Diare S
Diare S
PENDAHULUAN
1
Salah satu langkah dalam pencapaian target Millenium Development Goals/
MDG’s (Goal ke-4) adalah menurunkan kematian anak menjadi 2/3 bagian dari tahun 1990
sampai pada 2015. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), Studi
Mortalitas dan Riset Kesehatan Dasar dari tahun ke tahun diketahui bahwa diare masih
menjadi penyebab utama kematian balita di Indonesia. Penyebab utama kematian akibat
diare adalah tata laksana yang tidak tepat baik di rumah maupun di sarana kesehatan. Untuk
menurunkan kematian karena diare perlu tata laksana yang cepat dan tepat (Kemenkes,
2011).
Berbagai faktor mempengaruhi terjadinya kematian, malnutrisi, ataupun
kesembuhan pada pasien penderita diare. Diare disebabkan faktor cuaca, lingkungan, dan
makanan. Perubahan iklim, kondisi lingkungan kotor, dan kurang memerhatikan
kebersihan makanan merupakan faktor utamanya. Penularan diare umumnya melalui 4F,
yaitu Food, Fly , Feces,dan Finger. Pada balita, kejadian diare lebih berbahaya dibanding
pada orang dewasa dikarenakan komposisi tubuh balita yang lebih banyak mengandung air
dibanding dewasa. Jika terjadi diare, balita lebih rentan mengalami dehidrasi dan
komplikasi lainnya yang dapat merujuk pada malnutrisi ataupun kematian.
Oleh karena itu, upaya pencegahan diare yang praktis adalah dengan memutus
rantai penularan tersebut. Sesuai data UNICEF awal Juni 2010, ditemukan salah satu
pemicu diare baru, yaitu bakteri Clostridium difficileyang dapat menyebabkan infeksi
mematikan di saluran pencernaan. Bakteri ini hidup di udara dan dapat dibawa oleh lalat
yang hinggap di makanan. (lifestyle.okezone.com).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi
Menurut WHO (1999) secara klinis diare didefinisikan sebagai bertambahnya
defekasi (buang air besar) lebih dari biasanya/lebih dari tiga kali sehari, disertai dengan
perubahan konsisten tinja (menjadi cair) dengan atau tanpa darah. Secara klinik dibedakan
tiga macam sindroma diare yaitu diare cair akut, disentri, dan diare persisten.
Sedangkan menurut menurut Depkes RI (2005), diare adalah suatu penyakit dengan
tanda-tanda adanya perubahan bentuk dan konsistensi dari tinja, yang melembek sampai
mencair dan bertambahnya frekuensi buang air besar biasanya tiga kali atau lebih dalam
sehari .
Menurut Simadibrata (2006) diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja
berbentuk cair atau setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari
biasanya lebih dari 200 gram atau 200 ml/24 jam.
Diare akut diberi batasan sebagai meningkatnya kekerapan, bertambah cairan, atau
bertambah banyaknya tinja yang dikeluarkan, akan tetapi hal itu sangat ocialc terhadap
kebiasaan yang ada pada penderita dan berlangsung tidak lebih dari satu minggu. Apabila
diare berlangsung antara satu sampai dua minggu maka dikatakan diare yang
berkepanjangan (Soegijanto, 2002).
3
a. Diare akut, yaitu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari.
b. Diare kronik, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari dengan kehilangan
berat badan atau berat badan tidak bertambah (failure to thrive) selama masa diare
tersebut.
2. Berdasarkan mekanisme patofisiologik:
a. Diare sekresi (secretory diarrhea)
b. Diare osmotic (osmotic diarrhea)
Diare akut dapat mengakibatkan: (1) kehilangan air dan elektrolit serta gangguan asam
basa yang menyebabkan dehidrasi, asidosis ocialc dan hipokalemia, (2) Gangguan sirkulasi
darah, dapat berupa renjatan hipovolemik sebagai akibat diare dengan atau tanpa disertai
muntah, (3) gangguan gizi yang terjadi akibat keluarnya cairan berlebihan karena diare
dan muntah (Soegijanto, 2002).
1.3 Etiologi
Diare dapat menyebabkan hilangnya sejumlah besar air dan elektrolit, terutama
natrium dan kalium dan sering disertai dengan asidosis ocialc. Dehidrasi dapat
diklasifikasikan berdasarkan ocial air dan atau keseimbangan serum elektrolit. Setiap
kehilangan berat badan yang melampaui 1% dalam sehari merupakan hilangnya air dari
tubuh. Kehidupan bayi jarang dapat dipertahankan apabila ocial melampaui 15%
(Soegijanto, 2002). Menurut World Gastroenterology Organization Global
Guidelines2005, etiologi diare akut dibagi atas empat penyebab:
1. Bakteri : Shigella, Salmonella, E. Coli, Gol. Vibrio, Bacillus cereus, Clostridium
perfringens, Stafilokokus aureus, Campylobacter aeromonas.
2. Virus : Rotavirus, Adenovirus, Norwalk virus, Coronavirus, Astrovirus.
3. Parasit : Protozoa, Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Balantidium coli, Trichuris
trichiura, Cryptosporidium parvum, Strongyloides stercoralis.
4. Non infeksi : malabsorpsi, keracunan makanan, alergi, gangguan motilitas,
imunodefisiensi, kesulitan makan, dll.
(Simadibrata, 2006)
Menurut Haroen N.S, Suraatmaja dan P.O Asnil (1998), ditinjau dari sudut
patofisiologi, penyebab diare akut dapat dibagi dalam dua golongan yaitu:
1. Diare sekresi (secretory diarrhoe), disebabkan oleh:
a. Infeksi virus, kuman-kuman ocialc dan apatogen seperti shigella, ocialc, E. Coli,
golongan vibrio, B. Cereus, clostridium perfarings, stapylococus aureus,
4
comperastaltik usus halus yang disebabkan bahan-bahan kimia makanan (misalnya
keracunan makanan, makanan yang pedas, terlalau asam), gangguan psikis
(ketakutan, gugup), gangguan saraf, hawa dingin, alergi dan sebagainya.
b. Defisiensi imum terutama SIGA (secretory imonol bulin A) yang mengakibatkan
terjadinya berlipat gandanya bakteri/flata usus dan jamur terutama canalida.
2. Diare ocial (ocial ocialc) disebabkan oleh:
a. Malabsorpsi makanan: karbohidrat, lemak (LCT), protein, vitamin dan mineral.
b. Kurang kalori protein.
c. Bayi berat badan lahir rendah dan bayi baru lahir.
Sedangkan menurut Ngastiyah (2005), penyebab diare dapat dibagi dalam beberapa ocial yaitu:
1. Faktor infeksi
a. Infeksi enteral
Merupakan penyebab utama diare pada anak, yang meliputi: infeksi bakteri, infeksi virus
(enteovirus, ocialcss, virus echo coxsackie). Adeno virus, rota virus, astrovirus, dll) dan
infeksi parasit : cacing (ascaris, trichuris, oxyuris, strongxloides) protozoa (entamoeba
histolytica, giardia lamblia, trichomonas homunis) jamur (canida albicous).
b. Infeksi parenteral ialah infeksi diluar alat pencernaan makanan seperti otitis media akut
(OMA) ocialcs/tonsilofaringits, bronkopeneumonia, ensefalitis dan sebagainya. Keadaan
ini terutama terdapat pada bayi dan anak berumur dibawah dua (2) tahun.
2. Faktor malabsorbsi
a. Faktor makanan
b. Faktor psikologis
5
5. Tidak mencuci tangan dengan bersih setelah selesai buang air besar atau
membersihkan tinja anak yang terinfeksi, sehingga mengkontaminasi perabotan dan
alat-alat yang dipegang.
6
Table 1.1 Penilaian Derajat Dehidrasi (Manjoer, 2000)
Penilaian Ringan Sedang Berat
Keadaan umum baik, sadar gelisah, rewel lesu, lunglai atau tidak
sadar
Mata Normal cekung sangat cekung
Air mata ada tidak ada kering
Mulut dan lidah Basah Kering tidak ada, sangat
kering
Rasa haus minum biasa, tidak haus, ingin minum malas/tidak oci minum
haus banyak
Turgor kulit Kembali kembali lambat kembali sangat lambat
Hasil pemeriksaan tanpa dehidrasi Dehidrasi ringan, Bila ada satu tanda
sedang, bila ada ditambah satu atau
tanda ditambah satu lebih tanda lain.
atau lebih tanda lain.
1.7 Pencegahan
Pada dasarnya ada tiga tingkatan pencegahan penyakit secara umum yakni:
pencegahan tingkat pertama (Primary Prevention) yang meliputi promosi kesehatan dan
pencegahan khusus, pencegahan tingkat kedua (Secondary Prevention) yang meliputi
diagnosis dini serta pengobatan yang tepat, dan pencegahan tingkat ketiga (tertiary
prevention) yang meliputi pencegahan terhadap cacat dan rehabilitasi (Nasry Noor,
1997).
7
1. Pencegahan primer
Pencegahan primer penyakit diare dapat ditujukan pada ocial penyebab, lingkungan
dan ocial pejamu. Untuk ocial penyebab dilakukan berbagai upaya agar
mikroorganisme penyebab diare dihilangkan. Peningkatan air bersih dan sanitasi
lingkungan, perbaikan lingkungan biologis dilakukan untuk memodifikasi lingkungan.
Untuk meningkatkan daya tahan tubuh dari pejamu maka dapat dilakukan peningkatan
status gizi dan pemberian imunisasi
a. Penyediaan Air Bersih
Sebagian besar kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui jalur fecal-oral
mereka dapat ditularkan dengan memasukkan kedalam mulut, cairan atau benda
yang tercemar dengan tinja misalnya air minum, jari-jari tangan, makanan yang
disiapkan dalam panic yang dicuci dengan air tercemar (Depkes RI, 2006).
Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan air yang benar-benar bersih
mempunyai resiko menderita diare lebih kecil dibandingkan dengan masyarakat
yang tidak mendapatkan air bersih (Depkes RI, 2006).
b. Tempat Pembuangan Tinja
Tempat pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat sanitasi akan meningkatkan
risiko terjadinya diare berdarah pada anak balita sebesar dua kali lipat
dibandingkan keluarga yang mempunyai kebiasaan membuang tinjanya yang
memenuhi syarat sanitasi (Wibowo, 2003).
c. Status Gizi
Pada ada anak dengan malnutrisi, kelenjar timusnya akan mengecil dan kekebalan
sel-sel menjadi terbatas sekali sehingga kemampuan untuk mengadakan kekebalan
nonspesifik terhadap kelompok ocialc berkurang (Suharyono, 1986)
d. Pemberian Air Susu Ibu (ASI)
Pada bayi yang tidak diberi ASI secara penuh, pada 6 bulan pertama kehidupan
resiko terkena diare adalah 30 kali lebih besar. Pemberian susu formula merupakan
cara lain dari menyusui. Penggunaan botol untuk susu formula biasanya
menyebabkan risiko tinggi terkena diare sehingga oci mengakibatkan terjadinya
gizi buruk (Depkes RI, 2006
e. Kebiasaan Mencuci Tangan
Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan yang penting dalam
penularan kuman diare adalah mencuci tangan. Mencuci tangan dengan sabun,
terutama sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum
8
menyiapkan makanan, sebelum menyuapi makanan anak dan sebelum makan,
mempunyai dampak dalam kejadian diare (Depkes RI, 2006).
f. Imunisasi
Diare sering timbul menyertai campak sehingga pemberian imunisasi campak juga
dapat mencegah diare oleh karena itu beri anak imunisasi campak segera setelah
berumur 9 bulan (Depkes RI, 2006). Anak harus diimunisasi terhadap campak
secepat mungkin setelah usia 9 bulan. Diare dan disentri sering terjadi dan
berakibat berat pada anak-anak yang sedang menderita campak dalam 4 mingggu
terakhir. Hal ini sebagai akibat dari penurunan kekebalan tubuh penderita. Selain
imunisasi campak, anak juga harus mendapat imunisasi dasar lainnya seperti
imunisasi BCG untuk mencegah penyakit TBC, imunisasi DPT untuk mencegah
penyakit diptheri, pertusis dan tetanus, serta imunisasi polio yang berguna dalam
pencegahan penyakit polio (Depkes RI, 2006).
2. Pencegahan sekunder
Pencegahan tingkat kedua ini ditujukan kepada sianak yang telah menderita diare
atau yang terancam akan menderita yaitu dengan menentukan ocialc dini dan
pengobatan yang cepat dan tepat, serta untuk mencegah terjadinya akibat samping
dan komplikasi. Prinsip pengobatan diare adalah mencegah dehidrasi dengan
pemberian oralit (rehidrasi) dan mengatasi penyebab diare. Diare dapat disebabkan
oleh banyak ocial seperti salah makan, bakteri, parasit, sampai radang. Pengobatan
yang diberikan harus disesuaikan dengan klinis pasien. Obat diare dibagi menjadi
tiga, pertama kemoterapeutika yang memberantas penyebab diare seperti bakteri
atau parasit, obstipansia untuk menghilangkan gejala diare dan spasmolitik yang
membantu menghi langkan kejang perut yang tidak menyenangkan. Sebaiknya
jangan mengkonsumsi golongan kemoterapeutika tanpa resep dokter. Dokter akan
menentukan obat yang disesuaikandengan penyebab diarenya ocial bakteri, parasit.
Pemberian kemoterapeutika memiliki efek samping dan sebaiknya diminum sesuai
petunjuk dokter (Fahrial Syam, 2006).
3. Pencegahan tersier
Pencegahan tingkat ketiga adalah penderita diare jangan sampai mengalami
kecatatan dan kematian akibat dehidrasi. Jadi pada tahap ini penderita diare
diusahakan pengembalian fungsi fisik, psikologis semaksimal mungkin. Pada
tingkat ini juga dilakukan usaha rehabilitasi untuk mencegah terjadinya akibat
samping dari penyakit diare. Usaha yang dapat dilakukan yaitu dengan terus
9
mengkon sumsi makanan bergizi dan menjaga keseimbangan cairan. Rehabilitasi
juga dilakukan terhadap mental penderita dengan tetap memberikan kesempatan
dan ikut memberikan dukungan secara mental kepada anak. Anak yang menderita
diare selain diperhatikan kebutuhan fisik juga kebutuhan psikologis harus dipenuhi
dan kebutuhan ocial dalam berinteraksi atau bermain dalam pergaulan dengan
teman sepermainan.
1.8 Tatalaksana
Menurut Kemenkes RI (2011), prinsip tatalaksana diare pada balita adalah
LINTAS DIARE (Lima Langkah Tuntaskan Diare), yang didukung oleh Ikatan Dokter
Anak Indonesia dengan rekomendasi WHO. Rehidrasi bukan satu-satunya cara untuk
mengatasi diare tetapi memperbaiki kondisi usus serta mempercepat
penyembuhan/menghentikan diare dan mencegah anak kekurangan gizi akibat diare juga
menjadi cara untuk mengobati diare. Adapun program LINTAS DIARE yaitu:
1. Rehidrasi menggunakan Oralit osmolalitas rendah
2. Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut
3. Teruskan pemberian ASI dan Makanan
4. Antibiotik Selektif
5. Nasihat kepada orang tua/pengasuh
1.9 Komplikasi
1. Dehidrasi (ringan, sedang, berat, hipotonik, ocialc atau hipertonik)
2. Renjatan hipovolemik
3. Hipokalemia(dengan gejala meteorismus, hipotoni otot, lemah, bradikardia,
perubahan elektrokardiogram)
4. Hipoglikemia
5. Intoleransi sekunder akibat kerusakan vili mukosa usus dan defisiensi enzim lactase
6. Kejang, terjadi pada dehidrasi hipertonik
7. Malnutrisi ocial protein, (akibat muntah dan diare, jika lama atau kronik)
10
BAB III
METODE
3.3 Sasaran
Sasaran khusus kegiatan ini adalah ibu-ibu yang mengantar anaknya ke posyandu untuk
imunisasi dan pengobatan di Posyandu Panji Jaya.
11
BAB IV
HASIL
4.2 Solusi
Penyampaian materi dilakukan lebih cepat tanpa mengurangi fokus ibu-ibu terhadap
materi
4.3 Kesan
Acara berlangsung interaktif dan kondusif. Ibu-ibu di desa Pangkalan Panji Banyuasin
menanggapi dengan baik. Hal ini terlihat dari antuasiasme mereka yang aktif bertanya dan
menjawab pertanyaan dari penyaji dengan benar dan tepat saat penyuluhan.
4.4 Evaluasi
Acara berlangsung lancar.
12
LAMPIRAN
13
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. (2005). Pedoman Teknis Imunisasi Tingkat Puskesmas. Depkes RI.
Juffrie, Mohammad. Dkk. (2010). Gastroenterologi-hepatologi Jilid I. Jakarta: IDAI.
Mansjoer,Arif, dkk., (2000). Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3. Jakarta: Medica
Aesculpalus FKUI.
Ngastiyah, (2005). Perawatan Anak Sakit. Jakarta ; EGC
Simadibrata,M,Setiati S. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Pusat
Penerbitan Departemen.
Soegijanto S. 2006. Ilmu Penyakit Anak “Diagnosa dan Penatalaksanaan”.
Surabaya: Airlangga University Press.
Suraatmaja, S. (2007). Aspek Gizi Air Susu Ibu. Jakarta: EGC.
14