Anda di halaman 1dari 33

1

Kasus 5
Nyeri Perut Kanan Atas
Seorang perempuan berusia 40 tahun dibawa keluarganya ke unit gawat
darurat RS dengan keluhan nyeri pada perut kanan atas menjalar sampai ke bahu
sejak 2 hari yang lalu. Keluhan ini semakin lama semakin hebat keluhan ini
disertai mual, muntah, feses berwarna pucat dan buang air kecil berwarna seperti
teh. Pasien memiliki riwayat hiperkolesterol. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
murphy sign (+). Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan bilirubin total 2
mg/dl, bilirubin indirek 0,2 mg/dl, bilirubin direk 0,6 mg/dl, dan kolesterol total
255 mg/dl.

Step 1
1. Bilirubin indirek : - Bilirubin yang sudah mengalami konjugasi dalam
hati dan bersifat larut dalam air.
2. Murphy sign : - Suatu pemeriksaan untuk menentukan penyakit
kolelitiasis.
3. Hiperkolesterol : - peningkatan kadar kolesterol dalam darah.

STEP II
1. Mekanisme pembentukan bilirubin ?
2. Apa hubungannya dengan riwayat hiperkolesterol ?
3. Penyebab nyeri kanan atas ?
4. Mengapa gejala dapat timbul ?
5. Berapa nilai normal bilirubin ?
6. Penegakkan diagnosis pada kasus?
7. Penatalaksanaan ?

STEP III
1. Pembentukan bilirubin :
 Fase prehepatik
 Fase intrahepatik
 Fase posthepatik
2

2. Hubungan dengan hiperkolesterol :


Adanya riwayat batu empedu
3. Penyebab nyeri kanan atas :
Karena ada batu empedu
4. Gejala timbul :
 Terjadi obstruksi batu empedu
 Urine seperti teh ada sumbatan dan terjadi refleks empedu
 Peregangan pada pusat eferent sehingga timbul muntah
 Feses dempul karena sterkobilin
5. Nilai normal bilirubin :
 Bilirubin total : 0,3-1,0 mg/dl
 Bilirubin indirek : 0,2-0,7 mg/dl
 Bilirubin direk : 0,1-0,3 mg/dl
6. Penegakkan diagnosis :
 Anamnesis
 Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan penunjang
 DD
 DK
7. Penatalaksanaan :
 Medikamentosa
 Non medikamentosa
3

STEP IV
1. Pembentukan bilirubin :
Eritrosi matur Eritrosit imatur

Hemoglobin

Heme

Biliverdin bilirubin indirek beriktan dengan albumin


hepar bilirubin direk kandung empedu feses dan urine.

2. Gejala timbul :
 Feses pucat : aliran empedu hepar menyumbat pada refluk
pembuluh darah filtrasi ginjal warna feses pucat bilirubin direk
 Mual muntah : obstruksi saluran empedu aliran balik empedu
ke hepar peradangan dihepatobilier mengelurkan enzim
SGOT / SGPT iritasi saluran cerna merangsang N. Vagus menekan
rangsangan sistem saraf parasimpatis gerakan peristaltik sistem
pencernan makanan tertahan dilambung mengaktifkan pusat mual dan
muntah muntah.

6. DD :
 Kolesistitis
 Kolangitis
 CA kandung empedu
 Hepatitis A,B,C
 Sirosis Hepatis
 Hiperbilirubinemia
 Syndrom mirizzi
 Syndrom Gilbert
 Kolestasis
4

 Koledokolitiasis
 Kolelitiasis

Pembentukan
biliruin

Gangguan Bilirubin
pembentukan bilirun

Nilai norma
Pre hepatik

Intra hepatik

Post hepatik

STEP V
1. Bilirubin enterohepatik ?
2. Gangguan bilirubin ?

STEP VI
Belajar mandiri

STEP VII
1. Metabolisme bilirubin dan siklus enterohepatik
Pembagian terdahulu mengenai tahapan metabolisme bilirubin yang
berlangsung 3 fase; prehepatik, intrahepatik, dan pascahepatik masih relevan,
walaupun diperlukan penjelasan akan adanya penjelasan fase tambahan dalam
tahapan metabolisme bilirubin.
5

Pembagian yang baru menambahkan 2 fase lagi sehingga tahapan


metabolisme bilirubin menjadi 5 fase. Yaitu :
a. Pembentukan bilirubin
b. Transpor plasma
c. Liver uptake
d. Konjugasi
e. Ekskresi bilier
Fase prehepatik
a. Pembentukan bilirubin. Sekitar 250-350 mg bilrubin atau sekitar 4 mg/kg
berat badan terbentuk setiap harinya 70-80% berasal dari pemecahan sel
darah merah yang matang. Sedangkan sisanya 20-30% (early labelled
bilirubin) datang dari protein hem lainnya yang berada terutama di dalam
sum-sum tulang dan hati. Sebagian dari protein hem dipecah menjadi besi
dan produk antara bilverdin dengan perantara enzim hemeokasigenis
enzim lain biliverdin reduktase mengubah biliverdin menjadi bilirubin.
Tahapan ini terjadi terutama dalam sel sistem retikuloendotelial
(monoknuklir fagositosis). Peningkatan hemolisis sel darah merah
merupakan penyebab utama peningkatan pembentukan bilirubin.
Pembentukan earlylabelled bilirubin meingkatkan pada beberapa kelainan
dengan eritropoiesis yang tidak efektif namun secara klinis kurang
penting.(Harrison, 2000)
Sebagian besar bilirubin terbentuk sebagai akibat degradasi
hemoglobin pada sistem retikuloendotelial (RES). Tingkat penghancuran
hemoglobin ini pada neonatus lebih tinggi dari pada bayi yang lebih tua.
Satu gram hemoglobin dapat menghasilkan 35 mg bilirubin indirect.
Bilirubin indirect yaitu bilirubin yang bereaksi tidak langsung dengan zat
warna diazo (reaksi Hymans van den Borgh) yang bersifat larut dalam
lemak. (Guyton, 2012)
b. Transport plasma. Bilirubin tidak laraut dalam air, karenanya bilirubin tak
terkonjugasi ini transportnya dalam plasma terikat dalam albumin dan
tidak dapat melalui membran glomerulus, karenanya tidak muncul dalam
air seni. (Harrison, 2000)
6

Sel parenkim hepar mempunyai cara yang selektif dan efektif


mengambil bilirubin dari plasma. Bilirubin ditransfer melalui membran sel
ke dalam hepatosit sedangkan albumin tidak. (Guyton, 2012)
Ikatan melemah dalam beberapa keadaan seperti asidosis, dan
beberapa bahan seperti antibiotika tertentu, salisilat berlomba pada tempat
ikatan dengan albumin.(Harrison, 2000)

Gambar 1 metabolisme bilirubin


( Guyton,2010)
Fase intrahepatik
c. Liver uptake. Proses pengambilan bilirubin takterkonjugasi oleh hati
secara rinci dan pentingnya protein pengikat seperti ligadin atau protein Y,
belum jelas. Pengambilan bilirubin melalaui transport yang aktif dan
7

berjalan dengan cepat, namun tidak termasuk pengambilan


albumin.(Harrison, 2000)
Di dalam sel bilirubin akan terikat terutama pada ligandin dan
sebagian kecil pada glutation S transferase lain dan protein Z. Proses ini
merupakan proses 2 arah, tergantung dari konsentrasi dan afinitas albumin
dalam plasma dan ligandin dalam hepatosit. Sebagain besar bilirubin yang
masuk hepatosit dikonjugasi dan diekskresi ke dalam empedu. Dengan
adanya sitosol hepar, ligandin mengikat bilirubin sedangkan albumin
tidak. Perberian fenobarbital mempertinggi konsentrasi ligandin dan
memberi tempat pengikatan yang lebih banyak untuk bilirubin. (Guyton,
2012)
d. Konjugasi. Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami
konjugasi dengan asam glukoronik membentuk bilirubin di glukoronida
atau bilirubin konjugasi atau bilirubin direk. Reaksi ini yang dikatalisasi
oleh enzim mikrosomal glukoronil-transferase menghasilkan bilirubin
yang larut dalam air. Dalam beberapa keadaan reaksi ini hanya
menghasilkan bilirubin monoglukoronida, yang bagian asam glukoronik
kedua ditambahkan dalam saluran empedu melalaui sistem enzim yang
berbeda, namun reaksi ini tidak dianggap fisiologik. Bilirubin konjugasi
lainnya selain di glukoronid juga terbentuk namun kegunaannya tidak
jelas. (Harrison, 2000)
Sintesis dan ekskresi diglukoronide terjadi di membran
kanalikulus. Isomer bilirubin yang dapat membentuk ikatan hidrogen
seperti bilirubin natural IX dapat diekskresi langsung ke empedu tanpa
konjugasi miusalnya isomer yang terjadi sesudah terapi sinar (isomer
foto).
Fase pascahepatik
e. Ekskresi bilirubin. Bilirubin konjugasi dikeluarkan ke dalam kanalikulus
bersama bahan lainnya. Anion organiklainnya atau obat dapat
mempengaruhi prosis yang kompleks ini. Di dalam usus flora bakteri
men’’dekonjugasi’’ dan mereduksi bilirubin menjadi sterkobilinogen dan
mengeluarkannya sebagian besar ke dalam tinja yang berwarna coklat.
8

Sebagian diserap dan di keluarkan kembali ke dalam empedu, dan dalam


jumlah kecil mencapai air seni sebagai urobilinogen. Ginjal dapat
mengeluarkan di glukoronida tetapi tidak bilirubin unkonjugasi. Hal ini
menerangkan warna air seni yang gelap yang khas pada gangguan
hepatoseluler atau kolestasis intrahepatik. Bilirubin tak terkonjugasi
bersifat tidak larut dalam air namun larut dalam lemak. Karenanya
bilirubin tak terkonjugasi dapat melewati barier darah otak atau masuk ke
dalam plsenta. Dalam sel hati, bilirubin tak terkonjugasi mengalami proses
konjugasi dengan gula melalui enzim glukoroniltransferase dan larut
dalam empedu cair. (Harrison, 2000)
Pada neonatus karena aktivitas enzim B glukoronidase yang
meningkat, bilirubin direk banyak yang tidak diubah menjadi urobilin.
Jumlah bilirubin yang terhidrolisa menjadi bilirubin indirek meningkat
dengan terabsorbsi sehingga sirkulasi enterohepatik pun meningkat.
(Guyton, 2012)

Metabolisme bilirubin pada neonatus


Pada likuor amnii yang normal dapat ditemukan bilirubin pada
kehamilan 12 minggu, kemudian menghilang pada kehami1an 36-37
minggu. Pada inkompatibilitas darah Rh., kadar bilirubin dalam cairan
amnion dapat dipakai untuk menduga beratnya hemolisis. Peningktan
bilirubin amnii juga terdapat pada obstruksi usus fetus. Bagaimana
bilirubin sampai ke likuor amnii betum diketabui dengan jetas, tetapi
kemungkinan besar melalui mukosa saluran nafas dan saluran
cerna. (Guyton, 2012)
Produksi bilirubin pada fetus dan neonatus diduga sama besamya
tetapi kesanggupan hepar mengambil bilirubin dari sirkutasi sangat
terbatas. Demikian kesanggupannya untuk mengkonjugasi. Dengan
demikian hampir semua bilirubin pada janin dalam bentuk bilirubin
indirek dan mudah mclalui plasenta ke sirkulasi ibu dan diekskresi oleh
hepar ibunya. Dalam keadaan fisiologis tanpa gejala pada hampir semua
neonatus dapat terjadi kumulasi bilirubin indirek sampai 2 mg%. Hal ini
9

menunjukkan bahwa ketidakmampuan fetus mengolah bilirubin berlanjut


pada masa neonatus. Pada masa janin haI ini diselesaikan oleh hepar
ibunya, tetapi pada masa neonatus haI ini berakibat penumpukan bilirubin
dan disertai gejala ikterus. (Guyton, 2012)
Pada bayi baru lahir karena fungsi hepar belum matang atau bila
terdapat gangguan dalam fungsi hepar akibat hipoksia, asidosis atau bila
terdapat kekurangan enzim glukoronil transferase atau kekurangan
glukosa, kadar bilirubin indirek dalam darah dapat meninggi. Bilirubin
indirek yang terikat pada albumin sangat tergantung pada kadar albumin
dalam serum. Pada bayi kurang bulan biasanya kadar albuminnya rendah
sehingga dapat dimengerti bila kadar bilirubin indirek yang bebas itu dapat
meningkat dan sangat berbahaya karena bilirubin indirek yang bebas inilah
yang dapat melekat pada sel otak. lnilah yang menjadi dasar pencegahan
'kernicterus' dengan pemberian albumin atau plasma. Bila kadar bilirubin
indirek mencapai 20 mg% pada umumnya kapasitas maksimal pengikatan
bilirubin oleh neonatus yang mempunyai kadar albumin normal tetah
tercapai.
10

Gambar 2 metabolisme bilirubin dan siklus enterohepatik


( Guyton,2010)

2. Gangguan bilirubin berdasarkan pembentukannya


Penyebab ikterus yang umum adalah (1) meningkatnya pemecahan sel
darah merah, dengan pelepasan bilirubin yang cepat kedalam darah, dan (2)
sumbatan duktus biliaris atau kerusakan sel hati sehingga bahkan jumlah
bilirubin yang biasa sekalipun tidak dapat di ekskresikan kedalam saluran
pencernaan. Dua tipe ikterus ini disebut, berturut-turut ikterus hemolitik dan
ikterus obstruktif. Keduanya berbeda satu sama lain dalam cara berikut ini.
a. Ikterus hemolitik disebabkan hemolisis sel darah merah
11

Pada ikterus hemolitik, fungsi ekskresi hati tidak terganggu, tetapi


sel darah merah dihemolisis begitu cepat sehingga sel hati tidak dapat
mengekskresi bilirubin secepat pembentukannya. Oleh karenaitu,
konsentrasi plasma bilirubin bebas meningkat di atas nilai normal. Selain
itu, kecepatan pembentukan urobilinogen dalam usus meningkat, dan
sebagian besar urobilinogen diabsorbsi kedalam darah dan akhirnya
diekskresikan kedalam urin. (Harrison, 2000)
b. Ikterus obstruktif disebabkan oleh obstruksi duktus biliaris atau penyakit
hati
Ikterus obstruktif disebabkan obstruksi duktus biliaris (yang sering
terjadi bila sebuah batu empedu atau kanker menutupi duktus koledokus)
atau kerusakan sel hati (yang terjadi pada hepatitis), kecepatan
pembentukan bilirubinnya normal, tetapi bilirubin yang dibentuk tidak
dapat lewat dari darah kedalam usus. Bilirubin bebas masih masuk kesel
hati dan dikonjugasi dengan cara yang biasa. Bilirubin terkonjugasi ini
kemudian kembali kedalam darah, mungkin karena pecahnya kanalikuli
biliaris yang terbendung dan pengosongan langsung kesaluran limfe yang
meninggalkan hati. Jadi, kebanyakan bilirubin dalam plasma menjadi
terkonjugasi dan bukan bilirubin bebas.(Harrison, 2000)

Ikterik atau jaundice adalah keadaan dimana jaringan terutama kulit dan
sklera mata menjadi kuning akibat deposisi bilirubin yang berdiffusi dari
konsentrasinya yang tinggi didalam darah. Ikterus yang ringan dapat dilihat
paling awal pada sclera mata, dan ini terjadi kalau konsentrasi bilirubin sudah
berkisar antara 2 – 2,5 mg/dL (34 – 43 umol/L)jika ikterus sudah jelas dapat
dilihat dengan nyata maka bilirubin sudah mencapai 7 mg%.
Klasifikasi:
1. Ikterus prehepatik (unconjugated prehepatic hyperbilirubinemia)
2. Ikterus hepatik (unconjugated hepatic hyperbilirubinemia)
3. Ikterus hepatik (conjugated hepatic hyperbilirubinemia)
4. Ikterus posthepatik (conjugated posthepatic hyperbilirubinemia)
12

1. Unconjugated prehepatic hyperbilirubinemia (prehepatik)


Etiologi : anemia hemoltik dan malaria
Patofisiologi:Pemusnahan ertirosit yang berlebihan akan menyebabkan
terbentuknya bilirubin indirek banyak, yang kadang-kadang melebihi
kemampuan hepar untuk mengkonjugasinya sehingga bilirubin direk
serum meninggi. Hepar akan berusaha untuk mengkonjugasi bilirubin
indirek menjadi bilirubin direk sehingga bilirubin direk yang masuk ke
intestin bertambah, urobilinogen yang terbentuk bertambah sehingga
urobilinogen urine dan feses bertambah pula. (Sylvia, 2006)
a. DBD
1) Patogenesis Demam Berdarah Dengue (DBD)
Patogenesis terjadinya DBD hingga saat ini masih
diperdebatkan. Teori yang banyak dianut adalah hipotesis infeksi
sekunder (seconday heterologous infection theory) atau teori
antibody dependent enhancement (ADE) (Horisson, 2000)
Hipotesis infeksi sekunder menyatakan bahwa seseorang
yang terinfeksi kedua kalinya dengan virus dengue yang
berbeda, maka akan terjadi reaksi anamnestik dari antibodi
heterolog yang telah ada sebelumnya. Ikatan virus-antibodi non
netralisir ini mengaktivasi makrofag dan akan bereplikasi di
dalam makrofag. Sedangkan teori ADE menyatakan bahwa adanya
antibodi yang timbul justru bersifat mempercepat replikasi virus
pada monosit atau makrofag. (Horisson, 2000)
Siklus intraseluler virus dengue hampir serupa dengan siklus
virus lain yang juga tergolong dalam genus ß avivirus . Infeksi virus
Dengue dimulai saat vektor mengambil darah host dan
memasukkan virus ke dalamnya. Virus Dengue berikatan dan masuk
ke dalam sel host melalui proses endositosis yang dimediasi
oleh reseptor aÞ nitas rendah seperti DC. (Horisson, 2000)
Sign (dendritic cells). Selama terjadi internalisasi dan asidiÞ
kasi endosom, virus berfungsi dengan membran vesikuler
mengakibatkan masuknya nukleokapsid menuju sitoplasma
13

dengan genome tanpa amplop (uncoating genome).


(Horisson,2000)
Selanjutnya proses translasi terjadi di membran retikulum
endoplasma, suatu protein intermediate rantai negatif terbentuk
dan menjadi dasar dicetaknya beberapa rantai RNA virus
(vRNA). Sehingga terbentuklah protein virus dalam jumlah yang
banyak. Bersama dengan struktur protein lainnya seperti inti
(core), premembran (prM), dan amplop (E), vRNA akan menjadi
cikal bakal virus dengue yang baru. Pematangan virus terjadi di
kompartemen golgi dan akhirnya akan disekresikan keluar sel
menuju sirkulasi. (Horisson,2000)
Mekanisme imunopatogenesis infeksi virus dengue
melibatkan respon humoral berupa pembentukan antibodi yang
berperan dalam proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi
komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibodi. Juga
melibatkan limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8),
monosit dan makrofag, sitokin serta aktivasi komplemen.
Terjadinya infeksi makrofag, monosit atau sel dendritik oleh
virus Dengue melalui proses endositosis yang dimediasi reseptor
dan atau melalui ikatan kompleks virus antibodi dengan reseptor
Fc. Infeksi ini secara langsung mengaktivasi sel Thelper (CD4) dan
sel T sitotoksik (CD8) yang menghasilkan limfokin dan interferon
gamma. Selanjutnya interferon gamma akan mengaktivasi makrofag
yang menyebabkan sekresi berbagai mediator inß amasi seperti
TNF, IL-1 dan PAF (platelet activating factor), IL-6 dan histamin.
Mediator inß amasi ini mengakibatkan terjadinya disfungsi sel
endotel dan terjadi kebocoran plasma. Selain itu kompleks virus
dan antibodi ini akan mengaktifkan istem komplemen dengan
mensekresikan C3a dan C5a, yang akibatkan peningkatan
permeabilitas dinding pembuluh darah sehingga terjadi ekstravasasi
plasma dari intravaskuler menuju ekstravaskuler. (Horisson,2000)
14

Selain disfungsi endotel yaitu terjadi peningkatan permeabilitas


vaskuler, kompleks virus antibodi yang terbentuk juga mengaktifkan
sistem koagulasi, sistem Þ brinolisis, kinin dan gangguan terhadap
proses agregasi trombosit, yang secara keseluruhan akan
mengakibatkan manifestasi perdarahan yang timbul pada DBD.
(Horisson,2000)
Trombosit adalah sel darah tak berinti berasal dari pelepasan
sitoplasma megakariosit di sumsum tulang. Fungsi utama trombosit
ialah koagulan (pembekuan) darah dengan pembentukan sumbat
mekanis sebagai respon hemostatik normal terhadap cedera vaskuler.
Keadaan berkurangnya jumlah trombosit di bawah nilai normal,
yaitu kurang dari 150x109/L disebut sebagai trombositopenia.
Trombositopenia erat kaitannya dengan komplikasi perdarahan,
mulai perdarahan ringan hingga perdarahan hebat yang mengancam
jiwa. Patofisiologi trombositopenia secara umum disebabkan oleh 3
penyebab : defisiensi produksi, akselerasi destruksi dan distribusi
abnormal. (Horisson,2000)
Diagnosis etiologi trombositopenia karena distribusi abnormal
relatif mudah, yaitu apabila ditemukan tanda dan gejala
hipersplenisme. Diagnosis etiologi trombositopenia karena defisiensi
produksi atau akselerasi destruksi sulit dibedakan. (Horisson,2000)
Evaluasi pertama kali ialah dengan evaluasi preparat darah
hapus (morfologi, kesesuaian hitung trombosit dengan estimasi ) dan
evaluasi jumlah dan morfologi megakariosit pada preparat sumsum
tulang untuk menilai trombopoiesis (proses pembentukan trombosit).
Defisiensi produksi / hipoplasia sumsum tulang disebabkan
ketidakmampuan sumsum tulang memproduksi trombosit
(penurunan trombopoiesis) yang ditandai penurunan jumlah
megakariosit sumsum tulang sedangkan destruksi trombosit perifer
menyebabkan peningkatan trombopoiesis ditandai peningkatan
jumlah megakariosit sumsum tulang sebagai respon homeostasis
sumsum tulang normal terhadap penurunan trombosit. Salah satu
15

penyakit infeksi penyebab trombositopenia dengan insidensi tinggi


di Indonesia adalah Demam Berdarah Dengue. (Horisson,2000)
Etiologi trombositopenia pada DBD adalah akibat terbentuknya
kompleks virus antibodi yang merangsang terjadinya agregasi
trombosit. Agregat tersebut melewati RES sehingga dihancurkan.
Trombositopenia pada DBD disebabkan adanya peningkatan
destruksi trombosit di perifer. Hal lain yang menjadi penyebab yaitu
adanya supresi sumsum tulang oleh virus dengue tersebut sehingga
trombopoesis akan menurun. Retikulosi trombosit sebanding dengan
laju trombopoeisis. Peningkatan retikulosit trombosit pada darah
perifer mengindikasikan peningkatan trombopoeisis, sebaliknya
apabila terjadi penurunan kadar retikulosit trombosit di perifer,
mengindikasikan penurunan trombopoiesis. Persentase retikulosit
trombosit di sirkulasi dapat menggambarkan laju trombopoeiesis dan
sangat bermanfaat sebagai prediksi fungsi hemostasis pasien DBD
tersebut mampu mengkompensasi adanya trombositopenia.
(Horisson,2000)
Pada teori hematopatologi, angiopati atau kerusakan pembuluh
darah khususnya sel-sel endotel mengaktifkan mekanisme alamiah
dari tubuh yaitu dengan meningkatkan jumlah trombosit untuk
melekat pada daerah yang rusak sehingga tidak terjadi kebocoran
plasma yang lebih lanjut. Pada pasien DBD dimana gangguan
utamanya antara lain pada disfungsi endotel yang besar
kemungkinan akan berujung pada shock akibat kebocoran plasma
yang meningkat, jelas adanya bahwa akan terjadi peningkatan
penggunaan trombosit untuk mengatasi permeabilitas kapiler yang
meningkat tersebut. Masa hidup trombosit dalam sirkulasi berkisar 7
– 12 hari. (Horisson,2000)
Sedangkan pada fase akut DBD masa hidup trombosit dalam
sirkulasi berkurang karena trombosit cenderung beragregasi akibat
terbentuknya kompleks imun antigen-antibodi sehingga agregat yang
terbentuk akan lebih mudah mengalami destruksi di hepar dan limpa
16

Penelitian menemukan hubungan antara trombosit dengan


komplemen C3. Fragmen dari C3 terdapat pada permukaan membran
trombosit. Semakin banyak fragmen C3 yang melekat semakin berat
penyakitnya. Diduga kejadian tersebut berakibat pada penurunan
fungsi dan jumlah trombosit. (Horisson,2000)
Hal ini menunjukan bahwa terjadi peningkatan jumlah dan
persentase retikulosit trombosit preparat darah apus pada pasien
DBD dibandingkan dengan orang normal, mengindikasikan bahwa
terdapat peningkatan trombopoiesis pada pasien DBD sehingga
respon sumsum tulang terhadap trombositopenia baik. (Horisson,
2000)
b. Malaria
Penyebab yang mendasari anemia malaria berat pada manusia
dapat mencakup satu atau lebih dari beberapa mekanisme berikut: (1)
penghilangan dan / atau penghancuran sel darah merah yang terinfeksi,
(2) penghilangan Sel darah merah yang tidak terinfeksi, (3) penekanan
erythropoietic dan dyserythropoiesis. Setiap dari mekanisme ini telah
terlibat dalam anemia malaria pada manusia. (Casals-Pascual et.al
2006).
1). Hilangnya sel darah merah yang terinfeksi
Selama infeksi terjadi, ada kehilangan yang jelas dari eritrosit
yang terinfeksi untuk pematangan parasit serta pada saat
pengenalan makrofag.Jalur fagositik untuk manusia dan tikus dapat
dilihat pada tabel 1 (Casals-Pascual et.al 2006).
Cukup jelas bahwa mekanisme yang sama juga ada untuk
hilangnya eritrosit yang terinfeksi pada manusia dan tikus. Akan
tetapi, hilangnya eritrosit terinfeksi pada manusia dengan
parasitemia kurang dari 1% nampaknya tidak memberikan dampak
yang signifikan pada derajat anemia. Oleh karena itu, penghilangan
ini, dapat membuktikan lebih terkaitnya untuk onset anemia pada
individu yang menderita infeski akut, khususnya anak-anak dimana
17

parasitemia biasanya lebih besar dari 10% .(Casals-Pascual et.al


2006).

Tabel 1. Kenampakan patologis P. Falciparum dan anemia malaria pada


manusia dan tikus

(Price RN, et.al; 2001).

2). Kehilangan sel darah merah yang tidak terinfeksi


Selama infeksi malaria pada manusia, banyak sel darah merah
yang tidak terinfeksi hancur di limpa dan sangat mungkin di hati,
dan kerusakan sel-sel darah merah ini telah diidentifikasi sebagai
penyumbang utama anemia pada malaria (Price RN, et.al; 2001).
Model matematika dan observasi klinis menunjukkan bahwa sel
darah merah yang tidak terinfeksi 10 kali lebih banyak akan dihapus
dari sirkulasi untuk setiap eritrosit yang terinfeksi (Jakeman, 1999).
Walaupun hanya sedikit pengukuran langsung sel darah merah
yang bertahan yang telah dilakukan untuk infeksi pada manusia,
pengurangan sebagian usia eritrosit normal dan meningkatkanya
18

penghilangan eritrosit karena panas telah dilakukan pada pasien


malaria, dan konsisten dengan observasi ini (Looareesuwan, 1987).
Kegiatan dan jumlah makrofag juga meningkat selama infeksi
malaria pada manusia, dan karena itu dapat menyebabkan
peningkatan penghilangan sel yang tidak terinfeksi (Jenkins, et.al;
2006). Peningkatan penghilangan eritrosit yang tidak terinfeksi ini
tidak hanya disebabkan aktivasi makrofag limpa tetapi juga untuk
perubahan ekstrinsik dan intrinsik pada sel darah merah yang
meningkatkan keberadaannya dan fagositosis. Pertama, sel darah
merah yang tidak terinfeksi mengalami penurunan
deformabilitasyang menyebabkan peningkatan penghilangan sel
darah merah dalam limpa. Mekanisme yang bertanggung jawab atas
hilangnya deformabilitas ini belum sepenuhnya dipahami.
Peningkatan oksidasi dalam membrane eritrosit terinfeksi telah
terbukti pada anak-anak dengan malaria falciparum P berat, dan
inflamasi yang sedang berlangsung yang terkait dengan malaria akut
(proinflamasi cytokines), atau efek langsung produk parasit telah
terbukti menyebabkan hilangnya pembentukansel darah merah.
Menariknya, penurunan deformabilitas sel darah merah yang parah
juga merupakan prediktor yang kuat untuk kematian diukur pada
awal masuk Rumah Sakit, baik pada orang dewasa maupun anak-
anak dengan malaria berat. Kedua, pengendapan immunoglobulin
dan komplemen pada sel darah merah yang tidak terinfeksi dapat
meningkatkan serapan dengan mediasi reseptor oleh makrofag (Price
RN, et.al; 2001).
Produk parasit yang mungkin menjadi bagian dari
imunoglobulin-antigen kompleks diendapkan pada sel darah merah
yang tidak terinfeksi termasuk protein permukaan cincin P
falciparum 2 (RSP-2). Protein ini, yang diekspresikan secara singkat
setelah invasi merozoit sel darah merah, memediasi adhesi iRBCs ke
sel endotel (Douki JB, et.al; 2003).
19

RSP-2 juga disimpan pada sel darah merah yang tidak terinfeksi
dan opsonisasi dari bantalan RSP- 2- sel darah merah yang tidak
terinfeksi ini menyediakan mekanisme untuk menghilangkan sel
darah merah yang tidak terinfeksi. Memang tingginya tingkat
antibodi yang memfasilitasi fagositosis yang dimediasi pelengkap
dari sel yang mengekspresikan RSP-2 ditemukan dalam serum
kekebalan tubuh dari orang dewasa dan anak-anak dengan anemia
berat. Antigen ini juga ada pada permukaan erythroblasts dalam
sumsum tulang dari pasien yang terinfeksi P falciparum,
menunjukkan bahwa penghilangan atau kerusakan beredar atau
mengembangkan sel erythroidmelalui RSP-2 dan anti-RSP-2 dapat
memberikan kontribusi untuk perkembangan anemia malaria berat.
(Price RN, et.al; 2001).
c. Penekanan erythropoietic dan dyserythropoiesis
Eritropoiesis normal terganggu selama infeksi malaria. Pengamatan
yang paling awal mengenai eritropoiesis yang berkurang pada manusia
yang menderita malaria akut dibuat lebih dari 60tahun yang lalu dimana
reticulocytopenia diamati dalam infeksi malaria P vivax dan P
falciparum yang diikuti oleh retikulositosis setelah penghilangan parasit
(Vryonis, 2003).
Kemudian, ditunjukkan bahwa jumlah reticulocyte yang rendah
pada pasien dengan malaria di Thailand diikuti dengan penekanan
eritropoiesis. Bagian sumsum tulang yang diambil dari anak-anak
Gambia dengan anemia akut mengungkapkan bahwa meskipun
peningkatan cellularity tidak berbeda secara signifikan untuk jumlah
total erythroblasts yang diamati ketika dibandingkan dengan pasien
yang tidak terinfeksi, hal ini memberikan bukti untuk respon
erythroidyang ditekan. Anak-anak yang mengalamianemia kronis
(parasitemia <1%) memiliki kadar erythroid hyperplasia dan
dyserythropoiesis yang lebih tinggi . Dyserythropoiesis atau secara
morfologi dan / atau secara fungsional produksi sel darah merah
abnormal ditunjukkan oleh vacuolasi sitoplasma, stippling,fragmentasi,
20

jembatan intercytoplasmic, fragmentasi inti, dan multi nuclearitas.


(Vryonis, 2003).
Dalam penelitian yang lebih kecil dari 6 anak dengan penyakit
kronis, sebuah peningkatan proporsi erythroblasts polikromatik diamati
di fase G2 pembelahan. Pengobatan pasien dengan obat antimalaria
meningkatkan jumlah retikulosit, yang menunjukkan bahwa P.
falciparum sebagai penyebab dyserythropoiesis dan eritropoiesis tidak
efektif. (Bickley,2008)

Gambar 3. Pengaruh langsung dan tidak langsung parasit pada perkembangan


anemia malaria
(Vryonis, 2003).

Sebuah produk sampingan parasit dari pencernaan hemoglobin,


hemozoin, mungkin memiliki peran dalam terjadinya gangguan
erythroid melalui pengaruh pada fungsi monosit manusia. Hemozoin
mengurangi aktivitas oksidatif yang berlebihanpada manusia, mencegah
up-regulasi penanda aktivasi, dan juga merangsang sekresi
endoperoxides yang aktif secara biologis dari monosit, seperti 15 (S)-
hydroxyeicosatetraenoic (HETE) dan 4-hidroksi-nonenal (4-HNE)
melalui oksidasi lipid membran, yang dapat mempengaruhi
21

pertumbuhan erythroid. Disfungsi Makrofag juga bisa mengganggu


(Robbins, 2007).
Fungsi pulau erythroblastic dimana makrofag mendukung
diferensiasi terminal erythroblasts di sumsum tulang. Hemozoin dan
TNFα-juga memiliki efek aditif pada eritropoiesisin vitro, dan dalam
studi klinis makrofag yang mengandung hemozoin dan hemozoin
plasma dikaitkan dengan anemia dan penekanan retikulosit. Selain itu,
bagian sumsum tulang dari anak-anak yang meninggal karena malaria
berat menunjukkan hubungan yang signifikan antara jumlah hemozoin
(terletak diprekursor erythroid dan makrofag) dan proporsi selerythroid
yang abnormal. Temuan ini konsisten dengan efek penghambatan
langsung hemozoin pada eritropoiesis dan karena itu memerlukan
penyelidikan lebih lanjut. (Robbins, 2007).
d. Penekanan cytokine dalam erythropoiesis
Selama fase akut infeksi ada respon inflamasi yang kuat, yang
menghasilkan peningkatanTNFα danIFNγ. TNFα menghambat semua
tahapan eritropoiesis, dan IFNγ bekerja dengan TNFα untuk
menghambat pertumbuhandan diferensiasi erythroid dengan up-regulasi
ekspresi TRAIL, TWEAK, dan CD95L dalam perkembangan
erythroblasts. Sedangkan penyakit berat pada anak dikaitkan dengan
peningkatan kadar sitokin pro inflamasi dan anti-inflamasi, tingkat
keparahan anemia nampaknya tergantung pada tingkat TNFα yang
relatif terhadap regulatornya, anti-inflamasi sitokin IL-10 yang
potensial. Beberapa studi klinis telah menunjukkan bahwa rasio yang
rendah dari plasma IL-10/ TNFα terkait dengan anemia malaria berat
pada anak-anak. Selanjutnya, sejumlah polimorfisme dalam TNFα-
promotor manusia menunjukkan hubungan yang lebih besar dengan
anemia dibandingkan dengan malaria serebral. Oleh karena itu
dikemukakan bahwa pada manusia IL-10 dapat melindungi terhadap
penekanan sumsum tulang dan aktivitas erythrophagocyticyang di
induksi oleh TNFα danatau mengurangi rangsangan proinflamasi
lainnya. (Robbins, 2007).
22

Banyak sitokin pro inflamasi lain seperti, IL-12 IL-18, dan migrasi
faktor penghambat (MIF) juga telah terlibat dalam patogenesis anemia
pada malaria. Pada manusia, sekresi IL-12dan IL-18 dari makrofag
menginduksi produksi IFN dari pembunuh alami (NK), sel B, dan sel T.
Sementara MIFdiproduksi melalui sel T dan makrofag yang diaktifkan
dan menghambat aktivitas anti-inflamasi glukokortikoid. (Robbins,
2007).
IL-12 berada dalam tingkat yang lebih tinggi pada keadaan non-
lethal, dibandingkan dengan keadaan lethal,sitokin ini dapat menjadi
stimulator eritropoiesis. Sebaliknya, dengan peningkatan kadar yang
ditemukan selama infeksi, MIF telah terlihat menekan hematopoiesis.
(Robbins, 2007).
Sebuah produk parasit yang ditemukan dalam plasma selama
terjadi infeksi yang mungkin terlibat dalam efek sitokin proinflamasi
pada anemia malaria berat adalah jangkar glycophosphati dylinositol
(GPI) dari protein merozoit, MSP-1, MSP-2, dan MSP-4. GPIs
cenderung untuk memberikan kontribusi untuk anemia malaria karena
dapat menginduksi pelepasan TNFα- dari makrofag manusia yang dapat
berkontribusi terhadap patologi dari anemia malaria berat.Lebih khusus,
baru-baru ini telah diperlihatkan bahwa respon proinflamasi dari
monosit manusia adalah melalui interaksi dengan GPIsTLR2, dan untuk
TLR4 yang lebih rendah (Robbins, 2007).
Sebuah produk yang telah dibahas sebelumnya, hemozoin, juga
dapat lebi berat terkait dengan respon imun bawaan, dan dengan
demikian terkait pula dengan pelepasan proinflamasi sitokin. Pada
manusia, pigmen sintetik menginduksi ekspresi TNFα, yang telah
dikaitkan dengan kemampuan hemozoin untuk menginduksi
metaloproteinase MMP-9.. (Robbins, 2007).
Penurunan Hb dan penurunan berikutnya dalam tekanan oksigen
harus merangsang peningkatan kadar eritropoietin (Epo) pada pasien
dengan anemi malaria yang berat. Bukti klinis untuk peningkatan kadar
Epo yang tepat pada malaria agak kontradiktif. Studi pada orang
23

dewasa dari Thailand dan Sudan telah menunjukkan bahwa konsentrasi


Epo, meskipun dinaikkan, kurang tepat untuk derajat anemia. (Robbins,
2007).
e. Talasemia
Talasemia adalah gangguan produksi hemoglobin yang diturunkan,
pertama kali ditemukan secara bersamaan di Amerika Serikat dan Itali
antara tahun 1925 sampai 1927.Talasemia berasal dari bahasa Yunani,
yaitu thalasa yang artinya laut. Yang dimaksud dengan laut adalah Laut
Tengah, oleh karena penyakit ini pertama kali dikenal di daerah sekitar
Laut Tengah.( McPhee, 2011)
Talasemia merupakan penyakit genetik yang diturunkan secara
autosomal resesif berdasarkan hukum Mendel dari orang tua kepada
anaknya. Penyakit ini terjadi akibat kelainan sintesis hemoglobin
dimana terjadi pengurangan produksi satu atau lebih rantai globin yang
menyebabkan ketidakseimbangan produksi rantai globin.Pada
Talasemia Alfa terjadi pengurangan sintesis rantai alfa dan Talasemia
Beta terjadi pengurangan sintesis rantai beta. ( McPhee, 2011)
Penyakit ini meliputi gejala klinis yang paling ringan (heterozigot)
disebut Talasemia Minor atau Trait dan yang paling berat (homozigot)
disebut Talasemia Mayor. Bentuk heterozigot diturunkan salah satu
orang tua yang menderita Talasemia sedangkan bentuk homozigot
diturunkan kedua orang tua yang menderita Talasemia.Secara klinis
Talasemia dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: Talasemia Mayor,
Talasemia Minor dan Talasemia Intermedia. (McPhee, 2011)
1.) Patofisiologi talasemia
Ada beberapa jenis hemoglobin yang disesuaikan dengan
kebutuhan oksigen selama masa pertumbuhan, mulai embrio, fetus
sampai dewasa. Hemoglobin memiliki bentuk tetrametrik yang sama,
terdiri dari dua pasang rantai globin yang terikat dengan heme. Hem
terdiri dari zat besi (Fe) sedangkan globin suatu protein yang terdiri
dari rantai polipeptida. Sintesa globin dimulai pada awal kehidupan
masa embrio di dalam kandungan sampai 8 minggu usia kehamilan
24

dan hingga akhir kehamilan. Organ yang bertanggung jawab pada


periode ini adalah hati, limpa, dan sumsum tulang. ( McPhee, 2011)
Hemoglobin fetus dan dewasa memiliki rantai alfa (α) dan beta
(β) yang terdiri atas HbA dan α2β2; rantai δ yang terdiri atas HbA2
dan α2δ2; dan rantai γ yang terdiri dari HbF dan α2γ2. Pada embrio
rantai mirip α disebut z bersama rantai γ menjadi Hb Portland (ζ2γ2)
atau dengan rantai e menjadi Hb Gower (ζ2ε2), sedangkan rantai a
dan ε membentuk Hb Gower 2 (α2ε2). ( McPhee, 2011)
Pada Talasemia Beta, kelebihan rantai alfa mengendap pada
membran sel eritrosit dan merupakan prekursor yang menyebabkan
penghancuran eritrosit yang hebat. Eritrosit yang mencapai darah
tepi memiliki inclusion bodies yang menyebabkan penghancuran di
limpa dan oksidasi membran sel akibat pelepasan heme dari
denaturasi hemoglobin dan penumpukan besi pada eritrosit. Anemia
pada Talasemia Beta terjadi akibat hancurnya eritrosit dan umur
eritrosit yang pendek. Penimbunan eritrosit yang hancur di limpa
mengakibatkan terjadinya pembesaran limpa yang diikuti dengan
terperangkapnya leukosit dan trombosit sehingga menimbulkan
gambaran hipersplenisme. ( McPhee, 2011)
Beberapa gejala ini bisa hilang dengan transfusi yang dapat
menekan eritropoesis tetapi akan meningkatkan penimbunan besi.
Dalam tubuh besi terikat oleh transferin dan dalam perjalanan ke
jaringan besi segera diikat molekul dengan berat rendah. Bila
berjumlah banyak dapat menyebabkan kerusakan sel. Pada penderita
dengan kelebihan zat besi, penimbunan besi dapat ditemukan pada
semua jaringan dan sebagian besar di sel retikuloendotelial yang
relatif tidak merusak, miosit dan hepatosit yang bisa merusak.
Kerusakan tersebut disebabkan karena terbentuknya hidroksil radikal
bebas. ( McPhee, 2011)
Normalnya ikatan besi pada transferin mencegah terbentuknya
radikal bebas. Pada penderita dengan kelebihan besi, transferin
menjadi tersaturasi penuh dan fraksi besi yang tidak terikat transferin
25

bisa terdeteksi di dalam plasma. Hal ini menyebabkan terbentuknya


radikal bebas dan meningkatnya jumlah besi di jantung, hati, dan
kelenjar endokrin yang menyebabkan kerusakan dan gangguan
fungsi di organ-organ tersebut. ( McPhee, 2011)
Pada Talasemia Alfa, tetramer HbH cenderung mengendap
seiring dengan penuaan sel dan menghasilkan inclusion bodies.
Proses hemolitik merupakan gambaran utama kelainan ini. Hal ini
semakin berat karena HbH dan Bart’s adalah homotetramer yang
tidak mengalami perubahan allosterik yang diperlukan untuk
transport oksigen. ( McPhee, 2011)
Pada bentuk homozigot (--/--), tidak ada rantai alfa yang
diproduksi. Penderitanya memiliki Hb Bart’s yang tinggi dengan Hb
embrionik. Sebagian besar penderita lahir meninggal dengan tanda-
tanda hipoksia intrauterin. Pada bentuk heterozigot terjadi
ketidakseimbangan jumlah rantai tetapi penderita mampu bertahan.
Kelainan ini ditandai dengan adanya anemia hemolitik dengan
adaptasi terhadap anemia yang tidak baik karena HbH tidak bisa
berfungsi sebagai pembawa oksigen. ( McPhee, 2011)
Bayi dan anak yang menderita Talasemia menunjukkan gejala
klinis pucat, gangguan pertumbuhan dan perkembangan, penurunan
nafsu makan, jaundice, dan pembesaran organ (hati, limpa, jantung).
Pada anak yang lebih besar, dapat juga ditemukan adanya pubertas
yang terlambat. ( McPhee, 2011)
Gejala klinis berbeda pada kelompok anak yang mendapat
transfusi dengan yang tidak mendapat transfusi. Pada kelompok anak
yang mendapat transfusi, pertumbuhan dan perkembangan anak
biasanya normal, pembesaran limpa tidak ditemukan. Bila anak
mendapat terapi pengikat besi secara efektif, anak bisa mencapai
pubertas dan terus mencapai usia dewasa secara normal. Sebaliknya
bila terapi pengikat besi tidak adekuat, secara bertahap akan terjadi
penumpukan zat besi pada akhir dekade pertama. ( McPhee, 2011)
26

Pada kelompok anak yang tidak mendapat transfusi adekuat,


pertumbuhan dan perkembangan sangat terlambat. Pembesaran
limpa progresif sering memperburuk anemia dan kadang diikuti
trombositopenia. Biasanya penderita datang dengan kadar
hemoglobin berkisar 2 sampai 8 g/dL. Sering terjadi gangguan
perdarahan akibat trombositopenia dan kegagalan hati sebagai akibat
penimbunan zat besi. Bila penderita bisa mencapai pubertas akan
terjadi komplikasi akibat penimbunan zat besi. ( McPhee, 2011)
Prognosis kelompok anak yang tidak mendapat transfusi yang
adekuat sangat buruk. Tanpa transfusi anak akan meninggal pada
usia dua tahun. Bila berhasil mencapai pubertas anak akan
mengalami komplikasi akibat penimbunan zat besi sama halnya
dengan anak yang cukup mendapat transfusi tetapi kurang
mendapatkan terapi pengikat besi. ( McPhee, 2011)
Secara radiologis ditemukan gambaran penipisan dan
peningkatan trabekulasi tulang-tulang panjang termasuk jari-jari,
gambaran hair on end pada tulang tengkorak. Perluasan sumsum
tulang mengakibatkan deformitas tulang kepala disertai dengan
zigoma yang menonjol sehingga memberikan gambaran khas
mongoloid. ( McPhee, 2011)
Pada pemeriksaan hapusan darah tepi dapat ditemukan eritrosit
yang hipokromik dengan berbagai bentuk dan ukuran, beberapa
makrosit yang hipokromik, mikrosit, fragmentosit, basophilic
stippling dan eritrosit berinti, setelah splenektomi sel-sel ini akan
muncul dalam jumlah yang lebih banyak. Pada hitung retikulosit
hanya sedikit meningkat, jumlah leukosit dan trombosit masih
normal kecuali bila didapatkan hipersplenisme. ( McPhee, 2011)
Pemeriksaan sumsum tulang memperlihatkan peningkatan
sistem eritroid dengan banyak inklusi di prekursor eritrosit, dengan
pewarnaan metil-violet akan lebih memperlihatkan endapan globin.
Kadar HbF selalu meningkat dan terbagi di antara eritrosit. Pada
Talasemia Beta tidak didapatkan HbA, hanya HbF dan HbA2. Pada
27

Talasemia Alfa biasanya asimtomatis, didapatkan anemia


hipokromik ringan dengan penurunan MCH dan MCV yang
bermakna. Hasil Hb elektroforesis normal dan anak hanya bisa
didiagnosis dengan analisis DNA. ( McPhee, 2011)

Pemeriksaan laboratorium :
- Bilirubin indirek serum meninggi
- Urobilinogen urine dan feses positif kuat
- Bilirubin terkonjugasi urine positif
Manifestasi klinis:
- Warna kulit kuning pucat
- Warna urin : normal/gelap
- Warna feses normal/gelap (lebih banyak sterkobilin)
- Tidak ada pruritus
- Splenomegali (pada penyakit darah, malaria)

2. Unconjugated hepatic hyperbilirubinemia


Etiologi : kelainan kogenital (Gilbert syndrome, Crigler-Najar syndrome)
Patofisiologi: Hal ini terjadi karena pemindahan bilirubin indirek dari
darah ke sel-sel hepar atau konjugasi bilirubin indirek di dalam hepar
terganggu.(Sylvia, 2006)
a. Gangguan ambilan bilirubin
Ambilan bilirubin yang tak terkonjugasi terikat albumin oleh sel
hati dilakukan dengan memisahkan dan mengikatkan bilirubin
terhadap protein penerima. Terdapat beberapa obat yang berpengaruh
terhadap ambilan bilirubin diantaranya Asam fiavaspidik yang
digunakan dalam pengobatan infeksi cacing pita dapat menyebabkan
hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi, gangguan bersihan natrium.
Asam fiavaspidik dalam hati  berkompetisi dengan bilirubin 
untuk mengikat ligandin  peningkatan bilirubin indirek. (Price,
2006)
28

b. Crigler-Najjar syndrome tipe I


Penyakit ini merupakan kelainan autosom resesif yang disebabkan
mutasi gen pengkode enzim glucoronyl-transferase pada kromosom 2.
Akibat mutasi gen ini, terjadi gangguan pada konjugasi bilirubin.
Kelainan ini ditandai oleh jaundice yang parah dengan kadar bilirubin
melebihi 20 mg/dL, dan biasanya fatal dalam 15 bulan pertama.
(Sudoyo, 2009)
c. Crigler-Najjar syndrome tipe II
Penyakit ini juga merupakan kelainan yang disebabkan oleh mutasi
gen pengkode enzim glucoronyl-transferase. Namun pada Crigler-
Najjar syndrome tipe II, sebagian aktivitas enzim masi dipertahankan
sehingga perjalanan penyakitnya lebih ringan daripada yang tipe I.
Kadar bilirubin biasanya tidak melebihi 20 mg/dL. (Sudoyo, 2009)
d. Gilbert syndrome
Kelainan yang cukap prevalen ini juga disebabkan oleh mutasi
pada gen pengkode glucoronyl-transferase. Gilbert syndrome lebih
sering ditemukan pada laki-laki. Sekitar 30% dari fungsi enzim tersebut
dipertahankan sehingga kelainan ini tidak menimbulkan bahaya.
(Sudoyo, 2009)
e. Breast-milk jaundice
Diperkirakan, 2% bayi yang minum ASI mengalami peningkatan
kadar bilirubin pada hari ke-7 atau akhir minggu pertama dimana
ikterus neonatorum seharusnya mengalami penurunan. Konsentrasi
bilirubin indirek dapat mencapai kadar maksimal 10-30 mg/dL pada
minggu kedua dan ketiga. Bila pemberian ASI diteruskan, kadar
bilirubin menurun secara lambat namun tetap tinggi sampai minggu
ke3-10. Bila pemberian ASI dihentikan, kadar bilirubin menurun secara
cepat, mencapai kadar normal hanya dalam beberapa hari. Etiologi dari
breast-milk jaundice belum diketahui namun diduga karena:
meningkatnya sirkulasi bilirubin melalui siklus enterohepatik; kadar
asam lemak dan metabolit progesterone yang tinggi dalam ASI yang
29

bisa menghambat enzim glucoronyl transferase; terdapat glucoronidase


dalam ASI. (Sudoyo, 2009)

Pemeriksaan laboratorium :
- Bilirubin indirek serum meninggi
- Urobilinogen urine dan feses masih positif
- Bilirubin urine negatif
Manifestasi klinis:
- Warna kulit orange-kuning muda/tua
- Warna urin gelap
- Warna feses pucat (lebih sedikit sterkobilin)
- Hepatomegali + nyeri tekan (pada hepatitis akut)
- Splenomegali (pada sirosis hepatis)

3. Conjugated hepatic hyperbilirubinemia (Ikterus parenkhimatosa) :


Etiologi: virus hepatitis dan sirosis hepatis
Patofisiologi: Peradangan dari sel-sel hepar menyebabkan hepar
membengkak, menekan kholangiole sehingga permiabilitas dari saluran
empedu meningkat. Keutuhan saluran empedu terganggu karena nekrosis
dari sel-sel hepar. Hal ini menyebabkan bocornya bilirubin ke dalam
darah. Kemampuan hepar untuk mengkonjugasi berkurang karena functio
laesa dari sel-sel hepar.(Sylvia, 2006)
a. Hepatitis kolestatik
Hepatitis kolestatik adalah hepatitis yang menyebabkan kolestasis
intrahepatik, ditandai dengan hambatan luas pada duktus biliaris
sehingga ekskresi cairan empedu gagal. Pada keadaan ini, terjadi
peningkatan 3 enzim penanda kolestasis, yaitu fosfatase alkali (alkaline
phosphatase, ALP), 5’-nukleotidase (5NT), dan γ-
glutamiltranspeptidase (GGT). ALP dan 5’-NT terletak di kanalikuli
biliaris hepatosit, sedangkan GGT terdapat di reticulum endoplasma
dan sel epitel duktus biliaris. Kadar bilirubin yang tinggi, enzim
transaminase meninggi sedang (jarang melebihi 500 U/L), dan
30

peningkatan enzim penanda kolestasis menunjukkan adanya kolestasis.


Selanjutnya, diperlukan pemeriksaan USG, CT scan, dan MRI untuk
membedakan jenis kolestasis, apakah intra- atau ekstrahepatik.
Hepatitis kolestatik merupakan salah satu penyebab kolestasis
intrahepatik. (Ndraha, 2013)
Patofisiologi. Kolestasis disebabkan oleh obstruksi di dalam hati
(intrahepatik). Virus hepatitis akan menyebabkan blokade luas di
duktus-duktus kecil dalam empedu. Obstruksi tersebut menghambat
aliran keluar cairan empedu yang mengandung bilirubin, menyebabkan
lemak terakumulasi di dalam darah dan tidak terekskresi secara normal.
(Ndraha, 2013)

Pemeriksaan laboratorium :
a. Bilirubin indirek dan direk dalam serum meninggi
b. Urobilinogen urine dan feses masih positif
c. Bilirubin urine positif
Manifestasi klinis:
- Warna kulit orange-kuning muda/tua
- Warna urin gelap
- Warna feses pucat (lebih sedikit sterkobilin)
- Hepatomegali + nyeri tekan (pada hepatitis akut)
- Splenomegali (pada sirosis hepatis)

4. Conjugated posthepatic hyperbilirubinemia (Icterus obstructiva


extrahepatal):
Etiologi: sumbatan pada duktus hepatikus, duktus choledokus, ampula
Vateri oleh karsinoma, batu atau pankreatitis akut, karsinoa pancreas..
Patofisiologi: Bilirubin tidak dapat masuk ke intestinum karena sumbatan
tersebut sehingga urobilinogen tidak terbentuk (urobilinogen urine dan
feses negatif), bila sumbatannya total. Bilirubin masih dapat masuk ke
dalam intestin bila sumbatannya tidak total sehingga urobilinogen masih
terbentuk (urobilinogen urine dan feses positif).(Sylvia, 2006)
31

Sumbatan akan menyebabkan cairan empedu tertahan sehingga


tekanan dalam saluran empdeu ekstra dan intrahepatal bertambah,
permeabilitas bertambah, bilirubin bocor ke dalam darah. Selain itu
tekanan dalam saluran empedu intrahepatal yang bertambah akan menekan
sel-sel parenkhim hepar sehingga terjadi nekrosis dari sel-sel tersebut dan
menyebabkan bocornya bilirubin ke dalam darah.(Sylvia, 2006)
a. Atresia biliaris
Atresia biliaris atau progressive obliterative cholangiopathy
merupakan obliterasi atau hipoplasia satu komponen atau lebih dari
duktus biliaris akibat berhentinya perkembangan janin, dan
mengakibatkan jaundice yang persisten. Abnormalitas struktur anatomis
dari duktus biliaris bervariasi, namun yang paling sering didapatkan
(85% dari semua kasus atresia biliaris) adalah obliterasi dari seluruh
duktus biliaris ekstrahepatik distal dari porta hepatis. Pada pemeriksaan
dengan ultrasonografi (USG), tidak terlihat vesica fellea atau terlihat
vesica fellea yang berukuran sangat kecil (microgallbladder). Selain itu,
terdapat triangular cord (TC) sign yaitu masa fibrotik berbentuk cone
yang merupakan sisa ductus hepaticus yang terdapat di porta hepatis.
(Sudoyo, 2009)
b. Dubin-Johnson syndrome
Dubin-Johnson syndrome merupakan kelainan autosom resesif
dengan gejala hiperbilirubinemia direk pada masa anak-anak dan
dewasa. Hiperbilirubinemia disebabkan oleh mutasi pada gen yang
mengkode pembentukan MRP-2, protein yang terlibat dalam proses
sekresi bilirubin ke dalam cairan empedu. Pada bagian tengah hepatosit,
terdapat pigmen abnormal berwarna hitam yang berasal dari epinefrin.
(Sudoyo, 2009)
Pemeriksaan laboratorium :
a. Bilirubin direk serum sangat meninggi
b. Urobilinogen urine dan feses negatif pada yang total dan positif pada
yang partial
c. Bilirubin urine positif
32

Tabel 2. Gejala tiap fase ikterus


Gambaran Ikterus Ikterus hepatik Ikterus
prehepatik posthepatik
Warna kulit Kuning pucat Orange-Kuning Kuning hijau
Muda/tua muda
Warna urin Normal (gelap Gelap (B2) Gelap (B2)
oleh bilirubin)
Warna feses Normal/ gelap Pucat (lebih Spt dempul (tak
(banyak sedikit ada sterkobilin)
sterkobilin) sterkobilin)
Pruritus Tak ada Tak menetap Biasanya
menetap
Bilirubin serum Meningkat Meningkat Meningkat
B1
Bilirubin serum N Meningkat Meningkat
B2
Bilirubin urine - Meningkat Meningkat
Urobilinogen Sangat meningkat Meningkat Menurun
urine
(Price RN, et.al; 2001)

Manifestasi klinis:
- Warna kulit kuning-hijau muda/tua
- Warna urin gelap
- Warna feses dempul (tidak ada sterkobilin)
- Serangan kolik, disertai gigilan dingin, ikterus hilang timbul (pada
obstruksi batu empedu atau hepatokolangitis)
- Ikterus progresif tanpa gejala/tanda lain, atau dengan sakit pinggang (pada
keganasan di pancreas)
- Nyeri kolik bilier
33

DAFTAR PUSTAKA
Guyton. 2012. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Jakarta
Harrison. 2000. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Ed 13 Vol 4.
Pusat Penerbitan Universitas Gadjah Mada/RSUP dr. Sardjito,
Yogyakarta.
McPhee JS. 2011. Patofisiologi Penyakit Pengantar Menuju Kedokteran
Klinis Edisi 5. EGC. Jakarta.
Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit
Edisi 6 Vol 1. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Robbins, K. 2007. Buku Ajar Patologi. EGC. Jakarta
Sudoyo. 2009. Ilmu Penyakit Dalam. Interna Publishing. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai