Anda di halaman 1dari 15

KASUS MALPRAKTEK PADA KAMAR OPERASI

MAKALAH UNDANG-UNDANG DAN HUKUM ETIK KEDOKTERAN


“KESALAHAN PADA PEMBERIAN ANASTHESI”

Disusun oleh :

1. Asma’ul Fitria 1511B0006


2. Lisa Nur Hidayah 1511B0034
3. Kiki Nur Hafifah 1511B0031
4. Ony Wida Pratama 1511B0042
5. Aji Kisworo 1511B0002
6. Tri Adi Putra 1511B0058
7. Yufrits Asbanu 1511B00

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

SURYA MITRA HUSADA

KEDIRI

2018
BAB 1
PENDAHULUAN
Malpraktek pada dasarnya adalah tindakan tenaga 2okum2sional (profesi)
yang bertentangan dengan Standard Operating Procedure (SOP), kode etik
profesi, serta undang-undang yang berlaku baik disengaja maupun akibat
kelalaian Kelalaian ini bukanlah suatu pelanggaran 2okum, jika kelalaian tersebut
tidak sampai membawa kerugian kepada orang lain dan orang tersebut dapat
menerimanya. Akan tetapi,jika kelalaian tersebut mengakibatkan kerugian materi,
mencelakakan bahkan merenggut nyawa orang lain, maka hal ini bisa dikatakan
malpraktek.
Definisi malpraktek medis “adalah kelalaian dari seseorang dokter atau
perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam
mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau
orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama”. (Valentin v. La
Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956)
Dari definisi tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar
telah terjadi kelalaian tenaga kesehatan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan
keterampilan yang ukurannya adalah lazim dipergunakan diwilayah tersebut.
Andaikata akibat yang tidak diinginkan tersebut terjadi apakah bukan merupakan
risiko yang melekat terhadap suatu tindakan medis tersebut (risk of treatment)
karena perikatan dalam transaksi teraputik antara tenaga kesehatan dengan pasien
adalah perikatan/perjanjian jenis daya upaya (inspaning verbintenis) dan bukan
perjanjian/perjanjian akan hasil (resultaa verbintenis).

BAB 2
PEMBAHASAN
A. Kronologis Kasus
Seorang pasien menjalani suatu pembedahan di sebuah kamar
operasi. Sebagaimana layaknya, sebelum pembedahan dilakukan anastesi
terlebih dahulu. Pembiusan dilakukan oleh dokter anastesi, sedangkan
operasi dipimpin oleh dokter ahli bedah tulang (orthopedy). Operasi
berjalan lancar. Namun, tiba-tiba sang pasien mengalami kesulitan bernafas.
Bahkan setelah operasi selesai dilakukan, pasien tetap mengalami gangguan
pernapasan hingga tak sadarkan diri. Akibatnya, ia harus dirawat terus
menerus di ruang perawatan intensif dengan bantuan mesin pernapasan
(ventilator). Tentu kejadian ini sangat mengherankan. Pasalnya, sebelum
dilakukan operasi, pasien dalam keadaan baik, kecuali masalah tulangnnya.
Usut punya usut, ternyata kedapatan bahwa ada kekeliruan dalam
pemasangan gas anastesi (N2O) yang dipasng pada mesin anastesi. Harusnya
gas N2O, ternyata yang diberikan gas CO2. Padahal gas CO2 dipakai untuk
operasi katarak. Pemberian CO2 pada pasien tentu mengakibatkan
tertekannya pusat-pusat pernapasan sehingga proses oksigenasi menjadi
sangat terganggu, pasien jadi tidak sadar dan akhirnya meninggal.
Ini sebuah fakta penyimpangan sederhana namun berakibat fatal.
Dengan kata lain ada sebuah kegagalan dalam proses penetapan gas
anastesi. Dan ternyata, di rumah sakit tersebut tidak ada standar-standar
pengamanan pemakaian gas yang dipasang di mesin anastesi. Padahal
seeharusnya ada standar, siapa yang harus memasang, bagaimana caranya,
bagaimana monitoringnnya, dan lain sebagainya. Idealnya dan sudah
menjadi keharusan bahwa perlu ada sebuah standar yang tertulis (misalnya
warna tabung gas yang berbeda), jelas, dengan formulir yang memuat
berbagai prosedur tiap kali harus ditandai dan ditandatangani. Seandainya
prosedur ini ada, tentu tidak akan ada, atau kecil kemungkinan terjadi
kekeliruan. Dan kalaupun terjadi akan cepat diketahui siapa yang
bertanggungjawab.
B. Analisis Masalah
1. Ditinjau dari Sudut Pandang Hukum
Sanksi hukum Jika perbuatan malpraktik yang dilakukan dokter
terbukti dilakukan dengan unsur kesengajaan (dolus) dan ataupun
kelalaian (culpa) seperti dalam kasus malpraktek dalam bidang
orthopedy yang kami ambil, maka adalah hal yang sangat pantas jika
dokter yang bersangkutan dikenakan sanksi pidana karena dengan unsur
kesengajaan ataupun kelalaian telah melakukan perbuatan melawan
hukum yaitu menghilangkan nyawa seseorang. Perbuatan tersebut telah
nyata-nyata mencoreng kehormatan dokter sebagai suatu profesi yang
mulia.
Pekerjaan profesi bagi setiap kalangan terutama dokter tampaknya
harus sangat berhati-hati untuk mengambil tindakan dan keputusan
dalam menjalankan tugas-tugasnya karena sebagaimana yang telah
diuraikan di atas. Tuduhan malpraktik bukan hanya ditujukan terhadap
tindakan kesengajaan (dolus) saja. Tetapi juga akibat kelalaian (culpa)
dalam menggunakan keahlian, sehingga mengakibatkan kerugian,
mencelakakan, atau bahkan hilangnya nyawa orang lain. Selanjutnya,
jika kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan tindakan medik yang
tidak memenuhi SOP yang lazim dipakai, melanggar Undang-undang
No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, maka dokter tersebut dapat
terjerat tuduhan malpraktik dengan sanksi pidana.
Dalam Kitab-Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kelalaian
yang mengakibatkan celaka atau bahkan hilangnya nyawa orang lain.
Pasal 359, misalnya menyebutkan, “Barangsiapa karena kealpaannya
menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”.
Sedangkan kelalaian yang mengakibatkan terancamnya
keselamatan jiwa seseorang dapat diancam dengan sanksi pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 360 Kitab-Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), (1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan
orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun. (2)
Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka
sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan
pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan
paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.
Pemberatan sanksi pidana juga dapat diberikan terhadap dokter
yang terbukti melakukan malpraktik, sebagaimana Pasal 361 Kitab-
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), “Jika kejahatan yang
diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan
atau pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang
bersalah dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana
dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya
putusannya diumumkan.” Namun, apabila kelalaian dokter tersebut
terbukti merupakan malpraktik yang mengakibatkan terancamnya
keselamatan jiwa dan atau hilangnya nyawa orang lain maka
pencabutan hak menjalankan pencaharian (pencabutan izin praktik)
dapat dilakukan.
Berdasarkan Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), tindakan malpraktik juga dapat berimplikasi pada gugatan
perdata oleh seseorang (pasien) terhadap dokter yang dengan sengaja
(dolus) telah menimbulkan kerugian kepada pihak korban, sehingga
mewajibkan pihak yang menimbulkan kerugian (dokter) untuk
mengganti kerugian yang dialami kepada korban, sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 1365 Kitab-Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata), “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa
kerugian pada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Sedangkan
kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian (culpa) diatur oleh Pasal 1366
yang berbunyi: “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk
kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian
yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya.”
Kepastian hokum
Melihat berbagai sanksi pidana dan tuntutan perdata yang tersebut
di atas dapat dipastikan bahwa bukan hanya pasien yang akan dibayangi
ketakutan. Tetapi, juga para dokter akan dibayangi kecemasan diseret ke
pengadilan karena telah melakukan malpraktik dan bahkan juga tidak
tertutup kemungkinan hilangnya profesi pencaharian akibat dicabutnya
izin praktik. Dalam situasi seperti ini azas kepastian hukum sangatlah
penting untuk dikedepankan dalam kasus malpraktik demi terciptanya
supremasi hukum. Apalagi, azas kepastian hukum merupakan hak setiap
warga negara untuk diperlakukan sama di depan hukum (equality
before the law) dengan azas praduga tak bersalah (presumptions of
innocence) sehingga jaminan kepastian hukum dapat terlaksana dengan
baik dengan tanpa memihak-mihak siapa pun. Hubungan kausalitas
(sebab-akibat) yang dapat dikategorikan seorang dokter telah
melakukan malpraktik, apabila (1) Bahwa dalam melaksanakan
kewajiban tersebut, dokter telah melanggar standar pelayanan medik
yang lazim dipakai. (2) Pelanggaran terhadap standar pelayanan medik
yang dilakukan merupakan pelanggaran terhadap Kode Etik Kedokteran
Indonesia (Kodeki). (3) Melanggar UU No. 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan.
2. Ditinjau dari Sudut Pandang Etika (Kode Etik Kedokteran
Indonesia /KODEKI)
Jika dilihat dari sudut pandang masing-masing ruang lingkup yang
berbeda istilah etika dapat diartikan dalam banyak pengertian.
Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang
moralitas, sedangkan moralitas adalah hal-hal yang menyangkut moral,
dan moral adalah sitem tentang motifasi, perilaku dan perbuatan
manusia yang dianggap baik atau buruk. Franz Magnis Suseno
menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia
untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental: “bagaimana saya
harus hidup dan bertindak?”. Bagi seorang sosiolog, etika adalah adat,
kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya tertentu.
Bagi praktisi professional termasuk dokter dan tenaga kesehatan
lainnya, etika berarti kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan
profesi dan masyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang
professional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga terjadinya
interaksi antara pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur,
adil, professional dan terhormat.
Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa; “ seorang dokter harus
senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai denga standar
profesi tertinggi”. Jelasnya bahwa seeorang dokter dalam melakukan
kegiatan kedokterannya seebagai seorang proesional harus sesuai
dengan ilmu kedokteran mutakhir, hokum dan agama. KODEKI pasal
7d juga menjelaskan bahwa “setiap dokter harus senantiasa mengingat
akan kewajiban melindungi hidup insani”. Artinya dalam setiap
tindakannya, dokter harus betujuan untuk memelihara kesehatan dan
kebahagiaan manusia.
Peran pengawasan terhadap pelanggaran kode etik (KODEKI)
sangatlah perlu ditingkatkan untuk menghindari terjadinya pelanggaran-
pelanggaran yang mungkin sering terjadi yang dilakukan oleh setiap
kalangan profesi-profesi lainnya seperti halnya advokat, pengacara,
notaris, atau akuntan, dll. Pengawasan biasanya dilakukan oleh lembaga
yang berwenang untuk memeriksa dan memutus sanksi terhadap kasus
tersebut seperti Majelis Kode Etik, dalam hal ini Majelis Kode Etik
Kedokteran (MKEK). Jika ternyata terbukti melanggar kode etik maka
dokter yang bersangkutan akan dikenakan sanksi sebagaimana yang
diatur dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia. Karena itu seperti kasus
yang ditampilkan maka juga harus dikenakan sanksi sebagaimana yang
diatur dalam kode etik. Namun, jika kesalahan tersebut ternyata tidak
sekedar pelanggaran kode etik tetapi juga dapat dikategorikan
malpraktik, maka MKEK tidak diberikan kewenangan oleh undang-
undang untuk memeriksa dan memutus kasus tersebut.
Lembaga yang berwenang memeriksa dan memutus kasus
pelanggaran hukum hanyalah lembaga yudikatif, dalam hal ini lembaga
peradilan. Jika ternyata terbukti melanggar hukum maka dokter yang
bersangkutan dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Baik secara
pidana maupun perdata.
Sudah saatnya pihak berwenang mengambil sikap proaktif dalam
menyikapi fenomena maraknya gugatan malpraktik. Dengan demikian
kepastian hukum dan keadilan dapat tercipta bagi masyarakat umum
dan komunitas profesi. Dengan adanya kepastian hukum dan keadilan
pada penyelesaian kasus malpraktik ini maka diharapkan agar para
dokter tidak lagi menghindar dari tanggung jawab hokum profesinya.
3. Ditinjau dari Sudut Pandang Agama
Adapun agama–agama memandang malpraktek, khususnya yang
menyebabkan kematian atau bisa menyebabkan hilangnya nyawa
pasien. Di antaranya dapat dilihat bagaimana secara garis besar agama
Islam dan Khatolik memandang malpraktek.
a. Menurut pandangan Islam
Dikatakan bahwa jatah hidup itu merupakan ketentuan yang
menjadi hak prerogatif Tuhan, biasanya disebut juga haqqullâh
(hak Tuhan), bukan hak manusia (haqqul âdam). Artinya, meskipun
secara lahiriah atau tampak jelas bahwa saya menguasai diri saya
sendiri, tapi saya sebenarnya bukan pemilik penuh atas diri saya
sendiri. Untuk itu, saya harus juga tunduk pada aturan-aturan
tertentu yang kita imani sebagai aturan Tuhan. Atau, meskipun
saya memiliki diri saya sendiri, tetapi saya tetap tidak boleh
membunuh diri saya. Dari sini dapat kita katakan bahwa sebagai
individu saja kita tidak berhak atas diri atau kehidupan yang kita
miliki, apalagi kehidupan orang lain. Karena itu maka setiap
tindakan yang ada akhirnya menghilangkan hidup atau nyawa
seseorang bisa dianggap sebagai satu tindakan yang melanggar hak
prerogatif Tuhan. Dengan demikian segala macam tindakan
malpraktek adalah suatu pelanggaran.

b. Menurut pandangan Katolik


Secara garis besar yang menjadi titik tolak pandangan
katolik tentang malpraktek adalah mengenai hak hidup seseorang.
Yang menjadi pertanyaan utama disini adalah sejak kapan satu
individu atau bakal individu sudah bisa disebut sebagai individu
atau pribadi yang sudah memiliki hak untuk hidup? Yang menjadi
persoalan sekarang adalah apakah setelah si janin terbentuk dia
harus dianggap sebagai pribadi (a person) atau sebagai manusia (a
human person). Satu hal yang perlu diketengahkan adalah apakah
si janin telah memiliki roh atau jiwa (soul) atau tidak?
Agama katolik berpendapat ya, si janin sejak fertilisasi
sudah memiliki jiwa. Pada waktu dilahirkan janin telah menjadi
seorang manusia yang telah berhak akan kewajiban moral
terhadapnya. Dari uraian singkat diatas kita dapat katakan bahwa,
sejak si janin sudah terbentuk, kita sebenarnya sudah tidak punya
hak untuk memusnahkannya dan harus membiarkan atau
memeliharanya sampai ia tumbuh besar. Terkait dengan kasus yang
kami ambil dimana karena suatu kalalaian mengakibatkan satu
nyawa menghilang, dapat kita katakan sebagai suatu perampasan
hak untuk hidup karena sejak ia masih sebagai janin saja kita sudah
tidak punya hak untuk membunuhnya apalagi ia sudah tumbuh
besar. Karena itu maka setiap kelalaiaan yang mengakibatkan
menghilangnya nyawa seseorang harus bisa ditindaklanjuti baik
secara agama ataupun hukum.

C. Pasal-Pasal Lain Yang Terkait Dengan Kasus


1. Berdasarkan UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

a. Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang


menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna
yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat
darurat.
b. Gawat Darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan
tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan
kecacatan lebih lanjut.
c. Pelayanan Kesehatan Paripurna adalah pelayanan kesehatan yang
meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
d. Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah
kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang
diperlukan, baik secara langsung maupun tidak langsung di Rumah
Sakit.
Pasal 2
Rumah Sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan
kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan,
persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan
keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial.
Pasal 3
Pengaturan penyelenggaraan Rumah Sakit bertujuan:
a. mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan;
b. memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat,
lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit;
c. meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah
sakit; dan
d. memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber
daya manusia rumah sakit, dan Rumah Sakit.
Pasal 4
Rumah Sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan
perorangan secara paripurna.
Pasal 5
Untuk menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Rumah
Sakit mempunyai fungsi:
a. penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan
sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit;
b. pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui
pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai
kebutuhan medis;
c. penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia
dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan
kesehatan; dan
d. penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan
teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan
kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang
kesehatan;
e. meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah
sakit; dan
f. memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber
daya manusia rumah sakit, dan Rumah Sakit.
Pasal 12
a. Persyaratan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1) yaitu Rumah Sakit harus memiliki tenaga tetap yang
meliputi tenaga medis dan penunjang medis, tenaga keperawatan,
tenaga kefarmasian, tenaga manajemen Rumah Sakit, dan tenaga
nonkesehatan.
b. Jumlah dan jenis sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus sesuai dengan jenis dan klasifikasi Rumah Sakit.
c. Rumah Sakit harus memiliki data ketenagaan yang melakukan
praktik atau pekerjaan dalam penyelenggaraan Rumah Sakit.
d. Rumah Sakit dapat mempekerjakan tenaga tidak tetap dan konsultan
sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangan.
Pasal 13
a. Tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran di Rumah Sakit
wajib memiliki Surat Izin Praktik sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.
b. Tenaga kesehatan tertentu yang bekerja di Rumah Sakit wajib
memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
c. Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit harus bekerja
sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan Rumah Sakit,
standar prosedur operasional yang berlaku, etika profesi,
menghormati hak pasien dan mengutamakan keselamatan pasien.
d. Ketentuan mengenai tenaga medis dan tenaga kesehatan
sebagaimana `dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 32
Setiap pasien mempunyai hak:
a. memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa
diskriminasi;
b. memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar
profesi dan standar prosedur operasional;
c. memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien
terhindar dari kerugian fisik dan materi;
d. mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan;
e. memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan
peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;
f. meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter
lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun
di luar Rumah Sakit;
g. mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan
medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan
komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan
yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan;
h. memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan
dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;
i. menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit
diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik
secara perdata ataupun pidana;
Pasal 37
a. Setiap tindakan kedokteran yang dilakukan di Rumah Sakit harus
mendapat persetujuan pasien atau keluarganya.
b. Ketentuan mengenai persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 46
Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian
yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di
Rumah Sakit.

2. UU Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999


Pasal 4
“Konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Konsumen berhak untuk
mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya“
Pasal 7
“Pelaku usaha wajib memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan“
Pasal 62
a. “Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat,
cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang
berlaku”
b. Pada pasal 7 yaitu pelaku usaha wajib memberikan informasi yang
benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau
jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan,
c. pada kasus ini pelaku usaha yaitu tenaga kesehatan, tetapi tenaga
kesehatan tidak memberikan informasi yang jelas kepada keluarga
pasien tentang keadaan pasien setelah operasi dan tindakan apa saja
yang telah dilakukan pada waktu operasi.
d. Selain itu, sesuai dengan pasal 62, yaitu terhadap pelanggaran yang
mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian
diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.

D. Solusi
Dengan melihat faktor-faktor penyebab dan juga segala macam sanksi
hokum serta segala macam pelanggaran kode etik atas kasus yang kami
ambil dalam hal ini kesalahan pemberian atau pemasangan gas setelah
operasi pembedahan tulang di atas maka pencegahan terjadinya malpraktek
harus dilakukan dengan melakukan perbaikan sistem, mulai dari pendidikan
hingga ke tata-laksana praktek kedokteran.
Pendidikan etik kedokteran dianjurkan dimulai lebih dini sejak tahun
pertama pendidikan kedokteran, dengan lebih ke arah pembuatan keputusan
etik, memberikan banyak latihan, dan lebih banyak dipaparkan dalam
berbagai situasi-kondisi etik-klinik tertentu (clinical ethics), sehingga cara
berpikir etis tersebut diharapkan menjadi bagian pertimbangan dari
pembuatan keputusan medis sehari-hari dan juga perlu terus ada pelatihan
dan pengenalan akan segala macam alat ataupun obat yang harus dipakai
dalam pelaksanaan profesi kedokteran ataupun semua tenaga pelayanan
kesehatan agar kesalahan dalam diagnosis atau kesalahan dalam pemberian
obat dapat diminimalisir . Tentu saja kita pahami bahwa pendidikan etik
belum tentu dapat mengubah perilaku etis seseorang, terutama apabila
teladan yang diberikan para seniornya bertolak belakang dengan situasi
ideal dalam pendidikan.
Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat
dibendung dengan memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan sikap
etis dan profesional dokter. Diyakini bahwa hal ini adalah bagian tersulit
dari upaya sistemik pencegahan malpraktek, oleh karena diperlukan
kemauan politis yang besar dan serempak dari masyarakat profesi
kedokteran untuk mau bergerak ke arah tersebut. Perubahan besar harus
dilakukan.
Undang-undang Praktik Kedokteran diharapkan menjadi wahana yang
dapat membawa kita ke arah tersebut, sepanjang penerapannya dilakukan
dengan benar. Standar pendidikan ditetapkan guna mencapai standar
kompetensi, kemudian dilakukan registrasi secara nasional dan pemberian
lisensi bagi mereka yang akan berpraktek. Konsil harus berani dan tegas
dalam melaksanakan peraturan, sehingga akuntabilitas progesi kedokteran
benar-benar dapat ditegakkan. Standar perilaku harus ditetapkan sebagai
suatu aturan yang lebih konkrit dan dapat ditegakkan daripada sekedar kode
etik. Demikian pula standar pelayanan harus diterbitkan untuk mengatur
hal-hal pokok dalam praktek, sedangkan ketentuan rinci agar diatur dalam
pedoman-pedoman. Keseluruhannya akan memberikan rambu-rambu bagi
praktek kedokteran, menjadi aturan disiplin profesi kedokteran, yang harus
diterapkan, dipantau dan ditegakkan oleh Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia (MKDKI). Profesional yang “kotor” dibersihkan dan
mereka yang “busuk” dibuang dari masyarakat profesi.
Ketentuan yang mendukung good clinical governance harus dibuat
dan ditegakkan. Dalam hal ini peran rmah sakit sangat diperlukan. Rumah
sakit harus mampu mencegah praktek kedokteran tanpa kewenangan atau di
luar kewenangan, mampu “memaksa” para profesional bekerja sesuai
dengan standar profesinya, serta mampu memberikan “suasana” dan budaya
yang kondusif bagi suburnya praktek kedokteran yang berdasarkan bukti
hokum dank ode etik yang berlaku.

BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
Malpraktek dalam bidang orthopedy adalah suatu tindakan kelalaian
yang dilakukan oleh dokter atau petugas pelayanan kesehatan yang bertugas
melakukan segala macam tindakan pembedahan khususnya pembedahan
pada tulang. Dimana dalam kasus ini si pasien yang pada awalnya hanya
mengalami masalah pada tulangnya pada akhirnya harus menghembuskan
nafasnya untuk terakhir kalinya hanya karena kesalahan pemberian gas
setelah operasi.
Kelalaian fatal ini bisa dikatakan terjadi karena kurangnya ketelitian
dari dokter ataupun petugas kesehatan lainnya dalam pemberian pelayanan
kesehatan terhadap pasien. Kelalaian ini juga bisa disebabkan karena
manejemen rumah sakit yang kurang tertata baik, pendidikan yang dimiliki
petugas yang mungkin masih minim serta banyak lagi faktor yang lainnya.
Karena tindakan tersebut tidak hanya melangar hukum, kode etik
kedokteran dan juga standar berperilaku dalam suatu agama tetapi bahkan
sampai menghilangkan nyawa seseorang maka perlu ada jalan keluarnya
yakni dengan cara; pembenahan majemen rumah sakit, meningkatkan
ketelitian dalam menjalankan profesi kedokteran serta memperdalam segala
macam pengetahuan tentang berbagai macam tindakan pelayanan kesehatan.

B. Saran
Bagi semua oranng yang bertugas sebagai pelayan kesehatan dan juga
bagi penulis serta siapa saja yang nantinya akan menjadi seorang pelayan
yang bergerak di bidang kesehatan, hendaknya bisa menggunakan waktu
yang masih ada semaksimal mungkin untuk mempelajari semua hal yang
berkaitan dangan tugas kita nantinya, agar segala macam tindakan
pelanggaran ataupun kelalaian dapat diminimalisir atau kalau bisa
dihilangkan.

Anda mungkin juga menyukai