Anda di halaman 1dari 45

MATERI MODUL 02

LANDASAN FILISOFIS DAN PSIKOLOGIS DALAM PENGEMBANGAN


KURIKULUM

A. Landasan Dalam Pengembangan Kurikulum


Kurikulum sebagai rancangan pendidikan mempunyai kedudukan sentral dalam
seluruh kegiatan pendidikan, menentukan proses pelaksanaan dan hasil pendidikan.
Mengingat pentingnya peranan kurikulum di dalam pendidikan dan dalam
perkembangan kehidupan manusia, penyusunan kurikulum tidak dapat dikerjakan
sembarangan. Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat,
yang didasarkan atas hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Kalau
landasan pembuatan sebuah gedung tidak kokoh yang akan ambruk adalah gedung
tersebut, tetapi kalau landasan pendidikan, khususnya kurikulum yang lemah, yang
akan "ambruk" adalah manusianya.
Ada beberapa landasan utama dalam pengembangan kurikulum, yaitu (1) landasan
filosofis, (2) landasan psikologis, (3) landasan sosial budaya, serta (4) perkembangan
ilmu dan teknologi. Pada bab ini akan dibahas landasan filosofis dan landasan
psikologis, sedangkan landasan sosial-budaya dan perkembangan ilmu dan teknologi
akan dibahas pada bab selanjutnya.

1. Landasan Filosofis
Pendidikan berintikan interaksi antarmanusia, terutama antara pendidik dan terdidik
untuk mencapai tujuan pendidikan. Di dalam interaksi tersebut terlibat isi yang
diinteraksikan serta proses bagaimana interaksi tersebut berlangsung. Apakah yang
menjadi tujuan pendidikan, siapa pendidik dan terdidik, apa isi pendidikan dan
bagaimana proses interaksi pendidikan tersebut, merupakan pertanyaan-pertanyaan
yang membutuhkan jawaban yang mendasar, yang esensial yaitu jawaban-jawaban
filosofis. Secara harfiah filosofis (filsafat) berarti "cinta akan kebijakan" (love of
wisdom). Orang belajar berfilsafat agar ia menjadi orang yang mengerti dan berbuat
secara bijak. Untuk dapat mengerti kebijakan dan berbuat secara bijak, ia harus tahu

11
atau berpengetahuan. Pengetahuan tersebut diperoleh melalui proses berpikir, yaitu
berpikir secara sistematis, logis, dan mendalam. Filsafat mencakup keseluruhan
pengetahuan manusia, berusaha melihat segala yang ada ini sebagai satu kesatuan
yang menyeluruh dan mencoba mengetahui kedudukan manusia di dalamnya. Sering
dikatakan bahwa filsafat merupakan ibu dari segala ilmu.
Terdapat perbedaan pendekatan antara ilmu dengan filsafat dalam mengkaji atau
memahami alam semesta ini. Ilmu menggunakan pendekatan analitik, berusaha
menguraikan keseluruhan dalam bagianbagian yang kecil dan lebih kecil. Filsafat
berupaya merangkum atau mengintegrasikan bagian-bagian ke dalam satu kesatuan
yang menyeluruh dan bermakna. Ilmu berkenaan dengan fakta-fakta sebagaimana
adanya (Das Sein), berusaha melihat segala sesuatu secara objektif, menghilangkan
hal-hal yang bersifat subjektif. Filsafat melihat segala sesuatu dari sudut bagaimana
seharusnya (Das Sollen), faktor-faktor subjektif dalam filsafat sangat berpengaruh.
Filsafat dan ilmu mempunyai hubungan yang saling mengisi dan melengkapi
(komplementer). Filsafat memberikan landasanlandasan dasar bagi ilmu. Keduanya
dapat memberikan bahan-bahan bagi manusia untuk membantu memecahkan berbagai
masalah dalam kehidupannya.
Ada tiga cabang besar filsafat, yaitu metafisika yang membahas segala yang ada
dalam alam ini, epistemologi yang membahas kebenaran dan aksiologi yang
membahas nilai. Aliran-aliran filsafat yang kita kenal bertolak dari pandangan yang
berbeda dalam ketiga hal itu.
Filsafat membahas segala permasalahan yang dihadapi oleh manusia termasuk
masalah-masalah pendidikan ini yang disebut filsafat pendidikan. Walaupun dilihat
sepintas, filsafat pendidikan ini hanya merupakan aplikasi dari pemikiran-pemikiran
filosofis untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan, tetapi antara keduanya yaitu
antara filsafat dan filsafat pendidikan terdapat hubungan yang Menurut Donald Butler,
filsafat memberikan arah dan metodologi terhadap praktik pendidikan, sedangkan
praktik pendidikan memberikan bahan-bahan bagi pertimbangan-pertimbangan
filosofis. Keduanya sangat berkaitan erat, malah menurut Butler menjadi satu.

1) Philosphy is primary and basic to an educational philosophy, 2) philosophy is


the flower not root of education, 3) educational philosophy is an independent

12
discipline which might benefit from contact with general philosophy, but this
contact is not essential, 4) philosophy and the theory of education is similar.

Pendapat para filsuf umumnya memandang filsafat umum sebagai dasar dari
filsafat pendidikan, tetapi John Dewey umpamanya mempunyai pandangan yang
hampir sama dengan Butler. Bagi Dewey, filsafat dan filsafat pendidikan adalah sama,
sebagaimana juga pendidikan menurut Dewey sama dengan kehidupan. Seperti halnya
dalam filsafat umum, dalam filsafat pendidikan pun dikenal banyak pandangan atau
aliran. Setiap pandangan mempunyai landasan metafisika, epistemilogi, dan aksiologi
tentang masalah pendidikan yang berbeda.
 Dasar-dasar filsafat Dewey
Ciri utama filsafat Dewey adalah konsepsinya tentang dunia yang selalu berubah,
mengalir, atau on going-ness. Prinsip ini membawa konsekuensi yang cukup jauh, bagi
Dewey tidak ada yang menetap dan abadi semuanya berubah. Ciri lain filsafat Dewey
adalah anti dualistik. Pandangannya tentang dunia adalah monistik dan tidak lebih dari
sebuah hipotesis.
Filsafat Dewey lebih berkenaan dengan epistemologi dan tekanannya kepada
proses berpikir. Proses berpikir merupakan satu dengan pemecahan yang bersifat
tentatif, antara ide dengan fakta, antara hipotesis dengan hasil. Proses berpikir
merupakan proses pengecekan dengan kejadiankejadian nyata. Dalam filsafat Dewey
kebenaran itu terletak dalam perbuatan atau truth is in the making, yaitu adanya
persesuaian antara hipotesis dengan kenyataan.
Dewey sangat menghargai peranan pengalaman, merupakan dasar bagi
pengetahuan dan kebijakan. Experience is the only basis for knowledge and wisdom
(Dewey, 1964, hlm. 101). Pengalaman itu mencakup segala aspek kegiatan manusia,
baik yang berbentuk aktif maupun yang pasif. Mengetahui tanpa mengalami adalah
omong kosong. Dewey menolak sesuatu yang bersifat spekulatif. Pengertian
pengalaman Dewey berbeda dengan kaum empiris lainnya, yang mengartikannya
sebagai pengalaman melalui pengindraan. Instrumentalisme Dewey menganggap
bahwa rohani itu adalah interelasi yang kreatif antara organisme dengan
lingkungannya, dengan waktu dan tempat. Pengalaman selain merupakan sumber dari
pengetahuan, juga sumber dari nilai. Karena pengalaman selalu berubah maka nilai
pun berubah. Nilai-nilai adalah relatif, subjektif, dan hanya dirasakan oleh manusia.

13
Sesuatu itu bernilai karena diberi nilai oleh manusia, sesuatu dibutuhkan karena
manusia membutuhkannya, selalu dalam hubungannya dengan pengalaman. Nilai-nilai
itu tidak dapat diukur dan tidak ada hierarki nilai.

2. Landasan Psikologis
Dalam proses pendidikan terjadi interaksi antar-individu manusia, yaitu antara
peserta didik dengan pendidik dan juga antara peserta didik dengan orang-orang yang
lainnya. Manusia berbeda dengan makhluk lainnya, karena kondisi psikologisnya.
Manusia berbeda dengan benda atau tanaman, karena benda atau tanaman tidak
mempunyai aspek psikologis. Manusia juga lain dari binatang, karena kondisi
psikologis manusia jauh lebih tinggi tarafnya dan lebih kompleks dibandingkan dengan
binatang. Berkat kemampuan-kemampuan psikologis yang lebih tinggi dan kompleks
inilah sesungguhnya manusia menjadi lebih maju, lebih banyak memiliki kecakapan,
pengetahuan, dan keterampilan dibandingkan dengan binatang.
Kondisi psikologis setiap individu berbeda, karena perbedaan tahap
perkembangannya, latar belakang sosial-budaya, juga karena perbedaan faktor-faktor
yang dibawa dari kelahirannya. Kondisi ini pun berbeda pula bergantung pada konteks,
peranan, dan status individu di antara individuindividu yang lainnya. Interaksi yang
tercipta dalam situasi pendidikan harus sesuai dengan kondisi psikologis para peserta
didik maupun kondisi pendidiknya. Interaksi pendidikan di rumah berbeda dengan di
sekolah, interaksi antara anak dan guru pada jenjang sekolah dasar berbeda dengan
jenjang sekolah lanjutan pertama dan sekolah lanjutan atas.
Peserta didik adalah individu yang sedang berada dalam proses perkembangan.
Tugas utama yang sesungguhnya dari para pendidik adalah membantu perkembangan
peserta didik secara optimal. Sejak kelahiran sampai menjelang kematian, anak
selalu berada dalam proses perkembangan, perkembangan seluruh aspek
kehidupannya. Tanpa pendidikan di sekolah, anak tetap berkembang, tetapi dengan
pendidikan di sekolah tahap perkembangannya menjadi lebih tinggi dan lebih luas. Apa
yang dididikkan dan bagaimana cara mendidiknya, perlu disesuaikan dengan pola-pola
perkembangan anak. Karakteristik perilaku individu pada tahap-tahap perkembangan,
serta pola-pola perkembangan individu menjadi kajian Psikologi Perkembangan.

14
Perkembangan atau kemajuan-kemajuan yang dialami anak sebagian besar terjadi
karena usaha belajar, baik berlangsung melalui proses peniruan, pengingatan,
pembiasaan, pemahaman, penerapan, maupun pemecahan masalah. Pendidik atau
guru melakukan berbagai upaya, dan menciptakan berbagai kegiatan dengan
dukungan berbagai alat bantu pengajaran agar anak-anak belajar. Cara belajar-
mengajar mana yang dapat memberikan hasil secara optimal serta bagaimana proses
pelaksanaannya membutuhkan studi yang sistematik dan mendalam..
Jadi, minimal ada dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum,
yaitu Psikologi Perkembangan dan Psikologi Belajar. Keduanya sangat diperlukan, baik
di dalam merumuskan tujuan, memilih dan menyusun bahan ajar, memilih dan
menerapkan metode pembelajaran serta teknik-teknik penilaian.

3. Landasan Perkembangan sosial-budaya


Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu rancangan pendidikan. Sebagai suatu
rancangan, kurikulum menentukan pelaksanaan dan hasil pendidikan. Kita ketahui
bahwa pendidikan mempersiapkan generasi muda untuk terjun ke lingkungan
masyarakat. Pendidikan bukan hanya untuk pendidikan, tetapi memberikan bekal
pengetahuan, keterampilan serta nilai-nilai untuk hidup, bekerja dan mencapai
perkembangan lebih lanjut di masyarakat. Anak-anak berasal dari masyarakat,
mendapatkan pendidikan baik formal maupun informal dalam lingkungan masyarakat,
dan diarahkan bagi kehidupan dalam masyarakat pula. Kehidupan masyarakat, dengan
segala karakteristik dan kekayaan budayanya, menjadi landasan dan sekaligus acuan
bagi pendidikan.
Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul manusia-manusia yang lain
dan asing terhadap masyarakatnya, tetapi manusia yang lebih bermutu, mengerti, dan
mampu membangun masyarakatnya. Oleh karena itu, tujuan, isi, maupun proses
pendidikan harus disesuaikan dengan kondisi, karakteristik, kekayaan, dan
perkembangan masyarakat tersebut.

4. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Selama beberapa abad, sampai dengan abad ke-13, pengembangan ilmu


pengetahuan didominasi oleh ilmuwan muslim. Dalam bidang geografi dikenal nama Al-

15
Kindi sampai dengan Musa Al-Khawarizmi dan Al-Beruni sebagai penemu geodesi.
Ilmu pengetahuan alam dikembangkan oleh Al-Beruni, Al-Kindi, Jabin Ibn Hayan, Ibn
Bajjah. Al-Bagdadi adalah ahli botani terkenal. Dalam matematika dikenal Jamshid Al-
Kashmi (ahli matematika), Al-Khawarizmi dan Omar Khayyam (Aljabar). Bidang
astronomi juga banyak dikembangan ilmuwan muslim di berbagai negara. Salah satu
pusat penelitian astronomi terkenal, Observatorium Maragah, didirikan oleh Al-Tusi
tahun 1259. Teleskop ditemukan oleh Ibn Yunus jauh sebelum Galileo. Dalam bidang
kedokteran, Ibn Sina dan Al-Razi adalah dua tokoh yang sangat terkenal. Dalam
bidang anatomi, nama Al-Baydawi tidak dapat dilupakan. Dalam ilmu kimia, Imam
Jaffar dan Al-Razi adalah para ilmuwan pengembang pertama ilmu Kimia.
Mulai akhir abad ke-13 ada kemunduran dalam mengembangkan ilmu pengetahuan
di negara-negara Islam. Setelah perang antara negara-negara Islam dengan negara-
negara Eropa, terjadi pergeseran perkembangan ilmu pengetahuan dari Timur Tengah
ke Eropa. Sejak awal abad ke-14 sampai dengan akhir abad ke-19 terdapat
perkembangan ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan murni yang begitu
pesat. Pada abad ke-20, perkembangan yang sangat pesat terjadi pada ilmu
pengetahuan terapan dan teknologi.

Teknologi ialah cara melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan manusia


dengan bantuan alat dan akal (hardware dan software) sehingga seakan-akan
memperpanjang, memperkuat,atau membuat lebih ampuh anggota tubuh, pancaindera,
dan otak manusia. Sebenarnya sejak dahulu, teknologi sudah ada atau manusia sudah
menggunakan teknologi. Kalau manusia zaman dulu memecahkan kemiri dengan batu
atau memetik buah dengan galah, sesungguhnya mereka sudah menggunakan
teknologi yaitu teknologi sederhana. Mengapa manusia menggunakan teknologi,
karena manusia berakal. Dengan akalnya itu ia ingin hidup lebih baik, lebih mudah,
lebih aman, lebih sejahtera.
Penemuan teknologi pertama yang cukup penting adalah teknologi api. Dengan
teknologi ini manusia mendapatkan penerangan pada malam hari, bisa
menghangatkan badan, dan mengolah berbagai bahan makanan. Berkat api, makanan
menjadi lebih lunak, lebih lezat, dan lebih sehat. Penemuan teknologi api mendasari
pengembangan teknologi lain pada masa-masa berikutnya, umpamanya teknologi
penerangan, teknologi pemadam kebakaran, teknologi pembuangan asap, dan yang

16
paling penting dan banyak mendasari pengembangan teknologi lebih lanjut adalah
teknologi logam. Dengan teknologi api, bijih timah, besi, mangan, tembaga, perak,
mas, dan lain-lain, dapat diolah menjadi batangan kemudian diolah lebih lanjut menjadi
berbagai alat kebutuhan manusia. Pengembangan suatu teknologi sering berdampak
negatif, karena itu perlu temuan teknologi lain untuk mengatasinya, seperti teknologi
untuk mengatasi kebakaran, mengurangi polusi, dan sebagainya.
Perkembangan yang begitu cepat pada beberapa dekade terakhir adalah
perkembangan teknologi transportasi, teknologi komunikasi dan informatika, serta
teknologi media cetak. Perkembangan teknologi industri transportasi berkembang
pesat, baik transportasi darat, laut, maupun udara. Berbagai jenis alat transportasi
yang bermutu tinggi dengan perlengkapan mutakhir telah tersedia, memungkinkan
orang dan barang bisa berpindah dari suatu tempat ke tempat lain dengan inudah dan
cepat. Jarak geografis tidak menjadi hambatan lagi untuk hubungan antarorang,
antarkelompok, dan antarbangsa. Perkembangan alat transportasi bukan hanya
ditujukan untuk mobilitas orang dan barang, melainkan untuk kepentingan penelitian
dan penemuan-penemuan teknologi lebih lanjut. Alat transportasi yang banyak
mendapat perhatian dari negara-negara maju adalah pesawat angkasa luar.
Pengembangan teknologi angkasa luar ini, bukan saja membuktikan bahwa manusia
bisa ke luar dari orbit bumi, menuju planet lain, tetapi juga bisa menempatkan berbagai
satelit untuk memantau apa yang terjadi di bumi dan memperlancar komunikasi
antardaerah di bumi.
Teknologi yang perkembangannya sangat cepat pada beberapa dekade terakhir
adalah teknologi komunikasi dan informatika. Teknologi ini berkembang sangat pesat
berkat temuan-temuan di bidang eletronika. Perkembangan radio dan televisi telah
membuka bagian-bagian dunia yang terbelakang menjadi daerah terbuka karena arus
informasi. Apa yang terjadi di suatu daerah atau negara, dalam -waktu beberapa menit,
sudah dapat diketahui oleh orang-orang di bagian dunia lainnya.
Selain kemajuan di bidang komuniksi massa, kemajuan bidang telekomunikasi pun
mengalami kemajuan yang begitu pesat. Kemajuan di bidang telepon, faksimil, yang
dikombinasikan dengan kemajuan di bidang komputer, menghasilkan sistem
komunisikasi gaya baru, internet. Dengan komunikasi massa, kita hanya bisa
memperoleh informasi yang disiarkan, artinya sangat bergantung pada jam siar. Tetapi
dengan 'internet, jam siar ini hilang. Orang bisa memperoleh hampir semua informasi
17
dari setiap negara tanpa dibatasi waktu. Oleh karena itu, dewasa ini dunia disebut
dunia global, sebab dengan perantaraan komunikasi massa dan telekomunikasi batas-
batas pemisah antarnegara dan antardaerah menjadi hilang.
Teknologi media cetak, walaupun jangkauan dan kecepatan sebarannya tidak
seluas dan secepat komunikasi massa dan telekomunikasi, mempunyai keunggulan
sendiri. Penemuan alat-alat cetak modern, dengan kemampuan cetak yang sangat
cepat, telah menghasilkan barang cetakan, seperti buku, majalah, dan surat kabar,
yang bermutu tinggi. Barang-barang cetakan ini bisa didokumentasikan untuk waktu
yang lama, kalau bahannya cukup baik, tahan sampai ratusan tahun. Untuk
dokumentasidokumentasi yang menggunakan tempat terlalu besar, sekarang ada
teknologi microfilm dan microfiche untuk mengecilkannya.
Dalam hal transformasi teknologi, menurut B.J. Habibie (1983), ada lima prinsip
yang menjadi pegangan dalam transformasi teknologi (industri): 1) perlu
diselenggarakan pendidikan dan pelatihan di dalam dan luar negeri untuk menyiapkan
para pelaku transformasi; 2) perlu dikembangkan konsep yang jelas dan realistis
tentang masyarakat yang akan dibangun serta teknologi-teknologi yang diperlukan
untuk mewujudkannya; 3) teknologi hanya dapat dialihkan, diterapkan, dan
dikembangkan lebih lanjut jika benar-benar diterapkan; 4) bangsa yang ingin
mengembangkan diri secara teknologis harus berusaha sendiri memecahkan setiap
masalahnya; 5) pada tahap-tahap awal transformasi, setiap negara harus melindungi
perkembangan kemampuan nasionalnya, hingga saat tercapainya kemampuan
bersaing secara internasional.
Pengaruh perkembangan ilmu dan teknologi cukup luas, meliputi semua aspek
kehidupan, politik, ekonomi, sosial, budaya, keagamaan, etika, dan estetika, bahkan
keamanan dan ilmu pengetahuan itu sendiri. Pada bagian ini pembahasan dibatasi
pada pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap kehidupan
masyarakat dan pendidikan. Ada beberapa bidang ilmu dan teknologi yang mempunyai
pengaruh sangat besar, baik secara langsung maupun tidak langsung, terhadap
kehidupan masyarakat Bidang-bidang tersebut adalah komunikasi, transportasi,
mekanisasi industri dan pertanian, serta persenjataan.

Pendidikan, juga mendapat pengaruh yang cukup besar dari ilmu dan teknologi.
Pendidikan sangat erat hubungan dengan kehidupan sosial, sebab, pendidikan

18
merupakan salah satu aspek sosial. Pendidikan tidak terbatas pada pendidikan formal
saja, melainkan juga pendidikan nonformal, sebab pendidikan meliputi segala usaha
sendiri atau usaha pihak luar untuk meningkatkan pengetahuan dan kecakapan,
memperoleh keterampilan dan membentuk sikap-sikap tertentu.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara langsung, maupun tidak
langsung menuntut perkembangan pendidikan. Pengaruh langsung perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi adalah memberikan isi/materi atau bahan yang akan
disampaikan dalam pendidikan. Pengaruh tak langsung adalah perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, menyebabkan perkembangan masyarakat, dan
perkembangan masyarakat menimbulkan problema-problema baru yang menuntut
pemecahan dengan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan baru yang
dikembangkan dalam pendidikan.

B. PRINSIP-PRISIP PENGEMBANGAN KURIKULUM


Kurikulum merupakan rancangan pendidikan yang merangkum semua
pengalaman belajar yang disediakan bagi siswa di sekolah. Dalam kurikulum
terintegrasi filsafat, nilai-nilai, pengetahuan, dan perbuatan pendidikan. Kurikulum
disusun oleh para ahli pendidikan/ahli kurikulum, ahli bidang ilmu, pendidik, pejabat
pendidikan, pengusaha serta unsur-unsur masyarakat lainnya. Rancangan ini disusun
dengan maksud memberi pedoman kepada para pelaksana pendidikan, dalam proses
pembimbingan perkembangan siswa, mencapai tujuan yang dicita-citakan oleh siswa
sendiri, keluarga, maupun masyarakat.
Kelas merupakan tempat untuk melaksanakan dan menguji kurikulum. Di sana
semua konsep, prinsip, nilai, pengetahuan, metode, alat, dan kemampuan guru diuji
dalam bentuk perbuatan, yang akan mewujudkan bentuk kurikulum yang nyata dan
hidup. Pewujudan konsep, prinsip, dan aspek-aspek kurikulum tersebut seluruhnya
terletak pada guru. Oleh karena itu, gurulah pemegang kunci pelaksanaan dan
keberhasilan kurikulum. Dialah sebenarnya perencana, pelaksana, penilai, dan
pengembang kurikulum sesungguhnya. Suatu kurikulum diharapkan memberikan
landasan, isi, dan, menjadi pedoman bagi pengembangan kemampuan siswa secara
optimal sesuai dengan tuntutan dan tantangan perkembangan masyarakat.

19
1. Prinsip Umum Pengembangan Kurikulum
Ada beberapa prinsip umum dalam pengembangan kurikulum.
1) Prinsip relevansi. Ada dua macam relevansi yang harus dimiliki kurikulum, yaitu
relevan ke luar dan relevansi di dalam kurikulum. Relevansi ke luar maksudnya
tujuan, isi, dan proses belajar hendaknya relevan dengan tuntutan, kebutuhan,
dan perkembangan masyarakat. Kurikulum menyiapkan siswa untuk bisa hidup
dan bekerja dalam masyarakat. Apa yang tertuang dalam kurikulum hendaknya
mempersiapkan siswa untuk tugas tersebut. Kurikulum bukan hanya
menyiapkan anak untuk kehidupannya sekarang tetapi juga yang akan datang.
Kurikulum juga harus memiliki relevansi di dalam yaitu ada kesesuaian atau
konsistensi antara komponen-komponen kurikulum, yaitu antara tujuan, isi,
proses penyampaian, dan penilaian. Relevansi internal ini menunjukkan suatu
keterpaduan kurikulum.
2) Prinsip fleksibilitas, kurikulum hendaknya memilih sifat lentur atau fleksibel.
Kurikulum mempersiapkan anak untuk kehidupan sekarang dan yang akan
datang, di sini dan ditempat lain, bagi anak yang memiliki latar belakang dan
kemampuan yang berbeda. Suatu kurikulum yang baik adalah kurikulum yang
berisi hal-hal yang solid, tetapi dalam pelaksanaannya memungkinkan
terjadinya penyesuaian-penyesuaian berdasarkan kondisi daerah, waktu
maupun kemampuan, dan latar belakang anak.
3) Prinsip kontinuitas yaitu kesinambungan. Perkembangan dan proses belajar
anak berlangsung secara berkesinambungan, tidak terputus-putus atau
berhenti-henti. Oleh karena itu, pengalaman-pengalaman belajar yang
disediakan kurikulum juga hendaknya berkesinambungan antara satu tingkat
kelas, dengan kelas lainnya, antara satu jenjang pendidikan dengan jenjang
lainnya, juga antara jenjang pendidikan dengan pekerjaan. Pengembangan
kurikulum perlu dilakukan serempak bersama-sama, perlu selalu ada
komunikasi dan kerja sama antara para pengembang kurikulum sekolah dasar
dengan SMTP, SMTA, dan Perguruan Tinggi.
4) Prinsip praktis, mudah dilaksanakan, menggunakan alat-alat sederhana dan
biayanya juga murah. Prinsip ini juga disebut prinsip efisiensi. Betapapun
bagus dan idealnya suatu kurikulum kalau menuntut keahlian-keahlian dan
peralatan yang sangat khusus dan mahal pula biayanya, maka kurikulum
20
tersebut tidak praktis dan sukar dilaksanakan. Kurikulum dan pendidikan selalu
dilaksanakan dalam keterbatasan-keterbatasan, baik keterbatasan waktu,
biaya, alat, maupun personalia. Kurikulum bukan hanya harus ideal tetapi juga
praktis.
5) Prinsip efektivitas. Bahwa keberhasilan tetap harus diperhatikan. Keberhasilan
pelaksanaan kurikulum ini baik secara kuantitas maupun kualitas.
Pengembangan suatu kurikulum tidak dapat dilepaskan dan merupakan
penjabaran dari perencanaan pendidikan. Perencanaan di bidang pendidikan
juga merupakan bagian yang dijabarkan dari kebijaksanaan-kebijaksanaan
pemerintah di bidang pendidikan. Keberhasilan kurikulum akan mempengaruhi
keberhasilan pendidikan.
Kurikulum pada dasarnya berintikan empat aspek utama yaitu: tujuan pendidikan,
isi pendidikan, pengalaman belajar, dan penilaian. Interelasi antara keempat aspek
tersebut serta aspek-aspek tersebut dengan kebijaksanaan pendidikan perlu selalu
mendapat perhatian dalam pengembangan kurikulum.
Visualisasi kerangka berpikir tersebut dapat dilihat pada gambar 9 berikut:

Gambar 9. Hubungan kurikulum dengan pembangunan pendidikan

21
2. P r ins ip- pr ins ip k hus us

Ada beberapa prinsip yang lebih khusus dalam pengembangan kurikulum. Prinsip-
prinsip ini berkenaan dengan penyusunan tujuan, isi, pengalaman belajar, dan
penilaian.

a. Prinsip berkenaan dengan tujuan pendidikan


Tujuan menjadi pusat kegiatan dan arah semua kegiatan pendidikan. Perumusan
komponen-komponen kurikulum hendaknya mengacu pada tujuan pendidikan. Tujuan
pendidikan mencakup tujuan yang bersifat

umum atau berjangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek (tujuan Khusus).
Perumusan tujuan pendidikan bersumber pada:
1) Ketentuan dan kebijaksanaan pemerintah, yang dapat ditemukan dalam
dokumen-dokumen lembaga negara mengenai tujuan, dan strategi
pembangunan termasuk di dalamnya pendidikan;
2) Survai mengenai persepsi orang tua/masyarakat tentang kebutuhan mereka
yang dikirimkan melalui angket atau wawancara dengan mereka;
3) Survai tentang pandangan para ahli dalam bidang-bidang tertentu, dihimpun
melalui angket, wawancara, observasi, dan dari berbagai media massa;
4) Survai tentang manpower;
5) Pengalaman negara-negara lain dalam masalah yang sama;
6) Penelitian.

b. Prinsip berkenaan dengan pemilihan isi pendidikan

Memilih isi pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan pendidikan yang telah
ditentukan para perencana kurikulum perlu mempertimbangkan beberapa hal.
1) Perlu penjabaran tujuan pendidikan/pengajaran ke dalam bentuk perbuatan hasil
belajar yang khusus dan sederhana. Makin umum suatu perbuatan hasil belajar
dirumuskan semakin sulit menciptakan pengalaman belajar;
2) Isi bahan pelajaran harus meliputi segi pengetahuan, sikap, dan keterampilan;
3) Unit-unit kurikulum harus disusun dalam urutan yang logis dan sistematis. Ketiga
ranah belajar, yaitu pengetahuan, sikap, dan keterampilan diberikan secara
22
simultan dalam urutan situasi belajar. Untuk hal tersebut diperlukan buku
pedoman guru yang memberikan penjelasan tentang organisasi bahan dan alat
pengajaran secara lebih mendetail.

c. Prinsip berkenaan dengan pemilihan proses belajar mengajar


Pemilihan proses belajar mengajar yang digunakan hendaknya memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
1) Apakah metode/teknik belajar-mengajar yang digunakan cocok untuk
mengajarkan bahan pelajaran?
2) Apakah metode/teknik tersebut memberikan kegiatan yang bervariasi sehingga
dapat melayani perbedaan individual siswa?
3) Apakah metode/teknik tersebut memberikan urutan kegiatan yang bertingkat-
tingkat?
4) Apakah metode/teknik tersebut dapat menciptakan kegiatan untuk mencapai
tujuan kognitif, afektif dan psikomotor?
5) Apakah metode/teknik tersebut lebih mengakifkan siswa, atau mengaktifkan guru
atau kedua-duanya?
6) Apakah metode/teknik tersebut mendorong berkembangnya kemampuan baru?
7) Apakah metode/teknik tersebut menimbulkan jalinan kegiatan belajar di sekolah
dan di rumah, juga mendorong penggunaan sumber yang ada di rumah dan di
masyarakat?
a. Untuk belajar keterampilan sangat dibutuhkan kegiatan belajar yang
menekankan "learning by doing" di samping "learning by seeing and knowing".

d. Prinsip berkenaan dengan pemilihan media dan alat pengajaran


Proses belajar-mengajar yang baik perlu didukung oleh penggunaan media dan alat-
alat bantu pengajaran yang tepat.
1) Alat/media pengajaran apa yang diperlukan. Apakah semuanya sudah tersedia?
Bila alat tersebut tidak ada apa penggantinya?
2) Kalau ada alat yang harus dibuat, hendaknya memperhatikan: bagaimana
pembuatannya, siapa yang membuat, pembiayaannya, waktu pembuatan?
3) Bagaimana pengorganisasian alat dalam bahan pelajaran, apakah dalam bentuk
modul, paket belajar, dan lain-lain?
23
4) Bagaimana pengintegrasiannya dalam keseluruhan kegiatan belajar? 5)Hasil
yang terbaik akan diperoleh dengan menggunakan multi media.

e. Prinsip berkenaan dengan pemilihan kegiatan penilaian


Penilaian merupakan bagian integral dari pengajaran:
1) Dalam penyusunan alat penilaian (test) diikuti langkah langkah sebagai berikut:
2) Rumuskan tujuan-tujuan pendidikan yang umum, dalam ranah kognitif, afektif,
dan psikomotor. Uraikan ke dalam bentuk tingkah-tingkah laku murid yang dapat
diamati. Hubungkan dengan bahan pelajaran. Tuliskan butir-butir test.
3) Dalam merencanakan suatu penilaian hendaknya diperhatikan beberapa hal;
4) Bagaimana kelas, usia, dan tingkat kemampuan kelompok yang akan ditest?
5) Berapa lama waktu dibutuhkan untuk pelaksanaan test? Apakah test tersebut
berbentuk uraian atau objektif? Berapa banyak butir test perlu disusun?
6) Apakah tes tersebut diadministrasikan oleh guru atau oleh murid?
7) Pengolahan hasil penilaian hendaknya memperhatikan halhal sebagai lerikut:
8) Norma apa yang digunakan di dalam pengolahan hasil test? Apakah digunakan
formula quessing?
9) Bagaimana pengubahan skor ke dalam skor masak? Skor standar apa yang
digunakan?
10)Untuk apakah hasil-hasil test digunakan?

3. Pengembang Kurikulum
Dalam mengembangkan kurikulum banyak pihak yang turut berpartisipasi, yaitu:
administrator pendidikan, ahli pendidikan, ahli kurikulum, ahli bidang ilmu pengetahuan,
guru-guru, dan orang tua murid serta tokoh-tokoh masyarakat. Dari pihak-pihak
tersebut yang secara terusmenerus turut terlibat dalam pengembangan kurikulum
adalah: administrator, guru, dan orang tua.

a. Peranan para administrator pendidikan


Para administrator pendidikan ini terdiri atas: direktur bidang pendidikan, pusat
pengembangan kurikulum, kepala kantor wilayah, kepala kantor kabupaten dan
kecamatan serta kepala sekolah. Peranan para administrator di tingkat pusat (direktur
dan kepala pusat) dalam pengembangan kurikulum adalah menyusun dasar-dasar
24
hukum, menyusun kerangka dasar serta program inti kurikulum. Kerangka dasar dan
program inti tersebut akan menentukan minimum course yang dituntut.

b. Peranan para ahli


Pengembangan kurikulum bukan saja didasarkan atas perubahan tuntutan
kehidupan dalam masyarakat, tetapi juga perlu dilandasi oleh perkem bangan
konsep-konsep dalam ilmu. Oleh karena itu, pengembangan kurikulum
membutuhkan bantuan pemikiran para ahli, baik ahli pendidikan, ahli kurikulum,
maupun ahli bidang studi/disiplin ilmu.
.
c. Peranan guru

Guru memegang peranan yang cukup penting baik di dalam perencanaan


maupun pelaksanaan kurikulum. Dia adalah perencana, pelaksana, dan
pengembang kurikulum bagi kelasnya.
Sekalipun ia tidak mencetuskan sendiri konsep-konsep tentang kurikulum, guru
merupakan penerjemah kurikulum yang datang dari atas. Dialah yang mengolah,
meramu kembali kurikulum dari pusat untuk disajikan di kelasnya. Karena guru juga
merupakan barisan pengembang kurikulum yang terdepan maka guru pulalah yang
selalu melakukan evaluasi dan penyempurnaan terhadap kurikulum.
Peranan guru bukan hanya menilai perilaku dan prestasi belajar murid- murid
dalam kelas, tetapi juga menilai implementasi kurikulum dalam lingkup yang lebih
luas. Hasil-hasil penilaian demikian akan sangat membantu pengembangan
kurikulum, untuk memahami hambatan-hambatan dalam implementasi kurikulum dan
juga dapat membantu mencari cara untuk mengoptimalkan kegiatan guru.
Sebagai pelaksana kurikulum maka guru pulalah yang menciptakan kegiatan
belajar mengajar bagi murid-muridnya. Berkat keahlian, keterampilan dan
kemampuan seninya dalam mengajar, guru mampu menciptakan situasi belajar yang
aktif yang menggairahkan yang penuh kesungguhan dan mampu mendorong
kreativitas anak.

25
d. Peranan orang tua murid
Orang tua juga mempunyai peranan dalam pengembangan kurikulum.
Peranan mereka dapat berkenaan dengan dua hal: pertama dalam penyusunan
kurikulum dan kedua dalam pelaksanaan kurikulum. Dalam penyusunan kurikulum
mungkin tidak semua orang tua dapat ikut serta, hanya terbatas kepada beberapa
orang saja yang cukup waktu dan mempunyai latar belakang yang memadai. Peranan
orang tua lebih besar dalam pelaksanaan kurikulum. Dalam pelaksanaan kurikulum
diperlukan kerja sama yang sangat erat antara guru atau sekolah dengan para orang
tua murid. Sebagian kegiatan belajar yang dituntut kurikulum dilaksanakan di rumah,
dan orang tua sewajarnya mengikuti atau mengamati kegiatan belajar anaknya di
rumah. Orang tua juga secara berkala menerima laporan kemajuan anak-anaknya dari
sekolah berupa rapor dan sebagainya. Rapor juga merupakan suatu alat komunikasi
tentang program atau kegiatan pendidikan yang dilaksanakan di sekolah. Orang tua
juga dapat turut berpartisipasi dalam kegiatan di sekolah melalui berbagai kegiatan
seperti diskusi, lokakarya, seminar, pertemuan orang tua-guru, pameran sekolah, dan
sebagainya.

e. Peranan Perguruan tinggi


Kurikulum minimal mendapat dua pengaruh dari Perguruan Tinggi. Pertama, dari
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan di perguruan
tinggi umum. Kedua, dari pengembangan ilmu pendidikan dan keguruan serta
penyiapan guru-guru di Perguruan Tinggi Keguruan (Lembaga Pendidikan Tenaga
Kependidikan). Telah diuraikan terdahulu bahwa pengetahuan dan teknologi banyak
memberikan sumbangan bagi isi kurikulum serta proses pembelajaran. Jenis
pengetahuan yang dikembangkan di Perguruan Tinggi akan mempengaruhi isi
pelajaran yang akan dikembangkan dalam kurikulum. Perkembangan teknologi selain
menjadi isi kurikulum juga mendukung pengembangan alat bantu dan media
pendidikan. Kurikulum Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan juga mempengaruhi
pengembangan kurikulum, terutama melalui penguasaan ilmu dan kemampuan
keguruan dari guru-guru yang dihasilkannya. Penguasaan ilmu, baik ilmu pendidikan
maupun bidang studi serta kemampuan mengajar dari guru-guru akan sangat
mempengaruhi pengembangan dan implementasi kurikulum di sekolah.

26
f. Peranan Masyarakat
Sekolah merupakan bagian dari masyarakat dan mempersiapkan anak untuk
kehidupan di masyarakat. Sebagai bagian dan agen dari masyarakat, sekolah sangat
dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat di mana sekolah tersebut berada. Isi
kurikulum hendaknya mencerminkan kondisi dan dapat memenuhi tuntutan dan
kebutuhan masyarakat di sekitarnya. Masyarakat yang ada di sekitar sekolah mungkin
merupakan masyarakat homogen atau heterogen, masyarakat kota atau desa, petani,
pedagang atau pegawai, dan sebagainya. Sekolah harus melayani aspirasi-aspirasi
yang ada di masyarakat. Salah satu kekuatan yang ada dalam masyarakat adalah
dunia usaha. Dalam kehidupan masyarakat terdapat sistem nilai, baik nilai moral,
keagamaan, sosial, budaya maupun nilai politis. Sekolah sebagai lembaga masyarakat
juga bertanggung jawab dalam pemeliharaan dan penerusan nilai-nilai. Sistem nilai
yang akan dipelihara dan diteruskan tersebut harus terintegrasikan dalam kurikulum.
Masalah utama yang dihadapi para pengembang kurikulum menghadapi nilai ini
adalah, bahwa dalam masyarakat nilai itu tidak hanya satu. Ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan guru dalam mengajarkan nilai: (1) guru hendaknya mengetahui dan
memperhatikan semua nilai yang ada dalam masyarakat, (2) guru hendaknya
berpegang pada prinsip demokrasi, etis, dan moral, (3) guru berusaha menjadikan
dirinya sebagai teladan yang patut ditiru, (4) guru menghargai nilai-nilai kelompok
lain, (5) memahami dan menerima keragaman kebudayaan sendiri.

4. Artikulasi dan Hambatan Pengembangan Kurikulum

Artikulasi dalam pendidikan berarti "kesatupaduan dan koordinasi segala


pengalaman belajar". Untuk merealisasikan artikulasi kurikulum, perlu meneliti
kurikulum secara menyeluruh, membuang hal-hal yang tidak diperlukan,
menghilangkan duplikasi, merevisi metode serta isi pengajaran, mengusahakan
perluasan dan kesinambungan kurikulum. Bila artikulasi dilaksanakan dengan baik
akan terwujud kesinambungan pengalaman belajar sejak TK sampai Perguruan
Tinggi, juga antara satu bidang studi dengan bidang studi lainnya secara horizontal.
Tanpa artikulasi akan terdapat keragaman baik dalam isi, metode maupun perhatian
terhadap perkembangan anak.

27
Dalam pengembangan kurikulum terdapat beberapa hambatan. Hambatan
pertama terletak pada guru. Guru kurang berpartisipasi dalam pengem bangan
kurikulum. Hal itu disebabkan beberapa hal. Pertama kurang waktu. Kedua
kekurangsesuaian pendapat, baik antara sesama guru maupun dengan kepala
sekolah dan administrator. Ketiga karena kemampuan dan pengetahuan guru sendiri.
Hambatan lain yang dihadapi oleh pengembang kurikulum adalah masalah biaya.
Untuk pengembangan kurikulum, apalagi yang berbentuk kegiatan eksperimen baik
metode, isi atau sistem secara keseluruhan membutuhkan biaya yang sering tidak
sedikit.

5. Model-Model Pengembangan Kurikulum


Sekurang-kurangnya dikenal delapan model pengembangan kuri kulum, yaitu: the
dministrative (line staff) model, the grass roots model, Beauchamp's system, the
demonstration model, Taba's inverted model, Roger's interpersonal relations model, the
systematic action research model dan emerging technical model.

a. The administrative model


Model pengembangan kurikulum ini merupakan model paling lama dan paling
banyak dikenal. Diberi nama model administratif atau line staff karena inisiatif dan
gagasan pegembangan datang dari para administrator pendidikan dan menggunakan
prosedur administrasi. Dengan wewenang administrasinya, administrator pendidikan
membentuk suatu komisi atau tim pengarah pengembangan kurikulum. Anggota-
anggota komisi atau tim ini terdiri atas, pejabat di bawahnya, para ahli pendidikan,
ahli kurikulum, ahli disiplin ilmu, dan para tokoh dari dunia kerja dan perusahaan.
Tugas tim atau komisi ini adalah merumuskan konsep-konsep dasar, landasan-
landasan, kebijaksanaan, dan strategi utama dalam pengembangan kurikulum. Setelah
hal-hal yang mendasar ini terumuskan dan mendapatkan pengkajian yang saksama,
administrator pendidikan menyusun tim atau komisi kerja pengembangan kurikulum.
Para anggota tim atau komisi ini terdiri atas para ahli pendidikan/kurikulum, ahli disiplin
ilmu dari perguruan tinggi, guru-guru bidang studi yang senior. Tim kerja
pengembangan kurikulum bertugas menyusun kurikulum yang sesungguhnya yang
lebih operasional, dijabarkan dari konsep-konsep dan kebijaksanaan dasar yang telah
digariskan oleh tim pengarah. Tugas tim kerja ini merumuskan tujuan-tujuan yang lebih

28
operasional dari tujuan-tujuan yang lebih umum, memilih dan menyusun sekuens
bahan pelajaran, memilih strategi pengajaran dan evaluasi, serta menyusun pedoman -
pedoman pelaksanaan kurikulum tersebut bagi guru-guru.
Setelah semua tugas dari tim kerja pengembang kurikulum tersebut selesai,
hasilnya dikaji ulang oleh tim pengarah serta para ahli lain yang berwenang atau
pejabat yang kompeten. Setelah mendapatkan beberapa penyempurnaan, dan dinilai
telah cukup baik, administrator pemberi tugas menetapkan berlakunya kurikulum
tersebut serta memerintahkan sekolahsekolah untuk melaksanakan kurikulum tersebut.
Karena sifatnya yang datang dari atas, model pengembangan kurikulum demikian
disebut juga model "top down" atau "line staff". Pengembangan kurikulum dari atas,
tidak selalu segera berjalan, sebab menuntut kesiapan dari pelaksanaannya, terutama
guru-guru. Mereka perlu mendapatkan petunjuk-petunjuk dan penjelasan atau mungkin
juga peningkatan pengetahuan dan keterampilan. Kebutuhan akan adanya penataran
sering tidak dapat dihindarkan.
Dalam pelaksanaan kurikulum tersebut, selama tahun-tahun permulaan diperlukan
pula adanya kegiatan monitoring, pengamatan dan pengawasan serta bimbingan dalam
pelaksanaannya. Setelah berjalan beberapa saat perlu juga dilakukan suatu evaluasi,
untuk menilai baik validitas komponen-komponennya, prosedur pelaksanaan maupun
keberhasilannya. Penilaian menyeluruh dapat dilakukan oleh tim khusus dari tingkat
pusat atau daerah, sedang penilaian persekolah dapat dilakukan oleh tim khusus
sekolah yang bersangkutan. Hasil penilaian tersebut merupakan umpan balik, baik bagi
instansi pendidikan di tingkat pusat, daerah, maupun sekolah.
b. The grass roots model
Model pengembangan ini merupakan lawan dari model pertama. Inisiatif dan
upaya pengembangan kurikulum, bukan datang dari atas tetapi dari bawah, yaitu
guru-guru atau sekolah. Model pengembangan kurikulum yang pertama,
digunakan dalam sistem pengelolaan pendidikan/kurikulum yang bersifat
sentralisasi, sedangkan model grass roots akan berkembang dalam sistem
pendidikan yang bersifat desentralisasi. Dalam model pengembangan yang
bersifat grass roots seorang guru, sekelompok guru atau keseluruhan guru di
suatu sekolah mengadakan upaya pengembangan kurikulum. Pengembangan
atau penyempurnaan ini dapat berkenaan dengan suatu komponen kurikulum,
satu atau beberapa bidang studi ataupun seluruh bidang studi dan seluruh
29
komponen kurikulum. Apabila kondisinya telah memungkinkan, baik dilihat dari
kemampuan guru-guru, fasilitas, biaya maupun bahan-bahan kepustakaan,
pengembangan kurikulum model grass roots, akan lebih baik. Hal itu didasarkan
atas pertimbangan bahwa guru adalah perencana, pelaksana, dan juga
penyempurna dari pengajaran di kelasnya. Dialah yang paling tahu kebutuhan
kelasnya, oleh karena itu dialah yang paling kompeten menyusun kurikulum bagi
kelasnya.

Pengembangan kurikulum yang bersifat grass roots, mungkin hanya berlaku untuk
bidang studi tertentu atau sekolah tertentu, tetapi mungkin pula dapat digunakan untuk
bidang studi sejenis pada sekolah lain, atau keseluruhan bidang studi pada sekolah
atau daerah lain. Pengembangan kurikulum yang bersifat desentralisasi dengan model
grass rootsnya, memungkinkan terjadinya kompetisi di dalam meningkatkan mutu dan
sistem pendidikan, yang pada gilirannya akan melahirkan manusiamanusia yang lebih
mandiri dan kreatif.
c. Beauchamp's system

Model pengembangan kurikulum ini, dikembangkan oleh Beauchamp seorang ahli


kurikulum. Beauchamp mengemukakan lima hal di dalam pengembangan suatu
kurikulum. Pertama, menetapkan arena atau lingkup wilayah yang akan dicakup oleh
kurikulum tersebut, apakah suatu sekolah, kecamatan, kabupaten, propinsi ataupun
seluruh negara. Pentahapan arena ini ditentukan oleh wewenang yang dimiliki oleh
pengambil kebijaksanaan dalam pengembangan kurikulum, serta oleh tujuan
pengembangan kurikulum Walaupun daerah yang menjadi wewenang kepala kanwil
pendidikan dan kebudayaan mencakup suatu wilayah propinsi, tetapi arena
pengembangan kurikulum hanya mencakup satu daerah kabupaten saja sebagai pilot
proyek. Kedua, menetapkan personalia, yaitu siapa-siapa yang turut serta terlibat
dalam pengembangan kurikulum. Ada empat kategori orang yang turut berpartisipasi
dalam pengembangan kurikulum, yaitu: (1) para ahli pendidikan/kurikulum yang ada
pada pusat pengembangan kurikulum dan para ahli bidang ilmu dari luar, (2) para ahli
pendidikan dari perguruan tinggi atau sekolah dan guru-guru terpilih, (3) para
profesional dalam sistem pendidikan, (4) profesional lain dan tokoh-tokoh masyarakat.
Ketiga, organisasi dan prosedur pengembangan kurikulum. Langkah ini berkenaan
dengan prosedur yang harus ditempuh dalam merumuskan tujuan umum dan tujuan

30
yang lebih khusus, memilih isi dan pengalaman belajar, serta kegiatan evaluasi, dan
dalam menentukan keseluruhan desain kurikulum. Beauchamp membagi keseluruhan
kegiatan ini dalam lima langkah, yaitu; (1) Membentuk tim pengembang kurikulum, (2)
mengadakan penilaian atau penelitian terhadap kurikulum yang ada yang sedang
digunakan, (3) Studi penjajagan tentang kemungkinan penyusunan kurikulum baru,
(4) merumuskan kriteria-kriteria bagi penentuan kurikulum baru, (5) penyusunan dan
penulisan kurikulum baru. Keempat, implementasi kurikulum. Langkah ini merupakan
langkah mengimplementasikan atau melaksanakan kurikulum yang bukan sesuatu
yang sederhana, sebab membutuhkan kesiapan yang menyeluruh, baik kesiapan
guru-guru, siswa, fasilitas, bahan maupun biaya, di samping kesiapan manajerial dari
pimpinan sekolah atau administrator setempat. Langkah yang kelima dan merupakan
terakhir adalah evaluasi kurikulum. Langkah ini minimal mencakup empat hal, yaitu:
(1) evaluasi tentang pelaksanaan kurikulum oleh guru-guru, (2) evaluasi desain
kurikulum, (3) evaluasi hasil belajar siswa, (4) evaluasi dari keseluruhan sistem
kurikulum. Data yang diperoleh dari hasil kegiatan evaluasi ini digunakan bagi
penyempurnaan sistem dan desain kurikulum, serta prinsip-prinsip melaksanakannya.

d. The de m ons tr a tion m ode l


Model demonstrasi pada dasarnya bersifat grass roots, datang dari bawah. Model ini
diprakarsai oleh sekelompok guru atau sekelompok guru bekerja sama dengan ahli
yang bermaksud mengadakan perbaikan kurikulum. Model ini umum nya berskala
kecil, hanya mencakup suatu atau beberapa sekolah, suatu komponen kurikulum atau
mencakup keseluruhan komponen kurikulum. Karena sifatnya ingin mengubah atau
mengganti kurikulum yang ada, pengembangan kurikulum sering mendapat tantangan
dari pihak-pihak tertentu.
Menurut Smith, Stanley, dan Shores ada dua variasi model demonstrasi ini.
Pertama, sekelompok guru dari satu sekolah atau beberapa sekolah ditunjuk untuk
melaksanakan suatu percobaan tentang pengembangan kurikulum. Proyek ini
bertujuan mengadakan penelitian dan pengembangan tentang salah satu atau
beberapa segi/komponen kurikulum. Hasil penelitian dan pegembangan ini
diharapkan dapat digunakan bagi lingkungan yang lebih luas. Kegiatan penelitian dan
pengembangan ini biasanya diprakarsai dan diorganisasi oleh instansi pendidikan

31
yang berwewenang seperti, direktorat pendidikan, pusat pengembangan kurikulum,
kantor wilayah pendidikan dan kebudayaan, dan sebagainya.
Bentuk yang kedua, kurang bersifat formal. Beberapa orang guru yang merasa
kurang puas dengan kurikulum yang ada, mencoba mengadakan penelitian dan
pengembangan sendiri. Mereka mencoba menggunakan hal-hal lain yang berbeda
dengan yang berlaku. Dengan kegiatan ini mereka mengharapkan ditemukan
kurikulum atau aspek tertentu dari kurikulum yang lebih baik, untuk kemudian
digunakan di daerah yang lebih luas.
Ada beberapa kebaikan dari pengembangan kurikulum dengan model
demonstrasi ini. Pertama, karena kurikulum disusun dan dilaksanakan dalam situasi
tertentu yang nyata, maka akan dihasilkan suatu kurikulum atau aspek tertentu dari
kurikulum yang lebih praktis. Kedua, perubahan atau penyempurnaan kurikulum
dalam skala kecil atau aspek tertentu yang khusus, sedikit sekali untuk ditolak oleh
administrator, dibandingkan dengan perubahan dan penyempurnaan yang
menyeluruh. Ketiga, pengembangan kurikulum dalam skala kecil dengan model
demonstrasi dapat menembus hambatan yang sering dialami yaitu dokumentasinya
bagus tetapi pelaksanaannya tidak ada. Keempat, model ini sifatnya yang grass roots
menempatkan guru sebagai pengambil inisiatif dan nara sumber yang dapat menjadi
pendorong bagi para admnistrator untuk mengembangkan program baru. Kelemahan
model ini, adalah bagi guruguru yang tidak turut berpartisipasi mereka akan
menerimanya dengan enggan-enggan, dalam keadaan terburuk mungkin akan terjadi
apatisme.

e. Taba's inverted model


Menurut cara yang bersifat tradisional pengembangan kurikulum dilakukan secara
deduktif, dengan urutan:
1) Penentuan prinsip-prinsip dan kebijaksanaan dasar,
2) Merumuskan desain kurikulum yang bersifat menyeluruh didasarkan atas
komitmen-komitmen tertentu,
3) Menyusun unit-unit kurikulum sejalan dengan desain yang menyeluruh,
4) Melaksanakan kurikulum di dalam kelas.

32
Taba berpendapat model deduktif ini kurang cocok, sebab tidak merangsang
timbulnya inovasi-inovasi. Menurutnya pengembangan kurikulum yang lebih
mendorong inovasi dan kreativitas guru-guru adalah yang bersifat induktif, yang
merupakan inversi atau arah terbalik dari model tradisional.
Ada lima langkah pengembangan kurikulum model Taba ini.
1) Pertama, mengadakan unit-unit eksperimen bersama guru-guru. Di dalam unit
eksperimen ini diadakan studi yang saksama tentang hubungan antara teori
dengan praktik. Perencanaan didasarkan atas teori yang kuat, dan
pelaksanaan eksperimen di dalam kelas menghasilkan data-data yang untuk
Kmenguji landasan teori yang digunakan. Ada delapan langkah dalam kegiatan
unit eksperimen ini: Mendiagnosis kebutuhan, Merumuskan tujuan-tujuan
khusus, Memilih isi, Mengorganisasi isi, Memilih pengalaman
belajar, Mengorganisasi pengalaman belajar, Mengevaluasi, dan Melihat
sekuens dan keseimbangan (Taba, 1962: 347-379).
2) Kedua, menguji unit eksperimen. Meskipun unit eksperimen ini telah diuji
dalam pelaksanaan di kelas eksperimen, tetapi masih harus diuji di kelas-kelas
atau tempat lain untuk mengetahui validitas dan keprak tisannya, serta
menghimpun data bagi penyempurnaan.
3) Ketiga, mengadakan revisi dan konsolidasi. Dari langkah pengujian diperoleh
beberapa data, data tersebut digunakan untuk mengadakan perbaikan dan
penyempurnaan. Selain perbaikan dan penyempurnaan diadakan juga kegiatan
konsolidasi, yaitu penarikan kesimpulan tentang hal-hal yang lebih bersifat
umum yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas. Hal itu dilakukan, sebab
meskipun suatu unit eksperimen telah cukup valid dan praktis pada sesuatu
sekolah belum tentu demikian juga pada sekolah yang lainnya. Untuk menguji
keberlakuannya pada daerah yang lebih luas perlu adanya kegiatan
konsolidasi.
4) Keempat, pengembangan keseluruhan kerangka kurikulum. Apabila dalam
kegiatan penyempurnaan dan konsolidasi telah diperoleh sifatnya yang lebih
menyeluruh atau berlaku lebih luas, hal itu masih harus dikaji oleh para ahli
kurikulum dan para profesional kurikulum lainnya. Kegiatan itu dilakukan untuk
mengetahui apakah konsep-konsep dasar atau landasan-landasan teori yang
dipakai sudah masuk dan sesuai.
33
5) Langkah kelima, implementasi dan diseminasi, yaitu menerapkan kurikulum
baru ini pada daerah atau sekolah-sekolah yang lebih luas. Di dalam langkah
ini masalah dan kesulitan-kesulitan pelaksanaan tetapi dihadapi, baik
berkenaan dengan kesiapan guru-guru, fasilitas, alat dan bahan juga biaya.

f. Roger's interpersonal relations model


Meskipun Rogers bukan seorang ahli pendidikan (ia ahli psikologi atau
psikoterapi) tetapi konsep-konsepnya tentang psikoterapi khususnya bagaimana
membimbing individu juga dapat diterapkan dalam bidang pendidikan dan
pengembangan kuriulum. Memang ia banyak mengemukakan konsepnya tentang
perkembangan dan perubahan individu. Menurut When Crosby (1970: 388)
perubahan kurikulum adalah perubahan individu.
Menurut Rogers manusia berada dalam proses perubahan (becoming,
developing, changing), sesungguhnya ia mempunyai kekuatan dan potensi untuk
berkembang sendiri, tetapi karena ada hambatan-hambatan tertentu ia membutuhkan
orang lain untuk membantu memperlancar atau mempercepat perubahan tersebut.
Pendidikan juga tidak lain merupakan upaya untuk membantu memperlancar dan
mempercepat perubahan tersebut. Guru serta pendidik lainnya bukan pemberi
informasi apalagi penentu perkembangan anak, mereka hanyalah pendorong dan
pemelancar perkembangan anak.
Ada empat langkah pengembangan kurikulum model Rogers.
1) Pertama, pemilihan target dari sistem pendidikan. Di dalam penentuan target
ini satusatunya kriteria yang menjadi pegangan adalah adanya kesediaan dari
pejabat pendidikan untuk turut serta dalam kegiatan kelompok yang intensif.
Selama satu minggu para pejabat pendidikan /administrator melakukan
kegiatan kelompok dalam suasana yang relaks, tidak formal.
2) Kedua dalam pengembangan kurikulum model Rogers adalah partisipasi guru
dalam pengalaman kelompok yang intensif. Sama seperti yang dilakukan para
pejabat pendidikan, guru juga turut serta dalam kegiatan kelompok.
Keikutsertaan guru dalam kelompok tersebut sebaiknya bersifat suka rela, lama
kegiatan kalau bisa satu minggu lebih baik, tetapi dapat juga kurang dari satu
minggu.

34
3) Ketiga, pengembangan pengalaman kelompok yang intensif untuk satu kelas
atau unit pelajaran.
4) Keempat, partisipasi orang tua dalam kegiatan kelompok. Kegiatan ini dapat
dikoordinasi oleh BP3 masing-masing sekolah. Lama kegiatan kelompok dapat
tiga jam tiap sore hari selama seminggu atau 24 jam secara terus menerus.
Kegiatan ini bertujuan memperkaya orang-orang dalam hubungannya dengan
sesama orang tua, dengan anak, dan dengan guru. Rogers juga menyarankan,
kalau mungkin ada pengalaman kegiatan kelompok yang bersifat campuran.
Kegiatan merupakan kulminasi dari semua kegiatan kelompok di atas.

g. The systematic action-research model


Model kurikulum ini didasarkan pada asumsi bahwa perkembangan kurikulum
merupakan perubahan sosial. Hal itu mencakup suatu proses yang melibatkan
kepribadian orang tua, siswa guru, struktur sistem sekolah, pola hubungan pribadi dan
kelompok dari sekolah dan masyarakat. Sesuai dengan asumsi tersebut model ini
menekankan pada tiga hal itu: hubungan insani, sekolah dan organisasi masyarakat,
serta wibawa dari pengetahuan profesional.
Kurikulum dikembangkan dalam konteks harapan warga masyarakat, para orang
tua, tokoh masyarakat, pengusaha, siswa, guru, dan lain-lain, mempunyai pandangan
tentang bagaimana pendidikan, bagaimana anak belajar, dan bagaimana peranan
kurikulum dalam pendidikan dan pengajaran. Penyusunan kurikulum harus
memasukkan pandangan dan harapan-harapan masyarakat, dan salah satu cara untuk
mencapai hal itu adalah dengan prosedur action research. Langkah pertama,
mengadakan kajian secara saksama tentang masalah-masalah kurikulum, berupa
pengumpulan data yang bersifat menyeluruh, dan mengidentifikasi faktor-faktor,
kekuatan dan kondisi yang mempengaruhi masalah tersebut. Dari hasil kajian tersebut
dapat disusun rencana yang menyeluruh tentang cara-cara mengatasi masalah
tersebut, serta tindakan pertama yang harus diambil. Kedua, implementasi dari
keputusan yang diambil dalam tindakan pertama. Tindakan ini segera diikuti oleh
kegiatan pengumpulan data dan fakta-fakta. Kegiatan pengumpulan data ini
mempunyai beberapa fungsi: (1) menyiapkan data bagi evaluasi tindakan, (2) sebagai
bahan pemahaman tentang masalah yang dihadapi, (3) sebagai bahan untuk menilai

35
kembali dan mengadakan modifikasi, (4) sebagai bahan untuk menentukan tindakan
lebih lanjut.

h. Emerging technical models


Perkembangan bidang teknologi dan ilmu pengetahuan serta nilai-nilai efisiensi
efektivitas dalam bisnis, juga mempengaruhi perkembangan model-model kurikulum.
Tumbuh kecenderungan-kecenderungan baru yang didasarkan atas hal itu, di
antaranya: The Behavioral Analysis Model, menekankan penguasaan perilaku atau
kemampuan. Suatu perilaku/kemampuan yang kompleks diuraikan menjadi perilaku-
perilaku yang sederhana yang tersusun secara hierarkis. Siswa mempelajari perilaku-
perilaku tersebut secara berangsur-angsur mulai dari yang sederhana menuju yang
lebih kompleks. The System Analysis Model berasal dari gerakan efisiensi bisnis.
Langkah pertama dari model ini adalah menentukan spesifikasi perangkat hasil belajar
yang harus dikuasai siswa. Langkah kedua adalah menyusun instrumen untuk menilai
ketercapaian hasil-hasil belajar tersebut. Langkah ketiga, mengidentifikasi tahap-tahap
ketercapaian hasil serta perkiraan biaya yang diperlukan. Langkah keempat,
membandingkan biaya dan keuntungan dari beberapa program pendidikan. The
Computer-Based Model, suatu model pengembangan kurikulum dengan memanfaatkan
komputer. Pengembangannya dimulai dengan mengidentifikasi seluruh unit-unit
kurikulum, tiap unit kurikulum telah memiliki rumusan tentang hasil-hasil yang
diharapkan. Kepada para siswa dan guru-guru diminta untuk melengkapi pertanyaan
tentang unit-unit kurikulum tersebut. Setelah diadakan pengolahan disesuaikan dengan
kemampuan dan hasil-hasil belajar yang dicapai siswa disimpan dalam komputer.

C. PENILAIAN DAN EVALUASI KURIKULUM

1. Penilaian Kurikulum
Penilaian kurikulum dilakukan biasanya pada suatu periode waktu yang telah
ditentukan setelah suatu kurikulum diimplementasikan. Sebelum penilaian kurikulum
dilaksanakan perlu terlebih dahulu menetapkan tujuan, fungsi, dan pemanfaatan hasil
penilaian kurikulum; menentukan komponen-komponen yang akan dinilai dalam suatu

36
kurikulum; menetapkan pendekatan penilaian kurikulum; dan memilih model-model
penilaian kurikulum yang tepat untuk digunakan.

a. Tujuan, Fungsi, dan Pemanfaatan Hasil Penilaian Kurikulum

Penilaian kurikulum adalah suatu proses mempertimbangkan kualitas dan efektivitas


program kurikulum. Kerangka dasar dari proses penilaian yaitu (1) penilaian terhadap
unsur tertentu kurikulum, atau (2) penilaian terhadap keseluruhan unsur kurikulum.
Penilaian kurikulum dilakukan terhadap pelaksanaan kurikulum (unsur tertentu atau
keseluruhan).

1) Tujuan penilaian kurikulum adalah penentuan seberapa baiknya pelaksanaan suatu


kurikulum apabila dinilai berdasarkan kriteria tertentu atau apabila dibandingkan
dengan kurikulum yang lainnya. Dalam penilaian kurikulum diperlukan langkah-
langkah pengumpulan, pengolahan, dan penafsiran data berkaitan dengan suatu
pelaksanaan kurikulum. Untuk penilaian lengkap harus dikumpulkan dua jenis data
utama: (1) gambaran jelas mengenai tujuan, lingkungan, personalia, metode,
materi, dan hasil; dan (2) pertimbangan tentang kualitas dan kelayakan tujuan, dan
sebagainya.

Penekanan utama penilaian kurikulum adalah sejauhmana kurikulum telah dicapai


melalui kegiatan belajar mengajar. Oleh karena itu, penilaian kurikulum memegang
peranan penting dalam berbagai keputusan untuk memperbaiki baik materi
kurikulumnya itu sendiri maupun pelaksanaannya. Penilaian kurikulum secara
langsung mendukung terhadap upaya penyempurnaan proses belajar mengajar,
pengembangan kurikulum, pelaporan kepada para pengambil keputusan, perbaikan
administrasi pendidikan, dan program penelitian/pengembangan.

2) Fungsi penilaian kurikulum adalah: (1) to diagnose, (2) to revise, (3) to compare, (4)
to anticipate educational needs, and (5) to determine if objective have been
achieved. Penilaian kurikulum berfungsi untuk mendiagnosa, memperbaiki,
mambandingkan, mengantisipasi kebutuhan pendidikan, dan menentukan jika
tujuan telah dicapai.

Hasil dari penilaian kurikulum akan menunjukkan bahwa penilaian kurikulum


memberikan informasi kepada pembuat keputusan apakah suatu kurikulum masih
tetap digunakan, apakah harus dirubah/diperbaiki, atau diganti dengan kurikulum baru.

37
Rekomendasi menjelaskan secara teknis dan terperinci tentang alternatif yang diambil
oleh pembuat keputusan. Hasil penilaian (data atau informasi) diperlukan sebagai
bahan untuk peninjauan kembali, baik terhadap pelaksanaan kurikulum itu sendiri
maupun terhadap konseptualisasi dan legitimasi, dan pengembangan kurikulum.

3) Komponen Kurikulum yang Dinilai

Dalam penilaian kurikulum harus jelas apa dan siapa yang dinilai.

Pertama; berkenaan dengan apa yang dinilai yaitu landasan, tujuan pendidikan,
materi, interaksi guru dan murid, dan lingkungan belajar. Penilaian terhadap
komponen landasan meliputi filosofis, psikologis, dan pendekatan. Penilaian
terhadap tujuan pendidikan meliputi tujuan institusional, tujuan kurikuler, dan tujuan
instruksional. Penilaian terhadap materi meliputi materi yang bersifat fakta, konsep,
dan generalisasi. Penilaian terhadap interaksi guru dan murid meliputi metode
pengajaran, metode penilaian, alat bantu belajar dan menga jar, dan kegiatan
dalam bentuk individu, kelompok, atau klasikal. Penilaian terhadap lingkungan
belajar meliputi sekolah dan masyarakat.

Kedua; berkenaan dengan siapa yang dinilai yaitu kelompok personal yang
mencakup guru, anak didik, kepala sekolah, dan pembina pendidikan. Penilaian
terhadap guru meliputi aspek-aspek (1) keterampilan pengelo laan kelas,
kemampuan akademis, dan keterampilan membina hubungan dengan sesama
guru; dan (2) latar belakang pendidi kan. Anak didik dinilai dalam kegiatan proses
belajar dan hasil belajarnya. Penilaian terhadap kepala sekolah diarah kan kepada
kemampuannya dalam mengelola sekolah, membina hubungan dengan pihak-pihak
di luar sekolah, dan membina peraturan-peraturan yang berkenaan dengan
pelaksanaan pendi dikan khususnya kurikulum di sekolah. Sedangkan pembina
pendidikan yang dinilai dalam kerangka penilaian kurikulum adalah pengawas untuk
sekolah-sekolah tingkat menengah dan penilik untuk sekolah tingkat dasar.

Pendekatan Penilaian Kurikulum

Pendekatan yang dipergunakan dalam penilaian kurikulum akan menentukan jenis data
dan bagaimana data itu seharusnya dikumpulkan dan digunakan. Dua pendekatan pokok
yang biasanya diterapkan dalam penilaian kurikulum, yaitu (1) scientistic ideals approach,
38
and (2) humanistic ideals approach.

a) Scientistic ideals adalah pendekatan penilaian kurikulum yang cenderung


memusatkan kepada hasil atau pengaruh. Nilai tes anak didik merupakan bagian
penting dari data yang dikumpulkan. Data tersebut digunakan untuk perbandingan
prestasi anak didik dalam situasi yang berbeda, di mana setiap situasi dikontrol
sebanyak mungkin. Data yang dikumpulkan melalui pendekatan ini adalah data
kuantitatif, sehingga data tersebut dapat dianalisa secara statistik. Keputusan
tentang tindak lanjut kurikulum dibuat atas dasar perbandingan data yang diperoleh
dari penilaian kurikulum.

b) Humanistic ideals adalah pendekatan penilaian kurikulum melalui serangkaian


pengamatan terhadap kurikulum yang sedang berlaku. Pengamatan diarahkan
kepada penemuan dan pembuktian kasus yang terjadi dalam pelaksanaan
kurikulum. Dengan demikian, data yang dikumpulkan melalui pendekatan ini adalah
gejala-gejala yang dilihat pada saat pengamatan berlangsung. Usaha untuk
manipulasi atau mempengaruhi pelak sanaan kurikulum sebelum dilakukan
pengamatan akan mengurangi sifat alamiah dari pendekatan ini. Data yang
diperoleh akan berupa data kualitatif, yang artinya data tersebut menunjukkan
kesan penilai terhadap apa yang diamati dan gambaran kejadian nyata yang terjadi
selama pengamatan. Analisa data akan berbentuk pembahasan hubungan dan pola
berbagai pengamatan.

Strategi penilaian kurikulum akan menunjukkan cara bagaimana penilaian itu


dilaksanakan dari tahap permulaan sampai dengan tahap akhir. Strategi penilaian
kurikulum sangat penting untuk digunakan oleh para penilai dalam melakukan
penilaian kurikulum.

4) Model-model Penilaian Kurikulum

Sejumlah teoritikus dalam pengembangan kurikulum telah menentukan sendiri model-


model untuk penilaian kurikulum. Berikut ini akan dibahas beberapa model penilaian serta
tokoh yang mengembangkannya.

a) MODEL Tyler

Model penilaian kurikulum yang dikembangkan oleh Raplh Tyler merupakan model
awal penilaian kurikulum yang dikembangkan sekarang ini. Dalam bukunya Basic
39
Principles of Curriculum and Instruction, Tyler mengemukakan model penilaian kurikulum
yang memusatkan perhatian kekuatan dan kelemahan kurikulum.

Model penilaian Tyler telah digunakan khususnya di Amerika Serikat dalam


berbagai usaha penilaian berskala besar. Beberapa pendekatan penilaian Tyler adalah :

- Mulai dengan penentuan tujuan penilaian. Tujuan ini harus menyatakan dengan jelas
materi yang akan dinilai dalam kurikulum.
- Memilih, mengubah, atau menyusun alat penilaian dan menguji obyektivitas,
realibilitas, dan validitas alat tersebut.
- Gunakan alat penilaian untuk memperoleh data.
- Bandingkan data yang diperoleh dengan hasil penilaian sebelumnya yang memperoleh
data.
- Analisa data untuk menentukan kekuatan dan kelemahan dari kurikulum dan jelaskan
alasan dari kekuatan dan kelemahan tersebut.
- Gunakan data untuk membuat perubahan yang dianggap perlu dalam kurikulum.

Model Tyler dianggap telah menguntungkan upaya penilaian kurikulum karena modelnya
relatif mudah, rasional, dan sistematis untuk dipahami dan dilaksanakan.

b) MODEL Bloom, Hastings, dan Madaus

Bloom, Hastings, dan Madaus dalam penilaian kurikulum mengembangkan model


penilaian sumatif dan formatif. Perbedaan pokok diantaranya sumatif dan formatif adalah
(1) tujuan, (2) waktu, dan (3) tingkat generalisasi.

Penilaian formatif adalah penilaian terhadap kualitas kurikulum yang dilakukan setiap saat
atau terus menerus selama proses pelaksanaan kurikulum berlangsung. Hasil
penilaiannya digunakan sebagai data pelengkap dalam penilaian akhir keseluruhan
pelaksanaan kurikulum. Sebaliknya, penilaian sumatif adalah penilaian menyeluruh yang
dilakukan terhadap kualitas kurikulum pada akhir suatu periode pelaksanaan program
kurikulum. Hasil penilaiannya digunakan sebagai pertimbangan akhir terhadap
keberhasilan pelaksanaan kurikulum.

Penilaian formatif merupakan alat yang jauh lebih bermanfaat dari pada penilaian sumatif,
walaupun pada dasarnya kedua penilaian tersebut diperlukan. Alasannya yaitu dengan
penilaian sumatif dapat memungkinkan adanya perubahan besar-besaran terhadap suatu

40
kurikulum. Sedangkan dengan penilaian formatif hanya memungkinkan adanya feedback
setiap saat atau terus menerus terhadap pengembangan kurikulum, karena kurikulum
bukan merupakan barang yang tetap. Dengan kata lain, kurikulum dapat diperbaiki dalam
proses pelaksanaan kurikulum itu sendiri.

c) MODEL Stufflebeam

Stufflebeam dikenal dengan model penilaian yang ia namakan (1) context


evaluation, (2) input evaluation, (3) process evaluation, and (4) product evaluation, atau
lebih populer dengan singkatan CIPP model evaluation. Model ini telah digunakan secara
luas sebagai dasar untuk penilaian kurikulum.

d) MODEL Stake

Stake mengembangkan suatu model penilaian kurikulum dengan nama Continguency-


Conngruence Model (CCM). Tujuan dari model ini adalah melengkapi kerangka untuk
pengembangan suatu rencana penilaian kurikulum. Perhatian utama Stake adalah
hubungan antara tujuan penilaian dengan keputusan berikutnya berdasarkan sifat data
yang dikumpulkan. Stake melihat adanya ketidak-sesuaian antara harapan penilai dan
guru. Menurut Stake penilaian yang dilakukan oleh guru tidak akan sama hasilnya dengan
penilaian yang dilakukan oleh ahli penilaian.

Model CCM dimaksudkan guna memastikan bahwa semua data dikumpulkan dan diolah
untuk melengkapi informasi yang dapat digunakan oleh pemakai data. Hal ini berarti
bahwa penilai harus mengumpulkan data deskriptif yang lengkap tentang hasil belajar
murid dan data pelaksanaan pengajaran, dan hubungan antara kedua faktor tersebut. Di
samping itu juga, jugment data harus dikumpulkan. Stake mengartikan judgment data
adalah data yang berasal dari pertimbangan berbagai ahli mata pelajaran dan kelompok
masyarakat yang berkepentingan dengan kurikulum.

e) MODEL Provus

Provus mengembangkan suatu pendekatan yang menggabungkan penilaian


dengan teori management. Model ini mencerminkan asumsi Provus bahwa penilaian
kurikulum hendaknya memenuhi dua tujuan: (1) melengkapi suatu proses untuk
pengembangan kurikulum; dan (2) melengkapi suatu cara penilaian manfaat suatu
kurikulum.
Provus menamakan model penilaiannya dengan the discrepancy evaluation
41
model. Model ini membedakan antara pelaksanaan atau kenyataan dan patokan, dan
perbedaan tersebut oleh Provus dinamakan discrepancy. Tahapan penilaian yang
dikembangkan oleh Provus adalah sebagaimana diuraikan berikut ini.
Tahap 1:
Menentukan kriteria yang diinginkan. Kemudian penilai mengidentifikasi ketidaksesuaian
antara kriteria dan perencanaan program kurikulum. Dara dilaporkan kepada pembuat
keputusan yang harus memutuskan apakah pembuat keputusan yang harus memutuskan
apakah ketidaksesuaian dapat diabaikan atau perencanaan program harus dirubah.
Tahap 2:
Membandingkan antara kenyataan atau pelaksanaan program kurikulum dan kriteria.
Tugas penilai adalah melaporkan ketidaksesuaian kedua hal tersebut. Perubahanm
pelaksanaan kurikulum pada tahap ini dimungkinkan sebelum penilaian dilanjutkan.
Perubahan harus melibatkan para ahli untuk membantu guru dalam mempelajari metode-
metode pengajaran baru.
Tahap 3:
meneliti proses belajar mengajar dan hasilnya secara khusus digunakan untuk
menentukan hubungan penyebab dan pengaruh. Provus menamakan tahap 3 ini sebagai
microlevel evaluation. Jika ternyata proses belajar mengajar tidak menghasilkan hasil
belajar yang diinginkan, proses belajar mengajar hendaknya diperbaiki. Pada tahap ini,
penilai juga diharapkan mendeteksi berbagai masalah yang berkaitan dengan proses
belajar mengajar.
Tahap 4:
Meneliti pengaruh dari kurikulum secara keseluruhan dalam hubungannya dengan
perubahan tingkah laku anak didik. Provus menamakan tahap ini dengan macrolevel
evaluation. Dalam tahap ini akan diketahui apakah pelaksanaan kurikulum telah mencapai
tujuannya ataukah tidak mencapai. Data yang diperoleh dari tahap 2 dan 3 akan sangat
membantu dalam pelaksanaan penilaian pada tahap ini.
Tahap 5:
Merencanakan kurikulum baru berdasarkan data dari pelaksanaan kurikulum yang telah
dinilai.

42
2. Evaluasi Kurikulum
Evaluasi kurikulum memegang peranan penting baik dalam penentuan ke-
bijaksanaan pendidikan pada umumnya, maupun pada pengambilan keputusan dalam
kurikulum. Hasil-hasil evaluasi kurikulum dapat digunakan oleh para pemegang
kebijaksanaan pendidikan dan para pengembang kurikulum dalam memilih dan
menetapkan kebijaksanaan pengembangan sistem pendidikan dan pengembangan
model kurikulum yang digunakan. Hasil-hasil evaluasi kurikulum juga dapat digunakan
oleh guru-guru, kepala sekolah dan para pelaksana pendidikan lainnya, dalam
memahami dan membantu perkembangan siswa, memilih bahan pelajaran, memilih
metode dan alat-alat bantu pelajaran, cara penilaian serta fasilitas pendidikan lainnya.

Evaluasi kurikulum sukar dirumuskan secara tegas, disebabkan beberapa faktor:


a. Evaluasi kurikulum berkenaan dengan fenomena-fenomena yang terus berubah.
b. Objek evaluasi kurikulum adalah sesuatu yang berubah-ubah sesuai dengan
konsep kurikulum yang digunakan.
c. Evaluasi kurikulum merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh manusia yang
sifatnya juga berubah.

Evaluasi dan kurikulum merupakan dua disiplin yang berdiri sendiri. Ada pihak yang
berpendapat antara keduanya tidak ada hubungan, tetapi ada pihak lain yang
menyatakan keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat. Pihak yang
memandang ada hubungan, hubungan tersebut merupakan hubungan sebab-akibat.
Perubahan dalam kurikulum berpengaruh pada evaluasi kurikulum, sebaliknya
perubahan evaluasi akan memberi warna pada pelaksanaan kurikulum. Hubungan
antara evaluasi dengan kurikulum bersifat organis, dan prosesnya berlangsung secara
evolusioner. Pandangan-pandangan lama yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan
zaman, secara berangsur-angsur diganti dengan pandangan baru yang lebih sesuai.

R.A. Beeher, seorang ahli pendidikan dari Universitas Sussex, Inggris menyatakan
bahwa: Tiap program pengembangan kurikulum mempunyai style dan karakteristik
tertentu, dan evaluasi dari program tersebut akan memperlihatkan style dan
karakteristik yang sama pula. Seorang evaluator akan menyusun program evaluasi
kurikulum sesuai dengan style dan karakteristik kurikulum yang dikembangkannya.

43
Juga terjadi sebaliknya, hasil program evaluasi kurikulum akan mempengaruhi
pelaksanaan praktik kurikulum.
Konsep R.A. Becher tentang pengembangan kurikulum dan evaluasi kurikulum,
pada mulanya bersifat deskriptif yaitu menekankan pada What is it?, tetapi kemudian
berkembang kepada yang bersifat preskriptif, yang menekankan pada What ought to
be. Konsep-konsep evaluasi kurikulum yang bersifat preskriptif, mempunyai tempat
dalam konsep kurikulum yang bersifat preskriptif pula. Sebagai contoh, teori dari Ralph
Tylor dan Benyamin Bloom, berisikan pedoman-pedoman praktis bagi pengembangan
kurikulum, demikian juga dengan teori evaluasi kurikulumnya,
Evaluasi merupakan kegiatan yang luas, kompleks dan terus-menerus untuk
mengetahui proses dan hasil pelaksanaan sistem pendidikan dalam mencapai tujuan
yang telah ditentukan. Evaluasi juga meliputi rentangan yang cukup luas, mulai dari
yang bersifat sangat informal sampai dengan yang sangat formal. Pada tingkat yang
sangat informal evaluasi kurikulum berbentuk perkiraan, dugaan atau pendapat tentang
perubahan-perubahan yang telah dicapai oleh program sekolah. Pada tingkat yang
lebih formal evaluasi kurikulum meliputi pengumpulan dan pencatatan data, sedangkan
pada tingkat yang sangat formal berbentuk pengukuran berbagai bentuk kemajuan ke
arah tujuan yang telah ditentukan.
Komponen-komponen kurikulum yang dievaluasi juga sangat luas. Program
evaluasi kurikulum bukan hanya mengevaluasi hasil belajar siswa dan proses
pembelajarannya, tetapi juga desain dan implementasi kurikulum, kemampuan dan
unjuk kerja guru, kemampuan dan kemajuan siswa, sarana, fasilitas dan sumber-
sumber belajar, dan lain-lain. Hilda Taba menjelaskan hal-hal yang dievaluasi dalam
kurikulum, yaitu meliputi:

Objective, it scope, the quality of personnel in charger of it, the capaci ties of the
students, the relative importance of various subject, the de gree to which objectives
are implemented, the equipment and materials and so son .

Apa yang dikemukakan di atas merupakan konsep evaluasi kurikulum yang sangat
luas yang mencakup seluruh komponen dan kegiatan pendidikan. Evaluasi kurikulum
sering juga dibatasi secara sempit, yaitu hanya ditekankan pada hasil-hasil yang
dicapai oleh murid. Curriculum evaluation may be defined as the estimation of the
growth and progess of students toward objectives or values of the curriculum .

44
Luas atau sempitnya suatu program evaluasi kurikulum sebenarnya ditentukan oleh
tujuannya. Apakah evaluasi tersebut ditujukan untuk menilai keseluruhan sistem
kurikulum atau hanya komponen-komponen tertentu dalam sistem kurikulum tersebut.
Apakah mengevaluasi keseluruhan sistem atau komponen-komponen tertentu saja,
diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu, agar hasil evaluasi tersebut tetap
bermakna. Syarat-syarat suatu program evaluasi kurikulum, yaitu acknowledge
presence of values and valuing, orientation to goals, comprehensiveness,
continuity, diagnostic worth and validity and integration. Suatu evaluasi kurikulum
harus memiliki nilai dan penilaian, punya tujuan atau sasaran yang jelas, bersifat
menyeluruh dan terus-menerus, berfungsi diagnostik dan terintegrasi.
Evaluasi kurikulum juga bervariasi bergantung pada dimensi-dimensi yang menjadi
fokus evaluasi. Salah satu dimensi yang sering mendapat sorotan adalah dimensi
kuantitas dan kualitas.

One dimension is that of quantity; much of the program is to be evaluated? The


other dimension is that of quality-what goals are being highlighted in this
evaluation and how does achievement of the goals as sure quality.

Instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi dimensi kuantitatif berbeda dengan


instrumen untuk mengevaluasi aspek-aspek perkembangan dan prestasi yang dicapai
anak. Dimensi yang bersifat kuantitatif dapat diukur dengan menggunakan berbagai
bentuk alat ukur atau tes standar. Tes standar tersebut ada yang diperuntukkan
mengukur kemampuan yang bersifat potensial (kecerdasan, bakat) dan ada pula yang
diperuntukkan mengukur kemampuan nyata atau achievement. Tes standar yang
mengukur kecerdasan dan bakat umpamanya: intelligence test, scholastic aptitude
test, special aptitude test, prognostic aptitude test, dan lain-lain, dan tes standar
yang mengukur achievement seperti subject areas test, survey test, diagnostic
test, dan lain-lain. Instrumen yang sering digunakan untuk mengevaluasi dimensi
kualitatif umpamanya: questionnaire, interest inventories, temperament and
adjustment inventories, nominating techniques, interviews, and annecdotal
records. (Wright, 1966: 306).

45
a. Model-Model Evaluasi Kurikulum

Evaluasi kurikulum merupakan suatu tema yang luas, meliputi banyak kegiatan,
meliputi sejumlah prosedur, bahkan dapat merupakan suatu bidang studi yang berdiri
sendiri. Evaluasi kurikulum juga merupakan suatu fenomena yang multifaset, memiliki
banyak segi.
Bagian ini membahas perkembangan evaluasi kurikulum, yaitu evaluasi kurikulum
sebagai fenomena sejarah, suatu elemen dalam proses sosial dihubungkan dengan
perkembangan pendidikan. Ada 4 model evaluasi kurikulum: Evaluasi model
penelitian, evaluasi model obyektif, model campuran multivariasi, dan evaluasi EPIC
1) Evaluasi model penelitian
Evaluasi kurikulum yang menggunakan tes psikologis serta eksperimen lapangan
disebut model penelitian, yang didasarkan atas teori dan metode. Tes psikologis atau
tes psikometrik pada mempunyai dua bentuk, yaitu tes inteligensi yang ditujukan untuk
mengukur kemampuan bawaan, serta tes hasil belajar yang mengukur perilaku
skolastik.
Eksperimen lapangan dalam pendidikan, dimulai tahun 1930 dengan menggunakan
metode yang biasa digunakan dalam penelitian botani pertanian. Para ahli botani
pertanian mengadakan percobaan untuk mengetahui produktivitas dari bermacam-
macam benih. Beberapa macam benih ditanam pada petak-petak tanah yang memiliki
kesuburan dan lain-lain yang sama. Dari percobaan tersebut dapat diketahui benih
mana yang paling produktif. Percobaan serupa dapat juga digunakan untuk mengetahui
pengaruh tanah, pupuk dan sebagainya terhadap produktivitas suatu macam benih.
Model eksperimen dalam botani pertanian dapat digunakan dalam pendidikan,
anak dapat disamakan dengan benih, sedang kurikulum serta berbagai fasilitas serta
sistem sekolah dapat disamakan dengan tanah dan pemeliharaannya. Untuk
mengetahui tingkat kesuburan benih (kecerdasan anak) serta hasil yang dicapai pada
akhir program (prestasi belajar anak), percobaan dapat digunakan tes (pre test dan
post test).
Comparative approach dalam evaluasi. Salah satu pendekatan dalam evaluasi
yang menggunakan eksperimen lapangan adalah mengadakan pembandingan antara
dua macam kelompok anak, umpamanya yang menggunakan dua metode belajar yang
berbeda. Kelompok pertama belajar membaca dengan metode global dan kelompok

46
lain menggunakan metode unsur. Kelompok mana yang lebih baik atau lebih berhasil?
Apakah keberhasilan metode tersebut dapat ditransfer ke metode yang lain?
Rancangan penelitian lapangan ini membutuhkan persiapan yang sangat teliti dan rinci.
Besarnya sampel, variabel yang terkontrol, hipotesis, treatment, tes hasil belajar dan
sebagainya, perlu dirumuskan secara tepat dan rinci.
Ada beberapa kesulitan yang dihadapi dalam eksperimen tersebut. Pertama,
kesulitan administratif, sedikit sekali sekolah yang bersedia dijadikan sekolah
eksperimen. Kedua, masalah teknis dan logis, yaitu kesulitan menciptakan kondisi
kelas yang sama untuk kelompok-kelompok yang diuji. Ketiga, sukar untuk
mencampurkan guru-guru untuk mengajar pada kelompok eksperimen dengan
kelompok kontrol karena mereka adalah manusia, yang memiliki fikiran dan perasaan;
pengaruh guru-guru tersebut sukar dikontrol. Keempat, ada keterbatasan mengenai
manipulasi eksperimen yang dapat dilakukan. Dalam botani pertanian dengan
rancangan yang sangat sempurna dapat memanipulasi eksperimen sampai 25
treatment, tetapi dalam penelitian pendidikan tidak mungkin dapat melakukan
treatment sebanyak itu.

2) Evaluasi model objektif


Evaluasi model objektif (model tujuan) berasal dari Amerika Serikat. Perbedaan
model objektif dengan model komparatif adalah dalam dua hal. Pertama dalam model
objektif, evaluasi merupakan bagian yang sangat penting dari proses pengembangan
kurikulum. Para evaluator juga mempunyai peranan menghimpun pendapat-pendapat
orang luar tentang inovasi kurikulum yang dilaksanakan. Evaluasi dilakukan pada akhir
pengembangan kurikulum, kegiatan penilaian ini sering disebut evaluasi sumatif.
Dalam hal-hal tertentu sering evaluator bekerja sebagai bagian dari tim pengembang.
Informasi-informasi yang diperoleh dari hasil penilaiannya digunakan untuk
penyempurnaan inovasi yang sedang berjalan. Evaluasi ini sering disebut evaluasi
formatif. Kedua, kurikulum tidak dibandingkan dengan kurikulum lain tetapi diukur
dengan seperangkat objektif (tujuan khusus). Keberhasilan pelaksanaan kurikulum
diukur oleh penguasaan siswa akan tujuan-tujuan tersebut. Para pengembang
kurikulum yang menggunakan sistem instruksional (model objektif) menggunakan
standar pencapaian tujuan-tujuan tersebut. Tujuan dari comparative approach adalah
menilai apakah kegiatan yang dilakukan kelompok eksperimen lebih baik daripada
47
kelompok kontrol. Oleh karena itu, kedua kelompok tersebut harus ekuivalen, tetapi
dalam model objektif hal itu tidak menjadi soal.
Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh tim pengembang model
objektif, yaitu:
a) Ada kesepakatan tentang tujuan-tujuan kurikulum,
b) Merumuskan tujuan-tujuan tersebut dalam perbuatan siswa,
c) Menyusun materi kurikulum yang sesuai dengan tujuan tersebut,
d) Mengukur kesesuaian antara perilaku siswa dengan hasil yang diinginkan.

Pendekatan inilah yang digunakan oleh Ralph Tylor (1930) dalam menyusun tes
dengan titik tolak pada perumusan tujuan tes, sebagai asal mula pendekatan sistem
(system approach). Pada tahun 1950-an Benyamin S. Bloom dengan kawan-
kawannya menyusun klasifikasi sistem tujuan yang meliputi daerah-daerah belajar
(cognitive domain). Mereka membagi proses mental yang berhubungan dengan
belajar tersebut dalam 6 kategori, yaitu knowledge, comprehension, application,
analysis, synthesis dan evaluation. Mereka membagi-bagi lagi tujuan-tujuan tersebut
pada sub-tujuan yang lebih khusus. Perumusan tujuan-tujuan dari Bloom dan kawan-
kawan belum sampai pada perumusan tujuan yang bersifat behavioral, untuk itu
diperlukan perumusan lebih lanjut yang sangat khusus dan bersifat behavioral.
Dasar-dasar teori Tylor dan Bloom menjadi prinsip sentral dalam berbagai
rancangan kurikulum, dan mencapai puncaknya dalam sistem belajar berprogram dan
sistem instruksional. Sistem pengajaran yang terkenal adalah IPI (Individually
Prescribed Instruction), suatu program yang dikembangkan oleh Learning Research
and Development Centre Universitas Pittsburg. Dalam IPI anak mengikuti kurikulum
yang memiliki 7 unsur: Tujuan-tujuan pengajaran yang disusun dalam daerah-daerah,
tingkattingkat dan unit-unit, Suatu prosedur program testing, Pedoman perosedur
penulisan, Materi dan alat-alat pengajaran, Kegiatan guru dalam kelas, Kegiatan murid
dalam kelas, dan Prosedur pengelolaan kelas.
Tes untuk mengukur prestasi belajar anak merupakan bagian integral dari
kurikulum. Tiap butir tes berkenaan dengan keterampilan, unit atau tingkat tertentu dari
tujuan khusus. Untuk mengikuti program pendidikan, siswa harus mengambil dulu tes
penempatan, untuk menentukan di mana mereka harus mulai belajar. Kemajuan siswa
dimonitor oleh guru dengan memberikan tes yang mengukur tingkat penguasaan

48
tujuan-tujuan khusus melalui pre test dan post test. Siswa dianggap menguasai suatu
unit bila memperoleh skor minimal 80. Bila ini sudah dikuasai berarti penguasaan siswa
sudah sesuai dengan kriteria.

3) Model campuran multivariasi


Evaluasi model perbandingan (comparative approach) dan model Tylor dan
Bloom melahirkan evaluasi model campuran multivariasi, yaitu strategi evaluasi yang
menyatukan unsur-unsur dari kedua pendekatan tersebut. Strategi ini memungkinkan
pembandingan lebih dari satu kurikulum dan secara serempak keberhasilan tiap kurikulum
diukur berdasarkan kriteria khusus dari masing-masing kurikulum.
Seperti halnya pada eksperimen lapangan serta usaha-usaha awal dari Tylor dan
Bloom, metode ini pun terlepas dari proyek evaluasi. Metodemetode tersebut masuk ke
bidang kurikulum setelah komputer dan program paket berkembang yaitu tahun 1960.
Program paket berisi program statistik yang sederhana yang tidak membutuhkan
pengetahuan komputer untuk menggunakannya. Dengan berkembangnya penggunaan
komputer memungkinkan studi lapangan tidak dihambat oleh kesalahan dan kelambatan.
Semua masalah pengolahan statistik dapat dikerjakan dengan komputer.
Langkah-langkahEvaluasi model multivariasi tersebut adalah sebagai berikut:
a) Mencari sekolah yang berminat untuk dievaluasi/diteliti,
b) Pelaksanaan program. Bila tidak ada pencampuran sekolah tekanannya pada
partisipasi yang optimal,
c) Sementara tim menyusun tujuan yang meliputi semua tujuan dari pengajaran
umpamanya dengan metode global dan metode unsur, dapat disiapkan tes
tambahan,
d) Bila semua informasi yang diharapkan telah terkumpul, maka mulailah pekerjaan
komputer,
e) Tipe analisis dapat juga digunakan untuk mengukur pengaruh bersama dari
beberapa variabel yang berbeda.
Beberapa kesulitan dihadapi dalam model campuran multivariasi ini. Kesulitan
pertama, adalah diharapkan memberikan tes statistik yang signifikan. Maka untuk itu
diperlukan 100 kelas dengan 10 pengukuran, dan ini lebih memungkinkan daripada 10
kelas dengan 100 pengukuran. Jadi model multivariasi ini lebih sesuai bagi evaluasi
kurikulum skala besar. Kesulitan kedua adalah, terlalu banyaknya variabel yang perlu
49
dihitung pada suatu saat, kemampuan komputer hanya sampai 40 variabel, sedangkan
dengan model ini dapat dikumpulkan sampai 300 variabel. Kesulitan ketiga, meskipun
model multivariasi telah mengurangi masalah kontrol berkenaan dengan eksperimen
lapangan tetapi tetap menghadapi masalah-masalah pembandingan.
Model-model evaluasi kurikulum tersebut berkembang dari dan digunakan untuk
mengevaluasi model atau pendekatan kurikulum tertentu. Model perbandingan lebih
sesuai untuk mengevaluasi pengembangan kurikulum yang menekankan isi (Content
based curriculum), model tujuan lebih sesuai digunakan dalam pengembangan kurikulum
yang menggunakan pendekatan tujuan (Goal based curriculum), model campuran dapat
digunakan untuk mengevaluasi baik kurikulum yang menekankan isi, tujuan maupun
situasi (Situation based curriculum).
.
4) Model EPIC atau Evaluation Programs for Innovative Curriculums.
Evaluasi model EPIC menggambarkan keseluruhan program evaluasi dalam sebuah
kubus. Kubus tersebut mempunyai tiga bidang. Bidang pertama adalah behavior atau peri-
laku yang menjadi sasaran pendidikan yang meliputi perilaku cognitive, affective dan
psychomotor. Bidang kedua adalah "instruction" atau pengajaran, yang meliputi
organization, content, method, facilities and cost, dan bidang ketiga adalah kelembagaan
yang meliputi student, teacher, adminsitrator, educational spesialist, family and community
(Doll, 1976: 374), lihat gambar 10.

Gambar 10. Evaluasi model EPIC

b. Implementasi dan Evaluasi Kurikulum


50
Di muka telah diutarakan bahwa, perbedaan penekanan dalam kurikulum
mengakibatkan perbedaan dalam pola rancangan, dalam pengembangan serta dalam
desiminasinya.
Konsep kurikulum yang menekankan isi, memberikan perhatian besar pada analisis
pengetahuan baru yang ada, konsep situasi menuntut penilaian secara rinci tentang
lingkungan belajar, dan konsep organisasi memberi perhatian besar pada struktur dan
sekuens belajar. Perbedaan-perbedaan dalam rancangan tersebut mempengaruhi
langkah selanjutnya. Pengembangan kurikulum yang menekankan isi, membutuhkan
waktu mempersiapkan situasi belajar dan menyatukannya dengan tujuan pengajaran
yang cukup lama. Kurikulum yang menekankan situasi, waktu untuk
mempersiapkannya lebih pendek, sedangkan kurikulum yang menekankan organisasi
waktu persiapannya hampir sama dengan kurikulum yang menekankan isi. Meskipun
demikian perhatian harus cukup banyak dipusatkan pada struktur konsep yang tidak
tampak (covert) daripada analisis tujuan yang tampak (overt).
Kurikulum yang menekankan isi sangat mengutamakan peranan desiminasi,
meskipun umpamanya kurikulum itu kurang baik, mereka dapat memaksakannya
melalui jalur birokrasi. Tipe kurikulum ini mengikuti model penyebaran (difusi) dari
pusat ke daerah). Sebaliknya penyebaran kurikulum yang menekankan situasi sangat
mementingkan penyiapan unsur-unsur yang terkait (catalyc ingredient).
Pengembangan kurikulumnya bersifat lokal, individual, dan khas. Dengan demikian
penyebaran kurikulum ini memiliki network yang terpisah, tetapi masing-masing dapat
menyesuaikan diri serta mencari keserasian antara arahan yang bersifat pusat
dengan tuntutan kebutuhan dan sifat-sifat lokal. Kurikulum yang menekankan
organisasi, strategi penyebarannya sangat mengutamakan latihan guru. Penyebaran
ini lebih merupakan pembaharuan dari dalam dan bukan karena paksaan atau
keharusan dari luar.
CARE (Centre for Applied Research in Education) di Universitas East Anglia
Norwegia, aktif dalam mengadakan pelatihan guru. Salah satu proyeknya yang
pertama adalah Nuffield/Schools Council Humanities Curriculum Project tahun 1967.
Proyek ini disiapkan untuk meningkatkan usia anak yang meninggalkan sekolah,
disediakan bagi anak usia 14 sampai 16 tahun dan yang kecerdasannya di bawah
rata-rata. Banyak kesulitan yang dialami dalam proyek ini, yang paling kritis adalah
mengenai komunikasi antara tim proyek dengan guru-guru, para administrator, dan
51
para siswa. Proyek ini juga memiliki suatu tim evaluasi. Salah satu kesimpulan dari
hasil evaluasi mereka adalah hasil-hasil yang dicapai oleh guru-guru yang terlatih
(yang mengerti maksud serta latar belakang proyek) tidak dapat dicapai oleh guru-
guru yang tidak terlatih. Ini menunjukkan bahwa latihan guru memegang peranan
penting dalam penyebaran program.
Model evaluasi kaitannya dengan teori kurikulum. Perbedaan konsep dan
strategi pengembangan dan penyebaran kurikulum, juga menimbulkan perbedaan
dalam rancangan evaluasi. Model evaluasi yang bersifat komparatif atau menekankan
pada objektif sangat sesuai bagi kurikulum yang bersifat rasional dan menekankan
isi. Dalam kurikulum yang menekankan situasi sukar disusun evaluasi yang bersifat
komparatif, karena konteksnya bukan terhadap guru atau satu tujuan, tetapi terdapat
banyak tujuan. Dengan menggunakan konsep Ralph Tylor atau Benyamin Bloom
mungkin dapat dibuat suatu modifikasi dengan menyusun tujuan yang bersifat
universal yang dapat digunakan pada semua situasi, tetapi tujuan yang bersifat umum
seperti itu akan kabur, dan sukar menyusun alat evaluasinya. Pendekatan yang
bersifat goal free (lebih menekankan penguasaan aktual dan bukan ideal) lebih
memungkinkan, tetapi harus dihindari penjenjangan tujuan sampai pada perumusan
tujuan yang sangat khusus, dengan kriteria yang khusus pula.
Pada kurikulum yang menekankan organisasi, tugas evaluasi lebih sulit lagi,
karena isi dan hasil kurikulum bukan hal yang utama, yang utamanya adalah aktivitas
dan kemampuan siswa. Salah satu pemecahan bagi masalah ini adalah dengan
pendekatan yang bersifat eklektik seperti dalam proyek Kurikulum Humaniti dari
CARE. Dalam proyek itu dicari perbandingan materi antara proyek yang
menggunakan guru yang terlatih dengan yang tidak terlatih, dalam evaluasinya juga
diteliti pengaruh umum dari proyek, dengan cara mengumpulkan bahan-bahan secara
studi kasus dari sekolah-sekolah proyek. Meskipun pendekatan perbandingan banyak
memberikan hasil yang berharga, tetapi meminta waktu terlalu banyak dari para
evaluator. Dalam perkembangan selanjutnya ternyata, bahan-bahan dari hasil studi
kasus memberikan hasil yang lebih berharga bagi evaluasi kurikulum.
Teori kurikulum dan teori evaluasi. Model evaluasi kurikulum berkaitan erat
dengan konsep kurikulum yang digunakan, seperti model pengembangan dan
penyebaran dihasilkan oleh kurikulum yang menekankan isi. Evaluasi kurikulum yang
bebas tujuan (Goal free evaluation) dalam kebanyakan kurikulum bukan merupakan
52
salah satu alternatif evaluasi tetapi merupakan satu-satunya prosedur evaluasi yang
paling memungkinkan.
Macam-macam model evaluasi yang digunakan bertumpu pada aspek- aspek
tertentu yang diutamakan dalam proses pelaksanaan kurikulum. Model evaluasi yang
bersifat komparatif berkaitan erat dengan tingkah-tingkah laku individu, evaluasi yang
menekankan tujuan berkaitan erat dengan kurikulum yang menekankan pada bahan
ajaran atau isi kurikulum, model (pendekatan) antropologis dalam evaluasi ditujukan
untuk mengevaluasi tingkah-tingkah laku dalam suatu lembaga sosial. Dengan
demikian sesungguhnya terdapat hubungan yang sangat erat antara evaluasi dengan
kurikulum sebab teori kurikulum juga merupakan teori dari evaluasi kurikulum.

DAFTAR PUSTAKA
53
Bloom, B.S., Hasting, J.T. & Madaus, G.F. (1971). Handbook of formative and summative
evaluation of student learning. New York: McGraw-Hill.

Bloom, B.S., (1976). Human characteristic and school learning. New York: McGraw-Hill.

-----. (1981). Evaluation to improve learning. New York: McGrawHill Book Company.

Bobbit, F. (1918). The curriculum. Boston: Houghton Mifflin.

Brandt, R. (1978). On evaluation: An Interview with Daniel Stuf flebeam. Educational Leadership
(January 1978), 35 (4): 248-254.

Cronbach, L.J. (1982). Designing evaluation of educational and social programs. San Francisco,
CA: Jossey-Bass.

-------- (2006). Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi:
Depdiknas, Jakarta.

-------- (2006). Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan: Depdiknas, Jakarta.

-------- (2006). Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2006 tentang
Implementasi Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan : Depdiknas, Jakarta.

Provus, M.M. (1971). Discrepancy evaluation for educational program improvement and
assesment. Berkeley, CA: McCuthchan Publish ing Corporation.

-----. (1972). The discrepancy evaluation model. In P.A. Taylor & D.M. Cowley (Eds.). Readings in
Curriculum evaluation. Dubuque, IA: Wm. C. Brown.

-----. (2005). Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Atandar Nasional Pendidikan :
Jakarta

-----. (1972). The discrepancy evaluation model. In P.A. Taylor & D.M. Cowley (Eds.). Readings in
Curriculum evaluation. Dubuque, IA: Wm. C. Brown.

Scriven, M. (1967). The methodology of evaluation. In Raplh W. Tayler, Robert M. Gagne, &
Michael Scriven (Eds.). Perspectives of curriculum evaluation. Chicago: Rand McNally &
Co.

Stake, R.E. (1967). The countenance of educational evaluation. Teachers College Record. 68 (7):
523-540.

Stufflebeam, D.L. (1971). Educational evaluation and decisionmaking. Itaca, IL: Peacock.

54
Taba, Hilda. (1962). Curriculum development: Theory and practice. New York: Harcourt Brace
Jovanovich.

Tyler, R.W. (1950). Basic principles of curriculum and instruction. Chicago: University of Chicago
Press.

-----. (1957). The curriculum then and now. In Proceedings of the 1956th Invitational Conference on
Testing Problems. Princeton, NJ: Educational Testing Service.

-----. (2003). UUSPN. : Depdiknas, Jakarta

55

Anda mungkin juga menyukai