Anda di halaman 1dari 16

RIBUAN BABI DI SUMATERA UTARA MATI

AKIBAT TERJANGKIT VIRUS HOG CHOLERA

TUGAS BAHASA INDONESIA

DOSEN NIRWANSYAH PUTRA S.SOS, M.SOS

OLEH:

POPI SELVIANA ADELLA (1903100057)

ILMU ADMINISTRASI PUBLIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA


MEDAN

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Usaha peternakan babi merupakan bagian kebudayaan dalam kehidupan
masyarakat di beberapa daerah di Indonesia misalnya Bali, Sulawesi Utara, Nusa
Tenggara Timur, Sumatra Utara dan Papua. Secara tradisional ternak babi memiliki
peran penting di dalam kegiatan keagamaan, adat dan sosial. Ternak babi juga
merupakan sumber protein utama bagi konsumsi domestik dan komponen usaha
rumah tangga yang penting sebagai sumber penghasilan. Di NTT, kepala keluarga
yang memelihara ternak babi mencapai 85% (Johns et al, 2010), Peluang untuk
Integrasi Pasar yang Lebih Baik. ACIAR, Canberra. sebagian besar untuk keperluan
adat dan diperdagangkan untuk memenuhi konsumsi lokal penduduk.
Mempertimbangkan besarnya peranan babi bagi masyarakat, maka kesehatan ternak
babi harus tetap dijaga dari serangan penyakit baik yang disebabkan oleh virus,
bakteri maupun parasit. Salah satu penyakit yang disebabkan oleh virus pada babi
adalah kolera babi (hog cholera).
Kolera babi (Hog Cholera), juga dikenal dengan nama Classical Swine Fever
(CSF) atau Swine Fever adalah penyakit yang sangat menular dengan tingkat
kematian mendekati 100% pada daerah wabah baru. Penyakit ini tersebar di seluruh
dunia. Negara yang dilaporkan positif CSF antara lain Jerman, sebagian negara di
Eropa Timur, Afrika Timur, Afrika Tengah, India, China, Asia Timur dan Tenggara,
Amerika Tengah serta banyak Negara di Amerika Selatan. Di Indonesia, CSF
dilaporkan pertama kali tahun 1994 terjadi di pulau Sumatra dan secara bertahap
menyebar ke Jawa pada awal tahun 1995, Bali dan Kalimantan pada akhir tahun 1995
dan Papua tahun 2004. Diagnosis dan identifikasi virus CSF di Bali juga sudah
dilaporkan.
Wabah HC sangat merugikan perekonomian karena pemberantasan penyakit ini
memerlukan biaya yang sangat besar. Pemberantasan penyakit umumnya dilakukan
dengan sistem stamping out, disertai dengan penerapan Undang-Undang Veteriner
dan sanitasi lingkungan yang ketat. Pengendalian HC di Indonesia dengan melakukan
vaksinasi secara rutin dengan menggunakan vaksin yang sudah dilemahkan melalui
pasase berulang-ulang pada kelinci (galur C) atau dilemahkan melalui biakan sel
secara berulang-ulang. Oleh sebab itu, perlu adanya deteksi dini terhadap penyakit
HC baik gejala maupun tanda-tanda klinis sehingga mudah dilakukan upaya
pencegahan dan pengendalian sedini mungkin.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari virus Hog Cholera?
2. Bagaimana cara penularan penyakit Hog Cholera terjadi?
3. Bagaimana Patogenesis bisa terjadi?
4. Bagaimana gejala klinis yang ditimbulkan oleh penyakit Hog Cholera?
5. Apa dampak lingkungan dari penyakit Hog Cholera?
6. Bagaimana pencegahan dilakukan apabila terjadi penyakit Hog Cholera?

1.3 Tujuan Makalah


1. Dapat memahami pengertian dari virus Hog Cholera.
2. Mengetahui cara penularan penyakit Hug Cholera.
3. Mengetahui pathogenesis yang terjadi.
4. Mengetahu gejala klinis yang ditumbukan dari penyakit Hog Cholera.
5. Mengetahui dampak lingkungan yang terjadi.
6. Mengetahui pencegahan dari penyakit Hog Cholera.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Virus Hog Cholera

Hog cholera juga disebut demam babi adalah penyakit serius dan sering fatal yang
terjadi pada babi. Demam babi yang diduga berasal dari Afrika ini memengaruhi
lebih dari 55 negara di 3 benua, termasuk Cina, tempat di mana hampir separuh
populasi babi dunia berada. Virus ini sangat menular dan dapat menyebar melalui
pakan dan produk daging babi yang terkontaminasi, serta sepatu, pakaian, kendaraan,
pisau dan peralatan rumah tangga lainnya. Penularan juga dapat terjadi melalui proses
perpindahan ternak yang terinfeksi dan melintasi populasi babi lain. Virus ini juga
mungkin ada dalam sampah yang digunakan untuk pakan babi. Kemunculan penyakit
ini akan ditandai dengan demam tinggi dan kelelahan pada babi. Selanjutnya babi
akan mulai kehilangan nafsu makan, depresi umum dan penarikan dari hewan lain,
mata memerah dan kering, muntah, sembelit atau diare, batuk dan kesulitan bernafas.
Dalam banyak kasus, ruam pada kulit semakin berkembang serta selaput lendir dari
mulut dan tenggorokan bisa menjadi meradang dan ulseratif. Lama kelamaan, babi
akan mulai berbaring dan enggan bergerak, kadang dengan gaya berjalan yang
mengejutkan dan punggung melengkung; kemudian ia tidak dapat bangkit dan
menjadi koma.

Babi merupakan salah satu komunitas ternak penghasil daging yang memiliki
potensial yang besar untuk dikembangkan karena mempunyai sifat-sifat
menguntungkan, di antaranya: laju pertumbuhan yang cepat, jumlah anak
perkelahiran (litter size) yang tinggi, efisien dalam mengubah pakan menjadi daging
dan memiliki adaptasi yang tinggi terhadap makanan dan lingkungan.
Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan usaha pengembangan ternak babi
dan aspek manajemen adalah faktor kesehatan dan kontrol penyakit. Ternak babi
sangat peka terhadap penyakit, salah satunya yaitu Hog Cholera.

2.2 Penularan Hog Cholera


Babi adalah satu-satunya induk semang alami virus HC, oleh karena itu babi
penderita merupakan sumber penularan yang terpenting . Virus masuk ke dalam
tubuh babi biasanya melalui rute oronasal. Cara penularan bisa dengan kontak
langsung ataupun tidak langsung . Penularan bisa secara horizontal ataupun vertikal,
yakni dari induk kepada fetus yang dikandung.
Penularan penyakit ini ada 2 cara yaitu kontak langsung : babi yang sakit ke babi
yang sehat dan kontak tak langsung lewat makanan yg tercemar sekreta & ekskret,
alat yang tercemar, hewan / manusia, cacing paru sapi, dan perlu diingat bahwa babi
yang sembuh bisa menjadi carrier.

 PENULARAN SECARA LANGSUNG


Penularan dari babi yang sakit atau carrier ke babi yang sehat merupakan cara
penularan yang paling sering terjadi . Wabah penyakit sering diawali dengan
pemasukan babi baru dari daerah atau peternakan yang tertular HC. Babi yang
sakit menyebarkan virus terutama melalui sekresi oronasal dan lakrimal. Jumlah
atau konsentrasi virus dalam sekresi tersebut dan lamanya babi mengeluarkan
virus tergantung kepada virulensi virus. Babi yang terinfeksi oleh virus yang
virulen akan mengeluarkan virus kedalam lingkungan sebelum timbul gejala
klinis sampai babi mati atau sampai terbentuk antibodi bagi babi yang bertahan
hidup. Sedangkan babi yang terinfeksi oleh virus yang virulensinya sedang
ataupun rendah biasanya mengeluarkan virus dalam jumlah yang lebih rendah
dan dalam kurun waktu yang lebih pendek. Oleh karena itu, strain virus yang
virulen biasanya menularnya lebih cepat dan menimbulkan morbiditas yang jauh
Iebih tinggi dibandingkan dengan strain yang kurang virulen.

 PENULARAN SECARA TIDAK LANGSUNG


Karena virus HC cukup resisten terhadap lingkungan yang kurang
menguntungkan diluar induk semang, penularan dengan cara tidak langsung juga
sering terjadi. Virus HC dapat bertahan dalam waktu yang lama dalam daging
babi dan beberapa produk olahannya, terutama dalam keadaan dingin atau beku.
Masuknya HC ke negara atau daerah yang bebas HC sering akibat impor daging
babi atau produknya ke negara atau daerah tersebut . Wabah HC bisa terjadi
apabila babi diberi makan dengan sisa dapur yang mengandung daging babi
tercemar tersebut tanpa dimasak terlebih dahulu . Cara . penularan melalui sisa
dapur ini sering terjadi . Hasil survei menunjukkan bahwa sekitar 22% dari
semua wabah yang terjadi di USA pada tahun 1973 terjadi dengan cara seperti
ini. Kejadian serupa juga terjadi di Inggris . Setelah negara ini dinyatakan bebas
dari HC tahun 1966, terjadi dua kali gelombang wabah di negeri ini, yakni tahun
1971 dan 1986. Kedua gelombang wabah tersebut diketahui akibat impor produk
daging babi yang tercemar virus HC. Wabah terjadi setelah babi diberi makan
dengan sisa dapur yang mengandung produk daging babi tercemar tersebut .

 PERANAN BABI LIAR


Babi liar atau babi hutan mempunyai peranan yang sangat penting sebagai
hospes yang aman bagi virus untuk tetap bertahan dalam suatu lokasi dan
merupakan sumber penularan bagi babi piaraan. Hasil analisa antigen
menggunakan panel antibodi monoklonal, terhadap sejumlah isolat yang berasal
dari wabah HC di Jerman menunjukkan bahwa sumber infeksi kasus primer dari
sebagian wabah berasal dari babi liar.
2.3 Patogenesis
Patogenesis penyakit ini adalah virus melalui mulut / inhalasi menuju
limfoglandula saluran nafas atas / tonsil, ikut bersama aliran darah (lekosit )dan
beredar ke seluruh jaringan. Virus ini akan merusak jringan karena memiliki afinitas
khusus pada jaringan mesoderm (hemopoietik & vascular) maka akan menyebabkan
leucopenia dan trombositopenia.

 INFEKSI OLEH VIRUS VIRULENSI TINGGI


Virus yang masuk kedalam tubuh babi yang secara alamiah melalui rute
oronasal, mengalami proses absorbsi dan multiplikasi awal pada sel epitel
tonsil, kemudian menyebar ke bagian jaringan limforetikuler dari target organ
primer ini. Virus dapat diisolasi dari organ ini sekitar 7 jam setelah inokulasi
peroral. Setelah mengalami replikasi pada tonsil, virus menyebar ke
limfoglandula regional (limfoglandula mandibula, retrofaringeal, parotid dan
cervical). Virus dalam limfoglandula tersebut dapat diisolasi kembali sekitar 16
jam setelah inokulasi peroral. Setelah mengalami replikasi di limfoglandula ini,
virus masuk kedalam peredaran darah yang mengakibatkan terjadinya viraemia
awal . Virus tertahan dan mengalami multiplikasi yang cepat pada limpa yang
merupakan target organ sekunder. Multiplikasi virus yang cepat ini berakibat
viraemia bertambah hebat. Selanjutnya virus tertahan dan menginvasi
limfoglandula visceral dan superficial, sumsum tulang dan jaringan-jaringan
limfoid lain di mukosa usus. Virus mencapai seluruhtubuh 5-6 hari setelah
inokulasi peroral. Pada akhir stadium viramia, virus menetap dan menginvasi
seluruh organ tubuh yang sering berakibat kematian (WOODet ai., 1988).
Selain menginvasi sel limfold, virus ini juga menyebabkan degenerasi dan
nekrosa pada sel endotel pembuluh darah. Kerusakan pada pembuluh darah,
thrombocytopenia dan gangguan sintesa fibrinogen mengakibatkan perdarahan
berupa petechiae dan ecchymosa yang meluas, yang merupakan salah satu
kelainan patologis yang menonjol pada penyakit ini.

 INFEKSI OLEH VIRUS VIRULENSI SEDANG DAN RENDAH


Infeksi oleh virus dengan virulensi sedang mengikuti pola yang sama seperti
virus virulensi tinggi tetapi prosesnya berjalan lebih lambat dan konsentrasi
virus dalam darah dan organ-organ tubuh lebih rendah. Infeksi oleh virus
virulensi rendah terbatas hanya pada fase limfatik . Fase viraemia terjadi sangat
singkat sekali. Infeksi oleh virus dengan virulensi sedang atau rendah sering
berakibat HC kronis.

 INFEKSI IN UTERO
Babi bunting yang terkena HC dapat menulari embrio atau fetus yang
dikandungnya . Virus HC dapat menembus barier plasenta pada semua umur
kehamilan. Virus menyebar secara hematogenous pada plasenta kemudian
menyebar kesemua fetus. Selanjutnya, perkembangan virus pada fetus ini sama
dengan perkembangan virus virulen pada infeksi post natal seperti diuraikan
diatas. Akibat infeksi in utero pada fetus tergantung pada saat terjadinya infeksi
dan virulensi dari virus . Fetus yang terinfeksi pada saat 45 hari pertama
kebuntingan lebih mudah mengalami kematian prenatal dibandingkan dengan
fetus yang terinfeksi saat umur kebuntingan 65 hari atau lebih . Disamping itu,
fetus yang terinfeksi oleh virus virulensi sedang pada kehamilan 45 hari
terakhir kebuntingan berpeluang lebih besar untuk memperlihatkan gejala klinis
HC pada saat atau beberapa saat setelah kelahiran. Sedangkan, fetus yang
terinfeksi oleh virus virulensi rendah pada saat kebuntingan yang sama
biasanya tidak berakibat buruk karena fetus dapat mengeliminasi virus tersebut.
2.4 Gejala Klinis
Gejala klinis dari penyakit ini diawali suhu tubuh 40-42°C, depresi, anoreksia,
lemah hemoragi pd kulit (petechia&echymotic) hiperemi kulit, pembengkakan lgg,
dan constipasi kadang-kadang berdarah. Bila berlanjut maka babi akan mengalami
diare / desentri, konjungtivitis (eksudat kuning disekitar mata ), berjalan tanpa
koordinasi (scissor walking) dan disertai konvulsi. Masa inkubasi : 6-7 hari , babi
mati hari ke-7 – 10 pasca sakit. Mortalitas pada penyakit Hog Cholera pada babi bisa
mencapai 100%.
Perubahan pasca mati pada penyakit ini terlihat hemoragi meluas terutama pada
subkutan & permukaan serosa, hemoragi pada hampir semua limfoglandula, infark
limpa & pembengkakan , focal colonic ulcer yaitu button ulcer pada mukosa colon
dengan diameter 0,5-1,5 cm, hemoragi ginjal , pneumonia, dan arthritis.
Masa inkubasi HC biasanya berkisar antara 2-6 hari . Gejala klinis HC dapat
dibedakan atas gejala penyakit akut, subakut atau kronis.

 HC AKUT
Masa inkubasi HC biasanya berkisar antara 2-6 hari . Gejala klinis HC dapat
dibedakan atas gejala penyakit akut, subakut atau kronis. Gejala klinis diawali
dengan anorexia, lesu, malas bergerak dan demamtinggi . Leukopenia dan
thromocytopenia hampir selalu terjadi dan muncul sebelum demamdan
berlanjut sampai hewan mati. Conjunctivitis yang ditandai dengan exudate
mukopurulent pada mata sering terjadi . Gangguan saluran pencernaan ditandai
dengan konstipasi diikuti dengan diare. Kadang-kadang babi memuntahkan
cairan berwarna kuning . Gangguan lokomotor berupa kelemahan pada tungkai
belakang sehingga babi berjalan sempoyongan, bagian belakang tubuh terayun
ke kiri dan ke kanan sa.at berjalan (swaying gait) atau babi berdiri sambil
bagian belakang tubuh disandarkan pada dinding atau babi lain merupakan
gejala yang khas pada penyakit ini . Kemerahan yang diikuti keunguan pada
kulit terutama pada daun telinga, abdomen dan kaki bagian medial juga hampir
selalu terjadi. Tingkat kematian pada HC akut sangat tinggi dan biasanya terjadi
antara 10 - 20 hari setelah infeksi.

 HC SUB AKUT DAN KRONIS


Gejala HC subakut sama seperti diuraikan diatas tetapi lebih ringan dan
penyakit berjalan lebih lambat. HC dinyatakan kronis apabila pe nyakit dapat
berjalan lebih dari 30 hari. Penyakit ditandai dengan anorexia, fever dan diare
yang lama tetapi hilang timbul (intermitten). Babi sangat kurus dan
pertumbuhan sangat lambat. Gejala klinis yang terlihat paaa babi yang bunting
yang terinfeksi HC tergantung pada umur kebuntingan saat terjadi infeksi dan
virulensi dari virus yang menginfeksi. Infeksi HC pada babi bunting dapat
berakibat aborsi, mummifikasi, stillbirth, anak yang lemah dan gemetaran,
kematian neonatal, atau babi lahir kelihatan sehat tetapi virus dalam tubuhnya
berkembang dengan perlahan-lahan dan setelah beberapa minggu atau bulan
baru timbul gejala sakit .

2.5 Dampak Lingkungan Virus Hog Cholera


Direktur Jenderal (Dirjen) Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian
Kesehatan Anung Sugihantoni menegaskan virus hog cholera atau kolera babi dan
virus african swine fever (ASF) atau demam babi Afrika tidak menular dari hewan
ke manusia.
"Kolera babi dan african swine fever sejauh ini tidak menular dari hewan ke
manusia. Itu prinsipnya, tapi kejadian di Sumatera Utara itu yang kita pikirkan
adalah justru pembuangan bangkai di sungai yang angka pengguna air tanah di
sekitar sungai cukup tinggi," kata Anung di Jakarta, Senin (11/11).
Anung menuturkan bangkai-bangkai babi tersebut tentu mencemari sungai. Untuk
itu, pihaknya sudah berkomunikasi dengan dinas kesehatan di daerah untuk
mewaspadai penggunaan air tanah yang ada di wilayah tempat buangan bangkai
babi. Hal ini dilakukan untuk memastikan keamanan pengguna air setempat.

"Saya minta teman-teman di lapangan secara periodik melakukan pengecekan


meski yang ditemukan nanti escherichia coli, tidak akan menemukan kolera babi,
african swine fever tapi kita harus mewaspadai semacam itu karena ini bagian dari
pencemaran lingkungan yang harus kita waspadai," tuturnya.

Sebelumnya, jumlah kematian babi akibat virus hog cholera atau kolera babi di
Provinsi Sumatera Utara (Sumut) hingga Senin, bertambah menjadi 5.800 ekor.
"Data ini hasil laporan terbaru dari kabupaten dan kota di Sumut," kata Kepala
Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumut Azhar Harahap di Medan, Senin.

Untuk mengantisipasi penyebaran virus tersebut, Kementerian Pertanian dalam


hal ini Dirjen Peternakan akan berpartisipasi dalam penanganan dan pengawasan
babi.

Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumatera Utara mencatat ada 11


Kabupaten/Kota yang terkena wabah virus hog cholera yaitu Dairi, Humbang
Hasundutan, Deli Serdang, Medan, Karo, Toba Samosir, Serdang Bedagai,
Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan dan Samosir.

Sementara itu, Kepala Seksi Tumbuhan BKP Kelas II A Tanjungpinang Khalid


Daulay di Tanjungpinang, Minggu, mengungkapkan jika virus demam babi afrika
itu masuk ke Kepulauan Riau, maka akan menimbulkan kerugian yang sangat
besar.
“Bisa mentebabkan matinya hewan ternak babi dengan persentase yang tinggi
dan intensitas serangan yang sangat cepat,” ucapnya. Hal itu kemudian akan
berdampak pada terhambatnya ekspor babi, khususnya dari kepulauan Riau ke
menuju negara lain.

Kepada warga juga diimbau untuk tidak membuang ternak babi yang mati ke
aliran sungai, karena itu melanggar Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).

"Dilarang membuang ternak babi yang mati ke sungai atau ke hutan dan segera
menguburnya. Kita kerja sama dengan kepolisian siap menindak siapa saja yang
melanggarnya," kata Edy Rahmayadi menambahkan.

Kepala Dinas Kesehatan Sumut, Alwi Mujahid menegaskan, virus hog


cholera hanya menular dari babi ke babi. Tidak ada kasus virus tersebut menular pada
ternak lain atau pun manusia.

"Belum ada laporan bisa menginfeksi ternak lain. Dengan adanya pembuangan
bangkai babi ke sungai, akan terjadi pencemaran air yang bisa menimbulkan penyakit
diare. Saat ini belum ditemukan kasus karena pencemaran air," terangnya.

Alwi mengharapkan agar bangkai yang telah dibuang ke sungai atau hutan agar
segera dievakuasi. Kemudian bangkai dikubur, sehingga wabahnya tidak
menimbulkan penyakit lain. "Itu harapan kita bersama," ucapnya.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sumut, Binsar Situmorang


menjelaskan, dampak lingkungan hidup dari pembuangan bangkai babi ke sungai.
Pada tanggal 6 November 2019, pihaknya telah mengambil sampel air dari Sungai
Badera dan Sungai Deli.
"Hasil dari sampelnya itu akan kami umumkan secepatnya," terang Binsar.

Wabah tersebut menyerang ternak warga di Kabupaten Karo, Dairi, Humbang


Hasundutan, Deliserdang, Medan,Toba Samosir, Serdang Bedagai, Tapanuli Utara,
Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, dan Samosir. Untuk penanganan bangkai babi
yang terinfeksi virus hog cholera, Azhar pun mengimbau jangan menunda untuk
menguburkan.

"Untuk ternak yang telah mati, harus segera dilakukan pemusnahan ternak
babi yang telah mati, lakukan penguburan dan pemusnahan dengan dibakar, jangan
dibuang ke sungai atau pun di buang ke hutan," sebut Kepala Dinas Ketahanan
Pangan dan Peternakan Sumut M Azhar Harahap.

2.6 Pencegahan Hog Cholera


Tindakan yang paling efektif untuk mencegah atau mengendalikan penyakit Hog
Cholera adalah melakukan vaksinasi dengan menggunakan vaksin aktif yang sudah
diatenuasi, dengan memperhatikan factor-faktor pendukung keberhasilan vaksinasi
seperti: pemilihan strain, dosis dan aplikasi vaksin serta status kesehatan hewan.
Pengendalian dapat dilakukan dengan melalui tindakan karantina.
Tindakan penutupan sementara dilakukan terhadap farm tertular. Semua babi yang
pernah kontak dan tertular HC dilakukan isolasi dan pengobatan serta pendampingan
dilakukan oleh Puskeswan. Stamping out atau tindakan pemotongan bersyarat
dilakukan pada babi dikandang yang sakit.
Ternak babi yang diimunisasi dengan serum (vaksinasi) akan kebal terhadap
penyakit cholera paling sedikit selama 3 bulan setelah disuntik. Vaksinasi dengan
strain virus hidup dimodifikasi efektif dalam mencegah kerugian di negara-negara
dimana hog cholera adalah enzootic, tapi tidak mungkin, sendiri, untuk
menghilangkan infeksi sepenuhnya. Selain menggunakan vaksin atau serum sangat
dianjurkan untuk melaksanakan sanitasi baik sanitasi kandang, peralatan dan sanitasi
sekitar lingkungan kandang demi menjaga kebersihan dan kesehatan ternak babi
sebagai upaya pencegahan penyakit menular Hog Choler (HC).
Untuk negara atau daerah yang bebas HC usaha dipusatkan pada pencegahan
masuknya virus HC. Usaha ini meliputi larangan import atau pemasukan ternak babi
beserta produknya dari daerah tertular atau tersangka. Disamping itu sisasisa dapur
dari angkutan darat, laut atau udara internasional dari daerah tertular perlu
dimusnahkan untuk menjaga kemungkinan masuknya virus HC.
Apabila HC muncul dinegara yang sebelumnya bebas HC, langkah awal yang
paling penting untuk segera dilakukan adalah mencari sumber penularan dan
menetapkan luas penyebaran virus yang telah terjadi. Langkah selanjutnya meliputi
pelarangan pengeluaran babi dari daerah tertular atau tersangka, surveillance yang
teliti dan stamping out kalau memungkinkan. Disamping itu tindakan sanitasi perlu
dilakukan. Kandang dan peralatan didesinfeksi dengan larutan NaOH 1% atau
desinfektan lain, dan kandang harus diistirahatkan selama 15 -30 hari, jangka waktu
istirahat kandang yang diterima secara internasional.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan:

Kolera babi (Hog Cholera), juga dikenal dengan nama Classical Swine Fever
(CSF) atau Swine Fever adalah penyakit yang sangat menular dengan tingkat
kematian mendekati 100% pada daerah wabah baru. Agen penyebab Hog Cholera
adalah virus single stranded Ribonucleic Acid (ss-RNA) dari genus Pestivirus
termasuk famili Flaviviridae. Virus HC mempunyai sifat antigenik dan virulensi yang
bervariasi. Hog Cholera dapat menular pada babi dalam suatu peterakan melalui
makanan, air, alat-alat, sepatu boot atau seragam kerja yang tercemar virus HC, dan
juga di dalam usus besar juga sangat mencolok terkait pada babi yang terserang HC.

Cara pencegahan yang dilakukan agar tidak terjadi HC babi harus Tindakan yang
paling efektif untuk mencegah atau mengendalikan penyakit Hog Cholera adalah
melakukan vaksinasi dengan menggunakan vaksin aktif yang sudah diatenuasi,
dengan memperhatikan factor-faktor pendukung keberhasilan vaksinasi seperti:
pemilihan strain, dosis dan aplikasi vaksin serta status kesehatan hewan.
Pengendalian dapat dilakukan dengan melalui tindakan karantina.

Agar tidak terjadi dampak lingkungan yang tidak baik maka apabila babi sudah
mengenai HC maka seharusnya dikubur dan tidak boleh dibuang ke sungai atau hutan
karena itu dapat terkena pencemaran yang tidak baik.
DAFTAR PUSTAKA

Internet:

https://tirto.id/apa-itu-virus-hog-cholera-yang-sebabkan-4682-babi-mati-di-sumut-elgW

https://www.gatra.com/detail/news/456011/kesehatan/babi-hog-cholera-tak-menular-
manusia

https://www.liputan6.com/regional/read/4108175/dinkes-sumut-hog-cholera-tidak-
menginfeksi-manusia

https://www.beritasatu.com/nasional/584783/kolera-dan-demam-babi-afrika-tidak-
menular-ke-manusia

Jurnal:

https://tirto.id › Sosial Budaya

https://ejournal.unsrat.ac.id › article › download

Anda mungkin juga menyukai