi. Ibarat manusia, badan merupakan fiqh sedangkan ruh
merupakan tasawuf. Jika merujuk lebih jauh, kalangan pesantren juga sangat kental
dengan tradisi lokal. Karena pesantren merupakan indigenous pendidikan indonesia. Hal
ini memperkuat posisi pesantren tidak pernah luput dari tradisi masyarakat setempat
yang menjadibasis sosialnya. Sehingga pesantren lebih menampakkan ciri khas “Islam
Jawa” atau “Islam Kultural” (Sutarto, 2005: 75; Mas’ud, 2004: 234).9 Dengan demikian,
sumber nilai-nilai pesantren merupakan hasil integrasi antara nilai- nilai keislaman
(yang termuat dalam kitab-kitab fiqh dan tasawuf) dengan budaya lokal.
Selama ini, konseling pesantren tidak banyak dikaji, namun konseling yang
memasukkan nuansa islam telah banyak diutarakan para tokoh di berbagai literature,
sebagai berikut:

8
9

8
1) Konseling Islami adalah Konseling Islam menurut H. Hamdani Bakar Adz-
Dzaki.
Konseling Islam adalah suatu aktifitas memberikan bimbingan, pelajaran dan
pedoman kepada individu yang meminta bimbingan (konseli) dalam hal bagaimana
seharusnya seorang konseli dapat mengembangkan potensi akal pikirannya,
kejiwaannya, keimanan dan keyakinan serta dapat menanggulangi problematika hidup
dan kehidupannya dengan baik dan benar secara mandiri yang berparadikma kepada Al-
Qur’an dan As-Sunnah. Ada landasan utama yang dijadikan ajaran Islam sebagai
sandaran utama Bimbingan dan Konseling Islam.
2) Konseling agama menurut Rosjidan.
Konseling agama adalah suatu proses pemberian bantuan kepada individu atau
kelompok masyarakat dengan tujuan memfungsikan seoptimal mungkin nilai- nilai
keagamaan dalam tatanan masyarakat sehingga dapat mandiri membuat keputusan
pemecahan masalah yang dihadapinya.

a. Peran dan Fungsi Konseling Pesantren


Pada umumnya, Konseling Pesantren mempunyai peran dan fungsi yang sesuai
dengan definisi dari konseling pesantren itu sendiri, yaitu memberikan pelayanan atau
bantuan yang dilakukan seorang konselor (Kyai, Pembimbing, guru/ustadz, konselor
yang bersertifikasi) yang diberikan kepada santri (klien) agar dapat menemukan
ketenangan, kedamaian, kesejahteraan yang bukan bersifat matrealistis melainkan lebih
kepada rohaniah atau psikis agar santri dapat bahagia di dunia dengan kedamaian itu
serta dapat bahagia di akhirat dengan mengikuti pentujuk jalan yang lurus (al-Qur’an)
melalui nasihat Kyai. Santri di dalam pesantren berasal dari berbagai wilayah atau
penjuru Indonesia sehingga memiliki sifat atau kebiasaan yang berbeda-beda dari setiap
daerah. Maka, keanekaragaman kepribadian masing-masing santri yang berasal dari
berbagai daerah itu, memungkinkan adanya penyebaran sifat yang buruk bahkan
masalah criminal seperti mencuri dan sebagainya. Maka fungsi dan peran konseling
pesantren ini akan muncul sebagaimana fungsi dan peran konseling pada umumnya,
yaitu kuratif dan preventif.10

10
Shahudi Siradj, Pengantar Bimbingan dan Konseling, (Surabaya : PT Revka Petra
Media, 2012), h. 58

9
Peran Konseling Pesantren terkait dengan pembentukan perilaku serta
pengkontrolan sifat adaptif yang akan diambil santri (klien) untuk menentukan
kepribadiannya atau jati dirinya. Peran konseling pesantren tidak hanya pada
pembentukan perilaku, akan tetapi juga pada pembinaan minat dan bakat santri agar
dapat bersaing dengan kemajuan ilmu pengetahuan umum agar dapat menjadi alumni
yang tidak hanya berpendidikan agama yang tinggi, namun juga ilmu pengetahuan
umum yang tidak kalah saing.
1) Peran Konseling Pesantren
Konseling Pesantren memiliki peran bagi perubahan kepribadian santri (konseli) secara
tingkah laku (behavioral) dan secara metode terapi alam bawah sadar (psikotherapi).
Maka dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan- pendekatan konseling,
sebagai berikut:
a) Metode Behavioral
Pada umumnya, metode ini dilakukan melalui aktivitas terapeutik khusus yang
dapat dikarakteristikan secara terstruktur, langsung berfokus pada masalah serta bersifat
menentukan. Pendekatan ini tidak membutuhkan insight pada motif, kesadaran akan
perasaan dan bahkan pemahaman akan rasionalisasi dari intervensi itu sendiri. Tujuan
konseling ini pada anak yakni mengubah atau menghapus perilkau dengan cara belajar
perilaku baru yang lebih dikehendaki. Dalam hal ini seorang konselor lebih berperan
lebih aktif dalamusaha mengubah perilaku konseli.11
Jika di Pesantren, pembinaan dengan pendekatan ini justru sangat mendominasi di
pesantren. Seperti adanya peraturan yang berisi kewajiban bagi santri, larangan untuk
santri, dan juga hukuman untuk santri yang melanggar. Berbagai kewajiban santri
misalnya adalah harus mengikuti seluruh kegiatan yanga ada di pesantren dengan penuh
kedisiplinan. Santri yang belum pernah hidup berkurang-kurangan (makan seadanya,
baju seadanya, dan serba seadanya) terpaksa menjalani kegiatan itu. Santri yang belum
pernah terbiasa berjamaah, akan terbiasa ketika sering mengikuti kegiatan wajib
berjamaah. Dan berbagai pembentukan serta perubahan tingkah laku yang muncul
karena adanya penekanan tingkah laku yang ditetapkan oleh pesantren.
b) Metode psikoterapeutik

11
Boy Soedarmadji, Hartono, Psikologi Konseling, (Jakarta: PRENADA MEDIA GROUP,
2012).,124

10
Salah satu model dari Psikoterapeutik adalah pendekatan psikoanalisa yang merupakan
sebuah model perkembangan kepribadian dan filsafat tentang sifat manusia. Hasil dari
ilmu psikoanalisa salah satunya adalah kehidupan mental individu menjadi bisa
dipahami, kemudian pemahaman terhadap sifat manusia bisa diterapkan pada peredaran
penderitaan manusia. Pendekatan ini juga digunakan oleh individu dalam mengatasi
suatu kecemasan dengan mengandaikan adanya mekanisme-mekanisme yang bekerja
untuk menghindari luapan kecemasan.12
Pendekatan ini dapat dilakukan pada konseling pesantren dan secara tidak langsung juga
telah dilakukan oleh Kyai di pesantren. Santri yang cemas akan diberikan terapi dengan
cara membaca shalawat, do’a-do’a, bahkan dengan cara diberikan air yang telah diberi
do’a. Sebetulnya, air yang diberi do’a itu bukanlah penyembuh yang sebenarnya. Kyai
itu hanya memberikan sugesti melalui air itu namun di sisi lain Kyai itu banyak berzikir
untuk kesembuhan santri yang cemas itu. Psikoterapi juga dilakukan dalam bentuk
shalat jamaah yang khusyuk, dzikir, shalat sunnah, puasa, membaca al- Qur’an, dan lain
sebagainya. Konselor formal sebetulnya dapat masuk pada wilayah Konselor non
formal (Kyai) ketika konselor formal memiliki visi dan misi yang sama yaitu
menegakkan ajaran agama Islam yang memang secara tertulis banyak dibahas di dalam
kitab suci al- Qur’an (way of life).
2) Fungsi Konseling Pesantren
Secara umum, konseling pesantren memiliki fungsi yang sama dengan konseling
pada umumnya yaitu memiliki fungsi preventif dan fungsi kuratif. Ketika santri berada
di pesantren, maka santri (konseli) akan diberikan berbagai kegiatan positif yang akan
mencegah santri (konseli) berbuat hal yang buruk. Selain itu, santri juga diberikan
berbagai kajian tentang akhlakul karimah, adab seorang santri terhadap ayah dan
ibunya, adab belajar, dan adab-adab lainnya sehingga dari berbagai penjelasan itulah
akan menjadikan santri terhindar dari sifat-sifat yang buruk. Penjelasan yang
disampaikan bisa berupa maughidoh khasanah, seminar, sorogan, kilatan, class ikal,
diniyah, dan lain sebagainya.
Adapun fungsi kuratif juga merupakan fungsi konseling pesantren. Ketika
terdapat santri yang cemas atau yang mengadaptif sifat yang buruk seperti mencuri dan

12
Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, (Bandung: Refika
Aditama, 1997), h. 13

11
lainnya, tentu akan diberikan penyembuhan dalam bentuk bimbingan yang akan
dilakukan Kyai atau pengurus (non formal) ataupun Konselor yang bersertifikas
(formal) jika di Pesantren itu telah memiliki konselor tersendiri selain Kyai.

b. Eksplorasi Problem-Problem Dalam Pesantren


Dalam kehidupan pesantren tidak lepas dari peraturan yang sudah ditetapkan oleh
Kyai (Pengasuh Pesantren). Santri yang berada di pesantren juga berasal dari berbagai
kalangan yang memiliki karakter yang berbeda-beda antara satu santri dengan santri
lainnya. Maka dari itu wajar jika di dalam Pesantren juga akan memunculkan
berbagai problem yang muncul karena berbagai karakter yang berbeda itu. Bisa
saja problem muncul karena adanya santri yang tidak dapat atau sulit beradaptasi
dengan oranglain, santri yang belum biasa dengan kegiatan- kegiatan yang disiplin di
pesantren, santri yang belum dapat menerima kehidupan pesantren yang sederhana,
santri yang tidak dapat menahan rasa ingin melanggar peraturan di pesantren,
konflik antar pengurus yang sering dialami oleh pengurus di bidang keamanan, dan
masalah-masalah lainnya.
Santri merupakan para pencari ilmu yang ada di Lembaga Pesantren, yang dapat
disebut juga sebagai kumpulan masyarakat mini karena di dalamnya terdapat berbagai
santri yang berasal dari berbagai daerah. Seperti halnya masyarakat pada umumnya,
bahwa di dalam kehidupan sosial juga tidak lepas dengan adanya masalah yang
menyangkut kepada satu orang yang bermasalah maupun kelompok. Hal itu dapat
menggambarkan masyarakat mini yang terdiri dari para santri, bahwa di dalam
kehidupan sosial para santri juga memiliki berbagai problem.
a) Tidak dapat Beradaptasi dengan teman dan lingkungan
Sama halnya dengan individu pada umumnya, bahwa individu (santri) adakalanya
tidak dapat beradaptasi dengan teman lainnya sehingga menimbulkan pertengkaran atau
permusuhan sesama teman. Santri yang rata-rata adalah terdiri dari remaja awal,
menjajaki masa remaja, serta remaja akhir ini dapat juga merupakan masa labil yang
perlu sangat diperhatikan. Ketidakmampuan beradaptasi ini dapat disebabkan oleh
faktor usia yang sedang dalam masa pubertas (pencarian jati diri) serta tingkah laku
mereka yang merupakan reaksi yang salah atau irrasional dari proses belajar, dalam
bentuk tidak mampu melakukan adaptasi dengan lingkungan sekitar pesantren. Santri

12
yang belum terbiasa menerima berbagai perbedaan yang ada pada dirinya maupun
teman sebayanya akan menimbulkan rasa sulit untuk bergaul.
b) Problem Remaja di Pesantren
Pada masa menjelang remaja, anak atau seseorang akan mengembangkan nilai-
nilai moral sebagai hasil dari pengalaman-pengalaman di lingkungan sekitarnya dan
dalam hubungannya dengan anak-anak lainnya. Maka, lingkungan pesantren dapat
mempengaruhi pribadi santri. Nilai-nilai yang didapat dari lingkungannya, sebagian
akan menetap dan mempengaruhi tingkah-tingkah lakunya, dan sebagian yang lain akan
mengalami perubahan akibat pengaruh lingkungan dan nilai-nilai moral yang berlaku
dalam lingkungan tersebut (apabila lingkungan tersebut telah tidak lagi baik). Dengan
demikian, maka dapat dikatakan bahwa orang tua (yang berada dalam lingkungan
Pesantren yaitu Kyai) mempunyai peran yang penting dalam perkembangan moral
santri, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung yaitu bagaimana
cara dan cara Kyai mendidik, mendisiplinkan, dan menanamkan nilai-nilai moral
kepada santri-santrinya. Sedangkan secara tidak langsung, yaitu bagaimana tatacara dan
orangtua (baca:Kyai) itu sendiri dalam mengkondisikan lingkungan pesantren yang
benar-benar berpotensi merubah kepribadian buruk santri atau kegiatan positif yang
oleh santri akan diikuti dalam proses belajarnya. Disini terdapat harapan bahwa nilai-
nilai yang baik dan telah tertanam dalam lingkungan pesantern kelak akan terbawa
sampai pada lingkungan dimanapun santri berada. Maka sesuai dengan keadaan remaja
di atas, bahwa santri (yang rata-rata berusia remaja) ini sedang dalam masa
pembentukan jati diri. Maka, di dalam prosesnya ada yang cepat menyesuaikan dengan
kegiatan positif yang ada di pesantren namun ada pula yang lambat menyesuaikan
dengan kegiatan maupun peraturan yang ada di pesantren. Santri yang remaja memiliki
watak yang berbeda-beda. Maka ada pula santri yang berani melanggar peraturan
demi mengikuti keinginannya (yang kritis atau rasa ingin tahu/ rasa ingin mencoba/
eksploratif). Maka melanggar peraturan adalah salah-satu tindakan dari santri ini.
Diantaranya dapat berupa berani membawa handphone yang biasanya dilarang untuk
dibawa di pesantren. Handphone yang merupakan alat telekomunikasi ini tidak sedikit
digunakan santri secara diam-diam hanya untuk menghubungi teman-teman sejenis
maupun lawan jenis.

13
Problem santri yang selanjutnya adalah datang dari kalangan kelompok.
Biasanya pengurus akan dimusuhi oleh santri-santri yang bertanda kutip memiliki
sifat eksploratif itu. Santri-santri pelanggar, terkadang tidak suka diatur pengurus.
Di berbagai pesantren memang berbeda-beda cara kerja/ struktur/ bahkan peraturannya.
Namun yang sangat membahayakan adalah apabila pengurus yang menjadi kaki tangan
Kyai itu berasal dari kalangan santri yang sama-sama berusia remaja. Mereka (para
pengurus yang masih remaja) juga sedang menjajaki masa pencarian jati diri yang
terkadang mengikuti peraturan dan terkadang juga melanggar peraturan. Kepribadian
pengurus juga mempengaruhi kepribadian santri-santri lainnya dan apabila
pengurus itu tidak memiliki akhlakul karimah yang dapat menjadi contoh, maka
akan menimbulkan konflik antara santri dan pengurus itu. Maka seharusnya
pengurus adalah orang- orang dewasa yang sudah pantas untuk membina para
santri.

2. Bimbingan dan Konseling di Sekolah.


Dalam kurikulum 2004, secara tegas dikemukakan bahwa : “Sekolah
berkewajiban memberikan bimbingan dan konseling kepada siswa yang menyangkut
tentang pribadi, sosial, belajar, dan karier”. Dengan adanya kata “kewajiban”, maka
setiap sekolah mutlak harus menyelenggarakan bimbingan dan konseling. Keberhasilan
penyelenggaraan bimbingan dan konseling di sekolah, tidak lepas dari peranan berbagai
pihak di sekolah. Selain Guru Pembimbing atau Konselor sebagai pelaksana utama,
penyelenggaraan Bimbingan dan konseling di sekolah, juga perlu melibatkan kepala
sekolah , guru mata pelajaran dan wali kelas.

Kepala sekolah selaku penanggung jawab seluruh penyelenggaraan pendidikan di


sekolah memegang peranan strategis dalam mengembangkan layanan bimbingan dan
konseling di sekolah. Secara garis besarnya, peran, tugas dan tanggung jawab kepala
sekolah, sebagai berikut :

1) Mengkoordinir segenap kegiatan yang diprogramkan dan berlangsung di


sekolah, sehingga pelayanan pengajaran, latihan, dan bimbingan dan konseling
merupakan suatu kesatuan yang terpadu, harmonis, dan dinamis.
2) Menyediakan prasarana, tenaga, dan berbagai kemudahan bagi terlaksananya
pelayanan bimbingan dan konseling yang efektif dan efisien.
3) Melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap perencanaan dan pelaksanaan
program, penilaian dan upaya tidak lanjut pelayanan bimbingan dan konseling.
4) Mempertanggungjawabkan pelaksanaan pelayanan bimbingan dan konseling
Di sekolah kepada Dinas Pendidikan yang menjadi atasannya.

14
5) Menyediakan fasilitas, kesempatan, dan dukungan dalam kegiatan
kepengawasan yang dilakukan oleh Pengawas Sekolah Bidang BK.

Sedangkan, peran, tugas dan tanggung jawab guru-guru mata pelajaran dalam
bimbingan dan konseling adalah :

1) Membantu memasyarakatkan pelayanan bimbingan dan konseling kepada


siswa
2) Membantu Guru Pembimbing mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan
layanan bimbingan dan konseling, serta pengumpulan data tentang siswa-siswa
tersebut.
3) Mengalihtangankan siswa yang memerlukan pelayanan bimbingan dan
konseling kepada Guru Pembimbing
4) Menerima siswa alih tangan dari Guru Pembimbing, yaitu siswa yang
menuntut Guru Pembimbing memerlukan pelayanan pengajar /latihan khusus
(seperti pengajaran/ latihan perbaikan, program pengayaan).
5) Membantu mengembangkan suasana kelas, hubungan guru-siswa dan
hubungan siswa-siswa yang menunjang pelaksanaan pelayanan pembimbingan
dan konseling.
6) Memberikan kesempatan dan kemudahan kepada siswa yang memerlukan
layanan/kegiatan bimbingan dan konseling untuk mengikuti /menjalani
layanan/kegiatan yang dimaksudkan itu.
7) Berpartisipasi dalam kegiatan khusus penanganan masalah siswa, seperti
konferensi kasus.
8) Membantu pengumpulan informasi yang diperlukan dalam rangka penilaian
pelayanan bimbingan dan konseling serta upaya tindak lanjutnya.

Sebagai pengelola kelas tertentu dalam pelayanan bimbingan dan konseling, Wali
Kelas berperan :

1) membantu Guru Pembimbing melaksanakan tugas-tugasnya, khususnya di


kelas yang menjadi tanggung jawabnya;
2) membantu Guru Mata Pelajaran melaksanakan peranannya dalam pelayanan
bimbingan dan konseling, khususnya dikelas yang menjadi tanggung
jawabnya;
3) membantu memberikan kesempatan dan kemudahan bagi siswa, khususnya
dikelas yang menjadi tanggung jawabnya, untuk mengikuti/menjalani layanan
dan/atau kegiatan bimbingan dan konseling;
4) berpartisipasi aktif dalam kegiatan khusus bimbingan dan konseling, seperti
konferensi kasus; dan
5) mengalihtangankan siswa yang memerlukan layanan bimbingan dan konseling
kepada Guru Pembimbing.

15
Berkenaan peran guru mata pelajaran dan wali kelas dalam bimbingan dan
konseling, Sofyan S. Willis (2005) mengemukakan bahwa guru-guru mata pelajaran
dalam melakukan pendekatan kepada siswa harus manusiawi-religius, bersahabat,
ramah, mendorong, konkret, jujur dan asli, memahami dan menghargai tanpa syarat.

a. Kegiatan Layanan dan Pendukung Bimbingan dan Konseling


Kegiatan layanan merupakan kegiatan dalam rangka memenuhi fungsi-fungsi
bimbingan dan konseling. Sedangkan kegiatan pendukung merupakan kegiatan untuk
menopang terhadap keberhasilan layanan yang diberikan.
Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional saat ini terdapat tujuh jenis
layanan dan lima kegiatan pendukung. Namun sangat mungkin ke depannya akan
semakin berkembang, baik dalam jenis layanan maupun kegiatan pendukung. Para ahli
bimbingan di Indonesia saat ini sudah mulai meluncurkan dua jenis layanan baru yaitu
layanan konsultasi dan layanan mediasi. Namun, kedua jenis layanan ini belum
dijadikan sebagai kebijakan formal dalam sistem pendidikan.
Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan diuraikan tujuh jenis layanan dan lima
kegiatan pendukung bimbingan dan konseling yang saat ini diterapkan dalam
pendidikan nasional.
1) Kegiatan Layanan Bimbingan dan Konseling
a) Layanan Orientasi; Layanan orientasi merupakan layanan yang memungkinan
peserta didik memahami lingkungan baru, terutama lingkungan sekolah dan
obyek-obyek yang dipelajari, untuk mempermudah dan memperlancar
berperannya peserta didik di lingkungan yang baru itu, sekurang-kurangnya
diberikan dua kali dalam satu tahun yaitu pada setiap awal semester. Tujuan
layanan orientasi adalah agar peserta didik dapat beradaptasi dan menyesuaikan
diri dengan lingkungan baru secara tepat dan memadai, yang berfungsi untuk
pencegahan dan pemahaman.
b) Layanan Informasi; merupakan layanan yang memungkinan peserta didik
menerima dan memahami berbagai informasi (seperti : informasi belajar,
pergaulan, karier, pendidikan lanjutan). Tujuan layanan informasi adalah
membantu peserta didik agar dapat mengambil keputusan secara tepat tentang
sesuatu, dalam bidang pribadi, sosial, belajar maupun karier berdasarkan
informasi yang diperolehnya yang memadai. Layanan informasi pun berfungsi
untuk pencegahan dan pemahaman.

16
c) Layanan Pembelajaran; merupakan layanan yang memungkinan peserta didik
mengembangkan sikap dan kebiasaan belajar yang baik dalam menguasai materi
belajar atau penguasaan kompetensi yang cocok dengan kecepatan dan
kemampuan dirinya serta berbagai aspek tujuan dan kegiatan belajar lainnya,
dengan tujuan agar peserta didik dapat mengembangkan sikap dan kebiasaan
belajar yang baik. Layanan pembelajaran berfungsi untuk pengembangan.
d) Layanan Penempatan dan Penyaluran; merupakan layanan yang memungkinan
peserta didik memperoleh penempatan dan penyaluran di dalam kelas, kelompok
belajar, jurusan/program studi, program latihan, magang, kegiatan ko/ekstra
kurikuler, dengan tujuan agar peserta didik dapat mengembangkan segenap
bakat, minat dan segenap potensi lainnya. Layanan Penempatan dan Penyaluran
berfungsi untuk pengembangan.
e) Layanan Konseling Perorangan; merupakan layanan yang memungkinan peserta
didik mendapatkan layanan langsung tatap muka (secara perorangan) untuk
mengentaskan permasalahan yang dihadapinya dan perkembangan dirinya.
Tujuan layanan konseling perorangan adalah agar peserta didik dapat
mengentaskan masalah yang dihadapinya. Layanan Konseling Perorangan
berfungsi untuk pengentasan dan advokasi.
f) Layanan Bimbingan Kelompok; merupakan layanan yang memungkinan
sejumlah peserta didik secara bersama-sama melalui dinamika kelompok
memperoleh bahan dan membahas pokok bahasan (topik) tertentu untuk
menunjang pemahaman dan pengembangan kemampuan sosial, serta untuk
pengambilan keputusan atau tindakan tertentu melalui dinamika kelompok,
dengan tujuan agar peserta didik dapat memperoleh bahan dan membahas pokok
bahasan (topik) tertentu untuk menunjang pemahaman dan pengembangan
kemampuan sosial, serta untuk pengambilan keputusan atau tindakan tertentu
melalui dinamika kelompok. Layanan Bimbingan Kelompok berfungsi untuk
pemahaman dan pengembangan
g) Layanan Konseling Kelompok; merupakan layanan yang memungkinan peserta
didik (masing-masing anggota kelompok) memperoleh kesempatan untuk
pembahasan dan pengentasan permasalahan pribadi melalui dinamika kelompok,
dengan tujuan agar peserta didik dapat memperoleh kesempatan untuk

17
pembahasan dan pengentasan permasalahan pribadi melalui dinamika kelompok.
Layanan Konseling Kelompok berfungsi untuk pengentasan dan advokasi.

2) Kegiatan Pendukung Bimbingan dan Konseling


Untuk menunjang kelancaran pemberian layanan-layanan seperti yang telah
dikemukakan di atas, kiranya perlu dilaksanakan berbagai kegiatan pendukung Dalam
hal ini, terdapat lima jenis kegiatan pendukung bimbingan dan konseling, yaitu :
a) Aplikasi Instrumentasi Data; merupakan kegiatan untuk mengumpulkan data dan
keterangan tentang peserta didik, tentang lingkungan peserta didik dan lingkungan
lainnya, yang dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai instrumen, baik tes
maupun non tes, dengan tujuan untuk memahami peserta didik dengan segala
karakteristiknya dan memahami karakteristik lingkungan.
b) Himpunan Data; merupakan kegiatan untuk menghimpun seluruh data dan
keterangan yang relevan dengan keperluan pengembangan peserta didik.
Himpunan data diselenggarakan secara berkelanjutan, sistematik, komprehensif,
terpadu dan sifatnya tertutup.
c) Konferensi Kasus; merupakan kegiatan untuk membahas permasalahan peserta
didik dalam suatu pertemuan yang dihadiri oleh pihak-pihak yang dapat
memberikan keterangan, kemudahan dan komitmen bagi terentaskannya
permasalahan klien. Pertemuan konferensi kasus bersifat terbatas dan tertutup.
Tujuan konferensi kasus adalah untuk memperoleh keterangan dan membangun
komitmen dari pihak yang terkait dan memiliki pengaruh kuat terhadap klien
dalam rangka pengentasan permasalahan klien.
d) Kunjungan Rumah; merupakan kegiatan untuk memperoleh data, keterangan,
kemudahan, dan komitmen bagi terentaskannya permasalahan peserta didik
melalui kunjungan rumah klien. Kerja sama dengan orang tua sangat diperlukan,
dengan tujuan untuk memperoleh keterangan dan membangun komitmen dari
pihak orang tua/keluarga untuk mengentaskan permasalahan klien.
e) Alih Tangan Kasus; merupakan kegiatan untuk untuk memperoleh penanganan
yang lebih tepat dan tuntas atas permasalahan yang dialami klien dengan
memindahkan penanganan kasus ke pihak lain yang lebih kompeten, seperti
kepada guru mata pelajaran atau konselor, dokter serta ahli lainnya, dengan tujuan

18
agar peserta didik dapat memperoleh penanganan yang lebih tepat dan tuntas atas
permasalahan yang dihadapinya melalui pihak yang lebih kompeten.

19
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Bimbingan dan konseling Islam pendidikan yang diselenggarakan di sekolah /
madrasah / pesantren memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya pembinaan
moral siswa atau santri yang berdasarkan nilai-nilai Islam, mencakup nilai-nilai iman,
islam, dan ihsan. Pemberian BKI di lembaga pendidikan sebenarnya merupakan
lanjutan atau memperkuat pemberian bimbingan yang sudah ditanamkan orang tua atau
keluarga. Tidak dapat dipungkiri bahwa problem siswa di sekolah juga terkadang
merupakan salah satu akibat dari problem yang sebenarnya sudah dialaminya di tengah
keluarganya. Karena ketidakmampuan siswa, orang tua, atau keluarga, maka problem
itu akhirnya berpengaruh dan berlanjut pada problem di sekolah. Di sinilah tugas
seorang guru BKI di sekolah / madrasah / pesanren untuk memberikan bimbingan dan
konseling kepada peserta didik sehingga siswa ataupun santri dapat merubah sikap dan
perilakunya ke arah yang lebih baik dan tidak terganggu proses belajarnya.

20
Daftar Pustaka

Anwar, Ali. Pembaruan Pendidikan di Pesantren Lirboyo. Kediri: IAIT Perss,


2008.
Corey,Gerald. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: Refika
Aditama, 1997.
Efendi, Ferry dan Makhfudli. Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori dan
Praktik dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba, 2009.
Erhamwida. Konseling Islam. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009.
Prayitno, Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: PT Rineka Cipta,
Saam, Zalfan. Psikologi Konseling. Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
Siradj, Shahudi. Pengantar Bimbingan dan Konseling. Surabaya : PT Revka
Petra Media, 2012.
Soedarmadji, Boy dan Hartono. Psikologi Konseling. Jakarta: PRENADA
MEDIA GROUP, 2012.
Sutoyo, Anwar. Bimbingan dan Konseling Islami. Jogyakarta : Pustaka Pelajar
Anggota IKAPI, 2013.

21

Anda mungkin juga menyukai