Anda di halaman 1dari 12

PENDAHULUAN

Perkembangan tafsir Alquran dari masa ke masa terus berkembang di seluruh wilayah
dan Negara kaum muslimin. Sangat menarik untuk dipelajari dan dianalisis sebagai referensi
dalam dunia tafsir.

Sejarah perkembangan tafsir dapat dibagi menjadi tiga priode. Pertama, Priode
Rasulullah , Sahabat, dan awal masa Tabi’in. Pada priode ini, tafsir belum ditulis dan secara
umum periwayatan tersebar secara lisan. Kedua, Priode ketika ‘Umar bin Abdul ‘Azis (99-101
H) memulai mengkodifikasikan hadits secara resmi. Pada priode ini, penulisan tafsir masih
bergabung dengan penulisan hadits-hadits, dan dihimpun dalam satu bab seperti bab-bab hadits.
Umumnya penafsiran tersebut dikenal sebagai Tafsir bi al-Ma’tsur. Ketiga, Priode penyusunan
kitab-kitab tafsir secara khusus dan berdiri sendiri. Sementara ahli menduga bahwa penyusunan
kitab tafsir secara khusus telah dimulai oleh Al-Farra (w. 207 H), penulis kitab Ma’ani al-Quran.
Berdasarkan pembagian ini, maka kitab tafsir baru disistematisasikan pertama sekali pada abad 2
H, yakni ketika Al-Farra (w. 207 H) menuliskan sebuah kitab tafsir secara khusus dan sistematis.
Penulisan ini pun dilakukan di Timur Tengah.1

Pembahasan kali ini adalah sejarah perkembangan tafsir di Negara Iran yang merupakan
basis dari Syiah atau Rafidhah. Berikut pembahasannya

1
http://liputanislam.com/kajian-islam/tafsir/sejarah-perkembangan-tafsir-alquran/
PEMBAHASAN

1. Sejarah Perkembangan Tafsir di Iran

Iran wilayah yang memiliki luas hampir 1,65 km², memiliki kedudukan unik sebagai satu-
satunya negeri Islam yang menjadikan syiah sebagai mazhab resmi dan mayoritas penduduknya
bermazhab syiah, lebih tepat lagi mazhab syiah Itsna ‘asyariyah. Memang, terdapat kelompok
besar syiah itsna ‘asyariyah yang penting di Irak dan kelompok-kelompok kecil di Libanon,
Bahrain serta daerah-daerah lainya. Namun secara keseluruhan, komunitas syiah itsna ‘asyariyah
hanya 8 persen dari komunitas umat Islam dunia, dibandingkan pengikut mazhab sunni yang
berjumlah 90 persen.2

Terjadi kondisi dimana tarik menarik antara tradisi keilmuaan agama yang klasik dengan
kajian filsafat. Bahkan kajian-kajian filsafat semakin ditinggalkan di majlis-majlis keilmuan di
Iran pada saat itu. Kondisi ini disikapi secara serius oleh ‘Allamah Thabathaba’i. Ia berjuang
keras mengembalikan filsafat kepada singgasananya. Usaha ini mendapat respon keras dari
sebagian ulama, termasuk Ayatullah Burujerdi, seorang marja taklid yang paling berpengaruh
saat itu. Namun, dengan segala kegigihannya, Allamah Thabthabai berhasil meluluhkan
perlawanan mereka dan membuktikan pentingnya kembali di ajarkan filsafat di hauzah-hauzah
ilmiah syiah. Bahkan, kegigihannya mengajarkan filsafat ini, menjadi alasan kuat mengapa
Allamah Thabathabi tidak menjadi marja’.3

Usaha mulia sang Allamah dari Tabriz ini, tidaklah kosong dari harapan. Sinar
keberhasilan mulai tampak dengan besarnya minat para generasi muda untuk belajar filsafat di
samping ilmu-ilmu istinbath hukum, sehingga generasi pasca Allamah Thabthabai, lahir para
ulama-ulama besar yang bergelar mujtahid atau Ayatullah dalam penyimpulan hukum Islam,
tetapi mahir pula berbicara filsafat dan ‘irfan. Bahkan Jika kita mengamati dialektika ilmu-ilmu
syariat dengan filsafat, maka belakangan ini terjadi perubahan menarik, bahwa keduanya telah

2
William Mongomery Watt. Fundamentalisme Islam dan Modernitas. Terj. Taufiq Adnan Amal. (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1997), h. 263. Bandingkan dengan Olivier Roy. Gagalnya Islam Politik. (Jakarta: Serambi, 1992),
h. 211-212
3
https://abuthalib.wordpress.com/2009/08/17/republik-islam-iran/#_ftnref9 diakses 1 nopember 2018 pukul
06.14
saling isi dan mempengaruhi. Ilmu ushul fiqh, misalnya, dalam perkembangan terakhir, telah
diwarnai oleh pemikiran filsafat sebagaimana terlihat dari gagasan revolusioner Muhammad
Baqir Shadr dengan karyanya yang berjudul ‘al-Halaqat’. Hal yang sama pun terjadi pula pada
kajian tafsir, yang juga turut diwarnai filsafat dan gnostik, sebagaimana yang terlihat dari kitab
‘Mizan fi Tafsir al-Quran’ karya ‘Allamah Thabathaba’i.

Selain Allamah Thabathabai, tidak pula bisa dilepaskan peran Imam Khumaini, dalam
menyebarkan gagasan-gagasan filosofis dan irfanis. Menariknya, kajian-kajian filsafat mereka
tidak bercorak sama. Mehdi Ha’iri Yazdi menerangkan bahwa kuliah ‘Allamah Thabathaba’i
cenderung bernuansa rasional. Sedangkan kuliah Imam Khomeini yang cenderung bernuansa
gnostik4

2. Pengertian Tafsir Syiah

Sebelum memberikan definisi mengenai tafsir Syiah, perlu kita perhatikan dulu dua term,
yaitu tafsir dan Syiah. Dalam beberapa literature ilmu-ilmu Al-Quran, tafsir bisa disimpulkan
sebagai upaya seorang mufassir dalam memaknai dan menjelaskan makna Al-Quran.
Diantaranya Muhammad Husain Adz-Dzahabi mengatakan bahwa tafsir yaitu ilmu yang
membahas tentang maksud Allah SWT sesuai dengan kemampuan mufassir yang mencakup
segala sesuatu tentang pemahaman terhadap makna dan penjelasan terhadap maksud ayat5.

Sedangkan Syi’ah secara bahasa adalah pengikut, pendukung, partai, atau kelompok.
Menurut istilah adalah kaum muslim yang dalam bidang spiritual dan keagamaan merujuk pada
keturunan Nabi Muhammad atau yang disebut sebagai ahl al-bait. Dalam bahasa mudahnya, dan
hal ini lazim dikenal di dunia Islam, Syi’ah adalah aliran dalam teologi Islam yang memihak dan
sangat memuliakan Ali beserta keluarganya.6 Bahkan Muhammad Husain al-Dzahabi menyebut
Syi’ah sebagai kelompok yang mengagungkan Ali beserta keluarganya. Sampai-sampai
disebutkan bahwa Ali adalah imam setelah Rasulullah, dan orang yang berhak mewarisi
kekhalifahan7

4
Muhsin Labib. Para Filosof Sebelum dan Sesudah Mulla Shadra. (Jakarta: Lentera, 2005), h. 161
5
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I (t.tp: t.p, 1976), hlm. 15
6
Drs. Rosihon Anwar, M. Ag., Samudera Alquran(Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001), hlm. 222
7
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun,….3
Dari sini bisa disimpulkan, bahwa tafsir Syi’ah adalah tafsir Alquranyang muncul dari
kalangan Syi’ah yang banyak memakai pendekatan simbolik, yaitu mengkaji aspek batin al-
Qur’an. Lebih lanjut kalangan Syi’ah menyebutkan, bahwa aspek batin Alquranbahkan
dipandang lebih kaya daripada aspek lahirnya.8

3. Latar Belakang Kemunculan Tafsir Syi’ah

Untuk melihat kapan pastinya tafsir Syi’ah muncul di dunia Islam, perlu kiranya diperhatikan
faktor yang menyebabkan timbulnya tafsir di kalangan ini. Dalam bahasa Ignaz Goldziher, kita
harus mempertanyakan apa tujuan yang ingin dicapai oleh penganut sekte Syi’ah dengan
memasukkan kepentingan sekte keagamaan serta prinsip-prinsip dasar mereka ke dalam
penafsiran al-Qur’an? Selanjutnya Goldziher menyebutkan bahwa sebenarnya mereka mencari
justifikasi dari Alquranuntuk melakukan penolakan terhadap kepemimpinan Ahlu Sunnah,
dengan melakukan rongrongan atas kekhalifahan di bawah kekuasaan Dinasti Umayah dan
Dinasti Abbasiyah, kemudian melontarkan gagasan kesucian atas diri sahabat Ali serta para
imam9. Rosihon Anwar bahkan berani menyebutkan, bahwa tafsir Syi’ah muncul dengan tujuan
memperkuat (melegitimasi) doktrin teologis mereka, terutama doktrin imamah10

Jika demikian, benar bahwa tafsir Syi’ah muncul sejak zaman pemerintahan Ali, bahkan
lebih jauh lagi sejak pemerintahan Utsman. Kemunculannya lebih banyak dipicu oleh
kepentingan teologis (atau bahkan politis?) untuk mencari justifikasi doktrin Syi’ah, terutama
masalah imamah.

4. Tokoh-tokoh Tafsir Syiah dan Karya-karyanya

Prof. Dr. Abubakar Aceh menganggap Ali bin Abi Thalib sebagai ahli tafsir pertama dari
kalangan Syi’ah, karena memang beliau diklaim sebagai imam Syi’ah, pewaris utama
Rasulullah. Tidak itu saja, beliau juga dianggap sebagai ahli tafsir pertama di dunia Sunni.
Selanjutnya, muncul Ubay bin Ka’ab (w. 30 H) dan Abdullah bin Abbas (w. 68 H). Abdullah bin
Abbas, yang biasa dipanggil dengan Ibnu Abbas memiliki karya tafsir, yaitu Tafsir Ibnu Abbas.

8
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun,….218
9
Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir: dari Aliran Klasik hingga Modern, terj. M. Alaika Salamullah, dkk. (Yogyakarta:
eLSAQ Press, 2003), hlm. 314
10
Drs. Rosihon Anwar, M. Ag. , Samudera al-Qur’an, hlm. 249
Tafsir ini sering digunakan di dunia Syi’ah. Kedua tokoh ini disebut oleh Imam al-Suyuthi,
dalam kitab al-Itqan, sebagai sepuluh ahli tafsir dari sahabat kurun pertama11

Adapun dari kalangan tabi’in, di antaranya Maisam bin Yahya al-Tamanar (w. 60 H), Sa’id
bin Zubair (w. 94 H), Abu Saleh Miran (w. akhir abad I H), Thaus al-Yamani (w. 106 H), Imam
Muhammad al-Baqir (w. 114 H), Jabir bin Yazid al-Ju’fi (w. 127 H), dan Suda al-Kabir (w. 127
H). Yang terakhir sebenarnya bukan ulama dari kalangan Syi’ah. Tetapi beliau sangat menguasai
seluk-beluk tentang Syi’ah. Selanjutnya, ahli tafsir Syi’ah secara umum, dalam arti bukan hanya
dari kalangan Syi’ah (insider) tapi juga dari luar Syi’ah (outsider), di antaranya Abu Hamzah al-
Samali (w. 150 H), Abu Junadah al-Saluli (w. pertengahan abad 2 H), Abu Ali al-Hariri (w.
pertengahan abad 2 H), Abu Alim bin Faddal (w. akhir abad 2 H), Abu Thalib bin Shalat (w.
akhir abad 2 H), Muhammad bin Khalil al-Barqi (w. akhir abad 2 H), Abu Utsman al-Mazani
9w. 248 H), Ahmad bin Asadi (w. 573 H), Al-Fattal al-Syirazi (w. 984 H), Jawad bin Hasan al-
Balaghi (w. 1302 H), dan lain-lain. Ada juga ulama yang menulis tafsir dengan topik-topik
tertentu, seperti al-Jazairi (w. 1151 H) dalam bidang hukum, al-Kasai (w. 182 H) tentang ayat-
ayat mutasyabihat, Abul Hasan al-Adawi al-Syamsyathi (w. awal abad IV H) menulis tentang
gharib al-Qur’an, Muhammad bin Khalid al-Barqi (w. akhir abad 2 H) menulis tentang asbab al-
nuzul, Suduq bin Babuwih al-Qummi (w. 381 H) tentang nasikh-mansukh, dan Ibnu al-Mutsanir
(w. 206 H) menulis tentang majaz.12

Sementara itu, Ignaz Goldziher menganggap Imam al-Jabir al-Ju’fi (w. 128 H/745 M)
sebagai ulama yang pertama kali meletakkan dasar-dasar madzhab Syi’ah. Beliau menulis kitab
tafsir. Sayang kitab tersebut tidak sampai kepada kita, kecuali melalui cerita sepotong-sepotong.
Selanjutnya, Goldziher hanya mampu menyebutkan kitab tafsir Syi’ah sejak abad ketiga hijriyah.
Di antaranya, yang paling tua adalah kitab Bayan al-Sa’adat fi Maqam al-Ibadah karya al-
Sulthan Muhammad bin Hajar al-Bajakhti. Kitab ini dirampungkan pada tahun 311 H/923 M.
Pada abad keempat hijriyah muncul karya tafsir Abu al-Hasan Ali bin Ibrahim al-Qummi. Sejak
saat itulah, menurut Goldziher, bermunculan produk-produk tafsir dari kalangan Syi’ah. Salah

11
Prof. Dr. Abubakar Aceh, Perbandingan Madzhab Syi’ah Rasionalisme dalam Islam (Semarang: CV. Ramadhani,
1980), hlm. 155
12
Abubakar Aceh, Perbandingan Madzhab Syi’ah Rasionalisme dalam Islam ….hlm. 156-158
satunya dalah kitab tafsir yang memiliki pembahasan panjang dan terdiri dari 20 bagian karya
ulama besar Syi’ah, Abu Ja’far al-Thusi (w. 460 H/1068 M)13

Kemudian, Muhammad Husain al-Dzahabi menyebutkan beberapa karya tafsir Syi’ah secara
lebih gamblang. Dari kalangan Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyara di antaranya tafsir karya al-Hasan
al-‘Askari (w. 254 H), tafsir Muhammad bin Mas’ud bin Muhammad bin ‘Iyasy al-Silmi al-Kufi
(w. abad III H), tafsir ‘Ali bin Ibrahim al-Qummi (w. awal abad IV H), al-Tibyan karya Abu
Ja’far Muhammad bin al-Hasan bin ‘Ali al-Thusi (w. 460 H), Majma’ al-Bayan karya Abu Ali
al-Fadlal bin al-Hasan al-Thabrasi (w. 538 H), al-Shafi karya Mala Muhsin al-Kasyi, Mir-at al-
Anwar wa Misykat al-Asrar karya Abdul Lathif al-Kazirani, Tafsir Alqurankarya Abdullah bin
Muhammad Ridla al’Alawi (w. 1242 H), Bayan al-Sa’adah fi Maqamat al-‘Ibadah karya Sulthan
bin Muhammad bin Haidar al-Khurasani (w. abad XIV H), dan Ala-u al-Rahman fi Tafsir
Alqurankarya Muhammad Jawad bin Hasan al-Najafi (w. 1352 H).

Dari kalangan Syi’ah Imamiyah, Isma’iliyah atau Bathiniyah, baik Mutaqadimin maupun
Mutaakhirin, Imam al-Dzahabi tidak menyebutkan secara jelas karya tafsir yang muncul. Begitu
juga dari kalangan Syi’ah Babiyah dan Bahaiyah. Karena memang dari tiga aliran Syi’ah ini
tidak banyak kitab tafsir yang dijumpai, disebabkan ulama dari kalangan ini tidak memfokuskan
diri mengarang kitab tafsir.

Selanjutnya, dari kalangan Syi’ah Zaidiyah ada beberapa karya tafsir. Di antaranya Gharib
Alquran karya Imam Zaid bin Ali, al-Tahdzib karya Muhsin bin Muhammad bin Karamah al-
Zaidi (w. 464 H), al-Taisir fi al-Tafsir karya Hasan bin Muhammad al-Nahawi al-Zaidi (w. 791
H), tafsir Ibn al-Aqdlam, Tafsir Ayat al-Ahkam karya Hasan bin Ahmad al-Najari, Muntaha al-
Maram karya Muhammad bin al-Hasan bin al-Qasim, dan Fath al-Qadir karya al-Syaukani (w.
1250 H).14

13
gnaz Goldziher, Mazhab Tafsir: dari Aliran Klasik hingga Modern, terj. M. Alaika Salamullah, dkk. (Yogyakarta:
eLSAQ Press, 2003) hlm. 335-336
14
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir Wa al-Mufassirun, Juz II, hlm. 3-299
5. Corak dan Metode Tafsir Syiah

Merujuk pada kajian yang dilakukan Rosihon Anwar, secara umum, corak tafsir Syi’ah
adalah tafsir simbolik (menekankan pada aspek batin al-Qur’an).15 Dalam khazanah Ulum al-
Qur’an, tafsir seperti ini biasa dikenal dengan tafsir bathini. Al-Dzahabi menyebut tafsir simbolik
dengan ungkapan al-tafsir al-ramzi, sedangkan Habil Dabashi menggunakan istilah tafsir
esoterik. Kalangan Syi’ah lebih menekankan penafsirannya pada aspek batin al-Qur’an.
Pengklasifikasian Alquran menjadi dua bagian, aspek lahir dan aspek batin, merupakan prinsip
terpenting dalam penafsiran Syi’ah, terutama Syi’ah Imamiyah. Bahkan, aspek batin dianggap
mereka sebagai aspek yang lebih kaya daripada aspek lahir.

Adapun metode yang dipakai kalangan Syi’ah dalam menafsirkan al-Qur’an, beragam. Setiap
aliran dalam Syi’ah berbeda metodenya dalam menafsirkan al-Qur’an. Tapi secara umum, seperti
dikemukakan Rosihon Anwar, metode yang umum dipakai kalangan Syi’ah, yang banyak
memakai pendekatan tafsir esoterisme-sentris, adalah metode takwil. Dan perlu diketahui, dalam
Syi’ah ada beberapa macam aliran. Imam al-Dzahabi membaginya ke dalam dua aliran, yaitu
Zaidiyah dan Imamiyah. Aliran Imamiyah terdiri dari Imamiyah Itsna ‘Asyariyah dan Imamiyah
Isma’iliyah. Kemudian, Imamiyah Isma’iliyah memiliki tujuh sebutan, yaitu Isma’iliyah,
Bathiniyah, Qaramithah, Haramiyah, Sab’iyah, Babikiyah atau Khurmiyah, dan Muhmirah16.
Setiap aliran tersebut memiliki metode tafsir khasnya masing-masing.

” Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman,
yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah) “

15
Tapi harus dibedakan antara tafsir Syi’ah dengan tafsir Sufi. Karena tafsir Sufi pun menekankan pada aspek batin
al-Qur’an, seperti pada tafsir Syi’ah. Lihat Abdul Mustaqim, Madzahibut………, hlm. 85. Di sini, Abdul Mustaqim
menyebutkan, bahwa kalangan Sufi memakai metode penakwilan ayat-ayat al-Qur’an yang berbeda dengan makna
lahirnya. Lihat juga Drs. Rosihon Anwar, M. Ag. , Samudera………, hlm. 208. Rosihon menyebutnya dengan istilah
pendekatan tafsir esoterisme-sentris. Penulis memandang, yang membedakan penakwilan yang dilakukan
kalangan Syi’ah dengan kalangan Sufi adalah pada adanya petunjuk khusus. Kalangan Sufi, dalam melakukan
takwil, selalu melihat petunjuk khusus atau ilham. Beda dengan kalangan Syi’ah, yang cenderung arogan dan
serampangan dalam menggunakan metode takwil.
16
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Fufassirun, Juz II, hlm. 5-10
Al-Thusi menjadikan ayat tersebut sebagai dasar bagi keimaman Ali kw. sesudah Nabi saw.
langsung tanpa terputus. Pengertian wali dalam ayat di atas, menurut al-Thusi, adalah ‘yang lebih
berhak’ atau ‘yang lebih utama,’ yaitu Ali. Juga, yang dimaksud wa al-ladzina amanu adalah Ali
kw. Maka, ayat ini ditujukan kepada Ali kw. 17.Sama halnya dengan al-Thusi, al-Thabrisi, dalam
tafsir Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, menggunakan ayat di atas untuk mengukuhkan
kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Tidak beda dengan pendahulunya, al-Thabrisi juga
memaksudkan ayat ini kepada Ali kw.

Melihat contoh di atas, tampak bagaimana Syaikh al-Thusi dan al-Thabrisi menggunakan
penakwilan untuk menakwilkan kata wali dan wa al-ladzina amanu yang ditujukan kepada
Sayyidina Ali kw.

Selain dua mufassir Syi’ah di atas, ada satu lagi mufassir dari kalangan Syi’ah Imamiyah
Itsna ‘Asyariyah, yaitu Mala Muhsin al-Kasyi. Berbeda dengan metode yang dipakai al-Thusi
dan al-Thabrisi, al-Kasyi, dalam tafsirnya al-Shafi fi Tafsir Alquranal-Karim, memakai metode
tafsir bi al-ma’tsur. Hal ini terbukti dengan banyaknya beliau menggunakan atsar-atsar. Hanya
saja, karena bermaksud memperkukuh pandangan madzhabnya, atsar-atsar yang digunakan
kebanyakan riwayat-riwayat yang dinisbatkan kepada Ahl al-Bait

Contoh mengenai pendapat bahwa Alquranditurunkan untuk memberikan pujian kepada


Ahl al-Bait serta menyalahkan musuh-musuh mereka. Untuk menerangkan hal ini, al-Kasyi
menggunakan riwayat Abu Ja’far: “Apabila engkau mendengar Allah menyebutkan suatu kaum
dari umat ini dengan sebutan baik, maka kitalah mereka itu. Dan apabila engkau mendengar
Allah menyebutkan suatu kaum dengan sebutan yang jelek daripada umat terdahulu, maka
mereka itu adalah musuh-musuh kita”18

Karena terlalu bebasnya mereka menggunakan takwil, Dr. Mahmud Basuni Faudah
sampai berani menyebutkan, bahwa mereka bukanlah termasuk golongan orang Islam, walaupun
mereka mengklaim sebagai pengikut Ahl al-Bait.19

6. Kekurangan dan Kelebihan Tafsir Syi’ah

17
Dr. Mahmud Basuni Faudah, Mazhab Tafsir: dari Aliran Klasik hingga Modern, terj. M. Alaika Salamullah, dkk.
(Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003), hlm. 155-160
18
Dr. Mahmud Basuni Faudah, Mazhab Tafsir: dari Aliran Klasik hingga Modern,…. hlm. 221
19
Dr. Mahmud Basuni Faudah, Mazhab Tafsir: dari Aliran Klasik hingga Modern,…. hlm. 224
Ada satu kelebihan yang bisa kita tiru dari metode tafsir yang digunakan kelompok Syi’ah.
Dengan menggunakan metode takwil, kelompok Syi’ah lebih konsen kepada makna batin al-
Qur’an. Walaupun harus diperhatikan, bahwa banyak takwil mereka yang cenderung arogan. Hal
ini berbeda dengan metode tafsir yang berkembang di dunia Sunni, yang cenderung literal dan
skriptualis. Sehingga penafsiran Alqurandi dunia Sunni kurang memperhatikan weltanschaung
Alquran dan aspek batin (esoteris) al-Qur’an, yang merupakan pesan Alquran yang sebenarnya.20

Adapun kekurangan tafsir Syi’ah, seperti yang dibicarakan di atas, penggunaan metode
takwil mereka cenderung arogan dan tidak mengindahkan aturan-aturan takwil dalam khazanah
‘Ulum al-Qur’an. Takwil yang mereka pakai hanya didasarkan pada kepentingan mereka
mencari justifikasi untuk mendukung pandangan madzhabnya. Akibatnya, makna Alquran sering
mereka selewengkan demi kepentingan madzhab mereka. Sehingga, alih-alih mereka mencari
makna batin al-Qur’an, malah makna Alquran mereka selewengkan begitu jauh.21

1.Biografi Thabathaba’i

Nama lengkapnya adalah Muhammad Husein Thabathaba’i. ia adalah seorang mufassir, syekh di
bidang syariat islam dan ilmu esoteris, hakim, filsuf, dan ulama-pemikir modernis yang lahir di
Tabris Iran tahun 1903 dan wafat pada tahun 1981.1 ia dilahirkan dalam suatu keluarga
keturunan Nabi Muhammad saw yang selama empat belas generasi telah melahirkan sarjana-
sarjana terkemuka dan telah menekuni bahasa Parsi, bahasa Arab, tata bahasa, sastra dan
berbagai ilmu sejak masa kecilnya. Thabathabai lebih cenderung tertarik pada pengetahuan
aqliyah. Ia juga mempelajari ilmu matematika tradisional, filsafat Islam tradisional, ilmu
gramatika dan lain-lain. Disamping mengajarkan ilmu-ilmu tersebut ia juga mengajarkan kepada
murid-murid tertentunya tentang ilmu makrifat dan seluk-beluk perbandingannya. Thabathabai
memiliki kualitas keilmuan yang telah diakui, ia memiliki wawasan yang luas dan hal ini
nampak pada beberapa karyanya yang fenomenal dan salah satu diantarnya adalah tafsir Al-
Mizan.

2.Karya-Karya Thabathaba’i

20
Drs. Rosihon Anwar, M. Ag. , Samudera Al-Qur’an, hlm.209
21
Drs. Rosihon Anwar, M. Ag. , Samudera Al-Qur’an, hlm.210
Setelah menempuh waktu yang cukup lama dalam mencari ilmu, ia mulai mengajarkan ilmunya
kepada ribuan murid-muridnya yang dibagi dalam tiga kelompok :

a. Sejumlah besar murid yang terpilih dan layak mendalami pengetahuan tentang tasawuf dan
makrifat,

b. Murid tradisional di Qum dan sekitarnya,

c. Kaum terpelajar modern dan non-Persia di Teheran.

Disamping aktifitasnya dalam menyampaikan dan mengajarkan berbagai macam ilmu, ia juga
disibukkan dengan kegiatan tulis-menulis. Adapun karangan-karangannya yang kemudian
dianggap sangat penting di dunia pemikiran dan intelektual islam antara lain Hasyiyyah bar
Asfar, Musahabat ba Ustaz korbin, Risalah dar Hukumat-I Islami, Hasyiyyah-i Kifayah, Ali wa
al-Falsafah al-Ilahiyyah, Quran dar Islam, Syiar dar Islam, dan Usul al-Falsafah wa Rawis-i
Rialism. Ia juga aktif menulis berbagai artikel, makalah, dan aktif membawakan diskusi. Majalah
shaut al-Ummah mengungkapakan bahwa keseluruhan karya-karya Thabathabai mencapai lima
puluh buah dan hal ini merupakan jumlah yang cukup besar bagi intelek sepertinya.

Perlu diketahui bahwa Thabathabai adalah seorang ulama Syi’ah terkemuka. Oleh karena itu
pemikiran dan karya-karyanya diwarnai oleh ideologi kesyi’ahan. Kesyi’ahan dan keteguhan
pada ideologi aliran imam Thabathabai sangat nampak ketika ia mengeluarkan karyanya yang
bejudul Islam Syi’ah, buku ini mengulas tentang bagaimana Syi’ah memandang agama Islam.
Dan juga pengaruh yang sangat jelas menurut pendapat salah seorang doktor jebolan dirasah
islamiah Al-Azhar Kairo[1], menurut beliau pengaruh besar syi’ah yang terdapat dalam kitab
tafsir ini adalah imam Thab’athaba’I tidak menerima yang metode nasikh mansukh dalam Al-
Qur’an. Beliau lebih lanjut mangatakan bahwa nasikh mansukh tidak bisa diterima secara akal
karena ketika Allah menyebut ayat dalam Al-Quran kemudian ia menasakhnya dengan
mendatangkan ayat yang lain, itu membuktikan bahwa Allah tidak mempunyai komitmen dalam
menciptakan sesuatu. Thabathabai tidak menggunakan kata-kata nasikh mansukh akan tetapi
menurut beliau ia manggunakan kata-kata rekonstruksi atau reformasi ayat-ayat Al-Quran yang
katanya masih bisa diterima baik dikalangan awam maupun orang yang memiliki intelektual
tinggi sekalipun. Tapi, semua itu hanyalah parsoalan bahasa.22

22
http://www.id.islamic-sources.com/article/metodologi-penafsiran-thabathabi-dalam-al-mizan
KESIMPULAN

Islam mengembangkan dakwah di seluruh dunia islam. Dalam rangka mengembangkan


ilmu-ilmu keislaman dan salah satunya adalah ilmu tafsir, maka dari itu para ulama dan
masyarakat muslimin mengembangkannya dengan berbagai cara. Diantaranya adalah para ahli
alquran yang mengembangkan dakwah dengan membuat tafsir dan hal-hal yang terkait di
dalamnya.

Diantara nya adalah perkembangan tafsir di Negara Iran. Iran adalah satu-satunya
Negara yang memberlakukan syiah sebagai agama resmi negaranya. Perkembangan tafsir syiah
dipelopori banyak para tokohnya diantaranya yang paling menonjol adalah at Thabathabai.

Corak penafsiran di Negara ini adalah mayoritas penafsiran makna batin dari alquran.
Ditambah lagi disesuaikan dengan doktrin pemahaman syiah seperti keutamaan Ali bin Abi
Thalib. Meskipun sempat ada tokoh yang menafsirkan dengan sesuai tekstual sebagai di sunni
ada tafsir ibnu kasir, tapi belakangan dikalahkan dengan corak penafsiran falsafi dan makna batin
dari ayat Alquran.

Setelah mengkaji biografi dan metode yang digunakan Thabathabai dalam menafsirkan
Al-Quran, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Thabathabai memiliki banyak disiplin ilmu
sehingga ia bisa memunculkan karya-karya fenomelnya salah satunya adalah tafsir Al-Mizan fi
Tafsiri Al-Quran. Ia juga adalah seorang mufassir dari kalangan Syi’ah sehingga warna
penafsirannya masih mengikuti alur atau pandangan mazhabnya. Thabathaba’i meyakini bahwa
keseluruhan Ayat-ayat Al-Quran bisa dipahami maksudnya baik itu yang muhkam maupun
mutasyabih. Dengan kitab tafsirnya tersebut orang-orang masih rabun akan corak penafsirannya
karena didalamya tedapat berbagai macam disiplin ilmu seperi filsafat, mistik dan lain
sebagainya.23

Anda mungkin juga menyukai