Anda di halaman 1dari 37

REFERAT

BATU SALURAN KEMIH

Pembimbing:
dr. A.R. Herda Pratama, Sp.U

Disusun oleh :
Hermelien Sabrina (030.14.087)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH RSUD KARAWANG


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS
KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI PERIODE
23 SEPTEMBER – 30 NOVEMBER 2019
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT DENGAN JUDUL


“BATU SALURAN KEMIH”

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing sebagai syarat untuk


menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Penyakit Bedah di Rumah
Sakit Umum Daerah Karawang periode 23 September – 30 November 2019

Karawang, Oktober 2019

dr. A.R. Herda Pratama, Sp.U

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan anugerah serta
hikmah-Nya kepada penulis atas kesempatanya yang telah diberikan. Terima kasih
juga kepada dr. A.R. Herda Pratama, Sp. U selaku pembimibing atas waktu,
pengarahan, masukan serta berbagai ilmu yang telah diberikan sehingga penulis
dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Batu Saluran Kemih” sebagai salah
satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Bedah di RSUD
Karawang periode 23 September – 30 November 2019
Tugas ini di tulis berdasarkan acuan dari berbagai sumber yang ada.
Tentunya dalam penulisan tugas ini masih banyak kekurangan dan kesalahan yang
tidak dapat dihindari. Oleh karena itu segala kritik dan saran guna penyempurnaan
referat ini sangat penulis harapkan.
Akhir kata, semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para
pembaca terutama dalam bidang Ilmu Penyakit Bedah.

Karawang, Oktober 2019


Penulis

Hermelien Sabrina
030.14.087

iii
DAFTAR ISI

Halaman
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ ii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... iii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PIUSTAKA ..................................................................... 3
2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Urogenital ........................................... 3
2.2 Definisi Batu Saluran Kemih ............................................................. 12
2.3 Epidemiologi Batu Saluran Kemih .................................................... 13
2.4 Etiologi Batu Saluran Kemih ............................................................. 13
2.5 Klasifikasi Massa Skrotum ................................................................ 15
2.6 Patofisiologi Batu Saluran Kemih ..................................................... 18
2.7 Faktor Resiko Batu Saluran Kemih ................................................... 20
2.8 Manifestasi Klinis .............................................................................. 22
2.9 Penegakan Diagnosis ......................................................................... 22
2.10 Tatalaksana Batu Saluran Kemih .................................................... 28
2.11 Pencegahan Batu Saluran Kemih .................................................... 29
2.12 Komplikasi Batu Saluran Kemih ..................................................... 30
2.13 Prognosis ......................................................................................... 30
BAB III KESIMPULAN ................................................................................. 32
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 33

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Urolitiasis atau dikenal sebagai penyakit batu saluran kemih dimana


merupakan penyakit yang terbentuknya batu yang disebabkan oleh adanya
pengendapan substansi yang terdapat dalam air kemih yang jumlahnya
berlebihan atau karena faktor lain yang mempengaruhi daya larut substansi. Batu
saluran kemih sudah diderita manusia sejak zaman dahulu, hal ini dibuktikan
dengan diketahui adanya batu saluran kemih pada mummi Mesir yang berasal dari
4800 tahun sebelum Masehi. Hippocrates yang merupakan bapak ilmu Kedokteran
menulis 4 abad sebelum Masehi tentang penyakit batu ginjal disertai abses ginjal.1
Urolithiasis merupakan penyakit tersering ketiga di bidang urologi di samping
infeksi saluran kemih dan pembesaran prostat benigna. Angka kejadian
urolithiasis berbeda pada setiap negara. Di negara-negara berkembang banyak
dijumpai pasien batu buli-buli sedangkan di negara maju lebih banyak dijumpai
batu saluran kemih atas. Hal ini dapat terjadi karena adanya pengaruh status gizi
dan aktivitas pasien sehari-hari.2
Angka kejadian batu saluran kemih di Indonesia tahun 2002 berdasarkan
data yang dikumpulkan dari rumah sakit di seluruh Indonesia adalah 37.636 kasus
baru, dengan jumlah kunjungan 58.959 penderita. Sedangkan jumlah pasien yang
dirawat adalah 19.018 penderita, dengan jumlah kematian 378 penderita.3
Di Amerika Serikat, sekitar 250.000 sampai 750.000 penduduknya menderita
BSK setiap tahun, di seluruh dunia rata-rata terdapat 1 sampai 12%. Kejadian pada
pria empat kali lebih tinggi daripada wanita, kecuali untuk batu amonium
magnesium fosfat (struvit), lebih sering terdapat di wanita. Usia rata-rata BSK
terjadi pada usia 30 sampai 50 tahun. 4, 5
Terbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannya dengan gangguan
aliran urine, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi dan keadaan
keadaan lain yang masih belum terungkap (idiopatik). Faktor yang mempermudah
terjadinya batu saluran kemih adalah faktor intrinsik yaitu keadaan yang berasal

1
dari tubuh seseorang dan faktor ekstrinsik yaitu pengaruh yang berasal dari
lingkungan di sekitarnya.6

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Urogenital


1) Anatomi 1,3,4
a. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang, terdapat
sepasang (masing-masing satu di sebelah kanan dan kiri vertebra) dan
posisinya retroperitoneal. Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah, kurang
lebih 1 cm dibanding ginjal kiri, hal ini disebabkan adanya hati yang
mendesak ginjal sebelah kanan. Kutub atas ginjal kiri adalah tepi atas iga
11 (vertebra T12), sedangkan kutub atas ginjal kanan adalah tepi bawah iga
11 atau iga 12. Adapun kutub bawah ginjal kiri adalah processus transversus
vertebra L2 (kira-kira 5 cm dari krista iliaka) sedangkan kutub bawah ginjal
kanan adalah pertengahan vertebra L3. Dari batas-batas tersebut dapat
terlihat bahwa ginjal kanan posisinya lebih rendah dibandingkan ginjal kiri.

Secara umum, ginjal terdiri dari beberapa bagian:


1. Korteks, yaitu bagian ginjal di mana di dalamnya terdapat/terdiri dari korpus
renalis/Malpighi (glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus
proksimal dan tubulus kontortus distalis.
2. Medula, yang terdiri dari 9-14 pyiramid. Terdiri dari tubulus rektus,
lengkung Henle dan tubukus pengumpul (ductus colligent).
3. Columna renalis, yaitu bagian korteks di antara pyramid ginjal
4. Processus renalis, yaitu bagian pyramid/medula yang menonjol ke arah
korteks
5. Hilus renalis, yaitu suatu bagian/area di mana pembuluh darah, serabut saraf
atau duktus memasuki/meninggalkan ginjal.
6. Papilla renalis, yaitu bagian yang menghubungkan antara duktus
pengumpul dan calix minor.
7. Calix minor, yaitu percabangan dari calix major.

3
8. Calix major, yaitu percabangan dari pelvis renalis.
9. Pelvis renalis, disebut juga piala ginjal, yaitu bagian yang menghubungkan
antara calix major dan ureter.
10. Ureter, yaitu saluran yang membawa urine menuju vesica urinaria.

Gambar 1. Anatomi Ginjal

Unit fungsional ginjal disebut nefron. Nefron terdiri dari korpus renalis/
Malpighi (yaitu glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus proksimal,
lengkung Henle, tubulus kontortus distal yang bermuara pada tubulus pengumpul.
Di sekeliling tubulus ginjal tersebut terdapat pembuluh kapiler,yaitu arteriol (yang
membawa darah dari dan menuju glomerulus) serta kapiler peritubulus (yang
memperdarahi jaringan ginjal) Berdasarkan letakya nefron dapat dibagi menjadi:
(1) nefron kortikal, yaitu nefron di mana korpus renalisnya terletak di korteks yang
relatif jauh dari medula serta hanya sedikit saja bagian lengkung Henle yang
terbenam pada medula, dan (2) nefron juxta medula, yaitu nefron di mana korpus

4
renalisnya terletak di tepi medula, memiliki lengkung Henle yang terbenam jauh ke
dalam medula dan pembuluh-pembuluh darah panjang dan lurus yang disebut
sebagai vasa rekta.
Ginjal diperdarahi oleh a/v renalis. A. renalis merupakan percabangan dari aorta
abdominal, sedangkan v.renalis akan bermuara pada vena cava inferior. Setelah
memasuki ginjal melalui hilus, a.renalis akan bercabang menjadi arteri sublobaris
yang akan memperdarahi segmen-segmen tertentu pada ginjal, yaitu segmen
superior, anterior-superior, anterior-inferior, inferior serta posterior.
Ginjal memiliki persarafan simpatis dan parasimpatis. Untuk persarafan simpatis
ginjal melalui segmen T10-L1 atau L2, melalui n.splanchnicus major,
n.splanchnicus imus dan n.lumbalis. Saraf ini berperan untuk vasomotorik dan
aferen viseral. Sedangkan persarafan simpatis melalui n.vagus.

b. Ureter
Ureter merupakan saluran sepanjang 25-30 cm yang membawa hasil
penyaringan ginjal (filtrasi, reabsorpsi, sekresi) dari pelvis renalis menuju vesica
urinaria. Terdapat sepasang ureter yang terletak retroperitoneal, masing-masing
satu untuk setiap ginjal.

Gambar 2. Anatomi Ureter

Ureter setelah keluar dari ginjal (melalui pelvis) akan turun di depan m.psoas
major, lalu menyilangi pintu atas panggul dengan a.iliaca communis. Ureter

5
berjalan secara postero-inferior di dinding lateral pelvis, lalu melengkung secara
ventro-medial untuk mencapai 6ectum6 urinaria. Adanya katup uretero-vesical
mencegah aliran balik urine setelah memasuki kandung kemih. Terdapat beberapa
tempat di mana ureter mengalami penyempitan yaitu peralihan pelvis renalis-ureter,
fleksura marginalis serta muara ureter ke dalam 6ectum6 urinaria. Tempat-tempat
seperti ini sering terbentuk batu/kalkulus.
Ureter diperdarahi oleh cabang dari a.renalis, aorta abdominalis, a.iliaca
communis, a.testicularis/ovarica serta a.vesicalis inferior. Sedangkan persarafan
ureter melalui segmen T10-L1 atau L2 melalui pleksus renalis, pleksus aorticus,
serta pleksus hipogastricus superior dan inferior.

1. Vesica urinaria
Vesica urinaria, sering juga disebut kandung kemih atau buli-buli,
merupakan tempat untuk menampung urine yang berasal dari ginjal melalui
ureter, untuk selanjutnya diteruskan ke uretra dan lingkungan eksternal tubuh
melalui mekanisme relaksasi sphincter. Vesica urinaria terletak di lantai pelvis
(pelvic floor), bersama-sama dengan organ lain seperti rectum, organ
reproduksi, bagian usus halus, serta pembuluh-pembuluh darah, limfatik dan
saraf.

Gambar 3. Vesica Urinaria

Dalam keadaan kosong vesica urinaria berbentuk tetrahedral yang terdiri


atas tiga bagian yaitu apex, fundus/basis dan collum. Serta mempunyai tiga
permukaan (superior dan inferolateral dextra dan sinistra) serta empat tepi

6
(anterior, posterior, dan lateral dextra dan sinistra). Dinding vesica urinaria
terdiri dari otot m.detrusor (otot spiral, longitudinal, sirkular). Terdapat
trigonum vesicae pada bagian posteroinferior dan collum vesicae. Trigonum
vesicae merupakan suatu bagian berbentuk mirip-segitiga yang terdiri dari
orifisium kedua ureter dan collum vesicae, bagian ini berwarna lebih pucat dan
tidak memiliki rugae walaupun dalam keadaan kosong.

Gambar 4. Anatomi Vesica Urinaria

Vesicae urinaria diperdarahi oleh a.vesicalis superior dan inferior. Namun pada
perempuan, a.vesicalis inferior digantikan oleh a.vaginalis.
Sedangkan persarafan pada vesica urinaria terdiri atas persarafan simpatis dan
parasimpatis. Persarafan simpatis melalui n.splanchnicus minor, n.splanchnicus
imus, dan n.splanchnicus lumbalis L1-L2. Adapun persarafan parasimpatis melalui
n.splanchnicus pelvicus S2-S4, yang berperan sebagai sensorik dan motorik.

d. Uretra
Uretra merupakan saluran yang membawa urine keluar dari vesica urinaria
menuju lingkungan luar. Terdapat beberapa perbedaan uretra pada pria dan wanita.
Uretra pada pria memiliki panjang sekitar 20 cm dan juga berfungsi sebagai organ
seksual (berhubungan dengan kelenjar prostat), sedangkan uretra pada wanita
panjangnya sekitar 3.5 cm. selain itu, Pria memiliki dua otot sphincter yaitu
m.sphincter interna (otot polos terusan dari m.detrusor dan bersifat involunter) dan

7
m.s phincter externa (di uretra pars membranosa, bersifat volunter), sedangkan pada
wanita hanya memiliki m.sphincter externa (distal inferior dari kandung kemih dan
bersifat volunter).
Pada pria, uretra dapat dibagi atas pars pre-prostatika, pars prostatika, pars
membranosa dan pars spongiosa.
1. Pars pre-prostatika (1-1.5 cm), merupakan bagian dari collum vesicae dan
aspek superior kelenjar prostat. Pars pre-prostatika dikelilingi otot m.
sphincter urethrae internal yang berlanjut dengan kapsul kelenjar prostat.
Bagian ini disuplai oleh persarafan simpatis.
2. Pars prostatika (3-4 cm), merupakan bagian yang melewati/menembus
kelenjar prostat. Bagian ini dapat lebih dapat berdilatasi/melebar dibanding
bagian lainnya.
3. Pars membranosa (12-19 mm), merupakan bagian yang terpendek dan
tersempit. Bagian ini menghubungkan dari prostat menuju bulbus penis
melintasi diafragma urogenital. Diliputi otot polos dan di luarnya oleh
m.sphincter urethrae eksternal yang berada di bawah kendali volunter
(somatis).
4. Pars spongiosa (15 cm), merupakan bagian uretra paling panjang,
membentang dari pars membranosa sampai orifisium di ujung kelenjar
penis. Bagian ini dilapisi oleh korpus spongiosum di bagian luarnya.

8
Gambar 5. Anatomi Vesica Urinaria-Uretra Pria

Sedangkan uretra pada wanita berukuran lebih pendek (3.5 cm) dibanding
uretra pada pria. Setelah melewati diafragma urogenital, uretra akan bermuara pada
orifisiumnya di antara klitoris dan vagina (vagina opening). Terdapat m. spchinter
urethrae yang bersifat volunter di bawah kendali somatis, namun tidak seperti uretra
pria, uretra pada wanita tidak memiliki fungsi reproduktif.

Gambar 6. Anatomi Uretra Wanita

9
2) Fisiologi 5
Fungsi ginjal selain mengatur keseimbangan biokimia tubuh dengan
cara mengatur keseimbangan air, konsentrasi garam dalam darah dan asam
basa ginjal juga berperan dalam produksi hormon seperti:
1) Eritropoietin: menstimulasi produksi eritrosit di sumsum tulang.
Eritropoietin disekresikan saat ginjal mengalami hipoksia. Hampir
semua hormon eritropoietin yang terdapat dalam darah disekresi oleh
ginjal.
2) 1,25-Dihydroxyvitamin D3 (calcitriol): merupakan bahan aktif dari
vitamin D. Prekursor vitamin D terhidroksilasi di ginjal. Calcitriol
adalah vitamin esensial untuk meregulasi kalsium deposisi pada tulang
dan kalsium reabsorbsi dalam traktus digestivus. Calcitriol juga
mempunyai peran penting dalam refulasi kalsium dan fosfat.
3) Renin: berfungsi sebagai regulator tekanan arteri jangka pendek. Renin
bekerja pada jalur angiotensin untuk meningkatkan tekanan vaskuler
dan produksi aldosteron.
4) Prostaglandin: berfungsi sebagai vasokonstriktor dan regulasi garam
dan air.

3 tahap pembentukan urin: 12,13


1) Filtrasi glomerular
Pembentukan kemih dimulai dengan filtrasi plasma pada glomerulus,
seperti kapiler tubuh lainnya, kapiler glomerulus secara relatif bersifat
impermeabel terhadap protein plasma yang besar dan cukup permeabel terhadap
air dan larutan yang lebih kecil seperti elektrolit, asam amino, glukosa, dan sisa
nitrogen. Aliran darah ginjal (RBF = Renal Blood Flow) adalah sekitar 22% dari
curah jantung atau sekitar 1100 ml/menit. Sekitar seperlima dari plasma atau
sekitar 125 ml/menit dialirkan melalui glomerulus ke kapsul Bowman. Ini
dikenal dengan laju filtrasi glomerulus (GFR = Glomerular Filtration Rate).
Gerakan masuk ke kapsula bowman’s disebut filtrat. Tekanan filtrasi berasal dari
perbedaan tekanan yang terdapat antara kapiler glomerulus dan kapsula

10
bowman’s, tekanan hidrostatik darah dalam kapiler glomerulus mempermudah
filtrasi dan kekuatan ini dilawan oleh tekanan hidrostatik filtrat dalam kapsula
bowman’s serta tekanan osmotik koloid darah. Filtrasi glomerulus tidak hanya
dipengaruhi oleh tekanan-tekanan koloid diatas namun juga oleh permeabilitas
dinding kapiler
2) Reabsorpsi
Zat-zat yang difilltrasi ginjal dibagi dalam 3 bagian yaitu : non elektrolit,
elektrolit dan air. Setelah filtrasi langkah kedua adalah reabsorpsi selektif zat-
zat tersebut kembali lagi zat-zat yang sudah difiltrasi.Hasil sisa metabolisme
seperti urea, kreatinin, asam urat sedikit di reabsorbsi pada tubulus ginjal.
Sebaliknya elektrolit seperti natrium, klorida dan bikarbonat terreabsorbsi dalam
jumlah banyak, hingga kadar elektrolit dalam urin akan rendah. Beberapa zat
hasil filtrasi akan direabsorpsi sepenuhnya, seperti asam amino dan glukosa.
Reabsorbsi terjadi dalam tubulus kontortus proksimal, lengkung henle dan
tubulus kontortus distal.
3) Sekresi
Sekresi tubular melibatkan transport aktif molekul-molekul dari aliran darah
melalui tubulus kedalam filtrat. Banyak substansi yang disekresi tidak terjadi
secara alamiah dalam tubuh (misalnya penisilin). Substansi yang secara alamiah
terjadi dalam tubuh termasuk asam urat dan kalium serta ion-ion hidrogen.
Pada tubulus kontortus distal, transport aktif natrium sistem carier yang juga
telibat dalam sekresi hidrogen dan ion-ion kalium tubular. Dalam hubungan ini,
tiap kali carier membawa natrium keluar dari cairan tubular, cariernya bisa
hidrogen atau ion kalium kedalam cairan tubular “perjalanannya kembali” jadi,
untuk setiap ion natrium yang diabsorpsi, hidrogen atau kalium harus disekresi
dan sebaliknya. Pilihan kation yang akan disekresi tergantung pada konsentrasi
cairan ekstratubular (CES) dari ion-ion ini (hidrogen dan kalium). Pengetahuan
tentang pertukaran kation dalam tubulus distalis ini membantu kita memahami
beberapa hubungan yang dimiliki elektrolit dengan lainnya. Sebagai contoh, kita
dapat mengerti mengapa bloker aldosteron dapat menyebabkan hiperkalemia

11
atau mengapa pada awalnya dapat terjadi penurunan kalium plasma ketika
asidosis berat dikoreksi secara teurapeutik.

Gambar 7. Fisiologi pembentukan urine

2.2 Definisi Batu Saluran Kemih


Batu di dalam saluran kemih (calculus uriner) adalah massa keras seperti batu
yang berada di ginjal dan salurannya dan dapat menyebabkan nyeri, perdarahan,
penyumbatan aliran kemih, atau infeksi.
Batu ini bisa terbentuk di dalam ginjal (nephrolith) maupun di dalam kandung
kemih (vesicolith). Proses pembentukan batu ini disebut urolithiasis.6

12
Gambar 8. Contoh Urolithiasis

2.3 Epidemiologi Batu Saluran Kemih


Urolithiasis merupakan penyakit tersering ketiga di bidang urologi di samping
infeksi saluran kemih dan pembesaran prostat benigna. Kejadian pada pria empat
kali lebih tinggi daripada wanita, kecuali untuk batu amonium magnesium fosfat
(struvit), lebih sering terdapat di wanita dan usia rata-rata BSK terjadi pada usia
30 sampai 50 tahun. Angka kejadian BSK di Indonesia tahun 2002 berdasarkan data
yang dikumpulkan dari rumah sakit di seluruh Indonesia adalah 37.636 kasus baru,
dengan jumlah kunjungan 58.959 penderita. Sedangkan jumlah pasien yang dirawat
adalah 19.018 penderita, dengan jumlah kematian 378 penderita.
Di negara yang sedang berkembang, insidensi batu saluran kemih relatif
rendah, baik dari batu saluran kemih bagian bawah maupun batu saluran kemih
bagian atas. Di negara yang telah berkembang, terdapat banyak batu saluran kemih
bagian atas, terutama di kalangan orang dewasa. Pada suku bangsa tertentu,
penyakit batu saluran kemih sangat jarang, misalnya suku bangsa Bantu di Afrika
Selatan.
Satu dari 20 orang menderita batu ginjal. Pria:wanita = 3:1. Puncak kejadian di
usia 30-60 tahun atau 20-49 tahun. Prevalensi di USA sekitar 12% untuk pria dan
7% untuk wanita. Batu struvite lebih sering ditemukan pada wanita daripada pria.6

13
2.4 Etiologi Batu Saluran Kemih2,7
Terbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannya dengan gangguan
aliran urin, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi, dan keadaan-
keadaan lain yang masih belum terungkap (idiopatik). Secara epidemiologis
terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya batu saluran kemih pada
seseorang. Faktor-faktor itu adalah faktor intrinsik yaitu keadaan yang berasal dari
tubuh seseorang dan faktor ekstrinsik yaitu pengaruh yang berasal dari lingkungan
sekitarnya.
1) Faktor intrinsik itu antara lain adalah :
 Herediter (keturunan)
Penyakit ini diduga diturunkan dari orang tuanya.
 Umur
Penyakit ini paling sering didapatkan pada usia 30-50 tahun.
 Jenis kelamin
Jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan
pasien perempuan.

Gambar 9. Kejadian Urolithiasis Berdasarkan Usia dan Jenis


Kelamin

2) Faktor ekstrinsik diantaranya adalah:

14
a) Geografi
Pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian batu saluran
kemih yang lebih tinggi daripada daerah lain sehingga dikenal sebagi
daerah stone belt (sabuk batu), sedangkan daerah Bantu di Afrika
Selatan hampir tidak dijumpai penyakit batu saluran kemih.
b) Asupan air
Kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium pada air
yang dikonsumsi, dapat meningkatkan insiden batu saluran kemih.
c) Diet
Diet tinggi purin, oksalat dan kalsium mempermudah terjadinya
penyakit batu saluran kemih.
d) Pekerjaan
Penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya banyak
duduk atau kurang aktivitas atau sedentary life.

2.5 Klasifikasi Batu Saluran Kemih


Urolithiasis dapat di klasifikasikan berdasarkan lokasi batu, karakteristik x-ray,
etiologi proses pembuatan batu dan komposisi batu. Klasifikasi ini penting dalam
menatalakasanakan pasien karena dapat mempengaruhi terapi dan juga
prognosis.15,16,17,18

Lokasi batu
1. Nefrolithiasis : Batu yang terbentuk pada pielum, tubuli
hingga calyx ginjal.
2. Ureterolithiasis : Batu yang terdapat pada ureter.
3. Cystolithiasis : Batu yang terdapat pada vasika urinaria.
4. Urethrolithiasis : Batu pada saluran uretra


Karakteristik radiologi
1. Radiopaque : kalsium oksalat dihidrat, kalsium oksalat
monohidrat, kalsium fosfat.
2. Poor radiopaque : magnesium ammonium fosfat, apatit, sistein.

15
3. Radiolucent : usam urat, ammonium urat, xantin, 2,8 dihidroxy-
adenine.


Etiologi
1. Non-infeksi : kalsium oksalat, kalsium fosfat, asam urat.
2. Infeksi : magnesium ammonium fosfat, apatit, ammonium urat.
3. Genetik : sistein, xantin, 2,8 dihidroksiadenin.

 Komposisi

Batu saluran kemih pada umumnya mengandung unsur kalsium oksalat


atau kalsium fosfat 75%, asam urat %, magnesium-amonium-fosfat 15%, sistin,
silikat dan senyawa lain 1%.

Stoller mengelompokkan batu saluran kemih menjadi dua golongan, yaitu:


 Batu kalsium
 Batu non-kalsium (struvit, asam urat, Cystine, Xantine, Indinavir).

Menurut Pearle dan Lotan dalam buku Campbell-Walsh Urology Tenth Edition,
klasifikasi batu pada saluran kemih atas dengan faktor pemicunya antara lain:
1. Batu kalsium
 Hiperkalsiuria; didefinisikan sebagai ekskresi kalsium dalam urin yang
melebihi 4 mg/kg/hari atau lebih dari 7 mmol/hari pada lakilaki dan 6
mmol/hari pada perempuan.
 Hiperoksaluria; penyebabnya adalah gangguan tahapan biosintesis
(hiperoksaluria primer), malabsorpsi saluran cerna yang disebabkan oleh
inflammatory bowel disease, dan konsumsi oksalat yang tinggi.
 Hiperurikosuria; didefinisikan sebagai kadar asam urat dalam urin yang
melebihi 600 mg/hari. Penyebabnya adalah konsumsi purin yang tinggi dan
penyakit yang didapat atau herediter.
 Hipositraturia; keseimbangan asam basa sangat berpengaruh besar terhadap
ekskresi sitrat dalam urin, seperti asidosis metabolik akan mengurangi kadar

16
sitrat dalam urin. Sebaliknya, pada keadaan alkalosis kadar sitrat dalam urin
akan meningkat, diikuti peningkatan kadar hormon paratiroid, estrogen,
growth hormone, dan vitamin D.
 pH urin yang rendah; segala gangguan yang mengakibatkan penurunan pH
urin akan memicu terbentuknya batu.
 Asidosis tubular ginjal (Renal Tubular Acidosis); ditandai dengan kerusakan
tubular ginjal dalam sekresi ion hidrogen atau reabsorpsi bikarbonat.

2. Batu asam urat


3. Batu sistin
Beberapa faktor dapat memengaruhi kelarutan sistin termasuk konsentrasi sistin,
pH, ikatan ionik, dan makromolekul urin.
4. Batu infeksi
Komposisi utama batu infeksi adalah magnesium amonium, fosfat
heksahidrat dan dapat terkandung kalsium fosfat dalam pembentukan karbonat
apatit.
5. Batu lainnya
 Xanthine dan Dihydroxyadenine Stones
 Ammonium Acid Urate Stones
 Matrix Stones

Gambar 10. Gambaran bentuk batu kalsium oksalat

17
Gambar 11. Gambaran bentuk batu struvit

Gambar 12. Gambaran bentuk batu asam urat

Gambar 13. Gambaran bentuk batu sistin

2.6 Patofisiologi
Terdapat 2 mekanisme pembentukan batu yaitu supersaturasi atau infeksi.
Batu yang dihasilkannyapun dapat berbeda, pada supersaturasi (free stone
formation) batu yang terbentuk biasanya adalah batu asam urat dan sistein. Pada
infeksi batu yang terbentuk adalah hasil dari metabolisme bakteri. Sedangkan

18
formasi batu yang frekuensinya paling banyak, kalkulus yang mengandung
kalsium, lebih kompleks masih belum dapat jelas dimengerti.19
Batu terdiri dari bahan-bahan organik maupun anorganik yang terlarut
dalam urin. Kristal-kristal tersebut tetap berada dalam keadaan metastable
dalam urin jika tidak ada keadaan keadaan tertentu yang menyebabkan
terjadinya presipitasi kristal. Kristal yang saling mengadakan presipitasi
membentuk inti batu yang kemudian akan mengadakan agregasi dan menarik
bahan bahan lain sehingga menjadi Kristal yang lebih besar. Kristal tersebut
bersifat rapuh dan belum cukup membuntukan saluran kemih. Maka dari itu
agregat Kristal menempel pada epitel saluran kemih dan membentuk retensi
kristal. dengan mekanisme inilah bahan bahan lain diendapkan pada agregat
tersebut hingga membentuk batu yang cukup besar untuk menyumbat saluran
kemih.20
Kondisi metastable dapat dipengaruhi oleh suhu, pH larutan, adanya
koloid di dalam urin, konsentrasi solute di dalam urin, laju aliran urin di dalam
saluran kemih, atau adanya korpus alienum di dalam saluran kemih yang
bertindak sebagai inti batu. Batu asam urat lebih mudah terbentuk dalam
suasana asam, sedangkan magnesium ammonium fosfat cenderung terformasi
dalam keadaan basa. Lebih dari 80% batu saluran kemih terdiri atas batu
kalsium. Kalsium dapat berikatan dengan oksalat, fosfat membentuk batu
kalsium fosfat dan kalsium oksalat. 20
Ada beberapa zat yang dapat bertindak sebagai inhibitor pembentukan
batu. Ion magnesium dapat menghambat pembentukan batu kalsium oksalat
dengan cara berikatan dengan oksalat. Demikian pula sitrat jika berikatan
dengan ion kalsium akan membentuk garam kalsium sitrat sehingga dapat
mengurangi formasi batu yang berkomponen kalsium. Beberapa proteinpun
dapat bertindak sebagai inhibitor dengan cara menghambat pertumbuhan
kristal, menghambat agregasi kristal maupu menghambat retensi kristal.
senyawa itu antara lain adalah: glikosaminoglikan, protein Tamm Horsfall,
nefrokalsin dan osteopontin. 20

19
Kandungan batu kemih kebayakan terdiri dari:
1. 75 % kalsium
2. 15 % batu tripe/batu struvit (Magnesium Amonium Fosfat)
3. 6 % batu asam urat
4. 1-2 % sistin (cystine)

2.7 Faktor Resiko


1. Hiperkalsiuria
Suatu keadaan dimana kadar kalsium di dalam urin lebih besar dari 250-300
mg/24 jam, disebabkan karena, hiperkalsiuria idiopatik (meliputi
hiperkalsiuria disebabkan masukan tinggi natrium, kalsium dan protein),
hiperparatiroidisme primer, sarkoidosis, dan kelebihan vitamin D atau
kelebihan kalsium.
2. Hipositraturia
Suatu penurunan ekskresi inhibitor pembentukan kristal dalam air kemih,
khususnya sitrat, disebabkan idiopatik, asidosis tubulus ginjal tipe I
(lengkap atau tidak lengkap), minum Asetazolamid, dan diare dan masukan
protein tinggi.
3. Hiperurikosuria
Peningkatan kadar asam urat dalam air kemih yang dapat memacu
pembentukan batu kalsium karena masukan diet purin yang berlebih.
4. Penurunan jumlah air kemih
Dikarenakan masukan cairan yang sedikit.
5. Jenis cairan yang diminum
Minuman yang banyak mengandung soda seperti soft drink, jus apel dan jus
anggur.
6. Hiperoksalouria
Kenaikan ekskresi oksalat diatas normal (45 mg/hari), kejadian ini
disebabkan oleh diet rendah kalsium, peningkatan absorbsi kalsium
intestinal, dan penyakit usus kecil atau akibat reseksi pembedahan yang
mengganggu absorbsi garam empedu.
7. Ginjal Spongiosa Medula

20
Disebabkan karena volume air kemih sedikit, batu kalsium idiopatik (tidak
dijumpai predisposisi metabolik).
8. Batu Asam Urat
Batu asam urat banyak disebabkan karena pH air kemih rendah, dan
hiperurikosuria (primer dan sekunder).
9. Batu Struvit
Batu struvit disebabkan karena adanya infeksi saluran kemih dengan
organisme yang memproduksi urease. Batu dapat tumbuh menjadi lebih
besar membentuk batu staghorn dan mengisi seluruh pelvis dan kaliks
ginjal. Kuman penyebab infeksi ini adalah golongan kuman pemecah urea
atau urea splitter yang dapat menghasilkan enzim urease dan merubah urine
menjadi bersuasana basa melalui hidrolisis urea menjadi amoniak. Sekitar
75% kasus batu staghorn, didapatkan komposisi batunya adalah matriks
struvit-karbonat-apatit atau disebut juga batu struvit atau batu triple
phosphate, batu fosfat, batu infeksi, atau batu urease, walaupun dapat pula
terbentuk dari campuran antara kalsium oksalat dan kalsium fosfat. Suasana
basa ini yang memudahkan garam-garam magnesium, ammonium, fosfat
dan karbonat membentuk batu magnesium amoniun fosfat (MAPdan
karbonat apatit. Batu jenis ini dikenal dengan nama batu triple-phosphate.
Kuman-kuman yang termasuk pemecah urea diantaranya adalah Proteus
spp, Klebsiella, Serratia, Enterobacter, Pseudomonas, dan Stafilokokus.
Meskipun E.coli banyak menyebabkan infeksi saluran kemih, namun
kuman ini bukan termasuk bakteri pemecah urea.1

21
2.8 Manifestasi Klinis
1) Nyeri
BSK bagian atas sering kali menyebabkan nyeri karena turunnya BSK
ke ureter yang sempit. Kolik ginjal dan nyeri ginjal adalah dua tipe nyeri
yang berasal dari ginjal. BSK pada kaliks dapat menyebabkan obstruksi,
sehingga memberikan gejala kolik ginjal, sedangkan BSK non obstruktif
hanya memberikan gejala nyeri periodik. Batu pada pelvis renalis dengan
diameter lebih dari 1 cm umumnya menyebabkan obstruksi pada
uretropelvic juction sehingga menyebabkan nyeri pada tulang belakang.
Nyeri tersebut akan dijalarkan sepanjang perjalanan ureter dan testis. Pada
BSK ureter bagian tengah akan dijalarkan di daerah perut bagian bawah,
sedangkan pada BSK distal, nyeri dijalarkan ke suprapubis vulva (pada
wanita) dan skrotum pada (pria).
2) Hematuria
Pada penderita BSK seringkali terjadi hematuria (air kemih berwarna
seperti air teh) terutama pada obstruksi ureter.
3) Infeksi
BSK jenis apapun seringkali berhubungan dengan infeksi sekunder
akibat obstruksi dan stasis di proksimal dari sumbatan. Keadaan yang cukup
berat terjadi apabila terjadi pus yang berlanjut menjadi fistula renokutan.
4) Demam
Adanya demam yang berhubungan dengan BSK merupakan kasus
darurat karena dapat menyebabkan urosepsis.
5) Mual dan muntah
Obstruksi saluran kemih bagian atas seringkali menyebabkan mual dan
muntah, dapat juga disebabkan oleh uremia sekunder.8

Sedangkan manifestasi klinis berdasarkan lokasi batu, ukuran dan penyulit yang
telah terjadi :
a. Nefrolithiasis : Nyeri pinggang non kolik akibat peregangan kapsul ginjal
karena hidronefrosis ataupun infeksi pada ginjal. Pemeriksaan ketuk CVA

22
positif. Jika ginjal telah mengalami hidronefrosis maka ginjal akan teraba
pada pemeriksaan ballottement. Jika ginjal mengalami infeksi pasien,
demam dapat ditemukan.
b. Ureterolithiasis : Nyeri kolik pada pinggang yang dilewati batu. Nyeri
kolik ini disebabkan karena peningkatan tekanan intralumen karena usaha
gerakan peristaltik ureter ataupun sistem kalises. Dapat terjadi hematuria
karena trauma pada mukosa saluran kemih yang disebabkan oleh batu.
c. Cystolithiasis : Kesulitan memulai BAK jika batu menutupi sphincter,
BAK yang tersendat dan lancar jika mengubah posisi badan, dapat terjadi
hematuria. Penderita juga dapat merasakan sensasi keluarnya pasir saat
berkemih. Pasien juga dapat merasakan perasaan tidak enak saat BAK,
frekuensi BAK yang meningkat karena pengecilan ruangan vesika, pada
anak dapat ditemukan enuresis nokturna, dan sering menarik penis ataupun
menggosok vulva. Jika terjadi komplikasi seperti hidronefrosis ataupun
infeksi maka gejala obstruksi saluran kemih bagian atas seperti demam dan
mual muntahpun dapat dirasakan oleh pasien.

2.9 Penegakan Diagnosis


a) Anamnesis
Pasien dengan BSK mempunyai keluhan yang bervariasi mulai dari
tanpa keluhan, sakit pinggang ringan sampai dengan kolik, disuria,
hematuria, retensio urine, anuria. Keluhan ini dapat disertai dengan
penyulit seperti demam, dan tanda-tanda gagal ginjal. Setalah itu,
menggali penyakit terdahulu yang dapat menjadi faktor pencetus
terbentuknya batu seperti riwayat ISK dengan batu saluran kemih,
kelainan anatomi, renal insuffciency,dll.
b) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pasien dengan BSK dapat bervariasi mulai dari
tanpa kelainan fisik sampai tanda-tanda sakit berat, tergantung pada
letak batu dan penyulit yang ditimbulkan. Pada pemeriksaan fiisk
khusus urologi dapat dijumpai :

23
 Sudut kosto vertebra : Nyeri tekan, nyeri ketok dan pembesaran
ginjal
 Supra simfisis : nyeria tekan, teraba batu, buli-buli penuh
 Genitalia eksterna : teraba batu di uretra
 Colok dubur : teraba batu pada buli-buli pada saan melakukan
palpasi bimanual

c) Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium
Pada 85% dari pasien yang mengalami kolik renalis pada
pemeriksaan urinalisisnya ditemukan adanya hematuria
secara mikroskopis, kadang-kadang kristaluria.5 Derajat
hematuria bukan merupakan ukuran untuk memperkirakan
besar batu atau kemungkinan lewatnya suatu batu. Tidak
dijumpai hematuria secara mikroskopis pada urinalisis
tidaklah menyingkirkan adanya suatu batu saluran kemih,
dan lebih kurang 10% penderita batu urin dijumpai darah
didalam urinnya.4,9,11,12
Bakteriuria biasanya tidak dijumpai kecuali bila pasien
secara bersamaan menderita infeksi saluran kencing (ISK).
Meskipun ISK bukan secara langsung merupakan
konsekuensi dari batu, tapi ISK dapat terjadi setelah
instrumentasi atau pemakaian alat seperti kateter pada
bedah traktus urinarius ataupun dalam pengobatan batu
ginjal.5 Urinalisis harus dilakukan dalam pada semua
pasien dengan dugaan urolitiasis. Selain mikrohematuria
tipikal, temuan penting yang perlu diperhatikan adalah pH
urin dan adanya kristal, yang dapat membantu
mengidentifikasi komposisi batu. Penderita batu asam urat
biasanya memiliki urin yang bersifat asam, dan mereka

24
yang memiliki formasi batu akibat infeksi memiliki urine
alkalin.9
Identifikasi bakteri penting dalam perencanaan terapi,
dan kultur urin harus dilakukan secara rutin. Pyuria terbatas
adalah respon yang cukup umum terhadap iritasi yang
disebabkan oleh batu dan, dengan tidak adanya bakteriuria,
umumnya tidak menunjukkan adanya infeksi saluran kemih
yang berdampingan.11

 Radiologi
Untuk diagnosa pasti adanya batu adalah dengan
Intravenous Pielography (IVP) dan foto polos abdomen
atau Blass Nier Overzicht (BNO). Namun pada keadaan
tertentu misalnya wanita hamil, ada riwayat tak tahan
dengan zat kontras, ditentukan dengan pemeriksaan
Ultrasonography (USG). Dikatakan USG lebih sensitif
untuk mendeteksi batu ureteral vesical junction
dibandingkan dengan IVP, namun juga dikatakan bahwa
USG tidak dapat mendeteksi batu ureter tengah dan distal.9
Ultrasonografi abdomen terbatas digunakan dalam
diagnosis dan pengelolaan urolitiasis. Meskipun
ultrasonografi sudah tersedia, dilakukan dengan cepat dan
sensitif terhadap kalkuli ginjal, hampir sulit mendeteksi
adanya batu ureter, yang kemungkinan besar bersifat
simtomatik daripada kalkuli ginjal. Namun, jika batu ureter
itu ada, divisualisasikan dengan ultrasound, temuannya
dapat diandalkan. Pemeriksaan ultrasonografi juga sangat
sensitif terhadap hidronefrosis, yang mungkin merupakan
manifestasi obstruksi ureter, namun seringkali terbatas pada
penentuan tingkat atau sifat obstruksi.11,12

25
Radiografi polos BNO mungkin cukup untuk
mendokumentasikan ukuran dan lokasi kalkuli yang
bersifat radiopaque. Batu yang mengandung kalsium,
seperti batu kalsium oksalat dan kalsium fosfat, paling
mudah dideteksi dengan radiografi. Batu yang bersifat
radiopaque lemah, seperti batu asam urat murni dan batu
yang terutama terdiri dari sistin atau magnesium amonium
fosfat, mungkin sulit, jika tidak mungkin, untuk dideteksi
pada radiografi film biasa.9,10,11
Sayangnya, kalkuli yang bersifat radiopaque sering
dikaburkan oleh tinja atau gas usus, dan batu-batu ureter
yang melintang di atas processus transversus corpus
vertebra sangat sulit untuk diidentifikasi. Selanjutnya,
radiopacities nonurologis, seperti kelenjar getah bening
yang mengalami kalsifikasi, batu empedu, tinja dan
phlebolith (vena pelvis yang mengandung kalsifikasi),
dapat disalahartikan sebagai batu. Meskipun 90% kalkuli
urin secara historis dianggap radioopak, sensitivitas dan
spesifisitas radiografi BNO tetap saja. 11
Intravenous Pielography (IVP) telah dianggap sebagai
modalitas pencitraan standar untuk urolitiasis. IVP
memberikan informasi yang berguna tentang batu (ukuran,
lokasi, radiodensitas) dan lingkungannya (anatomi calyx,
tingkat obstruksi), serta unit ginjal kontralateral (fungsi,
anomali). IVP tersedia secara luas, dan interpretasinya juga
terstandarisasi. Dengan modalitas pencitraan ini, kalkulus
ureter dapat dengan mudah dibedakan dari radiopacities
nonurologis.11,12
Keakuratan IVP dapat dimaksimalkan dengan persiapan
usus yang tepat, dan efek buruk kontras yang merugikan.
Media dapat diminimalkan dengan memastikan bahwa

26
pasien terhidrasi dengan baik. Sayangnya, langkah
persiapan ini memerlukan waktu dan seringkali tidak bisa
dilakukan saat pasien dalam kondisi darurat. Dibandingkan
dengan USG abdomen dan BNO, IVP memiliki sensitivitas
yang lebih tinggi (64-87%) dan spesifisitas (92-94%) untuk
deteksi urolitiasis. Namun, IVP dapat membingungkan
dengan adanya batu radiolusen yang tidak mengganggu,
yang mungkin tidak selalu menghasilkan "defek
pengisian." Selanjutnya, pada pasien dengan obstruksi
tingkat tinggi, bahkan IVP yang berkepanjangan selama 12-
24 jam mungkin tidak menunjukkan tingkat penyumbatan
karena konsentrasi media kontras yang tidak memadai.9,10,11
Media kontras yang digunakan dalam IVP efek samping
berupa nefrotoksik yang telah terbukti. Kadar serum
kreatini harus diukur sebelum media kontras diberikan.
Meskipun kadar serum kreatinin lebih besar dari 1,5 mg/dL
(130 μmol/L) bukan kontraindikasi mutlak. Risiko dan
manfaat menggunakan mediakontras harus
dipertimbangkan dengan hati-hati, terutama pada pasien
diabetes melitus, penyakit kardiovaskular atau mieloma
multipel. Resiko ini dapat diminimalisir dengan
menghidrasi pasien denagn cukup, meminimalkan jumlah
bahan kontras yang diinfuskan, dan memaksimalkan
interval waktu antara pemberian kontras berturut-turut.
Meskipun demikian, adalah bijaksana untuk menghindari
penggunaan media kontras bila modalitas pencitraan
alternatif dapat memberikan informasi yang setara.11

27
2.10 Tatalaksana Batu Saluran Kemih13
Batu yang sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih secepatnya harus
dikeluarkan agar tidak menimbulkan penyakit lebih parah. Batu dapat dikeluarkan
dengan cara medika mentosa dan non medika mentosa:

a.) Medika Mentosa:


 Terapi ini ditujukan untuk batu yang ukurannya kurang dari 5 mm
diharapkan dapat keluar dengan spontan dengan tujuan untuk mengurangi
nyeri saat proses pengeluaran batu dengan cara miksi. Pemberian diuretik
dapat digunakan untuk memperlancar aliran urin. Edukasi pasien untuk
minum banyak juga dapat dilakukan untuk memperlancar aliran urin.
 Oral alkanizing agents seperti natrium atau kalium bikarbonat dapat
mendisolusikan batu yang bersifat asam. Kontraindikasi obat ini adalah
pasien dengan riwayat gagal jantung atau gagal ginjal.

b.) Non Medika Mentosa


 ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy) : alat ini dapat memecah
batu ginjal, ureter proksimal atau buli buli tanpa melalui tindakan invasive
dan tanpa pembiusan. Menggunakan shockwave batu dapat dipecahkan.
Pasien dapat merasa nyeri kolik pada proses pemecahan batu.
Kontraindikasi pemecahan batu menggunakan ESWL adalah pasien hamil,
infeksi saluran kemih dan batu sistein.
 PNL (Percutaneus Nephro Litholapaxy) : menggunakan alat endoskopi ke
sistem kalises melalui insisi pada kulit. Batu kemudian dipecah menjadi
ukuran yang lebih kecil.
 Litotripsi : menggunakan alat litotriptor dengan akses dari uretra, batu
dapat dipecahkan menjadi fragmen kecil. Pecahan batu dapat dikeluarkan
dengan evakuator Ellik.
 Ureteroskopi : dengan memasukkan alat ureteroskopi per uretram guna
melihat keadaan ureter atau sistem pielokaliks ginjal.
 Bedah laparoskopi : cara ini banyak dipakai untuk mengambil batu ureter.

28
 Bedah terbuka : terbagi atas pielolitotomi dan ureterolitotomi. Pada
tindakan ini pasienpun dapat dilakukan nefrektomi jika terjadi gagal ginjal
ataupun pionefrosis.

Gambar 14. Algoritme penatalaksanaan non medika mentosa pada


urolithiasis

2.11 Pencegahan
Pencegahan urolithiasis dapat dilakukan dan dibedakan bergantung
pada komposisi batu:
1. Batu asam urat: pengaturan diet rendah purin dan pemberian allopurinol
sebagai pengontrol kadar asam urat dalam darah
2. Batu kalsium fosfat: melakukan pemeriksaan ekskresi kalsium dalam urin
dan nilai kalsium darah. Nilai yang melebihi normal dapat menandakan
etiologi primer seperti hiperparatiroidisme
3. Batu kalsium oksalat: sumbernya dapat berasal dari eksogen maupun
endogen. Makanan yang banyak mengandung oksalat adalah bayam, teh,
kopi dan coklat. Selain itu, hiperkalsemia dan hiperkalsiuria dapat
disebabkan penyakit lain, seperti hiperparatiroidisme dan kelebihan vitamin
D.

29
Pada umumnya pembentukan batu juga dapat dihindarkan dengan cara
asupan cairan yang mencukupi, aktivitas yang cukup dan mengontrol
beberapa kadar zat dalam urin. Pada keadaan infeksi, pencegahan
pembentukkan batu dapat dilakukan dengan cara mengobati infeksi yang
ada dengan antibiotic dan asupan cairan yang banyak.

2.12 Komplikasi Batu Saluran Kemih


Batu yang menyumbat pada saluran kemih dapat menyebabkan komplikasi
terhadap organ superior terhadap penyumbatan. Beberapa komplikasi
urolithiasis adalah obstruksi ureter yang dapat menyebabkan hidroureter hingga
hidronefrosis. Urin yang statis karena penyumbatan ginjalpun dapat menjadi
media yang baik untuk berkembangnya bakteri hingga dapat menyebabkan
infeksi hingga urosepsis.
Pada keadaan tertentu pyonefrosis juga dapat terjadi pada batu saluran
kemih bagian atas. Perjalan pengeluaran batu juga dapat menimbulkan trauma
pada ureter hingga dapat membetuk striktur ureter. Dalam jangka waktu yang
lama batu dapat mengiritasi mukosa vesika urinaria secara kronis, hingga dapat
menyebabkan komplikasi karsinoma sel skuamosa.14

2.13 Prognosis Batu Saluran Kemih


Prognosis batu ginjal tergantung dari faktor-faktor ukuran batu, letak batu,
dan adanya infeksi serta obstruksi. Makin besar ukuran suatu batu, makin buruk
prognosisnya. Letak batu yang dapat menyebabkan obstruksi dapat
mempermudah terjadinya infeksi. Makin besar kerusakan jaringan dan adanya
infeksi karena faktor obstruksi akan dapat menyebabkan penurunan fungsi
ginjal.
Pada pasien dengan batu yang ditangani dengan ESWL, 60% dinyatakan
bebas dari batu, sisanya masih memerlukan perawatan ulang karena masih ada
sisa fragmen batu dalam saluran kemihnya. Pada pasien yang ditangani dengan
PNL, 80% dinyatakan bebas dari batu, namun hasil yang baik ditentukan pula
oleh pengalaman operator.15

30
BAB III
KESIMPULAN

Urolithiasis adalah keadaan dimana adanya batu pada saluran kemih dimulai
dari ginjal, ureter, vesika urinaria hingga uretra. Penyakit batu saluran kemih
menempati posisi ke dua paling sering ditemukan pada urologi dengan seiringnya
waktu karena perubahan pola hidup dan diet masyarakat. Ada beberapa jenis batu
yang dapat terakumulasi pada saluran kemih, batu kalsium oksalat, kalsium fosfat,
batu urat, batu struvit dan batu campuran. Gejala yang ditimbulkan pada penyakit
ini bergantung pada lokasi ataupun obstruksi yang ditimbulkan oleh batu tersebut.
Komplikasi batu saluran kemih yang sering tejadi adalah penyumbatan total
dari saluran sehingga menyebabkan back flow pada urin. Efek dari back flow dari
urin adalah dapat terjadinya hidroureter hingga hidronefrosis. Pada kasus tertentu
urosepsis dapat terjadi pada pasien. Gejala yang terdapat pada urolithiasis adalah
antara lain Obstructive Lower Urinary Track Syndrome, mual muntah, demam,
nyeri kolik pada pinggang, hematuria dan sensasi keluarnya pasir saat berkemih.
Penatalaksanaan urolithiasis antara lain adalah dengan medika mentosa
ataupun intervensi bedah. Tindakan bedah yang dilakukan dapat bersifat invasive
dan non invasiv. Tindakan invasiv seperti litotripsi, PNL, bedah laparoskopi.
Tindakan non-invasiv antara lain ESWL. Pasien dapat mencegah terjadinya batu
dengan cara mengatasi infeksi saluran kemih yang dialaminya, mengontrol kadar
zat dalam darahnya dan hidrasi yang cukup.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Netter FH. Atlas of Human Anatomy. 4th ed. US: Saunders; 2006.
2. Soeparman, dkk. 2001. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Hlmn 378. Balai
Penerbit FKUI : Jakarta.
3. Scanlon VC, Sanders T. Essential of anatomy and physiology. 5th ed. US:
FA Davis Company; 2007.
4. Van de Graaf KM. Human anatomy. 6th ed. US: The McGraw-Hill
Companies; 2001.
5. Guyton dan Hall. 2007. Buku Ajar FISIOLOGI KEDOKTERAN Edisi II.
EGC: Jakarta.
6. http://medicastore.com/penyakit/90/Batu_Saluran_Kemih.html. akses
tanggal 22 Oktoner 2019.
7. Turk C, Knoll T, Petrik A, Sarica K, Seitz C, Straub M. Guidelines on
Urolithiasis. European Association of Urology; 2011. P.289-293.
8. Marshall SR, Rao N,Eftinger B and Tafekli A, Medical Management of
Urolitiasis, in Stone Disease. Public Health, 2003, p138-142.
9. Yolanda S. What is Urolithiasis. News Medical Life Sciences.
https://www.news-medical.net/health/What-is-Urolithiasis.aspx. Accessed
Jan. 16, 2018.
10. Moore, Keith L., Arthur F Dalley, and A. M. R Agur. Clinically Oriented
Anatomy. 6th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2010.
11. Kim SC, Burns EK, Lingeman JE, et al. Cystine calculi: correlation of
Ctvisible structure, CT number, and stone morphology with fragmentation
by shock wave lithotripsy. Urol Res 2007 Dec;35(6):319-24.
12. Turk C, Knoll T, Pterick A et al. Guidelines on Urolithiasis. European
Association of Urology 2015. March 2015.
13. Tanagho E, McAninch J. Smith’s General Urology. 17th edition. The
McGraw-Hill companies; 2008. P.246.
14. Purnomo B. Dasar-dasar Urologi. Edisi Ketiga. Jakarta : Sagung Satu, 2014.
Hal : 87- 101.
15. Shires, Schwartz. Intisari prinsip – prinsip ilmu bedah. ed-6. EGC : Jakarta.
588-589.
16. Samuels MA, Ropper AH. Samules ‘s Manual of Neurologic Therapeutics
Nine Edition. Lippincot Williams & Wilkins. ISBN : 978-1 - 60547-575-2.
17.Urology Care Foundation. Neurogenic bladder. Article of The Official
Foundation of the American Urologist Association. 2014; [December2014;

32
cited 2014 3 Desember] Available
from:http://www.urologyhealth.org/urology/index.cfm?article=9
18. Ropper AH, Samuels MA. Adams and Victors’s Principles of Neurology
Nine Edition. Mc Graw Hill Inc. New York. ISBN : 978-0-07-149992-7

33

Anda mungkin juga menyukai