LP Ca Cervix
LP Ca Cervix
2. Epidemiologi
Kanker serviks merupakan salah satu kanker penyebab kematian tertinggi pada
wanita di dunia. Kanker serviks menduduki peringkat ketiga dari 10 jenis
kanker paling banyak pada wanita setelah kanker payudara dan kolorektum
(ICO, 2016). Menurut data GLOBOCAN (IARC) tahun 2012 diperkirakan
kejadian kasus baru kanker serviks di dunia mencapai 572.624 kasus dengan
jumlah kematian mencapai 265.627 jiwa. Pada tahun 2016 di Amerika Serikat
tercatat sebanyak 12.990 wanita terdiagnosa kanker serviks dengan angka
kematian mencapai 4.217 jiwa. Sementara itu, data tahun 2017 mencatat
terdapat 12.820 kasus baru dengan angka kematian mencapai 4.210 jiwa (
American Cancer Society, 2017).
Kejadian kanker serviks di negara berkembang dan berpenghasilan menengah
kebawah menempati urutan kedua kanker paling banyak pada wanita dan urutan
ketiga penyebab kematian pada wanita (Catarino, et al, 2015). Berdasarkan
Information Centre of HPV and Cancer (ICO, 2016) jumlah kejadian kanker
serviks di negara berkembang mencapai 444.456 kasus baru dan sebanyak
230.180 kematian tiap tahunnya. Prevalensi kematian akibat kanker serviks di
negara berkembang mencapai hampir 87% kasus (IARC, 2012).
Berdasarkan estimasi Data Riskesdas 2013 kanker serviks menempati urutan
pertama penyakit kanker paling banyak pada wanita Indonesia dengan jumlah
98.692 kasus disusul oleh kanker payudara pada urutan kedua sebanyak 61.682
kasus (Kemenkes RI, 2015). Jumlah wanita di Indonesia yang terdiagnosa
kanker serviks mencapai 20.928 dengan angka kematian mencapai 9.498 jiwa
setiap tahunnya (ICO, 2016).
3. Etiologi
Penyebab utama kanker serviks adalah infeksi pada leher rahim yang
disebabkan oleh virus HPV tipe onkogenik yang ditularkan melalui hubungan
seksual (Petignat, 2007 dalam Swari, 2014). Infeksi dapat terjadi setelah
terjadinya lesi squamosa intraephitelial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
10 – 30% wanita pada usia 30 tahun keatas yang telah aktif secara seksual
pernah terinfeksi HPV. Presentasi tersebut akan lebih meningkat apabila wanita
tersebut memiliki banyak pasangan seksual. Pada umumnya sebagian besar
infeksi HPV terjadi tanpa gejala dan bersifat menetap (Kumar, 2007) Ada
beberapa faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker serviks,
antara lain adalah
1. Usia
Usia pertama kali melakukan hubungan seksual yang masih relatif muda
(dibawah 20 tahun) dapat meningkatkan risiko kejadian kanker serviks.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin muda seorang wanita
melakukan hubungan seksual maka semakin tinggi risiko mengalami kanker
serviks. Hasil penelitian Sadewa (2014) menunjukkan bahwa sebanyak 90%
pasien yang terdiagnosa kanker serviks menikah pada usia ≤ 20 tahun.
2. Paritas
Kejadian kanker serviks juga sering ditemukan pada wanita yang sering
partus atau melahirkan. Semakin sering partus semakin besar risiko
seseorang mengalami kanker serviks. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Reis, et al (2011) menunjukkan bahwa wanita dengan jumlah paritas >3
berisiko mengalami kanker serviks lebih tinggi 9,127 kali dibandingkan
dengan wanita dengan paritas ≤3.
3. Merokok
Wanita yang merokok berisiko terkena kanker serviks 2 kali lebih besar
dibandingkan dengan wanita yang tidak merokok. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pada lendir serviks wanita perokok mengandung
nikotin dan zat tersebut menyebabkan penurunan daya tahan serviks selain
merupakan ko-karsinogen infeksi virus (Rasjidi, 2009).
4. Pasangan Seksual Lebih Dari Satu
Wanita yang memiliki perilaku seksual dengan sering berganti-ganti
pasangan seks dapat meningkatkan penularan penyakit kelamin. Risiko
mengalami kanker serviks pada wanita yang sering berganti-ganti pasangan
seks akan meningkat 10 kali lipat (American Cancer Society, 2017).
5. Penggunaan Kontrasepsi Oral Jangka Panjang
Penggunaan kontrasepsi oral dalam jangka panjang (lebih dari 5 tahun)
seperti konsumsi pil KB dapat meningkatkan risiko kanker serviks 1-2 kali
terutama pada wanita yang positif terinfeksi HPV (American Cancer
Society, 2017).
6. Personal Hygiene
Personal hygiene terutama perawatan kebersihan alat kelamin yang kurang
dapat meningkatkan risiko kejadian kanker serviks. Hasil penelitian
Indrawati dan Fitriyani (2012) menunjukkan personal hygiene yang kurang
baik berisiko mengalami kanker serviks 19,386 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan wanita yang memiliki personal hygiene yang baik.
7. Diet
Seseorang yang melakukan diet ketat dengan konsumsi vitamin A, C dan E
yang rendah dapat mengurangi tingkat kekebalan tubuh yang berakibat
mudahnya seseorang terinfeksi (Arisusilo, 2012). Beberapa penelitian
menyebutkan bahwa defisiensi asam folat, zat besi, dan beta karoten dapat
meningkatkan risiko kanker serviks (Sukaca, 2009).
8. Gangguan system kekebalan tubuh
Wanita yang mengalami immunocompromised (penurunan imunitas tubuh)
seperti pasien transplantasi ginjal dan AIDS dapat mempercepat
perkembangan sel kanker dari non-invasif menjadi invasif (American
Cancer Society, 2017)
9. Riwayat Kanker Serviks Pada Keluarga
Seorang wanita yang memiliki saudara kandung atau ibu dengan kanker
serviks, berisiko mengalami kanker serviks 2–3 kali lebih besar
dibandingkan dengan orang normal. Hasil penelitian menduga hal tersebut
disebabkan berkurangnya kemampuan untuk melawan infeksi HPV
(American Cancer Society, 2017)
10. Status Ekonomi
Wanita dengan status ekonomi yang rendah tidak mampu memperoleh
pelayanan kesehatan yang baik seperti pap smear atau melakukan vaksinasi
HPV. Hal ini menyebabkan mereka tidak dapat melakukan skrining atau
deteksi dini kanker serviks maupun tidak mampu melakukan
penatalaksanaan pre-kanker (American Cancer Society, 2017).
4. Patofisiologi
Terjadinya kanker serviks disebabkan oleh infeksi HPV yang onkogenik
umumnya adalah HPV tipe 16 dan 18 (Dethan, 2015). Risiko terinfeksi HPV
dapat meningkat pada wanita yang telah melakukan aktivitas seksual. Pada
umumnya, infeksi virus ini akan menghilang dengan sendirinya, namun apabila
infeksi bersifat persisten akan menyebabkan integrasi genom dari virus ke
dalam genom sel serviks. Akibatnya pertumbuhan sel dan ekspresi onkoprotein
E6 atau E7 yang bertanggung jawab terhadap perubahan maturasi dan
diferensiasi dari epitel serviks menjadi tidak normal atau disebut dengan mutasi
sel (Nurwijaya, 2010). Terjadinya mutasi sel inilah berkembang menjadi kanker
serviks. Proses perkembangan kanker serviks berlangsung lambat, diawali
adanya perubahan displasia yang perlahan - lahan menjadi progresif. Displasia
ini dapat muncul bila ada aktivitas regenerasi epitel yang meningkat misalnya
akibat trauma mekanik atau kimiawi, infeksi virus atau bakteri dan gangguan
keseimbangan hormon. Dalam jangka waktu 7 – 10 tahun perkembangan
tersebut menjadi bentuk preinvasif berkembang menjadi invasif pada stroma
serviks dengan adanya proses keganasan. Perluasan lesi di serviks dapat
menimbulkan luka, pertumbuhan yang eksofitik atau dapat berinfiltrasi ke
kanalis serviks. Lesi dapat meluas ke forniks, jaringan pada serviks, parametria
dan akhirnya dapat menginvasi ke rektum dan atau vesika urinaria. Karsinoma
serviks dapat meluas ke arah segmen bawah uterus dan kavum uterus.
Penyebaran kanker ditentukan oleh stadium dan ukuran tumor, jenis histologik
dan ada tidaknya invasi ke pembuluh darah, anemis hipertensi dan adanya
demam.
Penyebaran dapat pula melalui metastase limpatik dan hematogen. Bila
pembuluh limfe terkena invasi, kanker dapat menyebar ke pembuluh getah
bening pada servikal dan parametria, kelenjar getah bening obtupator, iliaka
eksterna dan kelenjar getah bening hipogastrika. Dari sini tumor menyebar ke
kelenjar getah bening iliaka komunis dan pada aorta. Secara hematogen, tempat
penyebaran terutama adalah paru-paru, kelenjar getah bening mediastinum dan
supravesikuler, tulang, hepar, empedu, pankreas dan otak (Prayetni, 1997).
(WOC terlampir)
5. Klasifikasi
Stadium kanker adalah cara bagi paramedis untuk merangkum seberapa jauh
kanker telah menyebar. Salah satu cara yang digunakan pada umumnya untuk
memetakan stadium kanker serviks yaitu sistem FIGO (Federasi Internasional
Ginekologi dan Obstetri). Berdasarkan Federation of International Gynecology
and Obsetrics (FIGO) tahun 2009 stadium klinis karsinoma serviks terbagi atas:
Stadium Deskripsi
1 2
Stadium Karsinoma insitu, karsinoma intra-ephitelial. Tumor masih dangkal, hanya
0 tumbuh di lapisan sel serviks
Stadium Kanker telah tumbuh dalam serviks.
I
IA Kanker invasive ditemukan hanya secara mikroskopik. Kedalamannya 5 mm dan
besarnya kurang dari 7 mm
IA 1 Invasi stromal sedalam <3 mm dan lebar <7 mm
IA 2 Invasi ke stroma sedalam 3-5 mm dengan lebar <7 mm
IB Lesi klinis masih pada serviks atau lesi mikroskopik lebih besar dari lesi stadium
IA
IB 1 Kanker serviks dapat dilihat dengan mata telanjang. Ukuran tidak lebih dari 4 cm
IB 2 Kanker serviks dapat dilihat dengan mata telanjang. Ukuran lebih besar dari 4
cm
Stadium Kanker telah menginvasi melewati serviks namun tidak sampai pada dinding
II pelvis atau 1/3 bawah vagina
IIA Kanker meluas sampai 2/3 atas vagina, tanpa invasi parametrial
IIA 1 Tumor yang terlihat secara klinis <4 cm. Meluas hingga 2/3 bagian atas vagina
IIA 2 Tumor yang terlihat secara klinis >4 cm namun tidak sampai masuk dinding
pelvis.
IIB Kanker telah menyebar ke jaringan sekitar vagina dan serviks, namun belum
sampai ke dinding panggul
Stadium Kanker meluas sampai ke dinding pelvis dan/atau mencapai 1/3 bawah dinding
III vagina dana tau menyebabkan hidronefrosis atau penurunan fungsi ginjal
III A Tumor meluas sampai 1/3 bawah vagina namun tanpa ekstensi ke dinding pelvis
IIIB Meluas sampai dinding pelvis atau menyebabkan obstruksi uropati.
Stadium Pada stadium ini, kanker telah menyebar ke pelvis, kandung kemih, atau rectum.
IV
IVA Kanker telah menyebar ke organ terdekat, seperti kandung kemih dan rectum
IVB Metastase ke organ yang lebih jauh.
6. Manifestasi Klinis
Pada fase prakanker (tahap displasia), sering tidak ada gejala atau tanda-tanda
yang khas. Namun, kadang bisa ditemukan gejala-gejala sebagai berikut :
a. Keputihan atau keluar cairan encer dari vagina. Getah yang keluar dari
vagina ini makin lama akan berbau busuk akibat infeksi dan nekrosis
jaringan.
b. Perdarahan setelah senggama (post coital bleeding) yang kemudian
berlanjut menjadi perdarahan yang abnormal.
c. Pada fase invasif dapat keluar cairan berwarna kekuning-kuningan dan
berbau busuk.
d. Bisa terjadi hematuria karena infiltrasi kanker pada traktus urinarius.
e. Timbul gejala-gejala anemia bila terjadi perdarahan kronis.
f. Kelemahan pada ekstremitas bawah.
g. Timbul nyeri panggul (pelvis) atau di perut bagian bawah bila ada radang
panggul. Bila nyeri terjadi di daerah pinggang ke bawah, kemungkinan
terjadi infiltrasi kanker pada serabut saraf lumbosakral.
h. Pada stadium lanjut, badan menjadi kurus kering karena kurang gizi, edema
kaki, timbul iritasi kandung kencing dan poros usus besar bagian bawah
(rektum), terbentuknya fistel vesikovaginal atau rektovaginal, atau timbul
gejala-gejala akibat metastasis jauh.
7. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
1) Perdarahan vagina
2) Keputihan berwarna putih atau purulen yang berbau dan tidak gatal
3) Adanya bau busuk yang khas
4) Raut wajah pucat
5) Ekspresi wajah meringis dan posisi tubuh menahan nyeri
6) Tanda-tanda anemia
7) Hematuri
8) Bila tumor tumbuh eksofitik maka terlihat lesi pada porsio atau sudah
sampai vagina
b. Palpasi
1) Nyeri tekan pada abdomen
2) Serviks dapat teraba membesar, ireguler, teraba lunak
3) Nyeri punggung bawah
4) Obstruksi ureter, periksa hidronefrosis dengan tes balotemen
5) Palpasi fundus arteri
6) Perubahan denyut nadi
7) Perubahan tekanan darah
8) Peningkatan suhu tubuh
8. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
a. Pap Smear
Test Pap smear dapat dilakukan di RS, klinik dokter kandungan ataupun
laboratorium. Prosedurnya cepat (hanya memerlukan waktu beberapa
menit) dan tidak menimbulkan rasa sakit. Test Pap smear dapat dilakukan
bila tidak dalam keadaan haid ataupun hamil. Untuk hasil terbaik, sebaiknya
tidak berhubungan intim minimal 3 hari sebelum pemeriksaan. Pap smear
merupakan salah satu cara deteksi dini kanker leher rahim. Test ini
mendeteksi adanya perubahan-perubahan sel leher rahim yang abnormal,
yaitu suatu pemeriksaan dengan mengambil cairan pada leher rahim dengan
spatula kemudian dilakukan pemeriksaan dengan mikroskop. Pap smear
hanyalah sebatas skrining, bukan diagnosis adanya kanker serviks. Jika
ditemukan hasil pap smear yang abnormal, maka dilakukan pemeriksaan
standar berupa kolposkopi
b. IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat)
Untuk deteksi dini kanker serviks, selain test Pap Smear, metoda lain yang
dapat menjadi pilihan adalah IVA (Inspeksi Visual dengan Asam Asetat).
IVA digunakan untuk mendeteksi abnormalitas sel serviks setelah
mengoleskan larutan asam asetat (asam cuka3-5%) pada leher rahim. Asam
asetat menegaskan dan menandai lesi pra-kanker dengan perubahan warna
agak keputihan (acetowhite change). Hasilnya dapat diketahui saat itu juga
atau dalam waktu 15 menit.
c. Servikografi
Servikografi terdiri dari kamera 35 mm dengan lensa 100 mm dan lensa
ekstensi 50 mm. Servikografi dapat digunakan sebagai metode yang baik
untuk skrining massal, lebih-lebih di daerah di mana tidak ada seorang
spesialis sitologi, maka kombinasi servikogram dan kolposkopi sangat
membantu dalam deteksi kanker serviks.
c. Gineskopi
Gineskopi menggunakan teleskop monokuler, ringan dengan pembesaran
2,5 x dapat digunakan untuk meningkatkan skrining dengan sitologi. Biopsi
atau pemeriksaan kolposkopi dapat segera disarankan bila tampak daerah
berwarna putih dengan pulasan asam asetat. Sensitivitas dan spesifisitas
masing-masing 84% dan 87% dan negatif palsu sebanyak 12,6% dan positif
palsu 16%.
d. Pemeriksaan Penanda Tumor (PT)
Penanda tumor adalah suatu substansi yang dapat diukur secara kuantitatif
dalam kondisi prakanker maupun kanker. Salah satu PT yang dapat
digunakan untuk mendeteksi adanya perkembangan kanker serviks adalah
CEA (Carcino Embryonic Antigen) dan HCG (Human Chorionic
Gonadotropin). Kadar CEA abnormal adalah > 5 µL/ml, sedangkan kadar
HCG abnormal adalah > 5ηg/ml. HCG dalam keadaan normal disekresikan
oleh jaringan plasenta dan mencapai kadar tertinggi pada usia kehamilan 60
hari. Kedua PT ini dapat dideteksi melalui pemeriksaan darah dan urine.
e. Biopsy Kerucut
Biopsy Kerucut adalah mengambil tonjolan jaringan serviks yang lebih
besar untuk penelitian apakah ada atau tidak kanker invasive.
f. MRI /CT scan abdomen atau pelvis
MRI/CT scan abdomen atau pelvis digunakan untuk menilai penyebaran
lokal dari tumor dan atau terkenanya nodus limfa regional.
g. Tes Schiller
Tes Schiller dilakukan dengan cara serviks diolesi dengan larutan yodium,
sel yang sehat warnanya akan berubah menjadi coklat sedangkan sel yang
abnormal warnanya menjadi putih atau kuning.
h. Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi tingkat komplikasi
pendarahan yang terjadi pada penderita kanker serviks dengan mengukur
kadar hemoglobin, hematokrit, trombosit dan kecepatan pembekuan darah
yang berlangsung dalam sel-sel tubuh.
9. Kriteria Diagnosis
Interpretasi sitologi yang dapat menunjang diagnosis kanker serviks :
a. Hasil pemeriksaan negatif
Tidak ditemukan sel ganas. Ulangi pemeriksaan sitologi dalam 1 tahun lagi.
b. Inkonklusif
Sediaan tidak memuaskan. Bisa disebabkan fiksasi tidak baik. Tidak
ditemukan sel endoserviks, gambaran sel radang yang padat menutupi sel.
Ulangi pemeriksaan sitologi setelah dilakukan pengobatan radang dan
sebagainya.
c. Displasia
Terdapat sel - sel diskariotik pada pemeriksaan mikroskopik. Derajat
ringan, sedang, sampai karsinoma in situ. Diperlukan konfirmasi dengan
kolposkopi dan biopsi. Dilakukan penangan lebih lanjut dan harus diamati
minimal 6 bulan berikutnya.
d. Hasil pemeriksaan positif
Terdapat sel - sel ganas pada lapisan epitel serviks melalui pengamatan
mikroskopik. Harus dilakukan biopsi untuk memperkuat diagnosis.
Penanganan harus dilakukan di rumah sakit rujukan dengan seorang ahli
onkologi.
10. Penatalaksanaan
Menurut Mansjoer (2007) di bawah ini adalah klasifikasi penatalaksanaan
medis secara umum berdasarkan stadium kanker serviks :
Stadium Penatalaksanaan
0 Biopsi kerucut, Histerektomi transvaginal
Ia Biopsi kerucut, Histerektomi transvaginal
Ib,Iia Histerektomi radikal dengan
limfadenektomi panggul dan evaluasi
kelenjar limfe paraaorta (bila terdapat
metastasis dilakukan radioterapi pasca
pembedahan
IIb, III, IV Histerektomi transvaginal
11. Komplikasi
a. Langsung
Yang berhubungan dengan penyakitnya, dapat berupa :
1) Obstruksi ileus (penyumbatan usus)
2) Vesikovaginal fistel (lubang di antara saluran kencing dan vagina)
3) Obstruksi ureter (penyumbatan pada saluran kencing)
4) Hidronefrosis (pembengkakan ginjal)
5) Infertil
6) Gagal ginjal
7) Pembentukan fistula
8) Anemia
9) Infeksi sistemik
10) Trombositopenia
b. Tidak Langsung
Yang berhubungan dengan tindakan dan pengobatan:
1) Operasi : perdarahan, infeksi, luka pada saluran kencing, kandung
kemih maupun usus
2) Radiasi : berak darah, hematuria (kencing darah), cystitis radiasi (infeksi
saluran kencing karena efek radiasi)
3) Kemoterapi : mual muntah, diare, alopesia (kebotakan), BB turun, borok
pada daerah bekas suntikan.
12. Pencegahan
Kanker stadium dini (karsinoma in situ) sangat susah dideteksi karena belum
menimbulkan gejala yang khas dan spesifik, kematian pada kasus kanker
serviks terjadi karena sebagian besar penderita yang berobat sudah berada
dalam stadium lanjut. Cara terbaik yang bisa dilakukan untuk mencegah kanker
ini adalah bentuk skrining yang dinamakan Pap Smear dan skrining ini sangat
efektif. Ada beberapa protokol skrining yang bisa ditetapkan bersama - sama
sebagai salah satu upaya deteksi dini terhadap perkembangan kanker serviks,
beberapa di antaranya :
a. Skrining awal
Skrining dilakukan sejak seorang wanita telah melakukan hubungan
seksual (vaginal intercourse) selama kurang lebih tiga tahun dan umurnya
tidak kurang dari 21 tahun saat pemeriksaan. Hal ini didasarkan pada
karsinoma serviks berasal lebih banyak dari lesi prekursornya yang
berhubungan dengan infeksi HPV onkogenik dari hubungan seksual yang
akan berkembang lesinya setelah 3-5 tahun setelah paparan pertama dan
biasanya sangat jarang pada wanita di bawah usia 19 tahun.
b. Pemeriksaan DNA HPV
Penelitian dalam skala besar mendapatkan bahwa Pap’s smear negatif
disertai DNA HPV yang negatif mengindikasikan tidak akan ada CIN 3
sebanyak hampir 100%. Kombinasi pemeriksaan ini dianjurkan untuk
wanita dengan umur diatas 30 tahun karena prevalensi infeksi HPV
menurun sejalan dengan waktu. Infeksi HPV pada usia 29 tahun atau lebih
dengan ASCUS hanya 31,2% sementara infeksi ini meningkat sampai 65%
pada usia 28 tahun atau lebih muda. Sehingga, deteksi DNA HPV yang
positif yang ditemukan kemudian lebih dianggap sebagai HPV yang
persisten. Apabila ini dialami pada wanita dengan usia yang lebih tua maka
akan terjadi peningkatan risiko kanker serviks.
c. Skrining dengan Thinrep/Liquid-Base Method
Disarankan untuk wanita di bawah 30 tahun yang berisiko dan dianjurkan
untuk melakukan pemeriksaan setiap 1 - 3 tahun. Skrining dihentikan bila
usia mencapai 70 tahun atau telah dilakukan 3 kali pemeriksaan berturut-
turut dengan hasil negatif.
13. Prognosis
Karsinoma serviks yang tidak diobati atau tidak memberikan respon terhadap
pengobatan, 95 % mengalami kematian dalam 2 tahun setelah timbul gejala.
Pasien yang menjalani histerektomi dan memiliki risiko tinggi terjadinya
rekurensi harus terus diawasi karena lewat deteksi dini, perkembangan kanker
seviks dapat diobati dengan radioterapi. Ada beberapa faktor yang menentukan
prognosis dalam angka kejadian kanker serviks, antara lain : usia penderita,
keadaan umum, tingkat klinis keganasan, ciri - ciri histologik sel kanker,
kemampuan tim kesehatan dan sarana pengobatan yang tersedia (Mansjoer,
2005)
Stadium Penyebaran kanker serviks Harapan
Hidup 5
Tahun (%)
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri Kronik berhubungan dengan tumor infiltrasi (kanker serviks)
ditandai dengan melaporkan nyeri secara verbal, mengekspresikan nyeri
(meringis)
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan intake nutrisi yang tidak adekuat (mual akibat kemoterapi)
ditandai dengan penurunan berat badan lebih dari 20%, penurunan nafsu
makan.
c. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penyakit (kanker serviks)
ditandai dengan kehilangan bagian tubuh (uterus), mengubah gaya
hidup (yang berhubungan dengan seksualitas)
d. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang paparan informasi
terkait penatalaksanaan kanker serviks (kemoterapi) ditandai dengan
menyertakan tidak mengetahui tentang pengobatan kemoterapi dan
menunjukkan perilaku yang tidak sesuai (gelisah) dan tidak mengikuti
pengobatan secara akurat.
e. PK Anemia
DAFTAR PUSTAKA
American Cancer Society. (2017). Cancer Facts & Figures 2017. Atlanta :
American Cancer Society.
American Cancer Society. (2017). What Are The Risk Factor For Cervical Cancer
?. Retrived from : https://www.cancer.org/cancer/cervical-cancer/causes-
risks-prevention/risk-factors.html
Aranda. S, et al. (2011). Impact of a novel nurse-led prechemotherapy education
intervention (ChemoEd) on patient distress, symptom burden, and treatment-
related information and support needs: results from a randomised, controlled
trial. (Hal 1-10)
Arisusilo, C. (2012). Kanker Leher Rahim (Cancer Cervix) Sebagai Pembunuh
Wanita Terbanyak Di Negara Berkembang. Sainstis. Volume 1, Nomor 1.
Barry j.Beaty and William C.Marquardt. (1996). The Biology of Disease Vector.
University Press of Colorado.
Bell Kay, & Harrold k. (2012). Benefits of attending nurse-led pre-chemotherapy
group sessions. Vol 12 (1). Cancer Nursing practice. Page 27-31
Centers for Diseases Control and Prevention (CDC). (2013). Cervical Cancer
Statistic. Retrived from : https://www.cdc.gov/cancer/cervical/statistics/ .
Cullati S, Charvet Berard AI, Perrieger TV. (2009). Cancer Screening in a Middle
Aged General Population: Factor Associated with Practices and Attitudes.
BMC Publik Health
Desen, Wan. (2008). Onkologi Klinis. Edisi 2. Jakarta: FKUI
Dochterman, Joanne M. & Bulecheck, Gloria N. (2004). Nursing Interventions
Classification : Fourth Edition. United States of America : Mosby.
Female Cancer Program Foundation. (2009). Indonesia: Mutual Enthusiasm About
Working Together. Available form: URL:
http://www.femalecancerprogram.org/FCP/whoareourpartners/Indonesia/def
ault
Fitri Fauziah & Julianty Widuri. (2007). Psikologi Abnormal Klinis Dewasa.
Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press).
Garcia. (2007). Cervical Cancer. Available form:
URL:http//emedecine.medscape.com/article/253513-overview
ICO Information Centre on HPV and Cancer (HPV Information Centre). (2016).
Indonesia : Human Papillomavirus and Related Cancer , Fact Sheet 2016.
Retrived from : http://www.hpvcentre.net/statistics/reports/XWX.pdf
International Agency for Research on Cancer (IARC). (2012). GLOBOCAN 2012:
Estimated cancer incidence, mortality, and prevalence worldwide in 2012.
Retrived from : http://globocan.iarc.fr/Pages/fact_sheets_population.aspx.
Keliat. B.A. (1998). Penatalaksanaan Stres. Jakarta: EGC.
Kementerian Kesehatan RI. (2015). Pusat Data & Informasi Situasi Penyakit
Kanker di Indonesia. Jakarta : Pusat Data & Informasi Kemenkes RI
Kumar, S. & Pandey, A. (2013). Chemistry and Biological Activities of Flavonoids:
An Overview, The ScientificWorld Journal. (1-16)
Mansjoer, A. 2007. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid Satu. Edisi Ketiga, Jakarta:
Media Aesculapius FKUI.
Moorhead, Sue et al. (2008). Nursing Outcomes Classification : Fourth Edition.
United States of America : Mosby
NANDA International. (2011). Diagnosis Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi
2012-2014. Jakarta : EGC
Nevid, Jeffrey S dkk. (2003). Psikologi Abnormal Edisi Kelima. Jilid 1. Jakarta:
Erlangga
Pellowski, Anne. (1977). The World of Storytelling. New York: R.K. Broker
PERABOI, (2002). Protokol Penatalaksanaan Kanker Payudara Perhimpunan
Ahli Bedah Onkologi Indonesia (PERABOI) 2002. http://www.gatra.com.
Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. (1994). Patofisiologi : Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC
Putri, Henny. (2009). Manajemen Karsinoma Serviks. Yogyakarta: Bagian Obstetri
dan Ginekologi Fakultas Kedokteran UGM
Rasjidi Imam. (2008). Manual Prakanker Serviks. Ed 1th. Jakarta: Sagung Seto
Smeltzer, S. dan Bare, B. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
& Suddarth. Volume 2. Edisi 8, Jakarta: EGC
Sukardja, I.D.G. (2000). Onkologi Klinik. Edisi 2. Surabaya: Airlangga University
Press.
Wiknjosastro, H. (2007). Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo
LAPORAN PENDAHULUAN
OLEH: