Anda di halaman 1dari 29

Case Report Session

TETANUS

Oleh :

Sahyudi Darma Asepti 1840312278

Preseptor :
dr. Rusdi, Sp.A(K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah yang
berjudul “Tetanus”.
Makalah ini merupakan salah satu syarat mengikuti kepaniteraan klinik di
bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada dr. Rusdi, Sp. A(K) selaku pembimbing yang
telah memberikan masukan dan bimbingan dalam pembuatan makalah ini. Penulis
mengucapkan terima kasih juga kepada semua pihak yang telah membantu
menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik untuk
menyempurnakan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.

Padang, Desember 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tetanus merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh strain


toxigenic dari bakteri Clostridium Tetani. Penyakit ini dapat mempengaruhi setiap
kelompok usia, dan tetanus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
penting di dunia, terutama pada masyarakat miskin di negara berkembang, di
mana morbiditas dan mortalitas tetanus didominasi oleh maternal dan neonatal
tetanus (MNT).1

Perkiraan dari WHO menunjukkan bahwa pada tahun 2002, jumlah total
kematian yang disebabkan oleh tetanus di seluruh dunia adalah 213.000, di mana
tetanus neonatal diperkirakan mewakili sekitar 180.000 dan tetanus ibu mungkin
sebanyak 15.000-30.000. 1

Diperkirakan angka kejadian pertahunnya sekitar satu juta kasus dengan


tingkat mortalitas yang berkisar dari 6% hingga 60%.2 Selama 30 tahun terakhir,
hanya terdapat sembilan penelitian RCT (randomized controlled trials) mengenai
pencegahan dan tata laksana tetanus. Pada tahun 2000, hanya 18.833 kasus tetanus
yang dilaporkan ke World Health Organization.2

Di Indonesia kasus Tetanus masih tinggi, data tahun 2007 sebesar 12,5 per
1000 kelahiran hidup; sedangkan target Eliminasi Tetanus Neonatorum (ETN)
yang ingin dicapai adalah 1 per 1000 kelahiran hidup.4 Tetanus neonatorum
menyebabkan 50% kematian perinatal dan menyumbangkan 20% kematian bayi.
Angka kejadian 6-7/100 kelahiran hidup di perkotaan dan 11-23/100 kelahiran
hidup di pedesaan. Sedangkan angka kejadian tetanus pada anak di rumah sakit 7-
40 kasus/tahun, 50% terjadi pada kelompok 5-9 tahun, 30% kelompok 1-4 tahun,
18% kelompok > 10 tahun, dan sisanya pada bayi <12 bulan. Angka kematian
keseluruhan antara 6,7-30%.4
Tetanus memilki karakteristik peningkaan tonus otot dan spasme otot pada
individu yang tidak memiliki kekebalan tubuh terhadap tetanus. Terkadang infeksi
juga menyerang individu yang sudah memiliki immunitas tetapi gagal
mempertahankan daya imun tubuh yang adekuat, sehingga meskipun penyakit ini
dapat dicegah dengan imunisasi, akan tetapi insidensinya di masyarakat masih
cukup tinggi.5 Selain itu, penyakit ini masih belum dapat dimusnahkan meskipun
pencegahan dengan imunisasi sudah diterapkan secara luas di seluruh dunia. Oleh
karena itu, diperlukan dipahami kasus mengenai tetanus, serta penatalaksanaan
dan pencegahannya guna menurunkan angka kematian penderita tetanus, terutama
anak.6

1.2. Batasan Masalah


Case report ini membahas tentang definisi, epidemiologi, etiologi,
klasifikasi, patogenesis, manifestasi klinis, dasar diagnosis, tatalaksana,
komplikasi, dan prognosis tetanus serta membandingkan dengan kasus yang
ditemukan di RSUP Dr. M. Djamil Padang.

1.3. Tujuan Penulisan


Mengetahui definisi, epidemiologi, etiologi, klasifikasi, patogenesis,
manifestasi klinis, dasar diagnosis, tatalaksana, komplikasi, dan prognosis tetanus
serta membandingkannya dengan kasus yang ditemukan di RSUP Dr. M. Djamil
Padang.

1.4. Metode Penulisan


Laporan kasus ini diulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka
yang dirujuk dari berbagai literatur.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Tetanus


Tetanus adalah penyakit infeksi akut disebabkan eksotoksin yang dihasilkan
oleh Clostridium tetani, ditandai dengan peningkatan kekakuan umum dan
kejang- kejang otot rangka.7 Tetanus ditandai dengan kontraksi otot
berkepanjangan yang disebabkan oleh toksin yang di produksi oleh spore-forming
bakteri gram positif obligat anaerob, yang seringkali timbul melalui luka yang
terkontaminasi oleh bakteri ataupun akibat infeksi lain.8

2.2. Epidemiologi Tetanus


Sampai saat ini tetanus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat
signifikan di negara berkembang karena akses program imunisasi yang buruk,
juga penatalaksanaan tetanus modern membutuhkan fasilitas intensive care unit
(ICU) yang jarang tersedia di sebagian besar populasi penderita tetanus berat.1 Di
negara berkembang, mortalitas tetanus melebihi 50% dengan perkiraan jumlah
kematian 800.000-1.000.000 orang per tahun, sebagian besar pada neonatus.2,3
Kematian tetanus neonatus diperkirakan sebesar 248.000 kematian per tahun.1 Di
bagian Neurologi RS Hasan Sadikin Bandung, dilaporkan 156 kasus tetanus pada
tahun 1999-2000 dengan mortalitas 35,2%. Pada sebuah penelitian retrospektif
tahun 2003- Oktober 2004 di RS Sanglah didapatkan 54 kasus tetanus dengan
mortalitas 47%.7
Tetanus adalah penyakit yang dapat dicegah. Implementasi imunisasi
tetanus global telah menjadi target WHO sejak tahun 1974. Sayang imunitas
terhadap tetanus tidak berlangsung seumur hidup dan dibutuhkan injeksi booster
jika seseorang mengalami luka yang rentan terinfeksi tetanus. Akses program
imunisasi yang buruk dilaporkan menyebabkan tingginya prevalensi penyakit ini
di negara sedang berkembang.9
2.3. Etiologi Tetanus
Kuman tetanus yang dikenal sebagai Clostridium tetani; kuman gram positif
basilus berukuran panjang 2–5 um dan lebar 0,3–0,5 um, dan bersifat anaerob.
Clostridium Tetani dapat dibedakan dari tipe lain berdasarkan flagella
antigen.10.11Kuman tetanus ini membentuk spora yang berbentuk lonjong dengan
ujung yang bulat, khas seperti batang korek api (drum stick). Sifat spora ini tahan
dalam air mendidih selama 4 jam dan obat antiseptik tetapi mati dalam autoklaf
bila dipanaskan selama 15–20 menit pada suhu 121°C. Bila tidak kena cahaya,
maka spora dapat hidup di tanah berbulan–bulan bahkan sampai tahunan. Juga
dapat merupakan flora usus normal dari kuda, sapi, babi, domba, anjing, kucing,
tikus, ayam dan manusia. Spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif dalam
anaerob dan kemudian berkembang biak.6,12,13
Bentuk vegetatif tidak tahan terhadap panas dan beberapa antiseptik. Kuman
tetanus tumbuh subur pada suhu 17°C dalam media kaldu daging dan media agar
darah. Demikian pula dalam media bebas gula karena kuman tetanus tidak dapat
memfermentasikan glukosa.10,12 Kuman tetanus tidak invasif tetapi dapat
memproduksi 2 macam eksotoksin yaitu tetanospasmin dan tetanolisin.
Tetanospasmin merupakan protein dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut
dalam air, labil pada panas dan cahaya, rusak dengan enzim proteolitik, tetapi
stabil dalam bentuk murni dan kering. Tetanospasmin disebut juga neurotoksin
karena toksin ini melalui beberapa jalan dapat mencapai susunan saraf pusat dan
menimbulkan gejala berupa kekakuan (rigiditas), spasme otot dan kejang– kejang.
Tetanolisin menyebabkan lisis dari sel darah merah.14,15

2.4. Patofisiologi Tetanus


Tetanus disebabkan oleh eksotoksin Clostridium tetani, bakteri bersifat
obligat anaerob. Bakteri ini terdapat di mana-mana, mampu bertahan di berbagai
lingkungan ekstrim dalam periode lama karena sporanyasangat kuat. Clostridium
tetani telah diisolasi dari tanah, debu jalan, feses manusia dan binatang. Bakteri
tersebut biasanya memasuki tubuh setelah kontaminasi pada abrasi kulit, luka
tusuk minor, atau ujung potongan umbilikus pada neonatus; pada 20% kasus,
mungkin tidak ditemukan tempat masuknya. Bakteri juga dapat masuk melalui
ulkus kulit, abses, gangren, luka bakar, infeksi gigi, tindik telinga, injeksi atau
setelah pembedahan abdominal/pelvis, persalinan dan aborsi. Jika organisme ini
berada pada lingkungan anaerob yang sesuai untuk pertumbuhan sporanya, akan
berkembangbiak dan menghasilkan toksin tetanospasmin dan tetanolysin.
Tetanospasmin adalah neurotoksin poten yang bertanggungjawab terhadap
manifestasi klinis tetanus, sedangkan tetanolysin sedikit memiliki efek klinis.16, 17

Terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan penyebaran toksin ke


susunan saraf pusat: (1) Toksin diabsorpsi di neuromuscularjunction, kemudian
bermigrasi melalui jaringan perineural ke susunan saraf pusat, (2) Toksin melalui
pembuluh limfe dan darah ke susunan saraf pusat. Masih belum jelas mana yang
lebih penting, mungkin keduanya terlibat.7 Pada mekanisme pertama, toksin yang
berikatan pada neuromuscular junction lebih memilih menyebar melalui saraf
motorik, selanjutnya secara transinaptik ke saraf motorik dan otonom yang
berdekatan, kemudian ditransport secara retrograd menuju sistem saraf pusat.16,17
Tetanospasmin yang merupakan zincdependent endopeptidase memecah
vesicleassociated membrane protein II (VAMP II atau synaptobrevin) pada suatu
ikatan peptidetunggal. Molekul ini penting untuk pelepasan neurotransmiter di
sinaps, sehingga pemecahan ini mengganggu transmisi sinaps. Toksin awalnya
mempengaruhi jalur inhibisi, mencegah pelepasan glisin dan γ-amino butyric acid
(GABA). Pada saat interneuron menghambat motor neuron alpha juga terkena
pengaruhnya, terjadi kegagalan menghambat refleks motorik sehingga muncul
aktivitas saraf motorik tak terkendali, mengakibatkan peningkatan tonus dan
rigiditas otot berupa spasme otot yang tiba-tiba dan potensial merusak. Hal ini
merupakan karakteristik tetanus. Otot wajah terkena paling awal karena jalur
axonalnya pendek, sedangkan neuron-neuron simpatis terkena paling akhir,
mungkin akibat aksi toksin di batang otak. Pada tetanus berat, gagalnya
penghambatan aktivitas otonom menyebabkan hilangnya kontrol otonom,
aktivitas simpatis yang berlebihan dan peningkatan kadar katekolamin. Ikatan
neuronal toksin sifatnya irreversibel, pemulihan membutuhkan tumbuhnya
terminal saraf yang baru, sehingga memanjangkan durasi penyakit ini.16,17
2.5. Manifestasi Klinis Tetanus
Periode inkubasi tetanus antara 3-21 hari (rata-rata 7 hari). Pada 80-90%
penderita, gejala muncul 1-2 minggu setelah terinfeksi.3 Selang waktu sejak
munculnya gejala pertama sampai terjadinya spasme pertama disebut periode
onset. Periode onset maupun periode inkubasi secara signifikan menentukan
prognosis. Makin singkat (periode onset <48 jam dan periode inkubasi <7 hari)
menunjukkan makin berat penyakitnya.11

Tetanus memiliki gambaran klinis dengan ciri khas trias rigiditas otot,
spasme otot, dan ketidakstabilan otonom. Gejala awalnya meliputi kekakuan otot,
lebih dahulu pada kelompok otot dengan jalur neuronal pendek, karena itu yang
tampak pada lebih dari 90% kasus saat masuk rumah sakit adalah trismus, kaku
leher, dan nyeri punggung. Keterlibatan otot-otot wajah dan faringeal
menimbulkan ciri khas risus sardonicus, sakit tenggorokan, dan disfagia.
Peningkatan tonus otot- otot trunkal mengakibatkan opistotonus. Kelompok otot
yang berdekatan dengan tempat infeksi sering terlibat, menghasilkan penampakan
tidak simetris.9,11,18,19

Spasme otot muncul spontan, juga dapat diprovokasi oleh stimulus fisik,
visual, auditori, atau emosional. Spasme otot menimbulkan nyeri dan dapat
menyebabkan ruptur tendon, dislokasi sendi serta patah tulang. Spasme laring
dapat terjadi segera, mengakibatkan obstruksi saluran nafas atas akut dan
respiratory arrest. Pernapasan juga dapat terpengaruh akibat spasme yang
melibatkan otot-otot dada; selama spasme yang memanjang, dapat terjadi
hipoventilasi berat dan apnea yang mengancam nyawa.9,18

Tanpa fasilitas ventilasi mekanik, gagal nafas akibat spasme otot adalah
penyebab kematian paling sering. Hipoksia biasanya terjadi pada tetanus akibat
spasme atau kesulitan membersihkan sekresi bronkial yang berlebihan dan
aspirasi. Spasme otot paling berat terjadi selama minggu pertama dan kedua, dan
dapat berlangsung selama 3 sampai 4 minggu, setelah itu rigiditas masih terjadi
sampai beberapa minggu lagi.1 Tetanus berat berkaitan dengan hyperkinesia
sirkulasi, terutama bila spasme otot tidak terkontrol baik. Gangguan otonom
biasanya mulai beberapa hari setelah spasme dan berlangsung 1-2 minggu.
Meningkatnya tonus simpatis biasanya dominan menyebabkan periode
vasokonstriksi, takikardia dan hipertensi. Autonomic storm berkaitan dengan
peningkatan kadar katekolamin. Keadaan ini silih berganti dengan episode
hipotensi, bradikardia dan asistole yang tiba-tiba. Gambaran gangguan otonom
lain meliputi salivasi, berkeringat, meningkatnya sekresi bronkus, hiperpireksia,
stasis lambung dan ileus.9,16
Pada keadaan berat dapat timbul berbagai komplikasi. Intensitas spasme
paroksismal kadang cukup untuk mengakibatkan rupture otot spontan dan
hematoma intramuskular. Fraktur kompresi atau subluksasi vertebra dapat terjadi,
biasanya pada vertebrathorakalis.20 Gagal ginjal akut merupakan komplikasi
tetanus yang dapat dikenali akibat dehidrasi, rhabdomiolisis karena spasme, dan
gangguan otonom. Komplikasi lain meliputi atelektasis, penumonia aspirasi, ulkus
peptikum, retensi urine, infeksi traktus urinarius, ulkus dekubitus, thrombosis
vena, dan thromboemboli.16
Ada empat bentuk tetanus berdasarkan klinisnya, yaitu :21,22
1. Generalized tetanus (Tetanus umum)
Tetanus ini merupakan bentuk yang paling sering. Derajat luka bervariasi,
mulai dari luka yang tidak disadari hingga luka trauma yang terkontaminasi. Masa
inkubasi sekitar 7-21 hari, sebagian besar tergantung dari jarak luka dan SSP.
Penyakit ini umumnya mempunya pola yang desendens. Tanda pertama berupa
trismus/lock jaw diikuti dengan kekakuan pada leher, sulit menelan dan kaku pada
otot abdomen. Gejala utama berupa trismus yang terjadi sekitar 75% kasus, sering
kali ditemukan oleh dokter gigi dan dokter bedah mulut. Gambaran klinis lainnya
berupa iritabilitas, gelisah, hiperhidrosis, dan disfagia dengan hidrofobia,
hipersalivasi, dan spasme otot punggung. Spasme dapat terjadi berulang kali dan
berlangsung hingga beberapa menit. Spasme dapat berlangsung hingga 3-4
minggu. Pemulihan sempurna memerlukan waktu hingga beberapa bulan.

2. Localized tetanus (Tetanus lokal)


Tetanus lokal dapat terjadi pada ekstremitas dengan luka yang terkontaminasi
serta memiliki derajat yang bervariasi. Bentuk ini merupakan bentuk tetanus yang
tidak umum dan memiliki prognosis yang baik. Spasme dapat terjadi hingga
beberapa minggu sebelum akhirnya menghilang secara bertahap. Tetanus lokal
dapat mendahului tetanus umum tetapi dengan derajat yang lebih ringan. Hanya
1% kasus yang menyebabkan kematian.

3. Chepalic tetanus (Tetanus sefalik)


Tetanus sefalik umumnya terjadi setelah trauma kepala atau infeksi telinga
tengah. Gejalanya terdiri dari disfungsi saraf cranial motorik (seringkali pada saraf
fasialis). Gejala dapat berupa tetanus lokal hingga tetanus umum. Bentuk tetanus
ini memiliki masa inkubasi 1-2 hari. Prognosis ini biasanya buruk.

4. Tetanus neonatorum
Bentuk ini terjadi pada neonatus. Tetanus neonatorum banyak terjadi pada
negara-negara berkembang dan menyumbang kematian hingga setengah dari
neonatus. Penyebab yang sering adalah penggunaan alat-alat yang terkontaminasi
untuk memotong tali pusat pada ibu yang belum diimunisasi. Masa inkubasi
sekitar 3-10 hari. Neonatus biasanya gelisah, rewel, sulit minum ASI, mulut
mencucu, dan spasme berat. Angka mortalitas dapat melebihi 70%.

2.6. Diagnosis Tetanus


Diagnosis tetanus adalah murni diagnosis klinis berdasarkan riwayat
penyakit dan temuan saat pemeriksaan. Pada anamnesis ditanyakan apakah ada
riwayat luka, riwayat tidak diimunisasi atau imunisasi tidak lengkap, trismus,
disfagia, rhisus sardonikus, kekakuan pada leher, punggung, dan otot perut,
(opistotonus), rasa sakit serta kecemasan, pada tetanus neonatorum ditanyakan
keluhan awal berupa tidak bisa menetek, kejang umum episodik dicetuskan
dengan rangsang minimal maupun spontan dimana kesadaran tetap baik. Pada
pemeriksaan fisik dapat dilakukan uji spatula, dilakukan dengan menyentuh
dinding posterior faring menggunakan alat dengan ujung yang lembut dan steril.
Hasil tes positif jika terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit spatula) dan
hasil negatif berupa refleks muntah. Laporan singkat The American Journal of
Tropical Medicine and Hygiene menyatakan bahwa uji spatula memiliki
spesifisitas tinggi (tidak ada hasil positif palsu) dan sensitivitas tinggi (94% pasien
terinfeksi menunjukkan hasil positif). Pemeriksaan darah dan cairan cerebrospinal
biasanya normal. Kultur C. tetani dari luka sangat sulit (hanya 30% positif), dan
hasil kultur positif mendukung diagnosis, bukan konfirmasi.4 Beberapa keadaan
yang dapat disingkirkan dengan pemeriksaan cermat adalah meningitis,
perdarahan subarachnoid, infeksi orofacial serta arthralgia temporomandibular
yang menyebabkan trismus, keracunan strychnine, tetani hipokalsemia, histeri,
encefalitis, terapi phenotiazine, serum sickness, epilepsi dan rabies.7
Setelah diagnosis tetanus dibuat harus ditentukan derajat keparahan
penyakit. Beberapa sistem skoring tetanus dapat digunakan, diantaranya adalah
skor Phillips, Ablett, dan Dakar. Sistem skoring tetanus juga sekaligus bertindak
sebagai penentu prognosis. 23,24,25

Tabel 1. Skor Phillips untuk menilai derajat tetanus

Parameter Nilai
< 48 jam 5
2-5 hari 4
Masa inkubasi 6-10 hari 3
11-14 hari 2
> 14 hari 1

Internal dan umbilikal 5


Leher, kepala, dinding tubuh 4
Lokasi infeksi Ekstremitas atas 3
Ekstremitas bawah 2
Tidak diketahui 1

Tidak ada 10
Mungkin ada/ibu mendapatkan imunisasi (pada neonatus) 8
Status imunisasi > 10 tahun yang lalu 4
< 10 tahun yang lalu 2
Imunisasi lengkap 0

Penyakit atau trauma yang mengancam nyawa 10


Keadaan yang tidak langsung mengancam nyawa 8
Faktor pemberat Keadaan yang tidak mengancam nyawa 4
Trauma atau penyakit ringan 2
ASA derajat I 1

Sistem skoring menurut Phillips dikembangkan pada tahun 1967 dan


didasarkan pada empat parameter, yaitu masa inkubasi, lokasi infeksi, status
imunisasi, dan faktor pemberat. Skor dari keempat parameter tersebut
dijumlahkan dan interpretasinya sebagai berikut: (a) skor < 9 tetanus ringan, (b)
skor 9-18 tetanus sedang, dan (c) skor > 18 tetanus berat.

Tabel 2. Sistem skoring tetanus menurut Ablett


Grade I (ringan) Trismus ringan hingga sedang, spastisitas general, tidak ada distres
pernapasan, tidak ada spasme dan disfagia.
Grade II (sedang) Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme ringan hingga sedang
dengan durasi pendek, takipnea ≥ 30 kali/menit, disfagia ringan.
Grade III A (berat) Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan yang
memanjang, distres pernapasan dengan takipnea ≥ 40 kali/menit,
apneic spell, disfagia berat, takikardia ≥ 120 kali/menit.
Grade III B (sangat Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi otonom berat
berat) yang melibatkan sistem kardiovaskuler. Hipertensi berat dan
takikardia bergantian dengan hipotensi relatif dan bradikardia, salah
satunya dapat menjadi persisten.

Tabel 3. Sistem skoring Dakar untuk tetanus

Faktor prognostik Skor 1 Skor 0


Masa inkubasi < 7 hari ≥ 7 hari atau tidak diketahui
Periode onset < 2 hari ≥ 2 hari
Umbilikus, luka bakar, uterus,
Penyebab lain dan penyebab yang
Tempat masuk fraktur terbuka, luka operasi,
tidak diketahui
injeksi intramuskular
Spasme Ada Tidak ada
Demam > 38.4oC < 38.4oC
Takikardia Dewasa > 120 kali/menit Dewasa < 120 kali/menit
Neonatus > 150 kali/menit Neonatus < 150 kali/menit

Skor total mengindikasikan keparahan dan prognosis penyakit sebagai berikut:


 Skor 0-1 : tetanus ringan dengan tingkat mortalitas < 10%
 Skor 2-3 : tetanus sedang dengan tingkat mortalitas 10-20%
 Skor 4 : tetanus berat dengan tingkat mortalitas 20-40%
 Skor 5-6 : tetanus sangat berat dengan tingkat mortalitas > 50%

2.7. Diagnosis Banding


Pada kasus yang samar perlu dipikirkan adanya diagnosis lain yang dapat
menyerupai keluhan seperti tetanus, seperti :24
- Meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis. Pada ketiga diagnosis ini tidak
ditemukan adanya trismus, risus sardonikus, gangguan kesadaran, dan
kelainan pada cairan serebrospinalnya.
- Tetani. Tetani merupakan kelainan yang disebabkan oleh karena
hipokalsemia dan secara klinis yang dijumpai yaitu adanya spasme
karpopedal
- Keracunan Strihnin yaitu keracunan pada anak yang disebabkan meminum
tonikum terlalu banyak. Pada keadaan ini, didapatkan adanya riwayat
pemberian tonikum pada anak
- Rabies. Pada rabies ditemukan adanya gejala hidrofobia dan kesukaran
menelan. Pada anamnesis diketahui digigit binatang tepat beberapa saat
sebelum terjadinya keluhan
- Trismus oleh proses lokal, seperti mastoiditis, OMSK, abses tonsilar dan
yang membedakannya yaitu biasanya trismus asimetris.

2.8. Tatalaksana Tetanus

Ada tiga sasaran penatalaksanaan tetanus, yakni: (1) membuang sumber


tetanospasmin (2) menetralisasi toksin yang tidak terikat (3) perawatan penunjang
(suportif) sampai tetanospasmin yang berikatan dengan jaringan telah habis
dimetabolisme.7,20
A. Umum
Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan
peredaran toksin,mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pemafasan
sampai pulih. Dan tujuan tersebut dapat diperinci sbb :7,20
1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa: Membersihkan luka,
irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik), membuang benda
asing dalam luka serta kompres dengan H202 ,dalam hal ini penata laksanaan,
terhadap luka tersebut dilakukan 1 -2 jam setelah ATS dan pemberian
Antibiotika. Sekitar luka disuntik ATS.
2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan
membuka mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan
personde atau parenteral.
3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap
penderita
4. Oksigen, pernafasan buatan dan trachcostomi bila perlu.
5. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.

B. Obat- obatan
Antibiotika :
Diberikan parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari, IM.
Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit /
KgBB/ 12 jam secara IM diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap
peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-40
mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis
terbagi ( 4 dosis ). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan
dosis 200.000 unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari.9,20,26
Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani,
bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi
pemberian antibiotika broad spektrum dapat dilakukan.9,20
Tetrasiklin, Eritromisin dan Metronidazole diberikan terutama bila
penderita alergi penisilin.
- Tertasiklin : 30-50 mg/kgbb/hari dalam 4 dosis
- Eritromisin : 50 mg/kgbb/hari dalam 4 dosis, selama 10 hari.

- Metronidazole loading dose 15 mg/KgBB/jam selanjutnya 7,5


mg/KgBB tiap 6 jam
Anti tetanus toksin
Selama infeksi, toksin tetanus beredar dalam 2 bentuk:7,16,20
- Toksin bebas dalam darah
- Toksin bergabung dengan jaringan saraf
Yang dapat dinertalisir adalah toksin yang bebas dalam darah.Sedangkan yang
telah bergabung dengan jaringan saraf tidak dapat dinetralisir oleh antioksidan.
Sebelum pemberian antitoksin harus dilakukan : anamnesa apakah ada riwayat
alergi, tes kulit dan mata, dan harus sedia adrenalin 1:1000. Ini dilakukan karena
antitoksin berasal dari serum kuda, yang bersifat heterolog sehingga mungkin
terjadi syok anafilaktik.7,20
Dosis ATS yang diberikan ada berbagai pendapat.Berhrmann (1987) dan
Grossman (1987) menganjurkan dosis 50.000-100.000 u yang diberikan setengah
lewat i.v. dan setengahnya i.m. pemberian lewat i.v.diberikan selama 1-2 jam. Di
FKUI , ATS diberikan dengan dosis 20.000 u selama 2 hari.7,20

Antitoksin lainnya
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin (TIG)
dengan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh
diberikan secara intravena karena TIG mengandung "anti complementary
aggregates of globulin ", yang mana ini dapat mencetuskan reaksi allergi yang
serius. 7,20
Pada penelitian yang dilakukan di Indonesia, metronidazol telah
menjaditerapi pilihan yang digunakan di beberapa pelayanan kesehatan.
Metronidazol diberikan secara iv dengan dosis inisial 15 mg/kgBB
dilanjutkandosis 30 mg/kgBB/hari dengan interval setiap 6 jam selama 7-10 hari.
Metronidazol efektif untuk mengurangi jumlah kumanC. tetani bentuk vegetatif.
Sebagai lini kedua dapat diberikan penisilin prokain 50.000-100.000U/kgBB/hari
selama 7-10 hari, jika terdapat hipersensitif terhadap penisilin dapat diberikan
tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari (untuk anak berumur lebih dari 8 tahun). Penisilin
membunuh bentuk vegetatif C.tetani. Sampai saat ini, pemberian penisilin G
secara parenteral dengan dosis 100.000 U/kgBB/hari secara iv, setiap 6 jam
selama 10 hari direkomendasikan pada semua kasus tetanus. Sebuah penelitian
menyatakan bahwa penisilin mungkin berperan sebagai agonis terhadap
tetanospasmin dengan menghambat pelepasan asam aminobutirat gama
(GABA).21

2.9. Prognosis Tetanus


Rata-rata angka kematian akibat tetanus berkisar antara 25-75%, tetapi
angka mortalitas dapat diturunkan hingga 10-30 persen dengan perawatan
kesehatan yang modern. Banyak faktor yang berperan penting dalam prognosis
tetanus. Diantaranya adalah masa inkubasi, masa awitan, jenis luka, dan keadaan
status imunitas pasien. Semakin pendek masa inkubasi, prognosisnya menjadi
semakin buruk. Semakin pendek masa awitan, semakin buruk prognosis. Letak,
jenis luka dan luas kerusakan jaringan turut memegang peran dalam menentukan
prognosis. Jenis tetanus juga memengaruhi prognosis. Tetanus neonatorum dan
tetanus sefalik harus dianggap sebagai tetanus berat, karena mempunyai prognosis
buruk. Sebaliknya tetanus lokal yang memiliki prognosis baik. Pemberian
antitoksin profilaksis dini meningkatkan angka kelangsungan hidup, meskipun
terjadi tetanus.21
BAB III

LAPORAN KASUS

Identitas Pasien
Nama (inisial) : An MZS
Anak Ke : 4
Umur : 7 tahun 7 Bulan / 24- 05- 2016
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Gates Nan XX Lubuk Begalung
No. Rekam Medik : 01.06.89.90
Pekerjaan : Pelajar
Nama Ayah/Ibu : M. Alif/ Yendra Yulita
Agama : Islam
Negara Asal : Indonesia
Suku Bangsa : Minang
Tanggal Pemeriksaan : 2 Desember 2019

Anamnesis
Diberikan oleh : Ibu Kandung
Keluhan Utama : Mulut kaku sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit

Riwayat Penyakit Sekarang


- Keluar cairan bewarna kekuningan dan berbau dari telinga kanan sejak
1 minggu sebelum masuk rumah sakit, awalnya anak memiliki
kebiasaan mengorek-ngorek telinga dengan cotton bud, lalu telinga
kannannya terasa nyeri dan keluar cairan bewarna kekuningan dari
liang telinga, pasien telah dibawa berobat ke mantri, dan diberi
antibiotik sirup (Orang tua tidak ingat nama obatnya) namun setelah
keluhan hilang, orang tua memberhentikan antibiotiknya dan tidak
melanjutkan minum antibiotik.
- Mulut kaku sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, anak susah
membuka mulut.
- Intake makan dan minum berkurang
- Perut tengang sejak 2 hari yang lalu
- Demam tidak ada, batuk, pilek tidak ada
- Riwayat gigi berlubang tidak ada
- Riwayat luka tertusuk paku atau benda tajam tidak ada
- Kejang rangsang tidak ada
- BAK warna, dan jumlah biasa
- BAB belum ada sejak 2 hari di rumah sakit
- Riwayat Imunisasi dasar dan Booster tidak lengkap, pasien hanya
mendapat imunisasi polio sekali saat usia 2 bulan
- Pasien rujukan dari RS. Reksodiwiryo Padang dengan diagnosis
Tetanus dd/ Abses Retrofaring + OMSK, dan telah mendapat terapi
IVFD Kaen 1B 20 tpm makro, ampisilin 200mg (iv)
Riwayat Penyakit Dahulu
- Anak tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya

Riwayat Penyakit Keluarga


- Tidak ada keluarga yang pernah menderita keluhan seperti anak

Riwayat Persalinan
Lama Hamil : 37 minggu (Cukup Bulan)
Cara Lahir : Spontan Pervaginam
Berat Lahir : 3400 gr
Panjang lahir : 49cm
Saat lahir : Langsung menangis kuat
Ditolong oleh : Bidan
Kesan : Riwayat Persalinan Normal

Riwayat Makan dan Minuman


- Bayi
ASI : Umur 0-24 bulan Susu Formula : Umur 6 bulan
Nasi Tim : Umur 8 bulan Bubur Susu : Umur 10bulan
Buah Biskuit : Umur 10-11 bulan Nasi : Umur 18 hulan
– sekarang
- Anak
Makanan utama 3x/hari, menghabiskan 1 porsi mangkuk bayi
Daging : Jarang Telur :1 x/minggu
Ikan : 2-3x/minggu Sayur : 3 x/minggu
Buah : 2 x/ minggu

Kesan : kualitas dan kuantitas makanan baik

Riwayat Imunisasi :
Anak hanya melakukan Imunisasi Polio saat usia 2 bulan

Kesan: Imunisasi Dasar ridak lengkap

Riwayat Tumbuh Kembang


Tumbuh Kembang Umur Gangguan Tumbuh Kembang Umur
Ketawa 3 bulan Isap Jempol -
Miring 2-3 bulan Gigit Kuku -
Tengkurap 6 bulan Sering Mimpi -
Duduk 7 bulan Mengompol -
Merangkak 8 bulan Aktif sekali -
Berdiri 8 bulan Apatik -
Lari - Membangkang -
Gigi Pertama - Ketakutan -
Bicara 12 bulan Pergaulan Jelek -
Membaca 72 bulan Kesukaran Belajar -
Prestasi disekolah Baik
(10 besar di kelas)
Kesan : Tumbuh kembang anak baik

Riwayat Keluarga
Ayah Ibu-
Nama M. Alif Yendra Yulita
Umur 50Tahun 45 tahun
Pendidikan SMP SMP
Pekerjaan Buruh IRT
Penghasilan Rp 2.000.000,- -
Perkawinan 1 1
Penyakit yang pernah Tidak ada Tidak ada
diderita

Saudara Kandung Umur Keadaan Sekarang


Perempuan 25 th Sehat
Perempuan 20 th Sehat
Perempuan 17 th Sehat
Laki- Laki 7 th Pasien

Kesan : Keluarga dari golongan menengah ke bawah

Riwayat Perumahan dan Lingkungan


- Rumah tempat tinggal : Permanen
- Sumber air minum : Gallon
- Buang air besar : Dalam rumah
- Pekarangan : Sempit
- Sampah : Buang ke TPS
Kesan : Hieginitas dan Sanitasi Baik

Pemeriksaan Fisik (2/12/2019)


Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : Sedang Berat Badan : 19 kg
Kesadaran : Sadar Tinggi Badan : 100 cm
Tekanan darah : 100/70 mmHg BB/U : 79,1 %
Frekuensi nadi : 100 x/menit TB/U : 95,2 %
Frekuensi napas : 24 x/menit BB/TB : 86,3 %
Suhu : 36,4 0C Status gizi : Gizi Kurang
Edema : Tidak ada Anemia : Tidak ada
Ikterus : Tidak ada Sianosis : Tidak ada
Kulit : Teraba hangat, tidak ada kemerahan
Kelenjar getah bening : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Kepala : Normochepal, pergerakan terbatas
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut
Wajah : Risus Sardonikus (+)
Mata :Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor
2mm / 2mm, refleks cahaya +/+
Telinga : Terdapat sekret (+) kekuningan, berbau dan nyeri tekan
tidak ada
Hidung : Nafas cuping hidung tidak ada
Tenggorok : Tidak dapat dinilai
Gigi dan Mulut : Sianosis tidak ada, trismus (+) 2cm
Leher : tidak ada pembesaran KGB
Thoraks : Normochest
Paru
Inspeksi : Pergerakan simetris kiri dan kanan,
Retraksi dinding dada (-)
Palpasi : Fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Vesikular dikedua lapangan paru, rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : Iktus Kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : Irama jantung reguler, murmur (-), Ghallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Perut datar, distensi (-)
Palpasi :Perut teraba keras seperti papan hepar lien tidak dapat
diperiksa
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Punggung : Epistotonus (-)
Genitalia : A1 P1 G1
Anggota Gerak : Akral hangat, CRT <2 detik

Pemeriksaan Laboratorium (18/09/2019)


Darah
Hb 14,3 g/dl Hematokrit 40%
Leukosit 7.510/mm3 Retikulosit 0,9%
Hitung Jenis 0/0/3/82/11/4 Trombosit 482.000/mm3

Kimia Klinik
Kalsium 10,5 mg/dl GDS 129 mg/dl
Natrium 136 Mmol/L Chlorida 101Mmol/L
Kalium 4,8 Mmol/L
Kesan : Neutrofilia shift to the right dan Trombosis
Diagnosis Kerja

- Tetanus
- Otitis Media Supuratif Kronik AD
Diagnosis Banding
- Abses Peritonsil

Penatalaksanaan

- Oksigen 1 lpm nasal kanul


- IVFD KaEN 1B 20 tpm makro
- MC 6 x 250 cc/ngt
- Diazepam 2 mg/2-4 jam (iv)
- Tetagam 3000 iu (im)
- Metronidazol 300 mg loading selanjutnya 4 x150 mg (iv)
- Inj Ampicilin 4 x 225 mg (iv)
- Paracetamol 4 x 200mg/ ngt
Prognosis

Phillips Score :

Masa Inkubasi Lokasi Nyeri/ Port d’entri


Skor 1 : > 14 hari Skor 1 : Tidak diketahui
Skor 2 : 11-14 hari Skor 2 : Ekstremitas distal
Skor 3 : 6-10 hari Skor 3 : Ekstremitas proximal
Skor 4 : 2-5 hari Skor 4 : Leher, kepala, dinding tubuh
Skor 5 : < 48 jam Skor 5 : Internal / umbilikal
Imunisasi Faktor yang memberatkan
Skor 0 : Proteksi lengkap Skor 1 : ASA – derajat status fisik
Skor 2 : <10 tahun yang lalu Skor 2 : Trauma/penyakit ringan
Skor 4 : >10 tahun yang lalu Skor 4 : Tidak membahayakan jiwa
Skor 8 : mungkin ada/ mendapat Skor8 : Tidak langsung membahayakan jiwa
Skor 10 : Tidak ada Skor10 : penyakit yang membahayakan jiwa
Score Phillip : 18 ( derajat Sedang )

Quo ad vitam : dubia


Quo ad fungtionam : dubia
Quo ad sanationam : dubia

Follow Up

Tanggal Perjalanan Penyakit


3 Desember 2019 S/
07.00 - Mulut masih sulit dibuka
- Anak masih kaku
- Kejang tidak ada
- Demam tidak ada
- Nafas tidak sesak
- Mual muntah tidak ada
O/ KUKesNdNfT
Sedang Sadar 100x 24x 37,0
- Mata : Konjungtiva anemis(-) sklera ikterik (-
)
- Kepala : Mulai dapat digerakkan kesamping
- Mulut : Trismis (+) 2 cm
- Thorax : Retraksi dinding (-)
- Abdomen : Distensi (-) Perut papan mulai
menurun namun masih ada
- Punggung : Epistotonus (-)
- Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2 dtk
- Phillips Score : 18( Sedang )
A/ Tetanus + OMSK AD
P/
- Oksigen 1 lpm nasal kanul
- IVFD KaEN 1B 20 tpm makro
- MC 6 x 250 cc/ngt
- Diazepam 2 mg/2-4 jam (iv)
- Metronidazol 300 mg loading selanjutnya 4 x150
mg (iv)
- Inj Ampicilin 4 x 225 mg (iv)
- Paracetamol 4 x 200mg/ ngt
BAB IV

PEMBAHASAN

Seorang pasien anak laki-laki berusia 7 tahun datang dengan keluhan


mulut kaku sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Sebelumnya didapatkan
adanya keluar cairan bewarna kekuningan dan berbau dari telinga kanannya sejak
1 minggu sebelumnya, telah dibawa berobat ke mantri dan diberikan antibiotik
sirup, namun antibiotik tidak dihabiskan setelah keluhan hilang. Selain terdapat
kekakuan pada perut dan wajah tampak meringis terus menerus. Tidak ada demam
dan kejang.
Berdasarkan pada anamnesis dari pasien, diagnosis pasien mulai mengarah
pada tetanus dikarenakan gejala klinis mengarah kepada tetanus, dan perjalanan
penyakit pasien yang cukup khas untuk manifestasi klinis tetanus yaitu adanya
mulut sukar dibuka ( trismus), wajah tampak meringis (rhisus sardonicus), dan
perut terasa keras seperti papan. Clostridium Tetani mengeluarkan toksin yang
bekerja pada sistem saraf pusat sehingga menimbulkan mekanisme inhibisi yang
normal dan menyebabkan meningkatnya aktifitas neuron yang mensarafi otot-otot.
Salah satu otot yang sensitif terhadap toksin ini yaitu otot masetter, sehingga
dapat terjadinya trismus. Dalam kasus yang berlanjut, kekakuan otot dapat
berlanjut keseluruh tubuh.
Port d’ entry pada tetanus tidak selalu dapat diketahui dengan pasti,
namun diduga melalui luka tusuk, gigitan binatang, luka operasi, luka bakar yang
luas, otitis media, karies gigi ataupun luka-luka lainnya yang tidak dibersihkan
dengan baik. Setelah dilakukan penelusuran port d’entry, luka sumber infeksi
pada anak ini kemungkinan dari riwayat OMSK AD dan riwayat pengobatan
antibiotik yang tidak selesai. Selain itu, dari anamnesis didapatkan juga bahwa
anak tidak mendapatkan imunisasi dasar lengkap. Dengan tidak adanya imunisasi
pada anak, maka tidak adanya atau belum terbentuknya kekebalan terhadap toksin
tetanus sehingga lebih mudah terkena tetanus dibandingkan dengan anak yang
mendapatkan imunisasi lengkap.
Diagnosis banding seperti ensefalitis, meningitis, dan/atau
meningoensefalitis dapat disingkirkan karena keluhan pasien didahului oleh
trismus. Selain itu, pada pasien juga tidak terdapat penurunan kesadaran.
Diagnosis banding selanjutnya yakni epilepsi, juga dapat dikesampingkan untuk
sekarang karena perjalanan penyakit pasien yang lebih menunjang ke arah tetanus
dan pasien tidak ada riwayat kejang ataupun kejang demam sebelumnya. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan trismus, spasme otot-otot abdomen.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
mengarahkan diagnosis kerja ke arah tetanus.
Tatalaksana yang diberikan kepada pasien berupa tatalaksana non-
farmakologi dan farmakologi. Tatalaksana non-farmakologi yang diberikan
berupa pemantauan jalan napas dengan cara membebaskan jalan napas dari cairan
saliva untuk mencegah terjadinya aspirasi. Pada pasien juga diberikan oksigen
melalui nasal kanul sebanyak 1 lpm. Pada pasien juga dilakukan pemasangan
NGT untuk memasukkan nutrisi parenteral. Pasien ditempatkan dalam ruang
isolasi, di mana ruangan harus dalam keadaan tenang dan gelap untuk mencegah
terjadinya rangsangan yang dapat memperparah gejala yang dialami oleh pasien.
Tatalaksana farmakologi yang diberikan pada pasien ini berupa cairan
intravena IVFD Kaen 1B 20 tpm makro, diet MC 6x250 cc/ngt, metronidazole
300 mg loading selanjutnya 4x 150 mg iv,ampicillin 4 x 500 mg (iv) dan
paracetamol 4 x200 mg/ngt.
Dari hasil perjalanan penyakit, maka klasifikasi derajat keparahan
manifestasi klinis berdasarkan klasifikasi Phillips yaitu termasuk ke dalam derajat
II yaitu sedang. Dengan penjabaran keadaan dari pasien, didapatkan masa
inkubasi dari saat adanya luka sebagai port de entry bakteri 1-10 hari, daerah port
de entry disekitar kepala, tidak mendapatkan imunisasi dasar, dan tidak ada yang
memperberat penyakit sehingga didapatkan total skor yaitu 18 dan digolongkan
kedalam derajat sedang. Dari derajat keparahan tadi, maka untuk prognosis dari
anak ini dubia dikarenakan skor yang didapatkan cukup tinggi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Immunization Handbook Third Edition. The Epidemiologist Epidemiology


Unit 231, De Saram Place Colombo -10 ; Epidemiology Unit Ministry of
Health Sri Lanka 2012, ; 55-57

2. World Health Organization. 2011. Progress towards the global elimination


of neonatal tetanus. Wkly Epidemiol Rec. 74:73-80.

3. Stanfield JP, Galazka A. 2002. A neonatal tetanus is the world today. Bull
World Health Organ. 62:647-9

4. BAPPENAS; Laporan Pencapaian Tujuan pembangunan Milenium


Indonesia 2010.

5. Thwaites CL Tetanus. Current Anaesthesia and Critical Care. 2005: 50-57

6. Sumarno SPS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. Buku ajar infeksi dan
penyakit tropis: Tetanus, Edisi 2. IDAI.2008

7. Mahadewa TGB, Maliawan S. Diagnosis & Tatalaksana Kegawat


Daruratan Tulang Belakang.Jakarta: CV Sagung Seto;2009.

8. Rampengan NH, Pangestu Y, Tatura SNN. 2012. Profil Kasus Tetanus


Anak di RS Prof. Dr. R.D. Kandou Manado. 14(3): 173-178

9. Taylor AM. Tetanus. Continuing education in anesthesia, critical are &


pain. Vol. 6 No. 3. [Internet]. 2006. Available from:
http://www.ceaccp.oxfordjournal

10. Feigen. R.D : Tetanus .In : Bchrmlan R.E, Vaughan V C , Nelson W.E ,
eds. Nelson Textbook of pediatrics, ed. 13th, Philadelphia, W.B Saunders
Company, 1987, 617-620

11. Thwaites CL, Farrar JJ. Preventing and treating tetanus : The challenge
continues in the face of neglect and lack of research. BMJ : British
Medical Journal. 2003;326(7381): 117-8

12. Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, Game JW, Behrman RE. 2011.
Nelson textbook of pediatrics 19th edition. Philadelphia: Elsevier
Saunders. pp. 991-4

13. Scheld, Michael W. Infection of the central nervous system, Raven Press
Ltd, New York, 2001, 603-620.
14. Srikiatkhachord Anaan, dkk; Tetanus , Arbor Publishing Coorp.
Neurobase,2003, 1-13

15. Schiavo G, Matteoli M, Montecucco C. Neurotoxins affecting


neuroexocytosis. Physiol Rev. 2000; 80: 717-66

16. Thwaites CL, Yen LM. Tetanus. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL,
Kochanek PM, editors. Textbook of Critical Care. 5th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2005.p.1401-4.
17. Lipman J. Tetanus. In: Bersten AD, Soni N, eds. Oh’s Intensive Care
Manual. 6th ed. Philadelphia: Butterworth Heinemann Elsevier;
2009.p.593-7.

18. Towey R. Tetanus: a review. Update in Anesthesia. Vol 43 No. 19.


[Internet]. 2005 Available from:
http://www.update.anaesthesiologist.org/wpcontent/tetanus-areview.pdf.

19. Cook TM, Protheroe RT, Handel JM. Tetanus: a review of the literature.
Br J Anaesth.2001;87 (3):477-87.

20. Edlich RF, Hill LC, Mahler CA, Cox MJ, Becker DG, Horowitz JH, et al.
Management and prevention of tetanus. Niger J Paed. 2003;13(3):139-54.

21. Tolan Jr RW. Tetanus. Available in: www.emedicine.com last update Feb
1, 2008 [Tingkat Pembuktian IV].

22. Hassel Bjørnar. Tetanus: Pathophysiology, Treatment, and the Possibility


of Using Botulinum Toxin against Tetanus-Induced Rigidity and Spasms.
Toxins.2013.

23. World Health Organization. 2011. Progress towards the global elimination
of neonatal tetanus. Wkly Epidemiol Rec. 74:73-80

24. Ogunrin AO, Unuigbe EI, Azubuike CO. Characteristics of tetanus cases
seen over a tenyear period in a tertiary health facility in Benin City,
Nigeria. Ann Biomed Sci. 2006; 5(1&2):44-51

25. Farrar JJ, Yen LM, Cook T, Fairweather N, Binh N, Parry J, et al.
Neurological aspects of tropical disease: tetanus. J Neurol Neurosurg
Psychiatry.2000;69:292-301.
26. Dawn MT, Elisson RT. Tetanus. In: Irwin RS, Rippe JM, editors. Irwin
and Rippe’s intensive care medicine. 6th ed. Massachusetts: Lippincot
Williams & Wilkins. 2008.p.1140-1.

Anda mungkin juga menyukai