Anda di halaman 1dari 44

MAKALAH

MANAJEMEN TERNAK PERAH

“Manajemen Kesehatan”

Oleh :

Kelas D

Kelompok 4

MUHAMAD ROVIE NAWAWI 200110160101


MUHAMAD FAJRUL RAHMAN 200110160107
BINTANG LUTVIATI 200110160115
ANDINI KHOERUNNISA 200110160126
DEPPI FAHMI GAUTAMA 200110160153

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN

SUMEDANG

2018
I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan ternak merupakan salah satu aspek yang harus diperhatikan

dalam manajemen pemeliharaan sapi perah, karena ternak yang sehat akan memiliki

produktivitas (memberikan hasil) yang optimal. Banyak permasalahan yang timbul

seperti permasalahan pakan dan kesehatan ternak. Agar permasalahan dapat

ditangani dengan baik, diperlukan adanya perubahan pendekatan dari pengobatan

menjadi bentuk pencegahan dan dari pelayanan individu menjadi bentuk pelayanan

kelompok. Upaya penanganan kesehatan pada ternak meliputi pencegahan,

pengendalian, pengobatan dan rehabilitative (pemulihan) Manajemen kesehatan

mempunyai arti penting karena meningkatkan hasil usaha (baik bibit maupun susu)

sehingga dengan optimalisasi produktivitas akan meningkatkan pendapatan dan

kesejahteraan peternak. Walaupun demikian factor kesehatan sangat terkait erat

dengan manajemen pakan dan pola pemeliharaan. Terjadinya penyakit pada ternak

(dalam hal ini sapi perah) sangat merugikan pemilik/peternak, karena akan

mengakibatkan penurunan produksi, mengurangi kesempatan berreproduksi,

menambah medical cost, resiko kematian ternak, bahkan penyakit-penyakit tertentu

yang dapat menular pada ternak lain dan manusia.

Pemilik ternak harus selalu memperhatikan perubahan-perubahan yang terjadi

pada sapi yang dipelihara, dan segera melaporkan pada petugas kesehatan hewan

terdekat. Di samping itu peternak juga harus memperhatikan kebersihan dan

sanitasi, baik ternak, kandang maupun lingkungannya, karena kebersihan erat

kaitannya dalam usaha pencegahan timbulnya penyakit pada sapi. Penyediaan


pakan, air minum dan kolostrum (pedet) juga harus diperhatikan agar ternak

tercukupi kebutuhan nutrisinya. Adanya catatan baik data reproduksi maupun

kesehatannya sangat membantu.

1.2 Identifikasi Masalah

1) Apakah penyebab dan spesifikasi penanggulangan masitis pada sapi perah

2) Apakah penyebab dan spesifikasi penanggulangan brucellosis pada sapi perah

3) Bagaimana kriteria karantina dan pengafkiran

4) Apa saja sarana dan prasararana manajemen kesehatan

5) Bagaimana indikasi kesejahteraan dan kesehatan sapi perah.

1.3 Manfaat dan Tujuan

1) Mengetahui penyebab dan spesifikasi penanggulangan masitis pada sapi

perah

2) Mengetahui penyebab dan spesifikasi penanggulangan brucellosis pada sapi

perah

3) Mengetahui kriteria karantina dan pengafkiran

4) Mengetahui sarana dan prasararana manajemen kesehatan

5) Mengetahui indikasi kesejahteraan dan kesehatan sapi perah


II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Mastitis

Staphylococcus aureus (S. aureus) dan Streptococcus agalactiae (Str.

Agalactiae) merupakan bakteri penyebab utama mastitis pada sapi perah yang

menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar akibat penurunan produkai susu.

Berdasarkan uji sensitifitas terhadap berbagai antibiotik diketahui bahwa sebagian

besar S. aureus telah resisten terhadap oksasilin (87,5%) dan eritromisin (71,97%)

dan ada beberapa isolate yang juga resisten terhadap tetrasiklin (37,46%),

ampisillin (25%) dan gentamisin (21,87%) (Salasia dkk, 2005).

2.2 Penyakit Brucellosis

Brucellosis merupakan penyakit infeksi kronis pada sapi yang menyebabkan

terjadinya abortus, pedet lahir lemah atau kematian pedet, infertilitas dan penurunan

produksi susu (Enright, 1990).

Brucellosis juga merupakan salah satu penyakit zoonosis yang dapat

menginfeksi manusia (Young, 1983).

Penularan melalui inhalasi dapat terjadi terutama ketika ternak sehat dan

ternak yang mengalami abortus ditempatkan dalam satu kandang yang padat

dengan sanitasi buruk (Alton, 1984).

2.3 Penyakit Diare

Bovine Virus Diarrhea (BVD) juga merupakan agen penyebab diare pada

sapi, walaupun secara umum jarang dijumpai pada anak sapi yang baru lahir. Anak

sapi yang baru lahir terinfeksi oleh BVD akan mengalami demam tinggi , susah

nafas dan diare profus. Protozoa penyebab diare Cryptosporidium banyak

ditemukan hampir disemua kelompok sapi bahkan pada letupan neonatal enteritis
dengan gejala diare di Scotland pada tahun 2003 paling tinggi disebabkan eleh

cryptosporidia (35%) sedangkan koksidia hanya 3% (Mason dan Caldow, 2005).

Protozoa ini memiliki ukuran jauh lebih kecil dari pada koksidia dan memiliki

kemampuan untuk melekat pada sel lapisan usus halus dan merusak mikrovili,

akibatnya akan menghambat proses penyerapan. Diare disesabkan oleh agen

protozoa ini biasanya terjadi pada anak sapi umur tujuh sampai 21 hari. Anak sapi

neonatal dilaporkan terserang diare akibat infeksi oleh Cryptosporidium parvum

(Trotz dkk., 2005).

Coccidia species dapat menyebabkan diare pada anak sapi umur antara 3

minggu sampai 6 bulan. Infeksi menunjukkan klinis yang beragam dari sakit ringan,

diare khronis sanpai diare berdarah. Jenis protozoa lain yaitu Giardia. Disebut

sebagai penyebab diare pada anak sapi. Infeksi alam sering ditemukan kedua jenis

protozoa yaitu Cryptosporidium dan Giardia (Mc. Allister dkk., 2005; Nydam dkk.,

2001; O’Handley dkk., 1999).

2.4 Kriteria Karantina dan Pengafkiran

Gangguan reproduksi dapat berupa hipofungsi, retensi plasenta, kawin

berulang, dan endometritis, sedangkan gangguan klinis yang sering terjadi adalah

gangguan metabolisme (ketosis, milk fever dan hipocalcemia), enteritis, displasia

13 abomasum dan pneumonia. Adanya gangguan penyakit pada sapi perah yang

disertai dengan penurunan produksi dapat menyebabkan sapi dikeluarkan dari

kandang atau culling (afkir). Selain itu, faktor-faktor yang perlu diperhatikan di

dalam kesehatan sapi perah adalah lingkungan yang baik, pemerahan yang rutin dan

peralatan pemerahan yang baik (Etgen ,dkk., 1987).

2.5 Sarana dan Prasarana Manajemen Kesehatan Sapi Perah


Kebersihan harus selalu dijaga, kotoran sapi harus selalu dibuang pada

tempat yang disediakan, genangan air dalam kandang harus dikeringkan untuk

menghindari berkembangbiaknya kuman, bakteri maupun jamur dan diupayakan

tidak ada lalat atau serangga lain yang dapat mengganggu ternak di kandang.

Ternak sedapat mungkin dimandikan minimal satu kali sehari atau dua kali sehari

apabila air melimpah, sapi sangat perlu dimandikan pada pagi hari karena biasanya

pada malam hari telah penuh dengan kotoran yang menempel pada tubuhnya

(Siregar, 1995).

Sapi memerlukan pemeliharaan badan secara khusus, antara lain: daki, lapisan kulit

paling atas adalah lapisan kulit mati sehingga kulit akan mengeluarkan peluh yang

bercampur bau hingga kulit kotor oleh daki dan kotoran, sapi akan membuang

kotoran setiap waktu dan akan berbaring ditempat tersebut maka kotoran harus

dibersihkan. Sapi perah yang terserang penyakit segera melakukan tindakan yang

tepat untuk pengobatan maupun pencegahannya (Muljana, 2006).

2.6 Indikasi Kesejahteraan dan Kesehatan Sapi Perah

Kesehatan hewan adalah suatu status kondisi tubuh hewan dengan seluruh

sel yang menysun dan cairan tubuh yang dikandungnya secara fisiologis berfungsi

normal. Kerusakan sel mungkin saja terjadi secara normal sebagai akibat proses

pertumbuhan yang dinamis demi kelangsungan hidup, sehingga terjadi pergantian

sel tubuh yang rusak atau mati bagi hewan yang sehat. Kerusakan mungkin saja

tidak mengalami pergantian bagi hewan yang mengalami gangguan karena

serangan penyakit atau gangguan lain yang merusak fungsi sel dan jaringan (Akoso,

1993).
III

PEMBAHASAN

3.1 Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Mastitis

3.1.1 Penyebab Penyakit Mastitis

Mastitis berasal dari bahasa Yunani yaitu Matos yang berarti infeksi dan Itis

berarti radang. Jadi mastitis adalah infeksi yang menyebabkan peradangan ambing

pada sapi perah. Biasanya penyakit ini berlangsung secara akut, sub akut maupun

kronis. Mastitis ditandai dengan peningkatan jumlah sel di dalam air susu,

perubahan fisik maupun susunan air susu dan disertai atau tanpa disertai perubahan

patologis atau kelenjarnya sendiri.Hal tersebut diatas menyebabkan penurunan

produksi susu. Perubahan fisis (susu) biasanya meliputi perubahan warna, bau, rasa,

dan konsistensi. ( Subronto, 2003)

Salah satu penyebab utama mastitis pada sapi perah adalah Staphylococcus

aureus.Mastitis yang disebabkan oleh S. aureus dapat terjadi secara klinis namun

seringkali terjadi secara subklinis dan menahun. Mastitis adalah istilah yang

digunakan untuk radang yang terjadi pada ambing, baik bersifat akut, subakut

ataupun kronis, dengan kenaikan sel di dalam air susu dan perubahan fisik maupun

susunan air susu, disertai atau tanpa adanya perubahan patologis pada kelenjar

(Subronto, 2003).

Sori et al (2005) menyatakan bahwa kerugian kasus mastitis antara lain :

kehilangan produksi susu, kualitas dan kuantitas susu berkurang, banyak sapi dan

kambing yang diculling. Penurunan produksi susu per kuartir bisa mencapai 30%

atau 15% per sapi per laktasi, sehingga menjadi permasalahan besar dalam industri

sapi dan kambing perah. Saat periode kering adalah saat awal bakteri penyebab

mastitis menginfeksi, karena pada saat itu terjadi hambatan aksi fagositosis dari
neutrofil pada ambing. Berbagai jenis bakteri telah diketahui sebagai agen

penyebab penyakit mastitis, antara lain Streptococcus agalactiae, Str. Disgalactiae,

Str. Uberis, Str.zooepedermicus, Staphylococcus aureus, Escherichia coli,

Enterobacter aerogenees dan Pseudomonas aeroginosa. Dilaporkan juga bahwa

yeast dan fungi juga sering menginfeksi ambing, namun biasanya menyebabkan

mastitis subklinis.

Berikut adalah penjelasan mengenai salah jenis bakteri penyebab mastitis:

• Staphylococcus

Staphylococcus merupakan bakteri Gram positif, berbentuk kokus, diameter 1 µm,

tidak motil, facultative anaerob, catalase positif, dapat tumbuh pada media yang

kurang menguntungkan, dapat menyebabkan infeksi pyogenic. Habitat

staphylococcus,hidup normal pada kulit hewan dan manusia. Mereka sering

ditemukan pada membrane mukosa traktus respiratorius dan sedikit di saluran

urogenital serta saluran pencernaan.

Staphylococcus aureus merupakan salah satu penyebab utama mastitis pada sapi

perah yang menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar akibat turunnya

produksi susu. Patogenisitas dan virulensi Staphylococcus sp. ditentukan oleh

substansi-substansi yang diproduksi oleh organisme ini antara lain adalah enzim

ekstraseluler yang dikenal dengan eksoprotein.

Staphylococcu aureus memproduksi eksoprotein yang dibagi menjadi 2 kelompok

utama yaitu, kelompok enzim antara lain koagulase, lipase, hialuronidase,

stafilokinase (fibrinolisin) dan nuklease serta kelompok eksotoksin misalnya

leukosidin, eksfoliatif toksin, enterotoksin dan toxic schock syndrome toxin-1

(TSST-1). Hemolisin merupakan eksoprotein yang mempunyai aktivitas baik

enzimatis maupuntoksin sehingga tidak termasuk dalam klasifikasi ini (Williams et


al., 2000). Sitolitiktoksin yang dihasilkan oleh S. aureus adalah α, β, δ, dan γ-

hemolisin. Eksoprotein enzimatis ini kemungkinan mempunyai fungsi utama dalam

menyokong nutrisi untuk pertumbuhan bakteri, sedangkan eksotoksin berperan

dalam menimbulkan berbagai penyakit.

3.1.2 Pencegahan Mastitis

1) Cara penularan

Penularan mastitis dari seekor sapi ke sapi lain dan dari kuarter terinfeksi

ke kuarter normal bisa melalui tangan pemerah, kain pembersih, mesin pemerah

dan lalat (Nurdin,2006).

Penyakit mastitis menular dari satu sapi ke sapi yang lain atau dari kuarter

terinfeksi ke kuarter normal melalui tangan pemerah. Oleh karena itu, sapi yang

terkena mastitis hendaknya ditempatkan tersendiri dan diperah paling akhir,

dimulai dari kuarter yang sehat kemudian dilanjutkan ke kuarter yang terkena

mastitis.

2) Diagnosis

Pengamatan secara klinis adanya peradangan ambing dan puting susu,

perubahan warna air susu yang dihasilkan. Uji lapang dapat dilakukan dengan

menggunakan California Mastitis Test (CMT), yaitu dengan suatu reagen khusus

(Wahyuni, 2005). Subronto (2003) menambahkan diagnosis mastitis bisa dilakukan

dengan Whiteside Test.

Radang dikatakan subklinis bila gejala klinis radang tidak ditemukan saat

pemeriksaan ambing. Pada radang yang bersifat akut, tanda-tanda radang jelas

ditemukan, seperti ambing bengkak, panas jika diraba, sakit, warna kemerahan, dan

fungsi ambing terganggu.

3) Kontrol
Pencegahan terhadap mastitis ditempuh melalui dipping puting sehabis pemerahan

dengan antiseptika, antara lain: alkohol 70 %, Chlorhexidine 0,5%, kaporit 4% dan

Iodophor 0,5 - 1%. Salasia (2005) mengemukakan bahwa guna mencegah infeksi

baru oleh bakteri penyebab mastitis, maka perlu beberapa upaya, antara lain :

• Meminimalisasi kondisi-kondisi yang mendukung penyebaran infeksi dari

satu sapi ke sapi lain dan kondisi-kondisi yang memudahkan kontaminasi bakteri

dan penetrasi bakteri ke saluran puting.

• Air susu pancaran pertama saat pemerahan ditampung di strip cup dan

diamati terhadap ada tidaknya mastitis. Pencelupan atau diping puting dalam biosid

3000 IU (3,3 mililiter/liter air). Penggunaan lap yang berbeda untuk setiap ekor

sapi, dan pastikan lap tersebut telah dicuci dan didesinfektan sebelum digunakan

(Hidayat,2008).

• Pemberian nutrisi yang berkualitas, sehingga meningkatkan resistensi

ternak terhadap infeksi bakteri penyebab mastitis. Suplementasi vitamin E, A dan

β-karoten serta imbangan antara Co (Cobalt) dan Zn (Seng) perlu diupayakan untuk

menekan kejadian mastitis.

• Mengobati luka bakar dan ambing sapi dengan antibiotik agar tidak terjadi

mastitis kronis.

• Menjaga kebersihan kandang dan tetap memerah sapi di tempat

penampungan ternak dan menciptakan kondisi lingkungan yang memungkinkan

sapi tidak stres.

3.1.3 Penanggulangan Mastitis

Pengobatan mastitis sebaiknya menggunakan Lincomycin, Erytromycin

dan Chloramphenicol. Disinfeksi puting dengan alkohol dan infusi antibiotik intra

mamaria bisa mengatasi mastitis. Injeksi kombinasi penicillin,


dihydrostreptomycin, dexamethasone dan antihistamin dianjurkan juga. Antibiotik

akan menekan pertumbuhan bakteri penyebab mastitis, sedangkan dexamethasone

dan antihistamin akan menurunkan peradangan.

Subroto (2003) menyatakan bahwa sebelum menjalankan pengobatan

sebaiknya dilakukan uji sensitifitas. Resistensi Staphylococcus aureus terhadap

penicillin disebabkan oleh adanya β-laktamase yang akan menguraikan cincin β-

laktam yang ditemukan pada kelompok penicillin. Pengobatan mastitis sebaiknya

menggunakan: Lincomycin, Erytromycin dan Chloramphenicol. Disinfeksi puting

dengan alkohol dan infusi antibiotik intra mamaria bisa mengatasi mastitis. Injeksi

kombinasi penicillin, dihydrostreptomycin, dexamethasone dan antihistamin

dianjurkan juga. Antibiotik akan menekan pertumbuhan bakteri penyebab mastitis,

sedangkan dexamethasone dan antihistamin akan menurunkan peradangan (Swartz,

2006)

Mastitis yang disebabkan oleh Streptococcus sp masih bisa diatasi dengan

penicillin, karena streptococcus sp masih peka terhadap penicillin (Subroto, 2003)

Dinyatakan oleh Swart (1984) bahwa strategi efektif untuk mencegah dan

mengatasi mastitis yang disebabkan oleh Staphilococcus aureus masih sukar

dipahami. Dilaporkan oleh Sudarwanto (1999), bahwa bakteri Staphylococcus sp

dan Streptococcus sp yang diisolasi dari kasus mastitis sapi telah banyak yang multi

resisten terhadap beberapa antibakterial. Penggunaan antibiotik untuk mengatasi

mastitis juga telah banyak merugikan masyarakat konsumen, karena susu

mengandung residu antibiotik bisa menimbulkan gangguan kesehatan.

Dilaporkan oleh Wahyuni dkk (2005), bahwa akibat penggunaan antibiotik

pada setiap kasus mastitis yang mungkin tidak selalu tepat, maka timbul masalah

baru yaitu adanya residu antibiotika dalam susu, alergi, resistensi serta
mempengaruhi pengolahan susu. Mastitis sub-klinis yang disebabkan oleh bakteri

gram positif juga makin sulit ditangani dengan antibiotik, karena bakteri ini sudah

banyak yang resisten terhadap berbagai jenis antibiotik. Diperlukan upaya

pencegahan dengan melakukan blocking tahap awal terjadinya infeksi bakteri.

Nurdin (2006) melaporkan bahwa penggunaan infus intramammaria dengan

120 ml, 5% Povidone-Iodine (0,5% Iodine) setelah susu diperah habis pada 7 ekor

penderita mastitis akibat Staphylococcus aureus menunjukkan hasil yang sangat

memuaskan, karena 100% (7 ekor) penderita bisa memproduksi susu kembali pada

laktasi berikutnya. Sedangkan terapi mastitis dengan infus Chlorhexidine, hanya

menghasilkan 71% (5 ekor). Mean milk Weight (kg) pada terapi Iodine lebih besar

daripada terapi dengan Chlorhexidine. Sekresi susu dari kuartir yang diberi Iodine

tidak mengandung residu pada pemeriksaan 35 hari post infusi, sedangkan pada

infusi dengan Chlorhexidine ternyata mengandung residu antibiotik. Lay dan

Hastowo (2000) menyatakan bahwa sebelum menjalankan pengobatan sebaiknya

dilakukan uji sensitifitas.

3.2 Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Brucelosis

3.2.1 Penyebab dan Penularan Penyakit Brucellosis

Brucellosis merupakan penyakit infeksi kronis pada sapi yang

menyebabkan terjadinya abortus, pedet lahir lemah atau kematian pedet, infertilitas

dan penurunan produksi susu (Enright, 1990). Sapi pada semua umur peka terhadap

brucellosis dan infeksi ini dapat berlangsung bertahun-tahun. Pada sapi betina

abortus merupakan gejala klinis yang utama, umumnya terjadi pada umur

kebuntingan antara 5 dan 7 bulan. Pada hewan jantan brucellosis dapat


mengakibatkan infeksi pada testis. Menurut Young (1983), Brucellosis juga

merupakan salah satu penyakit zoonosis yang dapat menginfeksi manusia.

Survei secara serologis menunjukkan prevalensi tinggi brucellosis di

Indonesia Bagian Timur dan Sulawesi Selatan dan prevalensi rendah di Kalimantan

dan Sumatra. Brucellosis di Pulau Jawa dilaporkan pada sapi perah. Brucellosis

merupakan salah satu penyakit yang termasuk dalam golongan penyakit hewan

menular strategis berdasarkan Surat keputusan Dirjen Peternakan tahun 1997. Oleh

karena itu, penyakit ini menjadi prioritas untuk dikendalikan dan diberantas.

Pada sapi, brucellosis disebabkan oleh infeksi bakteri Brucella abortus.

Secara morfologi kuman B. abortus bersifat gram negatif, tidak bergerak, tidak

berspora, berbentuk kokobasilus dengan panjang 0,6pm-1,5pm. Pada kondisi ideal

kuman B. abortus dapat hidup pada feses, cairan abortus dan susu selama 6 bulan

dan mungkin dapat bertahan hidup dalam fetus abortus sampai 8 bulan. Kuman B.

abortus sangat peka terhadap panas, sinar matahari langsung, pasteurisasi dan juga

terhadap semua desinfektan.

Brucellosis pada sapi bersifat kronis dengan fase bakterimia yang subklinis

. Predeleksi bakteri tersebut terutama pada uterus sapi betina. Penularan penyakit

biasanya terjadi melalui makanan atau saluran pencernaan, selaput lendir mata,

kulit yang luka, ambing, inseminasi buatan dengan semen yang tercemar dan

plasenta. Sapi dewasa dan terutama sapi yang sedang bunting sangat peka terhadap

infeksi B. abortus, sedangkan pada dara dan sapi tidak bunting banyak yang resisten

terhadap infeksi. Penularan melalui inhalasi juga terjadi terutama ketika ternak

sehat dan ternak yang mengalami abortus ditempatkan dalam satu kandang yang

padat dengan sanitasi buruk (Alton, 1984).


Gejala klinis utama brucellosis pada sapi betina adalah terjadinya abortus

pada kebuntingan trimester akhir (5-7 bulan). Terdapat 30-80% abortus terjadi pada

sapi-sapi yang peka dan beberapa kasus endometritis dan retensi plasenta juga

dilaporkan. Sapi yang terinfeksi dapat melahirkan pedet yang lemah atau kematian

pedet, retensi plasenta, dan penurunan produksi susu . Sapi yang terinfeksi

brucellosis dalam waktu lama dapat mengakibatkan infertilitas sampai dengan

sterilitas, sedangkan pada sapi jantan, brucellosis dapat menyebabkan orchitis dan

epididimitis.

3.2.2 Pengendalian Penyakit Brucellosis

Brucellosis pada sapi sulit diobati karena kuman bersifat intraseluler

sehingga pengobatan tidak efektif. Beberapa agen pengobatan telah dikembangkan

untuk treatmen brucellosis, yaitu dengan long acting oxytetracyclin dan

streptomycin yang diberikan secara intramuskular dan infus secara intramamary

dan pengobatan dilakukan dalam waktu 6 minggu, namun hasilnya tidak cukup

efektif untuk eliminasi kuman abortus tersebut. Pencegahan penyakit di peternakan

sapi perah dapat dilakukan secara higiene dan sanitasi, vaksinasi dan penyingkiran

sapi reaktor. Vaksin yang biasa digunakan untuk pengendalian brucellosis di

beberapa negara adalah vaksin aktif B. abortus S19 yang dibuat dari strain B.

abortus halus/smooth.

3.3 Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Diare

3.3.1 Penyebab

Penyebab diare diketahui ada dua kelompok yaitu disebabkan oleh agen

infeksius dan penyebab lain. Diare yang disebabkan oleh agen infeksius berupa

bakteri, virus dan protozoa.

1) Diare yang disebabkan Bakteri


Diare yang disebabkan oleh bakteri salah satunya ialah bakteri Escherichia

coli yang bersifat pathogen dan menimbulkan penyakit. Jenis Escherichia coli

antara lain E. coli enterotoksigenik (ETEC) yang memiliki antigen untuk melekat

pada dinding usus halus dan memproduksi enterotoksin yang mampu menstimulir

hipersekresi usus. Strain tersebut paling umum dijumpai pada kasus diare pada anak

sapi baru lahir. Toksin yang dihasilkan berpotensi menimbulkan diare yang terus

menerus (profus) tinja encer berwarna kuning, dehidrasi, sok, dan kematian.

E. coli pathogen tipe lain yang dapat menimbulkan gejala diare kompleks

adalah enterohaemorrhagic E. coli (EHEC). Strain ini memproduksi verotoksin

menyebabkan kerusakan pembuluh darah didaerah kolon yang dapat

mengakibatkan hemoragik enterokolitis yang ditandai dengan adanya darah pada

feses. Strain ini biasanya ditemui pada sapi umur 2 minggu hingga 2 bulan. Selain

itu juga pada pedet sering terjangkit diare yang disebabkan oleh bakteri Salmonella

enterica subspecies enterica serotipe Dublin (S. Dublin) dan Salmonella enterica

subspecies enterica serotipe Typhimurium. Di Indonesia S. Typhimurium telah

diisolasi dari sapi dengan manusia.

Toksin yang dihasilkan dari bekteri penyebab diare ada 5 macam, yaitu tipe

A, B, C, D dan E. Setiap toksin menghasilkan tipe lesi yang berbeda. Toksin tipe C

terutama menyerang anak sapi neonatal (umur 1 sampai 10 hari) sedangkan toksin

tipe D terutama menyerang umur lebih tua biasanya pada pada anak yang sedang

disapih. Penyakit yang terjadi umumnya disebut enterotoksemia atau nekrotik

enteritis atau hemoragik enterotoksemia (penyeban tipe C) sedangkan tipe D

disebut juga overeting diseaseatau pulpy kidney disease.

2) Diare yang disebabkan Virus


Rotavirus dan coronavirus merupakan virus penyebab diare yang paling

umum dijumpai. Kedua virus tersebut tersebar pada sapi dewasa tanpa

menunjukkan gejala klinis dan sangat umum ditularkan ke sapi muda. Virus akan

menyerang vili pada lapisan sel usus halus menggangu proses penyerapan. Diare

yang ditimbulkan bersifat profus, hampir tidak ada demam, depresi dan dehidrasi

hebat. Biasanya terjadi pada anak sapi umur 10 sampai 14 hari.

Bovine Virus Diarrhea (BVD) juga merupakan agen penyebab diare pada

sapi, walaupun secara umum jarang dijumpai pada anak sapi yang baru lahir. Anak

sapi yang baru lahir terinfeksi oleh BVD akan mengalami demam tinggi , susah

nafas dan diare profus. Protozoa ini memiliki ukuran jauh lebih kecil dari pada

koksidia dan memiliki kemampuan untuk melekat pada sel lapisan usus halus dan

merusak mikrovili, akibatnya akan menghambat proses penyerapan. Diare

disesabkan oleh agen protozoa ini biasanya terjadi pada anak sapi umur tujuh

sampai 21 hari. Anak sapi neonatal dilaporkan terserang diare akibat infeksi oleh

Cryptosporidium parvum.

Coccidia species dapat menyebabkan diare pada anak sapi umur antara 3

minggu sampai 6 bulan. Infeksi menunjukkan klinis yang beragam dari sakit ringan,

diare khronis sanpai diare berdarah. Jenis protozoa lain yaitu Giardia. Disebut

sebagai penyebab diare pada anak sapi. Infeksi alam sering ditemukan kedua jenis

protozoa yaitu Cryptosporidium dan Giardia.

3) Penyebab Diare Non-Infeksi

Selain disebabkan oleh bakteri dan virus, diare juga bisa disebabkan karena

kesalahan dalam manajemen peternakan tersebut. Manajemen peternakan yang bisa

berdampak yaitu:
 Nutrisi yang tidak cukup dari induk waktu bunting terutama pada waktu

sepertiga akhir kebuntingan akan menyebabkan terjadinya kualitas dan

kuantitas kolostrum rendah dan terjadi defisiensi vitamin A dan E yang

berpengaruh dengan terjadinya diare pada anak sapi.

 Lingkungan yang tidak mendukung untuk anak sapi yang baru lahir. tempat

yang lembab, populasi padat, tempat terkontaminasi, induk yang baru

melahirkan dicampur dengan induk lain, dan lain sebagainya merupakan

stres bagi sapi yang baru lahir dan akan mudah terkena infeksi agen

penyakit.

 Kurangnya perhatian terhadap anak sapi yang baru lahir terutama selama

kelahiran yang susah atau kondisi cuaca yang tidak menguntungkan.

Perubahan mendadak dari program pemberian pakan atau terjadi ketika

pemberian susu buatan (Calf Milk Replacement/CMR) tidak sesuai takaran,

terlalu dingin atau bahkan basi. Meskipun seringkali tidak sangat berbahaya

dan tidak sampai menyebabkan kematian, diare non-infeksi pada anak sapi

dengan cepat melemahkan tubuh akibatnya ternak rentan terkena diare

infeksi atau penyakit lain yang lebih parah.

3.3.2 Penanggulangan

1) Pencegahan

Pencegahan merupakan kunci utama untuk menghindari terjadinya diare

dalam suatu kelompok ternak. Pencegahan melaui program manajemen yang

ditujukan untuk menghindari atau mengurangi terjadinya infeksi agen-agen

penyebab diare dan meningkatkan kekebalan terhadap agen-agen penyebab diare

sehingga optimis anak-anak sapi akan tahan terhadap agen-agen tersebut.


Beberapa manajemen yang sangat perlu dilakukan untuk pencegahan

penyait diare antara lain:

• Manajemen kolostrum penting untuk meningkatkan kekebalan terhadap

agen-agen infeksi penyebab diare anak sapi. Anak sapi yang baru lahir tidak

memiliki maternal antibodi terhadap agen penyebab diare atau penyakit lain

dan vitamin A dan E. Pada sapi tidak terjadi perpindahan antibodi dari induk

ke anak melaui plasenta.

• Manajemen pemberian pakan dan nutrisi yang baik untuk memastikan anak

sapi tumbuh sehat dan kuat. Perubahan menu pakan baik jenis maupun

jumlahnya harus dilakukan secara gradual dan perlahan-lahan.

• Manajemen kesehatan ternak dan lingkungan antara lain dengan melakukan

isolasi penderita diare secepat mungkin dan desinfeksi lingkungan kandang.

Pisahkan sapi dara dari sapi dewasa dan hindari tempat melahirkan yang

lembab, basah dan sempit.

• Manajemen vaksinasi diperlukan untuk meningkatkan imunitas pada

kelompok dara dan betina induk terhadap diare yang disebabkan oleh agen

enfeksi yang akan menyebabkan meningkatnya kualitas kolostrum.

Vaksinasi disarankan menggunakan salah satu vaksin rotavirus,

coronavirus, E. coli K99, Salmonella dan Clostridium perfringens tipe C

terhadap kelompok sapi betina dimana diare pada anak sapi dalam

kelompok tersebut telah ditetapkan sebagai masalah oleh dokter hewan.

2) Pengobatan

Pengobatan pada anak sapi yang menderita diare sangat mirip tanpa

memperhatikan penyebabnya. Pengobatan ditujukan langsung untuk memperbaiki

dehidrasi dan asidosis yang terjadi dan memerkecil kerusakan usus.


Beberapa langkah dalam pengobatan diare yang harus dilakukan adalah:

• Jika anak sapi mengalami dehidrasi berat (mata sayu), lemah atau kolaps

yang disertai dengan tidak ada reflek menghisap susu maka perlu pemberian

cairan elektrolit melalui intra vena.

• Jika anak sapi mengalami dehidrasi sedang dan masih bisa berdiri maka

pemberian cairan elektrolit dilakukan peroral.

• Selama terapi dengan pemberian cairan elektrolit peroral dianjurkan untuk

tidak diberi susu karena kan menyebabkan diare berlanjut, minimal

pemberian susu dilakukan beberapa jam setelah pemberian cairan peroral

• Pemberian cairan peroral terus menerus lebih dari 2 hari sangat tidak

dianjurkan

Pengobatan khusus ditujukan untuk diare yang telah diketahui penyebabnya antara

lain:

• Pengobatan dan pencegahan terhadap diare akibat agen cryptosporidium

telah tersedia halofuginone sekarang sudah, dosis dan cara pemberiannya

ditentukan oleh dokter hewan.

• Antibiotik hanya digunakan pada penderita diare oleh infeksi bakteri, dosis

dan pemberiannya ditentukan oleh dokter hewan.

• Anti koksidia diberikan pada penderita diare oleh infeksi koksidia, dosis dan

pemberiannya ditentukan oleh dokter hewan

3.4 Kriteria Karantina dan Pengafkiran

a. Induk yang disingkirkan /afkir meliputi :

1. Tidak produktif (dua tahun berturut-turut tidak melahirkan)

2. Sakit (abortus, dll)


Abortus atau keluron adalah pengeluaran fetus sebelum akhir masa

kebuntingan dengan fetus yang belum sanggup hidup, sedangkan kelahiran

prematur adalah pengeluaran fetus sebelum masa akhir kebuntingan dengan

fetus yang sanggup hidup sendiri di luar tubuh induk. Abortus dapat terjadi

pada berbagai umur kebuntingan dari 42 hari sampai saat akhir masa

kebuntingan. Abortus dapat terjadi bila kematian fetus di dalam uterus

disertai dengan adanya kontraksi dinding uterus sebagai akibat kerja secara

bersama-sama dari hormon estrogen, oksitosin, dan prostaglandin F2α pada

waktu terjadinya kematian fetus itu. Oleh karena itu fetus yang telah mati

terdorong keluar dari saluran alat kelamin.

3. Kesulitan beranak dan broyongen (Prolapsus uteri)

Penyebab kasus ini dikarenakan adanya perubahan pada jaringan otot di

sekitar saluran peranakan bagian luar yang mengalami relaksasi pada saat

induk sapi memasuki kebuntingan trisemester ketiga. Selain itu,

meningkatnya tekanan di dalam rongga perut seiring perkembangan foetus

(janin sapi) dapat mendorong bagian dalam vagina/rectum keluar rongga

tubuh. Pada banyak kasus, saluran kantung kemih tertutup oleh bagian

vagina yang mengalami prolaps sehingga sapi tidak dapat kencing. Kasus

ini lebih banyak dijumpai pada induk sapi yang berumur tua dan induk sapi

yang baru pertama kali bunting.

4. Cacat atau mengalami kecelakaan

5. Tua (telah umur > 8 Th)

6. Rata-rata berat sapih anak rendah

Karantina Terhadap Sapi yang Baru Masuk


a. Setiap ternak yang masuk dari luar wilayah ke dalam farm harus bebas dari

penyakit menular. Sapi perah harus bebas dari penyakit :Anhtrax,

Brucellosis, Bovine Genital Camphylobacteriosis (BGC), Infectious Bovine

Rhinotracheitis (IBR), Enzootic Bovine Leucosis (EBL), Trichomonosis,

Bovine Viral Diarrhea (BVD), Leptospirosis, Mastitis, Penyakit Mulut dan

Kuku (PMK), Theilleriosis, Septichaemia Epizootica (SE),Tubercullosis

(TBC),Salmonellosis,Johne’s disease (Para Tubercullosis)

b. Setiap ternak yang masuk ke dalam farm harus dilakukan isolasi di kandang

isolasi/karantina sekurang-kurangnya 14 hari sampai dengan 90 hari.

c. Selama ternak berada di kandang isolasi/karantina dilakukan pengamatan

terhadap status kesehatannya dan pengujian di laboratorium terhadap

kemungkinan adanya penyakit. Ternak yang dinyatakan sakit dilakukan

pengobatan atau diafkir (bagi penyakit-penyakit tertentu) untuk

meminimalisir perpindahan penyakit.

d. Ternak yang sudah keluar dari farm apabila dimasukkan kembali harus

melalui prosedur perlakuan terhadap ternak yang baru masuk.

b. Langkah- langkah penerapan Isolasi dalam Peternakan Sapi Perah.

1. Pemisahan kelompok-kelompok sapi bibit, sapi dara, sapi bunting, sapi siap

partus, sapi laktasi,sapi induk kosong dan pedet.|

2. Fasilitas perkandangan didesinfeksi secara rutin.

3. Mencegah hewan liar maupun hewan peliharaan lain ke dalam kandang.

4. Lokasi peternakan harus berjarak 1 km dari jalan raya, pemukiman, pasar

hewan dan tempat pemotongan ternak, perlu juga membuat pagar pembatas

yang permanen.

5. Vaksinasi ternak secara rutin.


3.5 Sarana dan Prasarana Manajemen Kesehatan Sapi Perah

Untuk keberhasilan dalam usaha bidang agribisnis ternak sapi perah sangat

ditentukan oleh bagaimana peternak mempersiapkan kandang, peralatan dan sarana

kandang. Ada beberapa macam peralatan dan sarana pendukung kandang yang

perlu dipersiapkan.

1) Sekop. Peralatan ini dapat dipergunakan untuk mengambil atau membuang

kotoran, baik kotoran ternak sapi, kerbau, ternak maupun kambing,

disamping untuk membuang kotoran ternak dapat juga membuang limbah

padat yang ada di lingkungan sekitar kandang. Disamping itu peralatan ini

juga dapat dipergunakan untuk mengaduk atau mencampur pakan kosentrat

atau penguat.

2) Ember atau dalung. Peralatan kandang yang dipergunakan untuk membawa

atau mengangkut air, makanan penguat, untuk memandikan ternak dan lain

sebagainya. Agar ember atau dalung yang dipergunakan di kandang

mempunyai umur pakainya kuat dan lama , maka ember atau dalung yang

dipakai sebaiknya yang anti karat (korosi), seperti ember plastik.

3) Selang air. Peralatan slang air ini dipergunakan untuk mengalirkan air dari

tempat yang permukaannya lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah.

Disamping itu slang juga dapat dipergunakan untuk memandikan ternak,

mencuci kandang dan peralatan.

4) Sikat. Sikat merupakan peralatan yang dipergunakan untuk menggosok

badan ternak pada saat ternak dimandikan, dapat dipergunakan untuk

menggosok atau membersihkan lantai kandang, membersihkan dinding

kandang, membersihkan tempat pakan dan tempat minum dan lain

sebagainya. Sikat ini sebaiknya yang terbuat dari bahan ijuk atau nilon
5) Kereta dorong (wheel barrow). Kereta dorong (wheel borrow) ini

merupakan, dapat dipergunakan untuk mengangkut pakan konsentrat,

kotoran atau limbah padat seperti (sampah, sisa-sisa rumput, dan limbah

lainnya) ke tempat pembuangan, tempat penampungan ataupun tempat

penanganan limbah

6) Timbangan. Kegiatan penimbangan untuk mengetahui pertumbuhan..

Misalnya penambahan jumlah pakan yang diberikan, atau pemberian obat

atau vitamin sebagai perangsang nafsu makan dan lain sebagainya. Ada

beberapa macam jenis timbangan yang sering dipergunakan selama proses

pemeliharaan berlangsung, dan spesifikasinyapun berbeda-beda antara yang

satu dengan yang lainnya.

7) Milk Can. Sapi perah yang sudah laktasi setiap hari diperah susunya.

Pelaksanaan pemerahan pada umumnya dilakukan 2 kali sehari. Sebelum

sapi perah, kerbau perah, ternak dan kambing perah air susunyadiambil

biasanya sapi perah, kerbau perah, ternak dan kambing perah dimandikan

terlebih dahulu agar supaya sapi bersih dari kotoran yang menempel

ditubuhnya. Pada saat memandikan atau membersihkan pada bagian

ambing dan puting susunya. Karena apabila ambing dan puting susunya

kotor maka akan mempengaruhi kualitas air susu yang dihasilkan.

8) Dreching gun. Pada perusahaan besar : traktor, mesin pencampur pakan,

front loading, penampung tetes, silo, mesin pendingin susu. Selain peralatan

kandang tersebut, masih ada sarana pendukung lainnya yang sangat penting

demi berhasilnya dalam usaha di bidang agribisnis ternak ruminansia ( sapi

perah, kerbau perah, ternak dan kambing perah) peralatan pedukung lainya,

diantaranya:
a) Peralatan kesehatan- gunting kuku, rennet/pisau kuku, drencing gun

(alat pencecok), trokar atau alat suntik. Gunting kuku dan renet

digunakan untuk memotong kuku sapi perah, sebaiknya di perah

agar tidak mengganggu produksi susu dan berat badan. Apalagi

ternak-ternak tersebut tidak pernah dikeluarkan hanya di dalam

kandang saja. Ternak yang berada di dalam kandang secara terus

menerus pada pertumbuhan kukunya akan lebih cepat panjang

dibanding dengan ternak-ternak yang sering dikeluarkan ke padang

gembala saat berjalan, dapat merupakan tempat bersarangnya bibit

penyakit

b) Drencing gun Drencing gun atau pencekok ini dapat dipergunakan

untuk memberi obat cacing pada ternak ruminansia, baik ternak

yang sakit atau tidak sakit. Drencing gun pada umumnya digunakan

hanya sesekalai atau dua kali saja, selama proses pemerahan ternak

tersebut berlangsung, yaitu pada saat ternak sapi, kerbau, ternak dan

kambing baru datang dari pasar atau baru dibeli. Ternak sapi,

kemungkinan besar adalah terserang penyakit cacing, sehingga

perlu diberi obat cacing. Karena pada umumnya patani peternak

kecil jarang melakukan program pemberian obat cacing tersebut.

Terkecuali bagi petani/peternak yang sudah bepengalaman atau

perusahaan peternakan ada program pemberian obat cacing pada

ternaknya. Pemberian obat cacing pada awal kegiatan pemerahan

dengan tujuan apabila ada ternak yang terkena penyakit cacing,

kegiatan pemberian obat cacing dalam rangka pengobatan.

Sedangkan bagi ternak yang tidak terserang penyakit cacing


kegiatan pemberian obat cacing dalam rangka pencegahan. Oleh

karena itu ternak-ternak yang akan diperah sebaiknya diberi obat

cacing terlebih dahulu di awal proses kegiatan pemeliharaannya, hal

ini bertujuan untuk mencegah terjadinya serangan penyakit cacing.

9) Trokar. Trokar merupakan salah satu alat kesehatan yang dipergunakan

untuk penanganan terhadap ternak ruminansia yang terkena penyakit bload.

Bload adalah penyakit yang menyerang ternak ruminansia dengan jenis dan

bangsa perut kembung dan apabila dipukul akan terdengar suara seperti

kendang. Penyakit bload ini dapat disebabkan karena ternak memakan

hijauan yang masih berembun dan ternak di gembala terlalu pagi.

10) Alat suntik. Alat suntik adalah alat yang dipergunakan untuk menyuntik

ternak, baik itu pada waktu pemberian obat terhadap ternak yang sakit atau

pada saat pemberian vitamin pada ternak. Sebetulnya secara aturan yang

berhak menggunakan alat suntik ini adalah dokter hewan, namun kenyataan

di lapangan tidak jarang ditemui petani peternak atau pengelola ternak

menggunakan alat ini untuk memberi vitamin atau mengobati pada saat

ternaknya sedang sakit.

Sarana Angkutan Sarana angkutan ada bermacam-macam diantaranya : truk, mobil

pickup, mini traktor, hand traktor, kendaraan roda dua.Jenis sarana angkutan

berupa traktor biasanya dipergunakan untuk mengangkut sarana produksi baik

pakan hijauan, pakan kosentrat maupun pupuk kandang di lingkungan dalam

peternakan. Agar supaya sarana angkutan dapat dipergunakan secara optimal tanpa

adanya gangguan atau kerusakan pada saat dipergunakan, maka sarana angkutan

tersebut perlu dicek sebelum digunakan. Adapun bagian-bagian yang dicek

misalnya : sistem pendingin, oli mesin, gear box dan bahan bakar. Apabila bahan
bakarnya kurang segera diisi. Seluruh bagian yang perlu pelumas dilumasi,

saringan udara dicek dan dibersihkan sesuai petunjuk.

3.6 Indikasi Kesejahteraan dan Kesehatan Sapi Perah

3.6.1 Kesehatan Sapi Perah

Hewan yang sehat adalah hewan dengan status kondisi tubuh dimana

seluruh sel yang menyusunnya dan cairan tubuh yang dikandungnya secara

fisiologis berfungsi normal.

Diantara tanda-tanda hewan yang sehat, yaitu :

1. Aktif, sigap, sadar dan tanggap terhadap perubahan situasi disekitarnya.

2. Kondisi tubuhnya seimbang, tidak sempoyongan/pincang, langkah kaki

mantap dan teratur, dapat bertumpu dengan empat kaki dan posisi punggung

rata.

3. Mata bersinar, sudut mata bersih, tidak kotor dan tidak ada perubahan pada

selaput lendir/kornea mata.

4. Kulit/bulu halus mengkilat, tidak kusam dan pertumbuhannya rata.

5. Frekuensi nafas teratur (20-30 kali/menit), halus dan tidak tersengal-sengal.

6. Denyut nadi (50-60 kali/menit), irama teratur dan nada tetap

Ciri-ciri Ternak Sakit dan Sehat

1. Mata

Ternak yang sehat mempunyai sorot mata yang bersih dan juga cerah,

kondisi bola mata yang cukup baik, bersih dan juga tidak terdapat kelainan-kelainan

mata, semisal berair, bercak kemerahan pada area kornea mata, adanya selaput

berwarna putih seperti katarak, ataupun adanya beberapa kotoran dan luka di sudut

mata. Pada ternak sehat, pupil matanya akan bereaksi jika ia melihat pergerakan

ataupun cahaya yang ada di depannya.


2. Rambut ataupun Bulu.

Ternak yang sehat mempunyai rambut yang tidak kusut, bersih, halus, tidak

kusam, dan juga mengkilap. Secara normal, rambut ternak memang akan rontok

ketika ditarik, tetapi jumlahnya tidaklah banyak. Kerontokan bulu dalam jumlah

banyak bisa menjadi ciri hewan yang sedang kurang sehat.

3. Nafsu Makan.

Ternak yang mempunyai nafsu makan yang baik merupakan salah satu ciri

ternak yang sehat, karena gejala awal dari ternak yang sakit adalah adanya

penurunan nafsu makan.

4. Pergerakan.

Banyaknya gerak ataupun aktivitas ternak bisa menjadi salah satu indikator

dari kesehatan ternak. Apabila ternak banyak bergerak dan tidak nglentruk, kondisi

dari ternak bisa dianggap sehat, sedangkan ternak yang cenderung diam serta

kurang agresif merupakan ciri dari ternak yang sedang kurang sehat.

5. Kulit.

Kulit ternak yang elastis dan tidak ada luka fisik/cacat. Saat disentuh atau

ditarik, kulit ternak sangat terasa kenyal, dan posisi kulit akan kembali ke keadaan

yang semula dalam waktu singkat. Perubahan warna kulit ternak yang terjadi secara

abnormal juga merupakan indikator dari kondisi yang kurang sehat.

6. Membran Mukosa.

Mukosa pada hidung dan mata tidak berbau, halus, terlihat mengkilat dan

tidak pucat. Cermin hidung (kerbau, sapi, kuda) yang sehat selalu nampak basah.

7. Kotoran/ Feses

Ternak yang sehat, fesesnya tidak bertekstur lembek (tidak diare).

8. Berdiri atau berjalan seimbang.


Sikap berdiri si ternak menggambarkan keseimbangan serta posisi tubuh

yang simetris. Dari berbagai sisi, sikap berdiri ternak yang sehat haruslah seimbang

dengan memperhatikan posisi tubuh yang harmonis.

Sedangkan secara anatomi dan secara fisologi ternak, kesehatan ternak untuk fisik

bagian luar anggota badan sempurna, kaki-kaki berkembang simetris, dan tidak

terdapat kecacatan ataupun kelainan pertumbuhan yang buruk pada seluruh anggota

tubuh si ternak.

Beberapa tanda sapi-sapi sehat:

1. Nafsu makan besar dan agak rakus.

2. Minum teratur (kurang lebih 8 kali sehari).

3. Mata jernih dan tajam, hidung bersih, memamah biak bila istirahat.

4. Kotoran normal dan tidak berubah dari hari ke hari.

5. Telinga sering digerakkan, kaki kuat, mulut basah.

6. Temperature tubuh normal (38,5 – 39º) dan lincah.

7. Jarak/siklus berahi ternak teratur.

8. Sapi tenang, tidak stress

9. Tidak mengeluarkan suara-suara "aneh" seperti ngorok dan lain-lain

Beberapa tanda Sapi Sakit:

1. Mata suram, cekung, mengantuk, telinga terkulai.

2. Nafsu makan berkurang, minumnya sedikit dan lambat.

3. Kotoran sedikit, mungkin diare atau kering dan keras.

4. Badan panas, detak jantung dan pernapasan tidak normal.

5. Badan menyusut, berjalan sempoyongan.

6. Kulit tidak elastis, bulu kusut, mulut dan hidung kering.


7. Temperatur tubuh naik turun.

8. Sering keluar cairan dari hidung dan mulut

9. Sapi terlihat stress, tidak tenang

10. Mengeluarkan suara-suara yang tidak lazim

11. Jika sudah duduk susah dibangunkan

Beberapa tindakan pencegahan yang umumnya dilakukan adalah

pemberian vitamin, penambah nafsu makan, penguat (seperti biosalamin)

dan obat cacing. Penyakit cacing tidak membahayakan, namun kerugian

yang ditimbulkan cukup besar, karena meskipun ternak diberi pakan dengan

kualitas yang baik, pertumbuhannya terlambat.

Pada beberapa daerah basah, rumput yang tumbuh biasanya telah

tercemar oleh telur-telur atau bibit-bibit cacing. Berbagai obat cacing yang

biasanya diberikan adalah rental boli, valbazen, dan lain sebagainya.

Vaksinasi juga sering dilakukan oleh Dinas Peternakan setempat,

jika ada wabah penyakit yang berbahaya, misalnya penyakit mulut dan kuku

(PMK), brucellosis (kluron menular), surra, septicemia epizpptical/SE

(ngorok), antraks (radang limpa) dan turberkulosis (TBC).

3.6.2 Kesejahteraan Hewan

Prosedur standar operasional untuk kesejahteraan ternak

1. Penanganan hewan Hewan

Ternak harus ditangani dengan baik untuk mencapai kesejahteraan hewan dan

kualitas daging yang baik. Adalah penting bahwa pengurus hewan ternak

memahami perilaku hewan dan prinsip-prinsip dasar penanganan hewan dengan

stres rendah. SOP tersebut mencakup proses-proses berikut:

 Desain dan pemeliharaan fasilitas penanganan


 Memindahkan dan memilah/mengatur hewan ternak

 Penggunaan alat bantu cattle talker (tongkat)

2. Transportasi darat

Bagian ini mencakup bongkar muat hewan ternak dan sistem transportasinya.

Bagian ini mencakup transportasi darat dari kapal ke feedlot dan/atau rumah potong

hewan. SOP ini mencakup proses-proses berikut:

 Penggunaan dan pemeliharaan fasilitas bongkar muat dan peralatan

pada saat keluar dari kapal, di feedlot dan rumah potong hewan

 Menempatkan hewan ternak dalam kelompok yang tepat untuk

transportasi

 Bongkar muat dengan stres minimum

 Mengidentifikasi dan menangani hewan yang cedera.

3. Pengoperasian feedlot

Bagian ini mencakup kedatangan hewan ternak di feedlot dan persiapan untuk

transportasi ke rumah potong hewan. SOP tersebut mencakup proses-proses

berikut:

 Persiapan fasilitas untuk kedatangan hewan ternak

 Mengidentifikasi dan menangani hewan yang cedera

 Mengatur hewan ternak dalam kelompok yang sesuai

 Penyediaan pakan, air dan lingkungan yang aman

 Persiapan hewan ternak untuk transportasi ke rumah potong hewan.

4. Lairage (kandang penampungan sementara)

Bagian ini mencakup desain dan pengoperasian kandang penampungan.

Sebuah fasilitas yang dirancang dan dioperasikan dengan baik dapat meningkatkan
kesejahteraan hewan dan membuat penanganan lebih mudah bagi pekerja kandang

(stockmen). SOP tersebut mencakup proses-proses berikut:

 Desain dan pemeliharaan sarana penampungan

 Penanganan hewan dalam kandang penampungan

 Penanganan selama kondisi lingkungan yang ekstrim.

5. Penyembelihan – dengan pemingsanan

Bagian ini mencakup penggunaan perangkat pemingsanan untuk memingsankan

ternak secara manusiawi sebelum dipotong. SOP tersebut mencakup proses-proses

berikut: 1. Inspeksi dan persiapan restraining box 2. Memindahkan hewan kedalam

box dengan tingkat stres minimum 3. Mengurangi penanganan hewan 4.

Pengendalian hewan untuk pemingsanan dan pemotongan 5. Pengoperasian dan

pemeliharaan perangkat pemingsanan 6. Identifikasi pemingsanan yang efektif 7.

Menentukan penyebab pemingsanan yang tidak efektif 8. Melakukan

penyembelihan yang efektif setelah pemingsanan

6. Penyembelihan – tanpa pemingsanan

Bagian ini berkaitan dengan penggunaan restraining box untuk memotong

hewan ternak tanpa pemingsanan. Proses penyembelihan berdampak pada

kesejahteraan hewan dan kualitas karkas. Juru sembelih harus mampu mengenali

dan memecahkan masalah perdarahan yang buruk. SOP tersebut mencakup proses-

proses berikut:

1. Inspeksi dan persiapan restraining box

2. Memindahkan hewan kedalam box dengantingkat stres minimum

3. Mengurangi penanganan hewan

4. Mengekang hewan untuk dipotong

5. Melakukan penyembelihan yang efektif


6. Mengenali dan memperbaiki masalah perdarahan

7. Mengenali kematian otak

LEARNING OBJECTIVE

1. GOOD FARMING SYSTEM

2. GOOD VETERINARY PRACTICE

a. Hukum tentang kesrawan hewan adalah tentang bagaimana manusia harus

memperlakukan hewan

b. Etika pada kesrawan adalah tentang bagaimana memperlakukan hewan

c. Ilmu kesrawan mengukur efek terhadap hewan atas adanya situasi situasi

berbedah dari sudut pandang.

Pedoman Kesrawan Hewan

1. Bebas dari rasa lapar dan haus

2. Bebas dari rasa takut dan stres

3. Bebas dari rasa sakit, lukadan penyakit.

4. Bebas dari ketidak nyamanan fisik dan trauma.

5. Bebas mengekspresikan ekspresi normal atau perilaku alami.

Pedoman dasar Kesejahteraan Hewan Ialah pedoamn penggunaan hewan dalam

ilmu pengetahuan biasa di sebut dengan 3 R

a. Reduce ( Redaksi ) Jumlah Hewan

b. Refine ( Perbaiki ) metode

c. Replace ( Ganti ) Hewan dan Bukan Hewan.

4 Aspek Perilaku yang di tuntut dari seorang Dokter Hewan

1. Etika dalam berbakti kepada masyarakat

2. Etika dalam meperlakukan sejawat


3. Etika dalam memperlakukan penguna jasa Veteriner

4. Etika dalam memperlakukan Hewan.

Good Farming System

Undang-Undang no. 6 Tahun 1967

BAB II, Peternakan.

Pasal 8, Peternakan diselenggarakan dengan tujuan untuk:

1. Mencukupi kebutuhan rakyat akan protein-hewani dan lain- lain bahan,

yang berasal dari ternak yang bermutu tinggi

2. Mewujudkan terbentuknya dan perkembangannya industri dan

perdagangan bahan-bahan, yang berasal dari ternak

3. Mempertinggi penghasilan dan taraf hidup rakyat terutama rakyat

petani-peternak;

4 Mencukupi kebutuhan akan tenaga pembantu bagi usaha pertanian dan

pengangkutan

5. Mempertinggi daya-guna tanah.

Pasal 22. Kesejahteraan hewan.

Untuk kepentingan kesejahteraan hewan, maka dengan Peraturan

Pemerintah ditetapkan ketentuan-ketentuan tentang:

1. Tempat dan perkandangan;

2. Pemeliharaan dan perawatan;

3. Pengangkutan;

4. Penggunaan dan pemanfaatan;

5. Cara pemotongan dan pembunuhan;

6. Perlakuan dan pengayoman yang wajar oleh manusia terhadap hewan.


Di dalam konsep animal welfare disebutkan ada lima kebebasan yang harus

dimiliki oleh setiap hewan untuk dapat hidup dan berproduksi dengan baik; bebas

dari rasa lapar dan haus, bebas dari rasa panas dan tidak nyaman, bebas dari luka,

sakit dan penyakit, bebas mengekspresikan perilaku normal dan alaminya, dan

bebas dari rasa takut dan penderitaan (Saputra, 2008).

Tempat tinggal hewan ternak Idealnya tempat tiggal hewan ternak tersedia

dua areal, terbuka dan tertutup. Areal terbuka berfungsi sebagai tempat hewan

melakukan aktifitasnya disiang hari. Sedangkan areal tertutup berfungsi sebagai

tempat beristirahat hewan di malam hari. Sesuai dengan fungsinya, areal terbuka

ini hendaknya tersedia cukup luas sesuai dengan jenis dan jumlah individu serta

perilaku hewan yang dipelihara. Selain itu, luasnya areal ini juga dapat menolong

hewan–hewan yang ingin menyelamatkan diri apabila terjadi perkelahian.

Arah Kandang, sedapat mungkin bangunan kandang tunggal dibangun

menghadap ke timur dan kandang ganda membujur ke arah utara selatan. sehingga

hal ini memungkinkan sinar matahari pagi bisa masuk ke dalam ruangan atau lantai

kandang secara leluasa (Sugeng, 2007).

Ventilasi merupakan jalan keluar masuknya udara dari dalam dan dari luar

kandang. Pengaturan ventilasi yang sempurna akan sangat berguna untuk

mengeluarkan udara kotor dari kandang dan menggantikan udara bersih dari luar

(Sugeng, 2007).

Atap merupakan pembatas (isolasi) bagian atas dari kandang dan berfungsi untuk

menghindarkan dari air hujan dan terik matahari, menjaga kehangatan ternak di

waktu malam, serta menahan panas yang dihasilkan oleh tubuh hewan itu sendiri

(Sugeng, 2007).
Sudut kemiringan atap sekitrar 30° dengan bagian yang miring meluncur ke bagian

belakang.

Bahan yang bisa dimanfaatkan sebagai atap kandang antara lain: genteng,

seng, asbes, daun kelapa, daun nipah, ataupun dari bahan lain. Bahan genteng cukup

baik karena tahan lama, udara luar bisa masuk ke dalam kandang melalui celah-

celahnya, dan tidak begitu banyak menyerap panas (Sugeng, 2007).

Dinding kandang berfungsi sebagai penahan angin langsung atau angin

kencang, penahan keluarnya udara panas dari dalam kandang yang dihasilkan tubuh

ternak, dan penahan percikan air dari atap masuk ke dalam ruangan kandang. Ada

berbagai macam bahan yang bisa bermanfaat untuk dinding, antara lain: anyaman

bambu, dari papan, tembok, dan sebagainya (Sugeng, 2007).

Lantai Kandang, pembuatan lantai kandang harus memenuhi syarat: rata,

tidak licin, tidak mudah menjadi lembab, tahan injakan, atau awet.

Lantai yang rata, tidak kasar atau tajam akan menjamin kehidupan ternak. Lantai

yang kasar atau tajam sangat merugikan ternak sebab kulitnya bisa lecet, yang

akhirnya bisa mengundang berbagai kuman. Sebaliknya lantai juga tidak boleh

terlalu licin. jika terlalu licin bisa menyebabkan hewan mudah tergelincir atau jatuh

sehingga bisa mengakibatkan fraktur. Yang tidak kalah penting pembuatan lantai

juga diusahakan agar tetap mudah kering dan juga lantai harus dibuat agak miring

agar air pembersih ataupun air kencing hewan mudah lepas (Sugeng, 2007).

Sementara itu dalam sektor peternakan, kesejahteraan hewan dalam

peternakan adalah memperlakukan hewan ternak sebagaimana mestinya dari aspek

fisis dan psikis hewan ternak serta layak dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya.

Kebutuhan dasar hewan dalam peternakan sebagai berikut

1. Kondisi nyaman dan perlindungan yang layak.


2. Kecukupan air yang bersih dan pakan untuk menjaga kesehatan.

3. Kebebasan dalam bergerak.

4. Kebebasan untuk berinteraksi dengan hewan lain.

5. Kesempatan untuk beraktifitas sesuai dengan prilaku alaminya.

6. Pencahayaan yang cukup.

7. Lantai yang baik dan tidak rusak.

8. Pencegahan atau diagnosa berkala, pengobatan dari perlakuan yang buruk,

perlukaan, infestasi parasit dan penyakit.

9. Pencegahan dari pemotongan yang tidak beralasan.

Good Veterinary Practice

Standar Kompetensi Profesi Dokter Hewan

a. Memiliki wawasan di bidang etika veteriner, legislasi veteriner, dan

penghayatan profesi veteriner,

b. Memiliki keterampilan dalam menangani penyakit-penyakit pada hewan

besar, hewan kecil, unggas, hewan eksotik, satwa liar, satwa aquatik, dan

hewan laboratorium,

c. Memiliki wawasan di bidang sistem kesehatan hewan nasional,

d. Memiliki ketrampilan dalam melakukan:

1. Diagnosis klinik, laboratorik (mikrobiologi, parasitologi, patologi dan patologi

klinik) dan epidemiologik penyakit hewan,

2. Penyusunan nutrisi hewan untuk kesehatan dan gangguan medik,

3. Pemeriksaaan antemortem dan postmortem,

4. Pemeriksaan kebuntingan, penanganan gangguan reproduksi dan aplikasi

teknologi reproduksi,
5. Pengawasan keamanan dan mutu pangan asal hewan,

6. Pengawasan dan pengendalian mutu obat hewan dan bahan-bahan biologis serta

material genetis termasuk pemakaian dan peredarannya,

7. Pengukuran dan penyeliaan kesejahteraan hewan,

a. Memiliki keterampilan manajemen pengendalian dan penolakan penyakit

strategis dan zoonosis,biosecurity, serta pengendalian lingkungan,

b. Memiliki keterampilan dalam transaksi therapeutic, melakukan anamnesa,

rekam medik, persetujuan tindakan medik (informed consent), penulisan resep,

surat keterangan dokter, pendidikan pada klien,

c. Memiliki keterampilan dalam melakukan analisis ekonomi veteriner dan

kewirausahaan (entrepreneurship) (http://www.fkh.ugm.ac.id).

Sistem peternakan merupakan sebuah sistem yang saling berkait dalam satu

rantai (pengawasan). Mulai darigood breeding, good farming practice (pelaksanaan

peternakan yang baik), good veterinary practice(pelaksanaan sistem kesehatan

hewan yang baik), good transportation practice (transportasi yang baik), good

handling practice (penanganan yang baik), good sloughter practice (pemotongan

yang baik), good distribution practice (distribusi yang baik), good manufacturing

practice (pengolahan yang baik), good retailing practice(perdagangan yang

baik), good catering practice (pengemasan yang baik) hingga good services

practice(pelayanan konsumen).

Pelaksanaan kesehatan hewan yang baik erat kaitannya dengan peran dokter

hewan. Dokter hewan dalam menjalankan perannya dituntut memiliki etika dan

profesionalitas dan tanggungjawab yang diemban oleh dokter hewan dalam

membuat hewan menjadi sehat atau bebas dari rasa sakit, luka dan penyakit (bagian
dari five freedom). Dasar dari tanggungjawab ini yang membuat peran dokter

hewan menjadi vital dalam tindakan mensejahterakan hewan di peternakan.


IV

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan mengena manajemen kesehatan dapat

disimpulkan bahwa:

1) Pencegahan mastitis dapat dilakukan dengan cara melalui dipping puting

sehabis pemerahan dengan antiseptika.Penanggulangan penyakit mastitis

dilakukan dengan cara menggunakan Lincomycin, Erytromycin dan

Chloramphenicol. Selain itu dapat menggunakan alkohol dan juga

antibiotik.

2) Pengendalian penyakit bergantung pada strain penyakit yang dilawan.

Sebagian besar pengobatan dilakukan dengan pemberian antibiotic,

vaksinasi dan beberapa pencegahan lain untuk menjaga ternak sapi perah

tetap sehat sehingga produktivitas dan kualitas air susu baik.

3) Penanggulangan diare ada dua yaitu pencegahan dan pengobatan,

pencegahan bisa dilakukan dengan manajemen yang baik dan pengobatan

pun ada dua yaitu pengobatan diare yang telah diketahui penyebabnya dan

pengobatan diare yang belum diketahui penyebabnya.

4) Karantina dilakukan untuk hewan yang baru masuk ke farm dari luar untuk

dilakukan pemeliharaan di dalam farm. Sementara pengafkiran merupakan

pemisahan hewan ternak yang sudah tidak lagi produktif atau tidak sesuai

standar produktif pada suatu perusahaan

5) Sarana dan Prasarana Manajemen Kesehatan Sapi Perah terdiri dari Sekop,

Ember,Selang air, Sikat,Kereta dorong (wheel barrow),Timbangan,Milk

Can,Dreching gun,Trokar, Alat suntik, Sarana Angkutan Sarana angkutan


ada bermacam-macam diantaranya : truk, mobil pickup, mini traktor, hand

traktor, kendaraan roda dua.

6) Ciri ternak yang sehat dan bisa di lihat Mata, Rambut ataupun Bulu., Nafsu

Makan, Pergerakan, Kulit, Membran Mukosa, Kotoran/ Feses, Berdiri atau

berjalan seimbang. Diantara tanda-tanda hewan yang sehat, yaitu : Aktif,

sigap, sadar dan tanggap terhadap perubahan situasi disekitarnya.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad. 2011. Upaya Penanganan Sapi Perah. (http://informasi-budidaya.


woerdpres.com /2011/11/upaya-penanganan-kesehatan-sapi
perah_04.html).

Akoso, 1993. Manual Kesehatan Unggas. Kanisius. Yogyakarta.

Akoso, T.B. 2010. Kesehatan Sapi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Alton, G.G. 1984. Report on Consultancy in Animal Brucellosis in Indonesia.

Barrington, G.M. and S.M. Parish. 2001. Bovine Neonatal Immunology. Food
Anim. Pract. 17:463-476.

Berge, A.C., D.A. Moore and W.M. Sischo. 2006. Prevalence and antimicrobial
resistance patterns of Salmonella enterica calves from dairies and calf
ranches. Am. J. Vet. Res. 67(9): 1580-1588.

BPTP, 2001. Beberapa Penyakit Pada Ternak Ruminansia. Balai Pengkajian

Teknologi Pertanian (BPTP). Nusa Tenggara Barat.

C.L. Gyles and C.O. thoen(Eds.). Ames, Iowa. Iowa State University Press. pp.
114-131ACRES, S.D. 1985. Enterotoxigenic Escherichia coli infections in
newborn calves: a review. J. Dairy Sci. 68: 229-256

Chotiah, S. 2006. Daftar Koleksi Biakan Mikroba Balitvet Culture Collection. Edisi
tahun 2006. Balai Besar Penelitian Veteriner. Bogor. hlm. 48.

Crouch, C.F. and S.D. Acres. 1984. Prevalence of rotavirus and coronavirus
antigens in the feces of normal cow. Can. J. Comp. Med. 48:340-342.

Enright, F. M. 1990. The Pathogenesis and Pathobiology of Brucella Infection in


Domestic Animals. In : K. Nielsen and J. R. Duncan (ed .), Animal
brucellosis. CRC Press, Inc ., Boca. Raton, Fla.

Etgen WM, James RE, Reaves PM. 1987. Dairy Cattle Feeding and Management.
Ed ke-7. Virginia:Virginia Polytecnic Institute and State University.

Hamilton, N., J. Mac-leod and D. Butler. 1985. Functional and structural responses
of intestine to enteric infection. In: Infectious Diarrhea in the Young:
Strategies for control in Humans and Animal.Tripori, S. (Eds.). Proc. Of an
International Diarrhea in South East Asia and Western Pacific Region,
Geelong, Australia. pp. 165-171.

http://peternakan.umm.ac.id/id/umm-news-2849-penyakit-pada-ruminansia.html
(Diakses tanggal 30 Oktober 2017)
http://www.deptan.go.id/dinakkeswan_jateng/detailberita.php?id=333 (Diakses
pada Minggu, 30 Oktober 2017)
http://www.merdeka.com/peristiwa/trites-makanan-dari-isi-lambung-sapi.html
(Diakses pada Minggu, 30 Oktober 2017)

Janke, B.H., D.H. Francis, J.E. Ckusmiyati dan Supar. 1998. Escherichia coli
verotoksik dari Anak Sapi Perah Penderita Diare. Pros. Seminar Hasil-Hasil
Penelitian Veteriner. Bogor, 18-19 Pebruari 1988. Balai Penelitian
Veteriner,Bogor. hlm. 103-108.

Janke, B.H., D.H. Francis, J.E. Collin, M.C.Libal, D.H. Zeman, D.D. Johnson
and R.D.Neiger. 1990. Attaching and effacing Escherichia coliinfection as a
cause of diarrhea in young calves. Javma. 196 (6): 897-901.

Jones, G.M. 1998. Understanding the asic of Mastitis.(http://www.ext.vt.edu/pubs/


dairy/404-233).Diakses pada tanggal 30 Oktober 2017.
Kamal, M. 1998. Bahan Pakan dan Ransum Ternak. Laboratorium Makanan
Ternak, Jurusan Nutrisi dan Makan Ternak, Fakultas Peternakan,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Lance, S.E., G.J. Miller, D.D. Hancock, P.C.Bartlett and L.E. Heider. 1992.
Salmonella infections in neonatal dairy calves. Javma.201(6): 864-868.

Mason, C and G. Caldow. 2005. The control and management of calf diarrhea in
beef herds. Technical Note (TN) 576. Supporting the land-based industries
for over a century (SAC). West Mains Road, Edinburgh EH9 3JG. SAC
reseives support from the Scottish Executive Environmrnt and Rural Affairs
Departement.

MC. Allister, T.A., M.E. Olson, A. Fletch, M.Wetzstein and T. Entz. 2005.
Prevalence of Giardia and Cryposporidium in beef cows in southern Ontario
and beef calves southern British Columbia. Can. Vet. J. 46: 47-55.

Moon, H.W. 1978. Mechanism in the Pathogenesis of Diarrhea. A review.


JAVMA.172:443-448 GYLES, C.L. 1986.Escherichia coli. In: Pathogenesis
of bacterial infections in animal.
Nurdin, E., 2011. Manajemen Sapi Perah. Graha Ilmu. Yogyakarta
Nusdianto. 2012. Aspek Klinik dan Penularan Pada
Pengendalian Penyakit Ternak. Mataram: Triakosa

Nydam, D.V., S.E. Wade, S.L. Schaaf and H.O.Mohammed. 2001. Number of
Cryptosporidium parvum oocysts and Giardia spp. Cysts by dairy calves after
natural infections. Am. J. Vet. Res.62:1612-1615

O’Handley, R.M., C. Cockwill, T.A. MC.Allister, M. Jelinski, D.W.MORCK


and M.E.Olson. 1999. Duration of naturally acquired giardiosis and
cryptosporidiosis in dairy calves and their association with diarrhea. J.Am.
Vet. Med. Assoc. 214:391-396.

Poernomo, J.S. 2004. Variasi tipe antigen Salmonella pullorum yang ditemukan di
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas
– 2020 342 Indonesia dan penyebaran serotipe Salmonella pada ternak.
Wartazoa. 14(14):143-159.

Priadi A. dan L. Natalia. 2006. Bakteri Penyabab Diare pada Sapi dan Kerbau. Di
Indonesia. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner,
Bogor, 5-6 September 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
hlm. 38-43.

Putro, 2012 Putro, P.P., Prihatno, S.A., Setiawan, E.M.N. 2012. Petunjuk
Praktikum Ruminansia I Blok 115. Bagian Reproduksi dan Kebidanan.
FKH UGM.
Quinn, P.J. 2002.Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Blackwell
Science
Rahayu, I. D. 2011. Mastitis Pada Sapi Perah. Fakultas Pertanian-
Peternakan Universitas Muhammadiyah Malang: Malang.
http://karanhtengahraharjo.blogspot.com/2011/10/mastitis-pada-sapi-
perah.html

Ressang, Abdul Aziz. 1984. Patologi Khusus Veteriner. IPB Press: Bogor

Ruegg,P.L.2002.http://www.uwex.edu/MilkQuality/PDF/milk%20quality%20test
s01.pdfTanggal akses 19/04/2011.

Saepulloh, M dan I. Sendow. 2006. Deteksi Bovine rotavirus pada feses anak
sapi dari beberapa daerah di Jawa Barat dengan menggunakan Uji
Aglutinasi Latek. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner, Bogor, 5-6 September 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan. hlm. 220-225
Sindoredjo, S. 1960. Pedoman Perusahaan Pemerahan Susu. Fakultas
Kedokteran Hewan dan Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.

Stott, G.H., D.B. Marx, B.E. Menefee dan G.T.Nightingale. 1979a. Colostral
immunoglobulin transfer in calves: I. Period of absorption. J. Dairy Sci.
62:1632-1638.

Subronto. 2004. Ilmu Penyakit Ternak I. UGM Press: Yogyakarta

Sugeng, Y.B. 2007. Sapi Potong. Jakarta. Penebar Swadaya.


Suprijatna, E; Atmomarsono, U; Kartasudjana, R. 2005. Ilmu Dasar Ternak
Unggas. Jakarta: Penebar Swadaya.

Suwito, W. 2005. Kejadian Escherichia coli verotoksigenik pada susu sapi dari
peternakan di Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Cianjur. Tesis. Magister
Sain. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

Tizard, I. 1982. An Introduction to Veterinary Immunology. W.B. Saunder


Company. Philadelphia: 154-177.

Trotz-Williams, L.A., B.D. Jarvie, S.W.Martin,K.E. Leslie and A.S.Peregrine.


2005. Prevalence of Cryptosporidium parvum infection in south western
Ontario and its association with diarrhea in neonatal dairy calves. Can. Vet.
J.46:349-351

Williamson, L. 2008. Young Ruminant Diarrhea. In: Large Animal digestive


System. http://lam. vet. uga. edu/ LAM/LM000154. HTML

Young E.J. 1983. Human Brucellosis. Rev. Infect. Dis. 5 : 821-824.

Anda mungkin juga menyukai