A. PENGERTIAN
• Hiperbilirubin adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin dalam darah melebihi batas atas nilai
normal bilirubin serum.
• Hiperbilirubin adalah suatu keadaan dimana konsentrasi bilirubin dalam darah berlebihan
sehingga menimbulkan joundice pada neonatus (Dorothy R. Marlon, 1998)
• Hiperbilirubin adalah kondisi dimana terjadi akumulasi bilirubin dalam darah yang mencapai
kadar tertentu dan dapat menimbulkan efek patologis pada neonatus ditandai joudince pada sclera
mata, kulit, membrane mukosa dan cairan tubuh (Adi Smith, G, 1988).
• Hiperbilirubin adalah peningkatan kadar bilirubin serum (hiperbilirubinemia) yang disebabkan
oleh kelainan bawaan, juga dapat menimbulkan ikterus. (Suzanne C. Smeltzer, 2002)
• Hiperbilirubinemia adalah kadar bilirubin yang dapat menimbulkan efek pathologis. (Markum,
1991:314)
B. ETIOLOGI
• Pembentukan bilirubin yang berlebihan.
• Gangguan pengambilan (uptake) dan transportasi bilirubin dalam hati.
• Gangguan konjugasi bilirubin.
• Penyakit Hemolitik, yaitu meningkatnya kecepatan pemecahan sel darah merah. Disebut juga
ikterus hemolitik. Hemolisis dapat pula timbul karena adanya perdarahan tertutup.
• Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan, misalnya Hipoalbuminemia
atau karena pengaruh obat-obatan tertentu.
• Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau toksin yang dapat
langsung merusak sel hati dan sel darah merah seperti : infeksi toxoplasma. Siphilis.
C. MANIFESTASI KLINIS
• Kulit berwarna kuning sampe jingga
• Pasien tampak lemah
• Nafsu makan berkurang
• Reflek hisap kurang
• Urine pekat
• Perut buncit
• Pembesaran lien dan hati
• Gangguan neurologik
• Feses seperti dempul
• Kadar bilirubin total mencapai 29 mg/dl.
• Terdapat ikterus pada sklera, kuku/kulit dan membran mukosa.
- Jaundice yang tampak 24 jam pertama disebabkan penyakit hemolitik pada bayi baru lahir, sepsis
atau ibu dengan diabetk atau infeksi.
- Jaundice yang tampak pada hari ke 2 atau 3 dan mencapai puncak pada hari ke 3-4 dan menurun
hari ke 5-7 yang biasanya merupakan jaundice fisiologi.
D. PATOFISIOLOGI
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian yang sering
ditemukan adalah apabila terdapat beban bilirubin pada sel hepar yang berlebihan. Hal ini dapat
ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia.
Gangguan pemecahan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tubuh.
Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein berkurang, atau pada bayi hipoksia, asidosis. Keadaan lain
yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi
hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu.
Pada derajat tertentu bilirubin akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama
ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak.
Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat
menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi di otak disebut kernikterus. Pada umumnya
dianggap bahwa kadar bilirubin indirek lebih dari 20mg/dl.
Mudah tidaknya kadar bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada
keadaan neonatus. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat
keadaan berat badan lahir rendah, hipoksia, dan hipoglikemia. (Markum, 1991)
E. PATHWAY
Pemecahan Hemoglobin
Indikasi fototerapi
F. KLASIFIKASI
• Ikterus prehepatik
Disebabkan oleh produksi bilirubin yang berlebihan akibat hemolisis sel darah merah. Kemampuan
hati untuk melaksanakan konjugasi terbatas terutama pada disfungsi hati sehingga menyebabkan
kenaikan bilirubin yang tidak terkonjugasi.
• Ikterus hepatic
Disebabkan karena adanya kerusakan sel parenkim hati. Akibat kerusakan hati maka terjadi gangguan
bilirubin tidak terkonjugasi masuk ke dalam hati serta gangguan akibat konjugasi bilirubin yang tidak
sempurna dikeluarkan ke dalam doktus hepatikus karena terjadi retensi dan regurgitasi.
• Ikterus kolestatik
Disebabkan oleh bendungan dalam saluran empedu sehingga empedu dan bilirubin terkonjugasi
tidak dapat dialirkan ke dalam usus halus. Akibatnya adalah peningkatan bilirubin terkonjugasi dalam
serum dan bilirubin dalam urin, tetapi tidak didaptkan urobilirubin dalam tinja dan urin.
• Ikterus neonatus fisiologi
Terjadi pada 2-4 hari setelah bayi baru lahir dan akan sembuh pada hari ke-7. penyebabnya organ
hati yang belum matang dalam memproses bilirubin
• Ikterus neonatus patologis
Terjadi karena factor penyakit atau infeksi. Biasanya disertai suhu badan yang tinggi dan berat badan
tidak bertambah.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
• Pemeriksaan bilirubin serum
- Pada bayi cukup bulan, bilirubin mencapai kurang lebih 6mg/dl antara 2-4 hari setelah lahir.
Apabila nilainya lebih dari 10mg/dl tidak fisiologis.
- Pada bayi premature, kadar bilirubin mencapai puncak 10-12 mg/dl antara 5-7 hari setelah lahir.
Kadar bilirubin yang lebih dari 14mg/dl tidak fisiologis.
• Pemeriksaan radiology
Diperlukan untuk melihat adanya metastasis di paru atau peningkatan diafragma kanan pada
pembesaran hati, seperti abses hati atau hepatoma
• Ultrasonografi
Digunakan untuk membedakan antara kolestatis intra hepatic dengan ekstra hepatic.
• Biopsy hati
Digunakan untuk memastikan diagnosa terutama pada kasus yang sukar seperti untuk membedakan
obstruksi ekstra hepatic dengan intra hepatic selain itu juga untuk memastikan keadaan seperti
hepatitis, serosis hati, hepatoma.
• Peritoneoskopi
Dilakukan untuk memastikan diagnosis dan dapat dibuat foto dokumentasi untuk perbandingan pada
pemeriksaan ulangan pada penderita penyakit ini.
• Laparatomi
Dilakukan untuk memastikan diagnosis dan dapat dibuat foto dokumentasi untuk perbandingan pada
pemeriksaan ulangan pada penderita penyakit ini.
H. PENCEGAHAN
Ikterus dapat dicegah dan dihentikan peningkatannya dengan :
• Pengawasan antenatal yang baik
• Menghindari obat yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi dan masa kehamilan dan kelahiran,
contoh :sulfaforazol, novobiosin, oksitosin.
• Pencegahan dan mengobati hipoksia pada janin dan neonatus.
• Penggunaan fenobarbital pada ibu 1-2 hari sebelum partus.
• Imunisasi yang baik pada bayi baru lahir
• Pemberian makanan yang dini.
• Pencegahan infeksi.
I. KOMPLIKASI
• Retardasi mental - Kerusakan neurologis
• Gangguan pendengaran dan penglihatan
• Kematian.
• Kernikterus.
J. PENATALAKSANAAN
• Tindakan umum
Memeriksa golongan darah ibu (Rh, ABO) pada waktu hamil
Mencegah truma lahir, pemberian obat pada ibu hamil atau bayi baru lahir yang dapat
menimbulkan ikhterus, infeksi dan dehidrasi.
Pemberian makanan dini dengan jumlah cairan dan kalori yang sesuai dengan kebutuhan bayi
baru lahir.
Imunisasi yang cukup baik di tempat bayi dirawat.
• Tindakan khusus
Fototerapi
Dilakukan apabila telah ditegakkan hiperbilirubin patologis dan berfungsi untuk menurunkan
bilirubin dalam kulit melalui tinja dan urine dengan oksidasi foto.
Pemberian fenobarbital
Mempercepat konjugasi dan mempermudah ekskresi. Namun pemberian ini tidak efektif karena
dapat menyebabkan gangguan metabolic dan pernafasan baik pada ibu dan bayi.
Memberi substrat yang kurang untuk transportasi/ konjugasi
misalnya pemberian albumin karena akan mempercepat keluarnya bilirubin dari ekstravaskuler ke
vaskuler sehingga bilirubin lebih mudah dikeluarkan dengan transfuse tukar.
Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi
untuk mencegah efek cahaya berlebihan dari sinar yang ditimbulkan dan dikhawatirkan akan
merusak retina. Terapi ini juga digunakan untuk menurunkan kadar bilirubin serum pada neonatus
dengan hiperbilirubin jinak hingga moderat.
Terapi transfuse
digunakan untuk menurunkan kadar bilirubin yang tinggi.
Terapi obat-obatan
misalnya obat phenorbarbital/luminal untuk meningkatkan bilirubin di sel hati yang menyebabkan
sifat indirect menjadi direct, selain itu juga berguna untuk mengurangi timbulnya bilirubin dan
mengangkut bilirubin bebas ke organ hari.
Menyusui bayi dengan ASI
Terapi sinar matahari
• Tindak lanjut
Tindak lanjut terhadap semua bayi yang menderita hiperbilirubin dengan evaluasi berkala terhadap
pertumbuhan, perkembangan dan pendengaran serta fisioterapi dengan rehabilitasi terhadap gejala
sisa.
ASUHAN KEPERAWATAN HIPERBILIRUBIN
A. PENGKAJIAN
o Keadaan umum lemah, TTV tidak stabil terutama suhu tubuh (hipertermi). Reflek hisap pada bayi
menurun, BB turun, pemeriksaan tonus otot (kejang/tremor). Hidrasi bayi mengalami penurunan.
Kulit tampak kuning dan mengelupas (skin resh), sclera mata kuning (kadang-kadang terjadi
kerusakan pada retina) perubahan warna urine dan feses. Pemeriksaan fisik
o Riwayat penyakit
Terdapat gangguan hemolisis darah (ketidaksesuaian golongan Rh atau golongan darah A,B,O).
Infeksi, hematoma, gangguan metabolisme hepar obstruksi saluran pencernaan, ibu menderita DM.
o Pemeriksaan bilirubin menunjukkan adanya peningkatan.
o Pengkajian psikososial
Dampak sakit anak pada hubungan dengan orang tua, apakah orang tua merasa bersalah, perpisahan
dengan anak.
o Hasil Laboratorium :
- Kadar bilirubin 12mg/dl pada cukup bulan.
- Pada bayi premature, kadar bilirubin mencapai 15mg/dl.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan jaundice atau radiasi.
2) Gangguan temperature tubuh (Hipertermia) berhubungan dengan terpapar lingkungan panas.
3) Resiko terjadi cidera berhubungan dengan fototerapi atau peningkatan kadar bilirubin.
4) Cemas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
5) Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan paparan
C. INTERVENSI
Dx I : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan jaundice atau radiasi.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan integritas
kulit kembali baik / normal.
NOC : Tissue Integrity : Skin and Mucous Membranes
Kriteria Hasil :
o Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan
o Tidak ada luka / lesi pada kulit
o Perfusi jaringan baik
o Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya cedera
berulang
o Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan perawatan alami
Indicator Skala :
1 : Tidak pernah menunjukkan.
2 : Jarang menunjukkan
3 : Kadang menunjukkan
4 : Sering menunjukkan
5 : Selalu menunjukkan
NIC : Pressure Management
Intervensi :
o Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar
o Hindari kerutan pada tempat tidur
o Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
o Mobilisasi pasien setiap 2 jam sekali
o Monitor kulit akan adanya kemerahan.
o Oleskan lotion / minyak / baby oil pada daerah yang tertekan
o Mandikan pasien dengan sabun dan air hangat
DX III : Resiko terjadi cidera berhubungan dengan fototerapi atau peningkatan kadar bilirubin.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawtan selama proses keperawatan
diharapkan tidak ada resiko cidera.
NOC : risk control
Kriteria hasil :
o Klien terbebas dari cidera
o Klien mampu menjelaskan metode untuk mencegah injuri/ cidera
o Klien mampu memodifikasi gaya hidup untuk mencegah injuri.
Indicator Skala :
1. tidak pernah menujukan
2. jarang menunjukan
3. kadang menunjukan
4. sering menunjukan
5.selalu menunjukan
NIC : Pencegahan jatuh
o Kaji status neurologis
o Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang tujuan dari metode pengamanan
o Jaga keamanan lingkungan keamanan pasien
o Libatkan keluiarga untuk mencegah bahaya jatuh
o Observasi tingkat kesadaran dan TTV
o Dampingi pasien
D. EVALUASI
Dx I : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan jaundice atau radiasi.
Kriteria Hasil :
o Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (skala 5)
o Tidak ada luka / lesi pada kulit (skala 5)
o Perfusi jaringan baik (skala 5)
o Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya cedera
berulang (skala 5)
o Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan perawatan alami (skala 5)
Dx III : Resiko terjadi cidera berhubungan dengan fototerapi atau peningkatan kadar bilirubin.
Kriteria Hasil :
o Klien terbebas dari cidera (skala 5)
o Klien mampu menjelaskan metode untuk mencegah injuri/ cidera (skala 5)
o Klien mampu memodifikasi gaya hidup untuk mencegah injuri. (skala 5)
DAFTAR PUSTAKA
Http://www.medicastore.com
Http://www.google.com
Jhonson,Marion,dkk. 1997. Iowa Outcomes Project Nursing Classification (NOC) Edisi 2. St. Louis
,Missouri ; Mosby.
Staf pengajar ilmu keperawatan anak. 1985. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : FKUI.
Pendahuluan
Hiperlirubin adalah akumulasi berlebihan dari bilirubin didalam darah (Wong, 2004). Ikterus
terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah. Pada sebagian neonatus,
ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya. Dikemukakan bahwa
angka kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan pada 80% bayi
kurang bulan. Di Jakarta dilaporkan 32,19% menderita ikterus. Ikterus ini pada
sebagian lagi mungkin bersifat patologik yang dapat menimbulkan gangguan yang
menetap atau menyebabkan kematian, karenanya setiap bayi dengan ikterus harus
mendapat perhatian terutama apabila ikterus ditemukan dalam 24 jam pertama
kehidupan bayi atau kadar bilirubin meningkat lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam.
Proses hemolisis darah, infeksi berat, ikterus yang berlangsung lebih dari 1 minggu
serta bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl juga merupakan keadaan yang menunjukkan
kemungkinan adanya ikterus patologik. Dalam keadaan tersebut penatalaksanaan
ikterus harus dilakukan sebaik-baiknya agar akibat buruk ikterus dapat dihindarkan.
Hiperbilirubinemia adalah kondisi dimana terdapat kadar bilirubin yang tinggi dalam
darah. Biasanya terjadi pada bayi baru lahir.
Sesungguhnya hiperbilirubinemia merupakan keadaan normal pada bayi baru lahir
selama minggu pertama, karena belum sempurnanya metabolisme bilirubin bayi.
Ditemukan sekitar 25-50% bayi normal dengan keadaan hiperbilirubinemia (Ika,
2009)
Landasan Teori
o Anatomi Fisiologi
Hepar adalah organ terbesar dalam tubuh manusia, terletak di sebelah atas
dalam rongga abdomen, disebelah kanan bawah diafragma. Berwarna merah
kecoklatan, lunak dan mengandung amat banyak vaskularisasi. Hepar terdiri
dari lobus kanan yang besar dan lobus kiri yang kecil (Widiyasih, 2009).
Kantung atau kelenjar empedu merupakan kantung berbentuk buah pir dengan panjang
sekitar 7,5 cm dan dapat menampung ± 50 ml cairan empedu. Cairan empedu adalah cairan
kental berwarna kuning keemasan atau kehijauan yang dihasilkan terus menerus dalam
jumlah 500 – 1000 ml/hari, merupakan zat esensial dalam pencernaan dan penyerapan lemak,
suatu media yang dapat mengekskresikan zat-zat tertentu yang tidak dapat diekskresikan oleh
ginjal (Windiyasih, 2009).
Menuru Klous dan Fanaraft (1998) dalam bilirubin dibedakan menjadi dua jenis yaitu:
1. Bilirubin tidak terkonjugasi atau bilirubin indirek atau bilirubin bebas yaitu bilirubin tidak
larut dalam air, berikatan dengan albumin untuk transport dan komponen bebas larut dalam
lemak serta bersifat toksik untuk otak karena bisa melewati sawar darah otak.
2. bilirubin terkonjugasi atau bilirubin direk atau bilirubin terikat yaitu bilirubin larut dalam
air dan tidak toksik untuk otak.
Definisi Penyakit
Menurut Sutrisno (2009) hiperbilirubinemia merupakan suatu keadaan dimana kadar
bilirubin serum total yang lebih dari 10 mg% pada minggu pertama yang ditandai
dengan ikterus pada kulit, sclera dan organ lain. Keadaan ini mempunyai potensi
meningkatkan kern ikterus yaitu keadaan kerusakan pada otak akibat perlengketan
kadar bilirubin pada otak. Hiperbilirubin merupakan gejala fisiologis (terdapat pada
25 – 50% neonatus cukup bulan dan lebih tinggi pada neonatus kurang bulan)
(Sutrisno, 2009).
Etiologi
1. Peningkatan produksi
1. Hemolisis, misalnya pada inkompalibilitas yang terjadi bila terdapat
ketidaksesuaian golongan darah dan anak pada penggolongan rhesus dan
ABO.
2. Perdarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran
3. Ikatan bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolic yang
terdapat pada bayi hipoksia atau asidosis
4. Defisiensi G6PD (Glukosa 6 Phostat Dehidrogenase)
5. Breast milk jaundice yang disebabkan oleh kekurangannya pregnan 3
(alfa), 20 (beta), diol (steroid)
6. Kurangnya enzim glukoronil transferase, sehingga kadar bilirubin indirek
meningkat misalnya pada BBLR
7. Kelainan congenital
2. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya
hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya sulfadiazine.
3. Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau toksin
yang dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti infeksi,
toksoplasmasiss, syphilis.
4. Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ektra hepatic.
5. Peningkatan sirkulasi enterohepatik, misalnya pada ileus obstruktif.
Menurut Ika (2008) sel-sel darah merah yang telah tua dan rusak akan dipecah/dihidrolisis
menjadi bilirubin (pigmen warna kuning), yang oleh hati akan dimetabolisme dan dibuang
melalui feses. Di dalam usus juga terdapat banyak bakteri yang mampu mengubah bilirubin
sehingga mudah dikeluarkan bersama feses. Hal ini terjadi secara normal pada orang dewasa.
Pada bayi baru lahir, jumlah bakteri pemetabolisme bilirubin ini masih belum mencukupi
sehingga ditemukan bilirubin yang masih beredar dalam tubuh tidak dibuang bersama feses.
Begitu pula dalam usus bayi terdapat enzim glukoronil transferase yang mampu mengubah
bilirubin dan menyerap kembali bilirubin ke dalam darah sehingga makin memperparah
akumulasi bilirubin dalam badannya. Akibatnya pigmen tersebut akan disimpan di bawah
kulit, sehingga jadilah kulit bayi kuning. Biasanya dimulai dari wajah, dada, tungkai dan kaki
menjadi kuning.
Patofisiologi
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Keadaan yang
sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin pada sel hepar
yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran
eritrosit, polisitemia. Gangguan pemecahan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan
peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z
berkurang, atau pada bayi hipoksia, asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan
peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar atau
neonatus yang mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu
(Sartika, 2008).
Pada derajat tertentu bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh.
Toksisitas terutama ditemukan ada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air
tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada
sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus darah otak. Kelainan yang terjadi pada
otak disebut Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada syaraf pusat
tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl.
Mudah tidaknya kadar bilirubin melewati darah otak ternyata tidak hanya tergantung
pada keadaan neonatus. Bilirubin indirek akan mudah melewati darah otak apabila
bayi terdapat keadaan Berat Badan Lahir Rendah, hipoksia, dan hipolikemia (Sartika,
2008).
Sel darah merah yang tua, rusak dan abnormal dibuang dari peredaran darah, terutama
di dalam limpa. Selama proses pembuangan berlangsung, hemoglobin (protein
pengangkut oksigen di dalam sel darah merah) dipecah menjadi pigmen kuning yang
disebut bilirubin. Bilirubin dibawa ke hati, dimana secara kimiawi diubah dan
kemudian dibuang ke usus sebagai bagian dari empedu. Pada sebagian besar bayi baru
lahir, kadar bilirubin darah secara normal meningkat sementara dalam beberapa hari
pertama setelah lahir, menyebabkan kulit berwarna kuning (jaundice) (Sartika, 2008).
Pada orang dewasa, bakteri yang dalam keadaan normal ditemukan di dalam usus
akan memecahkan bilirubin. Pada bayi baru lahir, bakteri ini sangat sedikit sehingga
banyak bilirubin yang dibuang melalui tinja yang menyebabkan tinjanya berwarna
kuning terang. Tetapi bayi baru lahir juga memiliki suatu enzim di dalam ususnya
yang dapat merubah sebagian bilirubin dan menyerapnya kembali ke dalam darah,
sehingga terjadi jaundice (sakit kuning). Karena kadar bilirubin darah semakin
meningkat, maka jaundice menjadi sdmakin jelas. Mula-mula wajah bayi tampak
kuning, lalu dada, tungkai dan kakinya juga menjadi kuning. Biasanya
hiperbilirubinemia dan sakit kuning akan menghilang setelah minggu pertama
(Sartika, 2008).
Kadar bilirubin yang sangat tinggi bisa disebabkan oleh pembentukan yang berlebihan
atau gangguan pembuangan bilirubin. Kadang pada bayi cukup umur yang diberi susu
ASI, kadar bilirubin meningkat secara progresif pada minggu pertama; keadaan ini
disebut jaundice ASI. Penyebabnya tidak diketahui dan hal ini tidak berbahaya. Jika
kadar bilirubin sangat tinggi mungkin perlu dilakukan terapi cahaya bilirubin (Muhaj ,
2009).
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan bebab bilirubin
pada streptucocus hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat
peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit
janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan
sirkulasi enterohepatik. Gangguan ambilan bilirubin plasma terjadi apabila kadar
protein-Z dan protein-Y terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis
atau dengan anoksia/hipoksia, ditentukan gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim
glukuronii transferase) atau bayi menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita
hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu intra/ekstra hepatika (Muhaj ,2009).
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusakan jaringan otak.
Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek. Sifat indirek ini yang
memungkinkan efek patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus
sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut kernikterus atau
ensefalopati biliaris. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak
hanya tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan
neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila pada
bayi terdapat keadaan imaturitas. Berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia,
hipoglikemia dan kelainan susunan saraf pusat yang karena trauma atau infeksi
(Muhaj ,2009).
Pathway
Manifestasi Klinik
1. Gejala akut : gejala yang dianggap sebagai fase pertama kernikterus pada
neonatus adalah letargi, tidak mau minum dan hipotoni.
2. Gejala kronik : tangisan yang melengking (high pitch cry) meliputi hipertonus dan
opistonus (bayi yang selamat biasanya menderita gejala sisa berupa paralysis
serebral dengan atetosis, gengguan pendengaran, paralysis sebagian otot mata dan
displasia dentalis).
Sedangakan menurut Handoko (2003) gejalanya adalah warna kuning (ikterik)
pada kulit, membrane mukosa dan bagian putih (sclera) mata terlihat saat kadar
bilirubin darah mencapai sekitar 40 µmol/l.
Menurut Medicastore (2009) manifestasi klinik yang sering jumpai pada anak dengan
hiperbilirubin antara lain : Sebagian besar kasus hiperbilirubinemia tidak berbahaya, tetapi
kadang kadar bilirubin yang sangat tinggi bisa menyebabkan kerusakan otak (keadaannya
disebut kern ikterus).
Kern ikterus adalah suatu keadaan dimana terjadi penimbunan bilirubin di dalam otak,
sehingga terjadi kerusakan otak. Biasanya terjadi pada bayi yang sangat prematur atau bayi
yang sakit berat.
Gejalanya berupa:
1. Rasa mengantuk
2. Tidak kuat menghisap
3. Muntah
4. Opistotonus (posisi tubuh melengkung, leher mendekati punggung)
5. Mata berputar-putar ke atas
6. Kejang
7. Bisa diikuti dengan kematian. Efek jangka panjang dari kern ikterus adalah
keterbelakangan mental, kelumpuhan serebral (pengontrolan otot yang abnormal,
cerebral palsy), tuli dan mata tidak dapat digerakkan ke atas.
Menurut Hidayat (2008) perawatan untuk anak yang mendapatkan tranfusi tukar
antara lain :
10. Mempertahankan intake cairan dengan menyediakan cairan per oral atau
cairan parenteral melalui intravena, memantau output diantaranya jumlah
dan warna urine serta feses, mengkaji perubahan status hidrasinya dengan
memantau temperatur tiap 2 jam
11. Menutup mata dengan kain yang tidak tembus cahaya, mengatur posisi
setiap 6 jam, mengkaji kondisi kulit, menjaga integritas kulit selama terapi
dengan mengeringkan daerah yang basah untuk mengurangi iritasi serta
mempertahankan kebersihan kulit
12. Mencegah peningkatan kadar birirubin dengan cara meningkatkan verja
enzim dengan pemberian phenobarbital 1-2 2 mg/KGB, mengubah
bilirubin yang tidak larut ke dalam air menjadi larut dalam air dengan
melakukan fototerapi atau dengan cara pembuangan kadar bilirubin darah
dengan tranfusi darah
2. Pengobatan
1. Menghilangkan anemia
2. Menghilangkan antibody maternal dan eritrosit teresensitisasi
3. Meningkatkan badan serum albumin
4. Menurunkan serum bilirubin
5. Fototherapi
Fototerapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan transfuse
pengganti untuk menurunkan bilirubin. Memaparkan neonatus pada
cahaya dengan intensitas yang tinggi (a bound of fluorescent light bulbs or
bulbs in the blue light spectrum) akan menurunkan bilirubin dalam kulit.
Fototerapi menurunkan kadar bilirubin dengan cara memfasilitasi ekskresi
bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini terjadi jika cahaya yang diabsorpsi
jaringan merubah bilirubin tak terkonjugasi menjadi dua isomer yang
disebut fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari jaringan ke pembuluh
darah melalui mekanisme difusi. Di dalam darah fotobilirubin berikatan
dengan albumin dan di kirim ke hati. Fotobilirubin kemudian bergerak ke
empedu dan di ekskresikan kedalam duodenum untuk di buang bersama
feses tanpa proses konjugasi oleh hati.
3 Kepala, badan, ekstremitas sampai dengan tangan dan kaki 11,8 11,4
13,3
4
15,8
1. Transfusi Pengganti
1. Therapi Obat
Pada jaundice ASI, kadang pemberian ASI harus dihentikan selama 1-2 hari.
Segera setelah kadar bilirubin mulai menurun, ASI boleh kembali diberikan.
Pemberian ASI harus sering dilakukan untuk mencegah dehidrasi dan
mempermudah pembuanagn bilirubin ke fese. Setidaknya ASi harus diberikan
tiap 3 jam. Jika bayi sulit menghisap, dilakukan pemompaan ASI, baru
diberikan kepada bayi. Pemberian cairan selain ASI (misal air, air gula, dll)
tidak akan membantu. jadi kunci utama adalah pemberian ASI.
Pengkajian
Pengkajian yang dapat dilakukan pada anak dengan hiperbilirubin kronik menurut
Nennisa (2007) sebagai berikut :
Diagnosa Keperawatan
Menurut Hidayat (2005) dan Wong (2004) diagnosa keperawatan yang dapat
dirumuskan pada anak yang menderita hiperbilirubin antara lain :
1. Hiperbilirubin
1. Resiko terjadi injury berhubungan dengan kern ikterus sekunder terhadap
immaturity hati
2. Risiko kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan peningkatan
kadar bilirubin indirek dalam kulit, mukosa dan konjungtiva yang
meningkat.
3. Risiko tinggi perubahan peran menjadi orang tua yang berhubungan
dengan adanya kehadiran anak dengan terjadi batasan atau pemisahan
dengan anak mengingat bayi dilahirkan dilakukan tindakan di tempat
khusus
2. Efek fototherapy
1. Resiko terjadi injury berhubungan dengan efek phototherapy
2. Risiko tinggi kurang volume cairan yang berhubungan dengan efek terapi
fototerapi
3. Risiko kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan efek samping
fototerapi yang menyebabkan kulit kering, iritasi pada mata.
Intervensi Keperawatan
Menurut Hidayat (2005) intervensi yang dapat dirumuskan oleh perawat dalam
mengatasi diagnosa keperawatan tersebut diatas adalah
Intervensi :
Anjurkan pada ibu untuk segera memberikan Asi segera setelah lahir
Risiko tinggi kurang volume cairan yang berhubungan dengan efek terapi
fototerapi
Tujuan :
Anak akan mempertahankan kesimbangan cairan dan elektrolit yang ditandai oleh
kadar elektrolit serum normal dan haluaran urine 1-2 ml/kg/jam
Intervensi :
Rasional : Dapat mengganti cairan tubuh yang hilang pada saat tindakan
fototerapi
Tujuan : Bayi mempunyai integritas kulit yang utuh dengan kriteria hasil tidak ada
kemerahan pada kulit dan tidak ada lesi pada kulit dan tidak iritasi pada
konjungtiva
Intervensi :
Rasional : Mencegah iritasi kornea. Chek mata bayi setiap shift untuk drainage
( kekeringan mata ) atau iritasi pada mata
Risiko tinggi perubahan peran menjadi orang tua yang berhubungan dengan
adanya kehadiran anak dengan terjadi batasan atau pemisahan dengan anak
mengingat bayi dilahirkan dilakukan tindakan di tempat khusus
Tujuan :
Orang tua mampu mendemonstrasikan perilaku peran menjadi orang tua yang
efektif dalam merawat anak dengan hiperbilirubin atau anak yang mendapatkan
fototerapi dan tranfusi tukar, yang ditandai
o Memberi dukungan
Intervensi :
Rasional : Penjelasan semacam ini dapat mengurangi rasa takut dan cemas
yang dapat menyebabkan tekanan dan perubahan dalam hubungan orang tua
dan anak
4. Rujuk orang tua ke layanan pendukung yang tepat bila ada untuk memperoleh
konseling dan intervensi sesuai yang dibutuhkan
Tujuan
Intervensi
2. Yakinkan kembali orang tua bahwa penyakit tersebut memerlukan terapi yang
khusus (tranfusi tukar dan fototerapi) yang menimbulkan efek samping
Rasional : Orang tua biasanya khawatir tentang efek penyakit, khususnya jika
menjalani tranfusi tukar dan fototerapi selama tindakan
3. Jelaskan kepada orang tua tentang pentingnya menjaga integritas kulit dan
melindungi mata saat tindakan fototerapi
Rasional : Dengan mengetahui tanda dan dehidrasi orang tua dapat mendeteksi
dini terjadinya gangguan yang berhubungan dengan keseimbangan cairan dan
elektrolit
5. Anjurkan orang tua menepati semua perjanjian tindak lanjut
Sekitar 60% bayi yang lahir normal menjadi ikterik pada minggu pertama kelahiran.
Hiperbilirubinemia (indirect) yang tak terkonjugasi terjadi sebagai hasil dari
pembentukan bilirubin yang berlebihan karena hati neonatus belum dapat
membersihkan bilirubin cukup cepat dari darah. Walaupun sebagian besar bayi lahir
dengan ikterik normal, tapi mereka butuh monitoring karena bilirubin memiliki
potensi meracuni sistem saraf pusat. kadar bilirubin yang cukup tinggi dapat
menyebabkan bilirubin encepalopati yang kemudian menjadi kernikterus dan bisa
menyebabkan terjadinya kelainan neurologis menetap (Donagh, et.al, (2008).
Data dari 11 rumah sakit di California Utara yang merupakan bagian dari Sistem
Kesehatan Kaiser Permanente dan dari 18 rumah sakit Sistem Kesehatan
Intermountain menyatakan bahwa nilai total bilirubin serum adalah 20 mg/dL (342
mol/L) atau lebih, dari hampir 1–2% kelahiran bayi pada usia kehamilan setidaknya
35 minggu. Penelitian berbasis rumah sakit di USA menyimpulkan bahwa 5 s.d 40
bayi dari 1000 bayi kelahiran cukup bulan dan kurang bulan memperoleh fototerapi
sebelum dipulangkan dari perawatan (Donagh, et.al, 2008).
Bayi yang digambarkan adalah bayi dengan kelahiran pada usia kehamilan 37 minggu
dan tidak ada riwayat penyakit hemolitik. Dengan level total bilirubin serum 19,5
mg/dL, ia memperkenalkan kriteria dari The American Academy of Pediatrics untuk
administrasi rumah sakit dan fototerapi intensif (menetapkan penyinaran paling
sedikit 30 mikrowatt/cm/nm dalam spektrum biru yang dilepaskan pada area
permukaan secara menyeluruh). Kami setuju dengan rekomendasi ini. Seperti terapi
yang lain dapat diharapkan untuk mengurangi level dari total bilirubin serum yaitu 30-
40% dalam 24 jam. Kami merekomendasikan terapi ini dilanjutkan sampai levelnya
turun dibawah 13-14 mg/dL. Dan lagi, hilangnya 11% dari berat lahirnya memberi
kesan bahwa asupan kalori tidak adekuat dan kemungkinan dehidrasi hipernatremi.
Tergantung pada ukuran elektrolit, bayi dapat membutuhkan cairan intravena
(Donacgh, et.al, (2008).
Pembahasan
Bilirubin normalnya dibersihkan dari tubuh dengan konjugasi hepatik dengan asam
glukoronat dan dihilangkan dalam empedu dalam bentuk bilirubin glukoronat. Ikterik
neonatus berkembang dari defisiensi konjugasi sementara (eksarserbasi pada bayi
preterm) digabung dengan peningkatan pemecahan sel darah merah. Kondisi
patologik yang dapat meningkatkan produksi bilirubin meliputi isoimunisasi, kelainan
hemolitik diturunkan, dan ekstravasasi darah (misalnya dari memar dan
cephalhematoma). Kelainan genetik konjugasi bilirubin, khususnya sindrom Gillbert
yang berkontribusi pada hiperbilirubinemia neonatus. Sebagian besar bayi sehat yang
beresiko terjadi hiperbilirubinemia adalah bayi kurang bulan dan yang tidak disusui
ASI baik. Penyusuan ASI dan asupan kalori yang buruk dipikirkan dapat
menyebabkan peningkatan sirkulasi bilirubin enterohepatik (Donagh, et.al, 2008).
Penilaian yang salah adalah sinar ultraviolet (UV) (< 400 nm) yang digunakan untuk
fototerapi. Sinar fototerapi saat digunakan tidak menghasilkan eritem karena radiasi
UV yang bermakna. Fototerapi dilakukan pada sejumlah percobaan acak sekitar tahun
1960 sampai awal tahun 1990. Sejak alternatif efektif untuk fototerapi pada bayi
dengan ikterik berat adalah transfusi tukar, penggunaan fototerapi mengalami
pengurangan jumlah yang dramatis saat sejumlah transfusi tukar dilakukan. Penelitian
menunjukkan bahwa ketika fototerapi sudah dilakukan, 36% bayi dengan berat
kelahiran kurang dari 1500 gram memerlukan transfusi tukar. Ketika fototerapi telah
digunakan, hanya 2 dari 833 bayi (0,24%) yang menerima transfusi tukar. Antara
Januari 1988 dan Oktober 2007, tidak ada transfusi tukar yang dibutuhkan di NICU
Rumah Sakit William Beaumont, Royal Oak, Michigan untuk 2425 bayi yang berat
lahirnya kurang dari 1500 gram (Donagh, et.al, 2008).
Pada bayi cukup bulan dan lewat bulan, fototerapi secara khas digunakan menurut
petunjuk yang diterbitkan oleh The American Academy of Pediatrics di tahun 2004.
Pertimbangan petunjuk ini tidak hanya melihat tingkat total bilirubin serum tetapi
juga umur kelahiran bayi, umur bayi pada jam-jam sejak kelahiran, dan ada atau
tidaknya faktor risiko, seperti penyakit hemolytic isoimmun, kekurangan enzim
glucose-6-phosphate dehydrogenase, asfiksia, letargi, ketidakstabilan temperatur,
sepsis, asidosis, dan hipoalbuminemia. Pada bayi prematur, fototerapi digunakan pada
tingkatan yang lebih rendah dari total bilirubin serum, dan dalam beberapa unit
digunakan sebagai profilaksis pada semua bayi dengan berat kelahiran lebih rendah
dari 1000 gram (Donagh, et.al, 2008).
Dosis dan kemanjuran fototerapi dipengaruhi oleh jenis sumber cahaya. Unit
fototerapi yang biasa digunakan berisi tabung fluoresen sinar terang, putih, atau biru.
Bagaimanapun, saat kadar total bilirubin serum mencapai target dimana fototerapi
intensif direkomendasikan, sangat penting untuk menggunakan lampu dengan emisi
biru dengan pertimbangan skema di atas. The American Academy of Pediatrics
sekarang ini menganjurkan lampu fluoresensi biru spesial atau lampu light-emitting
diode (LED) yang telah diketahui lebih efektif untuk fototerapi pada studi klinis.
Lampu halogen dengan penyaring, digabungkan dengan lampu light-emitting diode
(LED), biasanya digunakan (Donagh, et.al, 2008).
Dosis dan kemanjuran dari fototerapi biasanya dipengaruhi oleh jarak antara lampu
(semakin dekat sumber cahaya, semakin besar irradiasinya) dan permukaan kulit yang
terkena cahaya, karena itu dibutuhkan sumber cahaya di bawah bayi pada fototerapi
intensif. Walaupun uji coba telah menunjukkan bahwa semakin luas permukaan kulit
yang terkena, semakin berkurang pula jumlah total bilirubin serum, walaupun bayi
tetap memakai popok. Jika jumlah total bilirubin serum tetap meningkat walaupun
diterapi, popok harus dibuka sampai bilirubin turun secara signifikan. Kertas
alumunium atau kain berwarna putih diletakkan pada mata bayi untuk memantulkan
cahaya yang akan mempengaruhi kemanjuran dari fototerapi. Karena cahayanya dapat
menyebabkan efek toksik pada retina yang immature, sehingga mata bayi harus selalu
dilindungi dengan penutup mata yang tidak tembus cahaya (Donagh, et.al, 2008).
Keefektifan terapi tidak hanya tergantung pada kadar cahaya tetapi juga tergantung
pada tingkat keparahan hiperbilirubinemia. Selama proses hemolisis yang aktif,
jumlah total bilirubin serum tidak turun secara cepat seperti pada bayi tanpa proses
hemolisis. Fototerapi lebih efektif pada daerah yang memiliki kadar bilirubin tinggi
meskipun fototerapi juga pada bilirubin di kulit dan jaringan subkutan superfisial.
Pada bayi yang sama dengan jumlah total bilirubin serum lebih dari 30 mg/dL (513
µmol/L), fototerapi yang intensif dapat menghasilkan penurunan hingga 10 mg/dl
(171 µmol/L) dalam beberapa jam (Donagh, et.al, 2008).
Tercapainya jumlah total bilirubin serum 1 sampai 2 mg/dL (17 sampai 34 µmol/L)
dan adakalanya lebih dapat terjadi saat fototerapi dihentikan. Bayi dengan
peningkatan risiko kembali secara klinis adalah yang lahir dengan usia kehamilan
dibawah 37 minggu, dengan penyakit hemolitik, dan dengan fototerapi pada waktu
dirawat di rumah sakit. Pada bayi yang memerlukan fototerapi selama dirawat di
rumah sakit dan bayi yang memiliki penyakit hemolitik, perlu dikaji jumlah bilirubin
yang harus didapat dalam 24 jam. Fototerapi di rumah lebih cocok bagi bayi dengan
jumlah total bilirubin serum 2-3 mg/dL di bawah yang rekomendasi yang mesti
difototerapi di rumah sakit. Cahaya matahari dapat menurunkan jumlah bilirubin
serum, tapi praktiknya lebih sulit dan membutuhkan paparan yang aman pada bayi
baru lahir (Donagh, et.al, 2008).
Daftar Pustaka
Hidayat, A.A. (2008). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan Kebidanan,
Cetakan I. Jakarta : Penerbit Buku Salemba Medika
Suriayadi dan Yuliani, R. (2001). Buku Pegangan Praktik Klinik Asuhan keperawatan
Pada Anak. Edisi 1. Jakarta : Penerbit CV Sagung Seto