Anda di halaman 1dari 31

Case Report Session

SINDROM GUILLAIN BARRÉ

OLEH

Fariz Hidayatullah 1840312247

PRESEPTOR

Dr. Restu Susanti, Sp S. M. Biomed

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

2019
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sindrom Guillain-Barré dapat mengakibatkan kelemahan yang mengancam

nyawa. Sindrom ini biasanya terjadi satu atau dua minggu setelah infeksi.

Pasien akan mengeluhkan kelemahan pada anggota tubuh dan terjadi

perburukan gejala sensorik dari hari ke hari dalam masa dua minggu tersebut.

Penyakit ini dapat sembuh sendiri dalam beberapa hari tanpa meninggalkan

cacat. Tetapi, tidak jarang pula penyakit ini menyebabkan kelumpuhan yang

sangat serius pada tungkai, otot-otot dada, dan otot-otot yang dipersarafi oleh

saraf kranial. Bahkan pada kasus keterlibatan saraf otonom, dapat menyebabkan

kenaikan dan penurunan denyut jantung dan tekanan darah secara tidak

menentu.1

Pasien dengan Sindrom Guillain-Barré perlu dirawat di rumah sakit sampai

yakin bahwa kerusakan telah teratasi, karena kelemahan yang terjadi pada otot

dada membutuhkan tatalaksana ventilasi. Penderita sering kali membutuhkan

dukunagn psikologis dan fisik yang baik dalam proses tatalaksana dan

pemulihan penyakit ini. Umumnya prognosis baik, tetapi pemulihan

membutuhkan waktu yang cukup lama yaitu beberapa minggu atau bulan.1

1.2 Batasan Masalah

Case report ini membahas mengenai definisi, epidemiologi, etiologi,

patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, tatalaksana dan prognosis sindrom

guillain Barré.
1.3 Tujuan Penulisan

Menambah pengetahuan tentang definisi, etiologi, patofisiologi, manifestasi

klinis, diagnosis, tatalaksana dan prognosis dari sindrom guillain Barré.

1.4 Metode Penulisan

Case report ini ditulis dengan metode studi kepustakaan yang merujuk ke

berbagai literatur
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Sindrom Guillain Barré (SGB) merupakan penyakit poliradikulitis akut

yang ditandai dengan parese yang akut yang sifatnya asending, disertai

gangguan sensorik ringan, dan pada kasus yang parah dapat terjadi gangguan

saraf kranial dan sistem otonom, kelemahan terutama terjadi pada otot.2 Hal

tersebut terjadi akibat sistem kekebalan tubuh menyerang saraf tepi.3

2.2 Epidemiologi

Sindrom Guillain Barré dapat terjadi pada semua usia. Angka

kejadiannya mencapai 0,5-2 kasus per 100.000 orang. Cenderung muncul pada

musim semi atau musim gugur.2 Kemungkinan untuk menderita SGB seumur

hidup dari setiap individu yang menderita GBS adalah 1:1000. Insiden tiap

subtype GBS berbeda-beda di berbagai bagian dunia. Di Eropa dan Amerika

Utara AIDP adalah yang paling sering terjadi mencapai 90% kasus. Sementara

di Cina dan Jepang, yang paling sering terjadi adalah tipe AMAN. Berbeda

dengan India untuk kejadian AIDP dan AMAN jumlahnya hamper sama,

meskipun di daerah tersebut AMAN lebih sering terjadi pada pasien yang lebih

muda. Di Negara-negara barat, SGB umumnya terjadi pada dekade ke-5,

sementara di India lebih sering terjadi pada usia yang lebih muda.4
2.3. Etiologi

Dahulu diduga SGB disebabkan oleh infeksi virus. Tetapi seiring dengan

kemajuan penelitian, terungkap bahwa SGB merupakan kelainan imunobiologik,

baik secara primary immune response maupun immune mediated response.

Sindrom ini mungkin terjadi memiliki lebih dari satu penyebab. Dua pertiga

penderita berhubungan dengan penyakit infeksi atau kejadian akut. Pada beberapa

pasien didahului oleh infeksi Mycoplasma pneumonia atau infeksi virus varisela

zoster, paramyxovirus, HIV, Epstein Barr Virus, atau Campylobacter jejuni.

Campylobacter jejuni merupakan pencetus paling sering dalam kejadian SGB.2,5

2.4 Klasifikasi

Berdasarkan perbedaan elektrodiagnostik dan patologinya SGB

diklasifikasikan menjadi beberapa subtype yaitu:6

Tabel 2.1. Subtipe Sindrom Guillain Barre


2.5 Patofisiologi

Mekanisme terjadinya SGB diyakini sebagai neuropati inflamasi karena

reaktivitas silang antara antigen neural dan antibodi yang diinduksi oleh infeksi

tertentu. Organisme seperti C. jejuni, mengekspresikan lipooligosakarida di dinding

bakteri yang mirip dengan gangliosida. Mimikri molekuler ini menciptakan

antibodi antigangliosida yang menyerang saraf. Antibodi spesifik yang dirangsang

dan area targetnya di saraf dapat menjelaskan subtipe berbeda dari SGB. Kurang

dari satu per 1.000 pasien dengan infeksi C. jejuni akan berkembang menjadi SGB,

faktor host berperan penting dalam proses patologis. Namun, hingga saat ini belum

dapat diidentifikasi faktor-faktor yang meningkatkan risiko seseorang berkembang

menjadi SGB. Penyakit ini menyebabkan gejala melalui area multifokal infiltrasi

sel mononuklear di saraf perifer. Lokasi dan keparahan peradangan sesuai dengan

manifestasi klinis. Dalam AIDP, mielin sebagian besar rusak, sedangkan pada

neuropati aksonal motorik akut, yang dirusak adalah nodus Ranvier.

2.6 Manifestasi Klinis

Gejala awal dari SGB ditandai dengan terjadinya kelemahan pada tungkai

bawah, mulai dari distal, yang didahului infeksi saluran pernapasan atas atau

gastrointestinal sebelumnya. Tidak ada demam. Kelemahan meningkat dalam

beberapa jam atau hari, sehingga pasien tidak dapat berjalan. Pada sebagian besar

pasien dapat terjadi gangguan sensorik yang sifatnya ringan. Kelemahan terjadi

pada otot diafragma, diafragma, dan otot pernafasan, otot kepala dan leher yang

dipersarafi oleh saraf kranial. Kegagalan pernafasan sering terjadi dengan cepat dan

merupakan kondisi yang mengancam jiwa yang membutuhkan perawatan cepat


dengan intubasi dan ventilasi buatan. Selain itu, keterlibatan sistem saraf otonom

dapat menyebabkan kelainan regulasi tekanan darah yang membahayakan jiwa,

irama jantung, gangguan pernapasan sentral, dan, jarang, fungsi kandung kemih.2

2.7 Diagnosis

Diagnosis ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang:

a. Anamnesis

Pada pasien ditanyakan keluhan-keluhan berupa adanya kelemahan

yang sifatnya asenden dan simetris, yang dimulai dari anggota gerak bawah

dan menjalar ke atas, kelemahan bersifat akut dan progresif yang ditandai

dengan arefleksia atau hiporefleksia, puncak defisist terjadi dalam waktu

kurang lebih 4 minggu, terdapat gangguan sensorik yang ringan, juga dapat

terjadi gangguan saraf otonom, gangguan saraf kranial, dan pada keadaan

yang berat terjadi gangguan pada otot-otot pernapasan.3

b. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dan neurologi yang penting diperhatikan yaitu:3

- Kelemahan saraf kranial (III, IV, VI, VII, IX, XII)

- Kelemahan anggota gerak yang cenderung simetris dan asenden

- Hiporefleksia atau arefleksia

- Tidak ada klonus atau reflex patologis

c. Pemeriksaan penunjang

- Laboratorium
Pada pemeriksaan darah tepi dapat diperoleh hasil normal atau dengan

tanda-tanda radang akut berupa leukositosis. Pemeriksaan ini bertujuan

untuk menyingkirkan diagnosis banding lainnya, meliputi pemeriksaan

darah lengkap, ureum/kreatinin, elektrolit creatinin kinase, serologi

CMV/EBV/Mikoplasma, dll.3,5

- Lumbal Pungsi

Pada pemeriksaan lumbal pungsi, cairan serebrospinal akan didapatkan

peningkatan kadar protein, dapat mencapai 1000 mg%. Keadaan ini

disebut disosiasi sel-albumin, peningkatan protein ini mencapai puncak

pada minggu ke 4-6.

- Pemeriksaan EMG

Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat adanya demielinisasi dan

menilai kecepatan hantaran saraf yang menurun.5

2.8 Diagnosis Banding

a. Myelitis Transversa

Gangguan medula spinalis juga terdapat gangguan motorik, tetapi

disertai dengan gangguan fungsi sensorik dan otonom. Pada pasien akan

didapatkan gejala berupa kelemahan anggota gerak yang simetris, disfungsi

usus atau kandung kemih tergantung letak lesinya. Pada pemeriksaan

neurologis akan didapatkan hiperreflek dan didapatkan reflek patologis

(Babinski) positif. Pada pemeriksaan LCS didapatkan gambaran pleositosis


dengan sedikit peningkatan jumlah limfosit dan total protein. Pemeriksaan

MRI menunjukkan demielinisasi fokal.8

b. Myastenia Gravis

Pada penyakit ini terdapat keterlibatan otot ekstraokular, faring,

leher, dan otot-otot pernapasan. Terkadang keluhan tanpa kelemahan

anggota tubuh.Lebih dikaitkan dengan kelelahan yang berlebihan dengan

gejala yang sifatnya fluktuatif. Reflek fisiologis normal, tanpa gangguan

fungsi sensorik dan otonom. Pada pemeriksaan EMG konduksi saraf normal

dan didapatkan penurunan RNS. Juga didapatkan tes endorphin yang

positif.8

c. Lambert-Eaton myasthenic syndrome (LEMS)

Sulit dibedakan dengan SGB karena gejala klinis dengan penyakit ini sangat

mirip. Namun demikian terdapat gejala yang khas dari penyakit ini yaitu

perkembangan gejala kinis yang lambat, gangguan sensorik yang jelas,

jarang terdapat keterlibatan kelompok otot pernapasan yang jarang, dan

potensiasi refleks setelah latihan atau kontraksi. Pada pemeriksaan

elektrofisiologi didapatkan potensial aksi otot senyawa amplitudo rendah

(CMAP).8

d. Botulism

Pada anamnesis akan didapatkan riwayat makanan yang tercemar dengan

toksin botulinuum. Berbeda dengan SGB kelemahan pada penyakit ini

sifatnya desenden, dimulai dari kelemahan otot bulbar kemudian disusul


dengan kelemahan ekstremitas, wajah, leher, dan otot pernafasan. Yang

paling khas dari pemeriksaan adalah didapatkannya delated pupil non

reactive pada penderita botulisme. Pada pemeriksaan EMG akan terlihat

pengurangan amplitude potensial otot.8

2.9 Tatalaksana

Tatalaksana umum meliputi pengawasan tanda vital baik fungsi

pernapasan dan kardiovaskular, serta hidrasi dan nutrisi yang adekuat.

Tatalaksana awal pada kasus yang dicurigai SGB yaitu:9

a. Siapkan ICU jika ada curiga keterlibatan gagal nafas atau disfungsi

otonom.

b. Pantau fungsi kardiorespirasi

c. Awasi tanda vital

d. Pengukuran analisa gas darah

e. Atasi rasa nyeri yang dirasakan pasien

f. Cegah komplikasi yang mungkin timbul

g. Pertimbangkan untuk memulai terapi khusus, seperti pemberian IVIG

0,4 g/kg selama 5 hari atau plasma exchange.


Gambar 1. Alur Tatalaksana Sindrom Guillain Barre

Tatalaksana khusus adalah pemberian immunoglobulin dengan dosis 0,4

mg/kg berat badan selama lima hari atau dosis 1 gr/kg berat badan selama 2 hari

terutama pada kasus-kasus pada penderita yang mengalami insufisiensi pernapasan

atau kebutuhan ventilasi mekanik, keterlibatan saraf kranila, dan tidak mampu

berjalan secara independen. 10

Plasma paresis hanya diperuntukkan pada kasus yang terjadi intoleransi atau

tidak respon dengan pengobatan immunoglobulin. Plasma exchange therapy (PE)

dilakukan untuk megeluarkan autoantibodi yang beredar dalam darah. Pemakaian

plasmaferesis pada SGB memberikan hasil yang cukup baik, yaitu dapat berupa

perbaikan klinis dan kemungkinan penggunaan alat nafas bantu minimal serta lama

rawatan yang lebih singkat. Waktu yang paling baik melakukan plasmaferesis yaitu

dalam 2 minggu setelah munculnya gejala. Plasma yang dikeluarkan adalah 40 –


50 ml/kg dalam waktu 7 10 hari dan dilakukan selama empat sampai lima kali

exchange.10,11

Kortikosteroid hingga kini penggunaanya masih dalam kontroversi, banyak

penelitian di luar menyebutkan bahwa penggunaan kortikosteroid tidak

memberikan hasil yang berpengaruh dalam terapi. 10

Fisioterapi dada sebaiknya teratur dilakukan untuk mencegah retensi

sputum dan kolaps paru. Fisioterapi pasif pada kaki yang lumpuh untuk mencegah

kontraktur, kekakuan sendi. Fisioterapi aktif sebaiknya mulai dilakukan segera

setelah penyembuhan untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot.12

2.10 Prognosis

Pada anak-anak umumnya prognosis SGB baik. Lebih dari 90% kasus AIDP

dan semua kasus MFS pulih total. Penderita dengan bentuk GBS yang paling berat

membutuhkan waktu pemulihan 6-12 bulan, 5-10% dari pasien mengalami

gangguan sensorik dan atau sekuela motorik minor di ekstremitas bawah. Tingkat

mortalitas yang dilaporkan dalam literatur adalah 1-5%. .10

Pada sebagian besar kasus ditemukan bahwa usia lanjut memiliki faktor

prognostik yang lebih buruk. Pada anak-anak, pemulihan berlangsung lebih cepat

dan lebih mungkin terjadi. Pasien dengan onset yang cepat cenderung lebih mudah

mengalami perburukan, dan pasien yang masih dapat berjalan dalam 14 hari onset

cenderung membaik dengan atau tanpa terapi dengan gejala sisa.10,12

Pada beberapa kasus, respon motorik yang rendah atau absen sama sekali

disertai keterlibatan aksonal yang tampak pada EMG juga berhubungan dengan
outcome yang lebih buruk. Umumnya pasien SGB tipe AMAN lebih cepat pulih.

Pasien dengan curiga adanya infeksi sebelumnya memiliki gejala SGB yang lebih

berat dan prognosis yang lebih buruk.12


BAB 3

LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien

Nama : Ny. S
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 51 tahun
Pekerjaan : IRT
Status Perkawinan : Kawin
SukuBangsa : Minangkabau
Pekerjaan : Ibu Rumah tangga
Alamat : Teluk Kuantan

I. Anamnesis

Seorang pasien perempuan 51 tahun dirawat di bangsal Neurologi RSUP

Dr.M.Djamil Padang tanggal 3 April 2019 dengan:

Keluhan Utama :

Lemah pada keempat anggota gerak

Riwayat Penyakit Sekarang :

● Lemah keempat anggota gerak sejak 4 hari SMRS, terjadi berangsur-angsur,

dimana awalnya pasien masih dapat berjalan dengan dipapah, tapi 1 hari

kemusian setelah bangun tidur pasien sulit untuk mengangkat kedua tungkai

dan kedua lengan. Keluhan diawali kelemahan pada ujung kedua tungkai

kemudia diikuti dengan lemah pada kedua lengan.

● Rasa kesemutan dirasakan pada keempat anggota gerak.

● Keluhan disertai kesulitan membuka kelopak mata kanan


● Riwayat batuk berdahak 2 minggu SMRS

● Demam tidak ada, batuk tidak ada.

● Sesak nafas tidak ada.

● Mual tidak ada, muntah tidak ada.

● Sulit menelan tidak ada

● Suara sengau tidak ada.

● Bicara pelo tidak ada.

● Kejang tidak ada.

● BAB dan BAK tidak ada keluhan.

Riwayat Penyakit Dahulu :

● Pasien sebelumnya dirawat di RSUD teluk Kuantan 2 hari dengan diagnose

ataxia cerebral e/c stroke DD SOL dan sudah mendapat terapi IVFD asering,

ceticolin 3x1, ibuprofen 3x1, ranitidine 2x50 mg dan pasien dirujuk ke

RSUP Dr.M.Djamil Padang untuk tatalaksana lebih lanjut

● Tidak pernah menderita penyakit hipertensi, DM, dan penyakit jantung.

● Riwayat trauma tidak ada.

● Riwayat batuk berdahak dan pilek 2 minggu SMRS

Riwayat Penyakit Keluarga :

Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti pasien.

Riwayat Pribadi dan Sosial :

Pasien seorang ibu rumah tangga, dengan aktifitas fisik harian ringan hingga

sedang.
II. Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : tampak sakit sedang

Kesadaran : composmentis cooperative

Tekanan darah : 140/80 mmHg

Nadi : 89x/menit, teratur

Napas : 21x/menit

Suhu : 36,6 oC

Status Internus

Rambut : hitam, tidak mudah dicabut.

Kulit dan kuku : tidak ditemukan sianosis

KGB : tidak ditemukan pembesaran

Keadaan regional

Kepala : tidak ditemukan kelainan

Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Hidung : tidak ditemukan kelainan

Telinga : tidak ditemukan kelainan

PARU

Inspeksi : simetris kiri=kanan

Palpasi : fremitus kanan=kiri

Perkusi : sonor

Auskultasi : suara nafas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing(-/-)


JANTUNG

Inspeksi : ictus tidak terlihat

Palpasi : ictus teraba 1 jari medial LCMS RIC V

Perkusi : batas jantung dalam batas normal

Auskultasi : S1-S2 reguler, irama teratur, murmur (-), gallop (-)

ABDOMEN

Inspeksi : tidak tampak membuncit

Palpasi : supel, hepar dan lien tak teraba

Perkusi : timpani

Auskultasi : bising usus (+) Normal

Status Neurologis

Kesadaran CMC, GCS 15 (E4 M3 V5)

1. Tanda Rangsangan Selaput Otak


Kaku kuduk : (-)
Brudzinski I : (-)
Brudzinski II : (-)
Tanda Kernig : (-)

1. Tanda Peningkatan Tekanan Intrakranial


Pupil : Isokor, Ø 3mm/3 mm, Refleks cahaya +/+ Reflek kornea +/+
2. Pemeriksaan Nervus Kranialis
N.I (Olfaktorius)
Penciuman Kanan Kiri
Subjektif Baik Baik
Objektif (dengan bahan) Baik Baik
N.II (Optikus)
Penglihatan Kanan Kiri
Tajam Penglihatan Baik Baik
Lapangan Pandang Terbatas Terbatas
Melihat warna Baik Baik
Funduskopi Tidak diperiksa Tidak diperiksa

N.III (Okulomotorius)
Kanan Kiri
Bola Mata Bulat Bulat
Ptosis (+) (+)
Gerakan Bulbus Terbatas
Strabismus (-) (-)
Nistagmus (-) (-)
Ekso/Endopthalmus (-) (-)
Pupil
Bentuk Bulat, isokor Bulat, isokor
Refleks Cahaya (+) (+)
Refleks Akomodasi (+) (+)
Refleks Konvergensi (+) (+)

N.IV (Troklearis)
Kanan Kiri
Gerakan mata ke bawah Terbatas Terbatas
Sikap bulbus Ortho Ortho
Diplopia (-) (-)
N.VI (Abdusens)
Kanan Kiri
Gerakan mata kemedial bawah Terbatas Terbatas
Sikap bulbus Ortho Ortho
Diplopia (-) (-)

N.V (Trigeminus)
Kanan Kiri
Motorik
Membuka mulut (+) (+)
Menggerakan rahang (+) (+)
Menggigit (+) (+)
Mengunyah (+) (+)
Sensorik
-Divisi Oftlamika
Refleks Kornea (+) (+)
Sensibilitas Baik Baik
-Divisi Maksila
Refleks Masseter (+) (+)
Sensibilitas Baik Baik
-Divisi Mandibula
Sensibilitas Baik Baik

N.VII (Fasialis)

Kanan Kiri
Raut wajah Plika nasolabialis simetris kiri dan
kanan
Sekresi air mata (+) (+)
Fisura palpebra Baik Baik
Menggerakan dahi Baik Baik
Menutup mata Baik Baik
Mencibir/bersiul (+)
Memperlihatkan gigi Baik Baik
Sensasi lidah 2/3 belakang Baik Baik
Hiperakusis (-) (-)

N.VIII (Vestibularis)
Kanan Kiri
Suara berbisik (+) (+)
Detik Arloji (+) (+)
Rinne test Baik Baik
Webber test Tidak ada lateralisasi
Scwabach test Sama dengan pemeriksa
 Memanjang (-) (-)
 Memendek (-) (-)
Nistagmus
 Pendular (-) (-)
 Vertical (-) (-)
 Siklikal (-) (-)
Pengaruh posisi kepala (-) (-)

N.IX (Glosofaringeus)
Kanan Kiri
Sensasi Lidah 1/3 belakang Baik Baik
Refleks muntah (gag refleks) (+) menurun (+) menurun
N.X (Vagus)
Kanan Kiri
Arkus faring Simetris
Uvula Di tengah
Menelan Baik Baik
Artikulasi Baik
Suara Baik
Nadi Teratur

N.XI (Asesorius)
Kanan Kiri
Menoleh kekanan Baik
Menoleh kekiri Baik
Mengangkat bahu kanan (-)
Mengangkat bahu kiri (-)

N.XII (Hipoglosus)
Kanan Kiri
Kedudukan lidah dalam Tidak ada deviasi
Kedudukan lidah dijulurkan Tidak ada deviasi
Tremor (-) (-)
Fasikulasi (-) (-)
Atropi (-) (-)

Pemeriksaan Koordinasi dan keseimbangan


Keseimbangan
Romberg test
Romberg test dipertajam

Stepping gait
Tandem gait
Koordinasi Tidak dapat dilakukan

Jari- Jari Pemeriksaan

Tes Hidung Jari


Pronasi - Supinasi
Tes Tumit Lutut
Rebound Phenomen
Pemeriksaan Fungsi Motorik
A. Badan Respirasi Teratur
Duduk Tidak dapat dilakukan
B.Berdiri dan berjalan Gerakan spontan (-) (-)
Tremor (-) (-)
Atetosis (-) (-)
Mioklonik (-) (-)
Khorea (-) (-)

Superior Inferior
C.Ekstermitas
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Kurang aktif Kurang aktif Kurang aktif Kurang aktif
Kekuatan 431 431 421 421
Tropi Eutropi Eutropi Eutropi Eutropi
Tonus Eutonus Eutonus Eutonus Eutonus
Pemeriksaan Sensibilitas
Sensibilitas taktil Baik
Sensibilitas nyeri Baik
Sensibilitas termis Baik
Sensibilitas kortikal Baik
Stereognosis Baik
Pengenalan 2 titik Baik
Pengenalan rabaan Baik

Sistem Refleks
A. Fisiologis Kanan Kiri Kanan Kiri
Kornea (+) (+) Biseps (++) (++)
Berbangkis Triseps (++) (++)
Laring KPR (++) (++)
Masseter APR (++) (++)
Dinding Perut Bulbokavernosa
 Atas (+) Creamaster
 Tengah (+) Sfingter
 Bawah (+)
B. Patologis Kanan Kiri Kanan Kiri
Lengan Tungkai
Hofmann Tromner (-) (-) Babinski (-) (-)
Chaddoks (-) (-)
Oppenheim (-) (-)
Gordon (-) (-)
Schaeffer (-) (-)
Klonus paha (-) (-)
Klonus kaki (-) (-)

Fungsi Otonom
Miksi : baik
Defikasi : baik
Keringat : baik

Fungsi Luhur
Kesadaran Tanda Demensia
Reaksi bicara Baik Refleks glabela (-)
reaksi intelek Baik Refleks Snout (-)
Reaksi emosi Baik Refleks Menghisap (-)
Refleks Memegang (-)
Refleks palmomental (-)
III. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Hematologi

Hb : 15,2 g/dl

Ht : 47%

Leukosit : 9960/mm3
Trombosit : 360.000/mm3

Hitung Jenis : 0/0/2/91/4/3

Pemeriksaan Kimia klinik

GDS : 95 mg/dl

Ureum : 21 mg/dl

Kreatinin : 0,7 mg/dl

Na/K/Cl/Ca : 139/4,3/110 Mmol/L

PT : 21 detik

APTT : 48 detik

Kesan: Hasil dalam batas normal

Rencana Pemeriksaan Tambahan

- Lumbal pungsi

IV. Diagnosa Kerja

Diagnosis Klinis : Sindrom Guillain Barre

Diagnosis Topik : Radiks anterior dan radiks posterior

Diagnosis Etiologi : Autoimun

Diagnosis Sekunder : CAP ( Perbaikan Klinis)


V. Terapi

Umum:

IVFD NaCl 0,9 % 12jam/kolf


Oksigen 2L/i
MB TKTP 1700 kkal
Khusus:

Metilprednisolon 4 x 250 mg (iv)


Ranitidin 2 x 50 mg (iv)
Ceftriakson 2 x 1 g (iv)
Nebu Flumcil 2x 1
Nebu Ventolin 3 x 1

Prognosis

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam

Quo ad sanationam : dubia ad bonam


BAB 4

DISKUSI

Dilakukan pemeriksaan pada seorang pasien perempuan 51 tahun yang

dirawat di bangsal Neurologi RSUP DR. M Djamil Padang dengan keluhan

utama lemah keempat anggota gerak. Anggota gerak dirasakan lemah sejak 4

hari sebelum masuk rumah sakit. Kelemahan anggota gerak terjadi berangsur-

angsur, dimana awalnya pasien masih dapat berjalan dengan menyeret tapi saat

ini pasien sulit untuk mengangkat kedua tungkai dan kedua lengan. Keluhan

diawali pada ujung tungkai kemudian diikuti dengan lemah pada kedua lengan,

keluhan disertai dengan pusing berputar. Keluhan disertai rasa kesemutan pada

keempat amggota gerak, dan sulit mengangkat kelopak mata mata kanan.

Riwayat batuk ada 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Demam, sesak nafas,

mual muntah, sulit menelan bicara pelo, kejang, tidak ada. BAB dan BAK tidak

ada keluhan

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sakit sedang,


composmentis cooperative status internus dalam batas normal. Kemudian pada
pemeriksaan fungsi motorik didapatkan penurunan kekuatan motorik
ekstremitas superior dan inferior.
Diagnosis Sindroma Guillain Barre ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Pada anamnesis diketahui pasien merasakan kelemahan pada
kedua lengan dan tungkai. Kelemahan bersifat ascendens dimana kelemahan
dirasakan lebih dulu pada tungkai kemudian dalam 24 jam berikutnya
kelemahan dirasakan di kedua lengan. Bagian tangan dan kaki dirasakan lebih
lemah dibandingkan lengan maupun tungkai. Kelemahan yang dialami tanpa
diserrtai penurunan kesadaran. Kelemahan disertai rasa baal dan kesemutan di
ujung tangan dan kaki. Sebelum kelemahan terjadi, pasien mengalami batuk
berdahak dan pilek.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan hasil dalam batas normal dan

direncanakan pemeriksaan lumbal pungsi untuk menilai adanya peningkatan

kadar protein, dan dapat mencapai 1000 mg%. Keadaan ini disebut disosiasi sel-

albumin, peningkatan protein ini mencapai puncak pada minggu ke 4-6.

Penatalaksanaan pasien ini diberi pengobatan metilprednisolon 4 x 250

mg, ranitidin 2 x 50 mg,. Metilprednisolon merupakan kortikosteroid yang

diharapkan dapat menekan reaksi inflamasi pada pasien, sebab menurut

beberapa teori pada SGB terdapat adanya kemungkinan inflamasi pada serabut

saraf. Prognosis pasien ini belum dapat diketahui secara pasti, sehingga perlu

dirawat dan diobservasi respon klinis pasien terhadap tatalaksana yang

didapatkan pasien selama masa perawatan di rumah sakit.


BAB 5

KESIMPULAN

5.1 Sindrom Guillain Barré (SGB) merupakan penyakit poliradikulitis akut yang

ditandai dengan parese yang akut yang sifatnya asending, disertai gangguan

sensorik ringan, dan pada kasus yang parah dapat terjadi gangguan saraf kranial dan

sistem otonom, kelemahan terutama terjadi pada otot.

5.2 Kelemahan biasanya dimulai dari kaki, dengan distribusi proksimal dan

kehilangan sensorik minimal. Akan tetapi kelemahan dapat pada tungkai atas dan

atau saraf kranialis. Kelemahan ini umumnya berkembang dalam beberapa hari

hingga minggu, paling sering memuncak dalam 2 sampai 3 minggu.

5.3 Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

penunjang yaitu lumbal pungsi dan pemeriksaan Elektromiografi.

5.4 Terapi diberikan untuk mengurangi gejala simptomatis dan mencegah

komplikasi, terapi khusus yang dapat diberikan yaitu pemberian imunoglobulin

atau plasmaparesis. Sementara untuk pemberian kortikosteroid sebenarnya masih

dalam kontroversi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Wilkinson,I., Lennox, G. Motor Neurone Disease, Peripheral Neuropathy,


Myasthenia Gravis and Muscle Disease dalam Essential Neurology. Edisi
keempat. Blackwell Publishing : 2005: 163-4.
2. Mumenthaler, M., Mattle, H. Polyradiculopathy and Polyneuropathy dalam
Fundamentals of Neurology. Georg Thieme Verlag: 2006: 173-4
3. Kurniawan, M., Suharjanti, I., Pinzon, RT. Sindrom Guillain Barre dalam
Panduan Praktik Klinis. 2016: 246-8
4. Kannan, M., Khadilkar. S., Murthy, J. Treatment guidelines for Guillain–
Barré Syndrome. Annals of Indian Academy of Neurology: 2011: Vol.14:1
5. Harsono. Gangguan Neuromuskular dalam Buku Ajar Neurologi Klinis.
Gajah Mada University Press: 1996 : 307-10.
6. Hauser, SL., Asbury, AK. Guillain-barre syndrome and Other Immune-
Mediated Neuropathies dalam Harrison,s Neurology in Clinical Medicine.
Edisi Kedua. The McGraw-Hill Companies: 2010: 550-8
7. Walling, Ad., Dickson, G. Guillain-Barré Syndrome. American Academy
of Family Physicians: 2013.Volume 87, Number 3: 191-7
8. Differential Diagnosis dalam BMJ Best Practise Guillain-Barre syndrome.
BMJ Publishing : 2017:20-21. Diunduh pada 4 Mei 2018 pukul 21.00 WIB
http://tools.aan.com/professionals/practice/pdfs/gbs_guide_aan_mem.pdf
9. Rinaldi S. Guillain-Barré syndrome. Acute medicine: A practical Guide to
the Management of Medical Emergencies. Fifth edition. 2018, 436-441.
10. Torricelli, RE. Guillain Barre Syndrome in Pediatrics. Pediatric Neurologist
Hospital Luis Calvano Mackenna: 2016: 1-7
11. Cortese I, Chaundry V, So YT, Cantor F, Comblath DR. Evidence-based
guideline update: Plasmapheresis in neurologic disorder. 2011, 294-302.
12. Hughes CA, Cornblath RD. Guillain-Barré syndrome. USA: Departement
of Clinical Neuroscience, King’s College London School of Medicine.
2005, 1653-1663.

Anda mungkin juga menyukai