Anda di halaman 1dari 45

.

ASKEP THALASEMIA
I
Posted on Maret 27, 2008 by harnawatiaj

1.Pengertian

a.Thalasemia adalah penyakit anemia hemolitik herediter yang diturunkan dari kedua
orang tua kepada anak-anaknya secara resesif. Menurut Hukum Mandel
b.Thalasemia adalah sekelompok penyakit atau keadaan herediter dimana produksi satu
atau lebih dari satu jenis rantai polipeptida terganggu.
c.Thalasemia adalah suatu gangguan darah yang diturunkan ditandai oleh defesiensi
produksi rantai  atau () pada haemoglobin. (Suryadi, 2001)
d.Thalasemia merupakan penyakit anemia hemofilia dimana terjadi kerusakan sel darah
merah di dalam pembuluh darah sehingga umur eritrosit pendek (kurang dari 100 hari).
(Ngastiyah, 1997).
Jadi Thalasemia adalah penyakit anemia hemolitik dimana terjadi kerusakan sel darah
merah (eritrosit) sehingga umur eritrosit pendek (kurang dari 100 hari), yang disebabkan
oleh defesiensi produksi satu atau lebih dari satu jenis rantai  dan , yang diturunkan
dari kedua orang tua kepada anak-anaknya secara resesif.

2.Etiologi

Faktor genetik yaitu perkawinan antara 2 heterozigot (carier) yang


menghasilkan keturunan Thalasemia (homozigot).

3.Fisiologi

a.Sel darah merah

Sel darah merah (eritrosit) membawa hemoglobin ke dalam sirkulasi. Sel ini berbentuk
lempengan bikonkaf dan dibentuk di sum-sum tulang. Leukosit berada di dalam sirkulasi
selama kurang lebih 120 hari. Hitung rata-rata normal sel darah merah adalah 5,4 juta /ml
pada pria dan 4,8 juta/ml pada wanita. Setiap sel darah merah manusia memiliki diameter
sekitar 7,5 m dan tebal 2 m.
Pembentukan sel darah merah (eritro poresis) mengalami kendali umpan balik.
Pembentukan ini dihambat oleh meningkatnya kadar sel darah merah dalam sirkulasi
yang berada di atas nilai normal dan dirangsang oleh keadaan anemia. Pembentukan sel
darah merah juga dirangsang oleh hipoksia.

b.Haemoglobin
Haemoglobin adalah pigmen merah yang membawa oksigen dalam sel darah merah,
suatu protein yang mempunyai berat molekul 64.450.
Sintesis haemoglobin dimulai dalam pro eritroblas dan kemudian dilanjutkan sedikit
dalam stadium retikulosit, karena ketika retikulosit meninggalkan sumsum tulang dan
masuk ke dalam aliran darah, maka retikulosit tetap membentuk sedikit mungkin
haemoglobin selama beberapa hari berikutnya.
Tahap dasar kimiawi pembentukan haemoglobin. Pertama, suksinil KoA, yang dibentuk
dalam siklus krebs berikatan dengan glisin untuk membentuk molekul pirol. Kemudian,
empat pirol bergabung untuk membentuk protopor firin IX yang kemudian bergabung
dengan besi untuk membentuk molekul heme. Akhirnya, setiap molekul heme bergabung
dengan rantai polipeptida panjang yang disebut globin, yang disintetis oleh ribosom,
membentuk suatu sub unit hemoglobulin yang disebut rantai hemoglobin.
Terdapat beberapa variasi kecil pada rantai sub unit hemoglobin yang berbeda,
bergantung pada susunan asam amino di bagian polipeptida. Tipe-tipe rantai itu disebut
rantai alfa, rantai beta, rantai gamma, dan rantai delta. Bentuk hemoglobin yang paling
umum pada orang dewasam, yaitu hemoglobin A, merupakan kombinasi dari dua rantai
alfa dan dua rantai beta.
I.2 Suksinil-KoA + 2 glisin
II.4 pirol  protoporfirin Ix
III.protoporfirin IX + Fe++  Heme
IV.Heme + Polipeptida  Rantai hemoglobin ( atau )
V.2 rantai  + 2 rantai   hemoglobin A

c.Katabolisme hemoglobin
Hemoglobin yang dilepaskan dari sel sewaktu sel darah merah pecah, akan segera
difagosit oleh sel-sel makrofag di hampir seluruh tubuh, terutama di hati (sel-sel kupffer),
limpa dan sumsum tulang. Selama beberapa jam atau beberapa hari sesudahnya,
makrofag akan melepaskan besi yang didapat dari hemoglobin, yang masuk kembali ke
dalam darah dan diangkut oleh transferin menuju sumsum tulang untuk membentu sel
darah merah baru, atau menuju hati dari jaringan lain untuk disimpan dalam bentuk
faritin. Bagian porfirin dari molekul hemoglobin diubah oleh sel-sel makrofag menjadi
bilirubin yang disekresikan hati ke dalam empedu. (Guyton & Hall, 1997).

4.Patofisiologi

Pada keadaan normal disintetis hemoglobin A (adult : A1) yang terdiri dari 2 rantai alfa
dan dua rantai beta. Kadarnya mencapai lebih kurang 95 % dsari seluruh hemoglobin.
Sisanya terdiri dari hemoglobin A2 yang mempunyai 2 rantai alfa dari 2 rantai delta
sedangkan kadarnya tidak lebih dari 2 % pada keadaan normal. Haemoglobin F (foetal)
setelah lahir Foetus senantiasa menurun dan pada usia 6 bulan mencapai kadar seperti
orang dewasa, yaitu tidak lebih dari 4%, pada keadaan normal. Hemoglobin F terdiri dari
2 rantai alfa dan 2 rantai gamma. Pada thalasemia, satu atau lebih dari satu rantai globin
kurang diproduksi sehingga terdapat kelebihan rantai globin karena tidak ada pasangan
dalam proses pembentukan hemoglobin normal orang dewawa (HbA). Kelebihan rantai
globin yang tidak terpakai akan mengendap pada dinding eritrosit. Keadaan ini
menyebabkan eritropoesis tidak efektif dan eritrosit memberikan gambaran anemia
hipokrom, mikrositer.
Pada Thalasemia beta produksi rantai beta terganggu, mengakibatkan kadar Hb menurun
sedangkan produksi HbA2 dan atau HbF tidak terganggu karena tidak memerlukan rantai
beta dan justru memproduksi lebih banyak dari pada keadaan normal, mungkin sebagai
usaha kompensasi.
Eritropoesis didalam susunan tulang sangat giat, dapat mencapai 5 kali lipat dari nilai
normal, dan juga serupa apabila ada eritropoesis ekstra medular hati dan limfa. Destruksi
eritrosit dan prekusornya dalam sumsum tulang adalah luas (eritropoesis tidak efektif)
dan masa hidup eritrosit memendek dan hemolisis. (Soeparman, dkk, 1996)

5.Gambaran klinis

Secara klinis Thalasemia dapat dibagi dalam beberapa tingkatan sesuai beratnya gejala
klinis : mayor, intermedia dan minor atau troit (pembawa sifat). Batas diantara tingkatan
tersebut sering tidak jelas.
a.Thalasemia mayor (Thalasemia homozigot)
Anemia berat menjadi nyata pada umur 3 – 6 bulan setelah lahir dan tidak dapat hidup
tanpa ditransfusi.
Pembesaran hati dan limpa terjadi karena penghancuran sel darah merah berlebihan,
haemopoesis ekstra modular dan kelebihan beban besi. Limpa yang membesar
meningkatkan kebutuhan darah dengan menambah penghancuran sel darah merah dan
pemusatan (pooling) dan dengan menyebabkan pertambahan volume plasma.
Perubahan pada tulang karena hiperaktivitas sumsum merah berupa deformitas dan
fraktur spontan, terutama kasus yang tidak atau kurang mendapat transfusi darah.
Deformitas tulang, disamping mengakibatkan muka mongoloid, dapat menyebabkan
pertumbuhan berlebihan tulang prontal dan zigomatin serta maksila. Pertumbuhan gigi
biasanya buruk.
Gejala lain yang tampak ialah anak lemah, pucat, perkembanga fisik tidak sesuai umur,
berat badan kurang, perut membuncit. Jika pasien tidak sering mendapat transfusi darah
kulit menjadi kelabu serupa dengan besi akibat penimbunan besi dalam jaringan kulit.
b.Thalasemia intermedia
Keadaan klinisnya lebih baik dan gejala lebih ringan dari pada Thalasemia mayor, anemia
sedang (hemoglobin 7 – 10,0 g/dl)
Gejala deformitas tulang, hepatomegali dan splenomegali, eritropoesis ekstra medular
dan gambaran kelebihan beban besi nampak pada masa dewasa.
c.Thalasemia minor atau troit ( pembawa sifat)
Umumnya tidak dijumpai gejala klinis yang khas, ditandai oleh anemia mikrositin,
bentuk heterozigot tetapi tanpa anemia atau anemia ringan.

6.Pemeriksaan diagnostik

a.Pemeriksaan laboratorium
Pada hapusan darah topi di dapatkan gambaran hipokrom mikrositik, anisositosis,
polklilositosis dan adanya sel target (fragmentasi dan banyak sel normoblas).
Kadar besi dalam serum (SI) meninggi dan daya ikat serum terhadap besi (IBC) menjadi
rendah dan dapat mencapai nol
Elektroforesis hemoglobin memperlihatkan tingginya HbF lebih dari 30%, kadang
ditemukan juga hemoglobin patologik. Di Indonesia kira-kira 45% pasien Thalasemia
juga mempunyai HbE maupun HbS.
Kadar bilirubin dalam serum meningkat, SGOT dan SGPT dapat meningkat karena
kerusakan parankim hati oleh hemosiderosis.
Penyelidikan sintesis alfa/beta terhadap refikulosit sirkulasi memperlihatkan peningkatan
nyata ratio alfa/beta yakni berkurangnya atau tidak adanya sintetis rantai beta.
b.Pemeriksaan radiologis
Gambaran radiologis tulang akan memperlihatkan medula yang labor, korteks tipis dan
trabekula kasar. Tulang tengkorak memperlihatkan “hair-on-end” yang disebabkan
perluasan sumsum tulang ke dalam tulang korteks.

7.Penatalaksanaan

a.Transfusi darah berupa sel darah merah (SDM) sampai kadar Hb 11 g/dl. Jumlah SDM
yang diberikan sebaiknya 10 – 20 ml/kg BB.
b.Asam folat teratur (misalnya 5 mg perhari), jika diit buruk
c.Pemberian cheleting agents (desferal) secara teratur membentuk mengurangi
hemosiderosis. Obat diberikan secara intravena atau subkutan, dengan bantuan pompa
kecil, 2 g dengan setiap unit darah transfusi.
d.Vitamin C, 200 mg setiap, meningkatan ekskresi besi dihasilkan oleh Desferioksamin..
e.Splenektomi mungkin dibutuhkan untuk menurunkan kebutuhan darah. Ini ditunda
sampai pasien berumur di atas 6 tahun karena resiko infeksi.
f.Terapi endokrin diberikan baik sebagai pengganti ataupun untuk merangsang hipofise
jika pubertas terlambat.
g.Pada sedikit kasus transplantsi sumsum tulang telah dilaksanakan pada umur 1 atau 2
tahun dari saudara kandung dengan HlA cocok (HlA – Matched Sibling). Pada saat ini
keberhasilan hanya mencapai 30% kasus. (Soeparman, dkk 1996 dan Hoffbrand, 1996)

8.Komplikasi

Akibat anemia yang berat dan lama, sering terjadi gagal jantung. Transfusi darah yang
berulang-ulang dari proses hemolisis menyebabkan kadar besi dalam darah tinggi,
sehingga tertimbun dalam berbagai jaringan tubuh seperti hepar, limpa, kulit, jantung dan
lain-lain. Hal ini dapat mengakibatkan gangguan fungsi alat tersebut (hemokromotosis).
Limpa yang besar mudah ruptur akibat trauma yang ringan, kematian terutama
disebabkan oleh infeksi dan gagal jantung.

9.Prognosis

Thalasemia homozigot umumnya meninggal pada usia muda dan jarang mencapai usia
dekade ke-3, walaupun digunakan antibiotik untuk mencegah infeksi dan pemberian
chaleting agents untuk mengurangi hemosiderosis (harganya pun mahal, pada umumnya
tidak terjangkau oleh penduduk negara berkembang).
Thalasemia tumor trait dan Thalasemia beta HbE yang umumnya mempunyai prognosis
baik dan dapat hidup seperti biasa.

10.Pencegahan

a.Pencegahan primer :
Penyuluhan sebelum perkawinan (marriage counselling) untuk mencegah perkawinan
diantara pasien Thalasemia agar tidak mendapatkan keturunan yang homozigot.
Perkawinan antara 2 hetarozigot (carrier) menghasilkan keturunan : 25 % Thalasemia
(homozigot), 50 % carrier (heterozigot) dan 25 normal.
b.Pencegahan sekunder
Pencegahan kelahiran bagi homozigot dari pasangan suami istri dengan Thalasemia
heterozigot salah satu jalan keluar adalah inseminasi buatan dengan sperma berasal dari
donor yang bebas dan Thalasemia troit. Kelahiran kasus homozigot terhindari, tetapi 50
% dari anak yang lahir adalah carrier, sedangkan 50% lainnya normal.
Diagnosis prenatal melalui pemeriksaan DNA cairan amnion merupakan suatu kemajuan
dan digunakan untuk mendiagnosis kasus homozigot intra-uterin sehingga dapat
dipertimbangkan tindakan abortus provokotus (Soeparman dkk, 1996).

Sumber:
1.Abdoerrachman M. H, dkk (1998), Buku Kuliah I Ilmu Kesehatan Anak, Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FKUI, Jakarta.
2.Doenges, Marilynn E, (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, edisi 3, EGC, Jakarta.
3.Ngastiyah, (1997), Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta.
4.Suriadi, Rita Yuliani, (2001), Asuhan Keperawatan Pada Anak, edisi I, CV. Sagung
Solo, Jakarta.
5.Guyton, Arthur C, (2000), Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edisi 9, EGC, Jakarta.
6.Soeparman, Sarwono, W, (1996), Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, FKUI, Jakarta.
7.Hoffbrand. A.V & Petit, J.E, (1996), Kapita Selekta Haematologi, edisi ke 2, EGC,
Jakarta.
8.Depkes, (1999), Indonesia Sehat 2010, Visi Baru, Misi, Kebijakan dan Strategi
Pengembangan Kesehatan, Jakarta.
9.Sacharin. M, (1996), Prinsip Keperawatan Pediatrik, edisi 2, EGC, Jakarta.

DIarsipkan di bawah: 1. ASKEP ZONE


Rabu, 2009 Maret 11
ASUHAN KEPERAWATAN THALASEMIA
I. PENDAHULUAN
A. Pembentukan Sistem Hematopoesis dalam Embrio
Pada masa embrio, periode pembentukan sel darah merah dibedakan dalam 3 periode,
yaitu:
1. Periode mesoblastik
Sel darah dibuat dari jaringan mesenkim. Mula-mula sel tersebut dibentuk dalam pulau-
pulau darah (blood islands) dari yolk sac. Dalam tahap selanjutnya system hematopoesis
dibentuk dalam jaringan mesoblastik. Dari pulau-pulau darah tersebut dibentuk sel darah
primitive pertama yang kemudian akan menjadi eritroblas granulosit dan megakariosit.
Masa embrio sebesar 2,25 mm, pulau-pulau darah tersebut masih ditemukan, sedangkan
pada embrio sebesar 5 mm sudah tidak tampak lagi. Pembentukan darah intravaskulus
dalam yolk sac dapat dilihat pda embrio sebesar 20 mm dan menghilang pada embrio
umur 9 minggu.
2. Periode hepatik
Pada periode ini terjadi pada embrio sebesar 5-7 mm. Sel darah dibuat oleh jaringan
mesenkim yang banyak ditemukan dala jaringan hati. Tampak sel eritroblas yang
definitif, sel leukosit dan megakariosit. Sel granulosit ini bertambah terus sampai bulan
keempat kehidupan embrio. Dalam limpa dibentuk eritropoesis dan leukopoesis tetapi
hanya sampai bulan kelima kehidupan fetus. Limpa terutama membentuk sistim limfosit.
Timus membentuk limfosit dan juga sedikit mielosit dan eritroblas.
3. Periode mieloid
Dimulai sejak embrio berumur 5 bulan. Mula-mula sel eritropoetik terutama dibuat dalam
hati sedangkan sel leukosit dalam sumsum tulang. Pada perkembangan selanjutnya,
pembuatan sel darah diambil alih oleh sumsum tulang dan hepar tidak berfungsi membuat
darah lagi. Sel mesenkim menjadi berkurang, tetapi tetap ada dalam sumsum tulang, hati,
limpa, kelenjar getah bening dan dinding usus. Secar umum sel ini dikenal sebagai sistem
retikuloendotelial.
B. Hemoglobin
Di dalam sumsum tulang juga dibentuk protein. Hemoglobin, suatu bahan penting dalam
eritrosit dibentuk dalam sumsum tulang. Dibentuk dari hem dan globin. Hem terdiri dari
4 struktur pirol dengan atom Fe di tengahnya, sedangkan globin terdiri dari 2 pasang
rantai polipeptida.
Jenis hemoglobin normal yang ditemukan pada manusia ialah HbA (Hemoglobin Adult)
yang kadarnya kira-kira 98%, HbF (Hemoglobin Foetus) yang kadarnya tidak lebih dari
2% pada anak berumur lebih dari 1 tahun dan kadar HbA2 yang kadarnya tidak lebih dari
3%. Pada bayi baru lahir kadar HbF masih sangat tinggi yaitu kira-kira 90%.
Susunan hemoglobin
Molekul hemoglobin terdiri dari hem dan globin. Globin merupakan protein yang terdiri
dari 2 pasang rantai polipeptida (tentramer).
Rantai polipeptida HbA terdiri dari 2 rantai α dan 2 rantai ß. HbF terdiri dari 2 rantai dan
2 rantai α dan 2 rantai ]. HbA2 terdiri dari 2 rantai α dan 2 rantai ð. Oleh karena itu jenis
hemoglobin disimbolkan sebagai berikut: HbA = α 2 ß 2; HbF = α 2 ] 2; dan HbA2 = α 2
ð 2.
Rantai α mempunyai 141 asam amino sedangkan rantai ß dan ð mempunyai 146 asam
amino. Perbedaan antar keempat rantai tersebut terletak pada susunan asam aminonya.
Pembentukan keempat rantai tersebut diatur oleh DNA masing-masing dalam kromosom,
namun pembentukannya terjadi dalam ribosom.
Katabolisme hemoglobin
Hem dibentuk dalam semua sel tubuh dan bukan saja merupakan bagian penting dari
hemoglobin, tetapi juga merupakan bagian dari sitokrom dan enzim pernafasan yang
penting. Persenyawaannya terdiri dari cincin porfirin dengan atom Fe di tengahnya.
Cincin porfirin dibentuk oleh 4 pirol yang saling berikatan. Setiap pirol dibentuk oleh
asam suksinat dan glisin yang bersatu membentuk ð amino levulinic acid. Dua molekul ð
amino levulinic acid bersenyawa membentuk porfobilinogen. Empat molekul
porfobilinogen akhirnya membentuk ikatan porfirin (protoporfirin IX) dan setelah
mengikat Fe++ terbentuklah hem. Peristiwa ini terjadi dalam mitokondria.
Waktu sel darah merah menua, sel ini menjadi kaku dan rapuh, akhirnya pecah (120 hari).
Hemoglobin difagositosis terutama di limpa, hati dan sumsum tulang. Kemudian
direduksi menjadi globin dan hem, globin masuk kembali ke dalam sumber asam amino.
Besi dibebaskan dari hem dan sebagian besar diangkut oleh protein plasma transferin ke
sumsum tulang untuk pembentukan sel darah merah baru. Sisa besi disimpan dalam hati
dan jaringan tuubh lainnya dalam bentuk feritin dan hemosiderin yang akan digunakan
kembali. Sisa hem direduksi menjadi karbon monoksida (CO) dan biliverdin. CO
diangkut dalam bentuk karboksihemoglobin dan dikeluarkan melalui paru-paru.
Biliverdin direduksi menjadi bilirubin bebas, yang secara perlahan-lahan dikeluarkan ke
dalam plasma, dimana bilirubin bergabung dengan albumin plasma kemudian diangkut ke
dalam sel-sel hati untuk diekskresi ke dalam kanalikuli empedu.

II. THALASEMIA
A. Pengertian
Thalasemia adalah sekelompok penyakit keturunan yang merupakan akibat dari
ketidakseimbangan pembuatan salah satu dari keempat rantai asam amino yang
membentuk hemoglobin (medicastore, 2004).
Sindrom thalasemia adalah sekelompok penyakit atau keadaan herediter dimana produksi
satu atau lebih dari satu jenis rantai polipeptida terganggu (Kosasih, 2001).
Thalasemia merupakan penyakit anemia hemolitik herediter yang diturunkan secara
resesif, menurut hukum mendel.
Pada tahun 1925, diagnosa penyakit ini pertama kali diumumkan oleh Thomas Cooley
(Cooley’anemia) yang di dapat diantara keluarga keturunan italia yang bermukim di
USA. Kata thalassemia berasal dari bahasa yunani yang berarti laut.
B. Penyebab
Ketidakseimbangan dalam rantai protein globin alfa dan beta, yang diperlukan dalam
pembentukan hemoglobin, disebabkan oleh sebuah gen cacat yang diturunkan secara
resesif dari kedua orang tua.
Thalasemia termasuk dalam anemia hemolitik, dimana umur eritrosit menjadi lebih
pendek (normal 100-120 hari). Umur eritrosit ada yang 6 minggu, 8 minggu bahkan pada
kasus yang berat umur eritosit bisa hanya 3 minggu.
Pada talasemia, letak salah satu asam amino rantai polipeptida berbeda urutannya atau
ditukar dengan jenis asam amino lainnya.
Thalasemia mayor
C. Klasifikasi
Secara molekuler, talasemia dibedakan atas:
1. Talasemia alfa (gangguan pembentukan rantai alfa)
2. Talasemia beta ( gangguan pembentukan rantai beta)
3. Talasemia beta-delta (gangguan pembentukan rantai beta dan delta)
4. talasemia delta (gangguan pembentukan rantai delta).
Secara kinis, talasemia dibagi dalam 2 golongan, yaitu:
1. Talasemia mayor (bentuk homozigot), memiliki 2 gen cacat, memberikan gejala klinis
yang jelas.
2. Talasemia minor, dimana seseorang memiliki 1 gen cacat dan biasanya tidak
memberikan gejala klinis.

D. Insiden
Talasemia beta tersebar luas di daerah mediterania seperti Itali, Yunani, Afrika Utara,
Timur Tengah, India Selatan, Srilangka sampai kawasan asia tenggara. Frekuensi
talasemia beta di asia tenggara adalah antara 3-9&. Di dapat pula pada negro Amerika,
daerah-daerah tertentu di Italia dan negara-negara mediterania frekuensi carrier
thalasemia beta dapat mencapai 15-20%. Di Thailand 20% penduduknya mempunyai satu
atau jenis lain thalasemia alfa. Di Indonesia belum jelas, di duga sekitar 3-5% sama
seperti Malasia dan Singapura.
Di Indonesia, diperkirakan jumlah pembawa sifat thalasemia sekitar 5-6% dari jumlah
populasi. Palembang; 10%, Makassar; 7,8%, Ambon; 5,8%, Jawa; 3-4%, Sumatera Utara;
1-1,5%
E. Patofisiologi
Mengenai dasar kelainan pada thalasemia berlaku secara umum yaitu kelainan thalasemia
alfa disebabkan oleh delesi gen (terhapus karenakecelakaan gen) yang mengatur produksi
tetramer globin, sedangkan pada thalasemia beta karena adanya mutasi gen tersebut.

Pada thalasemia beta produksi rantai beta terganggu, mengakibatkan kadar Hb menurun
sedangkan produksi HbA2 dan atau HbF tidak terganggun karena tidak memerlukan
rantai beta justru memproduksi lebih banyak dari pada keadaan normal sebagai usaha
kompensasi. Kelebihan rantai globin yang tidak terpakai karena tidak ada pasangannya
akan mengendap pada dinding eritrosit dan menyebabkan eritropoesis tidak efektif dan
eritrosit memberi gambaran anemia hipokrom dan mikrositer.
Eritropoesis dalam sumsum tulang sangat gesit, dapat mencapai 5 kali lipat dari nilai
normal. Destruksi eritrosit dan prekursornya dalam sumsum tulang adalah luas dan masa
hidup eritrosit memendek serta didapat pula tanda-tanda anemia hemolitik ringan.
Thalasemia dan hemoglobinopati adalah contoh khas untuk penyakit/kelainan yang
bedasarkan defek/kelainan hanya satu gen.

F. Manifestasi Klinik
Semua thalasemia memiliki gejala yang mirip tetapi beratnya bervariasi. Sebagian besar
mengalami anemia ringan.
Pada talasemia mayor, terjadi anemia berat tipe mikrositik dengan pembesaran pada hati
dan limpa. Muka mongoloid, pertumbuhan badan kurang sempurna (pendek), perubahan
pada tulang karena hiperaktifitas sumsum merah berupa deformitas dan fraktur spontan
(terutama tulang panjang). Dapat pula mengakibatkan pertumbuhan berlebihan tulang
frontal, zigomatik dan maksilaris. Pertumbuhan gigi biasanya buruk. IQ kurang baik
apabila tidak mendapat tranfusi darah secara teratur dan menaikan kadar Hb. Anemia
biasanya mulai muncul pada usia 3 bulan dan jelas pada usia 2 tahun.
Gejala lain pada penderita thalassemia adalah jantung mudah berdebar-debar. Hal ini
karena tugas hemoglobin membawa oksigen ke seluruhtubuh. Pada thalassemia, karena
oksigen yang dibawa hemoglobin kurang, maka jantung juga akan berusaha bekerja lebih
keras, sehingga jantung penderita akan mudah berdebar-debar. Lama kelamaan, jantung
akan bekerja lebih keras, sehingga cepat lelah. Akibatnya terjadi lemah jantung. "Limpa
penderita juga bisa menjadi besar, karena penghancuran darah merah terjadi di sana."
Selain itu, sumsum tulang juga bekerja lebih keras, karena berusaha mengkompensir
kekurangan hemoglobin. Akibatnya, tulang menjadi tipis dan rapuh. Jika kerusakan
tulang terjadi pada tulang muka, misalnya, pada tulang hidung, maka bentuk muka pun
akan berubah. Batang hidung menjadi hilang/melesak ke dalam (facies cooley). "Ini
merupakan salah satu tanda khas penderita thalassemia."
G. Prognosis
Thalasemia beta homozigot umumnya meninggal pada usia muda dan jarang mencapai
usia dekade ke-3, walaupun digunakan antibiotik untuk mencegah infeksi dan pemberian
chelating agent untuk mengurangi hemosiderosis (harga mahal). Di negara maju dengan
fasilitas tranfusi yang cukup dan perawatan dengan chelating agents yang baik, usia dapat
mencapai dekade ke-5 dan kualitas hidup yang lebih baik.
Jika dikemudian hari transplantasi sumsum tulang dapat diterapkan maka prognosisnya
akan menjadi lebih baik.
H. Komplikasi
Pada talasemia minor, memiliki gejala ringan dan hanya menjadi pembawa sifat.
Sedangkan pada thalasemia mayor, tidak dapat membentuk hemoglobin yang cukup
sehingga harus mendapatkan tranfusi darah seumur hidup. Ironisnya, transfusi darah pun
bukan tanpa risiko. "Risikonya terjadi pemindahan penyakit dari darah donor ke
penerima, misalnya, penyakit Hepatitis B, Hepatitis C, atau HIV. Reaksi transfusi juga
bisa membuat penderita menggigil dan panas.
Yang lebih berbahaya, karena memerlukan transfusi darah seumur hidup, maka anak bisa
menderita kelebihan zat besi karena transfusi yang terus menerus tadi. Akibatnya, terjadi
deposit zat besi. "Karena jumlahnya yang berlebih, maka zat besi ini akhirnya
ditempatkan di mana-mana." Misalnya, di kulit yang mengakibatkan kulit penderita
menjadi hitam. Deposit zat besi juga bisa merembet ke jantung, hati, ginjal, paru, dan alat
kelamin sekunder, sehingga terjadi gangguan fungsi organ. Misalnya, tak bisa menstruasi
pada anak perempuan karena ovariumnya terganggu. Jika mengenai kelenjar ginjal, maka
anak akan menderita diabetes atau kencing manis. Tumpukan zat besi juga bisa terjadi di
lever yang bisa mengakibatkan kematian. "Jadi, ironisnya, penderita diselamatkan oleh
darah tetapi dibunuh oleh darah juga.
I. Penatalaksanaan
Pemberian tranfusi darah berupa sel darah merah diberikan jika kadar Hb telah rendah
(kurang dari 6 g%) atau bila anak mengeluh tidak mau makan dan lemah sampai kadar
Hb sekitar 11 g/dl. Kadar setinggi ini akan mengurangi kegiatan hemopoesis yang
berlebihan dalam sumsum tulang dan juga mengurangi absorsi Fe dari traktus digestivus.
Sebaiknya darah tranfusi tersimpan kurang dari 7 hari dan mengandung leukosit
serendah-rendahnya.
Untuk mengeluarkan besi dari jaringan tubuh diberikan iron chelating agent, yaitu
Desferal secara intramuskular atau intravena. Splenektomi dilakukan pada anak yang
lebih tua dari 2 tahun, sebelum di dapatkan tanda hiperplenisme atau hemosiderosis.
Sesudah splenektomi, biasanya frekuensi tranfusi menjadi berkurang. Pemberian multi
vitamin tetapi kontra indikasi terhadap preparat besi.
J. Pemeriksaan Penunjang
Pada talasemia mayor:
Darah tepi di dapatkan gambaran hipokrom mikrositik, anisositosis, poikilositosis dan
aanya sel target; jumlah retikulosit meningkat serta adanya sel seri eritrosit muda
(normoblas). Hb rendah, resistensi osmotik patologis. Nilai eritrosit rata-rata (MC),
volume eritrosit rata-rata (VER/MCV), hemoglobin eritrosit rata-rata (HER/MCH) dan
konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata (KHER/MCMC) menurun. Jumlah leukosit
normal atau meningkat. Kadar besi dalam serum normal atau meningkat. Kadar bilirubin
dalam serum meningkat. SGOT dan SGPT dapat meningkat karena kerusakan parenkim
hati oleh hemosiderosis.
Pada thalasemia minor:
Kadar Hb bervariasi. Gambaran darah tepi dapat menyerupai thalasemia mayor atau
hanya sebagian. Nilai VER dan HER biasanya menurun, sedangkan KHER biasanya
normal. Resistensi osmotik meningkat.
Pemeriksaan lebih maju adalah analisa DNA, DNA probing, gene blotting dan
pemeriksaan PCR (polymerase Chain Reaction).
Gambaran radiologis tulang akan memperlihatkan medula yang lebar, korteks tipis dan
trabekula kasar. Tulang tengkorak memperlihatkan diploe dan pada anak besar kadang-
kdang terlihat brush appearance (menyerupai rambut berdiri potongan pendek). Fraktur
kompresi vertebra dap[at terjadi. Tulang iga melebar terutama pada bagian artikulasi
dengan processus transversus.

DAFTAR PUSTAKA

Aman, Adi Kusuma. 2003. Klasifikasi etiologi dan aspek laboratorik pada anemi
hematolik. Digitized by USU digital library. Diakses 25 Maret 2007)

Doenges, Marilynn E., Moorhouse, Mary Frances & Geissler, Alice C. 2000. Rencana
Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan
Pasien. Jakarta: EGC.
Kosasih, E.N. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi ketiga. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.

Mansjoer, Arif dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga. Jilid 1. Jakarta:
Media Aesculapius.

Price, Sylvia A & Lorraine M Wilson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Buku 1. Edisi 4. Jakarta: EGC.

Smeltzer, Suzanne C. & Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah
Brunner & Suddarth. Edisi 8. Volume 2. Jakarta: EGC.

Staf Pengajar IKA FK-UI. 2002. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 1. Jakarta:
Bagian Ilmu Kesehatan Anak.

Wong, Donna L. 2004. Pedoman Klinis Keperawtan Pediatrik. Edisi 4. Jakarta: EGC.

---------(2004). Apotik Online dan Media Informasi Obat-Penyakit.


(medicastore.com.2004, diakses 25 Maret 2007).
THALASEMIA

A. PENGERTIAN
Thalasemia adalah suatu gangguan darah yang diturunkan yang ditandai oleh defisiensi
produksi rantai globin pada hemoglobin.

Macam – macam Thalasemia :


1. Thalasemia beta
Merupakan anemia yang sering dijumpai yang diakibatkan oleh defek yang diturunkan
dalam sintesis rantai beta hemoglobin.
Thalasemia beta meliputi:
a. Thalasemia beta mayor
Bentuk homozigot merupakan anemia hipokrom mikrositik yang berat dengan hemolisis
di dalam sumsum tulang dimulai pada tahun pertama kehidupan.Kedua orang tua
merupakan pembawa “ciri”. Gejala – gejala bersifat sekunder akibat anemia dan meliputi
pucat, wajah yang karakteristik akibat pelebaran tulang tabular pada tabular pada
kranium, ikterus dengan derajat yang bervariasi, dan hepatosplenomegali.
b. Thalasemia Intermedia dan minor
Pada bentuk heterozigot, dapat dijumpai tanda – tanda anemia ringan dan splenomegali.
Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan kadar Hb bervariasi, normal agak rendah atau
meningkat (polisitemia). Bilirubin dalam serum meningkat, kadar bilirubin sedikit
meningkat.
2. Thalasemia alpa
Merupakan thalasemia dengan defisiensi pada rantai a

B. ETIOLOGI
Faktor genetik
C. PATOFISIOLOGI
Hemoglobin paska kelahiran yang normal terdiri dari dua rantai alpa dan beta
polipeptide. Dalam beta thalasemia ada penurunan sebagian atau keseluruhan dalam
proses sintesis molekul hemoglobin rantai beta. Konsekuensinya adanya peningkatan
compensatori dalam proses pensintesisan rantai alpa dan produksi rantai gamma tetap
aktif, dan menyebabkan ketidaksempurnaan formasi hemoglobin. Polipeptid yang tidak
seimbang ini sangat tidak stabil, mudah terpisah dan merusak sel darah merah yang dapat
menyebabkan anemia yang parah. Untuk menanggulangi proses hemolitik, sel darah
merah dibentuk dalam jumlah yang banyak, atau setidaknya bone marrow ditekan dengan
terapi transfusi. Kelebihan fe dari penambahan RBCs dalam transfusi serta kerusakan
yang cepat dari sel defectif, disimpan dalam berbagai organ (hemosiderosis).

Pathway
Hemoglobin perinatal
(HbA)
rantai rantai
thalasemia ……… defisiensi sintesa rantai

sintesa rantai a

kerusakan pembentukan hemoglobinn

hemolisis

anemia berat

pembentukan eritrosit dan oleh sumsum tulang dan suplai dari transfusi

hemolisis suplemen RBCs

fe meningkat

hemosiderosis

Thalasemia

Menstimulasi
eritropoesis

Hiperplasia sel darah merah hemapoesis


sumsum tulang rusak ekstramedula

Perubahan hemolisis splenomegali


skeletal limfadenopati

Anemia hemosiderosis hemokromatosis

Maturasi kulit kecoklatan fibrosis


Seksual dan
Pertumbuhan
terlambat
jantung liver kandung pancreas limpa
empedu

gagal sirosis kolelitiasis diabetes splenomegali


jantung

D. MANIFESTASI KLINIS
Bayi baru lahir dengan thalasemia beta mayor tidak anemis. Gejala awal pucat mulanya
tidak jelas, biasanya menjadi lebih berat dalam tahun pertama kehidupan dan pada kasus
yang berat terjadi beberapa minggu pada setelah lahir. Bila penyakit ini tidak ditangani
dengan baik, tumbuh kembang masa kehidupan anak akan terhambat. Anak tidak nafsu
makan, diare, kehilangan lemak tubuh dan dapat disertai demam berulang akibat infeksi.
Anemia berat dan lama biasanya menyebabkan pembesaran jantung.
Terdapat hepatosplenomegali. Ikterus ringan mungkin ada. Terjadi perubahan pada tulang
yang menetap, yaitu terjadinya bentuk muka mongoloid akibat system eritropoesis yang
hiperaktif. Adanya penipisan korteks tulang panjang, tangan dan kaki dapat menimbulkan
fraktur patologis. Penyimpangan pertumbuhan akibat anemia dan kekurangan gizi
menyebabkan perawakan pendek. Kadang-kadang ditemukan epistaksis, pigmentasi kulit,
koreng pada tungkai, dan batu empedu. Pasien menjadi peka terhadap infeksi terutama
bila limpanya telah diangkat sebelum usia 5 tahun dan mudah mengalami septisemia
yang dapat mengakibatkan kematian. Dapat timbul pensitopenia akibat hipersplenisme.
Hemosiderosis terjadi pada kelenjar endokrin (keterlambatan dan gangguan
perkembangan sifat seks sekunder), pancreas (diabetes), hati (sirosis), otot jantung
(aritmia, gangguan hantaran, gagal jantung), dan pericardium (perikerditis).
Secara umum, tanda dan gejala yang dapat dilihat antara lain:
1. Letargi
2. Pucat
3. Kelemahan
4. Anoreksia
5. Sesak nafas
6. Tebalnya tulang kranial
7. Pembesaran limpa
8. Menipisnya tulang kartilago

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Studi hematologi : terdapat perubahan – perubahan pada sel darah merah, yaitu
mikrositosis, hipokromia, anosositosis, poikilositosis, sel target, eritrosit yang immature,
penurunan hemoglobin dan hematrokrit.
 Elektroforesis hemoglobin : peningkatan hemoglobin
 Pada thalasemia beta mayor ditemukan sumsum tulang hiperaktif terutama seri
eritrosit. Hasil foto rontgen meliputi perubahan pada tulang akibat hiperplasia sumsum
yang berlebihan. Perubahan meliputi pelebaran medulla, penipisan korteks, dan
trabekulasi yang lebih kasar.
 Analisis DNA, DNA probing, gone blotting dan pemeriksaan PCR (Polymerase Chain
Reaction) merupakan jenis pemeriksaan yang lebih maju.

F. PENATALAKSAAN
1. Transfusi sel darah merah (SDM) sampai kadar Hb sekitar 11 g/dl. Pemberian sel darah
merah sebaiknya 10 – 20 ml/kg berat badan.
2. Pemberian chelating agents (Desferal) secara intravena atau subkutan. Desferiprone
merupakan sediaan dalam bentuk peroral. Namun manfaatnya lebih rendah dari desferal
dan memberikan bahaya fibrosis hati.
3. Tindakan splenektomi perlu dipertimbangkan terutama bila ada tanda – tanda
hipersplenisme atau kebutuhan transfusi meningkat atau karena sangat besarnya limpa.
4. Transplantasi sumsum tulang biasa dilakukan pada thalasemia beta mayor.

G. PENGKAJIAN
1. Pengkajian Fisik
 Melakukan pemeriksaan fisik.
 Kaji riwayat kesehatan, terutama yang berkaitan dengan anemia dan riwayat penyakit
tersebut dalam keluarga.
 Observasi gejala penyakit anemia.
2. Pengkajian Umum
 Pertumbuhan yang terhambat
 Anemia kronik.
 Kematangan seksual yang tertunda.
3. Krisis Vaso-Occlusive
 Sakit yang dirasakan
 Gejala yang berkaitan dengan ischemia dan daerah yang berhubungan.
- Ekstremitas: kulit tangan dan kaki yang mengelupas disertai rasa sakit yang menjalar.
- Abdomen : sakit yang sangat sehingga dapat dilakukan tindakan pembedahan
- Cerebrum : stroke, gangguan penglihatan.
- Pinggang : gejalanya seperti pada penyakit paru-paru basah.
- Liver : obstruksi jaundise, koma hepatikum.
- Ginjal : hematuria.
Efek dari krisis vaso-occclusive kronis adalah:
 Hati: cardiomegali, murmur sistolik
 Paru-paru: gangguan fungsi paru-paru, mudah terinfeksi.
 Ginjal: ketidakmampuan memecah senyawa urin, gagal ginjal.
 Genital: terasa sakit, tegang.
 Liver: hepatomegali, sirosis.
 Mata: ketidaknormalan lensa yang mengakibatkan gangguan penglihatan, kadang
menyebabkan terganggunya lapisan retina dan dapat menyebabkan kebutaan.
 Ekstremitas: perubahan tulang-tulang terutama bisa membuat bungkuk, mudah
terjangkit virus salmonela osteomyelitis.

H. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko tinggi injuri berhubungan dengan hemoglobin abnormal, penurunan kadar
oksigen , dehidrasi.
2. Nyeri berhubungan dengan anoxia membran (vaso occlusive krisis)
3. Perubahan proses dalam keluarga berhubungan dengan dampak penyakit anak pada
fungsi keluarga; resiko penyembuhan yang lama pada anak.

I. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Resiko tinggi injuri berhubungan dengan ketidaknormalan hemoglobin, penurunan
oksigen, dehidrasi.
Tujuan:
a. Jaga agar pasien mendapat oksigen yang cukup
 Intervensi keperawatan:
Ukur tekanan untuk meminimalkan komplikasi berkaitan dengan eksersi fisik dan stres
emosional
Rasional: menghindari penambahan oksigen yang dibutuhkan
- Jangan sampai terjadi infeksi
- Jauhkan dari lingkungan yang beroksigen rendah.
 Hasil yang diharapkan:
Hindarkan anak dari situasi yang dapat menyebabkan kekurangan oksigen dalam otak.

b. Jaga agar anak tidak mengalami dehidasi


 Intervensi keperawatan.
1) Observasi cairan infus sesuai anjuran (150ml/kg) dan kebutuhan minimum cairan
anak; infus.
Rasional: agar kebutuhan cairan ank dapat terpenuhi.
2) Meningkatkan jumlah cairan infus diatas kebutuhan minimum ketika ada latihan fisik
atau stress dan selam krisis.
Rasional: agar tercukupi kebutuhan cairan melalui infus.
3) Beri inforamasi tertulis pada orang tua berkaitan dengan kebutuhan cairan yang
spesifik.
Rasional: untuk mendorong complience.
4) Dorong anak untuk banyak minum
Rasional: untuk mendorong complience.
5) Beri informasi pada keluarga tentang tanda – tanda dehidrasi
Rasional: untuk menghindari penundaan terapi pemberian cairan.
6) Pentingnya penekanan akan pentingnnya menghindari panas
Rasional: menghindari penyebab kehilangan cairan.
 Hasil yang diharapkan:
Anak banyak minum dan jumlah cairan terpenuhi sehingga tidak terjadi dehidarsi.
c. Bebas dari infeksi
 Intervensi keperawatan
1) Tekankan pentingnya pemberian nutrisi; imunisasi yang rutin, termasuk vaksin
pneumococal dan meningococal; perlindungan dari sumber – sumber infeksi yang
diketahui; pengawasan kesehatan secara berkala.
2) Laporkan setiap tanda infeksi pada yang bertanggung jawab dengan segera.
Rasional: agar tidak terjadi keterlambatan dalam penanganan.
3) Beri terapi antibiotika
Rasional: untuk mencegah dan merawat infeksi.
 Hasil yang diharapkan:
Anak terbebas dari infeksi.
d. Menurunnya resiko yang berhubungan dengan efek pembedahan.
 Intervensi keperawatan
1) Jelaskan pentingnya transfusi darah
Rasional: untuk meningkatkan konsentrasi Hb A
2) Jaga anak agar tidak dehidrasi
3) Bujuk anak agar tidak tegang.
Rasional: Kecemasan dapat meningkatkan kebutuhan oksigen.
4) Beri anlgesik
Rasional: agar anak merasa nyaman dan menurunkan respon cemas.
5) Mencegah kegiatan yang tidak perlu
Rasional: untuk mencegah penambahan kebutuhan oksigen.
6) Jaga bersihan jalan nafas postoperasi
Rasional: untuk mencegah infeksi
7) Lakukan latihan ROM pasif
Rasional: untuk memacu sirkulasi.
8) Kolaborasi untuk pemberian oksigen
Rasional: untuk menambah kadar hemoglobin.
9) Obsevasi tanda – tanda infeksi.
Rasional: agar dapat cepat ditangani.
 Hasil yang diharapkan:
Ketika anak dioperasi tidak mengalami krisis.

2. Nyeri berhubungan dengan anoksia membran (krisis vaso-occlusive)


 Tujuan:
Agar terhindar dari rasa sakit atau setidaknya rasa sakit tidak terlalu menyakitkan bagi si
anak
 Intervensi keperawatan:
1) Jadwalkan medikasi untuk pencegahan secara terus – menerus meskipun tidak
dibutuhkan.
Rasional: untuk mencegah sakit.
2) Kenali macam – macam analgetik termasuk opioid dan jadwal medikasi mungkin
diperlukan.
Rasional: untuk mengetahui sejauh mana rasa sakit dapat diterima.
3) Yakinkan si anak dan keluarga bahwa analgetik termasuk opioid, secara medis
diperlukan dan mungkin dibutuhkan dalam dosis yang tinggi.
Rasional: karena rasa sakit yang berlebihan bisa saja terjadi karena sugesti mereka.
4) Beri stimulus panas pada area yang dimaksud karena area yang sakit
5) Hindari pengompresan dengan air dingin
Rasional: karena dapat meningkatkan vasokonstriksi
 Hasil yang diharapkan:
Agar terhindar dari rasa sakit atau setidaknya rasa sakit tidak terlalu menyakitkan bagi si
anak.
3. Perubahan proses dalam keluarga berhubungan dengan dampak penyakit anak terhadap
fungsi keluarga; resiko penyembuhan yang lama pada anak.
Tujuan:
a. Agar mendapatkan pemahaman tentang penyakit tersebut
 Intervensi keperawatan:
1) Ajari keluarga dan anak yang lebih tua tentang karakteristik dari pengukuran –
pengukuran.
Rasional: untuk meminimalkan komplikasi.
2) Tekankan akan pentingnya menginformasikan perkembangan kesehatan, penyakit si
anak.
Rasional: untuk mendapatkan hasil kemajuan dari perawatan yang tepat.
3) Jelaskan tanda – tanda adanya peningkatan krisis terutama demam, pucat dan
gangguan pernafasan.
Rasional: untuk menghindari keterlambatan perawatan.
4) Berikan gambaran tentang penyakit keturunan dan berikan pendidikan kesehatan pada
keluargatentang genetik keluarga mereka.
Rasional: agar keluarga tahu apa yang harus dilakukan.
5) Tempatkan orang tua sebagai pengawas untuk anak mereka.
Rasional: agar mendapatkan perawatan yang terbaik.
 Hasil yang diharapkan:
Anak dan keluarga dapat benar – benar mengetahui tentang penyakit si anak secara
etiologi dan terapi – terapinya.
b. Agar menerima dorongan yang cukup.
 Intervensi keperawatan:
1) Mengacu pada organisasi yang terpercaya.
Rasional: Untuk mendukung proses perawatan.
2) Daftarkan anak pada klinik anemia
Rasional: untuk mendapatkan perawatan yang tepat.
3) Selalu waspada terhadap suatu keluarga bila 2 atau lebih anggota keluarganya
terjangkit penyakit ini.
 Hasil yang diharapkan:
Keluarga dapat mengambil manfaat dari layanan tersebut dan abnak dapat menerima
perawatan dari fasilitas yang tepat.

DAFTAR PUSTAKA

Arif Mansjoer, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta : Media Aesculapius,
2000

Sacharin, Rossa M. Prinsip Keperawatan Pediatrik. Edisi 1. Alih Bahasa R.F. Maulany.
Jakarta : EGC, 1996.

Suriadi, Rita Yuliani. Asuhan Keperawatan pada Anak. Edisi 1. Jakarta, 2001.
Wong, Donna L, Christina Algiere Kasparisin, Caryn Stoer mer Hess. Clinical Manual
Pediatric Nursing. Fourth edition. St. Louis : Mosby Year Book, 1996.

Wong, Donna L, Shannon E. Perry, Marilyn J. Hockenberry. Maternal Child Nursing


Care. St. Louis : Mosby Company, 2002.

CHEKLIST PENGKAJIAN SISTEM HEMATOLOGI


PADA KLIEN DENGAN THALASEMIA

A. Data umum
1. Nama :
2. Umur :
3. Jenis kelamin :
4. Latar belakang suku :
5. Latar belakang budaya :

B. Riwayat penyakit
1. Riwayat Penyakit sekarang
a. Keluhan utama :
b. Alasan masuk RS :
2. Riwayat penyakit dahulu
3. Penampilan umum
Pucat
Tanda nyeri
Bentuk tubuh abnormal
Dehidrasi
4. Tanda – tanda Vital
Tekanan darah :
Nadi :
Suhu :
Pernafasan :
Perubahan BB :
Perubahan TB :

C. Pengkajian system integumen


1. Kulit dan membran mukosa
Pucat
Sianosis
Joundice
Lesi yang sulit sembuh
Pigmentasi
Koreng pada tungkai
Kulit tangan dan kaki mengelupas
2. Kuku
Cembung
Datar
Mudah patah
Clubbing
3. Rambut
Tekstur
Pertumbuhan
4. Mata
Edema
Kemerahan
Perdarahan
Ketidaknormalan lensa
Gangguan penglihatan
Kebutaan

D. Pengkajian system Gastrointestinal


1. Gangguan
Mual
Muntah
Kesulitan menelan
Anoreksia
Penurunan BB
2. Mulut
Membran mukosa kemerahan
Luka
3. Lidah
Nyeri
Tekstur
Ada papil
Ada alur/garis
Warna
4. Perut
Splenomegali
Hepatomegali
Adanya nyeri
Sirosis

E. Pengkajian system kardiovaskuler


Aritmia
Murmur
Gagal jantung
Nyeri
Nafas pendek
Kelelahan

F. Pengkajian system respiratori


Sesak nafas
Perubahan suara nafas
G. Pengkajian system muskuloskeletal
1. ROM
2. Tulang
Nyeri
Kaku
Bengkak
Penipisan kortek tulang panjang
Penipisan tulang kartilago
Penebalan tulang kranial
3. Jaringan lunak
Edema
Abses

H. Pengkajian system genitourinaria


Hematuri
Inkontinensia
Menstruasi yang berlebihan
Nyeri/sakit

I. Pengkajian system neurology


Pusing
Kelemahan
Sulit tidur
Perubahan perilaku
Mati rasa/kaku

J. Riwayat yang berhubungan dengan latar belakang


1. Penyakit atau kondisi yang menyertai
Sakit berulang
Proses infeksi
Gangguan hati, ginjal, jantung
2. Riwayat keluarga
Anemi
3. Riwayat sosial
Orang tua yang terpapar zat radioaktif
4. Riwayat pengobatan
Penggunaan obat dalam waktu lama

K. Diagnosa penunjang
1. Laborat
Tes darah lengkap :
Tes darah putih :
Hematokrit :
Hemoglobin :
Thalassemia
Thalassemia adalah sekelompok heterogen gangguan genetik pada sintesis Hb yang
ditandai dengan tidak adanya / berkurangnya sisntesis rantai globin dan diturunkan secara
kodominan autosomal sehingga eritrosit mempunyai sedikit kemampuan mengikat
O2.Thalassemia bukan termasuk dalam hemoglobinopati karena thalassemia merupakan
penyakit yang mengurangi atau meniadakan hemoglobin (dari segi kuantitas), sedangkan
hemoglobinopati lebih ke arah kualitas dari hemoglobin itu sendiri.Hemoglobin terdiri
dari empat rantai polipeptida. Pada masuia dewasa hemoglobin terdiri dari Hb A (mayor)
yang terdiri dari α2β2 dan Hb A2 (minor) yang terdiri dari α2δ2. Pada bayi dan embrio
terdapat bentuk hemoglobin lain yaitu Hb F (α2γ2) dan hemoglobin embrional : Hb
Gowers 1 (ζ2ε2), Hb Gowers 2 (α2ε2), dan Hb Portland (ζ2γ2). Hemoglobin abnormal
antara lain Hb H (β4) dan Hb Bart’s (γ4) (Suryohudoyo. 2007). Sedangkan globin
tersusun atas α helix (terdiri atas 141 asam amino) dan β sheets (terdiri atas 146 asam
amino) (Medicastore). α helix (kelompok α) terdiri dari rantai alfa dan rantai zeta.
Terletak pada kromosom 16. β sheets (kelompok β) terdiri dari rantai beta, gamma, delta,
dan epsilon. Terletak pada kromosom 11.

Thalassemia dapat dibagi menjadi dua kelompok besar (hal ini penulis lakukan karena
thalassemia δ dan γ bersifat asimptomatik) yaitu α dan β. Pada intinya perbedaan
thalassemia α dan β adalah bagian apa dari rantai globin tersebut yang rusak / hilang
(untuk penjelasan lebih lanjut telah penulis lampirkan pada bagian B tinjauan pustaka).

Patogenesis dan patofisiologis dari thalassemia dimulai dari mutasi gen globin yang
mengakibatkan produksi rantai globin berkurang atau tidak ada. Hal intu menimbulkan
berkurangnya hemoglobin sehingga mengakibatkan sel darah merah mudah rusak /
umurnya lebih pendek. Manifestasi dari semuanya itu adalah rendahnya kadar
hemoglobin dalam darah.

Gejala-gejala thalassemia antara lain pucat (dikarenakan kekurangan hemoglobin yang


menyebabkan kurangnya eritrosit), perut buncit karena hepatomegali dan splenomegali
(keduanya akibat terjadinya penumpukan Fe karena bekerja terlalu keras dalam
membersihkan sel darah yang rusak), deformitas tulang muka, jantung berdebar-debar
(bekerja terlalu keras), urin keruh, anemia, kehitaman pada kulit (akibat dari
meningkatnya produksi Fe), ikhterus (akibat dari produksi bilirubin yang meningkat),
retardasi pertumbuhan dan penuaan dini, gagal jantung (disebabkan penumpukan Fe di
otot jantung), dan penyakit kuning.

Tes laboratorium untuk thalassemia meliputi : hematologi rutin (untuk mengetahui kadar
Hb tidak normal (3-9 g/dL),ukuran sel darah (<8 )), gambaran darah perifer (mengetahui
bentuk yang abnormal (serupa cakram tembak), warna (blackness), dan usia (<120 hari)),
feritin test (mengetahui status Fe), analisis Hb (menentukan jenis thalassemia), foto
rontgen cranial (melihat ada/tidaknya deformitas tulang pipih), full blood count
(menghitung darah secara lengkap), sediaan darah apus (menghitung bentuk dan jumlah
sel darah putih serta platelet), iron studies (membedakan anemia biasa atau thalassemia
herediter), molecular diagnosis yang meilputi : PCR (menggandakkan gen globin), DNA
sequencing (mengetahui urutan nukleotida), Southern Blotting (elektroforesis DNA
mrnggunakan nitroselulosa), dot blotting (penetesan DNA, RNA, atau protein secara
langsung pada membran penyangga), DGGE (Denaturating Gradient Gel
Electrophoresis) yang prinsipnya pemeriksaan pembukaan heliks ganda yang terjadi pada
kadar denaturan yang berbeda pada saat terjadi mutasi.

Thalassemia merupakan penyakit keturunan. Thalassemia dapat diturunkan secara resesif


maupun dominan karena itu ia bersifat kodominan. Hal ini tergantung jenis
thalassemianya. Thalassemia α merupakan kesalahan dalam globin rantai α yang berada
pada rantai mayor menimbulkan sifat dominan. Pada thalassemia ini delesi 4 gen α akan
mengakibatkan kematian (letal) Sedangkan thalassemia β dapat bersifat resesif atau
dominan tergantung gen apa yang diturunkan. Bila β0 akan menghasilkan sifat resesif
dan β+ dominan. Pada thalassemia β muncul juga kondisi dimana gejala sangat ringan
yang diakibatkan perbandingan rantai α dan β tidak terlalu terganggu. Jadi mungkin saja
seorang anak yang menderita thalassemia lahir dari pasangan orangtua yang nampak
normal.

Penyakit thalassemia adalah penyakit keturunan jadi tidak dapat disembuhkan. Terapi
yang digunakan pada penderita thalassemia bersifat simptomatik (mengobati simptom
yang muncul). Contohnya adalah : pemberian desferoxamine setelah kadar Fe mencapai
1000mg/L atau saturasi transferin >50% atau setelah transfusi darah dengan dosis 25-
50mg/kg, pemberian vitamin C 100-250 mg/hari, pemberian asam folat 2-5 mg/hari,
pemberian vitamin E 200-400iu, splenektomi, transfusi darah, pemantauan kadar Fe,
tumbuh kembang, gangguan lainnya.

Faktor genetik ditengarai menjadi biang kerok utama gangguan haematologi. Kelainan
genetik haematologi dapat menimbulkan gangguan sejak konsepsi sampai kelahiran.
Beberapa kelainan hematologi meliputi sel darah merah, sel darah putih, trombosit dan
faktor pembukaan darah lain serta organ yang menghasilkan sek-sel tersebut.

Sedangkan kelainan sel darah merah terdiri atas thalassemia, protein membran dan sel
darah merah. Menurut dr. Moedrik Taman SpA, thalassemia merupakan penyakit genetik
dimana produksi hemaglobin yang normal tertekan karena defek sintesis satu atau lebih
rantai globin. Penyakit ini diturunkan secara autosom resesif dan digolongkan pada
penyakit anemia hemolitik bawaan yang ditandai oleh anemia mikrositik hipokromik.
Penyakit ini merupakan kelainan genetik yang disebabkan oleh mutasi gen tunggal dan
kasusnya terbanyak di dunia. Tak kurang terdapat 300 juta penduduk dunia sebagai
pembawa gen thalassemia dan sekitar 300.000 bayi thalessemia dilahirkan setiap
tahunnya

Berdasarkan rantai yang terganggu, dikenal beberapa jenis thalessemia, yaitu thalessemia
α dan β. Thalassemia α terjadi bila mengalami penurunan atau tidak memiliki sintesis
globulin α. Sedangkan thalassemia β bila terjadi penurunan atau tidak ada globulin β.
Gen globulin α terletak pada kromoson 16 sedangkan globulin β pada kromoson 11.

Secara klinis, thalassemia dibedakan atas thalessmia minor (heterizgot)dan mayor


(homozigot). Individu heterozigot dan karier tidak menunjukan gejala (asimtomatik) ,
umumnya mengalami kelainan haematologi minor. Individu homozigat atau coumpound
heterozygos biasanya bermanifestasi sebagai thalessemia mayor yang membutuhkan
transfusi darah secara rutin dan terapi kelebihan besi untuk mempertahankan kualitas
hidupnya.

Thalessemia pada neonatus adalah spesifik karena eritrosit pada masa fetal dan neontal
berbeda secara bermakna dibanding bayi yang lebih tua, anak-anak, dan dewasa. Eritrosit
pada masa fetal dan neonatal mempunyai umur hidup yang lebih pendek, bentuk yang
berubah dan deformabilitas, serta konsentrasi Hb fetal yang lebih tinggi. Hal ini akan
mempengaruhi kemampuan untuk membawa oksigen ke jaringan dalam memenuhi
kebutuhan metabolik.

Thalesemia pada neonatus yang terutama adalah thalassemia α dengan gangguan pada 3
gen (penyakit hemoglobin H) dan 4 gen (Hb-Bart’s hydrops fetalis). Hb-Bart’s hyfrops
fetalis merupakan merupakan manifestasi terburuk dari gen thalassemia α dan biasannya
bayi yang menderita penyakit ini lahir meninggal atau meninggal dalam beberapa jam
sesudah lahir.

Thalassemia α merupakan kelainan dimana terjadi defek sintesis rantai α dengan akibat
depresi produksi Hb yang rantai α, misalnya HbA, HbA2, dan HbF. Defisiensi rantai α
menyebabkan timbunan rantai γ pada fetus dan rantai β pada orang dewasa. Bila melihat
jumlah gen yang mengalami kelainan, thalassemia α dikelompokan sebagai silent carrier
(1 gen), trait α thalassemia (2 gen), penyakit HbH (3 gen), dan Hb-Barts hydrops fetalis
(4 gen). Rantai γ membentuk tetramer Hb-Barts dan presipitat rantai β yang tidak stabil
membentuk HbH. Adanya Hb-Barts dan HbH dalam eritrosit membawa akibat yang
serius karena Hb tersebut mempunyai afinitas oksigen yang tinggi dan tidak dapat
membawa oksigen secara adekuat ke jaringan.
Sedangkan pada thalassemia β meliputi empat sindrom klinis. Yaitu silent carrier, trait
thalassemia, thalassemia intermedia, dan thalassemia mayor. Heterogenitas klinis
menunjukan perbedaan mutasi. Banyak mutasi yang mengeliminasi ekspresi gen globin
β, sedangkan yang lain secara bervariasi menurunkan derajat ekspresi gen globin β.
Makin ringan penurunan ekspresi gen globin β, makin baik manifestasi klinisnya, karena
derajat ketidakseimbangan antara rantai α dan β menunjukan derajat beratnya penyakit.

Sindrom klinis thalassemia β tidak muncul sampai usia 4-6 bulan, dimana terjadi
perubahan dari HbF ke HbA. Tetapi sindrom thalassemia α sebagai hydrops fetalis ( 4
gen) dan penyakit HbH (delesi 3 gen) muncul dengan anemia dan hepatosplenomegali.
Trait dan silent carrier tidak menampakan gejala-gejalanya dan terdeteksi secara tak
sengaja pada kehidupan selanjutnya.
Thalasemia
Posted on May 12, 2008. Filed under: Ilmu Kesehatan Anak, Ilmu Penyakit Dalam | Tags:
kelainan darah, riri julianti, Thalasemia |

Editor : Riri Julianti, S.Ked. Fakultas Kedokteran Universitas Riau. RSUD Arifin Acmad
Pekanbaru. 2008.

THALASEMIA

PENDAHULUAN

Thalassemia merupakan penyakit darah herediter (keturunan) yang paling sering dan
akan merupakan kelainan genetik utama yang timbul setelah penyakit infeksi dan
gangguan gizi teratasi di Indonesia. Menyambut paradigma Indonesia Sehat 2010 yang
baru dicanangkan, kualitas sumber daya manusia tentu saja merupakan faktor yang utama
dan keberadaan thalassemia tentu saja akan menurunkan kualitas kesehatan masyarakat.1

Thalassemia berasal dari kata Yunani, yaitu talassa yang berarti laut. Yang dimaksud
dengan laut tersebut ialah Laut Tengah, oleh karena penyakit ini pertama kali dikenal di
daerah sekitar Laut Tengah. Penyakit ini pertama sekali ditemukan oleh seorang dokter di
Detroit USA yang bernama Thomas B. Cooley pada tahun 1925. Beliau menjumpai anak-
anak yang menderita anemia dengan pembesaran limpa setelah berusia satu tahun.
Selanjutnya, anemia ini dinamakan anemia splenic atau eritroblastosis atau anemia
mediteranean atau anemia Cooley sesuai dengan nama penemunya. 1

Sebagai sindrom klinik penderita thalassemia mayor (homozigot) yang telah agak besar
menunjukkan gejala-gejala fisik yang unik berupa hambatan pertumbuhan, anak menjadi
kurus bahkan kurang gizi, perut membuncit akibat hepatosplenomegali dengan wajah
yang khas mongoloid, frontal bossing, mulut tongos (rodent like mouth), bibir agak
tertarik, maloklusi gigi (Lihat Gambar 1).1

Gambar 1. Karakteristik Wajah Anak dengan Thalasemia


Thalassemia adalah penyakit genetik yang diturunkan secara autosomal resesif menurut
hukum Mendel dari orang tua kepada anak-anaknya. Penyakit thalassemia meliputi suatu
keadaan penyakit dari gelaja klinis yang paling ringan (bentuk heterozigot) yang disebut
thalassemia minor atau thalassemia trait (carrier = pengemban sifat) hingga yang paling
berat (bentuk homozigot) yang disebut thalassemia mayor. Bentuk heterozigot diturunkan
oleh salah satu orang tuanya yang mengidap penyakit thalassemia, sedangkan bentuk
homozigot diturunkan oleh kedua orang tuanya yang mengidap penyakit thalassemia.1

Thalassemia ternyata tidak saja terdapat di sekitar Laut Tengah, tetapi juga di Asia
Tenggara yang sering disebut sebagai sabuk thalassemia (WHO, 1983) sebelum pertama
sekali ditemui pada tahun 1925 (Lihat Gambar 2). Di Indonesia banyak dijumpai kasus
thalassemia, hal ini disebabkan oleh karena migrasi penduduk dan percampuran
penduduk. Menurut hipotesis, migrasi penduduk tersebut diperkirakan berasal dari Cina
Selatan yang dikelompokkan dalam dua periode. Kelompok migrasi pertama diduga
memasuki Indonesia sekitar 3.500 tahun yang lalu dan disebut Protomelayu (Melayu
awal) dan migrasi kedua diduga 2.000 tahun yang lalu disebut Deutromelayu (Melayu
akhir) dengan fenotip Monggoloid yang kuat. Keseluruhan populasi ini menjadi menjadi
Hunian kepulauan Indonesia tersebar di Kalimantan, Sulawesi, pulau Jawa, Sumatera,
Nias, Sumba dan Flores 1

Gambar 2. Daerah Penyebaran Thalassemia/Sabuk Thalassemia.2

Pada tahun 1955, Lie-Injo Luan Eng dan Yo Kian Tjai, telah melaporkan adanya 3 orang
anak menderita thalassemia mayor dan 4 tahun kemudian ditemukan 23 orang anak
dengan penyakit yang serupa di Indonesia. Dalam kurun waktu 17 tahun, yaitu dari tahun
1961 hingga tahun 1978 telah menemukan tidak kurang dari 300 penderita dengan
sindrom thalassemia ini. Kasus-kasus yang serupa telah banyak pula dilaporkan oleh
berbagai rumah sakit di Indonesia, di antaranya Manurung (1978) dari bagian Ilmu
Kesehatan Anak F.K. Universitas Sumatera Utara Medan telah melaporkan 13 kasus,
Sumantri (1978) dari bagian Kesehatan Anak F.K. Universitas Diponegoro Semarang,
Untario (1978) dari bagian Ilmu Kesehatan Anak F.K. Airlangga, Sunarto (1978) dari
bagian Ilmu Kesehatan Anak F.K. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Demikian pula
telah dilaporkan kasus-kasus yang serupa dari F.K. Universitas Hasanuddin Ujung
Pandang (Wahidayat, 1979). Vella (1958), Li-Injo & Chin (1964) dan Wong (1966).
Demikian juga di Malaysia dengan kasus yang serupa dilaporkan oleh 1

Di negara-negara yang mempunyai frekuensi gen thalassemia yang tinggi penyakit


tersebut menimbulkan masalah kesehatan masyarakat (Public Health). Pada umumnya
anak dengan penyakit thalassemia mayor tidak akan mencapai usia produktif bahkan mati
di dalam kandungan atau mati setelah lahir seperti pada thalassemia-α Hb bart’s hydrop
fetalis. Keadaan ini sangat memperihatinkan jika anak-anak yang lahir tidak akan
mencapai usia dewasa, maka generasi berikutnya akan semakin berkurang bahkan akan
lenyap setelah beribu-ribu tahun.1

Ditinjau dari segi keluarga penderita, adanya seorang atau beberapa anak yang menderita
penyakit thalassemia mayor merupakan beban yang sangat berat karena mereka
menderita anemia berat dengan kadar Hb di bawah 6-7 gr%. Mereka harus mendapatkan
transfusi darah seumur hidup untuk mengatasi anemia mempertahankan kadar
haemoglobin 9-10 gr%. Dapat dibayangkan bagaimana beratnya beban keluarga apabila
beberapa anak yang menderita penyakit tersebut. Pemberian transfusi darah yang
berulang-ulang dapat menimbulkan komplikasi hemosiderosis dan hemokromatosis, yaitu
menimbulkan penimbunan zat besi dalam jaringan tubuh sehingga dapat menyebabkan
kerusakan organ-organ tubuh seperti hati, limpa, ginjal, jantung, tulang, dan pankreas.
Tanpa transfusi yang memadai penderita thalassemia mayor akan meninggal pada dekade
kedua. 1

Efek lain yang ditimbukan akibat transfusi, yaitu tertularnya penyakit lewat transfusi
seperti penyakit hepatitis B, C, dan HIV. Hingga sekarang belum dikenal obat yang dapat
menyembuhkan penyakit tersebut bahkan cangkok sumsum tulang pun belum dapat
memuaskan. Para ahli berusaha untuk mengurangi atau mencegah kelahiran anak yang
menderita thalassemia mayor atau thalassemia-α homozigot. 1

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Thalassemia adalah suatu kelompok anemia hemolitik kongenital herediter yang


diturunkan secara autosomal, disebabkan oleh kekurangan sintesis rantai polipeptid yang
menyusun molekul globin dalam hemoglobin.4

Etiologi
Talasemia diakibatkan adanya variasi atau hilangnya gen ditubuh yang membuat
hemoglobin. Hemoglobin adalah protein sel darah merah (SDM) yang membawa
oksigen. Orang dengan talasemia memiliki hemoglobin yang kurang dan SDM yang lebih
sedikit dari orang normal.yang akan menghasilkan suatu keadaan anemia ringan sampai
berat.6

Ada banyak kombinasi genetik yang mungkin menyebabkan berbagai variasi dari
talasemia. Talasemia adalah penyakit herediter yang diturunkan dari orang tua kepada
anaknya. Penderita dengan keadaan talasemia sedang sampai berat menerima variasi gen
ini dari kedua orang tuannya. Seseorang yang mewarisi gen talasemia dari salah satu
orangtua dan gen normal dari orangtua yang lain adalah seorang pembawa (carriers).
Seorang pembawa sering tidak punya tanda keluhan selain dari anemia ringan, tetapi
mereka dapat menurunkan varian gen ini kepada anak-anak mereka.6

Klasifikasi

Secara molekuler thalassemia dibedakan atas thalasemia alfa dan beta, sedangkan secara
klinis dibedakan atas thalasemia mayor dan minor .5

Hemoglobin terdiri dari dua jenis rantai protein rantai alfa globin dan rantai beta globin.
Jika masalah ada pada alfa globin dari hemoglobin, hal ini disebut thalassemia alfa. Jika
masalah ada pada beta globin hal ini disebut thalassemia beta. kedua bentuk alfa dan beta
mempunyai bentuk dari ringan atau berat. Bentuk berat dari Beta thalassemia sering
disebut anemia Cooley’S. .6

A. Thalassemia alfa

Empat gen dilibatkan di dalam membuat globin alfa yang merupakan bagian dari
hemoglobin, Dua dari masing-masing orangtua.Thalassemia alfa terjadi dimana satu atau
lebih varian gen ini hilang. 6

o Orang dengan hanya satu gen mempengaruhi disebut silent carriers dan tidak punya
tanda penyakit.

o Orang dengan dua gen mempengaruhi disebut thalassemia trait atau thalassemia alfa .
akan menderita anemia ringan dan kemungkinan menjadi carrier

o Orang dengan tiga gen yang yang dipengaruhi akan menderita anemia sedang sampai
anemia berat atau disebut penyakit hemoglobin H.

o Bayi dengan empat gen dipengaruhi disebut thalassemia alfa mayor atau hydrops
fetalis. Pada umumnya mati sebelum atau tidak lama sesudah kelahiran.
Jika kedua orang menderita alfa thalassemia trait ( carriers) memiliki seorang anak, bayi
bisa mempunyai suatu bentuk alfa thalassemia atau bisa sehat. . 6

Gambar 3. Rantai Hemoglobin7

B. Thalassemia Beta

Melibatkan dua gen didalam membuat beta globin yang merupakan bagian dari
hemoglobin, masing-masing satu dari setiap orangtua. Beta thalassemia terjadi ketika satu
atau kedua gen mengalmi variasi. 6
Jika salah satu gen dipengaruhi, seseorang akan menjadi carrier dan menderita anemia
ringan. Kondisi ini disebut thallasemia trait/beta thalassemia minor,
Jika kedua gen dipengaruhi, seseorang akan menderita anemia sedang (thalassemia beta
intermedia atau anemia Cooley’s yang ringan) atau anemia yang berat ( beta thalassemia
utama, atau anemia Cooley’s).
Anemia Cooley’s, atau beta thalassemia mayor jarang terjadi. Suatu survei tahun 1993
ditemukan 518 pasien anemia Cooley’s di Amerika Serikat. Kebanyakan dari mereka
mempunyai bentuk berat dari penyakit, tetapi mungkin kebanyakan dari mereka tidak
terdiagnosis .

Jika dua orangn tua dengan beta thalassemia trait (carriers) mempunyai seorang bayi,
salah satu dari tiga hal dapat terjadi: . 6
Bayi bisa menerima dua gen normal ( satu dari masing-masing orangtua) dan mempunyai
darah normal ( 25 %).
Bayi bisa menerima satu gen normal dan satu varian gen dari orangtua yang thalassemia
trait ( 50 persen).
Bayi bisa menerima dua gen thalassemia ( satu dari masing-masing orangtua) dan
menderita penyakit bentuk sedang sampai berat (25 persen).

Gambar 4. Skema Penurunan Gen Thalassemia Menurut Hukum Mendel.

Orang-orang yang beresiko menderita thalasemia: 6


Anak dengan orang tua yang memiliki gen thalassemia
Resiko laki-laki atau perempuan untuk terkena sama
Thalassemia Beta mengenai orang asli dari Mediterania atau ancestry (Yunani, Italia,
Ketimuran Pertengahan) dan orang dari Asia dan Afrika Pendaratan.
Alfa thalassemia kebanyakan mengenai orang tenggara Asia, Orang India, Cina, atau
orang Philipina.

Patofisiologi

Penyebab anemia pada thalasemia bersifat primer dan sekunder. Primer adalah
berkurangnya sintesis HbA dan eritroipoeisis yang tidak efektif disertai penghancuran
sel-sel eritrosit . 5

Sedangkan sekunder ialah krena defisiensi asam folat, bertambahnya volume palsma
intravaskular yang mengakibatkan hemodilusi, dan destruksi eritrosit oleh sistem
retikuloendotelial dalam limpa dan hati. 5

Penelitian biomolekuler menunjukkan adanya mutasi DNA pada gen sehingga produksi
rantai alfa atau beta dari hemoglobin berkurang. 5

Molekul globin terdiri atas sepasang rantai-a dan sepasang rantai lain yang menentukan
jenis Hb. Pada orang normal terdapat 3 jenis Hb, yaitu Hb A (merupakan > 96% dari Hb
total, tersusun dari 2 rantai-a dan 2 rantai-b = a2b2), Hb F(< 2% = a2g2) dan HbA2 (<
3% = a2d2). Kelainan produksi dapat terjadi pada ranta-a (a-thalassemia), rantai-b (b-
thalassemia), rantai-g (g-thalassemia), rantai-d (d-thalassemia), maupun kombinasi
kelainan rantai-d dan rantai-b (bd-thalassemia). 4

Pada thalassemia-b, kekurangan produksi rantai beta menyebabkan kekurangan


pembentukan a2b2 (Hb A); kelebihan rantai-a akan berikatan dengan rantai-g yang secara
kompensatoir Hb F meningkat; sisanya dalam jumlah besar diendapkan pada membran
eritrosit sebagai Heinz bodies dengan akibat eritrosit mudah rusak (ineffective
erythropoesis).4

Diagnosis4

I. Anamnesis

Keluhan timbul karena anemia: pucat, gangguan nafsu makan, gangguan tumbuh
kembang dan perut membesar karena pembesaran lien dan hati. Pada umumnya keluh
kesah ini mulai timbul pada usia 6 bulan

II. Pemeriksaan fisis

o Pucat

o Bentuk muka mongoloid (facies Cooley)


o Dapat ditemukan ikterus

o Gangguan pertumbuhan

o Splenomegali dan hepatomegali yang menyebabkan perut membesar

III. Pemeriksaan penunjang

1. Darah tepi :

o Hb rendah dapat sampai 2-3 g%

o Gambaran morfologi eritrosit : mikrositik hipokromik, sel target, anisositosis berat


dengan makroovalositosis, mikrosferosit, polikromasi, basophilic stippling, benda
Howell-Jolly, poikilositosis dan sel target. Gambaran ini lebih kurang khas.

o Retikulosit meningkat.

Gambar 5. Sedimen Darah Tepi dari Penderita Thalassemia Trait dan Orang Normal.1

Variasi bentuk eritrosit (sel darah merah) pada sedimen darah tepi

dilihat dengan mikroskop dari penderita thalassemia: a = hipokrom,

b = teardrop, c = target cell, d = basophilic stipling dengan pewarnaan giemsa

Bentuk eritrosit (sel darah merah) pada orang normal dengan pewarnaan giemsa

2. Sumsum tulang (tidak menentukan diagnosis) :

o Hiperplasi sistem eritropoesis dengan normoblas terbanyak dari jenis asidofil.

o Granula Fe (dengan pengecatan Prussian biru) meningkat.

3. Pemeriksaan khusus :

o Hb F meningkat : 20%-90% Hb total


o Elektroforesis Hb : hemoglobinopati lain dan mengukur kadar Hb F.

o Pemeriksaan pedigree: kedua orangtua pasien thalassemia mayor merupakan trait


(carrier) dengan Hb A2 meningkat (> 3,5% dari Hb total).

4. Pemeriksaan lain :

o Foto Ro tulang kepala : gambaran hair on end, korteks menipis, diploe melebar dengan
trabekula tegak lurus pada korteks.

o Foto tulang pipih dan ujung tulang panjang : perluasan sumsum tulang sehingga
trabekula tampak jelas.

Diagnosis banding 4

Thalasemia minor :

o Anemia kurang besi

o Anemia karena infeksi menahun

o Anemia pada keracunan timah hitam (Pb)

o Anemia sideroblastik

Penatalaksanaan 4,9

Medikamentosa
- Pemberian iron chelating agent (deferoxamine):
Diberikan setelah kadar feritin serum sudah mencapai 1000 mg/l atau saturasi transferin
lebih 50%, atau sekitar 10-20 kali transfusi darah. Deferoxamine diberikan dengan dosis
25-50 mg/kgBB/hari diberikan subkutan melalui pompa infus dalam waktu 8-12 jam
selama 5-7 hari selama seminggu dengan menggunakan pompa portable. Lokasi
umumnya di daerah abdomen, namun daerah deltoid maupun paha lateral menjadi
alternatif bagi pasien. Adapun efek samping dari pemakaian deferoxamine jarang terjadi
apabila digunakan pada dosis tepat. Toksisitas yang mungkin abisa berupa toksisitas
retina, pendengaran,gangguan tulang dan pertumbuhan, reaksi lokal dan infeksi.

Gambar 6. Lokasi untuk menggunakan pompa portable deferoksamin

Selain itu bisa juga digunakan Deferipron yang merupakan satu-satunya kelasi besi oral
yang telah disetujui pemakaiannya. Terapi standar biasanya memakai dosis 75 mg/kg
BB/hari dibagi dalam 3 dosis. Saat ini deferidon terutama banyak dgunakan pada pasien-
pasien dengan kepatuhan rendah terhadap deferoxamine. Kelebihan deferipron dibanding
deferoksamin adalah efek proteksinya terhadap jantung. Efek samping yang mungkin
terjadi antara lain : atropati, neutropenia/agranulositosis, gangguan pencernaan, kelainan
imunologis, defisiensi seng, dan fibrosis hati.

- Vitamin C 100-250 mg/hari selama pemberian kelasi besi, untuk meningkatkan efek
kelasi besi.
- Asam folat 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.
- Vitamin E 200-400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat memperpanjang umur sel
darah merah

Gambar 7. Seorang anak sedang menggunakan desferal

Bedah

Splenektomi, dengan indikasi:

q Limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak penderita, menimbulkan


peningkatan tekanan intraabdominal dan bahaya terjadinya ruptur

q Hipersplenisme ditandai dengan peningkatan kebutuhan transfusi darah atau kebutuhan


suspensi eritrosit (PRC) melebihi 250 ml/kg berat badan dalam satu tahun.

Suportif

Transfusi darah :

Hb penderita dipertahankan antara 8 g/dl sampai 9,5 g/dl. Dengan kedaan ini akan
memberikan supresi sumsum tualang yang adekuat, menurunkan tingkat akumulasi besi,
dan dapat mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan penderita. Pemberian darah
dalam bentuk PRC (packed red cell), 3 ml/kg BB untuk setiap kenaikan Hb 1 g/dl.

Thalassaemia Diet

Diet Talasemia disiapkan oleh Departemen diit, Di Rumah sakit umum Sarawak pasien
dinasehati untuk menghindari makanan yang kaya akan zat besi, seperti daging berwarna
merah, hati, ginjal, sayur-mayur bewarna hijau, sebagian dari sarapan yang mengandung
gandum, semua bentuk roti dan alkohol.

Tabel 1. Daftar makanan dan kandungan zat besi 8


FOODVOID TO A
Foods with high content of Iron
Iron Content

Organ meat (liver, kidney, spleen)


5 – 14 mg / 100 g

Beef
2.2 mg / 100 g

Chicken gizzard and liver


2 – 10mg / 100 g

Ikan pusu (with head and entrails)


5.3 mg / 100 g

Cockles (kerang)
13.2 mg / 100 g

Hen eggs
2.4 mg / whole egg

Duck eggs
3.7 mg / whole egg

Dried prunes / raisins, Peanuts (without shell), other nuts


2.9 mg / 100 g

Dried beans (red, green, black, chickpeas, dhal)


4 – 8 mg / 100 g

Baked beans
1.9 mg / 100 g

Dried seaweed
21.7 mg / 100 g

Dark green leafy vegetables – bayam, spinach, kailan, cangkok manis, kangkung, sweet
potato shoots, ulam leaves, soya bean sprouts, bitter gourd, paku, midi, parsley,
> 3 mg 1 100 g

Food Allowed

Foods with moderate content of Iron


Chicken, pork
allow one small serving a day (= 2 matchbox size)

Soya bean curd (towkwa, towhoo, hookee)


allow one serving only (= one piece)

Light coloured vegetables (sawi, cabbage, long beans and other beans, ketola, lady’s
fingers)
1 -2 servings a day (= 1/2 cup)

Ikan pusu
head and entrails removed

Onions
use moderately

Oats

Foods with small amount of Iron

Rice and Noodles

Bread, biscuits

Starchy Root vegetables ( carrot, yam,


tapioca, pumpkin, bangkwang, lobak)

Fish (all varieties)

Fruits (all varieties except dried fruits)

Milk, cheese

Oils and Fats

Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialisasi lainnya dll)

Tumbuh kembang, kardiologi, Gizi, endokrinologi, radiologi, Gigi

PEMANTAUAN

I. Terapi
Pemeriksaan kadar feritin setiap 1-3 bulan, karena kecenderungan kelebihan besi sebagai
akibat absorbsi besi meningkat dan transfusi darah berulang.
Efek samping kelasi besi yang dipantau: demam, sakit perut, sakit kepala, gatal, sukar
bernapas. Bila hal ini terjadi kelasi besi dihentikan.

II. Tumbuh Kembang


Anemia kronis memberikan dampak pada proses tumbuh kembang, karenanya diperlukan
perhatian dan pemantauan tumbuh kembang penderita.

III. Gangguan jantung, hepar dan endokrin


Anemia kronis dan kelebihan zat besi dapat menimbulkan gangguan fungsi jantung
(gagal jantung), hepar (gagal hepar), gangguan endokrin (diabetes melitus,
hipoparatiroid) dan fraktur patologis.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ganie RA. Thalassemia : permasalahan dan penanganannya . dalam Pidato


Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Patologi pada Fakultas
Kedokteran, Diucapkan di hadapan Rapat Terbuka Universitas Sumatera Utara .2005

2. Hoffbrand A.V. and Pettit J.E. (2001). Genetic Diorders of Haemoglobin. In:
Hoffbrand AV and Pettit JE (eds) Color Atlas of Clinical Hematology. 3th ed. 5: 85-98.
London: Mosby

3. Weatherall D.J. (1965). Historical Introduction. In: Weatherall DJ (ed). The


Thalassaemia Syndromes. Blackwell Scientific Publ. Oxford. 1: 1-5.

4. Permono B, Ugrasena IDG , A Mia. Talasemia.Bag/ SMF Ilmu Kesehatan Anak,


Fakultas Kedokteran UNAIR Surabaya www.Pediatrik.com [diakses 3 Desember 2007]

5. Mansjoer A, Triyanti K,Savitri R, Wahyu IW dan setiowulan W. Kapita Selekta


Kedokteran, Jilid 2 Edisi 3, Jakarta: Media aesculapius, 2001. 497-498

6. Darling D. THALASSEMIA. . United states of america www.daviddarling.info ( akses


2 Desember 2007 )

7. Hemoglobin: Structure & Function.2007.http–www_med-ed_virginia_edu-courses-


path-innes-images-nhgifs-hemoglobin1_gif.htm ( akses 20 November 2007 )

8. About thalassemia. Sarawak Thalassaemia Society. 2000. www.thalassaemia.cdc.net.

9. Ananta Yovita. Terapi Kelasi Pada Thalassemia . Sari Pustaka. 2006


Thalassemia
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Penetapan diagnosis suatu penyakit merupakan hal penting dalam proses pelayanan
medis di mana pasien datang kepada dokter dengan keluhan-keluhan yang ia rasakan.
Diagnosis sangat diperlukan untuk melakukan proses selanjutnya setelah melakukan
anamnesis dan pemeriksaan-pemeriksaan, seperti terapi atau penatalaksanaan pada
pasien. Adanya kesalahan dalam penetapan diagnosis dapat mengakibatkan terjadinya
ketidaksembuhan atau tidak adanya perbaikan pada pasien setelah dilakukan terapi atau
bahkan dapat mengakibatkan keadaan patologis lainnya.
Anemia merupakan keadaan patologis yang sering terjadi di Indonesia dengan angka
prevalensi pada anak balita 30-40% (WHO, 1989). Pada pasien kelainan hematologis
terutama balita yang sedang dalam masa pertumbuhan seperti anemia, dokter perlu
memahami tanda dan gejala klinis khas jenis-jenis anemia dengan memperhatikan segala
aspek sehingga dapat mengetahui diagnosis jenis anemia tertentu pada pasien. Untuk
melakukan diagnosis pada pasien anemia memang tidak mudah terutama apabila ingin
mengetahui lebih jelas jenis anemia yang diderita pasien dan membutuhkan pengalaman
untuk melakukan hal tersebut. Dalam rangka pengenalan masalah klinis secara dini dan
belajar terintegrasi melalui skenario penulis dituntut untuk dapat memecahkan dan
mendiagnosis masalah yang terjadi pada pasien pada skenario dalam tutorial.
Pada skenario 2 terdapat seorang anak laki-laki 2 tahun diantar orang tuanya ke tempat
praktik dokter umum dengan keluhan utama lemas. Hasil anamnesis (heteroanamnesis)
didapatkan:
- anak lemas, pucat, dan mudah capek sejak 6 bulan lalu,
- sudah dua kali periksa ke puskesmas dengan mendapatkan obat penambah darah tetapi
tidak membaik,
- anak sering panas, batuk pilek selama 6 bulan terakhir (sebulan bisa 2 kali sakit),
- pasien anak pertama, ibu sedang hamil anak kedua 2 bulan dan berasala dari keluarga
social ekonomi kurang,
- sepupu pasien mengalami penyakit yang sama dan sering mendapatkan transfusi darah.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan: anak tampak kurus (BB 10 kg, TB 75 cm), anemis,
lemas, takikardia (120 kali/menit), respirasi 24 kali/menit, suhu 38,00C, tonsil membesar
dan kemerahan, faring kemerahan, splenomegali sebesar 1 shuffner, hepatomegali sebesar
2 ibu jari di bawah arcus costarum. Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil: Hb
4,8 g/dl, AL 15.200/µl, AT 480.000/µl, dan Hct 14,6 %.
Berdasarkan hal-hal di atas, penulis berusaha untuk menetapkan diagnosis atau diagnosis
banding pada pasien dengan dukungan data yang ada pada skenario dan melakukan terapi
serta pencegahan setelah didapatkan diagnosis atau diagnosis banding pada pasien.
Diharapkan penulis dan pembaca dapat mengetahui dan melakukan penetapan diagnosis
atau diagnosis banding melalui masalah skenario di atas.
B. Rumusan Masalah
1. Apa penyebab dan bagaimana proses terjadinya tanda dan gejala klinis pada pasien?
2. Apakah penyebab utama pada manifestasi klinis pasien tersebut disebabkan oleh
adanya kelainan dalam produksi hemoglobin?
3. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien?
4. Apakah pasien ini mengalami thalassemia yang disertai infeksi dikarenakan
hemoglobinopati pada anemia hemolitik?
5. Bagaimana penatalaksanaan dan pencegahan pada pasien?
C. Tujuan Penulisan
1. Dapat mengetahui patofisiologi tanda dan gejala klinis pasien.
2. Dapat menetapkan penyebab utama manifestasi klinis pasien yang disebabkan oleh
adanya kelainan produksi hemoglobin.
3. Dapat menganalisis hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium pada pasien kelainan
hematologi.
4. Mampu melakukan penetapan diagnosis atau diagnosis banding pada pasien.
5. Mampu memberikan terapi atau penatalaksanaans dan pencegahan pada pasien.

D. Hipotesis
1. Anak atau pasien tersebut memderita anemia dikarenakan adanya gejala anemis, pucat,
lemas, dan penurunan kadar hemoglobin.
2. Pasien tersebut menderita infeksi dikarenakan adanya panas (suhu 38,00C), batuk
pilek, tonsil membesar dan kemerahan, dan faring kemerahan.
3. Hepatosplenomegali pada pasien dapat disebabkan oleh kerja kedua organ dalam
destruksi eritrosit dan metabolisme secara berlebihan dalam melawan infeksi untuk
mencapai homeostatis, di mana destruksi eritrosit tersebut disebabkan oleh adanya
kelainan produksi hemoglobin.
4. Pasien kemungkinan menderita thalassemia yang disertai infeksi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Hemoglobin
Hemoglobin adalah suatu protein tetramer (protein yang terdiri dari 4 rantai polipeptida).
Pada manusia dewasa hemoglobin utama disebut Hb A, yang terdiri dari dua rantai α dan
dua rantai β (α2β2) (Slamet Suyono, 2001). Selain Hb A pada manusia dewasa terdapat
hemoglobin pendamping (minor) yang disebut Hb A2 (α2δ2). Pada bayi (neonatus) dan
janin (embrio) terdapat bentuk hemoglobin lain yaitu: Hb F (alfa2 gamma2) (Slamet
Suyono, 2001) dan hemoglobin embrional : Hb Gowers 1 (zeta2 epsilon2), Hb Gowers 2
(alfa2 epsilon2), dan Hb Portland (zeta2 gamma2). Kadar Hb normal dewasa yaitu:
Hb A : 96-98 %
Hb A2 : 1,5 – 3,2 %
Hb F : 0,5 – 0,8 % (A.V. Hoffbrand, et al., 2005)
Pada tahap perkembangan hemoglobin manusia dimulai dengan pembentukan Hb
Gowers 1 kemudian pembentukan Hb Gowers 2 yang bekerja sama dengan Hb Portland
dalam masa transisi menuju Hb F (Tanya Desi DP-nya…). Pada saatnya adanya
pergantian pembentukan rantai gamma pada Hb F oleh rantai alfa globin sehingga
terbentuk Hb A. (Tanya juga ke Desi, kok bisa lupa nanya seh??) Perubahan utama dari
hemoglobin fetus ke hemoglobin dewasa terjadi 3-6 bulan setelah kelahiran (A.V.
Hoffbrand,et al., 2005). Terjadi penurunan kadar Hb F mulai bayi berumur 20 minggu
post partum (setelah kelahiran). Pada manusia dewasa normal Hb F masih ditemukan
walaupun dalam jumlah yang sangat kecil (kurang dari 1%). Hemoglobin embrional
hanya bertahan sampai umur janin 10 minggu saja (Slamet Suyono, 2001). Di samping
hemoglobin normal ditemukan pula hemoglobin abnormal yaitu Hb H (β4) dan Hb Bart’s
(γ4) yang ditemukan pada thalassemia α serta merupakan tanda khas dari penyakit ini.
Pembentukan atau sintesis hemoglobin terjadi dalam sel-sel pendahulu eritrosit. Molekul
hemoglobin terdiri dari 4 senyawa hem identik dengan masing-masing mengandung
cincin protoporfirin dan besi yang terikat dengan 2 rantai globin. Jadi, semua molekul
hemoglobin mengandung 4 pasang hem + globin dengan berat molekul total sekitar
68.000 (D.N. Baron, 1990).
Dikarenakan hemoglobin terdiri dari dua unsur yaitu hem dan globin maka sintesis
hemoglobin terdiri dari sintesis hem dan sintesis globin. Sintesis hem merupakan suatu
rangkaian reaksi biokimia yang terjadi dalam mitokondria. Sintesis hem ini dimulai dari
adanya kondensasi antara suksinil koenzim A (suksinat) dengan asam amino glisin
membentuk asam α-amino β-ketoadipat dan kemudian menjadi asam δ-levulinat (ALA=
δ-amino laevulinic acid) yang dipengaruhi oleh kerja enzim ALA sintetase yang juga
merupakan enzim yang mengatur kecepatan bagi keseluruhan sintesis hemoglobin (D.N.
Baron, 1990; A.V. Hoffbrand, 2005). Dan juga dipengaruhi oleh piridoksal fosfat
(vitamin B6) sebagai koenzim yang dirangsang oleh eritropoetin (A.V. Hoffbrand, 2005).
Dua molekul ALA berkondensasi menjadi satu molekul porfobilinogen, monopirol
pengganti, dan empat molekul porfobilinogen berkondensasi (menggunakan
uroporfirinogen I sintetase dan uroporfirinogen III kosintetase untuk membentuk
komponen isomer tetrapirol (porfirin) siklik, uroporfirinogen seri I dan III.
Uroporfirinogen I merupakan precursor porfirin lain, tetapi tidak berperan lebih lanjut
dalam sintesis hem. Uroporfirinogen III merupakan precursor seri porfirin III dan
dikonversikan menjadi koproporfirinogen III serta kemudian melalui protoporfirinogen
menjadi protoporfirinogen IX yang mengikat besi dalam bentuk ferro (Fe 2+) untuk
membentuk hem (D.N Baron, 1990). Hem menghambat ALA sintetase dan ini merupakan
control umpan balik atas sintesis porfirin serta hemoglobin.

Suksinil ko-A Glisin

asam α-amino β-ketoadipat

asam δ-levulinat (ALA)

Porfobilinogen

Uroporfirin III Uroporfirinogen III Uroprofirinogen I Uroporfirin I

Koproporfirin III Koproporfirinogen III Koproporfirinogen I Koproporfirin I

Protoporfirin IX
Besi
Hem

Gb. Sintesis Hem pada Hemoglobin

Sintesis rantai globin terjadi di dalam ribosom sitoplasma yang dipengaruhi oleh gen-gen
penentu rantai globin dengan susunan asam amino. Sintesis globin ini dikendalikan oleh
gen yang mengatur susunan asam amino dan gen yang mengatur kecepatan sintesis rantai
globin (Yuwono A, 2007). Rantai polipeptida alfa terdiri atas 141 asam amino dan rantai
beta, delta, dan gamma terdiri dari 146 asam amino (Pantjita, 1997). Rantai globin dapat
dibagi menjadi dua kelompok:
1. Kelompok α (Alpha like) terdiri dari rantai alfa dan rantai zeta.
2. Kelompok β (Beta like) terdiri dari rantai beta, gamma, delta, dan epsilon.
Kedua kelompok tersebut ditentukan oleh kelompok gen (gene cluster) yang terletak pada
kromosom yang berbeda, yaitu masing-masing pada kromosom nomor 16 untuk
kelompok α dan kromosom nomor 11 untuk kelompok β. Kelompok gen α pada
kromosom 16 mengandung dua gen zeta (diantaranya pseudogen) dan tiga gen alfa (satu
diantaranya pseudogen). Pseudogen adalah gen strukturnya mirip sekali dengan gen
“asli” tetapi tidak menghasilkan protein fungsional dan ditandai dengan awalan psi (ψ).
Urutan gen pada kromosom 16 (5’-3’) adalah:
Zeta - psi zeta - psi alfa1 - alfa1 - alfa2
Sedangkan urutan gen pada kromosom 11 adalah:
Epsilon – Gamma - A gamma - psi beta – delta – beta (Purnomo S, 2000).
Setelah sintesis hem dan sintesis globin selesai, maka kedua unsure tersebut akan
berikatan membentuk hemoglobin.
Secara fungsional eritrosit berfungsi mengikat dan membawa O2 ke jaringan dan
mengembalikan CO2 dari jaringan ke paru-paru. Oksigen dalam tubuh ada 2 bentuk,
yaitu: oksigen fisik yang terlarut dalam darah dan oksigen terikat secara kimia oleh
hemoglobin. Dikarenakan kelarutan okasigen dipengarugi oleh tekanan parsial O2 dan
suhu, dimana hal itu merupakan factor yang sangat berubah-ubah sehingga untuk
memenuhi kebutuhan O2 dalam jumlah besar dibutuhkan mekanisme lain yaitu aksigen
terikat secara kimia. Hal ini dilakukan oleh hemoglobin dimana terjadi ikatan antara
oksigen dengan hemoglobin sebagai oksihemoglobin. Pengikatan O2 oleh hemoglobin
khususnya dilakukan oleh besi (Mohamad Sadikin, 2001).
Hemoglobin terdiri dari hemoglobin normal dan hemoglobin patologis. Hemoglobin
normal diantaranya, yaitu: Hb A (hemoglobin normal dewasa, terdiri 2 rantai alfa dan 2
rantai beta), Hb A2 (hemoglobin normal dewasa, terdiri dari 2 rantai alfa dan 2 rantai
delta), Hb F (Hb normal pada janin, terdiri dari 2 rantai alfa dan 2 rantai gamma), Hb
Gowers (Hb normal pada awal khidupan embrio dan hilang sebelum lahir), Hb Portland
(Hb normal pada janin akhir trimester pertama) (Newman Dorland, 2005). Hemoglobin
patologis merupakan akibat dari adanya kelainan produksi hemoglobin. Hemoglobin
tersebut yaitu:
- Hb H : hemoglobin tetramer beta (β) yang memiliki afinitas tinggi terhadap O2.
- Hb Bart’s : hemoglobin tetramer gamma (γ) yang memiliki afinitas tinggi terhadap O2.
- Hb A1c : hemoglobin A terglikasi, terdapat satu heksosa pada terminal N rantai β,
konsentrasi meninggi pada diabetes yang tidak terkontrol dengan baik.
- Hb anti-Lepore : hemoglobin crossover abnormal yang sama dengan Hb Lepore tetapi
rantai non-α bergabung dengan konfigurasi yang berlawanan dengan Hb Lepore (rantai β
pada terminal N dan rantai δ pada terminal C).
- Hb Lepore : Hb crossover abnormal dengan rantai α normal dan dua rantai globin yang
memiliki bagian rantai δ pada terminal N dan rantai α pada terminal C.
- Hb C : hemoglobin abnormal dimana lisin menggantikan asam glutamate pada posisi
enam rantai β.
- Hb D : hemoglobin abnormal yang ditandai oleh mobilitas elektroforetik yang sama
dengan Hb S pada kertas atau selulosa asetat.
- Hb E : hemoglobin abnormal di mana lisin menggantikan asam glutamate pada posisi
26 rantai β.
- Hb S : hemoglobin abnormal di mana valin menggantikan asam glutamate pada posisi
enam rantai β. Keadaan homozigot mengakibatkan anemia sickle cell dan heterozigot
asimptomatik disebut sickle cell trait. (Newman Dorland, 2005)

B. Pembentukan, Maturasi, dan Destruksi Eritrosit


Eritropoesis merupakan proses pembuatan eritrosit. Pada janin dan bayi baru lahir proses
ini berlangsung dalam limpa dan sumsum tulang, tetapi pada individu yang lebih tua
hanya terbatas pada sumsum tulang, seperti: vertebra, tulang iga, sternum, tulang
tengkorak, sacrum, pelvis, ujung proksimal femur (A.V. Hoffbrand, et al., 2005).
Sel pertama yang dapat dikenali sebagai bagian dari rangkaian sel darah merah adalah
proeritroblas. Dengan rangsangan yang sesuai maka dari sel-sel stem CFU-E (Colony
Forming Unit-Erytroid) dapat dibentuk banyak sekali proeritroblas. Sekali proeritroblas
ini terbentuk maka ia akan membelah beberapa kali sampai akhirnya akan terbentuk
banyak sel darah merah yang matur. Sel-sel generasi pertama ini disebut basofil
eritroblas. Pada generasi berikutnya, sel sudah dipenuhi oleh hemoglobin dengan
konsentrasi sekitar 34% (polikromatofil eritroblast), maka nukleus memadat menjadi
kecil, dan sisa akhirnya terdorong dari sel (ortokromatik eritroblast). Pada saat yang
sama, retikulum endoplasma direabsorbsi. Pada tahap ini, sel disebut retikulosit karena
masih mengandung sedikit bahan basofilik, yaitu terdiri dari sisa-sisa aparatus Golgi,
mitokondria, dan sedikit organel sitoplasmik lainnya. Selama tahap retikulosit, sel-sel
berjalan dari sumsum tulang masuk ke dalam kapiler darah dengan cara diapedesis
(terperas melalui pori-pori membran kapiler).
Bahan basofilik yang tersisa dalam retikulosit normalnya akan menghilang dalam waktu
1 sampai 2 hari, dan sel kemudian menjadi eritrosit matur. Karena waktu hidup eritrosit
ini pendek, maka konsentrasinya diantara seluruh sel darah merah dalam keadaan normal
< 1 % (A.C. Guyton dan John E. Hall, 1997).
Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi eritropoiesis antara lain: sel induk: CFUE,
BFUE, dan normoblast (eritroblast), bahan pembentuk eritrosit: besi, vitamin B12, asam
folat, protein, dll, serta mekanisme regulasi seperti faktor pertumbuhan hemopoietik dan
hormon eritropoietin (I Made Bakta, 2006).
Maturasi atau pematangan akhir eritrosit dipengaruhi oleh vitamin B12 (sianokobalamin)
dan asam folat. Kedua unsur tersebut penting untuk sintesis DNA, karena sianokobalamin
dan asma folat tersebut dibutuhkan untuk pembentukan timidin trifosfat, yaitu salah satu
blok pembangun penting dari DNA. Oleh karena itu, kurangnya sianokobalamin atau
asam folat dapat menyebabkan penurunan DNA sehingga dapat terjadi kegagalan
pematangan dan pembelahan inti. Sel-sel eritroblastik pada sumsum tulang akan gagal
berproliferasi secara cepat sehingga mengakibatkan ukuran sel lebih besar dari normal
(A.C. Guyton dan John E. Hall,1997).
Masa hidup eritrosit pada umumnya selama 120 hari. Sebagian besar eritrosit mengakhiri
hidupnya di limpa dikarenakan jaringan kapiler organ ini sempit sehingga sel menjadi
rapuh dan pengeluaran eritrosit usang pada hati oleh mekanisme makrofag (Laurelle
Sherwood, 2001). Dalam limpa, sebelum eritrosit masuk ke dalam sinus limpa, eritrosit
harus melewati bagian pulpa limpa akan diperas sehingga sel-sel eritrosit tersebut akan
rapuh karena trauma tersebut (A.C. Guyton dan John E. Hall, 1997). Proses destruksi
eritrosit terjadi secara normal setelah masa hidup eritrosit habis (sekitar 120 hari). Proses
ini terjadi melalui mekanisme yang terdiri dari:
1. Fragmentasi
Mekanisme fragmentasi terjadi apabila kehilangan beberapa bagian membrane eritrosit
sehingga menyebabkan isi sel keluar termasuk hemoglobin.
2. Lisis Osmotik
Tekanan osmotik plasma merupakan gambaran terjadinya kecenderungan mendorong air
dan Na dari daerah konsentrasi tinggi di interstisium ke daerah dengan konsentrasi air
rendah di plasma (atau konsentrasi protein plasma lebih tinggi). Sehingga protein plasma
dapat dianggap “menarik air” ke dalam plasma. Hal ini dapat mengakibat lisis eritrosit
yang disebabkan efek osmotik.
3. Eritrofagositosis
Mekanisme destruksi eritrosit ini melalui fagositosis yang dilakukan oleh monosit,
neutrofil, makrofag. Fagositosis eritrosit ini terutama terjadi pada eritrosit yang dilapisi
antibody. Mekanisme ini meruapakan salah satu indikator adanya AutoImun Hemolitic
Anemia (AIHA).
4. Sitolisis
Sitolisis biasanya dilakukan oleh komplemen (C5, C6, C7, C8, C9). Sitolisis ini
meruapakan indikator Peroxysimal Nocturnal Haemoglobinuria (PNH).
5. Denaturasi Hemoglobin
Hemoglobin yang terdenaturasi akan mengendap menbentuk Heinz bodies. Eritrosit
dengan Heinz bodies akan cepat didestruksi oleh limpa. Heinz bodies melekat pada
membran permeabilitas membesar sehingga mengakibatkan lisis osmotik juga.

Destruksi Eritrosit
Eritrosit

Globin Heme

Asam amino Fe CO Protoporfirin

Pool protein Pool Besi Bilirubin indirek

Disimpan/ digunakan lagi


Hati (glukuronida)
Bilirubin direk
EMPEDU

Feses: Urine: Sterkobilinogen Urobilinogen

Gb. Destruksi Eritrosit (diambil dari I Made Bakta, Hematologi Klinik Ringkas,
Jakarta:EGC, 2006)
Destruksi yang terjadi karena proses penuaan disebut proses senescence, sedangkan
destruksi patologis disebut hemolisis. Hemolisis dapat terjadi intravaskuler dapat juga
terjadi ekstravaskuler, terutama dalam sistem RES (reticuloendotelial system) yaitu lien
(limpa) dan hati.
Hemolisis yang terjadi pada eritrosit akan mengakibatkan terurainya komponen-
komponen hemoglobin menjadi :
1. Komponen protein yaitu globin yang akan dikembalikan ke pool protein dan dapat
dipakai kembali.
2. Komponen heme akan pecah menjadi 2 :
a. Besi : yang akan dikembalikan ke pool protein dan dapat dipakai kembali.

Anda mungkin juga menyukai