Anda di halaman 1dari 10

PERAWATAN GIGI PADA PASIEN PENDERITA TBC

BAB I.

PENDAHULUAN

I.I. Latar Belakang1

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini.
Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 – 3 juta setiap tahun.
Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di
Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk.
Untuk saat ini, negara kita, Indonesia, masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus
TB setelah India dan China. Di Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu diantara
penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan
penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia.

Profesi dokter gigi tidak terlepas dari kemungkinan untuk berkontak secara langsung
ataupun tidak langsung dengan mikroorganisme dalam darah dan saliva pasien. Penyebaran
infeksi dapat terjadi secara inhalasi yaitu melalui proses pernafasan atau secara inokulasi atau
melalui transmisi mikroorganisme dari serum dan berbagai substansi lain yang telah terinfeksi.
Dilihat dari jumlah prevalensi penderita TB di Indonesia yang tinggi, tidak menutup
kemungkinan dokter gigi berperan dalam penyebaran TB, seperti penyebaran secara langsung
melalui tangan operator, alat-alat gigi yang tidak disterilkan, percikan darah, saliva, di mana
percikan tersebut dapat mengenai luka yang terdapat pada kulit atau mukosa mata atau terhirup
melalui pernapasan (Anggraeni, 2011). Oleh karena itu, seorang dokter gigi pun harus paham
mengenai seluk-beluk dari penyakit ini, mulai dari penatalaksanaan dental pasien hingga upaya
pencegahan penularan infeksi silang antara pasien dan dokter.
BAB II .

PEMBAHASAN

II.I Penularan Penyakit Tuberkulosis

Penularan penyakit tuberkulosis pada hakikatnya didasarkan pada proses penularan


mikroorganisme yang menyebabkannya, yakni Mycobacterium tuberculosis complex, bakteri
berbentuk batang yang di dalamnya mencakup bakteri M. tuberculoseae, varian Asia, varian
African I, varian African II, dan M. bovis yang mana secara ringkas, proses penularannya dapat
melalui tiga jalur yakni:

1. Inhalasi, yakni melalui aerosol (droplet nuclei) yang dikeluarkan oleh penderita melalui
batuk atau material tinja yang terhirup, kemudian masuk ke paru-paru
2. Inokulasi, yakni melalui kulit atau mukosa yang tidak utuh, masuk ke jaringan ikat
dibawahnya
3. Ingesti, yakni melalui saluran pencernaan, yaitu dari susu yang terkontaminasi

Pada kasus disebutkan bahwa pasien telah didiagnosa menderita penyakit Tuberkulosis Paru,
artinya bakteri M. tuberculosis telah berdiam di dalam paru-parunya sehingga bila dilihat dari
proses penularannya, maka penularan bakteri M. tuberculosis pada kasus terjadi melalui proses
inhalasi.

II.II Patogenesis Penyakit Tuberkulosis

Patogenesis tuberkulosis terbagi atas dua tahapan, yakni:

1. Tuberkulosis primer

Pada tuberkulosis primer, bakteri M. tuberculosis yang masuk melalui inhalasi menempel pada
saluran napas atau jaringan paru. Selanjutnya, masuknya bakteri ini direspon oleh neutrofil dan
dilanjutkan dengan makrofag. Bila makrofag tidak mampu membunuhnya, maka bakteri tersebut
akan menetap di jaringan paru dan akan berkembang biak di dalam sitoplasma makrofag. Bakteri
Mycobacterium tuberculosis kemudian akan membentuk suatu sarang pneumonik di jaringan
paru yang disebut sarang primer atau afek primer atau sarang fokus Ghon. Sarang primer ini
dapat timbul di bagian mana saja dalam paru. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan
saluran getah bening menuju hilus (limfangitis regional). Peradangan tersebut diikuti oleh
pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis
lokal dan limfadenitis regional dikenal sebagai kompleks primer (Ranke). Semua proses ini
memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi :

1. Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat


2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas
3. Serkomplikasi dan menyebar

2. Tuberkulosis pasca primer (sekunder)


Pada tuberkulosis pasca primer, kuman yang telah dormant pada tuberkulosis primer akan
muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa yang
dimulai dengan sarang dini yag berlokasi di region atas paru. Sarang dini ini mula-mula
berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10 minggu sarang ini menjadi tuberkel. Selanjutnya
sarang dini ini dapat menjadi:

1. Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.


2. Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan serbukan jaringan
fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras
3. Menimbulkan perkapuran. Sarang dini yang meluas sebagai granuloma berkembang
menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis,
menjadi lembek membentuk jaringan keju. Bila jaringan keju dibatukkan keluar akan
terjadilah kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding tipis, lama-lama dindingnya
menebal karena infiltrasi jaringan fibroblas dalam jumlah besar, sehingga menjadi kavitas
sklerotik (kronik). Terjadinya perkijuan dan kavitas adalah karena hidrolisis protein lipid
dan asam nukleat oleh enzim yang diproduksi oleh makrofag, dan proses yang
berlebihan antara sitokin dengan TNF-nya.

Secara singkat patogenesis penyakit tuberculosis dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

II.III Prosedur Diagnosa Kasus di Rongga Mulut4

Prosedur diagnosa kasus di rongga mulut terdiri atas empat tahap, yakni:

1. Melakukan anamnesa dan mencatat riwayat pasien

Pada kasus di dalam pemicu dari anamnesa dapat diperoleh data yakni berupa data rutin/identitas
pasien, keluhan utama, riwayat penyakit yang diderita, riwayat medik, dan kebiasaan pasien.

1. Melakukan pemeriksaan terhadap pasien dan pemeriksaan pendukung laboratorium


Pada kasus pemeriksaan yang dilakukan terhadap pasien adalah:

1. Pemeriksaan fisik, yakni meliputi pemeriksaan ekstra oral dan intra oral yang mana dari
pemeriksaan ini diperoleh data seperti yang tertera pada kasus.
2. Pemeriksaan penunjang. Pada kasus, pemeriksaan ini berfungsi untuk memastikan
diagnosa tuberkulosis di rongga mulut. Pemeriksaan yang diperlukan yakni berupa
pemeriksaan histopatologi yaitu biopsi, kultur dan pewarnaan Zeihl-Neilsen.
3. Menganalisa dan merumuskan masalah-masalah pasien kemudian diteruskan dengan
proses pengkajiannya dan selanjutnya membuat kesimpulan sehingga didapat hasil akhir
yang disebut dengan diagnose
4. Menentukan rencana pengelolaan, seterusnya dilakukan perawtan dan pengobatan dan
akhirnya edukasi atau tindak lanjutnya (penilaian resiko medis pasien)

II.IV Kelainan pada Mulut dan Patogenesisnya5

Kelainan pada mulut yang terdapat pada kasus terdiri atas beberapa jenis kelainan dengan analisa
sebagai berikut.

1. Cutix orificialis

Diagnosa ini ditegakkan berdasarkan gambaran klinis pasien yakni pada kedua sudut mulut
terdapat fisur yang dikelilingi daerah eritematus yang meluas, menonjol, dan bergranula, hal ini
sesuai dengan gejala klinis dari penyakit ini yakni biasanya penyakit ini mengenai bibir atau
pinggiran mulut yang berbentuk ulser granulasi yang dangkal (beda dari lesi akibat anemia),
yang berasal dari tuberkel-tuberkel kecil yang pecah, adanya rasa sakit dan daerah eritematous.

1. Adanya manifestasi anemia pada rongga mulut

Hal ini ditandai dengan gambaran berupa mukosa rogga mulut yang pucat, baik pada pipi,
gingival, dan palatum. Mukosa pucat adalah akibat dari penurunan kadar zat besi dalam darah
yang dapat menyebabkan distribusi sel darah merah berkurang termasuk ke rongga mulut.

1. Gingivitis tuberkulosis

Diagnosa ini ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang terdapat pada rongga mulut pasien,
yakni adanya inflamasi pada gingival serta didukung oleh oral hiegine pasien buruk yang juga
ikut memicu terjadinya gingivitis. Tuberkulosis gingivitis biasanya tampak difus, hiperemi,
nodular atau proliferasi dari papila mukosa gingiva

1. Glossitis tuberkulosis

Diagnosa penyakit ini juga ditegakkan berdasarkan gambaran klinis pada rongga mulut pasien
yang mana pada kasus disebutkan bahwa lidah pasien licin, pucat, membesar (makroglossia),
serta papilla mengalami atropi akibat penumpukan basil pada lidah yang diperparah dengan
kondisi anemianya.
1. Lesi ulseratif

Pada kasus disebutkan bahwa bagian lateral lidah kanan bertentangan dengan gigi 46 terdapat
ulser dengan diameter 4 mm, permukaan berwarna kekuningan dan terasa sakit hal ini sesuai
dengan ciri klinis lesi ulseraif yakni biasanya sakit, berwarna kuning keabu-abuan, keras, dan
berbatas tegas. Proses terjadinya lesi ulseratif pada lidah pasien dapat terjadi karena dua
kemunngkinan, pertama, akibat dari trauma, misalnya akibat dari gigi 46 yang memiliki cusp
yang tajam atau sudah tinggal radix. Kedua, ulser dapat terjadi sebagai manifestasi dari penyakit
tuberkulosis yang diderita pasien yang mana bakteri TB dibawa melalui aliran darah dan
menumpuk di sub mukosa sehingga menimbulkan ulserasi pada mukosa rongga mulutnya. Selain
itu, bakteri TB dapat pula dibawa oleh saliva yang mengandung sputum ke permukaan mukosa
rongga mulut yang tidak utuh atau terluka.

II.II Pemeriksaan Penunjang1,4

Pada kasus ini, pemeriksaan penunjang diperlukan untuk memperkuat diagnosis yang mana
pemeriksaan tesebut dapat berupa:

1. Biopsi

Pemeriksaan ini dilakukan dengan mengambil sedikit jaringan pada lesi oral pasien untuk
mengidentifikasi basil tuberkel dari biopsi spesimen jaringan. Dari pemeriksaan ini kita dapat
mengetahui ada atau tidaknya infeksi Mycobacterium tuberculosis serta tingkat keparahan pada
lesi yang terdapat di rongga mulut jika terdapat keganasan pada lesi tersebut.

2. Kultur

Pemeriksaan ini dilakukan dengan mengkultur bakteri yang ada pada mulut. Tujuannya adalah
untuk menunjukan gambaran lesi inflamasi granulomatus dengan sel-sel epitel, giant cel tipe
langhans, limfosit dan terjadi pengkejuan di bagian tengah serta untuk mengetahui jenis
antibiotik yang tepat untuk membunuh bakteri tersebut.

3. Pewarnaan dengan Ziehl-Nielsen

Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahu keberadaan bakteri TB yang mana hasilnya dapat
dilihat pada gambar di samping. Pada gambar telihat warna bakteri TB berwarna lebih keunguan
dibandingkan daerah sekitarnya.

II.III Penatalaksanaan Tuberkulosis 1,4

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4
atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan. Berikut
dijelaskan mengenai resimen pengobatan tuberkulosis saat ini.

Resimen pengobatan saat ini


Kate- Resimen pengobatan
Pasien TB
gori Fase awal Fase lanjutan
1 TBP sputum BTA 2 SHRZ (EHRZ)2 SHRZ 6 HE4 HR
positif baru bentuk (EHRZ)
TBP berat, TB ekstra- 4 H3R3
paru (berat), TBP 2 SHRZ (EHRZ)
BTA-negatif
2 RelapsKegagalan 2 SHZE/ 1 HRZE2 SHZE/ 5 H3R3E35 HRE
1 HRZE
pengobatan

Kembali ke default
3 TBP sputum BTA- 2 HRZ atau 2 H3R3Z32 6 HE2 HR/4H
negatifTB ekstra-paru HRZ atau 2 H3R3Z3
2 H3R3/4H
(menengah berat) 2 HRZ atau 2 H3R3Z3
4 Kasus kronis (masih Tidak dapat diaplikasikan (mempertimbangkan
BTA-positif setelah menggunakan obat-obat barisan kedua)
pengobatan ulang
yang disupervisi)

Ket: TB: Tuberkulosis TBP: Tuberkulosis Paru, S: Streptomisin, H: Isoniazid, R:Ripamfisin, Z:


Pirazinamide, E: Etambutol. Cara membaca resimen; misalnya 2 SHRZ (EHRZ)/ 4 H3R3
menunjukkan sebuah resimen untuk 2 bulan di antara obat-obatan etambutol, isoniazid,
ripamfisin, dan pirazinamide yang diberikan setiap hari yang diikuti dengan 4 bulan isoniazid
dan ripamfisin yang dibeeikan tiap hari atau 3 kali seminggu.
II.IV Penanggulangan Dental (Pencabutan Gigi)6

Pada kasus, pasien termasuk ke dalam kelompok risiko tinggi yang mana hal ini dapat diketahui
dengan adanya gejala aktif yakni demam yang tidak terlalu tinggi sejak 2 minggu terakhir
terutama pada sore hari, berkeringat pada malam hari, dan disertai dengan adanya manifestasi
tuberkulosis di rongga mulut. Oleh karena itu, prosedur perawatan dental (termasuk pencabutan)
pada pasien harus ditunda karena risiko penularan yang tinggi.

Tindakan dental pada pasien hanya dilakukan apabila terdapat keadaan emergensi yang mana
dalam melakukan tindakan tersebut dokter gigi tetap harus melakukannya sesuai prosedur
universal precaution (masker, sarung tangan, lensa pelindung) dan sebelumnya harus
dikonsultasikan kepada dokter yang merawatnya.

II.V Penatalaksanaan Kelainan di Rongga Mulut6

Penatalaksanaan kelainan rongga mulut pada pasien pada dasarnya terdiri atas tiga hal, yakni
edukasi, instruksi, dan terapi. Berikut penjelasan mengenai ketiga prosedur penatalaksanaan
tersebut.

1. Edukasi, yakni menjelaskan pada pasien bahwa penyakit mulut yang dideritanya adalah
dampak dari penyakit TB paru dan anemia yang dideritanya serta keadaan OH nya yang
buruk
2. Instruksi, yakni instruksikan pasien untuk menjaga oral hygiene-nya, konsumsi makanan
yang bernutrisi terutama yang memiliki kandungan zat besi yang tinggi, serta kurangi
kebiasaan merokok.
3. Terapi, yakni dengan melakukan penskelingan supragingiva, penyingkiran sumber iritasi,
serta melakukan perawatan paliatif lokal (pemberian obat-obat simtomatik) seperti
analgesik, anastetik topikal, dan antiseptik (klorheksidin 0,12% 2x sehari maksimal
selama 2 minggu)

II.VI Prosedur Infection Control 6,7

 Prosedur pencegahan infeksi ada beberapa tahap :

1. Evaluasi pasien

Harus diketahui riwayat kesehatan yang lengkap dari tiap-tiap pasien dan perbaharui pada tiap
tahap kunjungan berikutnya. Hal ini dimaksudkan agar dapat diketahui adanya infeksi silang
yang kemungkinan terjadi pada praktek dokter gigi. Harus diperhatikan mengenai adanya
penyakit infeksi yang berbahaya.

1. Perlindungan diri Dalam hal ini termasuk :

 Kebersihan diri
 Pemakaian baju praktek
 Proteksi misalnya sarung tangan, kacamata, masker, dan rubber dam

1. Imunisasi

Dokter gigi dan mereka yang bekerja dalam bidang kedokteran gigi harus memiliki data
imunisasi yang baru. Di Inggris vaksin hepatitis B, tuberkulosis dan rubella (bagi dokter gigi
wanita) dianjurkan untuk mereka yang bekerja dalam bidang kedokteran gigi sebagai tambahan
dari imunisasi rutin seperti tetanus, poliomyelitis dan difteri. Di USA dianjurkan imunisasi
terhadap semua penyakit ini kecuali TBC dan influenza.

1. Sterilisasi dan desinfeksi

Sterilisasi adalah proses yang dapat membunuh semua jenis mikroorganisme sedang desinfeksi
adalah proses yang membunuh atau menghilangkan mikroorganisme kecuali spora. Idealnya
semua bentuk vegetatif mikroorganisme mati, namun dengan terjadinya pengurangan jumlah
mikroorganisme patogen sampai pada tingkat yang tidak membahayakan masih dapat diterima.

1. Laboratorium yang asepsis


2. Pembuangan sampah
BAB III

PENUTUP

SIMPULAN:

 Penularan penyakit Tuberkulosis dapat terjadi melalui tiga jalur, yakni inhalasi, inokulasi,
dan ingesti. Sedangkan pathogenesis terjadinya penyakit Tuberkulosis dapat memalui dua
tahap yakni, Tuberkulosis primer dan sekunder.
 Prosedur untuk mendiagnosa kelainan di rongga mulut yakni memalui anamnesa,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
 Kelainan rongga mulut dapat terjadi sebagai bentuk manifestasi dari penyakit sistemik
yang diderita oleh seorang pasien.
 Pemeriksaan penunjang perlu dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis pada
kasus ini, seperti biopsi, kultur, serta pewarnaan Ziehl-Nielsen.
 Bila pada seorang pasien menderita dua penyakit sistemik sekaligus seperti Tuberkulosis
dan anemia, maka pengobatan harus dilakukan secara bersamaan degan prosedur yang
adekuat.
 Penanggulangan dental pada pasien dengan risiko tinggi harus ditunda kecuali dalam
keadaan emergensi.
 Penatalaksanaan kelainan pada rongga mulut terdiri atas edukasi, instruksi, dan terapi
yang mana ketiga hal tersebut harus dilakukan secara adekuat.
 Dalam melakukan perawatan terhadap pasien Tuberkulosis, seorang dokter gigi harus
melakukan prosedur infection control untuk mencegah terjadinya penularan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan dokter paru Indonesia. Tuberkulosis: pedoman diagnosis dan


penatalaksanaan di Indonesia. public_html%20-%20Klik%20PDPI-
040805/konsensus/tb/tb.html. 14 Maret 2011.
2. W.B. Saunders Company. Kamus saku kedokteran Dorland. Edisi 25. Alih bahasa. dr.
Poppy Kumala, dr. Sugiarto Komala, dr. Alexander H. Santoso, dr. Johannes Rubijanto
Sulaiman, dr. Yuliasari Rienita. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1998.
3. Hasibuan S, Penuntun prosedur diagnosa penyakit mulut. Medan: Bina teknik press,
2006.
4. Amin Z, Bahar A. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed V. Jakarta: Internapublishing,
2009: 2230-48.
5. Langlais R.P., Miller C.S. Atlas berwarna:Kelainan rongga mulut yang lazim. Alih
bahasa: Budi Susetyo. Jakarta: Hipokrates, 2000: 94.
6. Little J W. Dental management of the medically compromised patient. Edisi 7. Missouri:
Mosby Elsevier, 2008: 115-22.
7. Sayidi A. Tindakan Pencegahan Penularan Penyakit Infeksi Pada Praktek Dokter Gigi.
http://transporter.blogsome.com/category/kesehatan/. 5 April 2011.

Tentan

Anda mungkin juga menyukai