Anda di halaman 1dari 3

10 Agustus

Jennifer Oktavia
“Sepuluh tahun lagi di bulan Agustus, kuyakin kita akan bertemu kembali” kata seorang
anak lelaki yang tidak begitu jelas rupanya sambil jalan meninggalkan aku. Tiba tiba saja aku
terbangun dari mimpi masa kecil yang sepertinya benar benar pernah terjadi sebelumnya. Aku
melihat kalender yang tergantung tepat di tembok depan tempat tidurku, hari ini adalah tanggal
sepuluh Agustus 2019 dan menurutku hari ini bukanlah hari yang special. Aku meranjak dari
kasur dengan perasaan yang sangat bingung, sepertinya latar di mimpi aku benar benar nyata.
Hening sejenak, aku berpikir. Dimanakah tempat itu?
Hari ini aku bangun setengah jam lebih awal dari biasanya. Biasanya aku menggunakan
angkutan umum untuk berangkat ke kampus, namun karena hari ini aku bangun lebih awal,
maka aku memutuskan untuk jalan kaki saja. Di tengah perjalanan, aku melihat seorang anak
perempuan berpakaian atasan putih dan bawahan merah sedang berjalan sendirian dan
beberapa saat kemudian ia dihampiri seorang anak lelaki, sepertinya teman sekolah dia. Sekilas
aku tersenyum teringat bahwa aku memiliki peristiwa serupa.
Beberapa tahun yang lalu ketika aku masih duduk di bangku SD tepatnya SD kelas 6,
sering aku bertemu dengan teman kelasku di persimpangan dekat rumahku. Dia sering
memanggil namaku dan mengajakku untuk pulang bersama
“Ayo kita pulang bersama.” seperti itulah dia mengajakku, dan aku tidak pernah
menjawab ajakan dia. Pada waktu itu, muka aku pasti merah bagaikan tomat dan aku pasti
menyembunyikan wajahku dibalik tas. Meski merasa malu, sesungguhnya sangat senang
diriku waktu itu.
Masih keadaan tersenyum, aku berjalan menuju kampusku. Kerinduan terhadap SD aku
muncul. Aku berjanji dengan diri sendiri untuk mengunjungi SD aku sehabis kuliah. Di kelas,
pikiran aku kemana mana. Aku tidak bisa fokus kepada apa yang diajarkan dosen karena aku
selalu teringat akan kenangan indah masa kecilku, masa dimana paling bahagia bagi aku. Aku
melihat jam tanganku setiap detik berharap kelas cepat usai, namun waktu berjalan sangat
lambat. Sedetik bagaikan setahun.
setelah dosen menutup bukunya dan mengatakan bahwa kelas telah usai, aku menjadi
orang pertama yang berdiri dan meninggalkan ruang kelas. Aku bergegas lari menuju SD aku
dan tidak sengaja aku melewati jalur yang berbeda, jalur ini bukan menuju SD aku, melainkan
menuju gubuk kecil yang dibangun bersama teman teman kecilku.
Ketika aku sampai di gubuk kecil, aku merasakan angin sepoi sepoi yang sering kami
rasakan bersama dulu dan suara air sungai yang mengalir sangat tenang. Juga betapa indahnya
kembang api yang mekar dilangit malam sebagai rutinitas kami untuk merayakan hari besar.
Ah, sungguh nostalgia perasaan ini di pangkalan rahasia kami yang akhirnya menjadi
pangkalan rahasia aku dan dia.
Dirinya, impian masa depan serta cita-cita besar kami, tak akan kulupakan. Sepuluh
tahun lagi di bulan Agustus ku yakin kami akan bertemu kembali. Hening sejenak, aku berpikir.
Ternyata ini tempatnya. Perasaan campur aduk merasuki jiwaku, tak ku sangka, aku telah
melupakan tempat ini, tempat yang penuh kenangan. Senang, sedih, marah, semua emosi sudah
pernah kutuangkan di tempat ini. Hingga saat terakhir, dengan sepenuh hati terima kasih pun
mereka serahkan. Aku menyadarinya bahwa terima kasih itu menandakan perpisahan bagi
kami.
Dengan menahan tangis, aku berjalan menuju depan pintu pangkalan rahasia kami dan
memberanikan diri untuk membuka pintu yang tidak terkunci itu. Ku lihat secarik kertas yang
sudah menguning tertempel di dinding kayu. Tertulis 10 Agustus 2009. Tumpah sudah air mata
ku. Ternyata hari ini juga merupakan sepuluh tahun dari masa itu.
Betapa sedihnya, betapa sepinya hati aku. Aku mengingat banyak perselisihan di dalam
pangkalan rahasia kami berdua sampai akhirnya dia pergi meninggalkanku dengan janji akan
bertemu sepuluh tahun lagi di bulan Agustus. Pada saat itu ketika baru mendengar kabar bahwa
dirinya telah pindah, diriku tak berdaya. aku berjanji akan menulis surat dan akan menelepon
dia, namun tiada balasan yang kudapat. Setelah setahun menunggu kabarnya, akhirnya aku
menyerah. Namun, sampai kapan pun inilah pangkalan kami berdua.
Dirinya dan impian masa depan, selalu kami bincang saat memandang matahari
terbenam hingga menatap bintang. Hingga saat terakhir, dengan sekuat tenaga tangan pun ia
lambaikan, juga tak akan ku lupakan. Ku ingin kebersamaan dia ini akan terbawa mimpi sampai
kapanpun. Mungkin ini alasannya hari ini aku bermimpi tentang hari itu.
Aku berjalan menuju kursi yang dilapisi debu dan meja yang penuh coretan namun
tidak begitu berdebu seolah olah ada yang membersihkannya. Spontan, aku membaca tulisan
yang ada di meja Aku sudah kembali, Rin. -2017 dan di bawahnya terdapat tulisan lagi Apakah
kita akan bertemu pada bulan Agustus 2019? Aku merindukanmu. -2018 aku tersenyum lebar
dengan harapan bahwa aku bisa menemuinya hari ini. Aku mengambil bulpen dan menulis Iya.
-2019
Dengan harapan yang sangat besar akan kehadiran dia, segera aku membeli kain lap
dan alat pembersih lainnya untuk membersihkan pangkalan rahasia kami. Tidak lupa aku
membeli beberapa dekorasi untuk ditata di pangkalan rahasia supaya ketika ia datang, ia akan
menyadari perubahan disini. Aku membersihkan gubuk kecil sampai keringat membasahi
rambutku, juga sampai matahari hampir terbenam, tetapi kehadirannya tidak kunjung datang.
Hati ku mulai resah. Apakah dia tidak akan hadir malam ini? Tetapi aku bertekad untuk
menunggu kehadirannya. Ku lihat lagi jam tangan aku, ternyata sudah menunjukan pukul
19.00. perasaan diantara menunggu dan pulang sudah berdebat diotakku. Namun hatiku selalu
percaya akan janji sepuluh tahun yang lalu. Ku duduk di kursi sambil mendoakan agar dia baik
baik saja sampai aku akhirnya tertidur. Ketika aku bangun, jam sudah menunjukan pukul 23.00.
Aku bangun dan melihat kanan kiri untuk mencari kehadirannya yang juga belum muncul.
Bukan belum muncul, mungkin memang tidak muncul. Aku menelan ludah, menggigit bibir,
memaksakan diriku untuk masih tersenyum walaupun amarah sudah menguasai seluruh emosi
aku. Kesel, kata yang dapat aku deskripsikan sekarang. Ku bangun dari dudukku dan
memaksakan untuk mengangkat kakiku yang tidak mau meninggalkan tempat ini, aku angkat
dengan berat dan bergegas untuk pulang.
“Janji palsu!” aku teriak dengan suara yang bergetar, hampir mengeluarkan air mata.
Tidak pingin pulang malam ini. Entah kenapa sudah sepuluh tahun tapi perasaan sayang
kepada orang tersebut masih ada. Sungguh aku berharap kehadirannya, aku mohon biarkanlah
aku temui dia. Jujur, aku rindu. Mungkin aku harus menyerah untuk kedua kalinya. Aku
berjalan dengan enggan menuju rumahku. Ku lewati simpang di dekat rumahku tempat
biasanya dia memanggil aku untuk pulang bersama.
“Rin!” ah, aku bernostalgia lagi. Iya itu cara dia memanggil aku, tapi kali ini suaranya
kedengaran lebih dewasa. Hanya senyum yang bisa menemani diriku sekarang.
“Rinn!” kali ini kedengaran lebih dekat. Apa benar dia datang? Tiba-tiba ada yang
menggenggam tanganku dan memutar balik tubuhku. Aku membeku, tatapan ini terlihat sangat
familiar, tatapan yang bisa bikin aku bernostalgia lagi.
“K…Ke...Kein…?” aku mempertanyakan penglihatanku. Aku tidak percaya kepada
apa yang aku lihat. Namun, ia membalas aku dengan senyuman yang juga familiar. Senyuman
dia membuatku yakin bahwa dirinya adalah Kein, orang yang aku tunggu sejak sepuluh tahun
yang lalu.
“Apa kabar?” pertanyaan pertama yang muncul dari dia setelah sekian lama tidak
bertemu. Tubuhku langsung melemas, kakiku juga menjadi tidak kuat menopang tubuhku. Aku
terjatuh dalam pelukan dia dan aku mulai menangis seperti anak kecil yang kehilangan
mainannya.
Betapa bahagianya, betapa senangnya, akhirnya aku bisa menemukannya walaupun
bukan di pangkalan rahasia kami berdua.
Setelah aku sudah sedikit lega, akhirnya aku menjawab pertanyaan pertamanya.
“Menurut kamu, apa aku kelihatan baik-baik saja setelah kamu pindah dan tidak balas
suratku atau teleponku, menurut kamu apa aku bisa baik baik saja?!” Jawab aku dengan sedikit
amarah yang dibuat buat.
“Aku minta maaf, Rin. Kita lost contact. Aku minta maaf karena sudah menghilang
dengan tiba tiba dan tidak mengabarimu, Rin. Aku…” Kein terlihat panik dan berusaha untuk
menjelaskan situasi yang terjadi. Namun aku memotongnya.
“Sst.” Aku potong pembicaraannya sambil menertawakan atas kepanikannya.
Sepertinya dia mulai sadar bahwa aku hanya berpura pura emosi. Dia melihatku dengan tatapan
kesal yang dibuat buat dan mengangkat tangannya untuk mengacak-acak rambutku seperti
orang yang sedang berpacaran sampai akhirnya dia menghentikannya sendiri.
“Ayo kita pulang bersama” ajak Kein dengan nada yang sama persis seperti dulu ketika
dia mengajakku untuk pulang bersama. Sama seperti dulu, muka aku memerah bagaikan tomat.
Tetapi kali ini, aku tidak menutupkan wajahku menggunakan tas. Dan yang kali ini, dengan
sepenuh hati “Terima kasih” ku serahkan. Dia menyadarinya Terima kasih kali ini bukan
menandakan perpisahan melainkan pertemuan kembali atas pertemanan yang sudah lama. Ku
harap mentari dan bulan tetaplah akur. Ku harap tidak adalah perselisihan lagi yang terjadi
diantara kami.
“Ayo” akhirnya kujawab ajakan dia untuk pertama kalinya. Dan ternyata benar apa
yang dikatakan orang orang. Segala sesuatu yang baik, selalu datang di saat terbaiknya. Persis
waktunya, tidak datang lebih cepat, pun tidak lebih lambat. Itulah mengapa rasa sabar itu harus
disertai dengan keyakinan.

*QuoteFromTereLiye

Anda mungkin juga menyukai