Teori Penegakkan Hukum
Teori Penegakkan Hukum
yaitu:1
1. Total enforcement, yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana sesuai dengan
secara total ini tidak mungkin dilakukan sebab para penegak hukum dibatasi
secara ketat oleh hukum acara pidana yang antara lain mencakup aturan-aturan
pada delik-delik aduan (klacht delicten). Ruang lingkup yang dibatasi ini
secara maksimal.
1
Dellyana,Shant.1988,Konsep Penegakan Hukum. Yogyakarta: Liberty hal 39
2
Dellyana,Shant.1988,Konsep Penegakan Hukum. Yogyakarta: Liberty hal 34
menjalankan aturan normative atau melakukan sesuatu atau tidak
tertulis.
3. Penerapan hukum pidana merupakan sistem sosial (social system), dalam arti
adalah :3
1. Faktor Hukum
berperan penting, bila peraturan sudah baik, namun kualitas petugas kurang
baik, maka akan timbul masalah. Oleh karena itu, salah satu kunci
penegak hukum.
3
Soerjono Soekanto. 2004,Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegeakan HukumCetakan
Kelima.Jakarta : Raja Grafindo Persada hal 42
Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak
4. Faktor Masyarakat
kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat kepatuhan
5. Faktor Kebudayaan
menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang
dilarang.
Anak. Hanya saja dalam implementasi, khusus terhadap tindak pidana kekerasan
seksual terhadap anak, pengaturan yang rigid, detail, dan komprehensif saja tidaklah
menjadi satusatunya faktor penentu dari efektifitas penegakan hukum dari tindak
pidana kekerasan seksual terhadap anak, melainkan harus diiringi juga dengan
keseriusan dari aparat penegak hukum untuk menegakkan aturannya, juga ditunjang
melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak, dengan maksud akan
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain atau melakukan tipu
melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul (Pasal 76C, Pasal 76D, dan
dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), dalam hal tindak
pidana dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga
kependidikan, pidananya bisa ditambah 1/3 (sepertiga) (Pasal 80, Pasal 81, dan Pasal
Kejahatan pelecehan seksual yang dilakukan oleh anak terhadap anak diatur di
dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Pasal 1 ayat
(2) Undang-Undang ini menyatakan anak nakal merupakan anak yang melakukan
tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi
bawah umur. Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat,
memberikan pengertian tentang Pelecehan Seksual pada Bab I ketentuan umum Pasal
(1) ayat ke - 27 yaitu: Pelecehan seksual adalah perbuatan asusila atau perbuatan
cabul yang sengaja dilakukan seseorang didepan umum atau terhadap orang lain
sebagai korban baik laki-laki maupun perempuan tanpa kerelaan korban. Selanjutnya
pada bagian keenam pasal 46 dan 47 disebutkan bahwa: Setiap Orang yang dengan
paling banyak 45 (empat puluh lima) kali atau denda paling banyak 450 (empat ratus
lima puluh) gram emas murni atau penjara paling lama 45 (empat puluh lima) bulan.
Pasal 47 disebutkan bahwa; Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan jarimah
dengan‘Uqubat Ta’zir ( cambuk ) paling banyak 90 (sembilan puluh) kali atau denda
paling banyak 900 (sembilan ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 90
Anak dalam hukum positif di Indonesia diartikan sebagai orang yang belum
dewasa, orang yang dibawah umur atau keadaan dibawah umur atau biasa disebut
juga sebagai anak yang berada dibawah pengawasan wali, pengertian anak itu sendiri
jika kita tinjau lebih lanjut dari segi usia menurut hukum dapat berbeda-beda
tergantung tempat, waktu dan untuk keperluan apa, hal ini juga akan mempengaruhi
karena anak selalu diposisikan sebagai sosok lemah atau yang tidak berdaya dan
inilah yang membuat anak tidak berdaya saat diancam untuk tidak memberitahukan
apa yang dialaminya, hampir dari setiap kasus yang diungkap, pelakunya adalah
orang yang dekat korban, sedikit pula pelakunya adalah orang yang memiliki
dominasi atas korban. Kekerasan seksual terhadap anak akan berdampak panjang, di
samping berdampak pada masalah kesehatan di kemudian hari, juga berkaitan dengan
kekerasan seksual yang dialami oleh anak-anak, antara lain pengkhianatan atau
hilangnya kepercayaan anak terhadap orang dewasa (betrayal); trauma secara seksual
(stigmatization). Secara fisik memang mungkin tidak ada hal yang harus
dipermasalahkan pada anak yang menjadi korban kekerasan seksual, tapi secara
psikis bisa menimbulkan ketagihan, trauma, bahkan pelampiasan dendam bila tidak
ditangani serius, kekerasan seksual terhadap anak dapat menimbulkan dampak sosial
dalam penyelesaiannya baik pada tahap penyidikan, penuntutan, maupun pada tahap
4
Paulus Hadisuprapto, Delekuensi Anak Pemahaman dan Penanggulangannya, Selaras, Malang, 2010.
5
Arief Barda Nawawi. Penetapan Pidana Penjara dalam Perundang-Undangan dalam Rangka Usaha
Penanggulangan Kejahatan , Unpad, Bandung , 1995.
penjatuhan putusan. Selain kesulitan dalam batasan di atas, juga kesulitan pembuktian
misalnya perkosaan atau perbuatan cabul yang umumnya dilakukan tanpa kehadiran
orang lain.6
Pada Pasal 50 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa ada empat tujuan utama
Pasal- Pasal yang mengatur tentang hukuman bagi pelaku pelecehan seksual
terhadap anak di bawah umur dalam KUHP terdapat dalam pasal 287, dan 292
KUHP. Pasal 287 ayat (1) KUHP berbunyi: “Barang siapa bersetubuh dengan
diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau umurnya tidak jelas, bahwa
ia belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama
sembilan tahun” dan dalam pasal 291 KUHP, apabila perbuatan persetubuhan itu
6
Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya, Jakarta, Sinar Grafika,
1996, hal. 81
7
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana , Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
menimbulkan luka-luka atau kematian maka bagi sipelaku dijatuhkan hukuman
aparat penegak hukum karena beberapa faktor, diantaranya korban merasa malu dan
tidak ingin aib yang menimpa dirinya diketahui oleh orang lain, atau korban merasa
takut karena telah diancam oleh pelaku bahwa dirinya akan dibunuh jika melaporkan
kejadian tersebut kepada polisi. Hal ini tentu saja mempengaruhi perkembangan
mental/kejiwaan dari para korban dan juga berpengaruh pada proses penegakan
hukum itu sendiri untuk mewujudkan rasa keadilan bagi korban dan masyarakat.
Faktor korban berperan penting untuk dapat mengatasi atau menyelesaikan kasus
perkosaan ini, hal ini memerlukan keberanian dari korban untuk melaporkan kejadian
yang menimpanya kepada polisi, karena pada umumnya korban mengalami ancaman
akan dilakukan perkosaan lagi dari pelaku dan hal ini membuat korban takut dan
trauma. Diharapkan dari pengaduan ini, maka kasusnya dapat terbuka dan dapat
dilakukan proses pemeriksaan sehingga korban akan memperoleh keadilan atas apa
8
.R.Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung Raja
Grafindo Persada, , Jakarta, 2006.
9
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL DALAM SISTEM
PERADILAN PIDANA TERPADU DI WILAYAH KOTA PONTIANAK
terkait dengan subsistem Kepolisian. Adapun tugas menyelesaikan kejahatan yang
terjadi sangat terkait dengan tugas dua komponen sistem, yaitu Polisi dan Jaksa (pada
tahap prajudisial) dan Pengadilan (pada tahap judisial). Hubungan Polisi dan Jaksa
Korban pada umumnya datang ke Rumah Sakit didampingi oleh orangtua atau
Rumah Sakit. Dari temuan di lapangan didapatkan bahwa sebagian besar orangtua
bahwa pihak LSM beserta DP3A Kota Semarang telah bekerja sama dan
merupakan sebuah ruangan di instalasi gawat darurat yang digunakan oleh berbagai
disiplin ilmu kedokteran untuk triage label hijau. Pemeriksaan terhadap korban
belum didampingi oleh psikolog sehingga terkadang korban menangis dan menolak
untuk diperiksa. Kendala lain pada tahap pemeriksaan fisik oleh dokter , korban
terkadang datang setelah beberapa hari sehingga bukti berupa cairan sperma atau
sehingga kasus kekerasan seksual sebagian besar tidak berlanjut ke tahap berikutnya.
Kendala pertama adalah usia korban yang masih terlalu kecil mengakibatkan korban
tidak dapat menceritakan kronologis peristiwa dengan baik, bahkan terkadang korban
masih belum dapat berbicara. Tanpa adanya pendampingan dari psikolog, beberapa
kesulitan dalam menuliskan keterangan pada Berita Acara Pemeriksaan. Bahasa yang
digunakan korban terkadang tidak sesuai dengan bahasa yang dimaksudkan oleh
tersangka merupakan orang yang tidak dikenal oleh korban. Sebagian besar tersangka
tidak mengakui perbuatannya dikarenakan tidak ada saksi mata dalam kasus
kekerasan seksual. Kendala ketiga adalah kurangnya alat bukti sehingga pihak
surat pemanggilan untuk kembali dimintai keterangan yang kurang jelas dalam berkas
dari penyidik. Jaksa hanya berwenang menuntut pelaku dengan ancaman pidana. Jadi
dalam kasus kekerasan seksual jaksa hanya bisa menjerat pelaku dengan ancaman
hukuman pidana sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan tidak berwenang
terhadap ganti kerugian terhadap korban. Korban tindak pidana kekerasan seksual
tidak pernah mendapatkan ganti rugi.9 Dalam penelitian ini hanya ada dua kasus yang
Kesimpulan
Praktik Penyelenggaraan hukum di lapangan adakalanya terjadi pertentangan antara
kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan oleh konsepsi keadilan merupakan
suatu rumusan yang bersifat abstrak dan tidak memahami secara sungguh-sungguh
hukum sedangkan kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan
secara normatif, hal ini disebabkan tidak memahami secara sungguh-sungguh batas
hukum. Pemenuhan Hak terhadap anak yang menjadi korban pelecehan seksual yaitu
rasa nyaman serta membantu anak agar dapat kembali dan diterima oleh masyarakat
tanpa adanya lebelitasi terhadap anak yang menjadi korban pelecehan seksual.
sama secara aplikatif antar lembaga terkait perlindungan korban belum efektif,