Disusun oleh :
Pembimbing:
dr. Nunuk Sri Muktiati, Sp.P
0
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) adalah salah satu penyakit paru yang menjadi
pemasalahan kesehatan global yang harus segera diatasi. Penyakit ini
merupakan masalah kesehatan utama di seluruh dunia. Penyakit TB ditemukan
pada hampir setiap negara di dunia dan 80% dari kasus diperkirakan terjadi di 22
negara berkembang termasuk Indonesia (Lantos-Hyde, 2010). Indonesia
menduduki peringkat kelima setelah India, Cina, Afrika Selatan, dan Nigeria dari
22 negara yang memiliki angka penyakit TB tertinggi.
TB sendiri merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang lurus tidak berspora
dan tidak berkpasul. Penyusun utama dinding sel M.tuberculosis ialah asam
mikolat, complex waxes, trehalosa dimikolat yang disebut cord factor dan
mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Yang khas dari bakteri
ini adalah sifatnya yang tahan asam, yaitu apabila diwarnai akan tetap tahan
terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan alkohol asam.
Oleh karenanya disebut bakteri tahan asam.
Pasien dengan lung TB sering sekali diikuti oleh infeksi sekunder pada
paru. Yang tersering adalah pneumonia. Pneumonia sendiri adalah peradangan
paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit),
pneumonia yang disebabkan M.tuberculosis tidak termasuk. Pneumonia sendiri
dibagi menjadi dua kelompok besar yakni, CAP (Comunity Aquired Pneumonia)/
Pneumonia komuniti, pneumonia yang didapatkan di masyarakat dan HAP
(Hospital Aquired Pneumonia) pneumonia yang disebabkan oleh infeksi
nosokomial. Pneumonia sering menjadi faktok komorbid pada pasien dengan
lung TB, di RSUD dr Soetomo Surabaya didapatkan data sekitar 180 pneumonia
komuniti dengan angka kematian antara 20-35%.
Penderita lung TB yang disertai dengan pneumonia juga sering menjadi
alasan dilakukan rawat inap di rumah sakit. Pada responsi ini akan disajikan
kasus lung TB yang disertai infeksi sekunder berupa pneumonia komuniti.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tuberkulosis
2.1.1 Definisi
Tuberkulosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis.
Gambar
2.1
Bentuk
koloni
dan
2
MTB tidak diklasifikasikan ke dalam gram positif atau negatif, karena
bakteri ini tidak memiliki karakteristik kimia dari jenis bakteri gram positif atau
negatif, meskipun MTB juga mengandung peptidoglikan (murein) pada dinding
selnya (Todar, 2009). Bakteri ini digolongkan ke dalam bakteri tahan asam, oleh
karena sifat impermeabel dari bakteri ini terhadap zat pewarna yang biasa
dipakai untuk mewarnai bakteri. Namun, jika telah berhasil tercat, bakteri ini
mampu mempertahankan warna tersebut meskipun dipanaskan atau diberi
komponen asam. Salah satu metode pewarnaannya adalah dengan pewarnaan
Ziehl-Neelsen (Brooks et al., 2007).
MTB mengandung tiga konstituen utama yang berperan pada reaksi imun
tubuh, yang terdapat pada dinding sel bakteri, yaitu lipid, protein, dan
polisakarida. Lipid adalah penyusun terbesar dari dinding sel bakteri. Salah
satunya adalah asam mikolat (asam lemak rantai panjang C78-C90) yang
berperan pada kemampuan bakteri untuk bertahan hidup di dalam makrofag.
Selain asam mikolat, mycobacterium mengandung berbagai macam protein yang
mampu merangsang reaksi imun seperti pada uji tuberkulin. (Brooks et al., 2007).
2.1.3 Patogenesis
Sumber penularan adalah penderita tuberkulosis BTA positif pada waktu
batuk atau bersin. Penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet
(percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara
pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet
tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman tuberkulosis
masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman tuberkulosis tersebut
dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran
darah, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya.
Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak,
makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak
terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Seseorang
terinfeksi tuberkulosis ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan
lamanya menghirup udara tersebut.
Secara klinis, tuberkulosis dapat terjadi melalui infeksi primer dan pasca
primer. Infeksi primer terjadi saat seseorang terkena kuman tuberkulosis untuk
pertama kalinya. Setelah terjadi infeksi melalui saluran pernafasan, di dalam
3
alveoli terjadi peradangan. Hal ini disebabkan oleh kuman tuberkulosis yang
berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru. Waktu terjadinya infeksi
hingga pembentukan komplek primer adalah sekitar 4-6 minggu. Kelanjutan
infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan respon daya
tahan tubuh dapat menghentikan perkembangan kuman TB dengan cara
menyelubungi kuman dengan jaringan pengikat. Ada beberapa kuman yang
menetap sebagai “persister” atau “dormant”, sehingga daya tahan tubuh tidak
dapat menghentikan perkembangbiakan kuman, akibatnya yang bersangkutan
akan menjadi penderita tuberkulosis dalam beberapa bulan. Pada infeksi primer
ini biasanya menjadi abses (terselubung) dan berlangsung tanpa gejala, hanya
batuk dan nafas berbunyi. Tetapi pada orang-orang dengan sistem imun lemah
dapat timbul radang paru hebat, ciri-cirinya batuk kronik dan bersifat sangat
menular.
Infeksi pasca primer terjadi setelah beberapa bulan atau tahun setelah
infeksi primer. Ciri khas tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang
luas dengan terjadinya efusi pleura.
Risiko terinfeksi tuberkulosis sebagian besar adalah faktor risiko
eksternal, terutama adalah faktor lingkungan seperti rumah tak sehat,
pemukiman padat dan kumuh. Sedangkan risiko menjadi sakit tuberkulosis,
sebagian besar adalah faktor internal dalam tubuh penderita sendiri yang
disebabkan oleh terganggunya sistem kekebalan dalam tubuh penderita seperti
kurang gizi, infeksi HIV/AIDS, dan pengobatan dengan immunosupresan.
2.1.4 Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis paru ditegakkan melalui pemeriksaan gejala klinis,
mikrobiologi, radiologi, dan patologi klinik. Pada program tuberkulosis nasional,
penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis
utama. Pemeriksaan lain seperti radiologi, biakan dan uji kepekaan dapat
digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.
Tidak dibenarkan mendiagnosis tuberkulosis hanya berdasarkan pemeriksaan
foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada
TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.
4
2.1.5 Manifestasi Klinis
Gejala utama pasien tuberkulosis paru adalah batuk berdahak selama 2-3
minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak
bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik dan
demam meriang lebih dari satu bulan. Mengingat prevalensi tuberkulosis di
Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang dengan gejala
tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien
tuberkulosis dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis
langsung.
5
Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopik:
1. Tuberkulosis paru BTA positif.
1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
2) Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.
3) Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman
tuberkulosis positif.
4) Satu atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen
dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan
tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
2. Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada tuberkulosis paru BTA positif. Kriteria
diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
1) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.
2) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
3) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
4) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
6
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas,
dalam kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan
hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan
ulangan (Depkes RI, 2006).
2.1.8 Pengobatan
Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan pasien,
mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan
mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Mikobakteri merupakan
kuman tahan asam yang sifatnya berbeda dengan kuman lain karena tumbuhnya
sangat lambat dan cepat sekali timbul resistensi bila terpajan dengan satu obat.
Umumnya antibiotika bekerja lebih aktif terhadap kuman yang cepat membelah
dibandingkan dengan kuman yang lambat membelah. Sifat lambat membelah
yang dimiliki mikobakteri merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
perkembangan penemuan obat antimikobakteri baru jauh lebih sulit dan lambat
dibandingkan antibakteri lain (Istiantoro dan Setiabudy, 2007).
Obat yang digunakan untuk tuberkulosis digolongkan atas dua kelompok
yaitu kelompok pertama dan kelompok kedua. Kelompok obat pertama yaitu
rifampisin, isoniazid, pirazinamid, etambutol dan streptomisin. Kelompok obat ini
memperlihatkan efektivitas yang tinggi dengan toksisitas yang dapat diterima.
(Depkes RI, 2006). Jenis dan dosis OAT dapat dilihat pada Tabel 2.1.
7
rendah daripada OAT kelompok pertama juga meningkatkan terjadinya risiko
resistensi pada OAT kelompok kedua (Depkes RI, 2006).
8
Berat badan (kg) Tahap intensif tiap hari Tahap lanjutan 3 kali
selama 56 hari RHZE seminggu selama 16
(150/75/400/275) minggu (150/150)
30-37 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT
38-54 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT
55-70 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT
>= 71 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT
2. Kategori dua
Kategori dua diobati dengan kombinasi 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HRE)3.
Tahap intensif diberikan selama tiga bulan, yang terdiri dari dua bulan dengan
HRZES setiap hari, dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari. Setelah itu
diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan
tiga kali dalam seminggu. Paduan obat antituberkulosis ini diberikan untuk pasien
BTA positif yang telah diobati sebelumnya yaitu pasien kambuh, pasien gagal,
pasien dengan pengobatan setelah default (terputus). Dosis obat antituberkulosis
untuk kategori dua dapat dilihat pada tabel 2.3.
9
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari
bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli, serta
menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat.
Pada pemeriksaan histologis terdapat pneumonitis atau reaksi inflamasi berupa
alveolitis dan pengumpulan eksudat yang dapat ditimbulkan oleh berbagai
penyebab dan berlangsung dalam jangka waktu yang bervariasi.
Pneumonia komuniti adalah pneumonia yang didapat di masyarakat.
Pneumonia komuniti ini merupakan masalah kesehatan yang menyebabkan
angka kematian tinggi di dunia.
2.2.2 Etiologi
Menurut kepustakaan penyebab pneumonia komuniti banyak disebabkan
bakteri gram positif dan dapat pula bakteri atipik. Akhir-akhir ini laporan dari
beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan dari
pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri gram negatif.
Berdasarkan laporan 5 tahun teralhir dari beberapa pusat paru di
Indonesia didapatkan hasil pemeriksaan sputum sebagai berikut:
- Klebsiella pneumonia 45,18%
- Streptococcus pneumonia 14,04%
- Streptococcus viridans 9,21%
- Staphylococcus aureus 9%
- Pseudomonas aeurginosa 8,56%
- Streptococcus B hemolyticus 7,89%
- Enterobacter 5,26%
- Pseudomonas spp 0,9%
2.2.3 Diagnosis
Diagnosis pneumonia komuniti didapatkan dari anamnesis, gejala klinis,
pemeriksaan fisis, foto thoraks, dan laboratorium. Diagnosis pasti ditegakkan jika
pada foto thoraks terdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif bertambah dengan
2 atau lebih gejala di bawah ini:
- Batuk-batuk bertambah
- Perubahan karakteristik dahak/purulen
10
- Suhu tubuh >= 38 C (aksila)/riwayat demam
- Pemeriksaan fisis: ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara nafas
bronkial atau ronkhi
- Leukosit >= 10.000 atau <4500
11
Renal disease +10
Physical Exam Findings
Altered mental status +20
Pulse ≥125/minute +10
Respiratory rate >30/minute +20
Systolic blood pressure <90 mm Hg +20
Temperature <35°C or ≥40°C +15
Lab and Radiographic Findings
Arterial pH <7.35 +30
Blood urea nitrogen ≥30 mg/dl (9 mmol/liter) +20
Sodium <130 mmol/liter +20
Glucose ≥250 mg/dl (14 mmol/liter) +10
Hematocrit <30% +10
Partial pressure of arterial O2 <60mmHg +10
Pleural effusion +10
Menurut ATS krieria pneumonia berat bila dijumpai salah satu atau lebih kriteria
di bawah ini:
Kriteria minor:
- Frekuensi nafas > 30x/menit
- PaO2/FiO2 kurang dari 250 mmHg
- Foto thoraks paru menunjukkan kelainan bilateral
- Foto thoraks paru melibatkan > 2 lobus
- Tekanan sistolik < 90 mmHg
- Tekanan diastolik < 60 mmHg
Kriteria mayor adalah sebagai berikut:
- Membutuhkan ventilasi mekanik
- Infiltrat bertambah >50%
- Membutuhkan vasopresor > 4 jam (septic syok)
- Kreatinin serum >= 2mg/dl atau peningkatan >= 2 mg/dl pada penderita
riw penyakit ginjal atau gagal ginjal yang membutuhkan dialisis
12
Berdasarkan kesepakatan PDPI, kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat inap
pneumonia komuniti adalah:
1. Skor PORT > 70
2. Bila skor PORT < 70 maka penderita tetap perlu dirawat inap bila dijumpai
salah satu dari kriteria di bawah ini:
a. Frekuensi nafas > 30x/menit
b. PaO2/FiO2 kurang dari 250 mmHg
c. Foto thoraks paru menunjukkan kelainan bilateral
d. Foto thoraks paru melibatkan > 2 lobus
e. Tekanan sistolik < 90 mmHg
f. Tekanan diastolik < 60 mmHg
3. Pneumonia pada penggunaan NAPZA
2.2.5 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pneumonia komuniti dibagi menjadi:
A. penderita rawat jalan
- pengobatan suportif/simptomatik
a. istirahat di tempat tidur
b. minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi
c. bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas
d. bila perlu diberikan mukolitik dan ekspektoran
pemberian antibiotik harus diberikan kurang dari 8 jam
13
c. Pemberian obat simptomatik seperti antipiretik dan mukolitik
- pengobatan antibiotik harus diberikan kurang dari 8 jam
14
pseudomonas:
>> Sefalosporin anti pseudomonas iv
atau karbapenem iv + fluoroquinolone
anti pseudomonas (ciprofloxacin) iv
atau aminoglikosida iv
>> Bila curiga disertai infeksi bakteri
atipik sefalosporin anti pseudomonas iv
atau karbapenem iv + aminoglikosida iv
+ macrolide baru atau fluoroquinolone
respirasi iv
BAB III
LAPORAN KASUS
15
Suku : Jawa
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Status kawin : Belum Kawin
No RM : 11105025/1310170
MRS : 30 April 2013
3.2 Anamnesis
Anamnesis (Autoanamnesis, 30 Mei 2013)
Pasien mengeluh sesak sejak 2 bulan yang lalu. Sesak timbul jika batuk
dan beraktifitas berat (jalan lebih dari 7 rumah). Sesak bertambah berat 2 minggu
ini.
Pasien juga mengelu batuk sejak 3 tahun yang lalu. Batuk kumat-
kumatan. Batuk sejak 3 tahun yang lalu. Batuk memberat 2 minggu terakhir. Dua
minggu terkahir batuk berdahak wana kuning kecoklatan. Pasien pernah batuk
darah 3 bulan yang lalu kurang lebih 6 gelas.
Pasien juga mengeluh nyeri dada. Nyeri di dada sebelah kanan. Nyeri
seperti ditusuk. Nyeri dirasakan ketika batuk. Nyeri tidak menjalar.
Pasien demam sejak 2 minggu yang lalu. demam tinggi. Pasien juga
mengeluh sering berkeringat malam hari walaupun tidak sedang beraktivitas.
Pasien pernah didiagnosa TBC oleh dokter pada tahun 2009. Pasien
disarankan menjalankan pengobatan selama 6 bulan oleh dokter. Namun, pasien
menghentikan sendiri pengobatan pada bulan ke-2 karena pasien merasa sudah
16
membaik. Tiga bulan yang lalu, pasien pernah dibawa ke UGD RSSA karena
batuk darah kurang lebih 6 gelas. Pasien diberi pengobatan dan dirawat jalan.
Pasien merupakan karyawan pabrik plastic dan belum menikah. Riwayat merokok
sejak umur 15 tahun dan berhenti sejak 3 bulan yang lalu. pasien pernah ditato di
lengan kanannya. Penatoan dialakuakn bersama-sama dengan teman-temannya.
Teman-teman pasien merupakan pengguna obat-obatan seperti pil koplo. Riwayat
menggunakan narkoba disangkal. Pasien juga tidak pernah melakukan hubungan
seks bebas.
Abdomen Flat, soefl, BS (N), Liver span 8 cm, traube’s space tympani,
shifting dullness
Extremities Warm acral (+), edema (-)
17
Nilai Satuan Nilai Normal
Hitung Jenis:
7,3 % 25-33
9,1 % 2-5
18
Asam urat 3,0 Mg/dl 3,4-7,0
pH 7,39 7,35-7,45
Saturasi O2 82 % >95%
19
CXR 3 Maret 2013
AP position, asymmetry, less inspiration
Soft tissue : thin
Bone : dextra dan sinistra normal,
Trakea : di tengah
Hillus : D tertutup fibroinfiltrat, S tertutup bayangan fibroinfiltrat
Cor : letak : norml
ukuran : normal, CTR 55%
bentuk: normal
Hemidiafragma : dextra: flattening (+), tenting (+)
Sinistra: domeshape
Sinus costophrenicus : dextra tajam, sinistra : tajam
Pulmo : destra: fibroinfiltrat di lapang pandang atas (konsolidasi), kavitas multiple
ukuran 0,1-0,3 cm, kavitas multiple ukuran 0,1-0,3 cm, air bronchogram (+),
penebalan fissur
20
: sinistra : fibroinfiltrat di lapangan pandang atas dan tengah paru kavitas
multiple ukuran 0,1-0,3 cm.
Kesimpulan TB paru far advanced lesion, pneumonia lobar, pleuritic process
21
sering berkeringat malam hari - - + - HCO3 : 17,9
walaupun tidak sedang BE : -7,3
Pasien pernah
didiagnosa TBC oleh dokter
pada tahun 2009. Pasien
disarankan menjalankan
pengobatan selama 6 bulan
oleh dokter. Namun, pasien
menghentikan sendiri
pengobatan pada bulan ke-2
karena pasien merasa sudah
membaik. Tiga bulan yang lalu,
pasien pernah dibawa ke UGD
RSSA karena batuk darah
kurang lebih 6 gelas. Pasien
diberi pengobatan dan dirawat
22
jalan.
23
Cue & Clue Problem List Initial Dx. Planning Dx. Planning Tx. Planning
Mo.
1. Tn. T/ 28 tahun 1. Acute Lung 1.1 Pneumonia CAP Sputum gram, O2 9 lt/mnt, NRBM Sesak, VS
- Sesak memberat 2 Infection PS 48 RC II + culture, and Inj Ceftriaxon 2x1 gr iv
minggu Septic Condition sensitivity test Inj Levofloxacin 1x750 mg
- Batuk dahak kuning Blood culture PO : Ambroxol 3x30 mg
kecoklatan
- Demam tinggi
TD : 110/70 N : 120 x/m
RR : 28x/m
Tax: 39,4
Tho: simetris
Pal: SF ↓ N
↓ N
NN
Per: D S
S S
S S
A: bV bV Rh: + +
bV v + -
v v + -
24
Wh - - egophoni + -
-- + -
-- - -
Leuco : 12.800
Neutrofilia 83% 10.800
25
CXR:infiltrate di lapang
pandang tengah paru kanan
dan lapang pandang atas
dan tengah paru kiri, kavitas
multiple di kedua paru
dengan ukuran 0,1 – 0,3 cm
3. Ny.L/39 tahun 3. Anemia HM 3.1 Infeksi kronik Subj
- Sesak Keluhan
Lab: Hb 12
MCV 77,4
MCH 26,2
Albumin 2,69 4.Hipoalbumin 4.1 Katabolic state Diet TKTP 1600 kkal/hari Albumin
4.2 Low protein intake Ekstrak ikan kutuk
Ax factor resiko HIV 5.1 HIV stage III Konsul poli VCT Konfirmasi diagnosis
- tato (+) Determinant test
↓ BB
TB paru 2 tahun terakhir
Ax:mual, muntah 6. Dyspepsia 6.1 PUD Inj. Ranitidin 2 x 50mg
Syndrom 6.2 Drug Induced Inj. Metoclopramid 3 x 10 mg
26
Na : 124 Hipoosmolar 7.2 diuretic
Osmolaritas : 260 Hipovolemic
Daldiyono skor 2
27
3.5 Follow Up Harian
SF ↓ N OAT kategori II
↓N
NN
28
BV bV Wh - - Rh + +
BV V -- + -
bV V -- + -
29
LHM = ictus Hipovolemic Inj Metoclopramid 3x 1
RHM = SL D PO
S1S2 single regular GG 3 x 100
M (-) , g (-) OAT kategori II
P/ I: simetris
SF ↓ N
↓N
NN
BV bV Wh - - Rh + +
BV V -- + -
bV V -- + -
30
Nyeri dada sebelah TD : 120/60 mmHg, N : 80x/menit 2. Lung TB far Tunggu jawaban poli VCT
o
kanan saat batuk RR : 20x/menit Tax : 36,7 C advanced lesion PTx :
K/L : an -/-, ict -/- 3. Anemia HM O2 8-10 lpm NRBM
JVP R+ 0 cm H2O 4. Hipoalbuminemia IVFD NaCl 0.9% 20 tpm
Thorax : 5. HIV st III Inj Ceftriaxone 2 x 1 gr (H3)
C/ ictus invisible and palpable at 6. Hiponatremi Inj. Levofloxacin 1 x 750 mg(H3)
ICS V, MCL S Hipoosmolar
Inj Ranitidin 2 x 1 amp
LHM = ictus Hipovolemic
Inj Metoclopramid 3x 1
RHM = SL D
PO
S1S2 single regular
GG 3 x 100
M (-) , g (-)
Mulai OAT kategori II
P/ I: simetris
SF ↓ N
↓N
NN
BV bV Wh - - Rh + +
BV V -- + -
bV V -- + -
31
N, liver span 8 cm, troube space
dullness, shifting dullness (-)
Ekstremitas :
Edema - -
--
3 Mei 2013 Sesak ↓ KU : Tampak sakit berat 1. Pneumonia CAP PS PDx :
Batuk + berdahak GCS : 456 48 RC II Tunggu hasil determinat test
Nyeri saat batuk TD : 110/90 mmHg, N : 88x/menit 2. Lung TB far PTx :
RR : 22x/menit Tax : 36,8o C advanced lesion O2 8-10 lpm NRBM
K/L : an -/-, ict -/- 3. Anemia HM IVFD NaCl 0.9% 20 tpm
JVP R+ 0 cm H2O 4. Hipoalbuminemia Inj Ceftriaxone 2 x 1 gr (H4)
Thorax : 5. HIV st III Inj. Levofloxacin 1 x 750 mg(H4)
C/ ictus invisible and palpable at 6. Hiponatremi
Inj Ranitidin 2 x 1 amp
ICS V, MCL S Hipoosmolar
Inj Metoclopramid 3x 1
LHM = ictus Hipovolemic
PO
RHM = SL D
GG 3 x 100
S1S2 single regular
OAT kategori II
M (-) , g (-)
P/ I: simetris
SF ↓ N
↓N
32
NN
BV bV Wh - - Rh + +
BV V -- + -
bV V -- + -
33
LHM = ictus Hipovolemic Inj Metoclopramid 3x 1
RHM = SL D PO
S1S2 single regular GG 3 x 100
M (-) , g (-) OAT kategori II
P/ I: simetris
SF ↓ N
↓N
NN
BV bV Wh - - Rh + +
BV V -- + -
bV V -- + -
34
5 Mei 2013 Sesak (-) KU : Tampak sakit berat 1. Pneumonia CAP PS PDx :
Batuk (+) berdahak GCS : 456 48 RC II DL Ulang
TD : 100/60 mmHg, N : 70x/menit 2. Lung TB far SE Ulang
RR : 20x/menit Tax : 36,4o C advanced lesion PTx :
K/L : an -/-, ict -/- 3. Anemia HM O2 8-10 lpm NRBM
JVP R+ 0 cm H2O 4. Hipoalbuminemia IVFD NaCl 0.9% 20 tpm
Thorax : 5. Hiponatremi Inj Ceftriaxone 2 x 1 gr (H6)
C/ ictus invisible and palpable at Hipoosmolar
Inj. Levofloxacin 1 x 750 mg(H6)
ICS V, MCL S Hipovolemic
Inj Ranitidin 2 x 1 amp
LHM = ictus
Inj Metoclopramid 3x 1
RHM = SL D
PO
S1S2 single regular
GG 3 x 100
M (-) , g (-)
OAT kategori II
P/ I: simetris
SF ↓ N
↓N
NN
BV bV Wh - - Rh + +
BV V -- + -
bV V -- + -
35
Abdomen : Flat, soefl, BU (+)
N, liver span 8 cm, troube space
dullness, shifting dullness (-)
Ekstremitas :
Edema - -
--
Leukosit: 7.840
SGOT/PT : 50/40
Na/K/Cl : 132/2,69/101
6 Mei 2013 Batuk (+) KU : Tampak sakit berat 1. Lung TB far PDx :
GCS : 456 advanced lesion PTx :
TD : 100/70 mmHg, N : 86x/menit 2. Anemia HM O2 8-10 lpm NRBM
RR : 18x/menit Tax : 36o C 3. Hipoalbuminemia IVFD NaCl 0.9% 20 tpm
K/L : an -/-, ict -/- 4. Hiponatremi Inj Ceftriaxone 2 x 1 gr (H1)
JVP R+ 0 cm H2O Hipoosmolar Inj. Levofloxacin 1 x 750 mg(H1)
Thorax : Hipovolemic Inj Ranitidin 2 x 1 amp
C/ ictus invisible and palpable at
Inj Metoclopramid 3x 1
ICS V, MCL S
PO
LHM = ictus
GG 3 x 100
RHM = SL D
OAT kategori II
36
S1S2 single regular
M (-) , g (-)
P/ I: simetris
SF ↓ N
↓N
NN
BV bV Wh - - Rh + +
BV V -- + -
bV V -- + -
37
BAB IV
PEMBAHASAN
38
Sedangkan dari faktor non cardiogenik bisa disebabkan karena pneumonia (batuk
memberat, perubahan karakteristik dahak/purulen, nyeri dada) atau tuberkulosis (batuk
lama sekitar 3 bulan, nyeri dada, nafsu makan menurun, berat badan menurun). Pada
pasien ini terdapat riwayat pengobatan tuberculosis paru 3 tahun yang lalu. Namun
hanya mengkonsusi obat selama 2 bulan dan mengehentikannya sendiri karena dirasa
telah membeaik (kasus putus obat/ drop out). Kemungkinan kuman-kuman TB pada
pasien ini belum sepenuhnya tereradikasi sehingga memungkinkan terjadinya infeksi
ulang. Kemungkinan TB paru masih harus dikonfirmasi melalui pemeriksaan sputum
SPS, walaupun gambaran radiologi menggambarkan TB paru far advanced lesion.
Selain itu pada kasus pasien putus obat dan kembali lagi berobat dengan gejala yang
sama harus dipikirkan adanya TB-MDR (PDPI, 2011). Adanya riwayat batuk darah
pada pasien ini menguatkan dugaan TB paru pada pasien ini, walaupun batuk darah
bias disebabkan oleh sebab lain seperti misalnya kanker paru.
Pasien mengeluh demam tinggi 2 minggu SMRS. Pasien juga mengeluh
keringat malam hari, pusing, mual, muntah, nafsu makan menurun, berat badan
menurun 5 kg dalam 3 bulan. Gejala ini merupakan manifestasi sistemik dari infeksi.
Demam akut dapat merupakan infeksi akut. .Adanya anemia hipokrom mikrositer
merupakan salah satu tanda adanya infeksi kronik pada pasien ini.Infeksi kronis
dengan penurunan BB khas pada TB.
Pada pasien ini didapatkan factor resiko adanya HIV stage III yaitu bertato,
penurunan berat badan, dan TB paru 1 tahun terakhir. Namun, hasil pemeriksaan
determinant tes tidak reaktif sehingga kemungkinan HIV bisa disingkirkan.
Pada pemeriksaan fisik pasien didapatkan TD 110/80, N : 120x/menit, RR :
28x/menit. Pada inspeksi thorax, didapatkan, simetris. Pada saat palpasi stem
fremitus, terdapat peningkatan getaran suara paru kanan area atas hal ini disebabkan
adanya konsolidasi (pemadatan) paru yang menyebabkan peningkatan getaran suara
hingga ke dinding dada. Pada auskultasi didapatkan bronkovasikuler pada paru kanan,
dan ronkhi di paru sebelah kanan.juga didapatkan egofoni pada paru kanan area atas.
Tanda klinis ini (konsolidasi, egofoni yang merupakan tanda khas pada pneumonia)
mengarah pada gangguan paru yaitu pnemonia dengan septic condition (nadi > 120x
RR >20x). Hal ini juga ditunjang oleh hasil laboratorium yaitu terjadinya peningkatan
leukocyte (12800, neutrophil dominan dengan peningkatan monosit) dan dari
gambaran foto thorax didapatkan gambaran fibroinfiltrat dan gambaran air
bronchogram di paru kanan yang merupakan salah satu tanda pneumonia. Adanya
39
infiltrat pada kedua paru dan kavitas multiple mengrah mengarah ke gambaran TB
paru far advanced lesion.
Kasus ini merupakan kasus TB paru dengan infeksi sekunder pneumonia.
Penanganan kedua kasus tersebut sangat berbeda. Pada kasus ini pasien merupakan
kasus putus obat karena pasien telah menjalani pengobatan > 1 bulan dan tidak
mengambil obat berturut-turut selama 2 bulan, sehingga pasien ini merupakan pasien
kategori II. Regimen pengobatan kategori II adalah 2RHZES/RHZE/5RHE dimana fase
intensif 3 bulan dan 5 bulan fase lanjutan. Pada pasien (berat 44 kg) ini dignakan obat
terpisah (bukan FDC atau kombipak) dengan Rifampisin 450 mg, isoniazid 300 mg,
pirazinamid 1000 mg dan etambutol 750 mg dan streptomisin yang diinjeksi
intramuscular 750 mg setiap hari pada fase intensif. Pada bulan ke tiga fase intensif
streptomisin tidak diberikan. Pada kasus TB paru putus obat harus dicurigai adanya
TB-MDR. TB-MDR ditegakkan dengan adanya resistensi setidaknya rifampisin dan
isoniazid. Karena itu dilakukan kultur dan uji sensitivtas pada pasien ini.
Pada pasien ini juga didapatkan pneumonia komuniti dengan skor PORT 48
(usia 28 + natrium < 130). Tingkatan resiko pasien ini adalah II. PORT skor dan
tingkatan kelas menunjukkan perlu tidaknya pasien dirawat di RS. Pada pasien ini
walaupun didapatkan skor PORT 48 dan tingkatan kelas II tetap drawat di RS karena
adanya keterlibatan paru bilateral dan melibatkan 2 lobus. Terapi pada pasien
pneumonia komuniti didasarkan pada rawat jalan atau rawat inap, ada atau tidaknya
factor modifikasi. Pada pasien ini terdapat satu faktor modifikasi yaitu gizi kurang
sehingga regimen terapinya adalah sefalosporin generasi 3 atau ciprofloxacin respirasi
iv (levofloxacin). Terapi IV dihentikan pada hari ke-4 diganti dengan oral.
40
BAB V
KESIMPULAN
41
DAFTAR PUSTAKA
Alsagaff, Hood dan H. Abdul Mukty. 2002. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya:
Airlangga University Press
Amin, Z. dan Bahar, A. 2007. Tuberkulosis Paru. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi
4. FKUI, Jakarta hlm 988-994.
Bahar, Asril. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Ed. 3. Jakarta: Balai Penerbit
FK UI
Richard W. Light. 2005. Harrison's Principles of Internal Medicine 16th Edition. Editor:
Dennis L. Kasper, Eugene Braunwald, Anthony Fauci, Stephen Hauser, Dan
Longo, J. Larry Jameson. McGraw-Hill Professional.
42