KLP 2 Pancasila (Demokrasi Terpimpin)
KLP 2 Pancasila (Demokrasi Terpimpin)
Puji syukur terhadap Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya,
sehingga kami mampu menyelesaikan makalah yang mengangkat tema “DEMOKRASI” dan
berjudul “DEMOKRASI TERPIMPIN”
Makalah ini berisikan tentang sejarah bangsa Indonesia, khususnya sejarah Demokrasi
Indonesia secara terpimpin pada Masa kepemimpinan Ir. Soekarno. Diharapkan makalah ini
dapat menambahkan pengetahuan kita semua, bagaimana kehidupan masyarakat dan system
pemerintahan pada masa itu.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran dari dosen dan teman-teman yang bersifat membangun , selalu saya harapkan demi lebih
baiknya makalah ini.
Tim Penulis
Demokrasi Terpimpin i
Kelompok 2
DAFTAR ISI
Demokrasi Terpimpin ii
Kelompok 2
BAB I
PENDAHULUAN
Demokrasi Terpimpin 1
Kelompok 2
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dijelaskan di atas, kami pun merumuskan permasalahan yang
akan dibahas pada makalah ini, adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Apa maksud demokrasi terpimpin?
2. Bagaimana Sejarah Lahirnya Demokrasi Terpimpin?
3. Bagaimana Keterlibatan Umat Islam di dalam Demokrasi Terpimpin?
4. Bagaimana Kehidupan Politik Masa Demokrasi Terpimpin?
5. Apa saja Keberhasilan dan Kegagalan Demokrasi Terpimpin?
Demokrasi Terpimpin 2
Kelompok 2
BAB II
PEMBAHASAN
Demokrasi Terpimpin 3
Kelompok 2
kontra. Hasil permusyawatan perwakilan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan itu
kemudian diserahkan kepada seorang Presiden yang dipilih oleh permusyawaratan itu
pula guna dilaksanakan. Dalam melaksanakan hasil permusyawaratan tersebut, Presiden
menunujuk tenaga-tenaga yang baik dan cakap sebagai pembantu-pembantunya (menteri-
menteri), tetapi Presiden secara individual (tidak secara kolektif bersama-sama
pembantunya) bertanggung jawab kepada Majelis Permusyawaratan Perwakilan Rakyat.
Selanjutnya, dalam menjalankan aktivitas sehari-hari Haluan Negara (menurut
garis-garis besar yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Presiden harus
bekerja bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat, yang dilakukan pula dengan
permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijksanaan, tidak dengan mengutamakan
perdebatan dan penyiasatan yang dapat mengakibatkan pembubaran Dewan Perwakilan
Rakyat atau penyerahan kembali mandat seluruh kebinet, hal-hal mana yang tidak
dimungkinkan menurut Undang-Undang Dasar 1945.
f. Oposisi dalam arti melahirkan pendapat yang sehat dan membangun diharuskan dalam
alam Demokrasi Terpimpin, yang penting ialah cara bermusyawarah dalam
permusyawaratan perwakilan juga harus dipimpin dengan hikmat kebijaksanaan.
g. Demokrasi Terpimpin adalah alat, bukan tujuan.
h. Tujuan melaksanakan Demokrasi Terpimpin ialah mencapai suatu masyarakat yang adil
dan makmur, yang penuh dengan kebahagiaan materil dan sprituil sesuai dengan cita-cita
proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.
i. Sebagai alat, maka Demokrasi Terpimpin mengenal juga kebebasan berpikir dan
berbicara, tetapi dalam batas-batas tertentu, yakni batas keselamatan Negara, batas
kepentingan rakyat banyak, batas kepribadian bangsa, batas kesusilaan dan batas
pertanggung jawaban kepada tuhan.
j. Masyarakat adil dan makmur tidak bisa lain dari pada suatu masyarakat teratur dan
makmur, yang terikat pada batas-batas tuntutan keadilan dan kemakmuran, yang
mengenal ekonomi terpimpin dalam melaksanakan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945
dalam rangka ekonomi terpimpin masih tersedia sektor-sektor perekonomian bagi
pengusaha partikelir.
k. Untuk menyelenggarakan masyarakat adil dan makmur, maka diperlukan suatu pola yang
disiapkan oleh Dewan Perancang Nasional yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang
Demokrasi Terpimpin 4
Kelompok 2
No. 80 Tahun 1958, dan untuk menyelenggarakan pola tersebut harus digunakan
Demokrasi Terpimpin, sehingga dengan demikian Demokrasi Terpimpin pada hakikatnya
adalah demokrasi penyelenggara atau demokrasi karya.
l. Konsekwensi dari pada pelaksanaan Demokrasi Terpimpin adalah:
Penertiban dan pengaturan menurut wajarnya kehidupan kepartaian sebagai alat
perjuangan dan pelaksana cita-cita bangsa Indonesia dalam suatu undang-undang
kepartaian, yang ditujukan terutama kepada keselamatan Negara dan rakyat Indonesia
sebagaimana diputuskan oleh musyawarah nasional pada bulan September tahun 1957,
dengan demikian dapat dicegah pula adanya sistem multi partai yang pada hakikatnya
mempunyai pengaruh tidak baik terhadap stabilitas politik di negara kita.
Menyalurkan golongan-golongan fungsional yaitu kekuatan- kekuatan potensi
nasional dalam masyarakat yang tumbuh dan bergerak secara dinamis, secara efektif
dalam perwakilan guna kelancaran roda pemerintahan dan stabilitas politik.
Keharusan adanya sistem yang lebih menjamin kontinuitas dari pemerintah yang
sanggup bekerja melaksanakan programnya, yang sebagian besar dimuat dalam pola
pembanguan semesta.76
Demokrasi Terpimpin 5
Kelompok 2
2.1.4 Ideologi Demokrasi Terpimpin
Demokrasi Terpimpin sebenarnya, terlepas dari pelaksanaannya yang dianggap otoriter,
dapat dianggap sebagai suatu alat untuk mengatasi perpecahan yang muncul di dataran politik
Indonesia dalam pertengahan tahun 1950-an. Untuk menggantikan pertentangan antara partai-
partai di parlemen, suatu sistem yang lebih otoriter diciptakan dimana peran utama dimainkan
oleh Presiden Soekarno. Ia memberlakukan kembali konstitusi presidensial tahun 1945 pada
tahun 1959 dengan dukungan kuat dari angkatan darat. Akan tetapi Soekarno menyadari
bahwa keterikatannya dengan tentara dapat membahayakan kedudukannya, sehingga ia
mendorong kegiatan-kegiatan dari kelompok-kelompok sipil sebagai penyeimbang terhadap
militer. Dari kelompok sipil ini yang paling utama adalah Partai Komunis Indonesia (PKI)
dan juga walau tidak begitu signifikan peranan dari golongan agama, yaitu khususnya yang
diwakili oleh NU yang tergabung dalam poros nasakom soekarno semasa pemberlakuan
demokrasi terpimpin. Meskipun pemimpin PKI maupun Angkatan Darat mengaku setia
kepada Presiden Soekarno, mereka sendiri masing-masing terkurung dalam pertentangan yang
tak terdamaikan.
Soekarno berusaha mengumpulkan seluruh kekuatan politik yang saling bersaing dari
Demokrasi Terpimpin dengan jalan turut membantu mengembangkan kesadaran akan tujuan-
tujuan nasional. Ia menciptakan suatu ideologi nasional yang mengharapkan seluruh warga
negara memberi dukungan kesetiaan kepadanya. Pancasila ditekankan olehnya dan dilengkapi
dengan serangkaian doktrin seperti Manipol-Usdek dan Nasakom. Dalam usahanya
mendapatkan dukungan yang luas untuk kampanye melawan Belanda di Irian Barat dan
Inggris di Malaysia, ia menyatakan bahwa Indonesia berperan sebagai salah satu pimpinan
“kekuatan-kekuatan yang sedang tumbuh” di dunia, yang bertujuan untuk menghilangkan
pengaruh Nekolim (neokolonialis, kolonialis dan imperialis). Sebagai lambang dari bangsa,
Soekarno bermaksud menciptakan suatu kesadaran akan tujuan nasional yang akan mengatasi
persaingan politik yang mengancam kelangsungan hidup sistem Demokrasi Terpimpin.
Sampai dengan diberlakukannya kembali Undang-Undang Dasar 1945 pada bulan Juli
1959, Presiden Soekarno adalah pemegang inisiatif politik, terutama dengan tindakan dan
janji-janjinya yang langsung ditujukan kepada pembentukan kembali struktur konstitusional.
Akan tetapi, tekananannya kemudian mulai bergeser kepada tindakan simbolis dan ritual,
Demokrasi Terpimpin 6
Kelompok 2
serta khususnya kepada perumusan ideologi seraya melemparkan gagasan-gagasannya
berulang kali. Presiden Soekarno dalam hal ini menciptakan doktrin negara yang baru.
Demokrasi terpimpin dan gagasan presiden yang sehubungan dengan itu sudah
menguasai komunikasi massa sejak pertengahan tahun 1958. Sejak itu tidak mungkin bagi
surat kabar atau majalah berani terang-terangan mengecam Demokrasi Terpimpin, lambang
dan semboyan-semboyan baru. Pada paruh kedua 1959, Presiden Soekarno semakin
mementingkan lambang-lambang. Dalam hubungan ini yang terpenting ialah pidato
kenegaraan presiden pada ulang tahun kemerdekaan RI tahun 1959 dan selanjutnya hasil kerja
Dewan Pertimbangan Agung dalam penyusunan secara sistematis dalil-dalil yang terkandung
dalam pidato tersebut. Pidato kenegaraan yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”,
sebagian besar memuat alasan-alasan yang membenarkan mengapa harus kembali ke Undang-
Undang Dasar 1945. Sesungguhnya hanya sedikit tema-tema baru dalam pidato presiden,
tetapi pidato itu penting karena berkaitan dengan diberlakukannya kembali Undang-Undang
Dasar revolusioner tersebut. Tiga bulan setelah pidato kenegaraannya itu, Presiden Soekarno
menyatakan naskah pidato itu menjadi “manifesto politik Republik Indonesia”. Bersamaan
dengan itu presiden mengesahkan rincian sistematikanya yang disusun oleh Dewan
Pertimbangan Agung. Dalam pidato-pidatonya di awal tahun 1959, presiden selalu
mengungkapkan bahwa revolusi Indonesia memiliki lima gagasan penting. Pertama, Undang-
Undang Dasar 1945; kedua, sosialisme ala Indonesia; Ketiga, Demokrasi Terpimpin;
keempat, Ekonomi Terpimpin; dan yang terakhir kelima, kepribadian Indonesia. Dengan
mengambil huruf pertama masing-masing gagasan itu maka muncullah singkatan USDEK.
“Manifesto politik Republik Indonesia” disingkat “Manipol”, dan ajaran baru itu dikenal
dengan nama “Manipol-USDEK”.
Manipol-USDEK benar-benar memiliki daya pikat bagi banyak masyarakat politik.
Masyarakat politik ini, yang didominasi pegawai negeri, sudah lama mendukung apa yang
selalu ditekankan presiden mengenai kegotong-royongan, menempatkan kepentingan nasional
diatas kepentringan golongan dan kemungkinan mencapai mufakat melalui musyawarah yang
dilakukan dengan penuh kesabaran. Ada dua sebab mengenai hal ini pertama, keselarasan dan
kesetiakawanan merupakan nilai yang dijunjung masyarakat-masyarakat Indonesia. Dan
kedua, bangsa Indonesia benar-benar menyadari betapa berat kehidupan yang mereka rasakan
akibat keterpecahbelahan mereka dalam tahun-tahun sebelumnya. Selain itu, banyak yang
Demokrasi Terpimpin 7
Kelompok 2
tertarik kepada gagasan bahwa apa yang diperlukan Indonesia dewasa ini adalah orang-orang
yang berpikiran benar, berjiwa benar dan patriot sejati. Bagi anggota beberapa komunitas
Indonesia, terutama bagi orang-orang Jawa, mereka menemukan makna yang sesungguhnya
dalam berbagai skema rumit yang disampaikan presiden itu ketika mengupas cara pandang
secara panjang lebar Manipol-USDEK, yang menjelaskan arti dan tugas-tugas khusus tahapan
sejarah sekarang ini.
Barangkali daya tarik terpenting Manipo-USDEK terletak pada kenyataan bahwa
ideologi ini menyajikan sebuah arah baru. Mereka tidak begitu banyak tertarik pada makna
dasar dari arah tersebut. Yang pokok ialah bahwa presiden menawarkan sesuatu pada saat
terjadi ketidakjelasan arah yang dituju. Nilai-nilai dan pola-pola kognitif berubah terus dan
saling berbenturan, sehingga timbul keinginan yang kuat untuk mencari perumusan yang
dogmatis dan skematis mengenai apa yang baik dalam politik. Satu tanggapan umum terhadap
Manipol-USDEK ialah bahwa Manipol-USDEK bukanlah merupakan ideologi yang sangat
baik atau lengkap tetapi pada akhir tahun 1950an dibutuhkan sebuah ideologi dalam kerangka
pembangunan Indonesia.
Sebenarnya hanya di sebagian masyarakat politik saja Manipol-USDEK diterima
sepenuh hati, sedangkan di sebagian yang lain menaruh kecurigaan dan kekhawatiran.
Manipol-USDEK itu sendiri tidaklah begitu jelas. Selain itu, bukan pula suatu upaya unutk
menyelaraskan semua pola penting dari orientasi politik yang ada di Indonesia. Ideologi
negara apapun belum mampu menjembatani perbedaan perbedaan besar orientasi politik
kutub aristokratis Jawa dan kutub kewiraswastaan Islam. Pada pelaksanaannya, Manipol-
USDEK tidak mampu mengatasi permasalahan tersebut. Jadi, banyak kalangan Islam yang
kuat keyakinannya, khususnya dari suku bukan Jawa, melihat rumusan baru itu sebagai
pemikiran yang asing. Karena itulah maka pelaksanaan manipol Usdek dapat disimpulkan
dilakukan dengan paksaan.
Demokrasi Terpimpin 8
Kelompok 2
ketatanegaraan terus berlanjut di kalangan para pejuang kemerdekaan ketika itu. Walaupun saat
itu Indonesia telah resmi memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945
menjadi negara yang merdeka, namun UUD 1945 yang diresmikan tanggal 18 Agustus 1945
belum mampu menerapkan sistem presidensill sebagaimana yang tertuang di dalamnya.Hal ini
menunjukkan bahwa, masih adanya segelintir rakyat Indonesia yang belum sepakat dalam
menetapkan sistem demokrasi apa yang dipakai dalam menjalankan roda pemerintahan.
Prinsip Dwitunggal yang berkembang di masa-masa awal kemerdekaan, akhirnya membuka
ruang bagi Muhammad Hatta untuk lebih berperan penting dalam mengatur pemerintahan.
Kurangnya peranan Soekarno ketika itu berdampak pada perkembangan dunia perpolitikan yang
berjalan lamban. Melihat hal seperti ini, maka pada tanggal 16 Oktober 1945 Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP)56 yang pada saat itu bertugas membantu Presiden menjalankan roda
pemerintahan, mengadakan rapat untuk mendesak Muhammad Hatta yang berkedudukan sebagai
Wakil Presiden agar mengeluarkan maklumat. Maka pada tanggal 3 November 1945 keluarlah
Maklumat Presiden yang hanya ditanda tangani oleh Muhammad Hatta. Maklumat tersebut
berisikan anjuran pembentukan partai-partai politik, yang mana ditegaskan sebagai berikut:
Pertama: Pemerintah mendukung timbulnya partai-partai politik agar dapat dipimpin ke jalan
yang teratur segala aliran yang ada dalam masyarakat.
Kedua : Pemerintah berharap supaya partai-partai politik telah tersusun sebelum dilangsungkan
pemilihan anggota badan-badan perwakilan rakyat pada januari 1946.57
Dengan dikeluarkannya maklumat tersebut, akhirnya membuka kesempatan bagi
masyarakat luas untuk mendirikan partai-partai politik.Terhitung dari tanggal dikeluarkannya
maklumat sampai Mei 1946, jumlah partai politik mencapai 137 partai. Akibatnya, kehidupan
kepartaian berkembang tidak sehat, pengkudetaan terhadap Undang-Undang Dasar 1945
semakin berlanjut. Sistem Presidensil yang tertuang dalam Undang- Undang Dasar 1945
akhirnya berubah menjadi Sistem Parlementer. Sistem Parlementer yang mulai diberlakukan dua
bulan sesudah kemerdekaan diproklamirkan dan diperkuat dalam Undang-Undang Dasar
Sementara 1949-1950, ternyata kurang cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia.Persatuan
yang digalang selama menghadapi penjajahan menjadi kendur dan tidak dapat dibina menjadi
kekuatan-kekuatan konstruktif sesudah kemerdekaan tercapai. Hal ini disebabkan karena
lemahnya benih-benih Demokrasi Parlementer memberi peluang untuk dominasi partai-partai
politik dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Demokrasi Terpimpin 9
Kelompok 2
Sebagai akibat dari penerimaan Demokrasi Parlementer dengan sistem multi partai, maka
dalam kurun waktu 14 tahun (1945-1959) tercatat tujuh kali terjadi pergantian kabinet, ini berarti
umur rata-rata kabinet hanyalah berkisar lebih kurang 15 bulan saja, akan tetapi ada kabinet-
kabinet tertentu yang mampu bertahan lebih dari 2 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa partai
politik yang berkuasa ketika itu mampu menjatuhkan pemerintahan yang sedang berjalan.
Terjadinya Agresi Militer I dan II yang dilakukan oleh pasukan Belanda terhadap
Indonesia menjadi bukti dari ketidak mampuan Demokrasi Parlementer dalam menstabilisasi
urusan pemerintahan, dan akhirnya berdampak pada tatanan kenegaraan yang berubah dari
Negara yang berbentuk Kesatuan menjadi Negara Federasi (Serikat). Sehingga pada tanggal 17
Januari 1948 terjadi perjanjian Renville antara rakyat Indonesia dengan Negara Belanda, yang
mana perjanjian tersebut berisikan pembentukan Republik Indonesia sebagai bagian dari suatu
Negara Indonesia Serikat yang turut dalam suatu Uni dengan Belanda yang dikepalai Ratu
Belanda.
Melihat hal seperti ini, maka usaha-usaha untuk membentuk kembali negara kesatuan
semakin meningkat. Rakyat di daerah-daerah melakukan kegiatan-kegiatan unjuk rasa seperti
pemogokan untuk menyatakan keinginannya agar bergabung dengan Republik Indonesia yang
berpusat di Yogyakarta. Menghadapi gerakan-gerakan rakyat tersebut, penguasa-penguasa
setempat yang ada di berbagai daerah masih terdiri dari bangsa Belanda, seringkali mengambil
reaksi keras dan mengadakan penangkapan. Disisi lain, golongan federalis (yang mendukung
berdirinya Negara Serikat) malahan mengadakan kontra aksi dan demonstrasi.
Atas desakan-desakan yang dilakukan rakyat ketika itu, maka pada tanggal 19 Mei 1950
diadakanlah perundingan antara RIS dengan RI untuk membentuk kembali Negara Kesatuan
Indonesia. Akhirnya perundingan itu membuahkan hasil bagi RI. Pada tanggal 15 Agustus 1950
Soekarno membacakan piagam terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan tanggal
17 Agustus 1950 diproklamirkan kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka saat itu
juga Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat (UUD RIS) yang berlaku ketika itu
dicabut dan diberlakukannya kembali UUDS 1950.
Undang-Undang Dasar Sementara yang menetapkan berlakunya sistem parlementer yang
mana badan eksekutif terdiri dari Presiden sebagai kepala negara konstitusional beserta menteri-
menterinya mempunyai tanggung jawab politik. Keberlansungan hidup partai-partai politik
setiap kabinet berdasarkan pada koalisi yang berkisar satu atau dua partai besar dengan beberapa
Demokrasi Terpimpin 10
Kelompok 2
partai kecil.
Koalisi ternyata kurang baik untuk diterapkan dan partai-partai dalam koalisi tidak segan-
segan untuk menarik dukungannya sewaktu- waktu, sehingga kabinet sering kali jatuh karena
keretakan dalam koalisi sendiri. Dengan demikian, ditimbulkan kesan bahwa partai-partai dalam
koalisi kurang dewasa dalam menghadapi tanggung jawab mengenai permasalahan
pemerintahan. Di lain pihak partai-partai dalam barisan oposisi tidak mampu untuk berperan
sebagai oposisi yang konstruktif yang menyusun program-program alternatif, tetapi hanya
menonjolkan segi-segi negatif dari tugas oposisi.
Disamping itu, ternyata ada beberapa kekuatan sosial dan politik yang tidak memperoleh
saluran dan tempat yang realistis dalam konstelasi politik, padahal mereka merupakan kekuatan
sosial-politik yang paling penting. Ditambah lagi dengan tidak mampunya anggota-anggota
partai yang tergabung dalam konstituante untuk mencapai konsensus mengenai dasar negara
untuk membuat undang-undang baru. Hal seperti ini menambah lengkapnya permasalahan yang
dihadapi dalam periode Demokrasi Parlementer dengan sistem multi partai. Karena semakin
rumitnya persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia mulai dari tahun 1945-1959, maka Soekarno
yang menjabat sebagai Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 195964 dengan berisikan
memberlakukan kembali UUD 1945 dan mengganti Demokrasi Parlementer dengan Demokrasi
Terpimpin. Peristiwa ini sekaligus menjadi awal lahirnya Demokrasi Terpimpin dan akhir dari
periode Demokrasi Parlementer.
Demokrasi Terpimpin 11
Kelompok 2
b. Ketidak mampuan Demokrasi Parlementer mewujudkan amanat penderitaan rakyat.
Karena itu, perlu diadakannya suatu koreksi untuk segera kembali pada cita-cita dan
tujuan semula, harus dilakukan dengan cara meninjau kembali sistem politik. Harus
diciptakan suatu sistem demokrasi yang menuntun untuk mengabdi kepada negara dan
bangsa yang beranggotakan orang-orang jujur. Cara yang harus ditempuh untuk
melaksanakan koreksi tersebut adalah:
Mengganti sistem free fight liberalism dengan Demokrasi Terpimpin yang lebih
sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Dalam Demokrasi Terpimpin perlu
dibentuk suatu Kabinet Gotong Royong66 yang anggotanya terdiri dari semua partai
dan organisasi berdasarkan perimbangan kekuatan yang ada dalam masyarakat.
Dewan Perancang Nasional akan membuat blue print
masyarakat yang adil dan makmur.
Pembentukan Dewan Nasional yang terdiri dari golongan- golongan fungsional
dalam masyarakat. Tugas utama Dewan Nasional adalah memberi nasehat kepada
kabinet baik diminta maupun tidak diminta.
Hendaknya konstituante tidak menjadi tempat berdebat yang berlarut-larut dan
segera menyelesaikan pekerjaannya agar blue print yang dibuat Depernas dapat
didasarkan pada konstitusi baru yang dibuat konstituante.
Hendaknya konstituante meninjau dan memutuskan masalah Demokrasi Terpimpin
dan masalah kepartaian.
Perlu adanya penyederhanaan sistem kepartaian dengan mencabut Maklumat
Pemerintah tanggal 3 November 1945 yang telah memberi ruang bagi sistem multi
partai dan menggantinya dengan Undang-Undang Kepartaian serta Undang-Undang
Pemilu.
Demokrasi Terpimpin 12
Kelompok 2
cita bangsa Indonesia.
Berkaitan dengan persoalan di atas maka hampir dari seluruh pidato yang disampaikan
Soekarno, kebanyakan berisikan sekaligus menjelaskan tujuan tentang Demokrasi Terpimpin.
Tetapi dalam hal ini yang perlu disorot adalah asas/dasar yang melahirkan Demokrasi Terpimpin
itu sendiri. Merujuk pada pidato yang disampaikan Soekarno pada tanggal I juni 194569, ada dua
asas yang mendukung lahirnya demokrasi terpimpin yaitu:
Petama, Mufakat, Permusyawaratan dan Perwakilan. Negara Indonesia bukanlah satu
egara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi
tujuan didirikan negara Indonesia “semua buat semua dan satu buat semua”.
Menurut Soekarno, syarat mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah dengan
mewujudkan dasar permusyawaratan dan perwakilan. Untuk pihak Islam, inilah tempat yang
terbaik untuk memelihara agama. Dengan cara mufakat, umat Islam bisa perbaiki segala hal,
juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan/permusyawaratan di dalam Badan
Perwakilan Rakyat. Hal-hal yang belum memuaskan bisa dimusyawarahkan. Badan perwakilan
inilah tempat untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Disinilah rakyat mengusulkan
kepada pemimpinnya segala hal yang dirasa perlu bagi perbaikan bangsa. Bagi ummat Islam,
disinilah saatnya untuk berjuang dan bekerja keras memilih utusannya yang duduk di badan
perwakilan.
Malahan rakyat harus yakin, kalau yang menduduki badan perwakilan mayoritas Muslim,
pemuka-pemuka Islam, maka dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari Badan
Perwakilan Rakyat itu hukum Islam pula. Kalaulah hal yang demikian itu terjadi, barulah boleh
dikatakan bahwa agama Islam benar-benar hidup dalam jiwa rakyat Indonesia yang mayoritas
Muslim, sehingga 60-90 % utusannya adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam, ulama-ulama
Islam maka hiduplah Islam Indonesia dan bukan Islam yang hanya di atas bibir saja. Tetapi
kenyataan yang ada dalam sidang Lembaga Konstituanta dan DPR hanya beberapa persen saja
yang memberikan suaranya kepada Islam.
Hal itu menjadi bukti bahwa Islam belum betul-betul hidup di kalangan ummat Islam
bangsa ini. Disinilah diperlukannya dasar permusyawaratan dan perwakilan. Tidak ada satu
bangsa pun yang betul- betul hidup kalau di dalam Badan Perwakilan Rakyatnya tidak ada
perjuangan paham di dalamnya. Baik ummat Islam maupun ummat Kristen, perjuangan
selamanya akan selalu ada. Dalam hal ini Soekarno mengistilahkan dengan menumbuk
Demokrasi Terpimpin 13
Kelompok 2
membersihkan gabah, supaya keluar daripadanya beras, dan beras itu akan menjadi nasi
Indonesia yang sebaik-baiknya. Mari jadikan permusyawaratan dan perwakilan sebagai tempat
mempro-pagandakan ide-ide rakyat dengan cara yang berkebudayaan.
Kedua, kesejahteraan dan keadilan sosial, tidak akan ada lagi kemiskinan di dalam
Indonesia merdeka. Prinsip ini merupakan suatu jembatan yang bisa dijadikan sebagai alat untuk
menyeberang dari paham kapitalis dan imprealis yang selama ini membelenggu kehidupan
rakyat Indonesia. Kedua paham tersebut telah menghalangi bangsa ini dalam meraih alam
demokrasi politik dan demokrasi sosial ekonomi.
Demokrasi yang mengatur sistem pemerintahan di Indonesia hendaknya jangan demokrasi
Barat. Tetapi demokrasi yang “dipimpin oleh khidmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan”. Inilah demokrasi Indonesia yang memberi ruang untuk hidupnya
demokrasi politik dan ekonomi, serta mampu mendatangkan kesejahteraan sosial. Rakyat
Indonesia sudah lama mendambakan hal seperti ini, hidup dalam berkecukupan dan mampu
membangun dunia baru yang di dalamnya tertanam rasa keadilan dan kemakmuran. Tentu dalam
hal ini pemerintah menjadi pengontrol dalam proses jalannya politik, sosial dan ekonomi.
Oleh karena itu, jikalau memang betul-betul mengerti, mengingat dan mencintai rakyat
Indonesia, marilah kita pupuk prinsip tersebut. Bukan saja rasa keadilan dalam berpolitik, tetapi
juga keadilan dalam masalah ekonomi. Dengan demikian, kesejahteraan bersama yang kita
harapkan akan selalu terjaga dengan sebaik-baiknya.
2.3.1 Islam dan Demokrasi Terpimpin Proses Kristalisasi (Juli 1959 – Desember 1960)
Kabinet Djuanda adalah kabinet peralihan dari periode Demokrasi Parlementer Demokrasi
Terpimpin. Dalam kabinet Soekarno ini, Djuanda tetap diberi posisi penting sebagai Menteri
Pertama yang tugasnya tidak terlalu berbeda dengan tugas Perdana Menteri . Kabinet inilah yang
Demokrasi Terpimpin 14
Kelompok 2
bertugas melaksanakan gagasan Soekarno dalam bentuk Demokrasi Terpimpin. Demokrasi gaya
baru ini telah membawa Soekarno ke puncak kekuasaan yang memang sudah lama ia dambakan,
tapi karena fondasinya tidak kokoh, sistem itulah yang akhirnya membawa kehancuran. Sekitar
enam setengah tahun sistem ini beroperasi dalam sejarah kontemporer Indonesia, secara politik
umat Islam tidak saja berbeda pandangan, bahkan terpecah-pecah berhadapan dengan sistem
yang diciptakan Soekarno.
Sikap Masyumi yang menentang ide Demokrasi Terpimpin sementara NU, PSII, dan Perti
turut serta di dalamnya. Masyumi yang beraliansi dengan partai-partai kecil seperti PSI dan
Partai Katolik jelas tidak bisa menolong posisi politiknya. Secara mikro, di kalangan umat Islam,
proses kristalisasi juga menjadi kenyataan. Soekarno menganggap bahwa Masyumi dan adalah
“Kepala Batu” yang harus disingkirkan, sedangkan NU dan partai Islam yang mendukung sistem
demokrasi Soekarno ini hanya dianggap sebagai peran pinggir, bukan peran utama. Sebenarnya
golongan Islam hanyalah untuk meramaikan jargon Nasakom: suatu bentuk kerjasama semu dan
dipaksakan. Namun dibalik itu dalam Majelis Konsituante, partai-partai Islam pada umumnya
dapat menggalang kekompakan sesama mereka, khususnya pada waktu memperjuangkan islam
atau Pancasila ala Piagam Jakarta sebagai dasar Negara.
Demokrasi Terpimpin 15
Kelompok 2
Presiden Soekarno. Mereka dapat menjalin hubungan dengan hangat, karena pemahaman mereka
satu sama lain yang sama-sama dilanasi dengan kuat oleh nilai-nilai budaya jawa. Soekarno
diperkirakan turut memainkan peran di belakang layar ketika NU pada tahun 1952 memutuskam
untuk keluar dari Masyumi. Dua tokoh utama NU yang mempelopori pemisahan ini, yaitu; K.H
Wahab Chasbullah dan K.H A. Wahid Hasyim adalah juga tokoh-tokoh NU yang menjalin
hubungan pribadi dengan Soekarno. Khusus mengenai K.H Wahid Hasyim dan Soekarno,
mereka berdua pernah sama-sama terlibat dalam BPUPKI. Ini menunjang mekanisme hubungan
pribadi yang sering dijadikannya keputusan politik. Sehingga semakin memperkuat dugaan
bahwa Soekarno berkeinginan memisahkan NU dari Masyumi.
Hangatnya hubungan NU dengan Soekarno juga tercermin dalam Koran Partai NU, Duta
Masyarakat. Setiap peryataan Soekarno dalam periode ini, hampir selalu diberi dukungan oleh
para pemimpin NU. Seperti dalam masalah Irian Barat, Konfortasi dengan Malaysia,
pengambilalihan perusahaan asing, Deklarasi Ekonomi (Dekon), dan keluarnya Indonesia dari
PBB.
Demokrasi Terpimpin 16
Kelompok 2
kebijakan. Kedudukan presiden sebagai kepala negara merangkap menjadi kepala pemerintahan
sehingga memiliki kekuasaan yang bersifat absolut atau mutlak.
2. Presiden Diangkat Seumur Hidup
Berdasarkan UUD 1945, seorang presiden dapat ditunjuk sebanyak dua kali periode. Tetapi
pada masa demokrasi terpimpin, Dari diangkat seumur hidup tanpa adanya pergantian
pemegang kekuasaan.
3. Presiden membentuk MPRS
Tindakan presiden membentuk MPRS bertentangan dengan ketentuan yang terdapat dalam
UUD 1945. Sebab berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945, pembentukan MPRS
dilakukan melalui pemilihan umum.
4. Manifesto politik republik Indonesia
Pidato presiden yang berjudul “penemuan kembali revolusi kita” dijadikan sebagai GBHN
(Garis Besar Haluan Negara). Hal itu bertentangan dengan ketentuan UUD 1945.
5. Pembubaran DPR hasil pemilu dan pembentukan DPR-GR
Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945, seorang presiden tidak
diperkenankan membubarkan DPR. Hal tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Presiden
membubarkan DPR hasil pemilu 1945 karena menolak RAPBN yang diajukan presiden.
6. Pemasyarakatan ajaran nasakom (nasionalis, agama dan komunis)
Tujuan presiden memasyarakatkan ajaran nasakom adalah untuk menghindari kubu-kubu
dalam masyarakat Indonesia. Akan tetapi, ajaran nasakom ini dimanfaatkan oleh PKI untuk
memperluas pengaruhnya dalam masyarakat Indonesia dan berusaha menggeser ideologi
Pancasila menjadi ideologi komunis.
7. Perjuangan pembebasan Irian Barat
Kebijakan politik luar negeri lainnya adalah melakukan perebutan terhadap Irian Barat ke
pangkuan Indonesia. Hal ini dilakukan sesuai keputusan KMB di Den Haag yang menyatakan
bahwa Belanda akan mengembalikan Irian Barat ke Indonesia setelah keadaan Indonesia stabil.
Untuk melaksanakan kebijakan politik ini, Indonesia menggunakan jalam damai dalam
perjuangan membebaskan Irian Barat. Kebijakan ini sesuai dengan program kabinet kerja dan
kabinet lainnya yakni pembebasan Irian Barat. Setelah satu tahun Irian Barat masih tetap
dikuasai oleh Belanda, pemerintah Indonesia menempuh usaha-usaha secara bilateral, namun
mengalami kegagalan.
Demokrasi Terpimpin 17
Kelompok 2
Pada situasi yang demikian itu, Presiden Soekarno selaku presiden/panglima tertinggi
APRI/Pemimpin Besar Revolusi/Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat
mengeluarkan tri komando rakyat (trikora) di Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1961 yang
berisi tentang berikut ini:
1. Gagalkan pembentukan negara Boneka Papua bikinan belanda kolonial
2. Kibarkan sang merah putih di Irian Barat, tanah air Indonesia.
3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air
dan bangsa.
Kesungguhan pihak RI membuahkan hasil. Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun
1969, rakyat Irian Barat memilih tetap bersatu dengan RI. Hasil pepera itu kemudian diterima
oleh Majelis Umum PBB dalam persidangan tahun 1969. Setelah Irian Barat kembali bersatu
dengan RI, namanya diganti menjadi Irian Jaya.
Demokrasi Terpimpin 18
Kelompok 2
Sementara itu, Malaysia dicalonkan sebagai Anggota Dewan Keamanan Tidak Tetap di
PBB, sehingga Indonesia mengajukan pilihan yaitu jika Malaysia tetap dicalonkan menjadi
anggota dewan keamanan PBB maka Indonesia memilih untuk keluar dari keanggotaan
PBB.
Demokrasi Terpimpin 19
Kelompok 2
kertas koran, pencabutan Surat Ijin Terbit mengakibatkan sebuah media massa tidak dapat
melaksanakan fungsi jurnalismenya sebagai kontrol sosial dengan baik dan konsisten.
Penekanan terhadap kebebasan pers tersebut berdasarkan peraturan Peperti No 10/1960.
Peraturan Peperti No 10/1960 yang dikeluarkan pada tanggal 12 Oktober 1960 mewajibkan bagi
para penerbit media massa untuk mendaftarkan kembali medianya kepada pemerintah melalui
Peperti. Pada dasarnya peraturan tersebut membuat seluruh media massa harus memberitakan
tentang semangat revolusi pada masa Demokrasi Terpimpin yang didasarkan pada Manipol
USDEK. Apabila pers melakukan kritik terhadap kebijakan pemerintah harus selalu sejalan
dengan Manipol. Situasi Masa Demokrasi Terpimpin merupakan masa sulit bagi media di
Indonesia, hal ini dikarenakan adanya penerapan kebijakan yang ketat. Akibatnya perkembangan
media menjadi terhambat dan rendahnya kualitas jurnalistik di Indonesia. Pers kemudian
menjadi terkotak-kotak dan terpolarisasi pada partai politik, sehingga terjadi penekanan pada
pembenaran ideologi. Tentu saja hal tersebut membuat media massa yang beraliran independen
dan kritis berada dalam posisi sulit. Seperti nasib yang dialami Koran Indonesia Raya yang
dilarang terbit dan pmpinan redaksinya Mochtar Lubis ditahan.
Sikap represif pemerintah tidak hanya menimpa penerbit pers, perusahaan percetakan juga
mengalami nasib yang sama. Pada tanggal 1 Maret 1961 dikeluarkannya peraturan yang
menetapkan semua percetakan yang dimiliki perseorangan atau swasta harus dibawah
pengawasan pemerintah dengan membentuk Badan Pengawas dan Pembinaan yang bertujuan
untuk mengelola serta mengawasi semua percetakan. Unsur-unsur dari badan pengawas tersebut
terdiri dari Angkatan Darat, Kepolisian, Penerangan dan Kejaksaan.
Pada tanggal 7 Januari 1961 akibat dari pembubaran PSI dan Masyumi maka dilakukan
pembredelan terhadap Harian Pedoman yang pemimpinnya adalah Rosihan Anwar yang pro
kepada PSI. Sementara Harian Abadi yang merupakan alat perjuangan Masyumi juga
mengundurkan diri. Harian Abadi secara sukarela mengundurkan diri sebelum dibredel oleh
pemerintah.Mundurnya harian Abadi selain dikarenakan dibubarkannya Masyumi sebagai partai
induknya juga karena masalah penandatanganan 19 butir kesepakatan media massa yang
dikeluarkan oleh Penguasa Perang Tertinggi (Peperti).
Saat Presiden Soekarno melancarkan kampanye Manipol, pers sendiri tidak berdaya karena
tidak dilengkapi dengan undang-undang pers yang melindungi fungsi, tugas, kewajiban dan hak
pers. Pers pada tahun tersebut hanya diatur dengan Ketetapan Presiden nomor 6/1963 dimana
Demokrasi Terpimpin 20
Kelompok 2
peraturan tersebut hanya mengatur prinsip-prinsip yang berhubungan dengan bentuk, tujuan dan
pelaksanaan pembinaan pers agar sejalan dengan Manipol dalam usahanya mewujudkan
Demokrasi Terpimpin. Dapat disimpulkan bahwa ketetapan Presiden nomor 6/1963 selain
berguna untuk mengekang kebebasan pers juga diharapkan agar pers pada masa itu membantu
menciptakan suasana yang tetap kondusif dalam pelaksanaan Demokrasi Terpimpin.
Pengekangan terhadap pers yang dilakukan oleh pemerintah tidak hanya dengan tidak
dikeluarkannnya UU pers, tetapi juga berusaha menghidupkan kembali Undang-undang pers
pada masa kolonial Belanda. Pada masa itu juga banyak dimunculkan peraturan-peraturan,
pemberitahuan, ketentuan-ketentuan, dan berbagai macam bentuk pernyataan-pernyatan dari
pemerintah yang berfungsi untuk mengingatkan pers. Dengan banyaknya peraturan-peraturan
yang menyudutkan posisi pers sehingga menyebabkan pemerintah dapat dengan sangat mudah
melakukan pembredelan pers. Seluruh media masa yang sifatnya oposisi akan sangat mudah
dijinakkan dan diberangus.
Kebijakan politik yang ditempuh oleh Demokrasi Terpimpin pada masa itu membuat
perkembangan dunia pers nasional tidak stabil. Dampak nyata dari hal tersebut terbukti pada
tahun 1961, lebih dari 800 orang wartawan ataupun mereka yang menggeluti dunia pers harus
merelakan pekerjaan mereka hilang karena ditutupnnya perusahaan tempat mereka bekerja.
Tahun 1962 terdapat 70 penerbit pers di Indonesia, padahal pada tahun 1960 tercatat penerbit
pers sebanyak 97 buah penerbit. Tahun 1960-1962 menjadi tahun buruk dalam perkembangan
pers Nasional. Perkembangan pers pada tahun 1963 berbanding terbalik dengan tahun
sebelumnya. Dilaporkan pada tahun tersebut tercatat sebanyak 105 penerbit surat kabar terdapat
di Indonesia dengan oplah sebesar 1.304.000.
Pasang surutnya perkembangan surat kabar di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari
kebijakan pemerintah yang otoriter. Kebebasan pers Indonesia semakin terkekang pada tahun
1963 dengan dibentuknya suatu badan pengawas pers yang berada di bawah wewenang
Departemen Penerangan. Pembentukan badan pengawasan ini bertujuan untuk mempermudah
pengawasan dan pengontrolan fungsi pers agar tetap berada dalam jalur politik nasional. Pers
juga diharapkan dapat menjadi juru bicara resmi pemerintah, dan secara tidak langsung
pemerintah berupaya untuk melenyapkan cita-cita terbentuknya pers yang independen dan kritis.
Kebijakan-kebijakan otoriter Demokrasi Terpimpin terhadap bidang pers benar-benar mematikan
kreativitas para wartawan dan pimpinan surat kabar yang kritis dan idealis. Tidak sedikit dari
Demokrasi Terpimpin 21
Kelompok 2
mereka yang pada akhirnya harus berurusan dengan penegak hukum karena keberanian tulisan
mereka dalam mengkritik pemerintah. Kebanyakan kasus penangkapan-penangkapan terhadap
wartawan pada tahun 1963 tanpa melalui prosedur hukum yang berlaku. Wartawan dan
pemimpin surat kabar yang ditangkap pada masa itu dikenakan tuduhan sebagai penghasut,
melakukan permusuhan dan penghinaan kepada penguasa. Landasan dari tuduhan tersebut
adalah pasal Hatzaai Artikelen, yang merupakan hukum warisan Belanda semasa menjajah
Indonesia. Pada jaman Kolononial pasal ini digunakan untuk menangkap para pejuang
kemerdekaan.
Penggunaan Hatzai Artikeelen oleh Soekarno, bertujuan untuk menjaga status quo
pemerintah dari serangan-serangan pihak oposisi yang dimungkinkan menggunakan media
massa sebagai sarananya. Langkah Soekarno dalam penerapan pasal-pasal tersebut yaitu dengan
jalan menangkap para pengritiknya yang menuangkan aspirasi mereka dalam bentuk tulisan
ternyata sangat efektif. Dalam perkembangannya untuk semakin memperkuat tekanannya kepada
pers, pemerintah mengeluarkan Undang-undang nomor 11/PNPS/1963 yang intinya tentang
pemberantasan kegiatan subversi. Pasal-pasal dalam Undang-undang tersebut, merupakan
sebuah tameng pemerintah dari segala ancaman dan serangan apapun yang dikhawatirkan dapat
meruntuhkan kewibawaan pemerintah di mata rakyatnya.
Hatzai Artikeelen dan UU nomor 11/PNPS/1963 tidak dilepaskan dari kepentingan politik.
Kedua produk hukum tersebut tidak ditetapkan melalui proses legislatif, melainkan murni
kehendak penguasa dengan alasan ketertiban umum dan stabilitas politik. Penguasa yang begitu
represif, menyebabkan para pengelola surat kabar tidak dapat mengekspresikan tulisannnya.
Kenyataan yang terjadi adalah perasan takut dan khawatir dialami oleh para wartawan dan pihak
percetakan karena dianggap sebagai “teroris politik”.
Kondisi pers yang diterapkan Soekarno sangat jauh dari konsep pers idealis yaitu sebagai
mediator negara dengan rakyatnya sekaligus menjadi intuisi yang mengontrol antara hubungan
rakyat dengan Negara, didasarkan pada sistem pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang
segalanya berada di bawah kekuasaan seorang Presiden. Wina Armada menuliskan bahwa
kebebasan pers adalah kebebasan berekspresi untuk mengungkapkan pendapat yang mempunyai
posisi dan fungsi yang penting serta dihargai sepenuhnya. Kenyataanya, kondisi pers pada masa
Demokrasi Terpimpin berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Berbagai macam
tekanan yang dilakukan pihak pemerintah kepada insan pers semakin mempersempit ruang gerak
Demokrasi Terpimpin 22
Kelompok 2
mereka dalam mewujudkan kebebasan pers. Wartawan dan pimpinan redaksi pers pada masa itu
harus bersifat pro dengan pemerintah kalau ingin tetap mempunyai pekerjaan. Kebebasan pers
pada waktu Demokrasi Terpimpin adalah sesuatu yang tidak mungkin, dikarenakan sama sekali
tidak didukung oleh kondisi politik yang kondusif melainkan harus menghadapi politik tangan
besi Soekarno yang menjadikan dirinya sebagai penguasa otoriter.
Perbedaan pandangan antara pers dan penguasa dalam melihat sesuatu dapat menjadi
masalah karena keduanya mempunyai paradigma sendiri-sendiri. Pemerintah memandang
kegiatan pers dianggap bisa mengganggu stabilitas politik dan penerapan kebijakan pemerintah.
Hal tersebut dianggap sebagai pelanggaran etika politik dan dengan alasan pelanggaran etika
politik itulah Soekarno melakukan pemberedelan pers yang oleh Soekarno seniri kebijakan
tersebut diambil karena sebuah keterpaksaan. Jika dicermati lebih lanjut, kebijakan Soekarno
dalam mekakukan pemberedelan pers hanya untuk kepentingan politik otoriter semata tanpa
pernah mempertimbangkan nilai moral dan etika.
PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) sebenarnya pernah mengusulkan kepada Soekarno
untuk terlebih dahulu membicarakan keputusannya bila akan melakukan pemberedelan pers.
Usulan PWI tersebut pada akhirnya hanya menjadi sebuah usulan saja, karena ketidakmampuan
mereka melawan penguasa yang sudah sedemikian kuat. PWI sendiri sebenarnya sudah tidak
mampu untuk bersikap mandiri, terbukti dengan pendaftaran organisasi ini menjadi bagian dari
Front Nasional, padahal PWI bukanlah organisasi massa. Menariknya, PWI tetap diterima
menjadi anggota Front Nasional dngan pertimbangan PWI mempunyai pengaruh yang besar
dalam hal menggerakan massa. Sebagai konsekuensinya, PWI harus menyesuaikan diri dengan
politik Nasakom yang sudah menjadi ideologi negara. Masuknya PWI kedalam Front Nasional
menjadi bukti kongkrit bahwa adanya Nasakomisasi dalam tubuh pers. Pers yang bisa menerima
Nasakomisasi Soekarno dibiarkan tetap hidup dan sekaligus dijadikan alat untuk menyuarakan
kepentingan politik suatu partai tertentu. Akibatnya, pers secara terang-terangan membela
kepentingan kelompoknya sehingga agresifitas pers tergantung dari sikap partai politik yang
berada dibelakangnya.
Situasi pers yang demikian dapat dimanfaatkan dengan optimal oleh PKI melalui surat
kabar yang mendukungnya Harian Rakjat. Harian tersebut menjadi alat propaganda utama PKI
dalam melancarkan agitasi politiknya. Sebagai contoh, PKI dengan gencar menyebarluaskan
istilah “Tujuh Setan Desa” melalui harian ini. Populernya istilah Tujuh Setan Desa tersebut
Demokrasi Terpimpin 23
Kelompok 2
secara otomatis menjadikan terhasutnya rakyat dipedesaan untuk melakukan Ofensif
Revolusioner di daerah pedesaan. Akibatnya, situasi dan suhu politik semakin memanas karena
dilain pihak PNI yang notabene adalah saingan PKI juga didukung oleh harian Merdeka.
Demokrasi Terpimpin 24
Kelompok 2
lembaga tertinggi negara harus melalui pemilu sehingga partai yang terpilih oleh rakyat
memiliki anggota-anggota yang duduk di MPR.
4. Kegagalan kontituante dalam menetapkan undang-undang dasar sehingga membawa
Indonesia ke jurang kehancuran sebab Indonesia tidak mempuyai pijakan hukum yang
mantap.
5. Situasi politik yang semakin buruk.
6. Konflik antar partai yang mengganggu stabilitas nasional.
7. Banyaknya partai dalam parlemen yang saling bebeda pendapat sementara sulit untuk
mempertemukannya.
8. Masing-masing politik berusaha untuk menghalalkan segala cara agar tujuan partainya
tercapai. Banyak tindakan menyimpang pada masa ini, termasuk ketika dikeluarkan Tap
MPRS No. III/1963 yang mengangkat Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Pada
masa ini juga didirikan badan-badan ekstra konstitusional seperti Front Nasional yang
diketahui sebagai media kelompok komunis berkegiatan.
Tanggung jawab Negara di pegang sendiri oleh Soekarno, karena lebih mengarah kepada
praktek pemerintahan yang otoriter, misal Presiden mengambil alih pemimpin tertinggi
Angkatan Bersenjata dengan di bentuk Komandan Operasi Tertinggi (KOTI). TNI dan POLRI
disatukan menjadi ABRI. ABRI menjadi golongan fungsional dan kekuatan sosial politik.
Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, menandai mulainya demokrasi terpimpin yang
secara otomatis pemerintahan mengarah kepada sistem pemerintahan yang otoriter.
Pemberontakan yang gagal di Sumatera, Sulawesi, Jawa Barat dan pulau-pulau lainnya yang
dimulai sejak 1958, ditambah kegagalan MPR untuk mengembangkan konstitusi baru,
melemahkan sistem parlemen Indonesia. Akibatnya pada 1959 ketika Presiden Soekarno secara
unilateral membangkitkan kembali konstitusi 1945 yang bersifat sementara, yang memberikan
kekuatan presidensil yang besar, dia tidak menemui banyak hambatan. Soekarno mengambil
kebijaksanaan berkaitan dengan GANEFO sebagai tandingan olimpiade dan tidak
mengikutsertakan Israel dan Taiwan pada Asian Games sebagai bentuk simpati pada Negara
Arab dan RRC. Adanya bentukan organisasi baru yaitu GANEFO dan OLDEFO. Isu yang
berkembang adalah adanya usaha untuk mempertahankan kehormatan bangsa Indonesia setelah
Malaysia ditetapkan sebagai dewan Keamanan PBB. GANEFO dan OLDEFO adalah organisasi
yang terdiri dari Negara-negara yang baru saja merdeka dan berusaha agar dunia dapat mengakui
Demokrasi Terpimpin 25
Kelompok 2
kedaulatan Negara-negara tersebut.
Kedekatan Soekarno dengan PKI sangat erat. Hubungan tersebut adalah hubungan timbal
balik antara Soekarno dengan PKI. Dengan Soekarno membentuk Nasakom, maka hal tersebut
membentuk citra Soekarno sebagai komunis. Padahal pemimpin harus memilki citra sebagai
manusia yang beriman, karena dengan iman mampu meredam keinginan duniawi dan
menjauhkan dari penyimpangan-penyimpangan. Tapi pada kenyataannya banyak penyimpangan
yang dilakukan Soekarno. Indonesia keluar dari kenggotaan PBB dan Soekarno mulai
berinteraksi dan menjalin hubungan dengan Negara-negara lain. Dalam hal ini Soekarno
memilki kemampuan berkomunikasi yang baik yang ditandai dengan bergabungnya Negara-
negara tersebut bersama Indonesia. Selain itu di dalam negeri, pengaruh Soekarnoisme mulai
tersebar luas. Komitmen meningkatkan kualitas SDM dapat dilihat dari segi pendidikan yaitu
dari adanya penambahan universitas baru di setiap ibukota provinsi. Berbagai usaha dilakukan
pemerintah antara lain seperti rencana pengajaran Sapta Usaha Tama (sistem pendidikan
Indonesia).
Demokrasi Terpimpin 26
Kelompok 2
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Demokrasi terpimpin adalah sebuah demokrasi yang sempat ada di Indonesia, yang seluruh
keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpinnya saja. Pada bulan 5 Juli1959 parlemen
dibubarkan dan Presiden Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden. Stabilitas
keseimbangan kekuatan di masa Demokrasi Terpimpin bergantung pada kelanjutan kerja sama
antara Presiden Soekarno dan pimpinan Angkatan Darat. Namun, stabilitas tersebut tidak
berlangsung lama karena Soekarno terlalu melindungi partai politik yang berideologi komunis.
Selain itu, Soekarno terlalu mendominasi kehidupan politik Indonesia sehingga menjadikan ia
sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Sehingga pada pelaksanaan demokrasi
terpimpin khususnya Presiden Soekarno banyak melakukan penyimpangan-penyimpangan
terhadap UUD 1945.
3.2 SARAN
Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan baik dari
segi penulisan maupun materi, sehingga penulis mengharapkan saran dan kritikan dari rekan-
rekan mahasiswa yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan makalah yang selanjutnya.
Demokrasi Terpimpin 27
Kelompok 2
PERTANYAAN
3. Zahra - Apa yang membuat Demokrasi Terpimpin lebih baik dibandingkan demokrasi
Liberal?
Jawab : 1.Mencegah Perpecahan Indonesia
Dampak demokrasi terpimpin yang pertama adalah mencegah terjadinya
perpecahan Indonesia. Hal ini bisa terjadi karena kekuasaan, kebijakan, dan
Demokrasi Terpimpin 28
Kelompok 2
keputusan berpusat kepada presiden sehingga tidak akan ada perbedaan
paham antara pemimpin daerah yang berada dibawahnya.
Dalam hal ekonomi, dampak demokrasi terpimpin juga menjadikan
Indonesia sebagai negara yang menganut sistem ekonomi campuran dimana
walaupun kegiatan pasar bebas bisa dilakukan oleh masing-masing individu,
namun dalam penerapannya, segala aktifitas diawasi dan diatur oleh
pemerintah. Sistem ekonomi inilah yang menjadi salah satu alasan banyak
terjadinya perpecahan karena perbedaan pendapatan yang sangat jauh antara
anggota masyarakat yang ada.
Demokrasi Terpimpin 29
Kelompok 2
beberapa lembaga tinggi negara yang dibentuk pada masa demokrasi
terpimpin. Seperti misalnya Majelis permusyawaratan Rakyat (MPR) yang
berasal dari Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MRPS). Tidak
hanya MPRS, karena demokrasi terpimpin juga pernah membentuk Dewan
Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) yang memiliki andil dalam
pembentukan lembaga tinggi negara lainnya yang ada saat ini.
Demokrasi Terpimpin 30
Kelompok 2