Anda di halaman 1dari 12

Menurut Joseph Goldstein penegakkan hukum pidana terbagi menjadi 3 bagian

yaitu:1

1. Total enforcement, yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana sesuai dengan

hukum pidana substantif (subtantive law of crime). Penegakan hukum pidana

secara total ini tidak mungkin dilakukan sebab para penegak hukum dibatasi

secara ketat oleh hukum acara pidana yang antara lain mencakup aturan-aturan

penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan

pendahuluan. Dibutuhkan aduan terlebih dahulu sebagai syarat penuntutan

pada delik-delik aduan (klacht delicten). Ruang lingkup yang dibatasi ini

disebut sebagai area of no enforcement.

2. Full enforcement, para penegak hukum diharapkan melakukan penegakan hukum

secara maksimal.

3. Actual enforcement, dianggap not a realistic expectation, sebab adanya

keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat-alat investigasi,

dana dan sebagainya, yang mengakibatkan wajib dilakukan discretion dan

sisanya inilah yang disebut dengan actual enforcement.

Penegakan hukum dibedakan menjadi dua, yaitu:2

1. Ditinjau dari sudut subyeknya:

Dalam arti luas, proses penegakkan hukum melibatkan semua

subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang

1
Dellyana,Shant.1988,Konsep Penegakan Hukum. Yogyakarta: Liberty hal 39
2
Dellyana,Shant.1988,Konsep Penegakan Hukum. Yogyakarta: Liberty hal 34
menjalankan aturan normative atau melakukan sesuatu atau tidak

melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum

yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum.

Dalam arti sempit, penegakkan hukum diartikan sebagai upaya

aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa

suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya.

2. Ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya:

Dalam arti luas, penegakkan hukum yang mencakup pada nilai-nilai

keadilan yang di dalamnya terkandung bunyi aturan formal maupun nilai-nilai

keadilan yang ada dalam bermasyarakat. Dalam arti sempit, penegakkan

hukum itu hanya menyangkut penegakkan peraturan yang formal dan

tertulis.

Dalam hal ini penerapan hukum haruslah dipandang dari 3 dimensi:

1. Penerapan hukum dipandang sebagai sistem normatif (normative system)

yaitu penerapan keseluruhan aturan hukum yang menggambarkan nilai-

nilai sosial yang didukung oleh sanksi pidana.

2. Penerapan hukum dipandang sebagai sistem administratif (administrative

system) yang mencakup interaksi antara pelbagai aparatur penegak

hukum yang merupakan subsistem peradilan diatas.

3. Penerapan hukum pidana merupakan sistem sosial (social system), dalam arti

bahwa tindak pidana harus diperhitungkan berbagai perspektif pemikiran yang

ada dalam lapisan masyarakat.


Faktor faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto

adalah :3

1. Faktor Hukum

Praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi

pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, disebabkan oleh konsepsi

keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan

kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan secara

normatif. Suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya berdasar

hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau

tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum. Maka pada hakikatnya

penyelenggaraan hukum bukan hanya mencakup law enforcement, namun

juga peace maintenance, karena penyelenggaraan hukum merupakan proses

menyelaraskan antara nilai kaedah dan pola perilaku nyata yang

bertujuan mencapai kedamaian.

2. Faktor Penegakan Hukum

Fungsi hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum

berperan penting, bila peraturan sudah baik, namun kualitas petugas kurang

baik, maka akan timbul masalah. Oleh karena itu, salah satu kunci

keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian

penegak hukum.

3. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung

3
Soerjono Soekanto. 2004,Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegeakan HukumCetakan
Kelima.Jakarta : Raja Grafindo Persada hal 42
Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak

(pendidikan) dan perangkat keras. Pendidikan yang diterima oleh penyidik

cenderung pada hal-hal yang praktis konvensional, sehingga mengalami

hambatan di dalam tujuannya.

4. Faktor Masyarakat

Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan mencapai

kedamaian di masyarakat. Setiap warga masyarakat mempunyai kesadaran

hukum, persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu

kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat kepatuhan

hukum masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator

berfungsinya hukum yang bersangkutan.

5. Faktor Kebudayaan

Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto, mempunyai fungsi

mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak,

berbuat, dan menentukan sikapnya dengan orang lain. Dengan demikian,

kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang perikelakuan yang

menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang

dilarang.

Secara yuridis formal Indonesia telah memiliki perangkat peraturan yang

dapat melindungi anak terhadap tindak kekerasan, seksual, yaitu UU Perlindungan

Anak. Hanya saja dalam implementasi, khusus terhadap tindak pidana kekerasan

seksual terhadap anak, pengaturan yang rigid, detail, dan komprehensif saja tidaklah

menjadi satusatunya faktor penentu dari efektifitas penegakan hukum dari tindak
pidana kekerasan seksual terhadap anak, melainkan harus diiringi juga dengan

keseriusan dari aparat penegak hukum untuk menegakkan aturannya, juga ditunjang

oleh budaya hukum masyarakat.

Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh

melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak, dengan maksud akan

melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain atau melakukan tipu

muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk

melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul (Pasal 76C, Pasal 76D, dan

Pasal 76E UU Perlindungan Anak jo. Pasal 44 dan Pasal 45 UU KDRT).

Adapun sanksi dari pelanggaran larangan melakukan kekerasan terhadap anak

dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau

denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), dalam hal tindak

pidana dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga

kependidikan, pidananya bisa ditambah 1/3 (sepertiga) (Pasal 80, Pasal 81, dan Pasal

82 UU Perlindungan Anak jo. Pasal 44 dan Pasal 45 UU KDRT).

Kejahatan pelecehan seksual yang dilakukan oleh anak terhadap anak diatur di

dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Pasal 1 ayat

(2) Undang-Undang ini menyatakan anak nakal merupakan anak yang melakukan

tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi

anak, menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum

yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Faktor yang mendorong

terjadinya pelecehan seksual tersebut adalah dari pengaruh lingkungan, seperti

beredarnya video-video porno, film-film porno, gambar-gambar porno dan lain


sebagainya. Dengan adanya media tersebut menjadipengaruh yang besar bagi yang

melihatnya, akibatnya banyak terjadi penyimpangan seksual terutama oleh anak di

bawah umur. Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat,

memberikan pengertian tentang Pelecehan Seksual pada Bab I ketentuan umum Pasal

(1) ayat ke - 27 yaitu: Pelecehan seksual adalah perbuatan asusila atau perbuatan

cabul yang sengaja dilakukan seseorang didepan umum atau terhadap orang lain

sebagai korban baik laki-laki maupun perempuan tanpa kerelaan korban. Selanjutnya

pada bagian keenam pasal 46 dan 47 disebutkan bahwa: Setiap Orang yang dengan

sengaja melakukan pelecehan seksual, diancam dengan „Uqubat Ta’zir (cambuk)

paling banyak 45 (empat puluh lima) kali atau denda paling banyak 450 (empat ratus

lima puluh) gram emas murni atau penjara paling lama 45 (empat puluh lima) bulan.

Pasal 47 disebutkan bahwa; Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan jarimah

pelecehan Seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terhadap anak, diancam

dengan‘Uqubat Ta’zir ( cambuk ) paling banyak 90 (sembilan puluh) kali atau denda

paling banyak 900 (sembilan ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 90

(sembilan puluh) bulan.

Anak dalam hukum positif di Indonesia diartikan sebagai orang yang belum

dewasa, orang yang dibawah umur atau keadaan dibawah umur atau biasa disebut

juga sebagai anak yang berada dibawah pengawasan wali, pengertian anak itu sendiri

jika kita tinjau lebih lanjut dari segi usia menurut hukum dapat berbeda-beda
tergantung tempat, waktu dan untuk keperluan apa, hal ini juga akan mempengaruhi

batasan yang digunakan untuk menentukan umur anak.4

Anak menjadi kelompok yang sangat rentan terhadap kekerasan seksual

karena anak selalu diposisikan sebagai sosok lemah atau yang tidak berdaya dan

memiliki ketergantungan yang tinggi dengan orang-orang dewasa di sekitarnya, hal

inilah yang membuat anak tidak berdaya saat diancam untuk tidak memberitahukan

apa yang dialaminya, hampir dari setiap kasus yang diungkap, pelakunya adalah

orang yang dekat korban, sedikit pula pelakunya adalah orang yang memiliki

dominasi atas korban. Kekerasan seksual terhadap anak akan berdampak panjang, di

samping berdampak pada masalah kesehatan di kemudian hari, juga berkaitan dengan

trauma yang berkepanjangan bahkan hingga dewasa, dampak trauma akibat

kekerasan seksual yang dialami oleh anak-anak, antara lain pengkhianatan atau

hilangnya kepercayaan anak terhadap orang dewasa (betrayal); trauma secara seksual

(traumatic sexualization); merasa tidak berdaya (powerlessness); dan stigma

(stigmatization). Secara fisik memang mungkin tidak ada hal yang harus

dipermasalahkan pada anak yang menjadi korban kekerasan seksual, tapi secara

psikis bisa menimbulkan ketagihan, trauma, bahkan pelampiasan dendam bila tidak

ditangani serius, kekerasan seksual terhadap anak dapat menimbulkan dampak sosial

yang luas di masyarakat5

Kasus kekerasan seksual terhadap anak paling banyak menimbulkan kesulitan

dalam penyelesaiannya baik pada tahap penyidikan, penuntutan, maupun pada tahap

4
Paulus Hadisuprapto, Delekuensi Anak Pemahaman dan Penanggulangannya, Selaras, Malang, 2010.
5
Arief Barda Nawawi. Penetapan Pidana Penjara dalam Perundang-Undangan dalam Rangka Usaha
Penanggulangan Kejahatan , Unpad, Bandung , 1995.
penjatuhan putusan. Selain kesulitan dalam batasan di atas, juga kesulitan pembuktian

misalnya perkosaan atau perbuatan cabul yang umumnya dilakukan tanpa kehadiran

orang lain.6

Pada Pasal 50 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa ada empat tujuan utama

penjatuhan hukuman bagi pelaku pelecehan seksual pada anak yaitu:

1. Mencegah terjadinya tindak pidana dengan menegakkan norma-norma hukum

demi pengayoman masyarakat

2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga

menjadi orang yang lebih baik dan berguna

3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan

keseimbangan dan mendatangkan rasa damai.

4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.7

Pasal- Pasal yang mengatur tentang hukuman bagi pelaku pelecehan seksual

terhadap anak di bawah umur dalam KUHP terdapat dalam pasal 287, dan 292

KUHP. Pasal 287 ayat (1) KUHP berbunyi: “Barang siapa bersetubuh dengan

seorang perempuan di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus

diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau umurnya tidak jelas, bahwa

ia belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama

sembilan tahun” dan dalam pasal 291 KUHP, apabila perbuatan persetubuhan itu

6
Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya, Jakarta, Sinar Grafika,
1996, hal. 81
7
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana , Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
menimbulkan luka-luka atau kematian maka bagi sipelaku dijatuhkan hukuman

penjara lima belas Tahun.8

Alasan kasus-kasus kekerasan seksual tidak dilaporkan oleh korban kepada

aparat penegak hukum karena beberapa faktor, diantaranya korban merasa malu dan

tidak ingin aib yang menimpa dirinya diketahui oleh orang lain, atau korban merasa

takut karena telah diancam oleh pelaku bahwa dirinya akan dibunuh jika melaporkan

kejadian tersebut kepada polisi. Hal ini tentu saja mempengaruhi perkembangan

mental/kejiwaan dari para korban dan juga berpengaruh pada proses penegakan

hukum itu sendiri untuk mewujudkan rasa keadilan bagi korban dan masyarakat.

Faktor korban berperan penting untuk dapat mengatasi atau menyelesaikan kasus

perkosaan ini, hal ini memerlukan keberanian dari korban untuk melaporkan kejadian

yang menimpanya kepada polisi, karena pada umumnya korban mengalami ancaman

akan dilakukan perkosaan lagi dari pelaku dan hal ini membuat korban takut dan

trauma. Diharapkan dari pengaduan ini, maka kasusnya dapat terbuka dan dapat

dilakukan proses pemeriksaan sehingga korban akan memperoleh keadilan atas apa

yang menimpa dirinya.9

Seluruh komponen sistem peradilan pidana, termasuk pengadilan dan lembaga

pemasyarakatan, ikut bertanggung jawab untuk melaksanakan tugas menanggulangi

kejahatan atau mengendalikan terjadinya kejahatan. Meski demikian, menilik tugas

dan wewenangnya masing-masing, tugas pencegahan kejahatan secara spesifik lebih

8
.R.Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung Raja
Grafindo Persada, , Jakarta, 2006.
9
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL DALAM SISTEM
PERADILAN PIDANA TERPADU DI WILAYAH KOTA PONTIANAK
terkait dengan subsistem Kepolisian. Adapun tugas menyelesaikan kejahatan yang

terjadi sangat terkait dengan tugas dua komponen sistem, yaitu Polisi dan Jaksa (pada

tahap prajudisial) dan Pengadilan (pada tahap judisial). Hubungan Polisi dan Jaksa

sendiri terutama berkaitan dengan tugas penyidikan suatu tindak pidana.9

Korban pada umumnya datang ke Rumah Sakit didampingi oleh orangtua atau

keluarga terdekat. Pihak penyidik tidak selalu datang untuk mendampingi

dikarenakan orangtua korban belum melapor terlebih dahulu sebelum datang ke

Rumah Sakit. Dari temuan di lapangan didapatkan bahwa sebagian besar orangtua

korban kekerasan seksual pada anak belum memahami prosedur pelaporan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak LSM Seruni, didapatkan keterangan

bahwa pihak LSM beserta DP3A Kota Semarang telah bekerja sama dan

memfasilitasi pelaporan di tingkat RT. Kendalanya adalah warga masyarakat

sebagian besar tidak datang pada saat sosialisasi dikarenakan bekerja.

Kesulitan yang ditemukan di Rumah Sakit adalah, ruangan pemeriksaan

terhadap korban yang dinilai belum memadai. Ruangan pemeriksaan tersebut

merupakan sebuah ruangan di instalasi gawat darurat yang digunakan oleh berbagai

disiplin ilmu kedokteran untuk triage label hijau. Pemeriksaan terhadap korban

belum didampingi oleh psikolog sehingga terkadang korban menangis dan menolak

untuk diperiksa. Kendala lain pada tahap pemeriksaan fisik oleh dokter , korban

terkadang datang setelah beberapa hari sehingga bukti berupa cairan sperma atau

robekan baru pada hymen tidak ditemukan.

Pada tahap penyidikan, didapatkan sejumlah hal yang menjadi kendala

sehingga kasus kekerasan seksual sebagian besar tidak berlanjut ke tahap berikutnya.
Kendala pertama adalah usia korban yang masih terlalu kecil mengakibatkan korban

tidak dapat menceritakan kronologis peristiwa dengan baik, bahkan terkadang korban

masih belum dapat berbicara. Tanpa adanya pendampingan dari psikolog, beberapa

korban menangis dan tidak mau dimintai keterangannya. Penyidik mengalami

kesulitan dalam menuliskan keterangan pada Berita Acara Pemeriksaan. Bahasa yang

digunakan korban terkadang tidak sesuai dengan bahasa yang dimaksudkan oleh

hukum. Kendala kedua adalah sulitnya menemukan tersangka terutama apabila

tersangka merupakan orang yang tidak dikenal oleh korban. Sebagian besar tersangka

tidak mengakui perbuatannya dikarenakan tidak ada saksi mata dalam kasus

kekerasan seksual. Kendala ketiga adalah kurangnya alat bukti sehingga pihak

penyidik tidak dapat melanjutkan kasus ke tahap berikutnya.

Dalam hal penuntutan, jaksa tidak diperbolehkan memanggil saksi/korban.

Jika memang diperlukan, korban diminta datang ke Kejaksaan dengan menggunakan

surat pemanggilan untuk kembali dimintai keterangan yang kurang jelas dalam berkas

dari penyidik. Jaksa hanya berwenang menuntut pelaku dengan ancaman pidana. Jadi

dalam kasus kekerasan seksual jaksa hanya bisa menjerat pelaku dengan ancaman

hukuman pidana sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan tidak berwenang

terhadap ganti kerugian terhadap korban. Korban tindak pidana kekerasan seksual

tidak pernah mendapatkan ganti rugi.9 Dalam penelitian ini hanya ada dua kasus yang

divonis mendapatkan ganti rugi.

Kesimpulan
Praktik Penyelenggaraan hukum di lapangan adakalanya terjadi pertentangan antara

kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan oleh konsepsi keadilan merupakan

suatu rumusan yang bersifat abstrak dan tidak memahami secara sungguh-sungguh

batas kewenangan karena kurang dilakukannya pembinaan terhadap perilaku penegak

hukum sedangkan kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan

secara normatif, hal ini disebabkan tidak memahami secara sungguh-sungguh batas

kewenangan karena kurang dilakukannya pembinaan terhadap perilaku penegak

hukum. Pemenuhan Hak terhadap anak yang menjadi korban pelecehan seksual yaitu

diberikan Perlindungan khusus dari lembaga terkait dengan melakukan bimbingan,

rasa nyaman serta membantu anak agar dapat kembali dan diterima oleh masyarakat

tanpa adanya lebelitasi terhadap anak yang menjadi korban pelecehan seksual.

Pencegahannya masih lemah terhadap terjadinya prilaku menyimpang, serta kerja

sama secara aplikatif antar lembaga terkait perlindungan korban belum efektif,

optimal dan efisien.

Anda mungkin juga menyukai