Oleh :
Iswardhani Ariyanti
NIM. L1B017035
2019
LEMBAR PENGESAHAN
Disetujui,
Mengetahui :
Laporan Praktikum Limnologi ini. Laporan disusun sebagai salah satu syarat
kasih kepada :
1. Drs. Asrul Sahri, M.Si, dan Dra. Nuraina Andriyani, M.Si selaku tim pengajar
kegiatan perkuliahan.
Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun senantiasa penulis
harapkan demi kesempurnaan laporan ini. Semoga laporan ini bermanfaat bagi
kita semua.
Oleh :
Iswardhani Ariyanti
NIM. L1B017035
2019
I. PENDAHULUAN
perairan misalnya alga perifiton karena perairan tersebut banyak substrat tempat
menempelnya alga perifiton (Afrizal dan Usman, 1996 dalam Gusmaweti, 2015).
secara fisik dan kimia, maupun secara biologi. Parameter kualitas air
dipengaruhi oleh tata guna lahan dan intensitas kegiatan manusia di sekitarnya
(Gusmaweti, 2015). Salah satu bentuk dari perairan mengalir tersebut adalah
sungai.
airnya satu arah dan akan mengalir dari dataran tinggi menuju ke dataran
rendah dan akan menuju suatu muara sungai. Sungai dapat berperan sebagai
perumahan, dan sebagai daerah tangkapan air. Peran sungai yang beragam
berdampak pada penurunan kualitas air (Kurniadi, 2015). Aliran air sungai
merupakan suatu proses yang cukup kompleks. Air bergerak turun melalui
kanal sungai karena pengaruh gaya gravitasi. Kecepatan aliran meningkat sesuai
dengan kelerengan atau kemiringan sungai. Aliran air tidak saja lurus tetapi
Aliran sungai sangat fluktuatif dari waktu ke waktu dan dari tempat ke
tempat. Maka dari itu diperlukan untuk mengukur parameter penting fisika
dalam dinamika Sungai Kranji seperti : (1) Penetrasi Cahaya, agar dapat
dan menentukan gambaran sifat optik dari suatu perairan yaitu kecerahan.
Penetrasi cahaya pada bagaian tengah suatu ekosistem sungai pada umumnya
lebih tinggi dibanding dengan bagian hilir, (2) Suhu, agar dapat mengetahui
keberadaan flora dan fauna akuatis yang seringkali berubah dengan adanya
perubahan suhu air, terutama oleh adanya kenaikan suhu di dalam air serta
dapat mengetahui suhu rata-rata pada Sungai Kranji, (3) kecepatan arus
(velocity), agar dapat mengetahui berapa kecepatan rata-rata pada Sungai Kranji,
kecepatan arus berperan dalam perkiraan pergerakan bahan pencemar, (4) debit
air (discharge), agar dapat mengetahui debit pada Sungai Kranji dan debit
dipengaruhi oleh kecepatan arus (5) TDS, menentukan kondisi geologi seperti
drainase, curah hujan dan kesetimbangan air (6) Kekeruhan, agar dapat
perairan (7) DHL, agar mengetahui daya konduktivitas air yang dipengaruhi
oleh ion-ion terlarut (8) Warna air, untuk mengetahui warna tapak dan warna
sesungguhnya pada Sungai Kranji (9) Bau air, untuk mengetahui bau perairan di
Sungai Kranji dan penyebab dari bau tersebut (10) Tipe substrat, untuk
2.1. Sungai
2.1.1. Sungai
yang mengalir menuju tempat yang lebih rendah. Daerah sekitar sungai yang
mensuplai air ke sungai dikenal dengan daerah tangkapan air atau daerah
penyangga. Kondisi suplai air dari daerah penyangga dipengaruhi aktifitas dan
yang lebih baik daripada daerah hilir. Dari sudut pemanfaatan lahan, daerah
hulu relatif sederhana dan bersifat alami seperti hutan dan perkampungan kecil.
hal tersebut suplai limbah cair dari daerah hulu yang menuju daerah hilir pun
dari proses pembuangan limbah cair yang dimulai dari hulu (Wibowo, 2005
sehingga akan muncul spesies parasit yang potensial maupun yang mematikan.
Kondisi nutrisi yang buruk dapat melemahkan status kesehatan ikan yang
air yang tidak baik seperti banyaknya bahan organik, kondisi air yang tergenang
dan fluktuasi suhu yang drastis (suhu yang sangat rendah) akan berpengaruh
pada ikan akibat ketidaksesuainnya pada proses tumbuh dan berkembang ikan
dan akan meningkatkan peluang keberhasilan parasit menginfeksi ikan
(Rokhmani, 2019).
koordinat Latitude S 7° 24' 24" dan Longitude E 109° 14' 15". Sungai Kranji
merupakan salah satu anak Sungai Serayu yang alirannya melewati pemukiman
Sungai Kranji terletak tepat membelah Kota Purwokerto, Sub DAS Kranji
Selatan. Sungai utama Kranji memiliki panjang 9,4 Km dengan jumlah orde 1
(satu) sebanyak 13 buah, orde 2 (dua) sebanyak 7 buah, orde 3 (tiga) sebanyak 2
buah dan orde 4 (empat) sebanyak 1 buah. Saat ini Sungai Kranji mengalami
penurunan kualitas, baik dari sisi kualitas air maupun kuantitas air, disamping
2.2.1. Suhu
suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang (attitude), waktu dalam air,
sirkulasi udara, penutupan awan dan aliran air, serta kedalaman badan air. Suhu
tinggi tercatat pada permukaan air sungai selama siang hari dan menjadi rendah
sampai pada malam hari. Suhu air mempengaruhi kandungan oksigen terlarut
dalam air. Semakin tinggi suhu, semakin kurang oksigen terlarut. Setiap
kenaikan suhu 10C, membutuhkan kenaikan oksigen terlarut 10% (Kutty, 1968).
kehidupan flora dan fauna akuatis, terutama suhu di dalam air yang telah
melampaui ambang batas (terlalu hangat atau terlalu dingin) bagi kehidupan
flora dan fauna akuatis tersebut. Jenis, jumlah dan keberadaan flora dan fauna
akuatis seringkali berubah dengan adanya perubahan suhu air, terutama oleh
adanya kenaikan suhu di dalam air. Secara umum kenaikan suhu perairan akan
lebih banyak oksigen di dalam perairan tersebut. Hubungan antara suhu air dan
oksigen biasanya berkorelasi negative yaitu kenaikan suhu di dalam air akan
2017).
perairan, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Hal ini karena
kapan bahan pencemar mencapai suatu lokasi tertentu apabila bagian hulu suatu
kecepatannya, yaitu arus yang sangat cepat (>100 cm/s), cepat (50-100 cm/s),
sedang (25-50 cm/s), lambat (10-25 cm/s), dan sangat lambat (<10 cm/s) (Welch
(1980). Semakin tinggi kecepatan arus, kandungan oksigen terlarut dalam air
yang sangat dibutuhkan oleh biota air dalam metabolismenya akan semakin
Debit aliran adalah laju aliran air (dalam bentuk volume air) yang
besarnya debit dinyatakan dalam sattuan meter kubik. Debit aliran juga dapat
dipengaruhi oleh kecepatan arus air. Kecepatan arus yang berkaitan dengan
debit, kadar bahan-bahan alam yang terlarut ke suatu badan air akibat erosi
yang memasuki badan air tersebut mengalami penurunan karena terjadi proses
pengenceran. Jika suatu bahan pencemar masuk ke badan air dengan kecepatan
bahan pencemar yang masuk dengan debit badan air (Effendi, 2003).
2.2.4. Kekeruhan
terlihat dengan mata telanjang, mirip dengan asap udara. Kekeruhan disebabkan
karena adanya kandungan Total Suspended Solid baik yang bersifat organik
plankton, warna air (diantaranya ditimbulkan oleh zat-zat koloid berasal dari
2.2.5. TDS
TDS (Total Dissolved Solid) atau padatan terlarut total adalah bahan-bahan
terlarut dalam air yang tidak larut dan tidak tersaring dengan kertas saring
utama TDS dalam perairan adalah limpahan dari pertanian, limbah rumah
tangga, dan industri. Unsur kimia yang paling umum adalah kalsium, fosfat,
prespitasi). Air dengan TDS lebih dari 1000 mg/L dianggap air yang kehitaman.
dalam komposisi ionik air dan toksisitas individu. Kadar TDS yang rendah
seiring dengan tingkat kekeruhan yang rendah akan tetapi dapat meningkatkan
2.2.6. Konduktivitas
dari kemampuan air untuk menerima aliran listrik. Semakin banyak garam
terlarut yang dapat terionisasi, semakin tinggi pula nilai konduktivitas. DHL
dipengaruhi oleh reaktivitas, bilangan valensi, dan konsentrasi ion-ion terlarut.
Asam, basa dan garam merupakan penghantar listrik yang baik, sedangkan
dipengaruhi oleh aliran air yang masuk ke perairan, lama pergantian masa air,
curah hujan, kondisi daerah aliran sungai dan juga kondisi di dalam perairan
kesadahan total, kalsium, total padatan, total padatan terlarut (TDS), kebutuhan
oksigen kimia (COD), klorida dan konsentrasi besi dalam perairan (Patil et al,
2012).
cahaya pada bagaian hulu suatu ekosistem sungai pada umumnya lebih tinggi
visual dengan mengunakan scchi disk satuan untuk nilai kecerahan dari suatu
perairan dengan alat tersebut adalah satuan meter (Effendi, 2003). Kecerahan
panjang. Alat yang bias digunakan untuk mengukur tingkat kecerahan air
adalah sechi disk,yaitu berupa pirigan yang diberi warna hitam putih dan
dihubungkan dengan tali pegangan yang mempunyai garis garis skala. Pada
Tipe substrat dasar suatu perairan dipengaruhi oleh letak geografik dan
juga partikel organik dan anorganik yang dapat tersebar oleh arus. Partikel-
penyebaran sedimen terjadi pada daerah yang mengalir. Pada perairan yang
perairan yang mengalir (lotik) bersifat keras seperti berbatu. Substrat termasuk
besar, kerikil ditempati oleh banyak organisme, sedangkan substrat dasar yang
berupa lumpur dan tanah liat ditempati sedikit organisme (Hawkes, 1975).
Menurut Flamid (2010), bahan tak hidup yaitu komponen fisik dan kimia
yang terdiri dari tanah, air, udara, sinar matahari, bahan lain hidup merupakan
tempat hidup. Menurut Djum (1971) dalam Sahri et al. (2000), substrat dasar yang
substrat pasir dan kerikil. Substrat pasir dan kerikil mudah sekali terbawa oleh
arus air. Sedangkan substrat batuan tidak mudah terbawa oleh arus air.
2.2.9. Warna
Warna terbagi menjadi dua yaitu warna sesungguhnya (true color) dan
warna tampak (apparent color). Warna sesungguhnya yaitu warna yang hanya
dipisahkan dahulu. Warna tampak yaitu warna yang tidak hanya disebabkan
oleh bahan terlarut, tetapi jug disebabkan oleh bahan tersuspensi (Effendi, 2003).
airnya terlihat sebagian ada yang berwarna hitam, putih dan ada juga terlihat
warna airnya jingga. Untuk warna air tersebut dapat di identifikasi bahwa warna
air hitam mengandung kalsium dan magnesium, warna air putih di identifikasi
perairan ditimbulkan oleh adanya bahan organik dan bahan anorganik; karena
keberadaan plankton, humus, dan ion-ion logam (misalnya besi dan mangan),
2.2.10. Bau
Bau air merupakan salah satu indikator pencemaran air. Bau air dapat
disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya sampah dan limbah pabrik atau
potensial menghasilkan bau selama proses pengolahan limbah cair (Asmadi dan
Suharno, 2012 dalam Ramadhani, 2016). Bau pada air ditimbulkan akibat
pembusukkan dari zat-zat organik serta limbah dari pabrik yang berada pada
daerah hulu muara Sungai (Supiyati, 2012). Jika terjadi perubahan kondisi bau
air sungai secara drastis dengan munculnya bau busuk yang sangat menyengat,
menyebabkan adanya reaksi pelepasan gas, baik yang berasal dari proses
dekomposisi, oksidasi, maupun gas dari kandungan senyawa kimia dari limbah
3.1. Materi
3.1.1. Alat
Tempat menyimpan
3. Botol Mineral 600 mL / 3 buah Aqua
sampel
Mengukur kecepatan
4. Tali Tali -
arus
3.1.2. Bahan
Ukuran/
No Nama bahan Merek Fungsi
jumlah
Menentukan
badan perairan
Untuk mengkalibrasi
Untuk
pengukuran
3.2. Metode
3.2.1. Suhu
yang akan di teliti selama ± 10 menit pada bagian tepi, tengah dan tepi di stasiun
tengah dan hilir Sungai Kranji. Kemudian dilakukan pencatatan setelah skala
Kecepatan arus diukur menggunakan sebuah botol mineral yang diisi air
dengan air sebanyak 80%. Botol tersebut diikat dengan tali sepanjang 10 m. Botol
berisi air dan terikat dengan tali kemudian dilepaskan di bagian tengah sungai
yang memiliki arus sampai tali merenggang dengan sempurna pada bagian
tengah sungai pada stasiun tengah dan hilir Sungai Kranji. Perhitungan waktu
dimulai pada saat botol pertama kali dilepaskan sampai tali merenggang.
Rumusnya yaitu
𝑠
v = 𝑡 dengan :
v = kecepatan
dengan mencari kecepatan arus sungai dan luas penampang pada Sungai Kranji
pada stasiun tengah. Pengukuran debit air dilakukan dengan cara kecepatan
arus dikalikan dengan luas area sungai. Luas area sungai diukur dengan cara
menghitung kedalaman tiap jarak satu meter lebar sungai. Pengukuran dimulai
dari tepi, tengah dan tepi. Luas area sungai merupakan jumlah dari luas area
D=VxA
Keterangan :
3.2.4. Kekeruhan
dihomogenkan antara air sampel tepi 1, tengah dan tepi 2 pada setiap stasiun
tengah dan hilir Sungai Kranji. Pengukuran kekeruhan dilakukan dengan
menngunakan alat yaitu turbidimeter merk lutron TU-2016. Pertama ambil air
sampel dan letakkan pada akua gelas. Kemudian alat Turbidimeter dikalibrasi
dengan menggunakan air blanko, setelah itu kuvet diisi dengan air sampel dan
3.2.5. TDS
antara air sampel tepi 1, tengah dan tepi 2 pada stasiun tengah dan hilir Sungai
Kranji. Pengukuran TDS dilakukan dengan menggunakan alat TDS meter. TDS
meter terlebih dahulu dikalibrasi dengan larutan standar yang ada. Kemudian
3.2.6. DHL
menggunakan akuades, setelah itu kuvet ditetesi air sampel, diukur dan dicatat
hasilnya.
kedalaman air tertentu pada stasiun tengah dan hilir Sungai Kranji sampai tepat
hilang dari pandangan. Kemudian pada batas ini hanya 10 % saja intensitas
cahaya matahari yang menimpa permukaan air kemudian hitung dengan rumus.
(𝑿𝟏) × (𝑿𝟐)
𝑷𝑪 =
𝟐
Keterangan :
X1= pembacaan secchidisc awal tidak terlihat (cm)
3.2.8. Substrat
3.2.9. Warna
kondisi sungai dengan indera mata dengan menentukan warna tampak dan
warna sebenarnya.
3.2.10. Bau
Ambil sampel air yang akan diteliti dengan bantuan botol sampel yang
terbuat dari gelas. Kemudian lakukan penentuan bau air sedini mungkin setelah
sampel air diambil, tetapi bila tidak dapat langsung dilakukan pembauan maka
Praktikum ini dilakukan pada Sabtu, 16 Maret 2019 pukul 05.00 WIB.
Pengambilan sampel dilakukan pada bagian tengah yang terletak pada jalan Dr.
Angka kel. Sokanegara kec. Purwokerto Utara dengan koordinat 70 25’ 37” N 1090
13’ 57” E, dan bagian hilir sungai yang terletak pada jalan Slamet Riyadi kel.
Kranji kec. Purwokerto Utara dengan koordinat 70 25’ 35” N 1090 13’ 57” E di
Data pengukuran parameter sifat fisika air yang diperoleh dapat dianalisis
secara deskriptif dengan histogram atau diagram balok antara titik sampling,
4.1. Hasil
Standar
Sungai Kranji Pustaka
Parameter Satuan Baku Mutu
Tengah Hilir
2001
an berwarna 2001
Pasir Pasir
Tipe -
- Berbatu Berbatu -
Substrat
4.2. Pembahasan
4.2.1. Suhu
pada hewan akuatik. Suhu mempengaruhi kelarutan oksigen di dalam air serta
(Samsundari dan Ganjar, 2013). Menurut Boyd dan Lichtkoppler (1979) dalam
Effendi et.al. (2015), suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap proses
28
0C
27 Suhu
26 25.67
25.17
Minimum
25
Tengah Hilir
Stasiun
tengah sungai yaitu sebesar 25,67 0C dan yang terendah berada pada bagian hilir
sungai yaitu sebesar 25,17 0C. Hal tersebut dikarenakan letak lintang bagian hilir
sedangkan pada bagian tengah sungai berada pada dataran rendah sehingga
suhunya tinggi. Hasil tersebut sesuai dengan referensi yang menyatakan bahwa
temperatur atau suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang,
ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan
awan, dan aliran, serta kedalaman badan air (Hefni Effendi, 2003 dalam
Ramadhani, 2016).
Berdasarkan hasil praktikum nilai suhu sungai Kranji stasiun tengah, dan
hilir secara berurutan yaitu 25,67 0C dan 25,17 0C. Suhu pada sungai Kranji masih
dalam batas baku mutu yaitu pada 25 - 30 0C yang sesuai dengan referensi dari
PP RI No.82 Tahun 2001, hal ini menandakan bahwa pada suhu tersebut masih
dalam kondisi yang wajar, hal ini sesuai dengan pendapat Odum (1993) dalam
Sinambela (2015) pada suhu tersebut, termasuk dalam kategori yang sesuai
Hal ini menyebabkan organisme air akan kesulitan untuk respirasi. Kenaikan
suhu ditandai dengan munculnya ikan dan hewan lainnya ke permukaan untuk
mencari oksigen. Suhu air yang tidak cocok dengan ikan dapat mengakibatkan
ikan sulit untuk berkembang (Cahyono, 2000 dalam Astuti, 2015). Selain itu
Peningkatan suhu air juga akan mempengaruhi reaksi kimia dan berhubungan
dengan penurunan kualitas air dan status ekologi air tawar (Fisesa, 2014).
erosi, polutan bahan organik, nutrien dan fitoplankton serta biota air lainnya.
Dipengaruhi oleh perbedaan topografi antara tengah dan hilir sungai. Selain itu
perbedaan kecepatan arus juga di pengaruhi oleh tipe dasar, lebar sungai dan
kecepatan arus sungai Kranji dari tengah sampai hilir yaitu sebagai berikut:
Kecepatan Arus
2
1,74
1.8
Kecepatan
1.6 Arus
1.4
1.2 1,05
m/s
1 Maximum
0.8
0.6
0.4
0.2 Minimum
0
Tengah Hilir
Stasiun
berada pada bagian tengah sungai yaitu sebesar 1,74 m/s dan yang terendah
berada pada bagian hilir sungai yaitu sebesar 1,05 m/s. Kecepatan arus pada
daerah tengah tinggi karena dipengaruhi oleh tipe substrat dan air terjun yang
ada pada stasiun tengah sungai Kranji, untuk sungai bagian tengah memiliki tipe
substrat pasir berbatu dengan ukuran batu yang relatif besar, untuk bagian hilir
sungai tidak terlalu deras. Kecepatan arus air di sungai tergantung pada
substrat, kemiringan juga berpengaruh terdapat kecepatan arus. Hal ini sesuai
Nilai kecepatan arus sungai Kranji dari tengah dan hilir secara berturut-
turut yaitu, 1,74 m/s dan 1,05 m/s. Kecepatan arus pada Sungai Kranji diatas
baku mutu yaitu, 0,1-1,0 m/s. Kecepatan arus akan mempengaruhi jenis dan sifat
(>5m/detik) akan mengurangi jenis flora yang dapat tinggal sehingga hanya
jenis-jenis yang melekat saja yang tahan terhadap arus dan tidak mengalami
kerusakan fisik (Klein, 1972, dalam Sriwidodo, 2013). Menurut Mason (1993)
dalam Fisesa (2014) perairan dikategorikan dalam perairan yang berarus sangat
deras jika kecepatan arus > 1 m/detik, berarus deras yaitu 0,5 - 1 m/detik,
berarus sedang yaitu 0,25 - 0,5 m/detik, berarus lambat 0,1 - 0,5 m/detik, dan
berarus sangat lambat yaitu 0,1 - 0,25 m/detik. Berdasarkan kategori tersebut
Sungai Kranji tergolong sungai yang memiliki arus sangat deras. Odum (1971)
halus mengendap, detritus melimpah dan kandungan bahan organik tinggi. Jenis
1992 dalam Pahriansyah, 2016). Debit air menyatakan banyaknya air yang
mengalir dari suatu sumber persatuan waktu, biasanya diukur dalam satuan
liter per/detik. Faktor yang mempengaruhi nilai debit air yaitu hujan, topografi,
geologi, keadaan tumbuhan dan manusia (Soebarkah, 1978 dalam Neno et.al.,
2016). Berikut adalah grafik debit air sungai Kranji dari tengah hingga hilir :
Debit Air
5
4,458
4.5
4
3.5
3
2,446 Debit
m3/s
2.5
Air
2
1.5
maximum
1
minimum
0.5
0
Hulu Tengah
Stasiun
Berdasarkan grafik di atas, nilai debit air sungai Kranji tertinggi berada
pada bagian tengah yaitu sebesar 4,485 m3/s dan yang terendah pada bagian hilir
sungai yaitu sebesar 2,446 m3/s. Debit air sungai Kranji dari tengah ke hilir relatif
menurun, yang disebabkan dasar sungai yang semakin landai dan melebar. Hal
tersebut sesuai dengan referensi yang menyatakan bahwa debit air yang
diperoleh berbeda karena faktor perbedaan lokasi untuk panjang sungai, kondisi
Nilai debit air sungai Kranji dari bagian tengah, dan hilir secara berturut-
turut yaitu 4,485 m3/s, dan 2,446 m3/s. Mengacu pada standar baku kualitas air
yang ditulis oleh Neno et.al. (2016), hasil penelitian debit air Sungai Kranji tidak
memenuhi standar baku air pada kisaran 0,54 – 1,14 m3/s. Pada musim hujan
sumber air melimpah sehingga debit dan kecepatan arus air sungai relatif tinggi.
Sebaliknya, debit air yang tinggi akan mempercepat penyebaran dan penurunan
pengaliran, tinggi muka air dari dasar saluran, dan kecepatan aliran, besar
kecilnya laju sedimentasi (Putra, 2014). Perairan dengan arus kuat akan
4.1.4. Kekeruhan
bahan-bahan yang terdapat dalam air (Pujiastuti et.al., 2013). Berikut merupakan
grafik kekeruhan air sungai Kranji dari bagian tengah hingga hilir :
Kekeruhan
35
maximum
30
25
21.70
19.15 minimum
20
NTU
Kekeruhan
15
10
0
Tengah Hilir
Stasiun
dan hilir secara berturut-turut yaitu sebesar 19,15 NTU dan 21,70 NTU. Nilai
kekeruhan sungai Kranji tertinggi berada pada bagian hilir sungai yaitu sebesar
21,70 NTU dan yang terendah pada bagian tengah sungai yaitu sebesar 19,15
NTU. Disebabkan jumlah sedimen yang terbawa arus dari hulu dan tengah akan
bermuara pada hilir sungai, sehingga sedimen yang terbawa menyebabkan nilai
kekeruhan pada bagian hilir lebih besar dari tengah. Hal tersebut sesuai dengan
referensi menurut Irawan dan Sari (2013), semakin ke hilir kekeruhan akan
terbawa dari bagian perairan yang lebih tinggi. Dan sesuai dengan pendapat
masukan dari arah hulu serta masukan dari limpasan air dari daratan yang
berturut-turut yaitu sebesar 19,15 NTU dan 21,70 NTU. Standar baku mutu
Sungai Kranji memiliki tingkat kekeruhan normal karena berada pada rentan
nilai baku standard. Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan
yang terdapat dalam air, dan disebabkan bahan organik dan anorganik baik
al., 2013). Kekeruhan akibat dari hujan (Irawan dan Sari, 2013).
4.1.5. TDS
material yang dilarutkan dalam air. Sumber padatan terlarut total dapat
mencakup semua kation dan anion terlarut, sehingga dapat digunakan sebagai
generelisasi dari hubungan TDS untuk masalah kualitas air (Sarwadi, 2014). TDS
dipengaruhi oleh nilai kelarutan mineral yang berbeda dalam suatu daerah
geologi, seperti granit, pasir silika, dan bahan yang tidak terlarut lainnya (Putra,
2014). Berikut merupakan grafik TDS sungai Kranji pada bagian tengah hingga
hilir sungai :
TDS
75.8 75.7 maximum
75.6 2000
75.4
75.2
mg/L
75
74.7 TDS
74.8
74.6
74.4
74.2
Tengah Hilir
Stasiun
Berdasarkan grafik di atas, nilai TDS sungai Kranji pada bagian tengah
dan hilir sungai secara berturut-turut yaitu 75,7 mg/L dan 74,7 mg/L. Nilai TDS
tertinggi sungai Kranji berada pada bagian tengah sungai yaitu sebesar 75,7
mg/L dan nilai terendah pada bagian hilir sungai yaitu sebesar 74,7 mg/L.
semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Supiyati et.al. (2013) yang
menyatakan bahwa untuk TDS (total dissolved solids) banyak terdapat di daerah
hilir, karena daerah hilir banyak tumpukkan padatan atau zat-zat lain yang
dibawa dari daerah hulu ke muara sungai. Inayati (2013) juga berpendapat
bahwa kandungan TDS di hilir lebih tinggi dibandingkan dengan hulu dan
Nilai TDS sungai Kranji pada bagian tengah dan hilir sungai secara
berturut-turut yaitu 75,7 mg/L dan 74,7 mg/L. Standar baku mutu untuk TDS
yaitu PP RI No.82 Tahun 2001 yaitu 100-2000 mg/L, hal ini menandakan bahwa
konsentrasi TDS dapat berbahaya karena kepadatan air menentukan aliran air
masuk dan keluar dari sel – sel organisme. Jika konsentrasi TDS terlalu tinggi
atau terlalu rendah, pertumbuhan kehidupan air dapat dibatasi dan kematian
dapat terjadi (Sarwadi, 2014). Tinginya konsentrasi TDS juga dapat mengurangi
fotosintesis, serta gabungan dengan senyawa beracun dan logam berat, dan
4.1.6. DHL
garam terlarut yang dapat terionisasi, semakin tinggi pula nilai DHL (Effendi,
2003 dalam Nicola, 2015). Secara umum, faktor yang lebih dominan dalam
Berdasarkan grafik di atas, nilai DHL Sungai Kranji dari bagian tengah
dan hilir sungai yaitu 112,7 ηmhos dan 112,7 ηmhos. Nilai DHL stasiun tengah dan
hilir sama- sama tinggi yaitu sebesar 112,7 ηmhos. Nilai konduktivitas semakin
menghantarkan listrik. Hal ini sesuai dengan pendapat Soraya (2014) yang
organik dan mineral yang masuk sebagai limbah ke perairan. Tingginya nilai
terlarut yang dapat terionisasi, semakin tinggi pula nilai DHL. Perbedaan
konduktivitas pada setiap stasiun juga dipengaruhi oleh komposisi, jumlah ion
Sungai Kranji termasuk dalam kondisi DHL yang masih dalam tingkatan
standar. Standar baku mutu DHL menurut kepmen ESDM, yaitu 20-1.500 ηmhos.
Tetapi merujuk pada standar baku air yang ditulis oleh Pasisingi et al., 2014, hasil
penelitian DHL Sungai Kranji masih memenuhi standar baku kualitas air yaitu
pada kisaran 139-186 ηmhos. Dengan kondisi seperti ini Sungai Kranji masih
layak digunakan untuk kehidupan organisme. Hal ini sesuai dengan pernyatan
Sari (2013) yang menyatakan bahwa Konduktivitas air yang layak untuk
kehidupan organsme perairan yaitu dibawah 400 µs, jika melebihi 400 µs akan
maka daya hantar listrik tinggi. Selain itu, semakin banyak ion semakin besar
merupakan grafik penetrasi cahaya sungai Kranji dari bagian tengah dan hilir :
Penetrasi Cahaya
40 37 maximum
35
30 26.3
25
cm
20 Penetrasi…
15
10
5 minimum
0
Tengah Hilir
Stasiun
bagian tengah dan hilir secara berurutan yaitu 37 cm dan 26,3 cm. Nilai penetrasi
cahaya tertinggi berada pada bagian tengah sungai yaitu sebesar 37 cm, dan yang
terendah berada pada bagian hilir sungai yaitu sebesar 26,3 cm. Kecerahan air
sungai dipengaruhi oleh banyaknya materi tersuspensi yang ada di dalam air
praktikum yang dilakukan, kondisi arus pada bagian tengah sangat tinggi
sehingga material yang terlarut dalam air menimbulkan kecerahan yang tinggi
daerah hilir memiliki arus yang sedikit tenang sehingga material yang terbawa
dari hulu dapat mengendap dengan baik dan menyebabkan tingkat kecerahan
rendah dengan penetrasi cahaya yang semakin rendah juga. Hal ini sesuai
daerah tengah lebih tinggi karena dipengaruhi yang oleh aktivitas industri dan
sehingga warna air lebih jernih. Berkaitan dengan kedalaman, pada daerah hilir
penetrasi cahaya cenderung lebih kecil, hal ini sesuai dengan pendapat
erat dengan kedalaman perairan, karena semakin dalam perairan tersebut maka
Nilai penetrasi cahaya Sungai Kranji dari bagian tengah, dan hilir secara
berurutan yaitu 37 cm dan 26,3 cm. Standar baku mutu menurut PP RI No.82
Tahun 2001 adalah 7-40 cm. Penetrasi cahaya pada bagian tengah dan hilir masih
berada dalam batas maksimum standar baku. Tingginya penetrasi cahaya yang
besi dan mangan), serta bahan-bahan lain (Hefni Effendi, 2003 dalam Ramadhani,
2016). Warna air sungai berubah-ubah karena perubahan musim dan hujan dan
komposisi mineral. Warna air yang lebih hitam kaya akan alumunium dan bahan
organik dalam larutan, sedangkan air yang jernih kaya akan ion kalsium dan
warna air hijau kecoklatan, sedangkan pada hilir sungai didapatkan warna air
coklat. Menurut Menkes Nomor 492 Tahun 2010, persyaratan kualitas air minum
warna air yang diperbolehkan yaitu dibawah 15 TCU dan tidak berwarna.
Menurut Sastrawijaya (2000) dalam Pujiastuti et.al. (2013), warna air memiliki
dipengaruhi oleh adanya padatan terlarut dan padatan tersuspensi. Warna air
(Gusmaweti, 2015).
perairan yang tidak tercemar tidak akan ada bau yang menyengat (Asmadi dan
tipe alga, polusi kimia dan kondisi geologi. Peningkatan tingkat kandungan
oksigen dan berputarnya air kaya oksigen di dalam air, serta kondisi anaerob
dapat diminimalkan dan gas bau dapat dihilangkan dari air (Putra, 2014).
Menurut Menkes Nomor 492 Tahun 2010, persyaratan kualitas air minum
bau air yang diperbolehkan yaitu tidak berbau dan tidak berasa. Sungai Kranji
memiliki perairan yang tidak berbau, yang berarti memenuhi stardar baku bau
pada perairan. Perairan yang memancarkan bau terjadi karena adanya degradasi
biologis. Hal ini sesuai dengan pendapat Ramadhani (2016) yang menyatakan
bau busuk yang sangat menyengat, telah terjadi pemasukan bahan pencemar
yang menyebabkan reaksi pelepasan gas yang berasal dari proses dekomposisi,
oksidasi, maupun gas dari kandungan senyawa kimia dari limbah itu sendiri
(Mustofa, 2015. Bau dapat ditimbulkan oleh pembusukan zat organik seperti
bakteri oleh mikroorganisme air serta kemungkinan akibat tidak langsung dari
tersebut. Pada bagian sungai yang berarus relatif cepat, komposisi substratnya
berupa batu-batuan, kerikil dan pasir kasar. Sedangkan sungai yang berarus
relatif lambat cenderung pasir halus, lumpur, sampai liat (Pancawati dkk, 2014).
apabila arus lemah maka yang akan mengendap adalah lumpur halus (Odum,
hilir pasir berbatu dengan batu yang relatif kecil. Hasil ini sesuai dengan standar
baku yang ditulis oleh Pasisingi et al., 2014 yang menyatakan bahwa tipe substrat
dasar yang baik adalah batu dan berpasir. Fernedy (2008) dalam Pamuji (2015)
yang mangatakan bahwa perairan dengan arus yang kuat akan mengendapkan
partikel dengan ukuran besar, sebaliknya perairan dengan arus yang lemah akan
mengendapkan partikel lumpur halus. Selain itu juga besar kecilnya laju
sedimentasi dipengaruhi oleh debit sungai karena debit sungai membawa suplai
5.1. Kesimpulan
1. Parameter fisik perairan untuk uji kualitas perairan lotik meliputi suhu,
konduktivitas, warna, dan bau perairan. Nilai parameter fisik dari tiap bagian
sungai tengah, dan hilir secara berurutan yaitu, Suhu (25,670C dan 25,170C),
kecepatan arus (1,74 m/s, dan 1,05 m/s), debit air (4,485 m3/s dan 2,446
m3/s), TDS (75,7 mg/L dan 74,4 mg/L), kekeruhan (19,15 NTU dan 21,7
NTU), DHL (112,7 ηmhos dan 112,7 ηmhos), penetrasi cahaya ( 37 cm dan
26,3 cm), warna air (hijau kecoklatan, coklat), dan bau air (tidak berbau, tidak
berbau).
2. Faktor yang mempengaruhi parameter fisika yaitu pada suhu yaitu musim,
lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara,
penutupan awan, dan aliran, serta kedalaman badan air, sedangkan pada
material yang terangkut oleh aliran sungai akan bertambah besar dengan
tebing sungai, jika nilai kemiringan sungai makin besar maka kecepatan arus
pun semakin besar. Faktor yang mempengaruhi nilai debit air yaitu hujan,
dangkal maka pergerakan semaikin lambat, debit besar atau kecil disebabkan
tersuspensi sehingga warna air lebih jernih dan kedalaman suatu perairan,
dan anorganik baik tersuspensi maupun terlarut seperti lumpur, pasir, bahan
organik seperti plankton dan mikroorganisme lainnya dan akibat dari hujan,
oleh konsentrasi ion didalam larutan, semakin banyak ion semakin besar nilai
padatan tersuspensi dan karena adanya algae dalam perairan. Parameter fisik
bau perairan disebabkan oleh empat penyebab, antara lain rendahnya tingkat
polusi kimia dan kondisi geologi, dan yang terakhir parameter yang
mempengaruhi tipe substrat yaitu kecepatan arus yang mengalir pada sungai
tersebut.
5.2. Saran
pengukuran sampel lebih teliti lagi agar data yang diperoleh maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Agustira, Riyanda dkk. 2013. Kajian Karakteristik Kimia Air, Fisika, dan Debit
Sungai pada Kawasan DAS Padang Akibat Pembuangan Limbah
Tapioka. Jurnal Online Agroekoteknologi, 1 (3): 615-625.
Assomo, Samba. 2015. An Explanation of thr Black Color of River Nyong Water’s
and Associated Alluviums (Cameroon). International Journal of
Geosciences, 6 (2): 388-392.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan. Konsius. Yogyakarta.
Gusmaweti & Lisa Deswanti. 2015. Analisis Parameter Fisika-Kimia sebagai Salah
Satu Penentu Kualitas Perairan Batang Palangki Kabupaten Sijunjung,
Sumatera Barat. Sumatera Utara.
Inayati, R., dan Suhadi. 2013 Studi Kandungan TDS, BOD, COD, dan Amonia
pada Air Tanah Dangkal di Desa Gebangmalang Kecamatan Mojoayar
Kabupaten Mojokerto. Jurnal UNESA, 2 (3): 16-22.
Irawan, Aditya., dan Sari, Lily, Inderia. 2013. Karakteristik Distribusi Horizontal
Parameter Fisika-Kimia Perairan Permukaan Di Pesisir Bagian Timur
Balikpapan. Jurnal Ilmu Perikanan Tropis, 18 (2) : 21 – 27.
Neno, A. K., Herman Harijanto., Abdul Wahid. 2016. Hubungan Debit Air Dan
Tinggi Muka Air Di Sungai Lambagu Kecamatan Tawaeli Kota Palu.
Jurnal Warta Rimba, 4 (2): 1-8.
Nicola, Findra. 2015. Hubungan Antara Konduktivitas, TDS (Total Dissolved Solid)
Dan TSS (Total Suspended Solid) Dengan Kadar Fe dan Fe Total Pada Air Sumur
Gali. Skripsi. Fakultas Matematikan dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Universitas Jember, Jember. 30 hal.
Nuzula N. I., dan Endarko. 2013. Perancangan dan Pembuatan Alat Ukur
Kekeruhan Air Berbasis Mikrokotroler ATMega 8535. Jurnal Sains dan
Seni Pomits, 2 (1) : 1-5.
Pahriansyah., Rita Tahir., Farouk Macicar. 2016. Studi Pengaruh Kecepatan Arus
Akibat Pasang Surut Di Muara Sungai Jeneberang. Jurnal Tugas Akhir.
Jurusan Teknik Sipil. Universitas Hassanudin. Makasar.
Pujiastuti, Peni., Bagus, Ismail., dan Pranoto. 2013. Kualitas dan Beban Pencemar
Perairan Waduk Gajah Mungkur. Jurnal Ekosains, 5 (1): 59 – 66.
Putra, Ady Syaf. 2014. Analisis Distribusi Kecepatan Aliran Sungai Musi (Ruas
Sungai : Pulau Kemaro Sampai Dengan Muara Sungai Komering). Jurnal
Teknik Sipil dan Lingkungan. Jurusan Teknik Sipil Universitas Sriwijaya, 2
(3) : 604-608.
Rahman, A., Kresna, D.M., dan Anni, N. 2013. Analisis Kandungan Merkuri (Hg)
pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus L.) Budidaya Keramba di Sekitar
Waduk Riam Kanan Kecamatan Aranio. Bioscientiae, 10 (1): 125-140.
Ramadhani, Endi. 2016. Analisis Pencemaran Kualitas Air Sungai Bengawan Solo
Akibat Limbah Industri Di Kecamatan Kebakkramat Kabupaten
Karanganyar. Publiksasi Karya Ilmiah. Fakultas Geografi Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Samsundari, Sri., dan Ganjar, Adhy Wirawan. 2013. Analisis Penerapan Biofilter
Dalam Sistem Resirkulasi Terhadap Mutu Kualitas Air Budidaya Ikan
Sidat (Anguilla Bicolor). Jurnal Gamma, 8 (2): 86-97.
Soraya, Z. Hanafiah., dan Y. Windusari. 2014 Analisis Fisik Kimia Perairan untuk
Mendeteksi Kualitas Perairan Sungai Rambang Kabupaten Ogan Ilir
Sumatra Selatan. Biospecies, 7 (2) : 43-46.
Susanto., dan Novitasari, Dwi Isma. 2017. Struktur Umur dan Faktor Kondisi
Ikan di Sungai Logawa Wilayah Kabupaten Banyumas. SAINTEKS, 14
(1): 1 – 10.
Yuliastuti, Etik. 2011. Kajian Kualitas Air Sungai Ngringo Karanganyar dalam
Upaya Pengendalian Pencemaran Air. Tesis. Universitas Diponegoro.
Semarang.
LAMPIRAN
Lampiran 1
Perhitungan
Diket : X1 = 10 cm =
(22+30)x50
= 1.375 cm
2
X2 = 0 cm (𝑎+𝑏)×50
X=
(X1)+(X2) 2
PC tepi = (30+50)x50
2
= = 2.000 cm
10 + 0 2
= (𝑎+𝑏)×50
2
XI = 2
= 5 cm
(50+55)x50
Tengah = 2
= 2.625 cm
(𝑎+𝑏)×50
Diket : X1 = 84 cm XII = 2
X2 = 40 cm (55+65)x50
= = 3.000 cm
2
(X1)+(X2)
PC tengah = (𝑎+𝑏)×50
2 XIII = 2
84 + 40
= (65+70)x50
2
= = 3.375 cm
2
= 62 cm
(𝑎+𝑏)×50
XIV =
Tepi 2
(70+85)x50
Diket : X1 = 50 cm = = 3.875 cm
2
X2 = 38 cm XV =
(𝑎+𝑏)×50
2
(X1)+(X2)
PC tepi = (85+88)x50
2 = 2
= 4.325 cm
=
50 + 38
Total luas penampang:
2
=
8+0 D = Debit Air (m3/dtk)
2
V= Kecepatan arus (m/dtk)
= 4 cm
A= Luas penampang saluran (m2)
Tengah
D = 1,05 m/s × 2,33 m2
Diket : X1 = 20 cm
= 2,4465 m3/s
X2 = 10 cm
(X1)+(X2) 5. TDS
PC tengah = 2
20 + 10 Diketahui;
=
2 - Stasiun Tengah
= 15 cm Tepi = 76 mg/L
Tengah = 76 mg/L
Tepi Tepi = 75 mg/L
Diket : X1 = 88 cm - Stasiun Hilir
X2 = 32 cm Tepi = 85 mg/L
(X1)+(X2)
PC tepi = Tengah = 56 mg/L
2
=
88+32 Tepi = 83 mg/L
2
Ditanya:
= 60 cm
tepi+tengah+tepi TDS Stasiun Tengah, dan Hilir
PC rata2 =
3
4 + 15 + 60
=
3
= 26,3 cm
2. Suhu Dijawab:
26+26+25
Suhu Rata − Rata S. Tengah = 3. 83 mg/L
3
= 25,67 0C
Rata − rata TDS stasiun Hilir
Stasiun Hilir
85 + 56 + 83
25,5 + 25 + 25 =
Suhu Rata − Rata S. Hilir = 3
3
Rata-rata = 74,6mg/L
= 25, 17 0C
3. Kecepatan Arus 6. Kekeruhan
- Diketahui: Diketahui:
- Stasiun Tengah - Stasiun Tengah
1. Tepi Tepi = 19,07 NTU
Jarak (s) = 10 m Tengah = 19,58 NTU
Waktu (t) = 5,78 s Tepi = 18,80 NTU
2. Tengah - Stasiun Hilir
Jarak (s) = 10 m Tepi = 21,68 NTU
Waktu (t) = 5, 62 s Tengah = 21,81 NTU
3. Tepi Tepi = 21,63 NTU
Jarak (s) = 10 m Ditanya:
Waktu (t) = 5,74 s Kekeruhan Stasiun Tengah, dan
- Stasiun hilir Hilir?
1. Tepi Dijawab:
Jarak (s) = 10 m Stasiun Tengah
19,07+19,58+18,80
Waktu (t) = 9,7 s Rata – Rata Kekeruhan = 3
2. Tengah = 19,15 NTU
Jarak (s) = 10 m Stasiun Hilir
Waktu (t) = 9,4 s Rata – Rata Kekeruhan =
21,68+21,81+21,63
3
3. Tepi
= 21,70 NTU
Jarak (s) = 10 m
7. DHL
Waktu (t) = 9,4 s
Diketahui:
Ditanya: Kecepatan Arus Stasiun
- Stasiun Tengah
Tengah, dan Hilir
Tepi = 112 ηmhos
Dijawab:
𝑠 Tengah = 114 ηmhos
𝑣=
𝑡 Tepi = 112 ηmhos
Keterangan : - Stasiun Hilir
v = Kecepatan arus (m/s) Tepi = 127 ηmhos
s = Jarak (m) Tengah = 85 ηmhos
t = Waktu (s) Tepi = 126 ηmhos
Stasiun Tengah Ditanya:
10
Ulangan 1 = 5,78 = 1,73 m/s DHL Stasiun Tengah, dan Hilir ?
10
Ulangan 2 = 5,62 = 1,77 m/s Dijawab:
10
Ulangan 3 = 5,74 = 1,74 m/s Stasiun Tengah
Tepi + Tengah + Tepi
DHL Rata − Rata =
3
1,73 + 1,77 + 1,74 112 + 114 + 112
V rata − rata = = 1,74 m/s DHL Rata − Rata =
3 3
Stasiun Hilir = 112,7 µmhos/cm
10
Ulangan 1 = 9,7 = 1,03 m/s Stasiun Hilir
4. Debit
Diketahui:
- Stasiun Tengah
A = 25.779 cm = 2,5779 m2
V = 1,74 m/s
- Stasiun Hilir
A = 23.300 cm = 2,33 m2
V = 1,05 m/s
Dijawab:
Stasiun Tengah
axt 50x10
I= = = 250 cm
2 2
(𝑎+𝑏)×50
II = 2
(10+20)x50
= = 750 cm
2
(𝑎+𝑏)×50
III = 2
(20+33)x50
= = 1.325 cm
2
(𝑎+𝑏)×50
IV = 2
(33+50)x50
= = 2.075 cm
2
(𝑎+𝑏)×50
V = 2
(50+42)x50
= = 2.300 cm
2
(𝑎+𝑏)×50
VI = 2
(42+60)x50
= = 2.550 cm
2
(𝑎+𝑏)×50
VII = 2
(60+84)x50
= = 3.600 cm
2
(𝑎+𝑏)×50
VIII= 2
(84+62)x50
= = 3.650 cm
2
(𝑎+𝑏)×50
IX = 2
(62+60)x50
= = 3.050 cm
2
X = P × L = 60x50 = 3.000 cm
(𝑎+𝑏)×50
XI = 2
(60+58)x50
= = 2.950 cm
2
(𝑎+𝑏)×50
XII = 2
(58+10)x50
= = 279 cm
2
20
40 Penampang
Kedalaman
60
Sungai Kranji
80 Stasiun Hilir
100
Kedalaman Sungai
Kedalaman SungaiKranji StasiunHilir
Kranji Stasiun Tengah
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Lampiran 2
Foto Kegiatan
Oleh :
Iswardhani Ariyanti
NIM. L1B017035
2019
I. PENDAHULUAN
peran penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air.
dan abiotik yang saling berinteraksi membentuk suatu jalinan fungsional yang
sama lainnya membentuk suatu aliran energi yang akan mendukung stabilitas
Air yang mengalir secara perlahan menurun pada ketinggian yang lebih
rendah. Selama transisi dari sungai yang alirannya cepat dan bergelombang ke
sungai yang tenang dan alirannya lambat, temperatur air cenderung meningkat,
oksigen terlarut menurun dan substrat sungai berubah dari berbatu menjadi
persyaratan secara fisik meliputi air harus jernih, tidak berwarna, rasanya tawar,
tidak berbau, temperatur normal dan tidak mengandung zat padatan. Sungai
protein hewani seperti ikan dan udang. Sungai di beberapa tempat, misalnya di
transportasi. Sungai juga menyediakan air bagi manusia baik untuk berbagai
dari daerah sekitarnya, (2) pH, untuk mengetahui tingkat keasaman dan
kebasaan suatu perairan, (3) DO, karena oksigen terlarut berperan dalam proses
oksidasi dan reduksi bahan organik maupun anorganik. Suatu perairan yang
baik memiliki kadar oksigen terlarut, (4) BOD, untuk mengidentifikasi perairan
bahan organik di dalam air juga tinggi. Makin besar kadar BOD nya, maka
merupakan indikasi bahwa perairan tersebut telah tercemar. (5) COD, untuk
1.2. Tujuan
Tujuan dari praktikum analisis sifat kimia air sungai Kranji yaitu untuk
mengetahui:
Sungai Kranji.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sungai
2.1.1. Sungai
laut, atau kesungai yang lain. Pada beberapa kasus, sebuah sungai secara
lainnya (Ahira, 2011) Kualitas air sungai mencakup tiga karakteristik, yaitu fisik,
kimia, dan biologi (Suripin, 2002). Sungai merupakan salah satu ekosistem
perairan darat yang aliran airnya satu arah dan akan mengalir dari dataran tinggi
menuju ke dataran rendah dan akan menuju suatu muara sungai. Sungai dapat
berperan sebagai sumber air untuk irigasi, habitat organisme perairan, kegiatan
perikanan, perumahan, dan sebagai daerah tangkapan air. Peran sungai yang
koordinat Latitude S 7° 24' 24" dan Longitude E 109° 14' 15". Sungai Kranji
merupakan salah satu anak Sungai Serayu yang alirannya melewati pemukiman
Sungai Kranji terletak tepat membelah Kota Purwokerto, Sub DAS Kranji
memiliki luas lebih dari 20 Km2. Secara kewilayahan berada di 6 (enam)
Selatan. Sungai utama Kranji memiliki panjang 9,4 Km dengan jumlah orde 1
(satu) sebanyak 13 buah, orde 2 (dua) sebanyak 7 buah, orde 3 (tiga) sebanyak 2
buah dan orde 4 (empat) sebanyak 1 buah. Saat ini Sungai Kranji mengalami
penurunan kualitas, baik dari sisi kualitas air maupun kuantitas air, disamping
menentukan kualitas air. Organisme perairan dapat hidup ideal dalam kisaran
pH antara asam lemah sampai dengan basa lemah. Kondisi perairan yang
bersifat asam kuat ataupun basa kuat akan membahayakan kelangsungan hidup
(pH) merupakan gambaran jumlah atau aktivitas ion hidrogen dalam perairan.
pH. Bila pH di bawah pH normal, maka air tersebut asam, sedangkan air yang
mempunyai pH di atas pH normal, bersifat basa. Air limbah dan bahan buangan
banyak dibutuhkan oleh biota aerobik. Oksigen terlarut juga memegang peranan
dalam proses oksidasi dan reduksi bahan organik maupun anorganik. Suatu
perairan yang baik memiliki kadar oksigen terlarut (DO) > 5 ppm (Salmin, 2005
kesegaran air (Sutriati dalam Ali et al., 2013). Oksigen memegang peranan penting
proses oksidasi dan reduksi bahan organik dan anorganik. Karena proses
oksidasi dan reduksi inilah maka peranan oksigen terlarut sangat penting untuk
bikarbonat dan ion karbonat. CO2 bebas menggambarkan keberadaan gas CO2 di
2003). Permukaan air biasanya mengandung CO2 bebas kurang dari 10 mg/L,
sedangkan pada dasar air konsentrasinya dapat lebih dari 10 mg/L. Keberadaan
perairan tidak boleh > 12 mg/l dan tidak boleh < 2 mg/l (Fajri dan Kasry, 2013).
dalam air yang tingkat pencemarannya masih rendah dan dapat dikategorikan
sebagai perairan yang baik berkisar 0 – 1- ppm (Salmin, 2005 dalam Yuliastuti,
2011).
pengurai untuk menguraikan bahan pencemar organik dalam air. Makin besar
kosentrasi BOD suatu perairan, menunjukan konsentrasi bahan organik di dalam
air juga tinggi.Makin besar kadar BOD nya, maka merupakan indikasi bahwa
perairan tersebut telah tercemar (Yudo dalam Ali et al., 2013). Menurut Nisa et al.,
(2015) bahwa tingginya kadar BOD5 dikarenakan banyaknya bahan organik yang
dapat diurai oleh mikroorganisme dalam proses dekomposisi. Bahan organik ini
berasal dari limbah dan aktifitas masyarakat serta lingkungan sekitar seperti
perkebunan yang masuk kedalam perairan. Menurut baku mutu (PP No. 82
tahun 2001 Kelas III), nilai BOD yang diperbolehkan adalah ≤ 6 mg/l (Effendi et
al., 2013).
bahan buangan yang ada di dalam air dapat teroksidasi melalui reaksi kimia.
Bahan buangan organik tersebut akan dioksidasi oleh kalium bikromat yang
digunakan sebagai sumber oksigen (oxidizing agent) menjadi gas CO2 dan gas
H2O serta sejumlah ion krom. Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar
biasanya kurang dari 20 mg/L, sedangkan pada perairan yang tercemar lebih
dari 200 mg/L, dan pada limbah inustri dapat mencapai 60.000 mg/L (Warlina,
bahan-bahan organik secara kimia (Yudo dalam Ali et al., 2013). Chemical Oxygen
Demand (COD) atau kebutuhan oksigen kimia (KOK) adalah jumlah oksigen
(MgO2) yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organik yang ada dalam
sampel air atau banyaknya oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat
organik menjadi CO2 dan H2O (Hariyadi dalam Gazali et al., 2013). Angka COD
3.1. Materi
3.1.1. Alat
Ukuran/
No Nama alat Merek Fungsi
jumlah
Pyrex
2 Buret dan Statif 4 Melakukan titrasi
Iwaki
Menambahkan sampel
Pyerx
4 Pipet tetes 3 air ke dalam labu
Iwaki
enlemeyer
Mengikubasi sampel
3.1.2. Bahan
Ukuran/
No Nama bahan Merek Fungsi
jumlah
6 botol
1 Sampel air Aqua Sampel yang akan dianalisis
sampel
3.2. Metode
3.2.1. pH
diambil dimasukkan kedalam botol pada pH meter untuk mengetahui nilai pH.
3.2.2. DO
lokasi pengambilan sampel. Sampel air diambil dengan botol Winkler 250 ml
secara perlahan supaya tidak ada gelembung udara yang masuk dengan cara
Winkler dalam air kemudian tutup dengan rapat saat botol masih di dalam air.
Selanjutnya, sampel diikat O2 nya dengan larutan KOH-KI dan MnSO4 masing-
larutan KOH-KI dengan bantuan pipet tetes. Botol sampel kemudian ditutup
dengan hati-hati agar udara tidak masuk ke dalam botol dan bolak-balik minimal
15 kali dan diamkan selama 2 menit sampai terjadi endapan coklat atau cairan
tutup kembali botol dan dikocok sampai semua endapan larut dan bewarna
kuning kecoklatan. Ambil sebanyak 100 ml dengan gelas ukur dan masukkan ke
berwarna biru. Titrasi dengan larutan Na2S2O3 0,025 N dan kocok hingga
tercampur merata sampai terjadi perubahan warna larutan dari coklat menjadi
Tambahkan titran satu tetes jika titik akhir tercapai. Volume titrasi yang
1000
Oksigen terlarut = xpxqx8
100
Keterangan :
q= normalitas larutan
Sampel air diambil dengan botol Winkler 250 ml secara perlahan supaya
tidak ada gelembung udara yang masuk dengan cara dimiringkan. Saat sampel
Winkler dalam air kemudian tutup dengan rapat saat botol masih di dalam air.
dengan larutan Na2CO3 0,01 N sampai larutan berwarna merah jambu muda dan
1000
Kadar CO2 bebas = x p x q x 22 mg/l
100
Keterangan :
q = normalitas larutan
3.2.4. COD
Sampel air diambil dengan botol sampel di tiga titik sampel yaitu tepi,
sampai terbentuk larutan yang berwarna merah muda. Untuk blanko diberi
perlakuan sama dengan sampel air. Nilai COD dihitung dengan rumus : Kadar
1000
COD = x 0,01 x 31,6 mg/L
100
Keterangan :
a = ml KmnO4 yang terpakai,
3.2.5. BOD
Sampel air diambil dengan botol Winkler 250 ml secara perlahan supaya
tidak ada gelembung udara yang masuk dengan cara dimiringkan. Saat sampel
balikkan dalam air kemudian ditutup dengan rapat saat botol masih di dalam
botol kedua diinkubasi selama selama 5 hari dengan suhu 20oC kemudian setelah
rumus:
BOD =
Keterangan :
P :Derajat pengenceran
Praktikum ini dilakukan pada Sabtu, 16 Maret 2019 pukul 05.00 WIB.
Pengambilan sampel dilakukan pada bagian tengah yang terletak pada jalan Dr.
Angka kel. Sokanegara kec. Purwokerto Utara dengan koordinat 70 25’ 37” N 1090
13’ 57” E, dan bagian hilir sungai yang terletak pada jalan Slamet Riyadi kel.
Kranji kec. Purwokerto Utara dengan koordinat 70 25’ 35” N 1090 13’ 57” E di
atau diagram balok antara titik sampling dan standar kualitas air.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Standar
Sungai Kranji Pustaka
Baku Mutu
Parameter Satuan
Tengah Hilir
PPRI No.82
PPRI No.82
PPRI No.82
DO mg/L 7,8 8,6 5-10
Tahun 2001
BOD PP RI No.82
mg/L 3,9 9,06 <3
Tahun 2001
PP RI No.82
COD mg/L 4,06 5,568 <25
Tahun 2001
4.2. Pembahasan
asam karbonat (H2CO3). Sumber utama CO2 dalam perairan dapat berasal dari
atmosfir dan hasil respirasi organisme perairan hasil respirasi. Kandungan CO2
Bebas dalam air berbanding terbalik dengan kandungan DO (Rafitri dkk, 2015).
perairan, proses respirasi dan dekomposisi bahan organik (Zaki, 2014). Berikut
merupakan grafik perbandingan kadar CO2 bebas sungai Kranji pada bagian
CO2 Bebas
9 maximum
8
7
6
5
mg/L
CO2 Bebas
4 3.08
3 2.09
2
minimum
1
0
Tengah Hilir
Stasiun
Kranji pada bagian tengah dan hilir yaitu 2,09 mg/L dan 3,08 mg/L. Nilai CO2
bebas tertinggi terdapat pada bagian hilir sungai yaitu sebesar 3,08 mg/L, dan
yang terendah berada pada bagian tengah sungai yaitu sebesar 2,09 mg/L. Pada
stasiun hilir Sungai Kranji memiliki kedalaman yang lebih dalam dari stasiun
tengah, yang merupakan salah satu faktor tingginya kadar CO2 dalam suatu
perairan. Kandungan CO2 bebas yang tinggi di suatu perairan disebabkan karena
fitoplankton atau tumbuhan air (Syahrizal dkk, 2012). Sama halnya dengan
Nilai perbandingan kadar CO2 bebas sungai Kranji pada bagian tengah
dan hilir secara berturut-turut yaitu, 2,09 mg/L, dan 3,08 mg/L. PPRI No.82
Tahun 2001 standar baku untuk CO2 bebas yaitu, 2-9. Nilai CO2 Sungai Kranji
bagian tengah dan hilir berada di bawah nilai standar baku, sehingga masih
4.2.2. pH
Menurut Yisa dan Jimoh (2010) dalam Fisesa (2014) bahwa pH perairan
adalah indikator penting penentuan kualitas air dan pencemaran sungai. Faktor-
adanya buangan limbah organik dan anorganik ke sungai (Ali et.al., 2013).
pH
9 maximum
8.8
8.6
8.4
8.18 pH
8.2 8.12
8
minimum
7.8
7.6
Tengah Hilir
Stasiun
tengah dan hilir yaitu, 8,18 dan 8,12. Nilai pH tertinggi ada pada bagian tengah
sungai yaitu 8,18, dan yang terendah ada pada bagian hilir sungai yaitu 8,12.
menimbulkan limbah dan sampah pada bagian tengah sungai, hal tersebutlah
yang menyebabkan nilai pH pada bagian tengah besar. Hal tersebut sesuai
pernyataan dari Ginting (2011) dalam Gulo (2015) yang menyatakan bahwa
tingginya nilai pH pada sungai disebabkan oleh pengaruh buangan limbah
perairan.
standar baku mutu pada perairan sungai Kelas I, II, dan III nilai pHnya yaitu
antara 6-9 sedangkan Kelas IV nilai pH berkisar 5-9. pH pada bagian Sungai
Kranji yang masih memenuhi nilai standar baku perairan sungai kelas I, II, dan
III yang dapat digunakan untuk air baku air minum, prasaran atau sarana
rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi
pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang
perairan akan bersifat sangat toksik (Wardhana, 2004 dalam Mahyudin, 2015).
4.2.3. DO
yang penting yang berkorelasi dengan badan perairan baik langsung maupun
suatu perairan dan stratifikasi (Patil et al, 2012). Menurut Situmorang (2007)
bahwa, DO di dalam air merupakan indikator kualitas air karena kadar oksigen
yang terdapat di dalam air sangat dibutuhkan oleh organisme air dalam
grafik perbandingan kadar oksigen terlarut sungai Kranji pada bagian tengah
DO
10 maximum
9.5
9 8.6
8.5
8 7.8
mg/L
7.5 DO
7
6.5
6
5.5 minimum
5
Tengah Hilir
Stasiun
bagian tengah dan hilir secara berturut-turut yaitu 7,8 mg/L dan 8,6 mg/L. Nilai
DO tertinggi terdapat pada bagian hilir sungai yaitu sebesar 8,6 mg/L, dan
terendah pada bagian tengah sungai sebesar 7,8 mg/L. Rendahnya nilai DO di
tengah disebabkan tingginya bahan organik yang masuk ke perairan. Hal ini
Pada bagian hilir memiliki DO yang tinggi disebabkan karena pada pengambilan
sampel, stasiun ini memiliki arus deras yang dapat membawa proses difusi
oksigen dari atmosfer ke dalam air dan sampling yang dilakukan pada siang
hari. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Fisesa (2014) yang menyatakan
bahwa apabila suatu sungai memiliki arus yang deras maka akan memiliki DO
yang tinggi.
karena oksigen terlarut berperan dalam proses oksidasi dan reduksi bahan
organik dan anorganik, semakin tercemar suatu perairan maka semakin sedikit
Seperti penelitian yang dilakukan oleh Ali et.al., (2013) yang menjelaskan bahwa
pada umumnya air yang telah tercemar kandungan oksigennya sangat rendah,
makin banyak bahan buangan organik di dalam air makin sedikit sisa
baku mutu perairan sungai yaitu 5-10 mg/L, Nilai O2 pada Sungai Kranji
berarti Sungai Kranji memiliki kandungan oksigen yang baik untuk kehidupan
Suatu perairan dapat dikatakan baik dan mempunyai tingkat pencemaran yang
rendah jika kadar oksigen terlarutnya (DO) lebih besar dari 5 mg/L (Sholichin,
2010 dalam Mahyudin, 2015), sedangkan konsentrasi oksigen terlarut (DO) pada
perairan yang masih alami memiliki nilai DO kurang dari 10 mg/L (Effendi, 2003
dalam Mahyudin, 2015). Sehingga pada Sungai Kranji merupakan tempat yang
baik untuk organisme perairan karena berada diatas batas minimum DO dan
4.2.4. BOD
yang dilakukan selama 5 hari (Patil et al, 2012). Semakin besar nilai BOD
menunjukkan derajat pengotoran air limbah semakin besar (Andara, 2014). Nilai
merupakan grafik perbandingan nilai BOD sungai Kranji pada bagian tengah
dan hilir:
BOD
10
9.06
9
8
7
mg/L
6 BOD
5
3.9
4
>3
3
2
Tengah Hilir
Stasiun
Berdasarkan grafik di atas, nilai BOD sungai Kranji pada bagian tengah
dan hilir yaitu 3,9 mg/L dan 9,06 mg/L. Nilai BOD tertinggi berada pada bagian
hilir sungai yaitu sebesar 9,06 mg/L, dan yang terendah pada bagian tengah
sungai yaitu sebesar 3,9 mg/L. Nilai BOD dari tengah ke hilir semakin tinggi
diakibatkan pada bagian hilir interaksi sungai dengan ekosistem lain lebih besar
sehingga pengaruh bahan-bahan pencemar dari luar lebih besar yang masuk ke
sungai atau dapat dikatakan sebagai kondisi tercemar (Tanjung, 2016). Hal ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ali et.al., (2013) yang menyatakan
bahwa makin besar kadar BOD nya, maka merupakan indikasi bahwa perairan
Nilai BOD sungai Kranji pada bagian tengah, dan hilir yaitu, 3,9 mg/L
dan 9,06 mg/L. Mengacu pada PP No. 82 Tahun 2001 tentang Kriteria Kelas Air,
menyatakan bahwa air dengan kadar BOD yang rendah dibawah 4 mg/L
mengindikasi bahwa perairan tersebut bersih dan tidak tercemar, sedangkan air
dengan kadar BOD lebih dari 10 mg/L dianggap tercemar karena mengandung
disimpulkan bahwa perairan Sungai Kranji sudah tercemar karena nilai BOD
lebih dari 4 mg/L yang berarti kualitas perairan pada Sungai Kranji tidak baik
untuk kegiatan budidaya dan pertanian. Nilai BOD berbanding lurus terhadap
4.2.5. COD
perbandingan nilai COD sungai Kranji pada bagian tengah, dan hilir :
COD
10 <25
9
8
7
mg/L
6 5.568 COD
5
4.06
4
3
2
Tengah Hilir
Stasiun
Berdasarkan grafik di atas, nilai COD sungai Kranji pada bagian tengah
dan hilir yaitu 4,06 mg/L dan 5,568 mg/L. Nilai COD tertinggi berada pada
bagian hilir sungai yaitu sebesar 5,568 mg/L, dan yang terendah berada pada
bagian tengah sungai yaitu sebesar 4,06 mg/L. Nilai COD dari tengah ke hilir
semakin naik diakibatkan pada bagian hilir interaksi sungai dengan ekosistem
lain lebih besar sehingga pengaruh bahan-bahan kimiawi yang masuk lebih
mengoksidasi senyawa organik secara kimiawi. Hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh (Andara et.al., 2014) yang menyatakan bahwa tingginya
nilai COD dapat disebabkan karena banyak sampah yang berserakan yang
menyebabkan kandungan bahan kimiawi yang tinggi. Serta pendapat dari Ali
et.al. (2013) yang menyatakan bahwa Angka COD yang tinggi, mengindikasikan
minimum kadar COD perairan untuk kategori perairan kelas II sebesar <25
standar kelayakan kadar COD pada kriteria mutu air kelas II. Berdasarkan hal
tersebut dapat dinyatakan bahwa perairan Sungai Kranji dalam kondisi tidak
perikanan dan pertanian, atau masih dalam batas baku mutu air sesuai
5.1. Kesimpulan
1. Parameter kimia yang dianalisis pada Sungai Kranji yaitu, pH, O2 terlarut,
CO2 bebas, DO, BOD, dan COD. Hasil analisis perbandingan parameter kimia
dari tiap bagian tengah dan hilir sungai secara berturut-turut yaitu pH(8,18,
dan 8,12.), O2 terlarut atau DO (7,8 mg/L dan 8,6 mg/L), CO2 bebas (2,09
mg/L dan 3,08 mg/L), BOD (3,9 mg/L dan 9,06 mg/L), dan COD (4,06 mg/L
mineral terlarut dalam air. Tinggi rendahnya nilai CO2 Bebas yaitu
dipengaruhi oleh suhu dan mineral terlarut dalam air. BOD, dipengaruhi
besar sehingga pengaruh bahan-bahan pencemar dari luar lebih besar yang
masuk ke sungai atau dapat dikatakan sebagai kondisi tercemar dan kadar
COD dalam perairan dipengaruhi oleh tingginya nilai COD dapat disebabkan
5.2. Saran
Ali, A., Soemarno., dan M. Purnomo. 2013. Kajian Kualitas Air dan Status Mutu
Air Sungai Metro di Kecamatan Sukun Kota Malang. Jurnal Bumi Lestari, 13
(2) : 265-274.
Andem, A. B., Udofia, U., Okorafor, K. A., Okete, J. A., Ugwumba. 2012. A study
on some physical and chemical characteristics of Ona River, Apata, Ibadan
South-west, Oyo State, Nigeria. European Journal of Zoological Research, 1 (2):
37-46.
Barus, T.A. 2002. Pengantar Limnologi. Universitas Sumatera Utara, Medan. 164
hal.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan. Konsius. Yogyakarta.
Fajri, N. E., dan A. Kasry. 2013. Kualitas Perairan Muara Sungai Siak Ditinjau
Dari Sifat Fisik-Kimia Dan Makrozoobentos.Berkala Perikanan Terubuk, 41
(1): 37– 52.
Katakwar, Muskesh. 2014. Water quality and pollution status of Narmada River’s
Korni Tributary in Madhya Pradesh. International Journal of Chemical
Studies, 2 (2) : 5-9
Mahyudin., Soemarno., Prayogo, Tri Budi. 2015. Analisis Kualitas Air Dan
Strategi Pengendalian Pencemaran 1 Air Sungai Metro di Kota Kepanjen
Kabupaten Malang. J-PAL, 6 (2).
Majumder S., dan T.K. Dutta. 2014. Studies on seasonal variations in physico-
chemical parameters in Bankura segment of the Dwarakeshwar River
(W.B.) India. International Journal of Advanced Research, 2 (3): 877-881
Nisa, Khairatun., Nasution, Zulkifli., Khadijah E.R. 2015. Studi Kualitas Perairan
Sebagai Alternatif Pengmbangan Budidaya Ikan di Sungai Keureuto
Kecamatan Lloksukon Kabupaten Aceh Utara Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Jurnal Aquacostmarine, 10 (5): 1-15.
Olivianti, Asriani., Jemmy Abidjulu., Harry S.J., Koleangan. 2016. Dampak
Limbah Peternakan Ayam Terhadap Kualitas Air Sungai Sawangan Di
Desa Sawangan Kecamatan Tombulu Kabupaten Minahasa. Chem. Prog, 9
(2): 53-58.
Patil. P.N., Sawant. D.V., Deshmukh. R.N. 2012. Physico-chemical parameters for
testing of water – A review. International Journal Of Environmental Sciences,
3 (3) pp. 1194-1207.
Pujiastuti, Peni., Bagus, Ismail., dan Pranoto. 2013. Kualitas dan Beban
Pencemaran Perairan Waduk Gajah Mungkur. Jurnal Ekosains, 5 (1): 59 – 76.
Rafitri, R., T.R Setyawati., dan A.H Yanti. 2015. Struktur Komunitas Fitoplankton
di Perairan Gambut Sungai Ambawang Desa Pancaroba Kecamatan Sungai
Ambawang Kabupaten Kubu Raya. Protobiont, 4 (1) : 253-259.
Siahaan, Ratna., Indrawan, Andry., Soedharma, Dedi., dan B.Prasety, Lilik. 2011.
Kualitas Air Sungai Cisadane, Jawa Barat - Banten (Water Quality Of
Cisadane River, West Java - Banten). Jurnal Ilmiah Sains, 11 (2): 269-272.
Suciastuti, Eni., dan Sutrisno, C.T. 2002. Teknologi Penyediaan Air Bersih. Jakarta.
PT. Rineka Cipta.
Tanjung, R.H.R, H.K. Maury, & Suwito. 2016. Pemantauan Kualitas Air Sungai
Digoel, Distrik Jair, Kabupaten Boven Digoel, Papua. Jurnal Biologi Papua, 8
(1) : 38–47.
Yuliastuti, Etik. 2011. Kajian Kualitas Air Sungai Ngringo Karanganyar dalam
Upaya Pengendalian Pencemaran Air. Tesis. Universitas Diponegoro.
Semarang.
Zaki, M., M. Siagian., dan A.H, Simarmata. 2014. The Vertical Profile Of Nitrate
in Pinang Dalam Oxbow Lake Buluh China Village Siak Hulu Sub District
Kampar District Riau Province. JOU Universitas Riau, 1 (2): 1-12.
LAMPIRAN
Lampiran 1
Perhitungan
p = 1 ml P = derajat pegenceran
q = 0,01 N
q = 0,01 N
= x 3,6 ml x 0,025 x 8
Ditanya:
= 7,2 ml/L
Kadar CO2 Bebas di stasiun tengah, dan
hilir?
DO (5) = x p5 x q x 8 ml/L
Dijawab
1000
CO2 bebas = × p × q × 22 ml/L = x 2,7 ml x 0,025 x 8
100
= 2,2 mg/L
DO (5) = x p5 x q x 8 ml/L
Rata- Rata CO2 Bebas
= x 2,3 ml x 0,025 x 8
𝐶𝑂2 𝐵𝑒𝑏𝑎𝑠 1+ 𝐶𝑂2 𝐵𝑒𝑏𝑎𝑠 2
= 2
= 4,6 ml/L
1,98 + 2,2
= 2
Stasiun Hilir
(𝐴0 − 𝐴5 ) − (𝑆0 − 𝑆5 )𝑇
Ulangan 1 BOD =
𝑃
1000 ( 7,6 – 4,6 )– (5,8 – 5,4)×0,7
CO2 bebas = × p × q × 22 mg/L =
100 0.3
1000
= × 1 × 0,01 × 22 ml/L =
3−(0,4)(0,7)
100
0,3
= 2,2 mg/L 1,8−0,24
= 0,3
Ulangan 2
= 9,06 mg/L
1000
CO2 bebas = × p × q × 22 mg/L
100
1000
= × 1,8 × 0,01 × 22 5. COD
100
Tengah = 8,30
1000
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐶𝑂𝐷 = 𝑥{(10 + 𝑎)𝐹 − 10}𝑥 0,01𝑥 31,6 𝑚𝑔/𝐿
Tepi 2 = 8,23 100
(𝐶𝑂𝐷 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 − 𝐶𝑂𝐷 𝑏𝑙𝑎𝑛𝑘𝑜)
- Stasiun Hilir 𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝐶𝑂𝐷 =
𝐹𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛
Tepi 1 = 8,14 Keterangan :
Tengah = 8,10 a = ml KmnO4 yang terpakai
Tepi 2 = 8,12 F = ndika koreksi KmnO4
= 10 × 2,65 × 0,316
3. DO (O2 Terlarut) = 8,374 mg/L
q = 0,025 N
- Stasiun Hilir
P = 4,3 ml
q = 0,025 N
Ditanya:
Jumlah Oksigen terlarut pada stasiun
tengah dan hilir ?
Dijawab:
1000
Kadar O2 Terlarut = ×𝑝×𝑞×
100
8 𝑚𝑔/𝐿 keterangan :
8= bobot setara O2
Stasiun Tengah
1000
Kadar O2 Terlarut = ×𝑝×𝑞×
100
8 𝑚𝑔/𝐿
1000
= × 3,9 × 0,025 × 8
100
= 7,8 mg/L
Stasiun Hilir
1000
Kadar O2 terlarut = 100
× 𝑝 × 𝑞 × 8 𝑚𝑙/𝐿
1000
= 100
× 4,3 × 0,025 × 8
= 8,6 mg/L
4. BOD
Diketahui:
- Stasiun Tengah
A0 = 7,2 ml/L
A5 = 5,4 ml/L
S0 = 5,8 ml/L
S5 = 5,4 ml/L
P = 40 % = 0.4
T = 1 – 0,4 = 0,6
- Stasiun Hilir
A0 = 7,6 ml/L
A5 = 4,6 ml/L
S0 = 5,8 ml/L
S5 = 5,4 ml/L
P = 30 % = 0.3
T = 1 – 0,3 = 0,7
Ditanya:
Kadar BOD yang ada di stasiun tengah
dan hilir ?
Dijawab:
(𝐴0 − 𝐴5 ) − (𝑆0 − 𝑆5 )𝑇
BOD =
𝑃
Keterangan:
Foto Kegiatan
Pemanasan COD 5 Stasiun Tengah S. Kranji Hasil COD 5 Stasiun Tengah S. Kranji
Hasil O2 Terlarut
ACARA III
Oleh :
Iswardhani Ariyanti
NIM. L1B017035
2019
I. PENDAHULUAN
murni. Ketika uap air mengembun di udara dan jatuh di permukaan bumi, air
Kemudian air bergerak mengalir menuju ke berbagai tempat yang lebih rendah
letaknya dan melarutkan berbagai jenis batuan yang dilalui atau zat organic
Air sungai yang keluar dari mata air biasanya mempunyai kualitas yang
sangat baik. Namun dalam proses pengalirannya air tesebut akan menerima
berbagai macam bahan pencemar dan pada akhirnya terjadi penurunan kualitas
air. Suatu sungai dikatakan terjadi penurunan kualitas air, jika air tersebut tidak
dapat digunakan sesuai dengan status mutu air secara normal (Ali et. al., 2013).
Merujuk dari Peraturan Menteri Kesehatan No. 416 Tahun 1990, kualitas air
sekitar sungai untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, seperti MCK dan
sungai yang dilakukan oleh masyarakat tersebut dapat menurunkan kualitas air
suatu perairan.
1.2. Tujuan
Sungai Kranji.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sungai
2.1.1. Sungai
yang mengalir menuju tempat yang lebih rendah. Daerah sekitar sungai yang
mensuplai air ke sungai dikenal dengan daerah tangkapan air atau daerah
penyangga. Kondisi suplai air dari daerah penyangga dipengaruhi aktifitas dan
yang lebih baik daripada daerah hilir. Dari sudut pemanfaatan lahan, daerah
hulu relatif sederhana dan bersifat alami seperti hutan dan perkampungan kecil.
hal tersebut suplai limbah cair dari daerah hulu yang menuju daerah hilir pun
dari proses pembuangan limbah cair yang dimulai dari hulu (Wibowo, 2005
koordinat Latitude S 7° 24' 24" dan Longitude E 109° 14' 15". Sungai Kranji
merupakan salah satu anak Sungai Serayu yang alirannya melewati pemukiman
Selatan. Sungai utama Kranji memiliki panjang 9,4 Km dengan jumlah orde 1
(satu) sebanyak 13 buah, orde 2 (dua) sebanyak 7 buah, orde 3 (tiga) sebanyak 2
buah dan orde 4 (empat) sebanyak 1 buah. Saat ini Sungai Kranji mengalami
penurunan kualitas, baik dari sisi kualitas air maupun kuantitas air, disamping
2.2.1. Bentos
Benthos adalah organisme yang melekat pada dasar perairan atau yang
hidup dalam sedimen di dasar perairan Organisme ini mempunyai peranan yang
makrofit akuatik yang hidup maupun yang mati dan serasah yang masuk ke
perairan. Benthos juga merupakan sumber makanan yang alami bagi ikan
menentukan indikator kualitas perairan karena sifat bentos yang diam atau
menetap dan tidak banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan baik arus
2013).
2.2.2. Makrobentos
peranan ekologis dan struktur spesifik dihubungkan dengan makrofita air yang
akuatik yang hidup di dasar perairan dengan pergerakan relatif lambat dan
menetap serta daur hidupnya relatif lama sehingga hewan tersebut mempunyai
2010).
pada sedimen dasar perairan baik substrat lunak maupun substrat keras
2.2.3. Kepadatan
volume (m3). Kepadatan merupakan jumlah individu dibagi luas transek dan
daerah yang diamati. Dalam mencari kepadatan maka ketelitian harus benar-
(Odum, 1993 dalam Sinyo dan Idris, 2013). Lebih lanjut dinyatakan oleh
Nybakken (1998) dalam Sinyo dan Idris (2013), organisme yang memiliki nilai
2.2.4. Keragaman
Nilai keragaman adalah sifat komunitas yang memperlihatkan
individu yang relatif sama. Apabila suatu komunitas memiliki sedikit jumlah
spesies dan tidak sama jumlah antar individunya maka lingkungan tersebut
memiliki nilai keragaman yang rendah, dan cenderung tidak baik kualitas
memiliki daya adaptasi dan kemampuan bertahan hidup yang sama disuatu
sumberdaya secara merata (Rahma, 2005 dalam Ridwan et.al., 2016). Odum (1993)
dalam Ridwan et.al. (2016) menyatakan bahwa nilai indeks dominansi yang tinggi
mendominasi).
III. MATERI DAN METODE
3.1. Materi
3.1.1. Alat
Ukuran/
No Nama alat Merek Fungsi
jumlah
Menangkap
Tempat larutan
2. Botol sampel secukupnya -
formalin
Tempat menyimpan
3. Plastic 1 Rose
markobenthos
3.1.2. Bahan
Mencari
1. Sampel substrat Banyak -
makrobenthos
Mengawetkan
2. Formalin 3 tetes -
makrobenthos
3.2. Metode
3.2.1. Makrozoobenthos
diambil dari 3 (tiga) titik sampel, yaitu, tepi, tengah dan tepi pada setiap stasiun
tengah dan hilir. Transek dibentangkan pada titik lokasi sampling, kemudian
keragaman makrobenthos.
3.2.2. Kepadatan
∑𝒊=𝟏 𝒏𝒊
X=
𝑨𝒙 𝑺
Keterangan :
X = kepadatan individu/m2
3.2.3. Keragaman
𝑆
𝑁𝑖 𝑁𝑖
𝐻= −∑ ln
𝑁 𝑁
𝑖=1
Keterangan:
H’ = indeks keragaman
S = jumlah spesies
Praktikum ini dilakukan pada Sabtu, 16 Maret 2019 pukul 05.00 WIB.
Pengambilan sampel dilakukan pada bagian tengah yang terletak pada jalan Dr.
Angka kel. Sokanegara kec. Purwokerto Utara dengan koordinat 70 25’ 37” N 1090
13’ 57” E, dan bagian hilir sungai yang terletak pada jalan Slamet Riyadi kel.
Kranji kec. Purwokerto Utara dengan koordinat 70 25’ 35” N 1090 13’ 57” E di
dianalisis secara deskriptif dengan histogram atau diagram balok antara titik
4.1. Hasil
Jumlah
Kepadat
Tepi Teng Tepi Keragaman
Stasiun Genus Spesies Total an
Kiri ah Kanan (Ind/m2)
(Ind/L)
Sulcosp Sulcosp
ira ira 2 3 - 5 2
Tengah testudi 0,66
naria
Soman Soman
niathel niathel
pusa 2 - - 2 1
pusa
sinensis
0,6
Soman
Soman niathel 3 - - 3 1
niathel pusa
pusa sinensis
4.2. Pembahasan
4.2.1. Kepadatan
Kepadatan
3.5
3
3
2.5
2
2
ind/L
Sulcospira testudinaria
1.5
1 1
1 Somanniathelpusa
0.5 sinensis
0
Tengah Hilir
Stasiun
pada perairan. Menurut Nugroho (2006) dalam Minggawati (2013), faktor yang
kandungan unsur kimia seperti kandungan ion hidrogen (pH), oksigen terlarut
komunitas.
kondisi perairan di Sungai Kranji dari tengah ke hilir masih dalam kondisi baik.
organisme akuatik yang hidup di dalamnya. Dengan kondisi yang seperti ini,
4.2.2. Keragaman
variasi habitat yang lebih besar dari. Pada daerah yang lebih dalam sehingga
kompetisi lebih kompleks. Pada musim hujan perairan cenderung lebih dalam
dan hilir :
Keragaman
0.68
0.66
0.66
0.64
ind/m2 0.62
0.6
0.6 Keragaman
0.58
0.56
Tengah Hilir
Stasiun
tengah sebesar 0,66 ind/m2 dan keragaman pada stasiun hilir sebesar 0,6 ind/m2.
ind/m2, dan keragaman terendah pada stasiun hilir dengan keragaman sebesar
0,6 ind/m2. Menunjukan bahwa nilai keragaman tertinggi berada pada daerah
tengah sungai, sedangkan nilai keragaman terendah pada daerah hilir sungai.
Hal ini disebabkan karena pada daerah tengah kondisi perairannya lebih
bahan organik. Pada bagian hilir terdapat banyak sumber makanan yang
terbawa oleh arus dari hulu sungai. Hal ini sesuai dengan, Nurracmi dan
karena bahan organik merupakan sumber nutrien bagi biota yang pada
umumnya terdapat pada substrat dasar dan bahan organik terbesar ada pada
sifat fisika perairan, pada daerah hulu dan tengah yang memiliki tipe substrat
berbatu memilik nilai keragaman makrobenthos lebih kecil. Hal ini sesuai
dengan pendapat Krisanti (2013) yang menyatakan bahwa perairan denga tipe
substrat seperti batu, kerikil dengan sedikit lumpur, kurang disukai oleh
kondisi perairan di Sungai Kranji dari tengah ke hilir masih dalam kondisi baik.
organisme akuatik yang hidup di dalamnya. Dengan kondisi yang seperti ini,
5.1. Kesimpulan
bahwa:
1. Parameter biologi yang diamati pada Sungai Kranji yaitu kepadatan dan
pada stasiun hilir sebesar 0,6 ind/m2. Keragaman tertinggi yaitu di stasiun
pada stasiun hilir dengan keragaman sebesar 0,6 ind/m2. Menunjukan bahwa
nilai keragaman tertinggi berada pada daerah tengah sungai, sedangkan nilai
keragaman terendah pada daerah hilir sungai. Hal ini disebabkan karena
untuk hidup karena pada bagian tengah tidak terjadi penumpukan bahan
organik.
unsur kimia seperti kandungan ion hidrogen (pH), oksigen terlarut (DO), dan
kebutuhan oksigen biologi (BOD). Sedangkan kelimpahan makrozoobentos
biasanya memiliki variasi habitat yang lebih besar dari pada daerah yang
5.2. Saran
Ali, A., Soemarno., dan M. Purnomo. 2013. Kajian Kualitas Air dan Status Mutu
Air Sungai Metro di Kecamatan Sukun Kota Malang. Jurnal Bumi Lestari, 13
(2): 265-274.
Chalid, H. 2014. Keragaman dan Distribusi Makrozoobenthos pada Daerah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil TAnjung Buli, Halmahera Timur. Skripsi. Universitas
Hasanudin, Makasar.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan. Konsius. Yogyakarta.
Rahadi, B., dan N. Lusiana. 2013. Penentuan Kualitas Air Tanah Dangkal Dan
Arahan Pengelolaan (Studi Kasus Kabupaten Sumenep). Jurnal Teknologi
Pertanian, 13 (2): 97-104.
Yuliastuti, Etik. 2011. Kajian Kualitas Air Sungai Ngringo Karanganyar dalam Upaya
Pengendalian Pencemaran Air. Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang.
LAMPIRAN
Lampiran 1
Perhitungan
Diketahui:
- Stasiun Tengah 1. 1. Stasiun Tengah :
5
Sulcospira testudinaria 𝑋𝑆𝑢𝑙𝑐𝑜𝑠𝑝𝑖𝑟𝑎 𝑡𝑒𝑠𝑡𝑢𝑑𝑖𝑛𝑎𝑟𝑖𝑎 = 1 × 3 = 1,7 ind/m2
A=1 2
X𝑆𝑜𝑚𝑎𝑛𝑛𝑖𝑎𝑡ℎ𝑒𝑙𝑝𝑢𝑠𝑎 𝑠𝑖𝑛𝑒𝑛𝑠𝑖𝑠 = 1 𝑥3 = 0,7 ind/m2
S=3
2 2 5 5
H ′ = − {( 𝐼𝑛 ) + ( 𝐼𝑛 )}
Ni = 5 10 10 10 10
Somanniathelpusa sinensis = -{(-0,32) + (-0,34)} = 0,66
S=3
Ni =7
Somanniathelpusa sinensis
A=1
S=3
Ni = 3
Ditanya :
A. Kepadatan (X) Stasiun Tengah dan Hilir
B. Indeks Shannon Wienner Stasiun
Tengah dan Hilir
Dijawab :
∑ 𝑛𝑖
Kepadatan (𝐗) =
𝐴𝑥𝑆
Keterangan:
X= kepadatan individu/m2
Keterangan :
H ′ = indeks keragaman
S=jumlah spesies
Lampiran 2
Foto Kegiatan
ACARA IV
Oleh :
Iswardhani Ariyanti
NIM. L1B017035
2019
I. PENDAHULUAN
Air merupakan sumber daya alam yang diperlukan untuk hajat hidup
orang banyak, bahkan oleh semua makhluk hidup. Pemanfaatan air untuk
(Nugroho, 2008 dalam Ali, dkk., 2013). Salah satu pemanfaatan air yaitu untuk
kegiatan budidaya ikan. Usaha budi daya ikan semakin hari semakin bertambah
usaha budi daya sangat erat kaitannya dengan kondisi lingkungan yang
(Mulyadi, 2014).
air cukup, letak kolam bebas dari banjir dan pencemaran air, kondisi tanah kolam
liat berpasir, dan sarana lain seperti jalan sudah tersedia (Akbar, 2016).
Kehidupan organisme pada suatu perairan dipengaruhi oleh faktor fisik. Faktor
dan bau. Kualitas air (fisika dan kimia) yang khas bagi suatu keperluan
dinyatakan dalam suatu angka atau kisaran angka dalam suatu satuan, disebut
kriteria. Kriteria adalah suatu persyaratan ilmiah yang digunakan sebagai dasar.
kolam yang baik untuk budidaya ikan, maka perlu dilakukan penelitian.
Kualitas air berbeda menurut asalnya. Oleh karena itu dilakukan penelitian
mengenai sifat fisik perairan lentik pada kolam pembesaran di Desa Tambak
Sogra, Baturraden. Parameter fisik yang diteliti meliputi (1) suhu, untuk
mengetahui berapa suhu yang baik untuk kolam pembesaran pada budidaya
ikan nila agar mencapai pembesaran yang maksimal dan terbebas dari penyakit.
bahan organik oleh mikroba (2) penetrasi cahaya, untik mengetahui sampai
plankton sebagai pakan alami ikan akan berkurang, karena cahaya matahari
jika terlalu banyak juga tidak baik bagi pertumbuhan ikan, maka dari itu
berapahkah kedalaman yang baik untuk budidaya ikan nila pada kolam
perairan. kekeruhan, (4) DHL (Daya Hantar Listrik) atau konduktivitas untuk
ikan, karena jika berlebih akan menyebabkan ikan menjadi stres dan
mengakibatkan mortalitas, (5) TDS, untuk mengetahui berapakah kadar TDS
pada kolam tersebut (6) bau air, untuk mengetahui tingkat pencemaran pada
kolam tersebut (7) warna air, untuk mengetahui warna tampak dan warna
mengetahui sampai batas maksimal kekeruhan berapa ikan dapat hidup (9) tipe
substrat, mengetahui tujuan pembuatan kolam untuk ikan jenis apa karena
1.2. Tujuan
Tambak Sogra.
2.1. Kolam
Kolam merupakan lahan basah buatan yang umumnya dibangun bagi kegiatan
budidaya perairan, khususnya ikan air tawar. Secara umum, kolam merupakan
lahan yang dibuat untuk menampung air dalam jumlah tertentu sehingga dapat
dipergunakan untuk pemeliharaan ikan dan atau hewan air lainnya. Sedangkan
secara teknis, kolam merupakan suatu perairan buatan yang luasnya terbatas
dan sengaja dibuat manusia agar mudah dikelola dalam hal pengaturan air, jenis
ciri ekologis hampir sama dengan danau. Kolam dibangun sebagai sarana
budidaya berbagai macam jenis ikan dengan sumber air umumnya berasal dari
waduk atau sungai yang dialirkan ke kolam-kolam melalui saluran irigasi, baik
yang dibangun khusus untuk mengairi kolam, maupun saluran irigasi yang
dibangun untuk mememuhi kebutuhan air bagi lahan pertanian secara umum
besar dibandingkan dengan kolam pembesaran yaitu sekitar 250-600 m2. Namun,
ikan di kolam air deras yang lahannya sempit, tetapi kepadatan yang sangat
tinggi. Untuk pemeliharaan ikan secara intensif ini, debit air harus cukup besar,
yaitu antara 10-15 l/detik (Susanto, 2013).
apung yang bisa menggunakan padat tebar tinggi dan pemberian pakan
tambahan. Selain itu, ada bentuk kolam alternatif untuk pembesaran yang
dikenal dengan nama hampang (pen culture), sawah tambak, keramba yang
berada kurang dari 600 m dpl dengan karakteristik tanah liat berpasir
permanen maupun semi permanen. Lokasi dengan karakter tanah yang stabil
dan keras akan lebih baik dalam pembuatan konstruksi kolam beton.
(Suprayitno, 1986 dalam Hidayat, 2018). Daerah terbaik untuk kolam air deras
ketinggian sumber air dengan air permukaan kolam ±30 cm. Hal ini bertujuan
(Suprayitno, 1989 dalam Hidayat, 2018). Aliran yang deras akan meningkatkan
kualitas air terjaga dalam kondisi optimum untuk pertumbuhan ikan. (Boyd,
1982, Suprayitno, 1989 ; RSNI, 2014 dalam Hidayat, 2018).
2.2.1. Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor penting bagi kehidupan ikan, karena
karena sesuai dengan biokimia jaringan tubuhnya, yakni ikan memiliki sifat
dalam tubuh ikan meningkat. Sebagian besar spesies ikan, laju metabolisme di
atas suhu optimum (33-40 0C) akan meningkat dan energi mulai dialihkan dari
fitoplankton di perairan adalah 200C – 300C (Effendi dalam Ali, 2013). Menurut
Hutabarat dalam Nisa et al. (2015). Bahwa tingginya suhu disebabkan oleh
tingginya cahaya dan adanya pencampuran air, serta oleh faktor aktifitas yang
ada pada stasiun tersebut. Tingginya suhu air berkaitan dengan besarnya
visual dengan mengunakan scchi disk satuan untuk nilai kecerahan dari suatu
perairan dengan alat tersebut adalah satuan meter (Effendi, 2003). Kecerahan
panjang. Alat yang bias digunakan untuk mengukur tingkat kecerahan air
adalah sechi disk, yaitu berupa pirigan yang diberi warna hitam putih dan
dihubungkan dengan tali pegangan yang mempunyai garis garis skala. Pada
plankton sebagai pakan alami ikan, karena cahaya matahari merupakan sumber
energi plankton untuk melakukan proses fotosintesis. Oleh karena itu, penetrasi
2.2.3. Kedalaman
kelarutan gas-gas dalam air, kecepatan arus, penetrasi cahaya matahari dan
terjadi pada saat cahaya di dalam kolom air hanya tinggal 1 % dari seluruh
tidak lebih dari satu meter pada perairan umum, karena pada kedalaman
Maresi, 2015)
2.2.4. Kekeruhan
terlihat dengan mata telanjang, mirip dengan asap udara. Kekeruhan disebabkan
karena adanya kandungan Total Suspended Solid baik yang bersifat organik
partikel halus, tanah, plankton, dsb. Hal ini bisa bersumber dari hasil kegiatan
(sampah, limbah domestik, industri atau air rawa yang kaya akan bahan
TDS (Total Dissolved Solid) atau padatan terlarut total adalah bahan-bahan
terlarut dalam air yang tidak larut dan tidak tersaring dengan kertas saring
utama TDS dalam perairan adalah limpahan dari pertanian, limbah rumah
tangga, dan industri. Unsur kimia yang paling umum adalah kalsium, fosfat,
(TDS) yang diijinkan adalah 1.000 ppm (Partuti, 2014). Berbagai teknologi
digunakan untuk mengolah air limbah yang mengandung konsentrasi TDS yang
baik bagi kehidupan suatu makhluk hidup di perairan adalah di bawah 400 µs.
perairan stress dan mati. Jika di perairan sungai terdapat banyak partikel, maka
banyak ion atau mineral yang terlarut di dalam air. Konduktivitas listrik air
terionisasi dalam air. Ion dari konsentrasi padatan terlarut dalam air
a.l, 2016).
Substrat dasar perairan merupakan salah satu potensi abiotik yang luar
biasa. Substrat berguna sebagai habitat, tempat mencari makan, dan memijah
bagi sebagian besar organisme akuatik (Susanto, 2000 dalam Ningsih dkk, 2013).
Selain itu dasar perairan memiliki komposisi yang sangat kompleks mulai dari
pemasukan air kolam, semakin keruh air yang masuk ke kolam semakin
berlumpur suatu substrat dasar kolam dan juga dari partikel organik dan
anorganik yang dapat tersebar air masuk melalui inlet. Substrat dasar
dipengaruhi oleh tujuan pembuatan kolam yang sengaja dibuat. Substrat dasar
2.2.8. Warna
warna tampak (apparent color). Warna sesungguhnya yaitu warna yang hanya
dipisahkan dahulu. Warna tampak yaitu warna yang tidak hanya disebabkan
oleh bahan terlarut, tetapi jug disebabkan oleh bahan tersuspensi (Efendi, 2003).
besi dan mangan), serta bahan-bahan lain. Adanya oksida besi menyebabkan air
kecoklatan atau kehitaman (Peavy et.al., 1985 dalam Ramdani et al., 2016).
Perairan yang banyak bahan organik nabatinya biasanya berwarna coklat gelap.
2.2.9. Bau
Bau air merupakan salah satu indikator pencemaran air. Bau air dapat
disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya sampah dan limbah pabrik atau
industri. Banyaknya sampah dan kandungan limbah di perairan akan
Bau air kebanyakan berbau tidak enak terjadi pada perairan yang
Nitrogen (N), Sulfur (S), Posfor (p) serta berasal dari hasil pembusukan protein
ataupun bahan-bahan organik lainnya. Selain itu bau yang tidak dikehendaki
dalam suatu perairan dapat juga timbul akibat adanya pertumbuhan ganggang,
tergantung pada besamya nilai pH dari pada perairan dan konsentrasi Sulfida
3.1. Materi
3.1.1. Alat
Ukuran/
No Nama alat Merek Fungsi
jumlah
Menentukan waktu
2. Stopwatch 1 -
pada kecepatan arus
Tempat wadah
sampel dan
3. Botol plastic 6 Aqua
menentukan jarak
Keeping Menentukan
4. 1 -
sechidisk penetrasi cahaya
Ukuran/
No Nama bahan Merek Fungsi
jumlah
Menentukan parameter
perairan
Untuk mengkalibrasi
Untuk memebersihkan
3. Tissue 1 Nice
alat pengukuran
3.2. Metode
3.2.1. Suhu
Pengukuran suhu dilakukan tiga lokasi sampling yaitu inlet, tengah dan
celupkan ke dalam badan air yang akan diteliti selama ± 10 menit. Angka yang
dan outlet kolam. Alat secchi disc diturunkan ke suatu kedalaman air tertentu,
yaitu sampai tepat hilang dari pandangan (sebagai X1), kemudian secchidisc
diangkat sampai awal terlihat dari pandangan (sebagai X2). Dihitung penetrasi
(X1) + (X2)
PC =
2
3.2.3. Kedalaman
dan outlet kolam. Kepping secci diturunkan kedalaman air hingga mencapai
dasar perairan, kemudian catat kedalaman dengan melihat tali yang sudah di
3.2.4. TDS
antara air sampel inlet, tengah dan outlet kolam. Pengukuran TDS dilakukan
dengan menggunakan alat TDS meter. TDS meter terlebih dahulu dikalibrasi
dengan larutan standar yang ada. Kemudian kuvet diisi dengan air sampel,
3.2.5. DHL
antara air sampel inlet, tengah dan outlet kolam. Konduktivitas diukur
3.2.6. Kekeruhan
dihomogenkan antara air sampel inlet, tengah dan outlet kolam. Pengukuran
terlebih dahulu dikalibrasi dengan larutan standar yang ada. Kemudian kuvet
Amati warna yang terlihat pada air kolam. Warna yang didapat dan
diperoleh dari pandangan minimal lima orang itulah yang disimpulkan bau air.
Amati warna dan bau dengan metode organoleptik, lalu ambil air dan
akan dibaui oleh 5 orang dan kesimpulan dari hasil bau tersebut dicatat.
dengan tangan kemudian amati jenis subtrat yang ada di kolam tersebut dan
hasilnya dicatat.
Pengambilan sampel dilakukan 2 (dua) kali yaitu pada pukul 05.30 WIB dan
Data pengukuran parameter sifat fisika air yang diperoleh dapat dianalisis
secara deskriptif dengan histogram atau diagram balok antara titik sampling,
4.1. Hasil
Tabel 3. Sifat Fisik Kolam C.3 Kolam Pembesaran Ikan Nila Tambak Sogra
Standar
Waktu (WIB) Pustaka
Parameter Satuan Baku Mutu
05.30 12.30
PP RI
Analisis No.82
Celcius 25,3 30,6 25- 30
Suhu Tahun
2001
PP RI
Analisis No.82
mg/L 97 45 1000-2000
TDS Tahun
2001
PP RI
Analisis No.82
NTU 20,793 18,67 18-36
Kekekruhan Tahun
2001
Analisis kepmen
Ηmhos 146 68 20 – 1500
DHL ESDM
penetrasi PP RI
Cm 30,8 cm 7-40
cahaya No.82
Tahun
2001
PP RI
Tidak No.82
Bau - Amis Amis
berbau Tahun
2001
PP RI
2001
Prihatman,
Kedalaman cm 62,3 62,66 60-150
2000
4.2. Pembahasan
4.2.1. Suhu
budidaya ikan. Secara umum laju pertumbuhan ikan akan meningkat jika
sejalan dengan kenaikan suhu pada batas tertentu (Supratno, 2006 dalam Hasim,
permukaan laut (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan,
dan aliran serta kedalaman badan air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap
proses fisika, kimia, dan biologi badan air (Effendi, 2003 dalam Simanullang,
2016). Berikut merupakan grafik suhu kolam pembesaran pada pukul 05.30
35
Suhu
30.6
30
25.3
25
20
15 Suhu
10
0
05,30 12,30
Waktu
Grafik 1. Suhu Kolam Pembesaran Ikan Nila di BPBAT Tambak Sogra
pembesaran pada ikan nila tertinggi terjadi pada pukul 12.30 WIB sebesar
30,6°C, sedangkan yang terendah terjadi pada pukul 05.30 WIB sebesar 25,3°C.
sekitar kolam membuat panas matahari masuk dan terjadi penyerapan oleh
materi perairan. Hal ini sesuai dengan pendapat Hutabarat (2010) dalam Nisa
dan adanya pencampuran air, faktor aktifitas yang ada pada perairan. Semakin
banyak sinar matahari yang masuk maka suhu semakin tinggi. Kamsuri et al.,
°C, hasil penelitian suhu pada Kolam Pembesaran Ikan Nila BPBAT Tambak
Sogra, pada pukul 12.30 melebihi standar baku, namun secara teoritis, ikan tropis
masih hidup normal pada suhu 30 - 35oC apabila konsentrasi oksigen terlarut
cukup tinggi (Kamsuri dkk 2013). Jika kenaikan suhu melebihi batas akan
hal ini akan menyebabkan berkurangnya gas-gas terlarut didalam air yang
penting untuk kehidupan ikan atau hewan akuatik lainnya. Walaupun ikan
dapat menyesuaikan diri dengan kenaikan suhu, akan tetapi kenaikan suhu
melibihi batas toleransi ekstrim (35°C) waktu yang lama maka akan
penetrasi cahaya kolam Pembesaran Ikan Nila di BPBAT Tambak Sogra pada
20
Penetrasi Cahaya
15
10
5
0
05,30 12,30
Waktu
dengan nilai tertinggi terjadi pada pukul 12.30 WIB yaitu 30,8 cm. Pada jam
05.30 WIB tidak dapat terdefinisi hasilnya, Hal ini karena pada pagi hari
intensitas cahaya matahari tidak terlalu besar sehingga hanya sedikit bahkan
tidak ada cahaya yang dapat masuk ke dalam air. Hal ini sesuai dengan pendapat
Effendi (2003) dalam Yulisa (2016) yang menyatakan bahwa nilai kecerahan
itu, rendahnya penetrasi cahaya yang terjadi juga diakibatkan karena dalam air
dari keduanya. Semakin banyak kandungan partikel cahaya yang masuk akan
terhalang. Kecerahan juga mempengaruhi proses fotosintesis dalam suatu
antara 7-40 cm, namun mengacu pada standar baku mutu air yang ditulis oleh
Frasawi dkk, (2013), hasil penelitian penetrasi cahaya pada Kolam Pembesaran
Ikan Nila BPBAT Tambak Sogra masih memenuhi standar baku air yaitu pada
energi dalam proses fotosintesis, semakin banyak cahaya yang masuk ke dalam
4.2.3. Kedalaman
jaring apung (Hasim, 2015). Kedalaman merupakan sifat fisik yang dapat
62.6
62.5
cm
62.4
Kedalaman
62.3
62.3
62.2
62.1
05,30 12,30
Waktu
Nila di BPBAT Tambak Sogra kedalaman pada kolam pembesaran pada pukul
05.30 WIB dan pukul 12.30 WIB, yaitu 62,3 cm dan 62,66 cm. Dari kedua waktu
pukul 12.30 sebesar 62,66 cm, sedangkan pada pukul 05.30 sebesar 62,3 cm. Hal
pada dasar perairan (Hasim et.al., 2013). Asmara (2005) dalam Nisa (2015)
lapisan air yang produktif. Tebalnya lapisan air yang produktif memungkinkan
Mengacu pada standar baku mutu air yang ditulis oleh (Prihatman, 2000)
hasil penelitian kedalaman pada Kolam Pembesaran Ikan Nila di BPBAT
Tambak Sogra masih memenuhi standar baku air yaitu 60-150 cm. Kedalaman
pada kedalaman tidak lebih dari satu meter pada perairan umum, karena pada
4.2.4. TDS
Total Dissolved Solid atau TDS merupakan parameter dari jumlah material
yang dilarutkan dalam air. Sumber padatan terlarut total dapat mencakup
generelisasi dari hubungan TDS untuk masalah kualitas air (Sarwadi, 2014).
Sebagai contoh adalah air permukaan apabila diamati setelah turun hujan akan
kemarau air kelihatan berwarna hijau karena adanya ganggang di dalam air
(Situmorang, 2007 dalam Nicola, 2015). Berikut merupakan grafik TDS kolam
97
100
80
mg/L
60
TDS
45
40
20
0
05,30 12,30
Waktu
Sogra
pukul 12.30 dengan nilai 45 mg/L, kemudian untuk TDS tertinggi pada pukul
05.30 dengan nilai 97 mg/L. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh dari
material organik yang ada dikolam. Menurut Sulawesty (2014), kandungan TDS
disebabkan oleh masukan material organik, khususnya dari porsi makan ikan.
Dengan terbawanya kandungan TDS oleh arus menuju outlet kolam, diiringi
masukan material organik dari biota air menyebabkan kandungan TDS di kolam
kandungan TDS juga karena tidak adanya penyaringan lebih lanjut pada bak
inlet. Menurut Khusnuryani (2008) dalam Sari (2015), bahwa adanya tanaman air
atau algae yang tumbuh pada permukaan air limbah di kolam sedimentasi dapat
Tambak Sogra masih memenuhi standar baku air yaitu 1000-2000 mg/L. Kondisi
ini menunjukan bahwa air kolam layak digunakan untuk kehidupan ikan dan
biota air lainnya. Perubahan dalam konsentrasi TDS dapat berbahaya karena
densitas (massa jenis) air menentukan aliran air masuk dan keluar dari sel–sel
organisme. Namun, jika konsentrasi TDS terlalu tinggi atau terlalu rendah,
pertumbuhan kehidupan banyak air dapat dibatasi, dan kematian dapat terjadi.
senyawa beracun dan logam berat, dan menyebabkan peningkatan suhu air.
4.2.5. DHL
terlarut anorganik seperti klorida, nitrat, sulfat, dan anion fosfat atau natrium,
terlarut atau ion dalam air (Pal et al., 2015). Berikut merupakan grafik DHL
120
100
ηmhos
80 68 Konduktivitas
60
40
20
0
05,30 12,30
Waktu
Tambak Sogra
terdapat pada waktu pukul 05.30 dengan nilai 146 ηmhos dan nilai DHL yang
paling rendah terdapat pada waktu siang pukul 12.30 yaitu 68 ηmhos. Hal ini
Seperti yang dijelaskan oleh Soraya et.al. (2013) yang menyatakan bahwa nilai
Menurut Pujiastuti et.al., (2013) kandungan DHL yang ada di kolam dapat
disebabkan pellet yang diberikan pada budidaya ikan. Ion-ion terlarut biasanya
berasal dari hasil sisa pakan ikan yang mengendap di dasar perairan. Pellet
tersebut mengandung klorida dan kalium sehingga akan terlarut di badan air
Menurut kepmen ESDM, standar baku untuk DHL berkisar antara 20-
1500 ηmhos. Nilai DHL yang paling tinggi terdapat pada waktu pukul 05.30
dengan nilai 146 ηmhos dan nilai DHL yang paling rendah terdapat pada waktu
pagi pukul 12.30 yaitu 68 ηmhos. dan Hal ini sesuai dengan pernyatan Sari
(2015) yang menyatakan bahwa Konduktivitas air yang layak untuk kehidupan
organsme perairan yaitu dibawah 400 µs. Konduktivitas perairan melebihi 400
4.2.6. Kekeruhan
yang terdapat dalam air (Pujiastuti et.al., 2013). Berikut merupakan grafik
Kekeruhan
36
31
26
NTU
20.793 Kekeruhan
21
18.67
16
11
05,30 12,30
Waktu
Sogra
yang paling rendah terdapat pada waktu siang pukul 12.30 yaitu 18,67 NTU.
Hal ini disebabkan karena pada pagi hari ikan yang ada di kolam aktif bergerak
untuk mencari makan, sehingga partikel-partikel yang ada di dalam air saling
menyebar dan bercampur dengan makanan alami ikan. Sesuai dengan pendapat
metabolisme dari ikan yang ada di kolam (Bachtiar et.al., 2017). Nilai kekeruhan
berbanding lurus dengan nilai TDS di suatu perairan , karena semakin tinggi
nilai TDS maka nilai kekeruhan akan semakin besar (Putra, 2015).
Mengacu pada standar baku mutu air berdasarkan PP RI No.82 Tahun 200,
berkisar antara 18-36 NTU. Kekeruhan pada Kolam Pembesaran ikan nila di
BPBAT Tambak Sogra masih memenuhi standar baku air, pada kisaran 18 – 36
NTU. Kondisi ini layak digunakan untuk kehidupan ikan dan biota air lainnya.
juga dapat menyebabkan penyumbatan pada insang ikan, sehingga ikan akan
4.2.7. Warna
Warna perairan dipengaruhi oleh kedalaman. Jenis substrat juga
sedangkan didaerah siang lebih terang. Semakin dalam suatu perairan maka
semakin pekat warna perairan (Putra, 2015). Selain itu adanya fitoplankton
sebagai tumbuhan terapung kecil yang tersebar di seluruh kolam juga turut
Tambak Sogra, warna kolam tersebut pada pengamatan pukul 05.30 dan 12.30
WIB menunjukan warna tampak adalah hijau tua dan warna sesungguhnya
adalah bening.
Hasil ini sesuai dengan standar baku kualitas air menurut PP No. 82 Tahun
2001 yang menghendaki warna air tidak berwarna. Menurut Sastrawijaya (2000)
dalam Pujiastuti et.al., (2013), warna air memiliki hubungan dengan kualitas
perairan. Warna perairan dipengaruhi oleh adanya padatan terlarut dan padatan
menyebabkan air tidak sesuai untuk rumah tangga atau sulit dikelola sampai
memenuhi baku mutu air minum. Warna air keruh disebabkan karena
sedangkan didaerah siang lebih terang. Semakin dalam suatu perairan maka
4.2.8. Bau
Bau di perairan secara umum disebabkan oleh empat penyebab, antara
beberapa tipe alga, polusi kimia dan kondisi geologi. Peningkatan tingkat
kandungan oksigen dan berputarnya air kaya oksigen di dalam air, serta kondisi
anaerob dapat diminimalkan dan gas bau dapat dihilangkan dari air (Putra,
2015).
Ikan Nila di BPBAT Tambak Sogra, bau air pada kolam tersebut pada
pengamatan pukul 05.30 WIB dan 12.30 WIB menunjukan kesamaan bau air
yaitu bau amis. Bau amis didapat dari bau ikan nila yang berada didalam kolam
salah satu bahan organik yang mempengaruhi bau kolam itu sendiri (Yulianti,
2015). Hal ini tidak sesuai dengan standar baku kualitas air menurut PP No. 82
Tahun 2001 yang menghendaki bau air tidak berbau. Bau yang ditimbulkan
berasal dari substrat dasar perairan yang sudah tercampur oleh sisa metabolisme
mengatakan, bahwa bau pada lingkungan hidup air dapat berasal dari hasil
degradasi oleh mikroba yang hidup dalam air. Organisme tersebut men-
degradasi bahan organic menjadi bahan yang mudah menguap dan berbau
pelepasan gas, baik yang berasal dari proses dekomposisi, oksidasi, maupun gas
dari kandungan senyawa kimia dari limbah itu sendiri (Mustofa, 2015). Air yang
dan pospor. Bau tersebut tercium karena terbentuk asam sulfur dan amoniak.
Bau dapat ditimbulkan oleh pembusukan zat organik seperti bakteri oleh
perombakan batuan yang lebih tua atau material yang berasal dari proses
weathering batuan dan ditransportasikan oleh air, udara dan es, atau material
yang diendapkan oleh proses-proses yang terjadi secara alami seperti precitipasi
secara kimia atau sekresi oleh organisme, kemudian membentuk suatu lapisan
dasar perairan tergantung pada kecepatan arus, apabila arus lemah maka yang
akan mengendap adalah lumpur halus (Odum, 1971 dalam Fisesa, 2014).
Ikan Nila di BPBAT Tambak Sogra, tipe subtrat di kolam tersebut adalah lumpur
berbatu. Hal ini sesuai dengan standar baku mutu air yang di tulis Pasisingi et.al.,
(2014) bahwa tipe substrat kolam yang baik adalah lunak. Tipe substrat kolam
bersifat lunak karena kolam cenderung tidak mengalami perubahan dalam segi
Kecepatan arus yang kecil pada dasar perairan menyebabkan arus hanya
mampu mengangkut sedimen yang halus sesuai dengan besarnya energi dari
arus tersebut (Pamuji, 2015). Arus dari inlet juga akan mengangkut sedimen
searah dengan arah pergerakan arusnya. Tipe substrat sangat erat kaitannya
5.1. Kesimpulan
bahwa :
1. Parameter fisik kolam untuk uji kualitas perairan lentik meliputi suhu,
konduktivitas, warna, dan bau perairan. Nilai parameter fisik rata–rata inlet,
tengah dan outlet pada pukul 05.30 dan 12.30 secara berurutan yaitu, Suhu
(25,30C dan 30,60C), penetrasi cahaya (tidak terdefinisi dan 30,8 cm),
kedalaman (62,3 cm dan 62,66 cm), TDS (97 mg/L dan 45 mg/L),
konduktivitas (146 ηmhos dan 68 ηmhos), kekeruhan (20,793 NTU dan 18,67
NTU), warna air (hijau tua dan hijau tua), dan bau air (amis), tipe substrat
(lumpur berbatu).
laut (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan
aliran serta kedalaman badan air, waktu siang memiliki nilai temperature
kontinu oleh produsen primer. TDS dipengaruhi material organik yang ada
dikolam. Faktor lain yang mempengaruhi kandungan TDS juga karena tidak
partikel yang ada di dalam air saling menyebar dan bercampur dengan
organik dan bahan anorganik; karena keberadaan plankton, humus, dan ion-
ion logam (misalnya besi dan mangan), serta bahan-bahan lain. Warna
oksigen menyebabkan kondisi anaerob, beberapa tipe alga, polusi kimia dan
kondisi geologi. Tipe substrat dipengaruhi oleh jenis ikan yang akan
5.2. Saran
Agustira, Riyanda dkk. 2013. Kajian Karakteristik Kimia Air, Fisika, dan Debit
Sungai pada Kawasan DAS Padang Akibat Pembuangan Limbah Tapioka.
Jurnal Online Agroekoteknologi, 1 (3).
Akbar, Junius. 2016. Buku Ajar : Pengantar Ilmu Perikanan dan Kelautan (Budi Daya
Perairan). Lambung Mangkurat University Press : Banjarmasin. 235 hal.
Ali, A., Soemarno., dan Purnomo, Mangku. 2013. Kajian Kualitas Air dan Status
Mutu Air Sungai Metro di Kecamatan Sukun Kota Malang. Jurnal Bumi
Lestari, 13 (2): 265-274.
Bahtiar, A., B. Supenp., dan M.A.P. Negara. 2017. Rancang Bangun Pengontrol
Suhu dan Kekeruhan Air Kolam Ikan Patin Berbasis Fuzzy Logic. Jurnal
Arus Elektro Indonesia, 2 (3): 7-12.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan. Konsius. Yogyakarta. 249 hal
Hidayat, A. 2018. Potensi Pembesaran Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.) Kolam
Air Deras Di Daerah Irigasi Banjaran, Purwokerto, Jawa Tengah. Samakia:
Jurnal Ilmu Perikanan, 9 (1): 12-17.
Lukito, Arwa Farida. 2015. Hubungan Kualitas Air Embung untuk Irigasi dengan
Karakteristik Fisikokimia Lahan Pertanian. Skripsi. Universitas Sebelas
Maret, Surakarta. 44 hal.
Mantaya, S., Mijani Rahman., Zairina Yasmi. 2016. Model Storet dan Beban
Pencemaran untuk Analisis Kualitas Air di Bantaran Sungai Batu
Kambing, Sungai Mali-Mali dan Sungai Riam Kiwa Kecamatan Aranio
Kalimantan Selatan. Fish Scientiae (Jurnal Ilmu-Ilmu Perikanan dan Kelautan)
Universitas Lambung Mangkurat, 6 (11): 35-52.
Nasution, Erie Kolya. 2014. Kualitas Faktor Fisik Perairan Kolam Ikan. Skripsi.
Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. 5 hal.
Nicola, F. 2015. Hubungan Antara Konduktivitas, TDS (Total Dissolved Solid) dan
TSS (Total Suspended Solid) Dengan Kadar Fe2+ dan Fe Total Pada Air Sumur
Gali. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Jember, Jember. 80 hal.
Ningsih Ellis N., Supriyadi, Freddy., dan Nurdawati Syarifah. 2013. Pengukuran
dan Analisis Nilai Hambur Balik Akustik untuk Klasifikasi Dasar Perairan
Delta Mahakam. J. Lit. Perikan. Ind, 19 (3): 139-146.
Nuzula N. I., dan Endarko. 2013. Perancangan dan Pembuatan Alat Ukur
Kekeruhan Air Berbasis Mikrokotroler ATMega 8535. Jurnal Sains dan Seni
Pomits, 2 (1) : 1-5.
Oktarina, A., dan T. S. Syamsudin. 2015. Keanekaragaman dan distribusi
makrozoobentos di perairan lotik dan lentik Kawasan Kampus Institut
Teknologi Bandung, Jatinangor Sumedang, Jawa Barat. Pros Sem Nas Masy
Biodiv Indon, 1 (2): 227-235.
Partuti, Tri. 2014. Efektivitas Resin Penukar Kation untuk Menurunkan Kadar
Total Dissolved Solid (TDS) dalam Limbah Air Terproduksi Industri Migas.
Jurnal Integrasi Proses, 5 (1): 1-7.
Pujiastuti, Peni., Bagus, Ismail., dan Pranoto. 2013. Kualitas dan Beban Pencemar
Perairan Waduk Gajah Mungkur. Jurnal Ekosains, 5 (1): 59 – 66.
Putra, E., 2015. Pengaruh Kerapatan Keramba Jaring Apung (KJA) Terhadap
Kualitas Perairan Waduk Way Tebabeng Kabupaten Lampung Utara.
Tesis. Universitas Lampung, Lampung. 53 hal.
Rahman, A., Kresna, D.M., dan Anni, N. 2013. Analisis Kandungan Merkuri (Hg)
pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus L.) Budidaya Keramba di Sekitar
Waduk Riam Kanan Kecamatan Aranio. Bioscientiae, 10 (1): 125-140.
Ramadhani, Endi., Alif Noor Anna., Munawar Cholil . 2016. Analisis Pencemaran
Kualitas Air Sungai Bengawan Solo Akibat Limbah Industri di Kecamatan
Kebakkramat Kabupaten Karanganyar. Karya Ilmiah Fakultas Geografi
Universitas Muhammadiyah Surakarta. 15 hal.
Sari, N.R., Sunarto, Wiryanto. 2015. Analisis Komparasi Kualitas Air Limbah
Domestik Berdasarkan Parameter Biologi, Fisika Dan Kimia Di Ipal
Semanggi Dan Ipal Mojosong, Surakarta. Universitas Sebelas Maret. Jurnal
Ekosains, 7 (2).
Simanullang, F., Djuwito, & A. Ghofar. 2016. Distribusi dan Kelimpahan Larva
Ikan pada Ekosistem Mangrove di Desa Pasar Banggi Kabupaten
Rembang. Diponegoro Journal of Maquares, 5 (4): 199-208
Sitorus, Hasan., dan Zulham, Apandy Harahap. 2015. Kualitas Perairan Sungai
Ular Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara. AQUACOASTMARINE, 7
(2): 1-11.
Soraya, Z. Hanafiah, & Y. Windusari. 2014 Analisis Fisik Kimia Perairan untuk
Mendeteksi Kualitas Perairan Sungai Rambang Kabupaten Ogan Ilir
Sumatra Selatan. Biospecies 7(2) : 43-46.
Wardheni, Alan dkk. 2014. Studi Arus dan Sebaran Sedimen Dasar di Perairan
Pantai Larangan Kabupaten Tegal. Jurnal Oseanografi, 3 (2): 277-283.
Yulisa, E. N., Yar Johan ., Dede Hartono. 2016. Analisis Kesesuaian dan Daya
Dukung Ekowisata Pantai Kategori Rekreasi Pantai Laguna Desa Merpas
Kabupaten Kaur. Jurnal Enggano, 1 (1): 97-111.
Lampiran 1
Perhitungan
Parameter Perhitungan
= 25,3 0C
= 97 mg/L
= 20,793 NTU
= 146 µmhos
Kedalaman diketahui :
inlet = 55cm
tengah = 60 cm
outlet = 72 cm
ditanya :
kedalaman rata-rata
jawab :
55+60+72
nilai kedalaman rata-rata = 3
= 62,3 cm
warna air hijau tua
bau air Amis
Oleh :
Iswardhani Ariyanti
NIM. L1B017035
2019
I. PENDAHULUAN
mengairinya. Kualitas air pada sumbernya (sungai dan saluran irigasi) maupun
yang telah digunakan sebagai media budidaya ikan di petak-petak kolam, yang
mengalami fluktuasi dari waktu ke waktu. Fluktuasi tersebut dapat terjadi baik
sebagai akibat dari kondisi eksternal harian yang berhubungan dengan cahaya
matahari, iklim dan cuaca, juga dapat diakibatkan secara in situ oleh faktor-
faktor operasional kegiatan budidaya itu sendiri seperti pemberian makanan dan
menggenang atau lentic water yang sengaja diciptakan dan dirancang sedemikian
rupa untuk kegiatan budidaya perairan. Selain badan air alami seperti sungai
dan laut, biota air terdapat pula dalam badan air buatan manusia seperti kolam
atau waduk. Kolam merupakan suatu badan perairan, yang berfungsi sebagai
habitat buatan yang diciptakan agar ikan dapat hidup dan dapat berkembang
perlu diperhatikan antara lain, oksigen terlarut (DO), suhu, pH, amoniak, dan
lain-lain. Sumber air yang diperlukan dalam kegiatan budidaya ikan harus
tersebut meliputi sifat kimia dan fisika, yang meliputi suhu, kekeruhan,
Oleh karena itu perlu diadakan pengukuran parameter kimia pada kolam,
seperti (1) pH, untuk mengetahu berapa nilai pH yang tepat untuk budidaya ikan
nila (2) O2 terlarut, agar mengetahui kecukupan oksigen bagi kolam pembesaran
ikan nila (3) CO2 bebas, mengetahui kadar CO2 bebas dalam kolam budidaya (4)
DMA, untuk mengetahui kadar DMA pada kolam pembesaran ikan nila.
1.2. Tujuan
Tujuan praktikum analisis sifat kimia air kolam adalah untuk mengetahui :
Tambak Sogra.
2.1. Kolam
ciri ekologis hampir sama dengan danau. Kolam dibangun sebagai sarana
budidaya berbagai macam jenis ikan dengan sumber air umumnya berasal dari
waduk atau sungai yang dialirkan ke kolam-kolam melalui saluran irigasi, baik
yang dibangun khusus untuk mengairi kolam, maupun saluran irigasi yang
dibangun untuk mememuhi kebutuhan air bagi lahan pertanian secara umum
Kolam merupakan lahan basah buatan yang umumnya dibangun bagi kegiatan
budidaya perairan, khususnya ikan air tawar. Secara umum, kolam merupakan
lahan yang dibuat untuk menampung air dalam jumlah tertentu sehingga dapat
dipergunakan untuk pemeliharaan ikan dan atau hewan air lainnya. Sedangkan
secara teknis, kolam merupakan suatu perairan buatan yang luasnya terbatas
dan sengaja dibuat manusia agar mudah dikelola dalam hal pengaturan air, jenis
besar dibandingkan dengan kolam pendederan yaitu sekitar 250-600 m2. Namun,
ikan di kolam air deras yang lahannya sempit, tetapi kepadatan yang sangat
tinggi. Untuk pemeliharaan ikan secara intensif ini, debit air harus cukup besar,
yaitu antara 10-15 l/detik (Susanto, 2013).
tinggi. Kini sudah berkembang pemeliharaan ikan di keramba jaring apung yang
bisa menggunakan padat tebar tinggi dan pemberian pakan tambahan. Selain
itu, ada bentuk kolam alternatif untuk pembesaran yang dikenal dengan nama
puluhan kilometer, kolam comberan, kolam karpet dan lain sebagainya (Susanto,
2013).
berada kurang dari 600 m dpl dengan karakteristik tanah liat berpasir
permanen maupun semi permanen. Lokasi dengan karakter tanah yang stabil
dan keras akan lebih baik dalam pembuatan konstruksi kolam beton.
Daerah terbaik untuk kolam air deras adalah tanah dengan sedikit
masih bisa digunakan untuk pembuatan kolam adalah 2,5 persen. Kolam
diusahakan berada dekat dengan sumber air. Perbedaan ketinggian sumber air
dengan air permukaan kolam ±30 cm. Hal ini bertujuan agar pemasukan dan
Hidayat, 2018). Aliran yang deras akan meningkatkan kualitas air terjaga dalam
biota lain di air dapat tumbuh dengan baik pada pH 6-9 (Yusuf, 2008 dalam
2007 dalam Samsundari dan Ganjar, 2013). Nilai pH mempunyai pengaruh besar
derajat keasaman yang rendah atau dalam suasana asam dan sebaliknya (Hadi,
seberapa besar tingkat keasaman atau kebasaan suatu perairan. Perairan dengan
banyak dibutuhkan oleh biota aerobik. Oksigen terlarut juga memegang peranan
dalam proses oksidasi dan reduksi bahan organik maupun anorganik. Suatu
perairan yang baik memiliki kadar oksigen terlarut (DO) > 5 ppm (Salmin, 2005
terlarut dalam air, selain yang berada dalam bentuk terikat sebagai ion
bikarbonat dan ion karbonat. CO2 bebas menggambarkan keberadaan gas CO2
2003). Permukaan air biasanya mengandung CO2 bebas kurang dari 10 mg/L,
sedangkan pada dasar air konsentrasinya dapat lebih dari 10 mg/L. Keberadaan
diperlukan sebagai buffer (O-Fish, 2003 dalam Sunardi et.al., 2016). Kandungan
CO2 bebas berkisar antara 13,73-23,60 ppm. Kadar CO2 bebas lebih dari 25 mg/l
sudah membahayakan kehidupan ikan (NTAC, 1968 dalam Sunardi et.al., 2016).
kapasitas air untuk menetralkan asam-asam lemah, meskipun asam lemah atau
dapat dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu: Perairan dengan daya menggabung
asam tinggi (> 1,3); Perairan dengan daya menggabung asam sedang (0,5–1,3);
dan Perairan dengan daya menggabung asam rendah (0–0,5). Semakin besar
Perairan dengan nilai alkalinitas yang terlalu tinggi tidak terlalu disukai
oleh biota akuatik karena biasanya diikuti dengan nilai kesadahan yang tinggi
atau kadar garam natrium yang tinggi. Nilai alkalinitas yang baik berkisar antara
30-500 mg/l CaCO3. Nilai alkalinitas di perairan berkisar antara 5 hingga ratusan
1979 dalam Yumame et.al, 2013). Untuk tumbuh optimal, plankton menghendaki
total alkalinitas sekitar 80-120 mg/l CaCO3. Pada kisaran total alkalinitas kurang
et.al., 2013).
III. MATERI DAN METODE
3.1. Materi
3.1.1. Alat
Ukuran/
No Nama alat Merek Fungsi
jumlah
Pyrex
2 Buret dan Statif 4 Melakukan titrasi
Iwaki
Menambahkan sampel
Pyerx
4 Pipet tetes 8 air ke dalam labu
Iwaki
enlemeyer
Lutron
Mengukur pH air
6 pH meter 1 pH
sampel
208
3.1.2. Bahan
Tabel 2. Bahan Praktikum
Ukuran/
No Nama bahan Merek Fungsi
jumlah
Larutan buffer
7,0
3.2. Metode
dan pH 4. Mengatur suhu pada pH meter sesuai dengan suhu larutan yaitu 26
Elektroda angkat dan bilas dengan air destilata dari botol semprot dan keringkan
Penentuan pH sampel dengan cara sampel air tuang pada gelas beaker setinggi
3 cm. Elektroda turunkan bagi ujungnya tercelup ke dalam sampel air dan pH
Sampel air yangada dalam botol Winkler 250 ml, ditambahkan1 mllarutan
dan didiamkan selama 2 menit sampai terjadi endapan berwarna coklat, atau
seluruh isi bercampur rata, sampai semua endapan menjadi larut dan berwarna
coklat kekuningan. Diambil sebanyak 100 ml dengan gelas ukur dan dimasukkan
merata sampai terjadi perubahan warna larutan dari coklat sampai kuning
muda. Lalu kedalamnya tambahkan indikatoramilum 5 tetes hingga larutan
berwarna biru. Titrasi dilanjutkan kembali sampai warna biru hilang. Volume
1000
DO p q 8ml / L
100
Keterangan :
DO = Kelarutan Oksigen
8 = Bobot setara O2
Sampel air yang telah diambil dengan botol Winkler 250 ml, dengan gelas
Na2CO3 0,01 N hingga berwarna merah jambu dan titrasi dilakukan duplo.
Sampel air diambil dengan botol sampel 250 ml, dengan gelas ukur ambil
100 ml dan dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer dan ditambahkan 3 tetes
indicator methyl orange (MO). Selanjutnya dititrasi dengan larutan HCl 0,1 N
1000
KadarDMA p qml / L
100
Keterangan :
Pengambilan sampel dilakukan 2 (dua) kali yaitu pada pukul 05.30 WIB dan
Standar Baku Mutu untuk perikanan yang terdapat pada referensi yang
4.1. Hasil
Tabel 3. Sifat Kimia Kolam C.3 Pembesaran Ikan Nila BPBAT Tambak Sogra
Standar
05.30 12.30
PPRI
Derajat No.82
(pH) 2001
PPRI
No.82
O2 Terlarut
mg/L 1,8 9,1 5-10 Tahun
(DO)
2001
PPRI
No.82
Tidak
CO2 Bebas mg/L 11,11 2-9 Tahun
terdeteksi
2001
Soesono
DMA Ppm 1,1 1,1 2,0-5,0
,1981
4.2. Pembahasan
adanya buangan limbah organik dan anorganik dari sungai dan dialiri melalui
inlet kolam (Ali et.al., 2013). Selain itu adanya senyawa karbonat, bikarbonat dan
(Pujiastuti et.al., 2013), grafik pembesaran ikan nila di BPBAT Tambak Sogra :
pH
9 maximum
8.5
8.5
8
7.66
pH
7.5
7 minimum
6.5
05,30 12,30
Waktu
pada siang hari pada pengamatan pukul 12.30 WIB sebesar 8,5 sedangkan nilai
pH terendah terdapat pada pagi hari pada pengamatan pukul 05.30 WIB sebesar
7,66. Tingginya nilai pH pada siang hari diakibatkan karena pada siang hari
tersebut membutuhkan CO2 dan H2O. Semakin banyak zat yang dibutuhkan
ini sesuai dengan pendapat Bhagawati (2013) yang menyatakan bahwa nilai pH
tentang pengelolaan kualitas air, yaitu berkisar antara 6-9. Hasil penelitian pH di
Kolam Pembesaran Ikan Nila BPBAT Tambak Sogra memenuhi standar baku
kualitas air pada kelas II dimana air pada kelas ini dimanfaatkan salah satunya
keasaman atau kebasaan suatu perairan dalam proses pengolahan air untuk
suatu perairan. Semakin tinggi kadar DO, maka semakin baik perairan tersebut.
anorganik seperti hidrogen sulfida, amonia, nitrit, besi besi, dll (Katakwar, 2014).
DO
10 maximum
9.1
9
8
7
6 minimum
mg/L
5 DO
4
3
1.8
2
1
0
05,30 12,30
Waktu
pada siang hari pada pengamatan pukul 12.30 WIB dengan nilai sebesar 9,1
mg/L, sedangkan nilai DO terendah terdapat pada pagi hari pada pengamatan
pukul 05.30 WIB dengan nilai sebesar 1,8 mg/L. Tingginya nilai DO pada siang
hari diakibatkan adanya proses fotosintesis pada kolam oleh biomassa yang
menutupi kolam. Pada siang hari dengan cahaya matahari yang cukup sehingga
maksimal. Dari proses fotosintesis tersebut menghasilkan oksigen. Hal ini seperti
penelitian yang dilakukan oleh Andara (2014) yang menjelaskan bahwa pada
penambahan oksigen melalui proses fotosintetis dan pertukaran gas antara air
dan udara sehingga menyebabkan kadar oksigen terlarut relatif lebih tinggi pada
Kolam Pembesaran Ikan Nila Tambak Sogra tidak memenuhi standar baku
kualitas air pada kelas II dimana air pada kelas ini dimanfaatkan salah satunya
untuk budidaya ikan dengan standar 5-10 mg/L. Oksigen terlarut (DO) untuk
biota budidaya adalah 5-9 ml/L. Sedangkan pada pagi hari kadar DO sebesar 1,8
mg/L, itu sangat rendah dan siang hari sangat tinggi, sebesar 9,1 mg.L. Pada
umumnya air yang telah tercemar kandungan oksigennya sangat rendah, makin
banyak bahan buangan organik di dalam air makin sedikit sisa kandungan
oksigen yang terlarut di dalam air (Ali et.al., 2013). Apabila kurang akan
yang rendah atau dalam keadaan tercemar berat dapat menyebabkan tingkat
DO. Apabila kandungan DO nya tinggi maka kandungan CO2 nya menjadi
rendah (Rafitri dkk, 2015). Faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya nilai
CO2 Bebas yaitu bertambahnya kedalaman disuatu perairan, proses respirasi dan
dekomposisi bahan organik (Zaki, 2014). Berikut grafik kadar CO2 pada kolam
pembesaran ikan nila Tambak Sogra:
CO2 Bebas
11
10
maximum
9
8
7
6
mg/L
CO2 Bebas
5
4
3
2 minimum
1
0
05,30 12,30
Waktu
Grafik 3. CO2 Bebas Kolam Pembesaran Ikan Nila di BPBAT Tambak Sogra
Bebas tertinggi terdapat pada pagi hari pada pengamatan pukul 05.30 WIB
sebesar 11,11 mg/L, dan pada siang hari tidak terdefinisi. Hal ini sesuai dengan
pendapat Zaki (2014) yang menyatakan bahwa sumber CO2 paling besar
disebabkan oleh adanya difusi dari udara, proses dekompossi bahan organik, air
hujan dan air bawah tanah serta hasil respirasi organisme perairan.
Mengacu pada PP No. 82 Tahun 2001 tentang Kriteria Kelas Air, dapat
dinyatakan kondisi Karbondioksida (CO2) Bebas berkisar antara 2-9 mg/L. pada
Kolam Pembesaran Ikan Nila di Tambak Sogra tidak memenuhi standar baku
kualitas air pada kelas II dimana air pada kelas ini dimanfaatkan salah satunya
untuk budidaya ikan. Kadar CO2 Bebas dalam perairan dapat digunakan sebagai
dalam air masih dapat ditoleransi oleh hewan air asalkan kadar oksigennya
cukup tinggi. Akan tetapi kadar karbondioksida 50-100 mg/L dapat mematikan
ikan dan udang dalam waktu lama (Yumame et al., 2013). Terjaminnya mutu air
yang memenuhi syarat bagi kehidupan dan pertumbuhan ikan nila selama
4.2.4. DMA
bikarbonat, nilai kesadahan, kadar natrium yang tinggi serta adanya perubahan
pH. Semakin besar daya menggabung asam di perairan, maka semakin baik
(Krisnawati, 2014). Berikut ini grafik nilai DMA kolam pembesaran Ikan Nila
Tambak Sogra:
DMA
10
9
8
7
6 maximum
ppm
5 DMA
4
3
2 1.1 1.1 minimum
1
0
05,30 12,30
Waktu
Grafik 4. Kadar DMA Kolam Pembesaran Ikan Nila di BPBAT Tambak Sogra
pada pukul 05.30 dan 12.30 WIB sebesar 1,1 ppm Tingginya nilai DMA pada
siang hari terjadi karena dipengaruhi oleh adanya kenaikan pH pada siang hari.
Hal ini sesuai dengan pendapat Ningsih et.al., (2013) yang berpendapat bahwa
Mengacu pada Standar Baku Mutu Kualitas Air yang ditulis oleh Soeseno
(1981), berkisar antar 2-5 ppm. Hasil penelitian nilai DMA pada Kolam
Pembesaran Ikan Nila di Tambak Sogra berada dibawah batas standar mutu.
Dengan kondisi yang demikian kehidupan ikan di dalam kolam akan terganggu.
Perairan dengan nilai alkalinitas yang terlalu tinggi tidak terlalu disukai oleh
biota akuatik karena biasanya diikuti dengan nilai kesadahan yang tinggi atau
kadar garam natrium yang tinggi (Yumame et.al., 2014). Untuk tumbuh optimal,
bioya akuatik menghendaki total alkalinitas sekitar 80 – 120 mg/L CaCO3. Pada
5.1. Kesimpulan
bahwa :
1. Parameter kimia kolam untuk uji kualitas perairan lentik meliputi pH, DO,
CO2 Bebas, dan DMA. parameter kimia rata–rata inlet, tengah dan outlet pada
pukul 05.30 dan 12.30 secara berurutan yaitu, pH (8,5 dan 7,66), DO (1,8 mg/L
dan 9,1 mg/L), CO2 Bebas (11,11 mg/L dan tidak terdefinisi), DMA (1,1 ppm
organik dan anorganik dari sungai dan dialiri melalui inlet kolam. Selain itu
suhu, dan reduksi anorganik seperti hidrogen sulfida, amonia, nitrit, besi
besi. Faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya nilai CO2 Bebas yaitu
tinggi serta adanya perubahan pH. Semakin besar daya menggabung asam
di perairan, maka semakin baik untuk menghadapi perubahan tingkat
5.2. Saran
Ali, A., Soemarno., dan M. Purnomo. 2013. Kajian Kualitas Air dan Status Mutu
Air Sungai Metro di Kecamatan Sukun Kota Malang. Jurnal Bumi Lestari,
13 (2): 265-274.
Barus, T.A. 2002. Pengantar Limnologi. Universitas Sumatera Utara, Medan. 164
hal.
Bhagawati, D., M.N Abulias, & A. Amurwanto. 2013. Fauna Ikan Siluriformes
Dari Sungai Serayu, Banjaran, Dan Tajum Di Kabupaten Banyumas. Jurnal
MIPA, 36 (2): 112-122.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan. Konsius. Yogyakarta. 249 hal
Hidayat, A. 2018. Potensi Pembesaran Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.) Kolam
Air Deras Di Daerah Irigasi Banjaran, Purwokerto, Jawa Tengah.
Samakia: Jurnal Ilmu Perikanan, 9 (1): 12-17.
Krisnawati, A., M.R. Sururi., dan S. Ainun. 2014. Pengaruh Karakteristik Lindi
terhadap Ozonisasi Konvensional dan Advanced Oxidation Processes
(AOP). Jurnal Rekayasa Lingkungan, 2 (2): 1-9.
Mantaya, S., Mijani, Rahman., Zairina, Yasmi. 2016. Model Storet dan Beban
Pencemaran untuk Analisis Kualitas Air di Bantaran Sungai Batu
Kambing, Sungai Mali-Mali dan Sungai Riam Kiwa Kecamatan Aranio
Kalimantan Selatan. Fish Scientiae (Jurnal Ilmu-Ilmu Perikanan dan Kelautan)
Universitas Lambung Mangkurat, 6 (11): 35-52.
Mulyadi, U. Tang., dan E.S. Yani. 2014. Sistem Resirkulasi dengan Menggunakan
Filter yang Berbeda terhadap Pertumbuhan Benih Ikan Nila (Oreochromis
niloticus). Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia, 2 (2) :117-124.
Murtidjo, Bambang Agus. 2001. Budi Daya Karper dalam Jaring Karamba Apung.
Kanisius. Yogyakarta.
Ningsih F., M. Rahman., dan A. Rahman. 2013. Analisis Kesesuaian Kualitas Air
Kolam Berdasarkan Parameter Ph, Do, Amoniak, Karbondioksida dan
Alkalinitas Di Balai Benih Dan Induk Ikan Air Tawar (BBI-IAT)
Kecamatan Karang Intan Kabupaten Banjar. Fish Scientiae, 4 (6): 102-113.
Pujiastuti, Peni., Bagus, Ismail., dan Pranoto. 2013. Kualitas dan Beban Pencemar
Perairan Waduk Gajah Mungkur. Jurnal Ekosains, 5 (1): 59 – 66.
Rahman, A., Kresna, D.M., dan Anni, N. 2013. Analisis Kandungan Merkuri (Hg)
pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus L.) Budidaya Keramba di Sekitar
Waduk Riam Kanan Kecamatan Aranio. Bioscientiae, 10 (1): 125-140.
Yuliastuti, Etik. 2011. Kajian Kualitas Air Sungai Ngringo Karanganyar dalam
Upaya Pengendalian Pencemaran Air. Tesis. Universitas Diponegoro.
Semarang.
Lampiran 1
Perhitungan
Parameter Perhitungan
Tengah = 7,66
Outlet = 7,74
Rata-rata pH
7,60+7,66+7,77
= 3
= 7,66
Kadar O2 terlarut
1000
= x p x q x 8 ml/l
100
Keterangan :
8 = bobot setara O2
Pengulangan ke-1
Diketahui :
Volume titrasi
= 11,6 ml – 10,7 ml
= 0,9 ml
Ditanya :
Kadar O2 erlatut?
Jawab :
1000
DO = ×p×q×8
100
1000
= × 0,9 × 0,025 × 8
100
= 1,8 mg/L
Diketahui :
Volume titrasi
= 11,6 ml – 10,7 ml
= 0,9 ml
Ditanya :
Kadar O2 terlatut?
Jawab :
1000
DO ×p×q×8
100
1000
= × 0,9 × 0,025 × 8
100
= 1,8 mg/L
Rata-rata DO
Pengulangan ke − 1 + pengulangan ke − 2
=
2
1,8 = 1,8
=
2
= 1,8 mg/L
keterangan :
Pengulangan Ke-1
diketahui :
q = 0,01 N
di tanya :
Jawab :
1000
CO2 Bebas = 100
× p × q × 22
1000
= 100 × 5,8 × 0,01 × 22
= 12,76 mg/L
diketahui :
q = 0,01 N
di tanya :
Jawab :
1000
CO2 Bebas = × p × q × 22
100
1000
= 100 × 4,3 × 0,01 × 22
= 9,46 mg/L
keterangan :
pengulangan 1
diketahui :
ditanya :
Kadar DMA ?
Jawab:
1000
Kadar DMA = x p x q mg/L
100
= 1,1 mg/L
Pengulangan 2
diketahui :
ditanya :
Kadar DMA ?
Jawab:
1000
Kadar DMA = x p x q mg/L
100
= 1,1 mg/L
= 1,1 mg/L
Lampiran 2
Foto Kegiatan
Hasil DMA Kolam Pembesaran Ikan Nila Hasil CO2 Bebas Kolam Pembesaran Ikan Nila
Tambak Sogra Tambak Sogra
ACARA VI
Oleh :
Iswardhani Ariyanti
NIM. L1B017035
2019
I. PENDAHULUAN
bentuk yaitu rawa, danau, dan waduk. Kolam jenis perairan umum tawar yang
akuatik serta dapat digunakan oleh masyarakat untuk usaha perikanan (Barus,
2004). Kolam merupakan perairan lentik yang dipakai untuk menyatakan sebuah
interaksi antara faktor biotik dan abiotik, dimana factor abiotik meliputi sifat
fisik dan kimia air sedangkan faktor biotik meliputi sifat biologi air (Susanto,
manusia untuk berbagai aktifitas yang secara langsung maupun tidak langsung
dalamnya. Kolam harus memiliki kualitas air yang baik untuk dijadikan tempat
hidup dan berkembang ikan. Air merupakan salah satu lingkungan budaya
untuk ikan dan organisme air lainnya. Berdasarkan hal tersebut maka pasokan
dan kualitas air yang baik sangat penting untuk pembuatan kolam.
Maka dari itu perlu dihitung kelimpahan dan kepadatan plankton pada
kolam pemebesaran ikan nila agar menegetahui kualitas perairan yang ditinggali
ikan nila.
1.2. Tujuan
2.1. Kolam
ciri ekologis hampir sama dengan danau. Kolam dibangun sebagai sarana
budidaya berbagai macam jenis ikan dengan sumber air umumnya berasal dari
waduk atau sungai yang dialirkan ke kolam-kolam melalui saluran irigasi, baik
yang dibangun khusus untuk mengairi kolam, maupun saluran irigasi yang
dibangun untuk mememuhi kebutuhan air bagi lahan pertanian secara umum
Kolam merupakan lahan basah buatan yang umumnya dibangun bagi kegiatan
budidaya perairan, khususnya ikan air tawar. Secara umum, kolam merupakan
lahan yang dibuat untuk menampung air dalam jumlah tertentu sehingga dapat
dipergunakan untuk pemeliharaan ikan dan atau hewan air lainnya. Sedangkan
secara teknis, kolam merupakan suatu perairan buatan yang luasnya terbatas
dan sengaja dibuat manusia agar mudah dikelola dalam hal pengaturan air, jenis
besar dibandingkan dengan kolam pendederan yaitu sekitar 250-600 m2. Namun,
ikan di kolam air deras yang lahannya sempit, tetapi kepadatan yang sangat
tinggi. Untuk pemeliharaan ikan secara intensif ini, debit air harus cukup besar,
yaitu antara 10-15 l/detik (Susanto, 2013).
Pakan tambahan untuk kolam pembesaran pun harus bergizi tinggi. Kini
menggunakan padat tebar tinggi dan pemberian pakan tambahan. Selain itu, ada
bentuk kolam alternatif untuk pembesaran yang dikenal dengan nama hampang
kilometer, kolam comberan, kolam karpet dan lain sebagainya (Susanto, 2013).
berada kurang dari 600 m dpl dengan karakteristik tanah liat berpasir
permanen maupun semi permanen. Lokasi dengan karakter tanah yang stabil
dan keras akan lebih baik dalam pembuatan konstruksi kolam beton.
(Suprayitno, 1986 dalam Hidayat, 2018). Daerah terbaik untuk kolam air deras
adalah 2,5 persen. Kolam diusahakan berada dekat dengan sumber air.
Perbedaan ketinggian sumber air dengan air permukaan kolam ±30 cm. Hal ini
bertujuan agar pemasukan dan pengeluaran air dapat dilakukan secara grafitasi
(Suprayitno, 1989 dalam Hidayat, 2018). Aliran yang deras akan meningkatkan
kualitas air terjaga dalam kondisi optimum untuk pertumbuhan ikan. (Boyd,
2.2.1. Plankton
laut. Banyak biota laut yang daur hidupnya menempuh lebih dari satu cara
hidup, pada saat mereka menjadi larva atau juvenil, mereka hidup sebagai
ini, karena dengan sifatnya yang autotrof mampu merubah hara anorganik
menjadi bahan organik dan penghasil oksigen yang sangat mutlak diperlukan
energi dari matahari dan senyawa anorganik menjadi senyawa organik yang
2016)
2.2.2. Kelimpahan
2.2.3. Keragaman
plankton, tetapi apabila suatu komunitas hanya terdiri dari sedikit spesies
dengan jumlah individu yang tidak merata, maka komunitas ini mempunyai
Keragaman besar bila tiap individu berbeda spesies dan tidak adanya dominansi
(Odum, 1971).
baik. Tujuan studi ini adalah menelaah kondisi kekayaan dan kestabilan perairan
melalui analisis indeks biologi fitoplankton serta analisis kualitas perairan untuk
2008).
III. MATERI DAN METODE
3.1. Materi
3.1.1. Alat
Mengambil substrat
plankton
Tempat menyimpan
2. Botol vial 1 -
mikrobenthos
3.1.2. Bahan
Mengawetkan
2. Formalin 3 ml -
mikrobenthos
Bereaksi dengan
formalin untuk
3. Lugol 3 tetes
mengawetkan
mikrobenthos
3.2. Metode
3.2.1. Plankton
Pengambilan sampel plankton dilakukan dengan 100L air sampel di tiga
lokasi sampling yaitu inlet, tengah, dan outlet kolam disaring menggunakan alat
Plankton Net No.25. Kemudian air hasil disaring tersebut dimasukan ke dalam
dan 3 tetes larutan lugol. Kemudian sampel air diidentifikasi dan dihitung
3.2.2. Kelimpahan
Nilai Kepadatan = N x F
𝑄1 𝑉1 1 1
F = 𝑄2 x x x𝑊
𝑉2 𝑃
Keterangan:
3.2.3. Keragaman
𝑠
𝑛1 𝑛1
H’ = − ∑ ( 𝑁 (ln ))
𝑡=1 𝑁
Keterangan :
H’ = indeks keragaman
S = jumlah spesies
Pengambilan sampel dilakukan 2 (dua) kali yaitu pada pukul 05.30 WIB dan
dianalisis secara deskriptif dengan histogram atau diagram balok antara titik
4.1. Hasil
Tabel 1. Sifat Biologi Kolam Pembesaran Ikan Nila BPBAT Tamabak Sogra
Kelimpahan
Waktu Genus Jumlah Keragaman
(Ind/L)
Choleochaete sp. 1 44
Chlorococcum sp. 1 44
Hazenia sp. 1 44
Schorodia sp. 1 44
Nitzsehia sp. 1 44
Arthrodesmus sp. 1 44
Staurastrum sp. 1 44
Spirogyra sp. 2 87
12.00 0,93
Ulothrix sp. 2 87
Cosmarium sp. 1 44
Chysidiastrum sp. 1 44
Stauratrum sp. 1 44
Mesotaenium sp. 1 44
Elakatothrix 1 44
Brachionus sp. 1 44
Spirulina sp. 1 44
Eudorina sp.
1 44
Hemiaulus sp.
1 44
Scenedesmus sp. 1 44
Spirogyra sp. 1 44
4.2. Pembahasan
4.2.1. Kelimpahan
oleh cahaya (Tasak et.al., 2015). Tingginya kelimpahan juga dapat dipengaruhi
dalam perairan, dan pada akhirnya dapat mengganggu proses fotosintesis oleh
fitoplankton (Wisha et al., 2014). Andriani et al., (2015) juga menyebutkan bahwa
matahari dapat masuk kedalam kolom perairan dan dapat digunakan oleh
Spesies Plankton
Mesotaenium…
Scenedesmus…
Cochlodinium…
Elakatothrix
Spirogyra sp.
Diatom sp.
Coelestrum sp.
Ulothrix sp.
Hemiaulus sp.
Chlorella sp.
Rediastrums sp.
Oscillatoria sp.
Mycrosystis sp.
Cosmarium sp.
Spirulina sp.
Closterium sp.
Pediastrum sp.
Branchionus sp.
Stauratrum sp.
Kelimpahan
Spesies Plankton
pukul 05.30 WIB yaitu jenis Coelestrum sp. dengan kelimpahan sebesar 4.890
sp. , Hazenia sp. , Schorodia sp. , Nitzsehia sp. , Arthrodesmus sp. , Staurastrum sp. ,
dengan kelimpahan yang sama yaitu sebesar 44 ind/L. Sedang kan pada
Gambar 2. menunjukan bahwa kelimpahan tertinggi pada pukul 12.30 WIB yaitu
jenis Pediastrum sp. dengan kelimpahan yang sama yaitu sebesar 3.886 ind/L.
Dan kelimpahan terendah jenis Cosmarium sp. , Chysidiastrum sp. ,Stauratrum sp.
,Mesotaenium sp. ,Elakatothrix, Eudorina sp. , Spirulina sp. ,Eudorina sp. ,Hemiaulus
oleh jenis fitoplankton, hal ini disebabkan karena fitoplankton akan melakukan
fotosintesis pada siang hari sehingga keberadaannya melimpah pada siang hari
di permukaan air untuk mendapatkan cahaya matahari. Hal ini sesuai dengan
menyukai kondisi malam hingga pagi hari dan karena zooplankton merupakan
herbivora primer. Hal ini sesuai dengan pendapat Nybakken (1992) dalam Maria
et al., (2014) yang menjelaskan bahwa zooplankton sangat penting artinya bagi
dalam air, sehingga zoplankton berperan sebagai mata rantai yang amat penting
antara produksi primer fitoplankton dengan para karnivora besar dan kecil.
komunitasnya.
4.2.2. Keragaman
kualitas perairan serta banyaknya kandungan bahan organik dan gas – gas yang
kimiawi, dan perubahan iklim (Odum, 1998 dalam Faiqoh et.al., 2015).
Keragaman
000,001 0,93
000,001 0,701
ind/m2
000,001
000,000
Keragaman
000,000
000,000
Pukul 05.30 Pukul 12.30
Waktu
indeks keragaman yang lebih rendah dengan nilai sebesar 0,701 ind/m2
dibandingkan pada pukul 12.30 WIB sebesar 0,93 ind/m2. Hal ini disebabkan
karena pada pengamatan pukul 05.30 WIB hanya sedikit jenis palankton yang
sedikitnya jenis yang ditemukan membuat angka keragaman menjadi kecil. Hal
ini sesuai dengan pendapat Odum (1971) dalam Chalid (2014), yang menyatakan
kelimpahan individu tiap jenis yang didapatkan. Semakin besar nilai suatu
keanekaragaman berarti semakin banyak jenis yang didapatkan dan nilai ini
sangat bergantung kepada nilai total dari individu masing-masing jenis atau
genera. Kolaya et.al., (2014) juga berpendapat bahwa tingginya keragaman pada
pukul 12.30 WIB, dapat disebabkan oleh jumlah genus yang ditemukan adalah
yang terbanyak.
langsung atau tidak langsung. Rahman et.al., (2014) juga berpendapat bahwa
5.1. Kesimpulan
bahwa :
pada pukul 05.30 WIB yaitu jenis Coelestrum sp. dengan kelimpahan
Choleochaete sp. , Chlorococcum sp. , Hazenia sp. , Schorodia sp. , Nitzsehia sp.
12.30 WIB yaitu jenis Pediastrum sp. dengan kelimpahan yang sama yaitu
sp. , Spirulina sp. ,Eudorina sp. ,Hemiaulus sp. ,Scenedesmus sp. dengan
lebih rendah dengan nilai sebesar 0,701 ind/m2 dibandingkan pada pukul
organik dan gas – gas yang tedapat dalam kolam tersebut, serta perusakan
5.2. Saran
atau hasil yang diperoleh lebih akurat dan agar alat yang digunakan tidak terjadi
kerusakan.
DAFTAR PUSTAKA
Andriani, Susi., Tri. R.S., dan Irwan.L. 2015. Kelimpahan dan Sebaran Horisontal
Fitoplankton di Perairan Muara Sungai Kakap Kabupaten Kubu Raya.
Protobiont, 4 (1): 29-37.
Barus, A.T. 2004. Pengantar Limnologi. Jurusan Biologi. FMIPA. USU. Medan.
Hidayat, A. 2018. Potensi Pembesaran Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.) Kolam
Air Deras Di Daerah Irigasi Banjaran, Purwokerto, Jawa Tengah. Samakia:
Jurnal Ilmu Perikanan, 9 (1): 12-17.
Kolaya, Ira., Retno, Hartati., dan Hadi.E. 2014. Kelimpahan Fitoplankton pada
Tambak Tidak Produktif di Desa Mangunharjo, Semarang. Journal of
Marine Research, 3 (4): 492-498.
Maria. A, Agustini., dan Sri O.M. 2014. Identifikasi Dan Kelimpahan Plankton
Pada Budidaya Ikan Air Tawar Ramah Lingkungan. Jurnal Agroknow, 2 (1):
2302-2612.
Ningrum, A.M., dan Wijiyono. 2015. Zooplankton sebagai Indikator Biologi pada
Ekosistem Perairan Kolam Bioremediasi Psta- Batan. Seminar Nasional Xi
Sdm Teknologi Nuklir, 4 (2): 123-128.
Ningsih F., M. Rahman., dan A. Rahman. 2013. Analisis Kesesuaian Kualitas Air
Kolam Berdasarkan Parameter pH, DO, Amoniak, Karbondioksida dan
Alkalinitas Di Balai Benih Dan Induk Ikan Air Tawar (BBI-IAT)
Kecamatan Karang Intan Kabupaten Banjar. Fish Scientiae, 4 (6): 102-113.
Odum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. Third edition. W.B. Saunders Company,
Philadelphia, London, Toronto. 574 pp.
Papalia, Saleh. 2015. Struktur Komunitas Makro Alga di Pesisir Pulau Haruku,
Kabupaten Maluku Tengah. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 7 (1):
129-142.
Rafitri, Ria., Tri. R.S., dan Ari.H.Y. 2015. Struktur Komunitas Fitoplankton di
Perairan Gambut Sungai Ambawang Desa Pancaroba Kecamatan Sungai
Ambawang Kabupaten Kubu Raya. Probiont, 4 (1): 253-259.
Rahman, Aditya., Gunawan dan Antung, A. 2014. Kualitas Air Sungai Tutupan
Berdasarkan Keanekaragaman Plankton. Bioscientiae, 11 (2): 41-52.
Usman, Muh. Shabir., Kusen Janny D., dan Rimper, Joice R.T.S.L. 2013. Struktur
Komunitas Plankton Di Perairan Pulau Bangka Kabupaten Minahasa
Utara (Plankton Community Structure At Bangka Island Water North
Minahasa Regency). Jurnal Pesisir Dan Laut Tropis, 2 (1): 51-57.
Wisha, Ulung Jantama., Muh.Yusuf dan Lilik. M. 2014. Sebaran Muatan Paadatan
Tersuspensi dan Kelimpahan Fitoplankton di Perairan Muara Sungai
Porong Kabupaten Sidoarjo. Jurnal Oseanografi, 3 (3): 454-461.
LAMPIRAN
Lampiran 1
Perhitungan
Kelimpahan Plankton
Keterangan :
Rumus Perhitungan
𝑛𝑖 𝑛𝑖
H’ = - ∑𝑠𝑟=1 ln
𝑁 𝑁
Keterangan :
H’ = Indeks keragaman
S = jumlah spesies
324 30 1 1
1. Scenedesmus sp. F = 1,11279 x 0.05 x 30 x 100
𝑄1 𝑉1 1 1
F = 𝑄2 + 𝑉2 + 𝑃 + 𝑊 = 291,1 x 600 x 0,03 x 0,01
= 52,398 F = 52,398
Jawab :
= 52,398 F = 52,398
= 52,398 N=5
N = 14 N x F = 1 x 52,398
324 30 1 1
= 733,572 ind/L F = 1,11279 x 0.05 x 30 x 100
7. Choleochaete sp.
= 291,1 x 600 x 0,03 x 0,01
𝑄1 𝑉1 1 1
F= + + + = 52,398
𝑄2 𝑉2 𝑃 𝑊
324 30 1 1
F = 1,11279 x 0.05 x 30 x 100 Jumlah plankton per liter = N x F
Dietahui :
= 291,1 x 600 x 0,03 x 0,01
N=1
= 52,398
F = 43.665
Jumlah plankton per liter = N x F
Dietahui : Jawab :
N=1 N x F = 1 x 52,398
F = 52,398 = 52,398ind/L
324 30 1 1
= 52,398 ind/L F = 1,11279 x 0.05 x 30 x 100
8. Chlorococcum sp.
= 291,1 x 600 x 0,03 x 0,01
𝑄1 𝑉1 1 1
F = 𝑄2 + 𝑉2 + 𝑃 + 𝑊 = 52,398
N=1 N x F = 1 x 52,398
= 52,398 N=1
Diketahui : Jawab :
N=1 N x F = 1 x 52,398
= 52,398 N=2
Dietahui : Jawab :
N=1 N x F = 2 x 52,398
Rumus Perhitungan
𝑛𝑖 𝑛𝑖
H’ = - ∑𝑠𝑟=1 ln
𝑁 𝑁
16 16 42 42 112 112 4 4 5 5 14
= - ((707 ln 707 ) + (707 ln 707 ) + (707 ln 707 ) + (707 ln 707 ) + (707 ln 707 ) + (707 ln
14 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
) + (707 ln 707 ) + (707 ln 707 ) + (707 ln 707 ) + (707 ln 707 ) + (707 ln 707 ) +
707
1 1 1 1 2 2
(707 ln 707 ) + (707 ln 707 ) + (707 ln 707 ))
= 0,701
Kelimpahan Plankton
Keterangan :
Rumus Perhitungan
𝑛𝑖 𝑛𝑖
H’ = - ∑𝑠𝑟=1 ln
𝑁 𝑁
Keterangan :
H’ = Indeks keragaman
S = jumlah spesies
𝑄1 𝑉1 1 1 N x F = 9 x 52,398
F = 𝑄2 + 𝑉2 + 𝑃 + 𝑊
= 471,582 ind/L
324 30 1 1
F = 1,11279 x 0.05 x 30 x 100
3. Coelestrum sp.
= 291,1 x 600 x 0,03 x 0,01 𝑄1 𝑉1 1 1
F = 𝑄2 + 𝑉2 + 𝑃 + 𝑊
= 52,398
324 30 1 1
F = 1,11279 x 0.05 x 30 x 100
Jumlah plankton per liter = N x F
Diketahui : = 291,1 x 600 x 0,03 x 0,01
N=4 = 52,398
N x F = 33 x 52,398
2. Rediastrums sp.
𝑄1 𝑉1 1 1 = 1.729 ind/L
F = 𝑄2 + 𝑉2 + 𝑃 + 𝑊
4. Oscillatoria sp.
𝑄1 𝑉1 1 1
F = 𝑄2 + 𝑉2 + 𝑃 + 𝑊 𝑄1 𝑉1 1 1
F = 𝑄2 + 𝑉2 + 𝑃 + 𝑊
324 30 1 1
F = 1,11279 x 0.05 x 30 x 100 324 30 1 1
F = 1,11279 x 0.05 x 30 x 100
= 291,1 x 600 x 0,03 x 0,01
= 291,1 x 600 x 0,03 x 0,01
= 52,398
= 52,398
Jumlah plankton per liter = N x F
Jumlah plankton per liter = N x F
Diketahui :
Diketahui :
N=9
N = 16
F = 43.665 7. Ulothrix sp.
𝑄1 𝑉1 1 1
Jawab : F = 𝑄2 + 𝑉2 + 𝑃 + 𝑊
N x F = 16 x 52,398 324 30 1 1
F = 1,11279 x 0.05 x 30 x 100
= 838,368 ind/L
= 291,1 x 600 x 0,03 x 0,01
5. Pediastrum sp.
= 52,398
𝑄1 𝑉1 1 1
F = 𝑄2 + 𝑉2 + 𝑃 + 𝑊
Jumlah plankton per liter = N x F
324 30 1 1
F = 1,11279 x 0.05 x 30 x 100 Diketahui :
= 52,398 F = 52,398
Diketahui : N x F = 2 x 52,398
N = 89 = 104,796 ind/L
= 52,398 F = 52,398
Diketahui : N x F = 1 x 52,398
N=5 = 52,398ind/L
= 52,398 F = 52,398
= 52,398 N=1
Diketahui : Jawab :
N=1 N x F = 1 x 52,398
F = 52,398 = 52,398ind/L
Jawab :
N x F = 1 x 52,398
Diketahui : N=1
F = 52,398 = 52,398ind/L
Jawab :
324 30 1 1
F = 1,11279 x 0.05 x 30 x 100
14. Spirulina sp.
= 291,1 x 600 x 0,03 x 0,01
𝑄1 𝑉1 1 1
F = 𝑄2 + 𝑉2 + 𝑃 + 𝑊
= 52,398
324 30 1 1
F= x x x Jumlah plankton per liter = N x F
1,11279 0.05 30 100
= 52,398 N=1
Diketahui : Jawab :
N=1 N x F = 1 x 52,398
F = 52,398 = 52,398ind/L
Jawab :
= 52,398 Diketahui :
Diketahui : F = 52,398
N=1 Jawab :
F = 52,398 N x F = 1 x 52,398
Jawab : = 52,398ind/L
324 30 1 1 F = 52,398
F = 1,11279 x 0.05 x 30 x 100
Jawab :
= 291,1 x 600 x 0,03 x 0,01
N x F = 4 x 52,398
= 52,398
= 209,592 ind/L
Jumlah plankton per liter = N x F
20. Chlorella sp.
Diketahui :
𝑄1 𝑉1 1 1
F = 𝑄2 + 𝑉2 + 𝑃 + 𝑊
N=2
324 30 1 1
F = 52,398 F= x x x
1,11279 0.05 30 100
N x F = 2 x 52,398 = 52,398
324 30 1 1 F = 52,398
F = 1,11279 x 0.05 x 30 x 100
Jawab :
= 291,1 x 600 x 0,03 x 0,01
N x F = 7 x 52,398
= 52,398
= 366,786 ind/L
Jumlah plankton per liter = N x F
Diketahui :
Rumus Perhitungan
𝑛𝑖 𝑛𝑖
H’ = - ∑𝑠𝑟=1 ln
𝑁 𝑁
4 4 9 9 33 33 16 16 5 5 1
= -( (263 ln 263 ) + (263 ln 263 ) + (263 ln 263 ) + (263 ln 263 ) + (263 ln 263 )+ + (263
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
ln263 ) + (263 ln 263 ) + (263 ln 263 ) + (263 ln 263 ) + (263 ln 263 ) + (263 ln 263 +
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2
(263 ln 263 ) + (263 ln 263 ) + (263 ln 263 ) + (263 ln 263 ) + (263 ln 263 ) + (263 ln
2 4 4 7 7
) + (263 ln 263 ) + (263 ln 263 )
263
= -((-0,062) + (-0,144) + (-0,259) + (-0,167) + (-0,075) + (-0,003) + (-0,003) + (-0,003)
+ (-0,003) + (-0,003) + (-0,003) + (-0,003) + (-0,003) + (-0,003) + (-0,003) + (-0,003)
+ (-0,034) + (-0,062) + (-0,094)
= 0,93
ACARA VII
Oleh :
Iswardhani Ariyanti
NIM. L1B017035
2019
I. PENDAHULUAN
Ikan nilem merupakan salah satu jenis ikan air tawar potensial yang
Kebutuhan ikan termasuk ikan air tawar yang terus meningkat menjadikan usaha
nutrien berupa pakan dan bahan kimia lainnya serta tingkat kepadatan ikan yang
satu sektor penunjang perekonomian negara. Indonesia adalah negara maritim. Oleh
karena itu, potensi perikanan di Indonesia juga sangat melimpah. Sektor perikanan di
Indonesia ada yang dikembangkan di tambak dan juga di kolam. Ada beberapa faktor
yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam menilai kualitas suatu perairan yaitu
derajat keasaman air (nilai pH), kandungan oksigen, suhu air, kekeruhan air, dan
anorganik, baik yang tersuspensi maupun terlarut, seperti serpihan, partikel halus,
tanah, plankton, dsb. Hal ini bisa bersumber dari hasil kegiatan pelapukan batu,
limpasan dari tanah (erosi), dan pengaruh antropogenik (sampah, limbah domestik,
industri atau air rawa yang kaya akan bahan organik). Pengaruh meningkatnya
TSS (Total Suspended Solid) atau padatan tersuspensi total merupakan residu
dari padatan total yang tertahan oleh saringan dengan ukuran partikel maksimal 2
μm atau lebih besar dari ukuran partikel koloid. Materi yang tersuspensi mempunyai
dampak buruk tehadap kualitas air karena mengurangi penetrasi cahaya ke dalam
organisme lain (Wahyuni, 2018). Oleh karena itu dilakukan pengamatan terhadap efek
1.2. Tujuan
adalah:
2.1.1. Klasifikasi
Chordata
Class : Pisces
Order : Ostariophysi
Family : Cyprinidae
Genus : Ostheochilus
(Saanin, 1984)
2.1.2. Morfologi
Morfologi ikan nilem dicirikan dengan ujung mulut runcing dengan moncong
(rostal) terlipat, terdapat sungut peraba pada sudut-sudut mulut. Bentuk tubuh agak
pipih dan bintik hitam besar pada ekor. Sirip punggung terdiri dari tiga jari-jari keras
dan 12-18 jari-jari lunak. Sirip ekor berbentuk simetris dan sirip dubur terdiri dari tiga
jari-jari keras dan lima jari-jari lunak serta jumlah sisik gurat sisi berkisar antara 33-36
bahwa spesies ikan nilem dapat dibedakan dari warna sisik pada dasar sirip
punggung yaitu coklat kehitaman yang biasa disebut Osteochilus hasselti sedangkan
hitam kehijauan adalah Osteochilus vittarus. Rata-rata ikan nilem mempunyai panjang
berkisar antara 25-32 cm dengan bobot 150-310 gr. Ikan ini sangat menyukai perifiton.
2.2. Kekeruhan
banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat
dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh bahan organik dan anorganik. Bahan organik
tersuspensi maupun terlarut seperti lumpur, pasir, bahan organik seperti plankton
Menurut Kordi dan Tancung (2007) dalam Mas‘ud (2014) kekeruhan yang baik
adalah kekeruhan yang disebabkan oleh jasad- jasad renik atau plankton. Adapun
tingkat kecerahan yang baik untuk kehidupan ikan adalah 30-40 cm yang di ukur
dengan menggunakan secchi disk. Apabila kedalaman kurang dari 25 cm, maka
pergantian air harus cepat dilakukan sebelum fitoplankton mati berurutan yang
di dalam air media terjadi kekeruhan yang tinggi maka kandungan oksigen akan
menurun, hal ini disebabkan intensitas cahaya matahari yang masuk kedalam
3.1 Materi
3.1.1 Alat
untuk pengamatan
3. Aerator 1 - Homogenkan
3.1.2 Bahan
terhadap ikan
3.2 Metode
buah ember, satu berisi air kontrol dan satu berisi air yang sudah diberi kekeruhan
sebesar 50 NTU (sampel air erosi tinggi), campurkan. Kemudian aerator dimasukkan
ke air dalam ember agar air dan tanah homogeny dan untuk supali oksigen bagi ikan
nilem. Ikan nilem dimasukkan ke dalam ember, pada masing-masing ember sebanyak
10 ekor. Lalu ember ditutup dengan trash bag dan lubangi trashbag agar ikan dapat
kematian ikan, dengan dilihat setiap hari selama dua hari pada jam yang sama saat
Praktikum acara Efek Kekeruhan Terhadap Ikan dilakukan pada hari Rabu
tanggal 20 Maret 2019 pukul 15.30 WIB di Laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu
Data mortalitas dan perilaku akibat kekeruhan yang diperoleh dianalisis secara
deskriptif dengan histogram atau diagram balok antara konsentrasi kekeruhan yang
dilakukan.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
(Osteochilus hasselti)
0 0
25 0
50 10
0
50 30
100 100
100 10
4.2 Pembahasan
Ikan nilem hidup di lingkungan air tawar dengan kisaran kandungan oksigen
terlarut yang cukup yaitu 5-8 mg/L. Pada habitat asli ikan nilem banyak
ditemukanPeryphyton juga berfungsi sebagai indikator penting dari kualitas air, dan
kekeruhan (Cholik et al., 2005 dalam Mokesh, dkk, 2016). Berdasarkan hasil
pengamatan praktikum yang telah dilakukan diperoleh data dalam bentuk grafik
sebagai berikut :
Mortalitas Ikan
120
100
100
Mortalitas (%)
80
60
Pengulangan 1
40 30 Pengulangan 2
20 10 10
0 0 0 0
0
0 25 50 100
Dosis Kekeruhan NTU
kehidupan ikan diperoleh data hasil dari dosis kekeruhan 0 NTU, 25 NTU, 50 NTU,
dan 100 NTU sebagaimana ditampilkan pada pemaparan hasil diatas. Pada grafik
Mortalitas yang diperoleh paling tinggi adalah kematian ikan pada konsentrasi 100
NTU yaitu sebesar 100% pada pengulangan 1. Pada grafik Mortalitas yang diperoleh
hasil terendah diperoleh pada tingkat kekeruhan 25 NTU dan 0 NTU yaitu sebesar 0%
pada pengulangan 1 dan 2. Pada kekeruhan NTU dosis 25% ikan tidak mengalami
mortalias dikarenakan kadar kekeruhan yang dilarutkan masih dapat diterima oleh
ikan Standar. Sedangkan pada dosis 0 NTU terjadi kematian sebanyak 50% karena
saat pengecekan aerator ditemukan dalam keadaan mati, hal tersebut mempengaruhi
suplai oksigen yang dibutuhkan oleh ikan nilem yang masih berukuran kecil, hal
tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh (Yusvarina, 2016), Semakin tua
dan semakin besar ukuran ikan, konsumsi oksigen semakin rendah. Pada dosis
konsentrasi 100 NTU total mortalitas ikan sebesar 55%, hal ini mungkin dikarenakan
penyumbatan pada insang oleh partikel kekeruhan yang ada didalam air. Hal ini
sesuai dengan jurnal Sulawesty (2014) yang mengatakan Kekeruhan yang tinggi dapat
menyebabkan penyumbatan pada insang ikan, sehingga ikan akan kesulitan dalam
mengambil oksigen.
pada ikan, kandungan TDS yang tinggi juga mempengaruhi karena Tinggi rendahnya
kandungan TDS dalam air berhubungan dengan tingkat kekeruhan dalam air.
Semakin tingkat kekeruhan dalam air maka semakin tinggi tingkat TDS dalam air.
Selain itu kandungan TSS yang tinggi juga mempengaruhi sebagaimana yang
dikatakan oleh Rinawati, (2016) Perubahan secara fisika meliputi penambahan zat
padat baik bahan organik mau pun anorganik ke dalam perairan sehingga
terhadap proses fotosintesis yang dilakukan oleh fitoplankton dan tumbuhan air
lainnya. Banyaknya TSS yang berada dalam perairan dapat menurunkan kesediaan
Tingginya TSS juga dapat secara langsung menganggu biota perairan seperti ikan
5.1 Kesimpulan
ikan adalah cukup mempengaruhi dan mortalitas ikan tertinggi dengan kadar
kekeruhan 100 NTU, karena semakin keruh suatu perairan maka tingkat TDS dan TSS
5.2 Saran
Saran saya untuk praktikum efek kekeruhan terhadap kehidupan ikan adalah
memberikan tempat khusus yang tidak ramai dilalui atau digunakan orang agar bisa
terjaga keakuratan dari penelitian tersebut dan tidak tergangu oleh banyak orang saat
Bahtiar, A., Supeno, B., Agung, P. N. M. 2017. Rancang Bangun Pengontrol Suhu
dan Kekeruhan Air Kolam Ikan Patin Berbasis Fuzzy Logic. Laporan Penelitian.
Universitas Negeri Jember, Jember. 12 Hal.
Hasan, H., Eko, Prasetio, Siti, Muthia. 2016. Analisis Kualitas Perairan Sungai
Ambawang Di Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya
Untuk Budidaya Perikanan. Jurnal Ruaya, 4 (2) : 45-55.
Irawan, Aditya., dan Lily, Inderia Sari. 2013. Karakteristik Distribusi Horizontal
Parameter Fisika-Kimia Perairan Permukaan di Pesisir Bagian Timur
Balikpapan. Jurnal Ilmu Perikanan Tropis, 18 (2): 21-27.
Mokesh, Faisal Rapsanjani., Sri Fitriyah R., Ulfah Lutfiani,. 2016. Konsumsi
Oksigen Pada Ikan Nilem (Osteochilus Hasselti). Laporan Penelitian.
Universitas Padjadjaran, Jatinagor. 15 Hal.
Pagoray, Henny., dan Ghitarina. 2016. Karaktristik Air Kolam Pasca Tambang
Batubara Yang Dimanfaatkan Untuk Budidaya Perairan. Ziraa’ah, 41 (2):
276-284 .
Santoso, B., dan Agung, Dwi A. 2014. Sistem Pengganti Air Berdasarkan
Kekeruhan Danpemberi Pakan Ikan Pada Akuarium Air Tawar Secara
Otomatis Berbasis Mikrokontroler Atmega 16. Jurnal Ilmiah Teknologi dan
Informasi ASIA, 8 (2) : 28-44.
Sulawesty, F., Tjandra, Chrismadha., Endang, Mulyana. 2014. Laju Pertumbuhan
Ikan Mas (Cyprinus Carpio) Dengan Pemberian Pakan Lemna (Lemna
Perpusilla Torr.) Segar Pada Kolam Sistem Aliran Tertutup. Limnotek, 21 (2)
: 177 -184.
Sulvina N., Mahmudah N., Henni W., Siti. H,. 2015. Pengaruh Perbedaan Jenis
Tali Terhadap Tingkat Penempelan Benih Kerang Hijau (Perna viridis). e-
Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan, 4 (1) : 56-63.
Wahyuni, T.R., dan Zakaria A,. 2018. Keanekaragaman Ikan Di Sungai Luk Ulo
Kabupaten Kebumen. Biosfera, 35 (1) : 23 – 28.
Yusvarina, Mela., dan Sumarna. 2016. Rancang Bangun Sistem Kontrol Kadar
Oksigen Di Dalam Air Pada Kolam Pembenihan Ikan Lele Mutiara Di Unit Kerja
Budidaya Air Tawar (Ukbat) Wonocatur Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.
Laporan Penelitian. Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta. 8 hal.
LAMPIRAN
0
Mortalitas 0 NTU = x100%
10
=0%
0
Mortalitas 0 NTU = x100%
10
=0%
0%+0%
𝛴Mortalitas 0 NTU = = 0%
2
0
Mortalitas 25 NTU = x100%
10
=0%
0
Mortalitas 25 NTU = x100%
10
=0%
0%+0%
𝛴Mortalitas 25 NTU = = 0%
2
1
Mortalitas 50 NTU = x100%
10
= 10 %
3
Mortalitas 50 NTU = x100%
10
= 30 %
10%+30%
𝛴Mortalitas 50 NTU = = 20%
2
10
Mortalitas 100 NTU = x100%
10
= 100 %
1
Mortalitas 100 NTU = x100%
10
= 10 %
10%+100%
𝛴Mortalitas 50 NTU = = 55%
2
Lampiran 2
Foto Kegiatan
Oleh :
Iswardhani Ariyanti
NIM. L1B017035
2019
I. PENDAHULUAN
Ikan nilem merupakan salah satu jenis ikan air tawar potensial yang
penduduk. Kebutuhan ikan termasuk ikan air tawar yang terus meningkat
dicirikan dengan masukan nutrien berupa pakan dan bahan kimia lainnya serta
(Herawati, 2018).
Air yang secara kimia, hanya terdiri dari atom H dan O mempunyai sifat
yang unik. Tanpa air tidak akan mungkin terdapatkehidupan. Air di alam
dijumpai dalam tiga bentuk, yakni bentuk padat sebagai es, bentuk cair sebagai
air, dan bentuk gas sebagai uap. Bentuk mana yang akan ditemui, tergantung
Parameter kualitas air yang sering diamati antara lain suhu, kecerahan, pH,
oksigen terlarut, karbondioksida, alkalinitas, kesadahan, fosfat, nitrogen dan
lainnya (Imam, 2010 dalam Dauhan, 2014). Pengaruh kualitas air terhadap
kualitas air mutlak dilakukan oleh pembudidaya, maka dari itu perlu diadakan
3.1. Tujuan
adalah:
1.1.1. Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Phylum: Chordata
Class : Pisces
Order : Ostariophysi
Family : Cyprinidae
Genus : Ostheochilus
(Saanin, 1984)
1.1.2. Morfologi
Bentuk tubuh agak pipih dan bintik hitam besar pada ekor. Sirip punggung
terdiri dari tiga jari-jari keras dan 12-18 jari-jari lunak. Sirip ekor berbentuk
simetris dan sirip dubur terdiri dari tiga jari-jari keras dan lima jari-jari lunak
serta jumlah sisik gurat sisi berkisar antara 33-36 keping (Susanto, 2006 dalam
Cholifah, 2016).
bahwa spesies ikan nilem dapat dibedakan dari warna sisik pada dasar sirip
mempunyai panjang berkisar antara 25-32 cm dengan bobot 150-310 gr. Ikan
1.2. Amoniak
budidaya ikan. Ikan mengeluarkan limbah dari sisa pakan dan metabolisme
cepatnya akumulasi limbah dari residu pakan dan hasil metabolisme ikan.
dengan Boyd (1990), bahwa amoniak dalam air berasal dari kotoran organisme
lambat sedangkan oksigen terlarut yang kurang dari 1 ppm dapat bersifat toksik
bagi sebagian besar spesies ikan (Rully, 2011 dalam Dauhan, 2014). Amonia yang
ada di perairan berasal dari sisa metabolisme ikan yang terlarut dalam air, feses
ikan, serta dari makanan ikan yang tidak termakan dan mengendap di dasar
kolam budidaya (Pillay, 2004 dalam Dauhan, 2014). Ada beberapa hal yang dapat
makanan ikan yang tidak termakan, menurunnya kadar oksigen terlarut pada
kolam yang apabila oksigen terlarut berkisar antara 1-5 ppm mengakibatkan
pertumbuhan ikan menjadi lambat sedangkan oksigen terlarut yang kurang dari
1 ppm dapat bersifat toksik bagi sebagian besar spesies ikan (Rully, 2011 dalam
Dauhan, 2014).
Amonia (NH4+) bersifat non toksik, tetapi yang berbentuk tak terionisasi
(NH3) bersifat sangat toksik (Kordi dan Tancung, 2007 dalam Dauhan, 2014).
Higa dan Parr (1994), mengemukakan bahwa bakteri fotosintetik selain dapat
amonia ini juga disebabkan karena adanya proses nitrifikasi yang dilakukan oleh
bakteri nitrosomonas dan nitrobacter yang mengubah amonia menjadi nitrit dan
nitrat, serta proses denitrifikasi yang mengubah nitrat kembali menjadi gas
oksidasi amonia menjadi nitrit dan dan kemudian menjadi nitrat dengan
demikian kadar amonia menjadi rendah (Hartini, 2013).
sistem resirkulasi, akuarium dan kolam. Amonia yang terukur pada media
meningkat, baik dari buangan metabolit, feses ikan dan sisa pakan yang
terakumulasi di perairan.
yang lebih tinggi. Menyebabkan buangan dari feses dan urin ikan yang lebih
banyak sehingga kadar amonia lebih tinggi. Silaban et al., (2012) dalam
Nurkarina (2013) menyatakan bahwa amonia yang baik untuk pertumbuhan dan
perkembangan ikan yaitu kurang dari 0.1 mg/L. Level amonia yang lebih tinggi
3.2. Materi
3.2.1. Alat
Meletakkan ikan
1. Bak uji coba 2 -
untuk pengamatan
Mengukur tingkat
2. Spektrofotometer 1 -
amoniak
3. Aerator 1 - Homogenkan
3.2.2. Bahan
3.3. Metode
2 buah ember berukuran 15 L, selang aerasi, dan batu aerasi. Salah satu ember
berisi air kontrol dan satu lagi berisi air yang sudah diberi limbah bioflok 25%
aduk agar air dan limbah bioflok menjadi homogen. Sebanyak 10 ekor ikan nilem
dimasukkan ke dalam masing masing ember, lalu ember ditutup dengan trash
bag dan beri lubang untuk sirkulasi udara di dalam ember. Pengukuran efek air
dengan melihat tingkat kematian ikan, selama dua hari pada jam yang sama saat
dilaksanakankan pada hari Kamis tanggal 28 Maret 2019 pukul 05.30 WIB di
Soedirman.
Data kematian dan perilaku akibat kekeruhan yang diperoleh dapat anda
4.1. Hasil
(Osteochilus hasselti)
0 0
0,054 70
0
0,104 100
0,208 60
4.2. Pembahasan
Bentuk tubuh ikan nilem memanjang dan pipih, terdapat dua pasang
sungut peraba pada kedua sudut mulutnya serta bibir tertutup oleh lipatan kulit.
Warna perut kemerahan dan warna punggung coklat kehijauan. Warna sirip
caudal, sirip anal dan sirip ventral kemerahan. Ikan Nilem memiliki sistem
pencernaan yang sama dengan kebanyakan ikan lainnya (Tri, 2015). Ikan nilem
Mortalitas (%)
80 70
60
60
Mortalitas
40
20
0
0
0 0.054 0.104 0.208
Dosis Amonia (mg/L)
pada dosis amoniak 0,104 mg/L dengan mortalitas sebesar 100%, mortaitas
terendah terjadi pada dosis amoniak sebesar 0 mg/L dengan mortalitas sebesar
0%. Mortalitas terjadi karena semakin tinggi kadar amonia, maka akan semakin
nilem. Ruang gerak yang terbatas mengakibatkan ikan stres dan mengakibatkan
mortalitas dan juga faktor dari aerasi yang tidak terhubung ke sumber listrik
dengan benar sehingga oksigen ikan tidak terpenuhi. Hal ini sesuai dengan
pendapat (Diansari, 2013), jumlah kepadatan yang diberikan tidak efektif dalam
meningkatkan kelulusan hidupan ikan nilem dan kematian yang terjadi pada
saat pemeliharaan dikarenakan adanya faktor ruang gerak ikan yang semakin
ikan yang terlalu padat. Menurunnya kadar oksigen terlarut pada kolam yang
apabila oksigen terlarut berkisar antara 1-5 ppm mengakibatkan pertumbuhan
ikan menjadi lambat sedangkan oksigen terlarut yang kurang dari 1 ppm dapat
bersifat toksik bagi sebagian besar spesies ikan (Rully, 2011 dalam Dauhan, 2014)
terlalu tinggi maka dapat menyebabkan ikan keracunan, stress bahkan berujung
pada kematian. Selain itu adanya amonia dalam perairan, selain menyebabkan
langsung dari kadar amonia tinggi yang belum mematikan adalah rusaknya
semakin lamanya ikan dipelihara dalam bak uji coba, Hal ini sesuai dengan
meningkat, baik dari buangan metabolit, feses ikan dan sisa pakan yang
yang diperoleh berkisar 0,01 hingga 0,5 mg/L. Demikian juga untuk baku mutu
air menurut PP. RI No. 82 Tahun 2001 bagi perikanan, kadar atau kandungan
amoniak bebas untuk ikan yang peka adalah < 0,02 mg/ L. Dengan demikian
bila dibandingkan dengan hasil pengamatan yang diperoleh berarti bahwa kadar
amoniak memiliki nilai diatas nilai kepekaan bagi ikan oleh karena itu ikan
mengalami kematian.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
semakin tinggi kadar amoniak dalam perairan maka akan semakin tinggi juga
5.2. Saran
Saran pada praktikum kali ini adalah lebih bisa kondusif pada saat
Cholifah, E.,D. 2016. Pengaruh Induksi Hormon Ooyte Developer (OODEV) Terhadap
Kematangan Gonad Calon Induk Ikan Nilem (Osteochilus hasselti). Skripsi.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Airlangga, Surabaya.
44 hal.
Dauhan, Riska Emilia Sartika., dan Efendi, Eko., Suparmono. 2014. Efektifitas
Sistem Akuaponik Dalam Mereduksi Konsentrasi Amonia Pada Sistem
Budidaya Ikan. Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan, 3 (1):298-
302.
Dimas, Angga Hedianto., Kunto Purnomo., dan Andri Warsa. 2013. Interaksi
Pemanfaatan Pakan Alami Oleh Komunitas Ikan Di Waduk Penjalin, Jawa
Tengah. BAWAL, 5 (1): 33-40.
Hartini, Sri., Sasanti, Ade Dwi., Taqwa, Ferdinand Hukama. 2013. Kualitas Air,
Kelangsungan Hidup Dan Pertumbuhan Benih Ikan Gabus (Channa
striata) Yang Dipelihara Dalam Media Dengan Penambahan Probiotik.
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia, 1 (2): 192-202.
Hasan, H., Eko, Prasetio., Siti Muthia. 2016. Analisis Kualitas Perairan Sungai
Ambawang Di Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya
Untuk Budidaya Perikanan. Jurnal Ruaya, 4 (2): 45-55.
Herawati, Heti., Yulianti, Rini., Zahidah., Sahidin, Asep. 2018. Pengaruh Padat
Tebar Untuk Meningkatkan Produktivitas Budidaya Ikan Nilem
(Osteochilus hasseltii) Dengan Penggunaan Batu Aerasi High Oxy. Jurnal
Airaha, 7 (1): 1 – 5.
Maniagasi R., Sipriana, S. Tumembouw., Yoppy, Mundeng. 2013. Analisis
kualitas fisika kimia air di areal budidaya ikan Danau Tondano Provinsi
Sulawesi Utara. E-jurnal Unsrat, 1 (2) : 29-37.
Norjanna, F., Eko E., Qadar H. 2015. Reduksi Amonia Pada Sistem Resirkulasi
Dengan Pengunaan Filter Yang Berbeda. Jurnal Rekayasa dan Teknologi
Budidaya Perairan, 4 (1) : 427 – 432.
Nurkarina, Riska. 2013. Kualitas Media Budidaya Dan Produksi Ikan Nilem
Osteochilus hasselti Yang Dipelihara Pada Sistem Imta (Integrated Multi
Trophic Aquaculture) Dengan Kepadatan Berdeda. Skripsi. Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 20 hal.
Tri, Muryanto., dan Dedi, Sumarno. 2015. Pengamatan Kebiasaan Makan Ikan
Nilem (Osteochilus vittatus) Hasil Tangkapan Jaring Insang Di Danau
Talaga Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah. BTL, 11 (1) : 51-
54.
LAMPIRAN
Lampiran 1
Perhitungan
0
Mortalitas 0 PPM = x100%
10
=0%
0
Mortalitas 0 PPM = x100%
10
=0%
0%+0%
𝛴 Mortalitas 0 PPM = = 0%
2
10
Mortalitas 0,054 PPM= x100%
10
= 100 %
4
Mortalitas 0,054 PPM= x100%
10
= 40 %
40%+100%
𝛴Mortalitas 0,054 PPM = = 70%
2
10
Mortalitas 0,104 PPM= x100%
10
= 100 %
10
Mortalitas 0,104 PPM= x100%
10
= 100 %
100%+100%
𝛴Mortalitas 0,104 PPM = = 100%
2
2
Mortalitas 0,208 PPM= x100%
10
= 20 %
10
Mortalitas 0,208 PPM= x100%
10
= 100 %
20%+100%
𝛴Mortalitas 0,104 PPM = = 60%
2
Lampiran 2
Foto Kegiatan