Anda di halaman 1dari 266

LAPORAN PRAKTIKUM LIMNOLOGI

Oleh :

Iswardhani Ariyanti

NIM. L1B017035

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO

2019
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PRAKTIKUM LIMNOLOGI

Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Mengikuti Responsi Praktikum Mata


Kuliah Limnologi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas
Jenderal Soedirman Purwokerto

Disetujui,

Purwokerto, 04 Mei 2019

Mengetahui :

Koordinator asisten Asisten

............................ Inung Rahmawati


NIM. NIM. L1B016016
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan

Laporan Praktikum Limnologi ini. Laporan disusun sebagai salah satu syarat

mengikuti responsi praktikum mata kuliah Limnologi Fakultas Perikanan dan

Ilmu Kelautan Universitas Jenderal Soedirman. Penulis mengucapkan terima

kasih kepada :

1. Drs. Asrul Sahri, M.Si, dan Dra. Nuraina Andriyani, M.Si selaku tim pengajar

mata kuliah Limnologi yang telah memberikan petunjuk-petunjuk dalam setiap

kegiatan perkuliahan.

2. Seluruh asisten praktikum Limnologi yang telah memberikan arahan dan

petunjuknya selama berlangsungnya kegiatan praktikum.

3. Semua pihak yang telah membantu penulis sehingga terselesaikannya

penyusunan laporan ini.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan.

Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun senantiasa penulis

harapkan demi kesempurnaan laporan ini. Semoga laporan ini bermanfaat bagi

kita semua.

Purwokerto, April 2019


ACARA I

ANALISIS SIFAT FISIK AIR DI SUNGAI KRANJI

Oleh :

Iswardhani Ariyanti

NIM. L1B017035

LAPORAN PRAKTIKUM LIMNOLOGI

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO

2019
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perairan mengalir merupakan habitat yang baik untuk organisme

perairan misalnya alga perifiton karena perairan tersebut banyak substrat tempat

menempelnya alga perifiton (Afrizal dan Usman, 1996 dalam Gusmaweti, 2015).

Kehidupan organisme perairan sangat berhubungan dengan kualitas air baik

secara fisik dan kimia, maupun secara biologi. Parameter kualitas air

dipengaruhi oleh tata guna lahan dan intensitas kegiatan manusia di sekitarnya

(Gusmaweti, 2015). Salah satu bentuk dari perairan mengalir tersebut adalah

sungai.

Sungai merupakan salah satu ekosistem perairan darat yang aliran

airnya satu arah dan akan mengalir dari dataran tinggi menuju ke dataran

rendah dan akan menuju suatu muara sungai. Sungai dapat berperan sebagai

sumber air untuk irigasi, habitat organisme perairan, kegiatan perikanan,

perumahan, dan sebagai daerah tangkapan air. Peran sungai yang beragam

seiring dengan berkembangnya aktivitas manusia di sekitar sungai akan

berdampak pada penurunan kualitas air (Kurniadi, 2015). Aliran air sungai

merupakan suatu proses yang cukup kompleks. Air bergerak turun melalui

kanal sungai karena pengaruh gaya gravitasi. Kecepatan aliran meningkat sesuai

dengan kelerengan atau kemiringan sungai. Aliran air tidak saja lurus tetapi

dapat pula acak (turbulent). Energi sungai meningkat sejalan dengan

peningkatan kemiringan dan volume air karenanya mampu membawa muatan


sedimen (Putra, 2014).

Aliran sungai sangat fluktuatif dari waktu ke waktu dan dari tempat ke

tempat. Maka dari itu diperlukan untuk mengukur parameter penting fisika

dalam dinamika Sungai Kranji seperti : (1) Penetrasi Cahaya, agar dapat

mengetahui banyaknya cahaya yang masuk ke dalam perairan mempengaruhi

dan menentukan gambaran sifat optik dari suatu perairan yaitu kecerahan.

Penetrasi cahaya pada bagaian tengah suatu ekosistem sungai pada umumnya

lebih tinggi dibanding dengan bagian hilir, (2) Suhu, agar dapat mengetahui

keberadaan flora dan fauna akuatis yang seringkali berubah dengan adanya

perubahan suhu air, terutama oleh adanya kenaikan suhu di dalam air serta

dapat mengetahui suhu rata-rata pada Sungai Kranji, (3) kecepatan arus

(velocity), agar dapat mengetahui berapa kecepatan rata-rata pada Sungai Kranji,

kecepatan arus berperan dalam perkiraan pergerakan bahan pencemar, (4) debit

air (discharge), agar dapat mengetahui debit pada Sungai Kranji dan debit

dipengaruhi oleh kecepatan arus (5) TDS, menentukan kondisi geologi seperti

drainase, curah hujan dan kesetimbangan air (6) Kekeruhan, agar dapat

mengetahui tingkat kecerahan dan masuknya cahaya matahari ke badan

perairan (7) DHL, agar mengetahui daya konduktivitas air yang dipengaruhi

oleh ion-ion terlarut (8) Warna air, untuk mengetahui warna tapak dan warna

sesungguhnya pada Sungai Kranji (9) Bau air, untuk mengetahui bau perairan di

Sungai Kranji dan penyebab dari bau tersebut (10) Tipe substrat, untuk

mengetahui jenis substran dan berpengaruh pada kecepatan arus.


1.2. Tujuan

Tujuan dari praktikum acara fisik sungai adalah:

1. Mengetahui parameter fisika pada Sungai Kranji.

2. Mengetahui faktor yang mempengaruhi parameter fisika pada Sungai Kranji.


II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sungai

2.1.1. Sungai

Sungai merupakan tempat berkumpulnya air dari lingkungan sekitarnya

yang mengalir menuju tempat yang lebih rendah. Daerah sekitar sungai yang

mensuplai air ke sungai dikenal dengan daerah tangkapan air atau daerah

penyangga. Kondisi suplai air dari daerah penyangga dipengaruhi aktifitas dan

perilaku penghuninya. Pada umumnya, daerah hulu mempunyai kualitas air

yang lebih baik daripada daerah hilir. Dari sudut pemanfaatan lahan, daerah

hulu relatif sederhana dan bersifat alami seperti hutan dan perkampungan kecil.

Semakin ke area hilir keragaman pemanfaatan lahan meningkat. Sejalan dengan

hal tersebut suplai limbah cair dari daerah hulu yang menuju daerah hilir pun

menjadi meningkat. Pada akhirnya daerah hilir merupakan tempat akumulasi

dari proses pembuangan limbah cair yang dimulai dari hulu (Wibowo, 2005

dalam Yuliastuti, 2011).

Kondisi sungai merupakan kondisi logis dari suatu hubungan kompetisi

sehingga akan muncul spesies parasit yang potensial maupun yang mematikan.

Kondisi nutrisi yang buruk dapat melemahkan status kesehatan ikan yang

berdampak pada kerentanan ikan terhadap parasit. Kesamaan habitat dalam

perairan menimbulkan upaya mengusir spesies ektoparasit pesaingnya. Kualitas

air yang tidak baik seperti banyaknya bahan organik, kondisi air yang tergenang

dan fluktuasi suhu yang drastis (suhu yang sangat rendah) akan berpengaruh

pada ikan akibat ketidaksesuainnya pada proses tumbuh dan berkembang ikan
dan akan meningkatkan peluang keberhasilan parasit menginfeksi ikan

(Rokhmani, 2019).

2.1.2. Sungai Kranji

Sungai Kranji merupakan sungai yang melintang di Jalan Jenderal

Soedirman Purwokerto atau tepatnya di sebelah barat SMP N 1 Purwokerto dan

masuk wilayah Kecamatan Purwokerto Timur. Sungai Kranji terletak pada

koordinat Latitude S 7° 24' 24" dan Longitude E 109° 14' 15". Sungai Kranji

merupakan salah satu anak Sungai Serayu yang alirannya melewati pemukiman

di tengah kota dan banyak dimanfaatkan sebagai saluran pembuangan limbah

dan berbagai keperluan lain (mandi, cuci dan kakus).

Sungai Kranji terletak tepat membelah Kota Purwokerto, Sub DAS Kranji

memiliki luas lebih dari 20 Km2. Secara kewilayahan berada di 6 (enam)

Kecamatan yaitu Kecamatan Patikraja, Kecamatan Baturraden, Kecamatan

Purwokerto Utara, Purwokerto Barat, Purwokerto Timur, dan Purwokerto

Selatan. Sungai utama Kranji memiliki panjang 9,4 Km dengan jumlah orde 1

(satu) sebanyak 13 buah, orde 2 (dua) sebanyak 7 buah, orde 3 (tiga) sebanyak 2

buah dan orde 4 (empat) sebanyak 1 buah. Saat ini Sungai Kranji mengalami

penurunan kualitas, baik dari sisi kualitas air maupun kuantitas air, disamping

secara morfologi sungai banyak mengalami kerusakan (Irawadi, 2018).

2.2. Faktor Fisik Perairan Lotik

2.2.1. Suhu

Menurut Arfiati (1989), menyatakan bahwa suhu secara ekologi akan

mempengaruhi penyebaran (distribusi) spesies, karena organisme cenderung


menempati lingkungan yang bersuhu sesuai aktivitas bioloogi dalam sel. Suhu

suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang (attitude), waktu dalam air,

sirkulasi udara, penutupan awan dan aliran air, serta kedalaman badan air. Suhu

tinggi tercatat pada permukaan air sungai selama siang hari dan menjadi rendah

sampai pada malam hari. Suhu air mempengaruhi kandungan oksigen terlarut

dalam air. Semakin tinggi suhu, semakin kurang oksigen terlarut. Setiap

kenaikan suhu 10C, membutuhkan kenaikan oksigen terlarut 10% (Kutty, 1968).

Suhu di dalam air dapat menjadi faktor penentu atau pengendali

kehidupan flora dan fauna akuatis, terutama suhu di dalam air yang telah

melampaui ambang batas (terlalu hangat atau terlalu dingin) bagi kehidupan

flora dan fauna akuatis tersebut. Jenis, jumlah dan keberadaan flora dan fauna

akuatis seringkali berubah dengan adanya perubahan suhu air, terutama oleh

adanya kenaikan suhu di dalam air. Secara umum kenaikan suhu perairan akan

mengakibatkan kenaikan aktivitas biologis dan pada gilirannya memerlukan

lebih banyak oksigen di dalam perairan tersebut. Hubungan antara suhu air dan

oksigen biasanya berkorelasi negative yaitu kenaikan suhu di dalam air akan

menurunkan kemampuan organisme akuatis dalam memanfaatkan oksigen

yang tersedia untuk berlangsungnya proses-proses biologis dalam air (Susanto,

2017).

2.2.2. Kecepatan Arus

Kecepatan arus sangat penting pengaruhnya terhadap komunitas

perairan, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Hal ini karena

kecepatan arus menentukan keadaan habitat alamiah dari perairan (Suprapti,


1995). Kecepatan arus dari suatu badan air sangat berpengaruh terhadap

kemampuan badan air untuk mengasimilasi dan mengangkut bahan pencemar.

Kecepatan arus berperan dalam perkiraan pergerakan bahan pencemar sebagai

contoh pengetahuan akan kecepatan arus digunakan untuk memperkirakan

kapan bahan pencemar mencapai suatu lokasi tertentu apabila bagian hulu suatu

badan air mengalami pencemaran (Effendi, 2000).

Kecepatan arus merupakan faktor penting di perairan mengalir.

Kecepatan arus berbeda-beda tergantung dari kedalaman sungai, lebar sungai,

dan tipe substrat. Arus dibedakan menjadi lima kategori berdasarkan

kecepatannya, yaitu arus yang sangat cepat (>100 cm/s), cepat (50-100 cm/s),

sedang (25-50 cm/s), lambat (10-25 cm/s), dan sangat lambat (<10 cm/s) (Welch

(1980). Semakin tinggi kecepatan arus, kandungan oksigen terlarut dalam air

yang sangat dibutuhkan oleh biota air dalam metabolismenya akan semakin

banyak. Kecepatan arus berkurang seiring dengan penambahan kedalaman

suatu perairan (Siregar, 2001).

2.2.3. Debit Air

Debit aliran adalah laju aliran air (dalam bentuk volume air) yang

melewati suatu penampang melintang sungai persatuan waktu. Sistem SI

besarnya debit dinyatakan dalam sattuan meter kubik. Debit aliran juga dapat

dinyatakan dalam persamaan Q = A x V, dimana A adalah luas penampang (m2)

dan V adalah kecepatan aliran (m/detik). Pengukuran debit air sangat

dipengaruhi oleh kecepatan arus air. Kecepatan arus yang berkaitan dengan

pengukuran debit air ditentukan oleh kecepatan gradien permukaan, tingkat


kekasaran, kedalaman, dan lebar perairan (Asdak, 2002).

Debit dinyatakan sebagai volume yang mengalir pada selang waktu

tertentu, biasanya dinyatakan dalam satuan m3/detik. Dengan meningkatnya

debit, kadar bahan-bahan alam yang terlarut ke suatu badan air akibat erosi

meningkat secara eksponensial. Namun, konsentrasi bahan-bahan antropogenik

yang memasuki badan air tersebut mengalami penurunan karena terjadi proses

pengenceran. Jika suatu bahan pencemar masuk ke badan air dengan kecepatan

konstan, kadar bahan pencemar dapat ditentukan dengan membagi jumlah

bahan pencemar yang masuk dengan debit badan air (Effendi, 2003).

2.2.4. Kekeruhan

Kekeruhan adalah keadaan buram atau kekaburan dari cairan yang

disebabkan oleh partikel individu (padatan tersuspensi) yang umumnya tidak

terlihat dengan mata telanjang, mirip dengan asap udara. Kekeruhan disebabkan

karena adanya kandungan Total Suspended Solid baik yang bersifat organik

maupun anorganik. Alat untuk mengetahui tingkat kekeruhan air adalah

turbidimeter (Nuzula dan Endarko, 2013).

Faktor-faktor yang mempengaruhi kekeruhan adalah benda-benda halus

yang disuspensikan. Seperti lumpur, jasad-jasad renik yang merupakan

plankton, warna air (diantaranya ditimbulkan oleh zat-zat koloid berasal dari

daun-daun tumbuhan yang diekstrakkan). Menyebabkan penetrasi cahaya

seringkali dihalangi oleh partikel-partikel yang terdapat sebagai suspensi dalam

air sehingga mengurangi tebalnya lapisan fotosintesis di perairan yang

berkedalaman cukup yang tidak langsung berpengaruh terhadap organime air


(Odum, 1971).

2.2.5. TDS

TDS (Total Dissolved Solid) atau padatan terlarut total adalah bahan-bahan

terlarut dalam air yang tidak larut dan tidak tersaring dengan kertas saring

milipore dengan ukuran pori-pori (porousity) 0,4 μm (Triatmojo, 2008). Sumber

utama TDS dalam perairan adalah limpahan dari pertanian, limbah rumah

tangga, dan industri. Unsur kimia yang paling umum adalah kalsium, fosfat,

nitrat, natrium, kalium, dan klorida. Materi yang tersuspensi mempunyai

dampak buruk terhadap kualitas air karena mengurangi penetrasi cahaya

matahari ke dalam badan air, kekeruhan air meningkat yang menyebabkan

gangguan pertumbuhan bagi organisme produser (Agustira, 2013).

Konsentrasi dan komposisi TDS di perairan alami menentukan kondisi

geologi seperti drainase, curah hujan dan kesetimbangan air (evaporasi-

prespitasi). Air dengan TDS lebih dari 1000 mg/L dianggap air yang kehitaman.

TDS dapat menyebabkan keracunan melalui peningkatan salinitas, perubahan

dalam komposisi ionik air dan toksisitas individu. Kadar TDS yang rendah

seiring dengan tingkat kekeruhan yang rendah akan tetapi dapat meningkatkan

penetrasi cahaya sehingga terjadi peningkatan proses fotosintesis oleh tanaman

air atau fitoplankton (Anhwange, 2012).

2.2.6. Konduktivitas

Konduktivitas (Daya Hantar Listrik/DHL) adalah gambaran numerik

dari kemampuan air untuk menerima aliran listrik. Semakin banyak garam

terlarut yang dapat terionisasi, semakin tinggi pula nilai konduktivitas. DHL
dipengaruhi oleh reaktivitas, bilangan valensi, dan konsentrasi ion-ion terlarut.

Asam, basa dan garam merupakan penghantar listrik yang baik, sedangkan

bahan-bahan organik seperti sukrosa dan benzena merupakan penghantar listrik

yang jelek (Effendi, 2003).

Konduktivitas merupakan gambaran kuantitas garam-garam terlarut

dalam suatu perairan. Tingkatan kandungan garam-garam terlarut tersebut

dipengaruhi oleh aliran air yang masuk ke perairan, lama pergantian masa air,

curah hujan, kondisi daerah aliran sungai dan juga kondisi di dalam perairan

sendiri misalnya evaporasi, interaksi dengan sedimen dan perputaran proses

biologi (Sunanisari, 2009). Konduktivitas meningkat dengan meningkatnya total

padatan terlarut (TDS) (Anhwange, 2012). Konduktivitas menunjukkan korelasi

yang signifikan dengan sepuluh parameter seperti suhu, pH, alkalinitas,

kesadahan total, kalsium, total padatan, total padatan terlarut (TDS), kebutuhan

oksigen kimia (COD), klorida dan konsentrasi besi dalam perairan (Patil et al,

2012).

2.2.7. Penetrasi Cahaya

Penetrasi cahaya merupakan faktor mendasar penting yang berhubungan

langsung dengan faktor fisiko-kimia dan biologi dalam suatu perairan,

ketersediaan produktivitas primer fitoplankton dalam perairan bergantung pada

cahaya yang membantu proses fotosintesis dan mendorong fitoplankton

menyediakan energi untuk organisme lainnya, proses ini biasanya terjadi di

kedalaman sekitar 1% menembus cahaya (zona eufotik) (Gallegos, 2005).

Banyaknya cahaya yang masuk ke dalam perairan mempengaruhi dan


menentukan gambaran sifat optik dari suatu perairan yaitu kecerahan. Penetrasi

cahaya pada bagaian hulu suatu ekosistem sungai pada umumnya lebih tinggi

dibanding dengan bagian hilir (Barus et al, 2013).

Kecerahan adalah ukuran transporansi perairan yang ditentukan secara

visual dengan mengunakan scchi disk satuan untuk nilai kecerahan dari suatu

perairan dengan alat tersebut adalah satuan meter (Effendi, 2003). Kecerahan

merupakan tingkat penetrasi cahaya matahari yang dinyatakan dengan satuan

panjang. Alat yang bias digunakan untuk mengukur tingkat kecerahan air

adalah sechi disk,yaitu berupa pirigan yang diberi warna hitam putih dan

dihubungkan dengan tali pegangan yang mempunyai garis garis skala. Pada

perairan tambak, kecerahan erat dikaittanya dan berbanding terbalik dengan

jumlah fitoplankton didalamnya (Marindro, 2008).

2.2.8. Tipe Substrat

Tipe substrat dasar suatu perairan dipengaruhi oleh letak geografik dan

juga partikel organik dan anorganik yang dapat tersebar oleh arus. Partikel-

pertikel dapat berpindah tempat atau terikat kuat di dasar. Akibatnya

penyebaran sedimen terjadi pada daerah yang mengalir. Pada perairan yang

menggenang (lentik) bersifat lunak seperti berpasir dan berlumpur, sedangkan

perairan yang mengalir (lotik) bersifat keras seperti berbatu. Substrat termasuk

faktor yang mempengaruhi keberadaan organisme. Substrat dasar berupa batu

besar, kerikil ditempati oleh banyak organisme, sedangkan substrat dasar yang

berupa lumpur dan tanah liat ditempati sedikit organisme (Hawkes, 1975).

Menurut Flamid (2010), bahan tak hidup yaitu komponen fisik dan kimia
yang terdiri dari tanah, air, udara, sinar matahari, bahan lain hidup merupakan

medium atau substrat tempat berlangsungnya kehidupan atau lingkungan

tempat hidup. Menurut Djum (1971) dalam Sahri et al. (2000), substrat dasar yang

berupa batuan merupakan habitat yang penting baik dibandingkan dengan

substrat pasir dan kerikil. Substrat pasir dan kerikil mudah sekali terbawa oleh

arus air. Sedangkan substrat batuan tidak mudah terbawa oleh arus air.

2.2.9. Warna

Warna terbagi menjadi dua yaitu warna sesungguhnya (true color) dan

warna tampak (apparent color). Warna sesungguhnya yaitu warna yang hanya

disebabkan oleh bahan-bahan kimia terlarut. Dalam penentuan warna

sesungguhnya, bahan-bahan tersuspensi yang dapat menyebabkan kekeruhan

dipisahkan dahulu. Warna tampak yaitu warna yang tidak hanya disebabkan

oleh bahan terlarut, tetapi jug disebabkan oleh bahan tersuspensi (Effendi, 2003).

Warna airnya keruh disebabkan oleh partikel-partikel tanah, yang mana

partikel-partikel tanah tersebut mampu mengikat beberapa mineral, sehingga

airnya terlihat sebagian ada yang berwarna hitam, putih dan ada juga terlihat

warna airnya jingga. Untuk warna air tersebut dapat di identifikasi bahwa warna

air hitam mengandung kalsium dan magnesium, warna air putih di identifikasi

mengandung aluminium, arsenik, muscilage dan asbetos, sedangkan warna air

jingga di identifikasi mengandung besi teroksida (Supiyati, 2012). Warna

perairan ditimbulkan oleh adanya bahan organik dan bahan anorganik; karena

keberadaan plankton, humus, dan ion-ion logam (misalnya besi dan mangan),

serta bahan-bahan lain. Adanya oksida besi menyebabkan air berwarna


kemerahan, sedangkan oksida mangan menyebabkan air berwarna kecoklatan

atau kehitaman (Ramadhani, 2016).

2.2.10. Bau

Bau air merupakan salah satu indikator pencemaran air. Bau air dapat

disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya sampah dan limbah pabrik atau

industri. Banyaknya sampah dan kandungan limbah di perairan akan

menyebabkan bau busuk yang menyengat dan dapat mengganggu kesehatan

masyarakat yang menggunakan perairan tersebut. Hal ini juga dapat

mengakibatkan terganggunya habitat biota air terutama ikan (Triatmojo, 2008).

Bau merupakan petunjuk adanya pembusukan air limbah. Limbah cair

industri berpotensi mengandung senyawa berbau ataupun senyawa yang

potensial menghasilkan bau selama proses pengolahan limbah cair (Asmadi dan

Suharno, 2012 dalam Ramadhani, 2016). Bau pada air ditimbulkan akibat

pembusukkan dari zat-zat organik serta limbah dari pabrik yang berada pada

daerah hulu muara Sungai (Supiyati, 2012). Jika terjadi perubahan kondisi bau

air sungai secara drastis dengan munculnya bau busuk yang sangat menyengat,

yang menandakan bahwa telah terjadi pemasukan bahan pencemar yang

menyebabkan adanya reaksi pelepasan gas, baik yang berasal dari proses

dekomposisi, oksidasi, maupun gas dari kandungan senyawa kimia dari limbah

itu sendiri (Ramadhani, 2016).


III. MATERI DAN METODE

3.1. Materi

3.1.1. Alat

Tabel 1. Alat praktikum

No Nama alat Ukuran/ jumlah Merek Fungsi

1. Termometer 1000C / 1 buah - Mengukur suhu air

2. Stopwatch 1 buah - Mengukur waktu

Tempat menyimpan
3. Botol Mineral 600 mL / 3 buah Aqua
sampel

Mengukur kecepatan
4. Tali Tali -
arus

LUTRON Mengukur kekeruhan


5. Turbidimeter 1 buah
TU-2016 air

6. Secchi disc 1 buah - Mengukur kecerahan air

Mengambil air tanpa


7. Botol Winkler -
oksigen

3.1.2. Bahan

Tabel 2. Bahan praktikum

Ukuran/
No Nama bahan Merek Fungsi
jumlah
Menentukan

1. Sampel air 6 parameter fisika pada

badan perairan

Untuk mengkalibrasi

2. Akuades 1 pada alat pengukuran

seperti TDS meter

Untuk

3. Tissue 1 Nice memebersihkan alat

pengukuran

3.2. Metode

3.2.1. Suhu

Termometer celcius dengan bantuan nilon dicelupkan ke dalam badan air

yang akan di teliti selama ± 10 menit pada bagian tepi, tengah dan tepi di stasiun

tengah dan hilir Sungai Kranji. Kemudian dilakukan pencatatan setelah skala

menunjukan angka yang konstan.

3.2.2. Kecepatan Arus

Kecepatan arus diukur menggunakan sebuah botol mineral yang diisi air

dengan air sebanyak 80%. Botol tersebut diikat dengan tali sepanjang 10 m. Botol

berisi air dan terikat dengan tali kemudian dilepaskan di bagian tengah sungai

yang memiliki arus sampai tali merenggang dengan sempurna pada bagian

tengah sungai pada stasiun tengah dan hilir Sungai Kranji. Perhitungan waktu

dimulai pada saat botol pertama kali dilepaskan sampai tali merenggang.
Rumusnya yaitu

𝑠
v = 𝑡 dengan :

v = kecepatan

s = jarak yang di lalui botol

t = waktu yang dibutuhkan botol untuk mencapai jarak yang ditentukan.

3.2.3. Debit Air

Debit air sungai diukur dengan menggunakan metode cross sectional

dengan mencari kecepatan arus sungai dan luas penampang pada Sungai Kranji

pada stasiun tengah. Pengukuran debit air dilakukan dengan cara kecepatan

arus dikalikan dengan luas area sungai. Luas area sungai diukur dengan cara

menghitung kedalaman tiap jarak satu meter lebar sungai. Pengukuran dimulai

dari tepi, tengah dan tepi. Luas area sungai merupakan jumlah dari luas area

sungai yang diukur tiap meter.

Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :

D=VxA

Keterangan :

D = debit air (m3/dtk)

V = kecepatan arus (m/dtk)

A = luas penampang saluran (m2)

3.2.4. Kekeruhan

Pengukuran kekeruhan menggunakan air sampel yang telah

dihomogenkan antara air sampel tepi 1, tengah dan tepi 2 pada setiap stasiun
tengah dan hilir Sungai Kranji. Pengukuran kekeruhan dilakukan dengan

menngunakan alat yaitu turbidimeter merk lutron TU-2016. Pertama ambil air

sampel dan letakkan pada akua gelas. Kemudian alat Turbidimeter dikalibrasi

dengan menggunakan air blanko, setelah itu kuvet diisi dengan air sampel dan

diukur serta catat hasilnya.

3.2.5. TDS

Pengukuran TDS menggunakan air sampel yang telah dihomogenkan

antara air sampel tepi 1, tengah dan tepi 2 pada stasiun tengah dan hilir Sungai

Kranji. Pengukuran TDS dilakukan dengan menggunakan alat TDS meter. TDS

meter terlebih dahulu dikalibrasi dengan larutan standar yang ada. Kemudian

kuvet diisi dengan air sampel, diukur dan dicatat hasilnya.

3.2.6. DHL

Pengukuran DHL dilakukan dengan menggunakan alat yaitu TDS meter.

Kemudian TDS meter dikalibrasi terlebih dahulu dikalibrasi dengan

menggunakan akuades, setelah itu kuvet ditetesi air sampel, diukur dan dicatat

hasilnya.

3.2.7. Penetrasi Cahaya

Pengukuran pertama dilakukan dengan menurunkan secchidisc ke suatu

kedalaman air tertentu pada stasiun tengah dan hilir Sungai Kranji sampai tepat

hilang dari pandangan. Kemudian pada batas ini hanya 10 % saja intensitas

cahaya matahari yang menimpa permukaan air kemudian hitung dengan rumus.

(𝑿𝟏) × (𝑿𝟐)
𝑷𝑪 =
𝟐
Keterangan :
X1= pembacaan secchidisc awal tidak terlihat (cm)

X2 = pembacaan secchidisc awal terlihat (cm)

3.2.8. Substrat

Pengamatan substrat dilakukan estimasi visual persentasi bagian dasar

sungai yang tertutup lumpur, pasir, kerikil, atau batu.

3.2.9. Warna

Pengamatan warna dilakukan dengan uji organoleptik yang mengamati

kondisi sungai dengan indera mata dengan menentukan warna tampak dan

warna sebenarnya.

3.2.10. Bau

Ambil sampel air yang akan diteliti dengan bantuan botol sampel yang

terbuat dari gelas. Kemudian lakukan penentuan bau air sedini mungkin setelah

sampel air diambil, tetapi bila tidak dapat langsung dilakukan pembauan maka

sebaiknya simpan dalam kondisi dingin. Periksa botol sampel secara

organoleptik dengan bantuan hidung (minimal 5 orang) untuk menentukan

apakah bau spesifikatau tidak, dan bau yang tercium dicatat.

3.3. Waktu dan Tempat

Praktikum ini dilakukan pada Sabtu, 16 Maret 2019 pukul 05.00 WIB.

Pengambilan sampel dilakukan pada bagian tengah yang terletak pada jalan Dr.

Angka kel. Sokanegara kec. Purwokerto Utara dengan koordinat 70 25’ 37” N 1090

13’ 57” E, dan bagian hilir sungai yang terletak pada jalan Slamet Riyadi kel.

Kranji kec. Purwokerto Utara dengan koordinat 70 25’ 35” N 1090 13’ 57” E di

Sungai Kranji. Pengamatan dilakukan pada pukul 11.30 WIB. Selanjutnya


analisis laboratorium dilakukan di Laboratorium Pengajaran Fakultas Perikanan

dan Ilmu Kelautan Universitas Jenderal Soedirman.

3.4. Analisis Data

Data pengukuran parameter sifat fisika air yang diperoleh dapat dianalisis

secara deskriptif dengan histogram atau diagram balok antara titik sampling,

dan dengan bantuan tabel.


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

Tabel 3. Sifat Fisik Sungai Kranji

Standar
Sungai Kranji Pustaka
Parameter Satuan Baku Mutu

Tengah Hilir

Penetrasi PP RI No.82 Tahun


cm 37 26,3 7-40
Cahaya 2001

Suhu Celciu PP RI No.82 Tahun


25,67 25,17 25- 30
s 2001

Kecepatan m/s PP RI No.82 Tahun


1,74 1,05 0,1-1,0
arus 2001

Debit PP RI No.82 Tahun


m3/s 4,485 2,446 0,54 – 1,14
2001

TDS mg/L 75,7 74,7 1000-2000 PP RI No.82 Tahun

2001

Kekeruhan PP RI No.82 Tahun


NTU 19,15 21,70 18-36
2001

DHL ηmhos 112,7 112,7 20 – 1500 kepmen ESDM


Warna Air Hijau

- kecoklat Coklat Tidak PP RI No.82 Tahun

an berwarna 2001

Bau Air PP RI No.82 Tahun


- Tidak Tidak
Tidak berbau 2001
Berbau Berbau

Pasir Pasir
Tipe -
- Berbatu Berbatu -
Substrat

4.2. Pembahasan

4.2.1. Suhu

Suhu merupakan parameter lingkungan yang sangat besar pengaruhnya

pada hewan akuatik. Suhu mempengaruhi kelarutan oksigen di dalam air serta

menyebabkan interaksi berbagai faktor lain dalam parameter kualitas air

(Samsundari dan Ganjar, 2013). Menurut Boyd dan Lichtkoppler (1979) dalam

Effendi et.al. (2015), suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap proses

fitoremediasi, pertumbuhan ikan dan tanaman serta proses dekomposisi bahan

organik, merupakan suhu optimum untuk pertumbuhan ikan 25-32°C. Grafik

suhu Sungai Kranji pada stasiun tengah dan hilir yaitu:


Suhu
30
Maximum
29

28
0C

27 Suhu

26 25.67
25.17
Minimum
25
Tengah Hilir
Stasiun

Grafik 1. Grafik Suhu Sungai Kranji

Berdasarkan grafik di atas, nilai suhu tertinggi berada pada bagian

tengah sungai yaitu sebesar 25,67 0C dan yang terendah berada pada bagian hilir

sungai yaitu sebesar 25,17 0C. Hal tersebut dikarenakan letak lintang bagian hilir

sungai Kranji berada di dataran tinggi sehingga suhunya lebih rendah,

sedangkan pada bagian tengah sungai berada pada dataran rendah sehingga

suhunya tinggi. Hasil tersebut sesuai dengan referensi yang menyatakan bahwa

temperatur atau suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang,

ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan

awan, dan aliran, serta kedalaman badan air (Hefni Effendi, 2003 dalam

Ramadhani, 2016).

Berdasarkan hasil praktikum nilai suhu sungai Kranji stasiun tengah, dan

hilir secara berurutan yaitu 25,67 0C dan 25,17 0C. Suhu pada sungai Kranji masih

dalam batas baku mutu yaitu pada 25 - 30 0C yang sesuai dengan referensi dari

PP RI No.82 Tahun 2001, hal ini menandakan bahwa pada suhu tersebut masih

dalam kondisi yang wajar, hal ini sesuai dengan pendapat Odum (1993) dalam
Sinambela (2015) pada suhu tersebut, termasuk dalam kategori yang sesuai

untuk mendukung kelangsungan hidup hewan makrozoobenthos. Apabila

terjadi penuruan atau peningkatan suhu maka akan berpengaruh terhadap

migrasi, laju metabolisme dan mortalitas makrozoobenthos (Pamuji et.al., 2015).

Meningkatnya suhu akan menyebabkan kelarutan oksigen menjadi berkurang.

Hal ini menyebabkan organisme air akan kesulitan untuk respirasi. Kenaikan

suhu ditandai dengan munculnya ikan dan hewan lainnya ke permukaan untuk

mencari oksigen. Suhu air yang tidak cocok dengan ikan dapat mengakibatkan

ikan sulit untuk berkembang (Cahyono, 2000 dalam Astuti, 2015). Selain itu

Peningkatan suhu air juga akan mempengaruhi reaksi kimia dan berhubungan

dengan penurunan kualitas air dan status ekologi air tawar (Fisesa, 2014).

4.2.2. Kecepatan Arus

Kecepatan arus sungai berperan sangat penting pada transpor material

erosi, polutan bahan organik, nutrien dan fitoplankton serta biota air lainnya.

Dipengaruhi oleh perbedaan topografi antara tengah dan hilir sungai. Selain itu

perbedaan kecepatan arus juga di pengaruhi oleh tipe dasar, lebar sungai dan

adanya hambatan aliran (Djumanto et.al., 2013). Berikut merupakan grafik

kecepatan arus sungai Kranji dari tengah sampai hilir yaitu sebagai berikut:
Kecepatan Arus
2
1,74
1.8
Kecepatan
1.6 Arus
1.4
1.2 1,05
m/s

1 Maximum
0.8
0.6
0.4
0.2 Minimum

0
Tengah Hilir
Stasiun

Grafik 2. Grafik Kecepatan Arus Sungai Kranji

Berdasarkan grafik di atas, nilai kecepatan arus tertinggi sungai Kranji

berada pada bagian tengah sungai yaitu sebesar 1,74 m/s dan yang terendah

berada pada bagian hilir sungai yaitu sebesar 1,05 m/s. Kecepatan arus pada

daerah tengah tinggi karena dipengaruhi oleh tipe substrat dan air terjun yang

ada pada stasiun tengah sungai Kranji, untuk sungai bagian tengah memiliki tipe

substrat pasir berbatu dengan ukuran batu yang relatif besar, untuk bagian hilir

sungai tidak terlalu deras. Kecepatan arus air di sungai tergantung pada

kemiringan, kekasaran substrat, kedalaman, dan lebar sungai. Selain tipe

substrat, kemiringan juga berpengaruh terdapat kecepatan arus. Hal ini sesuai

dengan referensi yang menyatakan bahwa kemiringan sungai dan lebar

permukaan sungai sangat berpengaruh terhadap kecepatan aliran sungai

(Tamod, 1998 dalam Tumurang, 2015).

Nilai kecepatan arus sungai Kranji dari tengah dan hilir secara berturut-

turut yaitu, 1,74 m/s dan 1,05 m/s. Kecepatan arus pada Sungai Kranji diatas
baku mutu yaitu, 0,1-1,0 m/s. Kecepatan arus akan mempengaruhi jenis dan sifat

organisme yang hidup di perairan tersebut. Kecepatan arus yang besar

(>5m/detik) akan mengurangi jenis flora yang dapat tinggal sehingga hanya

jenis-jenis yang melekat saja yang tahan terhadap arus dan tidak mengalami

kerusakan fisik (Klein, 1972, dalam Sriwidodo, 2013). Menurut Mason (1993)

dalam Fisesa (2014) perairan dikategorikan dalam perairan yang berarus sangat

deras jika kecepatan arus > 1 m/detik, berarus deras yaitu 0,5 - 1 m/detik,

berarus sedang yaitu 0,25 - 0,5 m/detik, berarus lambat 0,1 - 0,5 m/detik, dan

berarus sangat lambat yaitu 0,1 - 0,25 m/detik. Berdasarkan kategori tersebut

Sungai Kranji tergolong sungai yang memiliki arus sangat deras. Odum (1971)

dalam Fisesa (2014) mengatakan, pergerakan air lambat menyebabkan partikel

halus mengendap, detritus melimpah dan kandungan bahan organik tinggi. Jenis

organisme makrozoobentos yang menyukai kondisi tersebut diantaranya kelas

Oligochaeta. Keberadaan jenis dari kelas Oligochaeta dapat di jadikan indikator

Sungai belum telah tercemar.

4.2.3. Debit Air

Debit adalah suatu koefesien yang menyatakan banyaknya air yang

mengalir dari suatu sumber persatuan waktu, biasanya diukur dalam

satuan liter per/detik, untuk memenuhi keutuhan air pengairan (Dumiary,

1992 dalam Pahriansyah, 2016). Debit air menyatakan banyaknya air yang

mengalir dari suatu sumber persatuan waktu, biasanya diukur dalam satuan

liter per/detik. Faktor yang mempengaruhi nilai debit air yaitu hujan, topografi,

geologi, keadaan tumbuhan dan manusia (Soebarkah, 1978 dalam Neno et.al.,
2016). Berikut adalah grafik debit air sungai Kranji dari tengah hingga hilir :

Debit Air
5
4,458
4.5
4
3.5
3
2,446 Debit
m3/s

2.5
Air
2
1.5
maximum
1
minimum
0.5
0
Hulu Tengah
Stasiun

Grafik 3. Grafik Debit Sungai Kranji

Berdasarkan grafik di atas, nilai debit air sungai Kranji tertinggi berada

pada bagian tengah yaitu sebesar 4,485 m3/s dan yang terendah pada bagian hilir

sungai yaitu sebesar 2,446 m3/s. Debit air sungai Kranji dari tengah ke hilir relatif

menurun, yang disebabkan dasar sungai yang semakin landai dan melebar. Hal

tersebut sesuai dengan referensi yang menyatakan bahwa debit air yang

diperoleh berbeda karena faktor perbedaan lokasi untuk panjang sungai, kondisi

permukaan saluran, kondisi substrat, pendangkalan, kemiringan lahan. Semakin

sungai/selokan dangkal maka pergerakan semaikin lambat. Hal ini disebabka1n

karena lebar, kedalaman, dan kecepatan arus (Jukri, et al., 2013).

Nilai debit air sungai Kranji dari bagian tengah, dan hilir secara berturut-

turut yaitu 4,485 m3/s, dan 2,446 m3/s. Mengacu pada standar baku kualitas air
yang ditulis oleh Neno et.al. (2016), hasil penelitian debit air Sungai Kranji tidak

memenuhi standar baku air pada kisaran 0,54 – 1,14 m3/s. Pada musim hujan

sumber air melimpah sehingga debit dan kecepatan arus air sungai relatif tinggi.

Sebaliknya, debit air yang tinggi akan mempercepat penyebaran dan penurunan

kadar bahan polutan, sehingga tingkat pencemaran segera berkurang

(Djumanto,et al., 2013). Faktor debit berbanding lurus dengan volume

pengaliran, tinggi muka air dari dasar saluran, dan kecepatan aliran, besar

kecilnya laju sedimentasi (Putra, 2014). Perairan dengan arus kuat akan

mengendapkan partikel dengan ukuran besar, sebaliknya perairan arus lemah

akan mengendapkan partikel lumpur halus (Pamuji et.al., 2015).

4.1.4. Kekeruhan

Kekeruhan perairan merupakan gambaran dari banyaknya bahan bahan

yang tersuspensi di perairan diantaranya, liat, debu, plankton dan organisme

renik dan dapat menyebabkan terhambatnya cahaya matahari masuk perairan

(Sinambela, 2015). Kekeruhan perairan menggambarkan sifat optik air yang

ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh

bahan-bahan yang terdapat dalam air (Pujiastuti et.al., 2013). Berikut merupakan

grafik kekeruhan air sungai Kranji dari bagian tengah hingga hilir :
Kekeruhan

35
maximum
30

25
21.70
19.15 minimum
20
NTU

Kekeruhan
15

10

0
Tengah Hilir
Stasiun

Grafik 4. Grafik Kekeruhan Sungai Kranji

Berdasarkan grafik di atas, nilai kekeruhan sungai Kranji bagian tengah,

dan hilir secara berturut-turut yaitu sebesar 19,15 NTU dan 21,70 NTU. Nilai

kekeruhan sungai Kranji tertinggi berada pada bagian hilir sungai yaitu sebesar

21,70 NTU dan yang terendah pada bagian tengah sungai yaitu sebesar 19,15

NTU. Disebabkan jumlah sedimen yang terbawa arus dari hulu dan tengah akan

bermuara pada hilir sungai, sehingga sedimen yang terbawa menyebabkan nilai

kekeruhan pada bagian hilir lebih besar dari tengah. Hal tersebut sesuai dengan

referensi menurut Irawan dan Sari (2013), semakin ke hilir kekeruhan akan

semakin tinggi akibat bertambahnya aktivitas manusia dan sedimen yang

terbawa dari bagian perairan yang lebih tinggi. Dan sesuai dengan pendapat

Manan (2010) dalam Fisesa (2014), peningkatan kekeruhan disebabkan oleh

masukan dari arah hulu serta masukan dari limpasan air dari daratan yang

dibawa oleh air hujan.


Nilai kekeruhan sungai Kranji pada stasiun tengah, dan hilir secara

berturut-turut yaitu sebesar 19,15 NTU dan 21,70 NTU. Standar baku mutu

menurut PP RI No.82 Tahun 2001 adalah 18-36 NTU. Berdasarkan referensi,

Sungai Kranji memiliki tingkat kekeruhan normal karena berada pada rentan

nilai baku standard. Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan

berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan

yang terdapat dalam air, dan disebabkan bahan organik dan anorganik baik

tersuspensi maupun terlarut seperti lumpur, pasir, bahan organik seperti

plankton dan mikroorganisme lainnya. Semakin keruh suatu perairan, maka

kurang baik bagi pertumbuhan organisme yang hidup di dalamnya. Semakin

tinggi kekeruhan, maka laju fotosintesis fitoplankton berkurang, sehingga

menyebabkan terganggunya rantai makanan (Marganof, 2007 dalam Rahman et

al., 2013). Kekeruhan akibat dari hujan (Irawan dan Sari, 2013).

4.1.5. TDS

Total Dissolved Solid atau TDS merupakan parameter dari jumlah

material yang dilarutkan dalam air. Sumber padatan terlarut total dapat

mencakup semua kation dan anion terlarut, sehingga dapat digunakan sebagai

generelisasi dari hubungan TDS untuk masalah kualitas air (Sarwadi, 2014). TDS

dipengaruhi oleh nilai kelarutan mineral yang berbeda dalam suatu daerah

geologi, seperti granit, pasir silika, dan bahan yang tidak terlarut lainnya (Putra,

2014). Berikut merupakan grafik TDS sungai Kranji pada bagian tengah hingga

hilir sungai :
TDS
75.8 75.7 maximum
75.6 2000
75.4
75.2
mg/L

75
74.7 TDS
74.8
74.6
74.4
74.2
Tengah Hilir
Stasiun

Grafik 5. Grafik TDS Sungai Kranji

Berdasarkan grafik di atas, nilai TDS sungai Kranji pada bagian tengah

dan hilir sungai secara berturut-turut yaitu 75,7 mg/L dan 74,7 mg/L. Nilai TDS

tertinggi sungai Kranji berada pada bagian tengah sungai yaitu sebesar 75,7

mg/L dan nilai terendah pada bagian hilir sungai yaitu sebesar 74,7 mg/L.

Disebabkan karena semakin ke daerah hilir berbagai aktivitas manusia semakin

banyak sehingga banyak limbah rumah tangga yang dibuang langsung ke

perairan kemudian menimbulkan pencemararan dan nilai TDS daerah hilir

semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Supiyati et.al. (2013) yang

menyatakan bahwa untuk TDS (total dissolved solids) banyak terdapat di daerah

hilir, karena daerah hilir banyak tumpukkan padatan atau zat-zat lain yang

dibawa dari daerah hulu ke muara sungai. Inayati (2013) juga berpendapat

bahwa kandungan TDS di hilir lebih tinggi dibandingkan dengan hulu dan

tengah, tingginya konsentrasi TDS ini disebabkan karena pencemaran yang

berasal dari limbah buangan industri dan padatan yang terbawa.

Nilai TDS sungai Kranji pada bagian tengah dan hilir sungai secara
berturut-turut yaitu 75,7 mg/L dan 74,7 mg/L. Standar baku mutu untuk TDS

yaitu PP RI No.82 Tahun 2001 yaitu 100-2000 mg/L, hal ini menandakan bahwa

rata-rata bagian Sungai Kranji masih dalam keadaan baik. Perubahan

konsentrasi TDS dapat berbahaya karena kepadatan air menentukan aliran air

masuk dan keluar dari sel – sel organisme. Jika konsentrasi TDS terlalu tinggi

atau terlalu rendah, pertumbuhan kehidupan air dapat dibatasi dan kematian

dapat terjadi (Sarwadi, 2014). Tinginya konsentrasi TDS juga dapat mengurangi

kejernihan air, memberikan penurunan secara signifikan pada proses

fotosintesis, serta gabungan dengan senyawa beracun dan logam berat, dan

menyebabkan peningkatan suhu air. (Sarwadi, 2014). Tingginya kandungan TDS

di dalam air juga mempengaruhi warna perairan (Sastrawijaya, 2000 dalam

Pujiastuti et.al., 2013).

4.1.6. DHL

Konduktivitas atau daya hantar listrik (DHL) merupakan ukuran dari

kemampuan larutan untuk menghantarkan arus listrik. Semakin banyak garam-

garam terlarut yang dapat terionisasi, semakin tinggi pula nilai DHL (Effendi,

2003 dalam Nicola, 2015). Secara umum, faktor yang lebih dominan dalam

perubahan konduktivitas air adalah temperatur. Untuk mengukur konduktivitas

digunakan konduktivitimeter. Berikut merupakan grafik DHL Sungai Kranji

pada bagian tengah dan hilir sungai yaitu :


DHL
120 112.7 112.7 maximum
2000
100
80
mg/L
60
D…
40
20
0
Tengah Hilir
Stasiun

Grafik 6. Grafik DHL Sungai Kranji

Berdasarkan grafik di atas, nilai DHL Sungai Kranji dari bagian tengah

dan hilir sungai yaitu 112,7 ηmhos dan 112,7 ηmhos. Nilai DHL stasiun tengah dan

hilir sama- sama tinggi yaitu sebesar 112,7 ηmhos. Nilai konduktivitas semakin

ke hilir nilainya akan semakin besar, disebabkan karena banyaknya kandungan

bahan-bahan organik maupun anorganik di dalam air yang dapat

menghantarkan listrik. Hal ini sesuai dengan pendapat Soraya (2014) yang

menyatakan tingginya daya hantar listrik menandakan banyaknya jenis bahan

organik dan mineral yang masuk sebagai limbah ke perairan. Tingginya nilai

DHL diperkirakan akibat ionisasi garam-garam terlarut dari aktivitas manusia.

Rahman et al., (2013) juga menjelaskan bahwa semakin banyak garam-garam

terlarut yang dapat terionisasi, semakin tinggi pula nilai DHL. Perbedaan

konduktivitas pada setiap stasiun juga dipengaruhi oleh komposisi, jumlah ion

terlarut dan suhu.

Sungai Kranji termasuk dalam kondisi DHL yang masih dalam tingkatan

standar. Standar baku mutu DHL menurut kepmen ESDM, yaitu 20-1.500 ηmhos.
Tetapi merujuk pada standar baku air yang ditulis oleh Pasisingi et al., 2014, hasil

penelitian DHL Sungai Kranji masih memenuhi standar baku kualitas air yaitu

pada kisaran 139-186 ηmhos. Dengan kondisi seperti ini Sungai Kranji masih

layak digunakan untuk kehidupan organisme. Hal ini sesuai dengan pernyatan

Sari (2013) yang menyatakan bahwa Konduktivitas air yang layak untuk

kehidupan organsme perairan yaitu dibawah 400 µs, jika melebihi 400 µs akan

membuat organisme atau makhluk hidup stress dan menyebabkan kematian.

Pujiastuti et.al. (2013) menyebutkan perairan sungai terdapat banyak partikel

maka daya hantar listrik tinggi. Selain itu, semakin banyak ion semakin besar

nilai konduktivitasnya (Nicola, 2015).

4.1.7. Penetrasi Cahaya

Ketersediaan produktivitas primer fitoplankton dalam perairan

bergantung pada cahaya yang membantu proses fotosintesis dan mendorong

fitoplankton menyediakan energi untuk organisme lainnya. Proses ini biasanya

terjadi di kedalaman sekitar 1% menembus cahaya (zona eufotik). Penetrasi

cahaya mengindikasikan banyaknya cahaya matahari yang masih dapat tembus

ke dalam suatu perairan. Faktor yang mempengaruhi penetrasi cahaya yaitu

diakibatkan oleh bahan-bahan yang melayang di air (Mustofa, 2015). Berikut

merupakan grafik penetrasi cahaya sungai Kranji dari bagian tengah dan hilir :
Penetrasi Cahaya
40 37 maximum
35
30 26.3
25
cm

20 Penetrasi…
15
10
5 minimum

0
Tengah Hilir
Stasiun

Grafik 7. Grafik Penetrasi Cahaya Sungai Kranji

Berdasarkan grafik di atas, nilai penetrasi cahaya Sungai Kranji dari

bagian tengah dan hilir secara berurutan yaitu 37 cm dan 26,3 cm. Nilai penetrasi

cahaya tertinggi berada pada bagian tengah sungai yaitu sebesar 37 cm, dan yang

terendah berada pada bagian hilir sungai yaitu sebesar 26,3 cm. Kecerahan air

sungai dipengaruhi oleh banyaknya materi tersuspensi yang ada di dalam air

sungai yang mengurangi masuknya sinar matahari ke sungai. Berdasarkan

praktikum yang dilakukan, kondisi arus pada bagian tengah sangat tinggi

sehingga material yang terlarut dalam air menimbulkan kecerahan yang tinggi

dan menyebabkan penetrasi cahanyanya juga semakin dalam. Sedangkan pada

daerah hilir memiliki arus yang sedikit tenang sehingga material yang terbawa

dari hulu dapat mengendap dengan baik dan menyebabkan tingkat kecerahan

rendah dengan penetrasi cahaya yang semakin rendah juga. Hal ini sesuai

dengan pendapat Soraya (2014) yang menyatakan bahwa tingkat kecerahan

daerah tengah lebih tinggi karena dipengaruhi yang oleh aktivitas industri dan

masyarakat disekitarnya. Adanya aktivitas tersebut diyakini berdampak besar


terhadap kondisi fisik dan kimia perairan, terutama akibat peningkatan

kandungan bahan organik dan anorganik perairan, yang juga mempengaruhi

tingkat kecerahannya. Farichi et. al., (2013) berpendapat, tingginya penetrasi

cahaya disebabkan karena sedikit partikel terlarut dan partikel tersuspensi

sehingga warna air lebih jernih. Berkaitan dengan kedalaman, pada daerah hilir

penetrasi cahaya cenderung lebih kecil, hal ini sesuai dengan pendapat

Pancawati et.al. (2014) yang menyatakan bahwa Parameter kecerahan berkaitan

erat dengan kedalaman perairan, karena semakin dalam perairan tersebut maka

intensitas cahaya matahari yang masuk akan semakin berkurang.

Nilai penetrasi cahaya Sungai Kranji dari bagian tengah, dan hilir secara

berurutan yaitu 37 cm dan 26,3 cm. Standar baku mutu menurut PP RI No.82

Tahun 2001 adalah 7-40 cm. Penetrasi cahaya pada bagian tengah dan hilir masih

berada dalam batas maksimum standar baku. Tingginya penetrasi cahaya yang

diperoleh mengindikasikan bahwa Sungai Kranji tidak terjadi kekeruhan.

Kekeruhan mempengaruhi penetrasi cahaya matahari yang masuk ke badan

perairan, sehingga dapat menghalangi proses fotosintesis dan produksi primer

perairan (Pujiastuti et.al., 2013).

4.1.8. Warna Air

Warna perairan ditimbulkan oleh adanya bahan organik dan bahan

anorganik, karena keberadaan plankton, humus, danion-ion logam (misalnya

besi dan mangan), serta bahan-bahan lain (Hefni Effendi, 2003 dalam Ramadhani,

2016). Warna air sungai berubah-ubah karena perubahan musim dan hujan dan

komposisi mineral. Warna air yang lebih hitam kaya akan alumunium dan bahan
organik dalam larutan, sedangkan air yang jernih kaya akan ion kalsium dan

kalium (Assomo, 2015).

Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan, Pengamatan warna

perairan dilakukan dengan mata telanjang. Pada bagian tengah didapatkan

warna air hijau kecoklatan, sedangkan pada hilir sungai didapatkan warna air

coklat. Menurut Menkes Nomor 492 Tahun 2010, persyaratan kualitas air minum

warna air yang diperbolehkan yaitu dibawah 15 TCU dan tidak berwarna.

Menurut Sastrawijaya (2000) dalam Pujiastuti et.al. (2013), warna air memiliki

hubungan dengan kualitas perairan. Dalam jumlah yang banyak, fitoplankton

akan menyebabkan air kelihatan berwarna (Mustofa, 2015). Warna perairan

dipengaruhi oleh adanya padatan terlarut dan padatan tersuspensi. Warna air

keruh disebabkan karena banyaknya aktifitas buangan di sekitar perairan

(Gusmaweti, 2015).

4.1.9. Bau Air

Bau merupakan petunjuk adanya pembusukan air limbah. Limbah cair

industri berpotensi mengandung senyawa berbau ataupun senyawa yang

potensial menghasilkan bau selama proses pengolahan limbah cair. Pada

perairan yang tidak tercemar tidak akan ada bau yang menyengat (Asmadi dan

Suharno, 2012 dalam Ramadhani, 2016).

Berdasarkan hasil pengamatan, pada stasiun tengah dan hilir tidak

berbau. Persoalan bau di perairan secara umum disebabkan empat penyebab:

rendahnya tingkat kandungan oksigen menyebabkan kondisi anaerob, beberapa

tipe alga, polusi kimia dan kondisi geologi. Peningkatan tingkat kandungan
oksigen dan berputarnya air kaya oksigen di dalam air, serta kondisi anaerob

dapat diminimalkan dan gas bau dapat dihilangkan dari air (Putra, 2014).

Menurut Menkes Nomor 492 Tahun 2010, persyaratan kualitas air minum

bau air yang diperbolehkan yaitu tidak berbau dan tidak berasa. Sungai Kranji

memiliki perairan yang tidak berbau, yang berarti memenuhi stardar baku bau

pada perairan. Perairan yang memancarkan bau terjadi karena adanya degradasi

biologis. Hal ini sesuai dengan pendapat Ramadhani (2016) yang menyatakan

bahwa bau merupakan petunjuk adanya pembusukan air limbah. Munculnya

bau busuk yang sangat menyengat, telah terjadi pemasukan bahan pencemar

yang menyebabkan reaksi pelepasan gas yang berasal dari proses dekomposisi,

oksidasi, maupun gas dari kandungan senyawa kimia dari limbah itu sendiri

(Mustofa, 2015. Bau dapat ditimbulkan oleh pembusukan zat organik seperti

bakteri oleh mikroorganisme air serta kemungkinan akibat tidak langsung dari

pencemaran lingkungan, terutama sistem sanitasi (Pujiastuti et.al., 2013).

4.1.10. Tipe Substrat

Substrat dipengaruhi oleh kecepatan arus yang mengalir pada sungai

tersebut. Pada bagian sungai yang berarus relatif cepat, komposisi substratnya

berupa batu-batuan, kerikil dan pasir kasar. Sedangkan sungai yang berarus

relatif lambat cenderung pasir halus, lumpur, sampai liat (Pancawati dkk, 2014).

Pengendapan partikel lumpur di dasar perairan tergantung pada kecepatan arus,

apabila arus lemah maka yang akan mengendap adalah lumpur halus (Odum,

1971 dalam Fisesa, 2014).

Berdasarkan pengamatan, tipe substrat sungai bagian tengah adalah pasir


berbatu dengan ukuran batu yang relatif besar. Sedangkan untuk sungai bagian

hilir pasir berbatu dengan batu yang relatif kecil. Hasil ini sesuai dengan standar

baku yang ditulis oleh Pasisingi et al., 2014 yang menyatakan bahwa tipe substrat

dasar yang baik adalah batu dan berpasir. Fernedy (2008) dalam Pamuji (2015)

yang mangatakan bahwa perairan dengan arus yang kuat akan mengendapkan

partikel dengan ukuran besar, sebaliknya perairan dengan arus yang lemah akan

mengendapkan partikel lumpur halus. Selain itu juga besar kecilnya laju

sedimentasi dipengaruhi oleh debit sungai karena debit sungai membawa suplai

sedimen menuju daerah muara sungai.

Faktor yang mempengaruhi tipe substrat adalah arus yang membawa

partikel partikel yang mengendap pada dasar perairan. Partikel tersebut

tersuspensi dan mengendap. Arus merupakan faktor utama yang

mengendalikan tipe substrat pada dasar perairan (pamuji, 2015).


V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan praktikum yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa :

1. Parameter fisik perairan untuk uji kualitas perairan lotik meliputi suhu,

kecepatan arus, debit air, penetrasi cahaya, kedalaman, kekeruhan, TDS,

konduktivitas, warna, dan bau perairan. Nilai parameter fisik dari tiap bagian

sungai tengah, dan hilir secara berurutan yaitu, Suhu (25,670C dan 25,170C),

kecepatan arus (1,74 m/s, dan 1,05 m/s), debit air (4,485 m3/s dan 2,446

m3/s), TDS (75,7 mg/L dan 74,4 mg/L), kekeruhan (19,15 NTU dan 21,7

NTU), DHL (112,7 ηmhos dan 112,7 ηmhos), penetrasi cahaya ( 37 cm dan

26,3 cm), warna air (hijau kecoklatan, coklat), dan bau air (tidak berbau, tidak

berbau).

2. Faktor yang mempengaruhi parameter fisika yaitu pada suhu yaitu musim,

lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara,

penutupan awan, dan aliran, serta kedalaman badan air, sedangkan pada

kecepatan arus, dipengaruhi oleh kemiringan sungai dan lebar permukaan

sungai sangat berpengaruh terhadap kecepatan aliran sungai, sehingga

material yang terangkut oleh aliran sungai akan bertambah besar dengan

adanya hasil pengikisan material dasar sungai ataupun material tebing-

tebing sungai, jika nilai kemiringan sungai makin besar maka kecepatan arus

pun semakin besar. Faktor yang mempengaruhi nilai debit air yaitu hujan,

topografi, geologi, keadaan tumbuhan dan manusia. Faktor yang


berpengaruh lain adalah tentang pendangkalan. Semakin sungai/selokan

dangkal maka pergerakan semaikin lambat, debit besar atau kecil disebabkan

karena lebar, kedalaman, dan kecepatan arus. Faktor yang mempengaruhi

penetrasi cahaya yaitu, karena sedikit partikel terlarut dan partikel

tersuspensi sehingga warna air lebih jernih dan kedalaman suatu perairan,

sedangkan untuk parameter fisik kekeruhan disebabkan oleh bahan organik

dan anorganik baik tersuspensi maupun terlarut seperti lumpur, pasir, bahan

organik seperti plankton dan mikroorganisme lainnya dan akibat dari hujan,

TDS dipengaruhi karena kecerahan dan hujan, konduktivitas dipengaruhi

oleh konsentrasi ion didalam larutan, semakin banyak ion semakin besar nilai

konduktivitasnya, warna perairan dipengaruhi oleh adanya padatan terlarut,

padatan tersuspensi dan karena adanya algae dalam perairan. Parameter fisik

bau perairan disebabkan oleh empat penyebab, antara lain rendahnya tingkat

kandungan oksigen menyebabkan kondisi anaerob, beberapa tipe alga,

polusi kimia dan kondisi geologi, dan yang terakhir parameter yang

mempengaruhi tipe substrat yaitu kecepatan arus yang mengalir pada sungai

tersebut.

5.2. Saran

Untuk praktikum selanjutnya sebaiknya dalam pengambilan dan

pengukuran sampel lebih teliti lagi agar data yang diperoleh maksimal.
DAFTAR PUSTAKA

Agustira, Riyanda dkk. 2013. Kajian Karakteristik Kimia Air, Fisika, dan Debit
Sungai pada Kawasan DAS Padang Akibat Pembuangan Limbah
Tapioka. Jurnal Online Agroekoteknologi, 1 (3): 615-625.

Assomo, Samba. 2015. An Explanation of thr Black Color of River Nyong Water’s
and Associated Alluviums (Cameroon). International Journal of
Geosciences, 6 (2): 388-392.

Astuti, Chatarina Rifki. 2015. Keanekaragaman Spesies dan Distribusi


Longitudinal Ikan di Sungai Kreo Semarang Sehubungan dengan Air
Lindi TPA Jatibarang Semarang. Universitas Negeri Semarang.
Semarang.

Barus, Susanti L., Yunasfi., dan Suryanti, A. 2013. Keanekaragaman dan


kelimpahan Perifiton di Perairan Sungai Deli Sumatera Utara. Artikel.
Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Pertanian,
Universitas Sumatera Utara. Medan.

Djumanto., Namasta Probudunu., Rudy Ifriansyah. 2013. Indek Biotik Famili


Sebagai Indikator Kualitas Air Sungai Gajahwong Yogyakarta. Jurnal
Perikanan. Jurusan Perikanan. Fakultas Pertanian Universitas Gajah
Mada. Yogyakarta, 15 (1) : 26-34.

Effendi, H. 2000. Telaahan Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya Dan


Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan. Konsius. Yogyakarta.

Effendi, Hefni., Bagus, Amalrullah Utomo., Giri, Maruto Darmawangsa., Rebo,


Elfida Karo-Karo. 2015. Fitoremediasi Limbah Budidaya Ikan Lele (Clarias
sp.) Dengan Kangkung (Ipomoea aquatica) dan Pakcoy (Brassica rapa
chinensis) Dalam Sistem Resirkulasi. Ecolab, 9 (2): 47 – 104.
Farichi, A., Bambang, S., dan Liliya, D.S. 2013. Analisa Kualitas Perairan Sungai
Klinter Nganjuk berdasarkan Indeks Diversitas dan Saprobik Plankton.
Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem, 1 (2): 1-12.

Fisesa,Erni Dian., Isdradjad, Setyobudiandi., Majariana, Krisanti. 2014. Kondisi


Perairan Dan Struktur Komunitas Makrozoobentos Di Sungai Belumai
Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara. Depik, 3 (1) : 1-9.

Gallegos, C. L. 2005. Optical Water Quality of a Blackwater River Estuary: the


Lower St. Johns River, Florida, USA. Estuarine, Coastal and Shelf Science, 3
(4) : 57-72.

Gusmaweti & Lisa Deswanti. 2015. Analisis Parameter Fisika-Kimia sebagai Salah
Satu Penentu Kualitas Perairan Batang Palangki Kabupaten Sijunjung,
Sumatera Barat. Sumatera Utara.

Hawkes. 1975. River Zonation and Classification in River Ecology . 312-373 p.

Inayati, R., dan Suhadi. 2013 Studi Kandungan TDS, BOD, COD, dan Amonia
pada Air Tanah Dangkal di Desa Gebangmalang Kecamatan Mojoayar
Kabupaten Mojokerto. Jurnal UNESA, 2 (3): 16-22.

Irawadi., dan Ariwibowo, M.L. 2018. Peran Kelembagaan Formaspesung Dalam


Restorasi Sungai Kranji Purwokerto. Prosiding Seminar Nasional Geografi
UMS IX 2018. ISBN: 978-602-361-137-9.

Irawan, Aditya., dan Sari, Lily, Inderia. 2013. Karakteristik Distribusi Horizontal
Parameter Fisika-Kimia Perairan Permukaan Di Pesisir Bagian Timur
Balikpapan. Jurnal Ilmu Perikanan Tropis, 18 (2) : 21 – 27.

Jukri, Muhammad, Emiyarti., dan Kamri, Syamsul. 2013. Keanekaragaman Jenis


Ikan di Sungai Lamunde Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka
Provinsi Sulawesi Tenggara . Jurnal Mina Laut Indonesia, 1 (1): 23-37.

Kurniadi, Bambang., Sigid, Hariyadi., Enam, Mulyana. 2015. Kualitas Perairan


Sungai Buaya di Pulau Bunyu Kalimantan Utara pada Kondisi Pasang
Surut. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. Bogor, 20 (1) : 53-58.
Kutty, M.N., Murugaboopathy G., Krishnan T.S. 1968. Influence of Salinity and
Temperature on The Oxygen Consumtion in Young Juveniles of The
Universitas Sumatera Utara Indian Prawn Penaeus indicus. Springer Journal:
Marine Biology, 11 (2): 125-131.

Mustofa, A. 2015. Kandungan Nitrat dan Pospat sebagai Faktor Tingkat


Kesuburan Perairan Pantai. Jurnal DISPORTEK, 6 (1): 13-19.

Neno, A. K., Herman Harijanto., Abdul Wahid. 2016. Hubungan Debit Air Dan
Tinggi Muka Air Di Sungai Lambagu Kecamatan Tawaeli Kota Palu.
Jurnal Warta Rimba, 4 (2): 1-8.

Nicola, Findra. 2015. Hubungan Antara Konduktivitas, TDS (Total Dissolved Solid)
Dan TSS (Total Suspended Solid) Dengan Kadar Fe dan Fe Total Pada Air Sumur
Gali. Skripsi. Fakultas Matematikan dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Universitas Jember, Jember. 30 hal.

Nuzula N. I., dan Endarko. 2013. Perancangan dan Pembuatan Alat Ukur
Kekeruhan Air Berbasis Mikrokotroler ATMega 8535. Jurnal Sains dan
Seni Pomits, 2 (1) : 1-5.

Odum, E. P. 1971. Dasar-dasar Ekologi. Diterjemahkan dari Fundamental of Ecology


oleh T. Samingan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Pahriansyah., Rita Tahir., Farouk Macicar. 2016. Studi Pengaruh Kecepatan Arus
Akibat Pasang Surut Di Muara Sungai Jeneberang. Jurnal Tugas Akhir.
Jurusan Teknik Sipil. Universitas Hassanudin. Makasar.

Pancawati, Dika Nugraini.., Suprapto., dan Purnomo. 2014. Karakteristik Fisika


Kimia Perairan Habitat Bivalvia di Sungai Wiso Jepara. Diponegoro
Journal of Maquares, 3 (4): 141-146.

Passingi, Nuralim., Niken Pratiwi., Majariana T. M. K. 2014. Water Quality Of


The Cileungsi River Upstream Based On Physical-Chemical Conditions.
Depik, 3 (1): 56-64.
Patil. P.N, Sawant. D.V, Deshmukh. R.N. 2012. Physico-Chemical Parameters For
Testing Of Water – A Review. International Journal Of Environmental Sciences,
3 (3): 60-77.

Pujiastuti, Peni., Bagus, Ismail., dan Pranoto. 2013. Kualitas dan Beban Pencemar
Perairan Waduk Gajah Mungkur. Jurnal Ekosains, 5 (1): 59 – 66.

Putra, Ady Syaf. 2014. Analisis Distribusi Kecepatan Aliran Sungai Musi (Ruas
Sungai : Pulau Kemaro Sampai Dengan Muara Sungai Komering). Jurnal
Teknik Sipil dan Lingkungan. Jurusan Teknik Sipil Universitas Sriwijaya, 2
(3) : 604-608.

Rahman, A., Kresna, D.M., dan Anni, N. 2013. Analisis Kandungan Merkuri (Hg)
pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus L.) Budidaya Keramba di Sekitar
Waduk Riam Kanan Kecamatan Aranio. Bioscientiae, 10 (1): 125-140.

Ramadhani, Endi. 2016. Analisis Pencemaran Kualitas Air Sungai Bengawan Solo
Akibat Limbah Industri Di Kecamatan Kebakkramat Kabupaten
Karanganyar. Publiksasi Karya Ilmiah. Fakultas Geografi Universitas
Muhammadiyah Surakarta.

Rokhmani., Riwidiharso, Edy., Darsono., Utami, Prasetyarti. 2019. Variasi


morfologi, prevalensi dan intensitas Trichodina spp. pada ikan hasil
tangkapan di Sungai Kranji Purwokerto, Jawa Tengah. PROS SEM NAS
MASY BIODIV INDON, 5 (2): 312-315.

Samsundari, Sri., dan Ganjar, Adhy Wirawan. 2013. Analisis Penerapan Biofilter
Dalam Sistem Resirkulasi Terhadap Mutu Kualitas Air Budidaya Ikan
Sidat (Anguilla Bicolor). Jurnal Gamma, 8 (2): 86-97.

Sarwadi., dan P. Ardian. 2014. Pengaruh Konsentrasi Arang Ampas Tebu


terhadap Daya Serapnya pada Limbah Cair Kelapa Sawit. Jurnal Fisika
Unand, 3 (3): 128-135.

Sinambela, Masdiana., dan Mariyati, Sipayung. 2015. Makrozoobentos Dengan


Parameter Fisika Dan Kimia Di Perairan Sungai Babura Kabupaten Deli
Serdang. Jurnal Biosains, 1 (2): 24-30.
Siregar, A. S. Toni., dan P. S. Setijanto. 2001. Studi Ekologi Fauna Benthik
(Macrobrachidium) di Sungai Banjaran, Pelus, dan Logawa, Kabupaten
Banyumas. Biosfera, 19 (1).

Soraya, Z. Hanafiah., dan Y. Windusari. 2014 Analisis Fisik Kimia Perairan untuk
Mendeteksi Kualitas Perairan Sungai Rambang Kabupaten Ogan Ilir
Sumatra Selatan. Biospecies, 7 (2) : 43-46.

Supiyati., Halaluddin., Gandika, Ariyanti. 2013. Karakteristik dan Kualitas Air di


Muara Sungai Hitam Provinsi Bengkulu dengan Software Som Toolbox
2. Junal Ilmu Fisika Indonesia, 1 (2) : 67-72.

Susanto., dan Novitasari, Dwi Isma. 2017. Struktur Umur dan Faktor Kondisi
Ikan di Sungai Logawa Wilayah Kabupaten Banyumas. SAINTEKS, 14
(1): 1 – 10.

Triatmojo, Bambang. 2008. Hidrologi Terapan. Beta Offset. Yogyakarta.

Tumurang, Kenet S. W., Tamod, Zetly., Theffie, Karamoy Lientje., Sinolungan,


Meldy. 2015. Karakteristik Muara Sungai Malalayang Yang Berdampak
Pada Bantaran Banjir. COCOS, 3 (4): 1-9

Yuliastuti, Etik. 2011. Kajian Kualitas Air Sungai Ngringo Karanganyar dalam
Upaya Pengendalian Pencemaran Air. Tesis. Universitas Diponegoro.
Semarang.
LAMPIRAN

Lampiran 1

Perhitungan

1. Penetrasi Cahaya Total luas penampang:


Diketahui: A = I + II + III+ IV + V + VI + VII + VIII
Stasiun Tengah + IX + X + XI + XII
1. Tepi = 250 cm + 750 cm + 1.325 cm +
X1= 10 cm 2.075 cm + 2.300 cm + 2.550 cm +
X2 = 0 cm 3.600 cm + 3.650 cm + 3.050 cm +
2. Tengah 3.000 + 2.950 cm + 279 cm
X1 = 84 cm = 25779 cm2
X2 = 40 cm = 2,5779 m2
3. Tepi V = 1,74 m/s
X1 = 50 cm 𝐷 =𝑉 ×𝐴
X2 = 38 cm Keterangan :
Stasiun Hilir D = Debit Air (m3/dtk)
1. Tepi V= Kecepatan arus (m/dtk)
X1 = 80 cm A= Luas penampang saluran (m2)
X2 = 0 cm D = 1,74 m/s × 2,5779 m2
2. Tengah = 4,4855 m3/s
X1 = 20 cm
X2 = 10 cm Stasiun Hilir
3. Tepi A = luas penampang saluran air (m2)
X1 = 88 cm I=
axt
=
50x8
= 200 cm
2 2
X2 = 32 cm (𝑎+𝑏)×50
II = 2
Ditanya: Penetrasi Cahaya Stasiun Tengah, (8+5)x50
= = 325 cm
2
dan Hilir (𝑎+𝑏)×50
III = 2
(5+4)x50
= = 225 cm
2
(𝑎+𝑏)×50
Dijawab: IV = 2
(4+1)x50
= = 125 cm
2
R Rumus : V = P x L = 50 x 1 = 50 cm
𝑥1+𝑥2
PC = (𝑎+𝑏)×50
2 VI = 2
PC = Penetrasi cahaya (cm) (1+12)x50
= = 325 cm
2
X1 = Pembacaan Secchidisc awal tidak
(𝑎+𝑏)×50
VII =
terlihat (m) 2
(12+20)x50
X2 = Pembacaan Secchidisc awal = = 550 cm
2
terlihat (m) (𝑎+𝑏)×50
VIII = 2
(20+22)x50
= = 1.050 cm
Stasiun Tengah 2
(𝑎+𝑏)×50
Tepi IX = 2

Diket : X1 = 10 cm =
(22+30)x50
= 1.375 cm
2
X2 = 0 cm (𝑎+𝑏)×50
X=
(X1)+(X2) 2
PC tepi = (30+50)x50
2
= = 2.000 cm
10 + 0 2
= (𝑎+𝑏)×50
2
XI = 2
= 5 cm
(50+55)x50
Tengah = 2
= 2.625 cm
(𝑎+𝑏)×50
Diket : X1 = 84 cm XII = 2
X2 = 40 cm (55+65)x50
= = 3.000 cm
2
(X1)+(X2)
PC tengah = (𝑎+𝑏)×50
2 XIII = 2
84 + 40
= (65+70)x50
2
= = 3.375 cm
2
= 62 cm
(𝑎+𝑏)×50
XIV =
Tepi 2
(70+85)x50
Diket : X1 = 50 cm = = 3.875 cm
2

X2 = 38 cm XV =
(𝑎+𝑏)×50
2
(X1)+(X2)
PC tepi = (85+88)x50
2 = 2
= 4.325 cm
=
50 + 38
Total luas penampang:
2

= 44 cm A = I + II + III+ IV + V + VI + VII + VIII +


IX + X + XI + XII + XIII + XIV + XV

tepi+tengah+tepi = 200 cm + 325 cm + 225 cm + 125 cm


PC rata2 = 3
+ 50 cm + 325 cm + 550 cm + 1.050 cm
5 + 62+44
= 3 + 1.375 cm + 2.000 cm + 2.625 cm +
= 37 cm 3.000 cm + 3.375 cm + 3.875 cm +
Stasiun Hilir 4.325 cm
Tepi = 23.300 cm2
Diket : X1 = 8 cm = 2,33 m2
X2 = 0 cm V = 1,05 m/s
𝐷 =𝑉 ×𝐴
(X1)+(X2)
PC tepi = Keterangan :
2

=
8+0 D = Debit Air (m3/dtk)
2
V= Kecepatan arus (m/dtk)
= 4 cm
A= Luas penampang saluran (m2)
Tengah
D = 1,05 m/s × 2,33 m2
Diket : X1 = 20 cm
= 2,4465 m3/s
X2 = 10 cm
(X1)+(X2) 5. TDS
PC tengah = 2

20 + 10 Diketahui;
=
2 - Stasiun Tengah
= 15 cm Tepi = 76 mg/L
Tengah = 76 mg/L
Tepi Tepi = 75 mg/L
Diket : X1 = 88 cm - Stasiun Hilir
X2 = 32 cm Tepi = 85 mg/L
(X1)+(X2)
PC tepi = Tengah = 56 mg/L
2

=
88+32 Tepi = 83 mg/L
2
Ditanya:
= 60 cm
tepi+tengah+tepi TDS Stasiun Tengah, dan Hilir
PC rata2 =
3
4 + 15 + 60
=
3
= 26,3 cm
2. Suhu Dijawab:

Diketahui: Stasiun Tengah


- Stasiun Tengah 1. 76 mg/L
1. Tepi = 26 0C
2. 76 mg/L
2. Tengah = 26 0C
3. Tepi = 25 0C 3. 75 mg/L
- Stasiun Hilir
Rata − rata TDS stasiun Tengah
1. Tepi = 25,5 0C
76 + 76 + 75
=
2. Tengah = 25 0C 3
3. Tepi = 25 0C Rata-rata =
75,7 mg/L
Ditanya: Suhu Stasiu Tengah, dan Hilir
Stasiun Hilir
Dijawab: 1. 85 mg/L
Stasiun Tengah
2. 56 mg/L

26+26+25
Suhu Rata − Rata S. Tengah = 3. 83 mg/L
3

= 25,67 0C
Rata − rata TDS stasiun Hilir
Stasiun Hilir
85 + 56 + 83
25,5 + 25 + 25 =
Suhu Rata − Rata S. Hilir = 3
3
Rata-rata = 74,6mg/L
= 25, 17 0C
3. Kecepatan Arus 6. Kekeruhan

- Diketahui: Diketahui:
- Stasiun Tengah - Stasiun Tengah
1. Tepi Tepi = 19,07 NTU
Jarak (s) = 10 m Tengah = 19,58 NTU
Waktu (t) = 5,78 s Tepi = 18,80 NTU
2. Tengah - Stasiun Hilir
Jarak (s) = 10 m Tepi = 21,68 NTU
Waktu (t) = 5, 62 s Tengah = 21,81 NTU
3. Tepi Tepi = 21,63 NTU
Jarak (s) = 10 m Ditanya:
Waktu (t) = 5,74 s Kekeruhan Stasiun Tengah, dan
- Stasiun hilir Hilir?
1. Tepi Dijawab:
Jarak (s) = 10 m Stasiun Tengah
19,07+19,58+18,80
Waktu (t) = 9,7 s Rata – Rata Kekeruhan = 3
2. Tengah = 19,15 NTU
Jarak (s) = 10 m Stasiun Hilir
Waktu (t) = 9,4 s Rata – Rata Kekeruhan =
21,68+21,81+21,63
3
3. Tepi
= 21,70 NTU
Jarak (s) = 10 m
7. DHL
Waktu (t) = 9,4 s
Diketahui:
Ditanya: Kecepatan Arus Stasiun
- Stasiun Tengah
Tengah, dan Hilir
Tepi = 112 ηmhos
Dijawab:
𝑠 Tengah = 114 ηmhos
𝑣=
𝑡 Tepi = 112 ηmhos
Keterangan : - Stasiun Hilir
v = Kecepatan arus (m/s) Tepi = 127 ηmhos
s = Jarak (m) Tengah = 85 ηmhos
t = Waktu (s) Tepi = 126 ηmhos
Stasiun Tengah Ditanya:
10
Ulangan 1 = 5,78 = 1,73 m/s DHL Stasiun Tengah, dan Hilir ?
10
Ulangan 2 = 5,62 = 1,77 m/s Dijawab:
10
Ulangan 3 = 5,74 = 1,74 m/s Stasiun Tengah
Tepi + Tengah + Tepi
DHL Rata − Rata =
3
1,73 + 1,77 + 1,74 112 + 114 + 112
V rata − rata = = 1,74 m/s DHL Rata − Rata =
3 3
Stasiun Hilir = 112,7 µmhos/cm
10
Ulangan 1 = 9,7 = 1,03 m/s Stasiun Hilir

10 Tepi + Tengah + Tepi


Ulangan 2 = 9,4 = 1,06 m/s DHL Rata − Rata =
3
10
Ulangan 3 = 9,4 = 1,06 m/s 127 + 85 + 126
DHL Rata − Rata =
3
= 112,7
1,03 + 1,06 + 1,06 µmhos/cm
V rata − rata =
3
= 1,05 m/s

4. Debit
Diketahui:
- Stasiun Tengah
A = 25.779 cm = 2,5779 m2
V = 1,74 m/s
- Stasiun Hilir
A = 23.300 cm = 2,33 m2
V = 1,05 m/s

Ditanya: Debit Air Stasiun Tengah, dan


Hilir

Dijawab:
Stasiun Tengah
axt 50x10
I= = = 250 cm
2 2
(𝑎+𝑏)×50
II = 2
(10+20)x50
= = 750 cm
2
(𝑎+𝑏)×50
III = 2
(20+33)x50
= = 1.325 cm
2
(𝑎+𝑏)×50
IV = 2
(33+50)x50
= = 2.075 cm
2
(𝑎+𝑏)×50
V = 2
(50+42)x50
= = 2.300 cm
2
(𝑎+𝑏)×50
VI = 2
(42+60)x50
= = 2.550 cm
2
(𝑎+𝑏)×50
VII = 2
(60+84)x50
= = 3.600 cm
2
(𝑎+𝑏)×50
VIII= 2
(84+62)x50
= = 3.650 cm
2
(𝑎+𝑏)×50
IX = 2
(62+60)x50
= = 3.050 cm
2

X = P × L = 60x50 = 3.000 cm
(𝑎+𝑏)×50
XI = 2
(60+58)x50
= = 2.950 cm
2
(𝑎+𝑏)×50
XII = 2
(58+10)x50
= = 279 cm
2

Penampang Kedalaman Sungai Kranji Stasiun Tengah


Kedalaman Sungai Kranji StasiunTengah
0

20

40 Penampang
Kedalaman
60
Sungai Kranji
80 Stasiun Hilir
100
Kedalaman Sungai
Kedalaman SungaiKranji StasiunHilir
Kranji Stasiun Tengah
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100

Kedalaman Sungai Kranji Stasiun Hilir

Lampiran 2

Foto Kegiatan

Sungai Kranji Stasiun Hilir Sungai Kranji Stasiun Hilir


Sungai Kranji Stasiun Tengah
ACARA II

ANALISIS SIFAT KIMIA AIR DI SUNGAI KRANJI

Oleh :

Iswardhani Ariyanti

NIM. L1B017035

LAPORAN PRAKTIKUM LIMNOLOGI

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO

2019
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai

peran penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air.

Sebagai suatu ekosistem, perairan sungai mempunyai berbagai komponen biotik

dan abiotik yang saling berinteraksi membentuk suatu jalinan fungsional yang

saling mempengaruhi. Komponen pada ekosistem sungai akan terintegrasi satu

sama lainnya membentuk suatu aliran energi yang akan mendukung stabilitas

ekositem tersebut (Suwondo, 2004).

Air yang mengalir secara perlahan menurun pada ketinggian yang lebih

rendah. Selama transisi dari sungai yang alirannya cepat dan bergelombang ke

sungai yang tenang dan alirannya lambat, temperatur air cenderung meningkat,

oksigen terlarut menurun dan substrat sungai berubah dari berbatu menjadi

berlumpur (McNaughton, 1998). Menurut Sutrisno dan Suciastuti (2002),

persyaratan secara fisik meliputi air harus jernih, tidak berwarna, rasanya tawar,

tidak berbau, temperatur normal dan tidak mengandung zat padatan. Sungai

merupakan ekosistem yang sangat penting bagi manusia. Sungai memberikan

protein hewani seperti ikan dan udang. Sungai di beberapa tempat, misalnya di

Sumatera dan Kalimantan, dipergunakan penduduk sebagai prasarana

transportasi. Sungai juga menyediakan air bagi manusia baik untuk berbagai

kegiatan seperti pertanian, industri maupun domestik (Siahaan et al, 2011).

Karena banyak masuknya limbah organik dari buangan masyarakat

disekitar sungai, maka perlu dilakukan pengukuran parameter penting kimia


dalam dinamika Sungai Kranji seperti : (1) CO2 bebas, karena uuntuk mengetahui

bahan organik total di perairan sangat dipengaruhi oleh keterbukaan perairan

dari daerah sekitarnya, (2) pH, untuk mengetahui tingkat keasaman dan

kebasaan suatu perairan, (3) DO, karena oksigen terlarut berperan dalam proses

oksidasi dan reduksi bahan organik maupun anorganik. Suatu perairan yang

tingkat pencemarannya rendah dan dapat dikategorikan sebagai perairan yang

baik memiliki kadar oksigen terlarut, (4) BOD, untuk mengidentifikasi perairan

tercemar, makin besar kosentrasi BOD suatu perairan, menunjukan konsentrasi

bahan organik di dalam air juga tinggi. Makin besar kadar BOD nya, maka

merupakan indikasi bahwa perairan tersebut telah tercemar. (5) COD, untuk

mengidentifikasi tingkat pencemaran pada perairan, angka COD yang tinggi,

mengindikasikan semakin besar tingkat pencemaran yang terjadi.

1.2. Tujuan

Tujuan dari praktikum analisis sifat kimia air sungai Kranji yaitu untuk

mengetahui:

1. Untuk mengetahui parameter kimia pada Sungai Kranji.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi parameter kimia pada

Sungai Kranji.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sungai

2.1.1. Sungai

Sungai merupakan jalan air alami, mengalir menuju samudera, danau,

laut, atau kesungai yang lain. Pada beberapa kasus, sebuah sungai secara

sederhana mengalir meresap ke dalam tanah sebelum menemukan badan air

lainnya (Ahira, 2011) Kualitas air sungai mencakup tiga karakteristik, yaitu fisik,

kimia, dan biologi (Suripin, 2002). Sungai merupakan salah satu ekosistem

perairan darat yang aliran airnya satu arah dan akan mengalir dari dataran tinggi

menuju ke dataran rendah dan akan menuju suatu muara sungai. Sungai dapat

berperan sebagai sumber air untuk irigasi, habitat organisme perairan, kegiatan

perikanan, perumahan, dan sebagai daerah tangkapan air. Peran sungai yang

beragam seiring dengan berkembangnya aktivitas manusia di sekitar sungai

akan berdampak pada penurunan kualitas air (Kurniadi, 2015).

2.1.2. Sungai Kranji

Sungai Kranji merupakan sungai yang melintang di Jalan Jenderal

Soedirman Purwokerto atau tepatnya di sebelah barat SMP N 1 Purwokerto dan

masuk wilayah Kecamatan Purwokerto Timur. Sungai Kranji terletak pada

koordinat Latitude S 7° 24' 24" dan Longitude E 109° 14' 15". Sungai Kranji

merupakan salah satu anak Sungai Serayu yang alirannya melewati pemukiman

di tengah kota dan banyak dimanfaatkan sebagai saluran pembuangan limbah

dan berbagai keperluan lain (mandi, cuci dan kakus).

Sungai Kranji terletak tepat membelah Kota Purwokerto, Sub DAS Kranji
memiliki luas lebih dari 20 Km2. Secara kewilayahan berada di 6 (enam)

Kecamatan yaitu Kecamatan Patikraja, Kecamatan Baturraden, Kecamatan

Purwokerto Utara, Purwokerto Barat, Purwokerto Timur, dan Purwokerto

Selatan. Sungai utama Kranji memiliki panjang 9,4 Km dengan jumlah orde 1

(satu) sebanyak 13 buah, orde 2 (dua) sebanyak 7 buah, orde 3 (tiga) sebanyak 2

buah dan orde 4 (empat) sebanyak 1 buah. Saat ini Sungai Kranji mengalami

penurunan kualitas, baik dari sisi kualitas air maupun kuantitas air, disamping

secara morfologi sungai banyak mengalami kerusakan (Irawadi, 2018).

2.2. Parameter Kimia Sungai

2.2.1. pH (Derajat Keasaman)

Tingkat keasaman atau kekuatan asam (pH) termasuk parameter untuk

menentukan kualitas air. Organisme perairan dapat hidup ideal dalam kisaran

pH antara asam lemah sampai dengan basa lemah. Kondisi perairan yang

bersifat asam kuat ataupun basa kuat akan membahayakan kelangsungan hidup

biota, karena akan menggangu proses metabolisme dan respirasi. Pada

umumnya sebagian besar dari biota sensitif terhadap perubahan pH dan

menyukai pH sekitar 7 – 8,5 (Sinambela dan Mariaty, 2015). Derajat keasamaan

(pH) merupakan gambaran jumlah atau aktivitas ion hidrogen dalam perairan.

Secara umum nilai pH menggambarkan seberapa besar tingkat keasamaan atau

kebasaan suatu perairan. Perairan dengan nilai pH = 7 adalah netral, pH < 7

dikatakan kondisi perairan bersifat asam, sedangkan pH > 7 dikatakan kondisi

perairan bersifat basa. (Effendi, 2003 dalam Olivianti et al., 2016).

Air normal yang memenuhi syarat untuk suatu kehidupan mempunyai


pH sekitar 6,5-7,5. Air akan bersifat asam atau basa tergantung besar kecilnya

pH. Bila pH di bawah pH normal, maka air tersebut asam, sedangkan air yang

mempunyai pH di atas pH normal, bersifat basa. Air limbah dan bahan buangan

industri akan mengubah pH air yang akhirnya akan mengganggu kehidupan

organisme di dalam air (Wardhana, 2004 dalam Yuliastuti, 2011).

2.2.2. Oksigen Terlarut / DO

Oksigen terlarut atau dissolve oxygen sangat menetukan kehidupan biota

perairan. Oksigen merupakan akseptor elektron dalam reaksi respirasi, sehingga

banyak dibutuhkan oleh biota aerobik. Oksigen terlarut juga memegang peranan

penting sebagai indiktor kualitas perairan, karena oksigen terlarut berperan

dalam proses oksidasi dan reduksi bahan organik maupun anorganik. Suatu

perairan yang tingkat pencemarannya rendah dan dapat dikategorikan sebagai

perairan yang baik memiliki kadar oksigen terlarut (DO) > 5 ppm (Salmin, 2005

dalam Yuliastuti, 2011).

Parameter oksigen terlarut dapat digunakan sebagai indikator tingkat

kesegaran air (Sutriati dalam Ali et al., 2013). Oksigen memegang peranan penting

sebagai indikator kualitas perairan, karena oksigen terlarut berperan dalam

proses oksidasi dan reduksi bahan organik dan anorganik. Karena proses

oksidasi dan reduksi inilah maka peranan oksigen terlarut sangat penting untuk

membantu mengurangi beban pencemaran pada perairan secara alami (Salmin

dalam Ali et al., 2013).

2.2.3. CO2 Bebas

Istilah karbondioksida bebas digunakan untuk menjelaskan CO2 yang


terlarut dalam air, selain yang berada dalam bentuk terikat sebagai ion

bikarbonat dan ion karbonat. CO2 bebas menggambarkan keberadaan gas CO2 di

perairan yang membentuk kesetimbangan dengan CO2 di atmosfer (Effendi,

2003). Permukaan air biasanya mengandung CO2 bebas kurang dari 10 mg/L,

sedangkan pada dasar air konsentrasinya dapat lebih dari 10 mg/L. Keberadaan

bahan organik total di perairan sangat dipengaruhi oleh keterbukaan perairan

dari daerah sekitarnya (Barus, 2002).

Menurut Boyd dalam Fajri dan Kasry (2013), kandungan karbondioksida

yang terdapat di dalam perairan merupakan hasil proses difusi karbondioksida

dari udara dan proses respirasi organisme akuatik. Dasar perairan

karbondioksida juga dihasilkan dari proses dekomposisi. Asmawi dalam Fajri

dan Kasry (2013) menambahkan bahwa kandungan karbondioksida bebas di

perairan tidak boleh > 12 mg/l dan tidak boleh < 2 mg/l (Fajri dan Kasry, 2013).

2.2.4. BOD (Biological Oxygen Demand)

Biological Oxygen Demand adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan

mikroorganisme di dalam air untuk memecah (mendegredasi) bahan organic

yang ada di dalam peraira tersebut. Jumlah mikroorganisme dalam lingkungan

bergantung pada tingkat kebersihan lingkungan. Kadar oksigen biokimia (BOD)

dalam air yang tingkat pencemarannya masih rendah dan dapat dikategorikan

sebagai perairan yang baik berkisar 0 – 1- ppm (Salmin, 2005 dalam Yuliastuti,

2011).

BOD adalah jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh bakteri

pengurai untuk menguraikan bahan pencemar organik dalam air. Makin besar
kosentrasi BOD suatu perairan, menunjukan konsentrasi bahan organik di dalam

air juga tinggi.Makin besar kadar BOD nya, maka merupakan indikasi bahwa

perairan tersebut telah tercemar (Yudo dalam Ali et al., 2013). Menurut Nisa et al.,

(2015) bahwa tingginya kadar BOD5 dikarenakan banyaknya bahan organik yang

dapat diurai oleh mikroorganisme dalam proses dekomposisi. Bahan organik ini

berasal dari limbah dan aktifitas masyarakat serta lingkungan sekitar seperti

perkebunan yang masuk kedalam perairan. Menurut baku mutu (PP No. 82

tahun 2001 Kelas III), nilai BOD yang diperbolehkan adalah ≤ 6 mg/l (Effendi et

al., 2013).

2.2.5. COD (Chemical Oxygen Demand)

Chemical Oxygen Demand adalah jumlah oksigen yang diperlukan agar

bahan buangan yang ada di dalam air dapat teroksidasi melalui reaksi kimia.

Bahan buangan organik tersebut akan dioksidasi oleh kalium bikromat yang

digunakan sebagai sumber oksigen (oxidizing agent) menjadi gas CO2 dan gas

H2O serta sejumlah ion krom. Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar

biasanya kurang dari 20 mg/L, sedangkan pada perairan yang tercemar lebih

dari 200 mg/L, dan pada limbah inustri dapat mencapai 60.000 mg/L (Warlina,

2004 dalam Yuliastuti, 2011).

COD adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi

bahan-bahan organik secara kimia (Yudo dalam Ali et al., 2013). Chemical Oxygen

Demand (COD) atau kebutuhan oksigen kimia (KOK) adalah jumlah oksigen

(MgO2) yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organik yang ada dalam

sampel air atau banyaknya oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat
organik menjadi CO2 dan H2O (Hariyadi dalam Gazali et al., 2013). Angka COD

yang tinggi, mengindikasikan semakin besar tingkat pencemaran yang terjadi

(Yudo dalam Ali et al., 2013).


III. MATERI DAN METODE

3.1. Materi

3.1.1. Alat

Tabel 1. Alat praktikum

Ukuran/
No Nama alat Merek Fungsi
jumlah

Mengambil sampel air


Pyrex
1 Botol winkler 3 (250ml) dari lingkungan
Iwaki
perairan

Pyrex
2 Buret dan Statif 4 Melakukan titrasi
Iwaki

Labu Pyerx Menyimpan sampel air


3 3
enlenmeyer Iwaki yang mau dititrasi

Menambahkan sampel
Pyerx
4 Pipet tetes 3 air ke dalam labu
Iwaki
enlemeyer

Gelas ukur 100 Pyerx Mengukur air sampel


5 1
ml Iwaki yang akan diukur

Mengikubasi sampel

6 Inkubator 1 Memert BOD

selama 5 hari dengan


suhu 20o C

Penangas air/ Memanaskan sampel


7 1
kompor COD

Lutron Mengukur pH air


8 pH meter 1
pH 208 sampel

3.1.2. Bahan

Tabel 2. Bahan praktikum

Ukuran/
No Nama bahan Merek Fungsi
jumlah

6 botol
1 Sampel air Aqua Sampel yang akan dianalisis
sampel

2 Larutan MnSO4 1 mL Mengendapkan O2

3 Larutan KOH-KI 1 mL Mengikat O2

Larutan untuk titrasi DO dan


4 Larutan Na2 S2 O3 0,025 N
BOD

5 Larutan H2 SO4 4N Menghilangkan endapan

Larutan untuk titrasi pada


6 Larutan Na2 CO3 0,01 N
pengukuran CO2 bebas

7 Larutas asam oksalat 10 mL Indikator perubahan warna

8 Larutan KMnO4 0,01 N Larutan untuk titrasi pada


pengukuran COD

5% Indikator warna pada


9 Indikator amilum
(10 tetes) pengukuran DO dan BOD

Indikator Indikator warna pada


10 10 tetes
phenolpthalein pengukuran CO2 bebas

Mengencerkan sample air pada


11 Akuades
pengukuran COD dan BOD

12 Larutan buffer pH 7,0 1 Kalibrasi pH meter

3.2. Metode

3.2.1. pH

Penentuan pH dengan menggunakan pH meter. Sampel air yang telah

diambil dimasukkan kedalam botol pada pH meter untuk mengetahui nilai pH.

3.2.2. DO

Pengukuran O2 dilakukan secara In-situ yaitu dilakukan langsung di

lokasi pengambilan sampel. Sampel air diambil dengan botol Winkler 250 ml

secara perlahan supaya tidak ada gelembung udara yang masuk dengan cara

dimiringkan dan digoyangkan agar gelembung udara keluar. Saat sampel

hampir penuh, perlahan-lahan tegakkan botol Winkler. Bolak-balik botol

Winkler dalam air kemudian tutup dengan rapat saat botol masih di dalam air.

Selanjutnya, sampel diikat O2 nya dengan larutan KOH-KI dan MnSO4 masing-

masing 1 ml. Sampel yang didapat ditambahkan 1 ml larutan MnSO4 dan 1 ml

larutan KOH-KI dengan bantuan pipet tetes. Botol sampel kemudian ditutup
dengan hati-hati agar udara tidak masuk ke dalam botol dan bolak-balik minimal

15 kali dan diamkan selama 2 menit sampai terjadi endapan coklat atau cairan

supernatan tampak jernih. Selanjutnya, tambahkan larutan H2SO4 pekat 1 ml,

tutup kembali botol dan dikocok sampai semua endapan larut dan bewarna

kuning kecoklatan. Ambil sebanyak 100 ml dengan gelas ukur dan masukkan ke

dalam labu Erlenmeyer. Tambahkan indikator amilum sebanyak 3 tetes hingga

berwarna biru. Titrasi dengan larutan Na2S2O3 0,025 N dan kocok hingga

tercampur merata sampai terjadi perubahan warna larutan dari coklat menjadi

kuning muda.Titrasi dilanjutkan kembali sampai warna biru tepat hilang.

Tambahkan titran satu tetes jika titik akhir tercapai. Volume titrasi yang

digunakan dicatat. Nilai DO dihitung dengan rumus :

1000
Oksigen terlarut = xpxqx8
100
Keterangan :

p = volume larutan Na2S2O3

q= normalitas larutan

8 = bobot setara larutan

3.2.3. CO2 Bebas

Sampel air diambil dengan botol Winkler 250 ml secara perlahan supaya

tidak ada gelembung udara yang masuk dengan cara dimiringkan. Saat sampel

hampir penuh, perlahan-lahan tegakkan botol Winkler. Bolak-balik botol

Winkler dalam air kemudian tutup dengan rapat saat botol masih di dalam air.

Kemudian dituangkan ke dalam gelas ukur sebanyak 100 ml dan dipindahkan

ke dalam labu Erlenmeyer pada saat masih di Sungai Kranji. Kemudian


didalamnya ditambahkan 10 tetes indikator phenolpthalein. Sampel dititrasikan

dengan larutan Na2CO3 0,01 N sampai larutan berwarna merah jambu muda dan

titrasi dilakukan duplo. Nilai CO2 Bebas dihitung dengan rumus :

1000
Kadar CO2 bebas = x p x q x 22 mg/l
100

Keterangan :

p = volume larutan Na2CO3 yang terpakai

q = normalitas larutan

22 = bobot setara CO2

3.2.4. COD

Sampel air diambil dengan botol sampel di tiga titik sampel yaitu tepi,

tengah, tepi pada setiap stasiun sungai. Kemudian dihomogenkan. Jika

diperlukan dilakukan pengenceran terlebih dahulu. Kemudian ditempatkan

kedalam labu erlenmeyer sebanyak 100 ml dan kedalamnya ditambahkan

sebanyak 5 ml larutan H2SO4 4 N dan 10 ml larutan KMnO4 0,01 N. Ditutup

dengan alumunium foil kemudian dididihkan selama 10 menit dan setelah

dingin ditambahkan sebanyak 10 ml larutan asam oksalat 0,01 N sampai

berwarna jernih. Selanjutnya dilakukan titrasi dengan larutan KMnO4 0,01 N

sampai terbentuk larutan yang berwarna merah muda. Untuk blanko diberi

perlakuan sama dengan sampel air. Nilai COD dihitung dengan rumus : Kadar

1000
COD = x 0,01 x 31,6 mg/L
100

Keterangan :
a = ml KmnO4 yang terpakai,

F = Faktor koreksi KMnO4,

31,6 = berat equivalen KMnO4

3.2.5. BOD

Sampel air diambil dengan botol Winkler 250 ml secara perlahan supaya

tidak ada gelembung udara yang masuk dengan cara dimiringkan. Saat sampel

hampir penuh, perlahan-lahan botol Winkler ditegakkan. Botol Winkler dibolak-

balikkan dalam air kemudian ditutup dengan rapat saat botol masih di dalam

air. Botol winkler pertama segera diperiksa kandungan oksigennya, sedangkan

botol kedua diinkubasi selama selama 5 hari dengan suhu 20oC kemudian setelah

diinkubasi, diperiksa kandungan oksigennya. BOD dapat dihitung dengan

rumus:

BOD =

Keterangan :

A0 : Oksigen terlarut sampel pada nol hari

A5 : Oksigen terlarut sampel pada lima hari

S0 : Oksigen terlarut blanko pada nol hari

S5 : Oksigen terlarut blanko pada lima hari

T :Persen perbandingan antara A0 : S0

P :Derajat pengenceran

3.3. Waktu dan Tempat

Praktikum ini dilakukan pada Sabtu, 16 Maret 2019 pukul 05.00 WIB.

Pengambilan sampel dilakukan pada bagian tengah yang terletak pada jalan Dr.
Angka kel. Sokanegara kec. Purwokerto Utara dengan koordinat 70 25’ 37” N 1090

13’ 57” E, dan bagian hilir sungai yang terletak pada jalan Slamet Riyadi kel.

Kranji kec. Purwokerto Utara dengan koordinat 70 25’ 35” N 1090 13’ 57” E di

Sungai Kranji. Pengamatan dilakukan pada pukul 11.30 WIB. Selanjutnya

analisis laboratorium dilakukan di Laboratorium Pengajaran Fakultas Perikanan

dan Ilmu Kelautan Universitas Jenderal Soedirman

3.4. Analisis data

Data yang diperoleh dapat dianalisis secara deskriptif dengan histogram

atau diagram balok antara titik sampling dan standar kualitas air.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

Tabel 3. Sifat Kimia Sungai Kranji

Standar
Sungai Kranji Pustaka
Baku Mutu
Parameter Satuan

Tengah Hilir

PPRI No.82

CO2 Bebas mg/L 2,09 3,08 2-9 Tahun 2001

PPRI No.82

pH - 8,18 8,12 6-9 Tahun 2001

PPRI No.82
DO mg/L 7,8 8,6 5-10
Tahun 2001

BOD PP RI No.82
mg/L 3,9 9,06 <3
Tahun 2001

PP RI No.82
COD mg/L 4,06 5,568 <25
Tahun 2001
4.2. Pembahasan

4.2.1. CO2 Bebas

Karbondioksida akan selalu bereaksi dengan air hingga menghasilkan

asam karbonat (H2CO3). Sumber utama CO2 dalam perairan dapat berasal dari

atmosfir dan hasil respirasi organisme perairan hasil respirasi. Kandungan CO2

Bebas dalam air berbanding terbalik dengan kandungan DO (Rafitri dkk, 2015).

Faktor yang mempengaruhi nilai CO2 Bebas, bertambahnya kedalaman disuatu

perairan, proses respirasi dan dekomposisi bahan organik (Zaki, 2014). Berikut

merupakan grafik perbandingan kadar CO2 bebas sungai Kranji pada bagian

tengah dan hilir :

CO2 Bebas

9 maximum
8
7
6
5
mg/L

CO2 Bebas
4 3.08
3 2.09
2
minimum
1
0
Tengah Hilir
Stasiun

Grafik 1. Grafik CO2 Bebas Sungai Kranji

Berdasarkan grafik di atas, nilai perbandingan kadar CO2 bebas sungai

Kranji pada bagian tengah dan hilir yaitu 2,09 mg/L dan 3,08 mg/L. Nilai CO2

bebas tertinggi terdapat pada bagian hilir sungai yaitu sebesar 3,08 mg/L, dan

yang terendah berada pada bagian tengah sungai yaitu sebesar 2,09 mg/L. Pada
stasiun hilir Sungai Kranji memiliki kedalaman yang lebih dalam dari stasiun

tengah, yang merupakan salah satu faktor tingginya kadar CO2 dalam suatu

perairan. Kandungan CO2 bebas yang tinggi di suatu perairan disebabkan karena

proses perombakan unsur organik. Tingginya kandungan CO2 bebas suatu

perairan dapat memperbaiki kesuburan perairan dan peningkatan kesuburan

fitoplankton atau tumbuhan air (Syahrizal dkk, 2012). Sama halnya dengan

pendapat Zaki (2014), rendahnya karbondioksida di permukaan perairan

dimanfaatkan oleh organisme autotrof yaitu fitoplankton untuk berfotosintesis

secara optimal yang memanfaatkan CO2 sehingga jumlah karbondioksida bebas

rendah pada permukaan perairan.

Nilai perbandingan kadar CO2 bebas sungai Kranji pada bagian tengah

dan hilir secara berturut-turut yaitu, 2,09 mg/L, dan 3,08 mg/L. PPRI No.82

Tahun 2001 standar baku untuk CO2 bebas yaitu, 2-9. Nilai CO2 Sungai Kranji

bagian tengah dan hilir berada di bawah nilai standar baku, sehingga masih

dapat ditolerir oleh organisme akuatik. Perairan yang diperuntukan untuk

kepentingan perikanan sebaiknya mengandung kadar karbondioksida bebas < 5

mg/L. Kadar karbondioksida sebesar 10 mg/L masih dapat ditolerir oleh

organisme akuatik, disertai oksigen yang cukup. Karbon dioksida merupakan

parameter utama yang diperlukan untuk proses fotosintesis pada tumbuhan

(Majumder, 2014). Tinggi rendahnya nilai CO2 akan memepengaruhi aktivitas

organisme akuatik. (Katakwar, 2014).

4.2.2. pH

Menurut Yisa dan Jimoh (2010) dalam Fisesa (2014) bahwa pH perairan
adalah indikator penting penentuan kualitas air dan pencemaran sungai. Faktor-

faktor yang mempengaruhi nilai pH dalam suatu perairan dipengaruhi oleh

adanya buangan limbah organik dan anorganik ke sungai (Ali et.al., 2013).

Senyawa karbonat, bikarbonat dan hidroksida akan menaikkan kebasaan air,

sementara adanya asam-asam mineral bebas dan asam karbonat menaikkan

keasaman suatu perairan (Pujiastuti et.al., 2013). Berikut merupakan grafik

perbandingan pH sungai Kranji stasiun tengah dan hilir :

pH
9 maximum

8.8
8.6
8.4
8.18 pH
8.2 8.12

8
minimum
7.8
7.6
Tengah Hilir
Stasiun

Grafik 2. Grafik pH Sungai Kranji

Berdasarkan grafik di atas, perbandingan nilai pH sungai Kranji di bagian

tengah dan hilir yaitu, 8,18 dan 8,12. Nilai pH tertinggi ada pada bagian tengah

sungai yaitu 8,18, dan yang terendah ada pada bagian hilir sungai yaitu 8,12.

Berdasarkan pengamatan saat praktikum pada bagian tengah sungai Kranji

terdapat pemukiman warga, sehingga banyak aktivitas manusia yang

menimbulkan limbah dan sampah pada bagian tengah sungai, hal tersebutlah

yang menyebabkan nilai pH pada bagian tengah besar. Hal tersebut sesuai

pernyataan dari Ginting (2011) dalam Gulo (2015) yang menyatakan bahwa
tingginya nilai pH pada sungai disebabkan oleh pengaruh buangan limbah

penduduk yang masuk ke perairan sungai. Meningkatkan nilai pH dipengaruhi

oleh adanya buangan senyawa-senyawa yang masuk kedalam lingkungan

perairan.

Nilai pH yang berbeda di setiap bagian sungai menunjukkan kualitas

perairan itu sendiri, menurut Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001

standar baku mutu pada perairan sungai Kelas I, II, dan III nilai pHnya yaitu

antara 6-9 sedangkan Kelas IV nilai pH berkisar 5-9. pH pada bagian Sungai

Kranji yang masih memenuhi nilai standar baku perairan sungai kelas I, II, dan

III yang dapat digunakan untuk air baku air minum, prasaran atau sarana

rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi

pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang

sama dengan kegunaan tersebut. Keadaan pH yang sangat tinggi dapat

menyebabkan terganggunya keseimbangan amonium dan amonia sehingga

perairan akan bersifat sangat toksik (Wardhana, 2004 dalam Mahyudin, 2015).

4.2.3. DO

Oksigen Terlarut / Dissolved Oxygen (DO) adalah salah satu parameter

yang penting yang berkorelasi dengan badan perairan baik langsung maupun

tidak langsung seperti aktivitas bakteri, fotosintesis, ketersediaan nutrien di

suatu perairan dan stratifikasi (Patil et al, 2012). Menurut Situmorang (2007)

bahwa, DO di dalam air merupakan indikator kualitas air karena kadar oksigen

yang terdapat di dalam air sangat dibutuhkan oleh organisme air dalam

kelangsungan hidupnya. Kelarutan O2 di dalam air terutama sangat dipengaruhi


oleh suhu dan mineral terlarut dalam air (Sinambela, 2015). Berikut merupakan

grafik perbandingan kadar oksigen terlarut sungai Kranji pada bagian tengah

dan hilir yaitu :

DO
10 maximum
9.5
9 8.6
8.5
8 7.8
mg/L

7.5 DO
7
6.5
6
5.5 minimum
5
Tengah Hilir
Stasiun

Grafik 3. Grafik DO Sungai Kranji

Berdasarkan grafik di atas, perbandingan nilai DO sungai Kranji pada

bagian tengah dan hilir secara berturut-turut yaitu 7,8 mg/L dan 8,6 mg/L. Nilai

DO tertinggi terdapat pada bagian hilir sungai yaitu sebesar 8,6 mg/L, dan

terendah pada bagian tengah sungai sebesar 7,8 mg/L. Rendahnya nilai DO di

tengah disebabkan tingginya bahan organik yang masuk ke perairan. Hal ini

sesuai dengan pendapat Fisesa (2014), rendahnya nilai DO disebabkan tingginya

bahan organik yang masuk ke perairan sehingga sebagian besar oksigen

dikonsumsi oleh mikroorganisme dalam proses metabolisme bahan organik.

Pada bagian hilir memiliki DO yang tinggi disebabkan karena pada pengambilan

sampel, stasiun ini memiliki arus deras yang dapat membawa proses difusi

oksigen dari atmosfer ke dalam air dan sampling yang dilakukan pada siang

hari. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Fisesa (2014) yang menyatakan
bahwa apabila suatu sungai memiliki arus yang deras maka akan memiliki DO

yang tinggi.

Oksigen memegang peranan penting sebagai indikator kualitas perairan,

karena oksigen terlarut berperan dalam proses oksidasi dan reduksi bahan

organik dan anorganik, semakin tercemar suatu perairan maka semakin sedikit

kadar oksigen yang terdapat di dalamnya, karena oksigen yang terdapat di

perairan membantu mengurangi beban pencemaran pada perairan secara alami.

Seperti penelitian yang dilakukan oleh Ali et.al., (2013) yang menjelaskan bahwa

pada umumnya air yang telah tercemar kandungan oksigennya sangat rendah,

makin banyak bahan buangan organik di dalam air makin sedikit sisa

kandungan oksigen yang terlarut di dalam air.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang standar

baku mutu perairan sungai yaitu 5-10 mg/L, Nilai O2 pada Sungai Kranji

seluruhnya memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan peraturan

pemerintah. Menurut Andem et al., (2012) merekomendasikan bahwa

kandungan oksigen terlarut diatas 4 mg/L baik untuk kehidupan organisme

akuatik dibandingkan kandungan oksigen terlarut dibawah 4 mg/L, hal ini

berarti Sungai Kranji memiliki kandungan oksigen yang baik untuk kehidupan

organisme yang menyebabkan organisme pada Sungai Kranji lebih beragam.

Suatu perairan dapat dikatakan baik dan mempunyai tingkat pencemaran yang

rendah jika kadar oksigen terlarutnya (DO) lebih besar dari 5 mg/L (Sholichin,

2010 dalam Mahyudin, 2015), sedangkan konsentrasi oksigen terlarut (DO) pada

perairan yang masih alami memiliki nilai DO kurang dari 10 mg/L (Effendi, 2003
dalam Mahyudin, 2015). Sehingga pada Sungai Kranji merupakan tempat yang

baik untuk organisme perairan karena berada diatas batas minimum DO dan

dibawah batas maksimum DO.

4.2.4. BOD

BOD merupakan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan untuk

dekomposisi biokimia senyawa organik dan oksidasi bahan anorganik teretentu

yang dilakukan selama 5 hari (Patil et al, 2012). Semakin besar nilai BOD

menunjukkan derajat pengotoran air limbah semakin besar (Andara, 2014). Nilai

BOD perairan dipengaruhi oleh suhu, densitas plankton, konsentrasi bahan

organik dan faktor-faktor lain mempengaruhinya (Hasan, 2016). Berikut

merupakan grafik perbandingan nilai BOD sungai Kranji pada bagian tengah

dan hilir:

BOD

10
9.06
9
8
7
mg/L

6 BOD
5
3.9
4
>3
3
2
Tengah Hilir
Stasiun

Grafik 4. Grafik BOD Sungai Kranji

Berdasarkan grafik di atas, nilai BOD sungai Kranji pada bagian tengah

dan hilir yaitu 3,9 mg/L dan 9,06 mg/L. Nilai BOD tertinggi berada pada bagian
hilir sungai yaitu sebesar 9,06 mg/L, dan yang terendah pada bagian tengah

sungai yaitu sebesar 3,9 mg/L. Nilai BOD dari tengah ke hilir semakin tinggi

diakibatkan pada bagian hilir interaksi sungai dengan ekosistem lain lebih besar

sehingga pengaruh bahan-bahan pencemar dari luar lebih besar yang masuk ke

sungai atau dapat dikatakan sebagai kondisi tercemar (Tanjung, 2016). Hal ini

sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ali et.al., (2013) yang menyatakan

bahwa makin besar kadar BOD nya, maka merupakan indikasi bahwa perairan

tersebut telah tercemar.

Nilai BOD sungai Kranji pada bagian tengah, dan hilir yaitu, 3,9 mg/L

dan 9,06 mg/L. Mengacu pada PP No. 82 Tahun 2001 tentang Kriteria Kelas Air,

dapat dinyatakan kondisi BOD (Biological Oxygen Demand). Andem et al (2012)

menyatakan bahwa air dengan kadar BOD yang rendah dibawah 4 mg/L

mengindikasi bahwa perairan tersebut bersih dan tidak tercemar, sedangkan air

dengan kadar BOD lebih dari 10 mg/L dianggap tercemar karena mengandung

sejumlah besar bahan organik yang dapat terdegradasi. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa perairan Sungai Kranji sudah tercemar karena nilai BOD

lebih dari 4 mg/L yang berarti kualitas perairan pada Sungai Kranji tidak baik

untuk kegiatan budidaya dan pertanian. Nilai BOD berbanding lurus terhadap

nilai kualitas perairan.

4.2.5. COD

Chemical Oxygen Demand (COD) adalah parameter yang diukur dengan

cepat yang digunakan untuk menentukan kekuatan pencemaran air limbah

domestik dan industri. Penentuan ini dicapai dengan menggunakan zat


pengoksidasi kuat dalam kondisi asam (ukpaka, 2016). Berikut merupakan grafik

perbandingan nilai COD sungai Kranji pada bagian tengah, dan hilir :

COD

10 <25
9
8
7
mg/L

6 5.568 COD
5
4.06
4
3
2
Tengah Hilir
Stasiun

Grafik 5. Grafik COD Sungai Kranji

Berdasarkan grafik di atas, nilai COD sungai Kranji pada bagian tengah

dan hilir yaitu 4,06 mg/L dan 5,568 mg/L. Nilai COD tertinggi berada pada

bagian hilir sungai yaitu sebesar 5,568 mg/L, dan yang terendah berada pada

bagian tengah sungai yaitu sebesar 4,06 mg/L. Nilai COD dari tengah ke hilir

semakin naik diakibatkan pada bagian hilir interaksi sungai dengan ekosistem

lain lebih besar sehingga pengaruh bahan-bahan kimiawi yang masuk lebih

banyak dan menyebabkan tingginya kebutuhan oksigen total untuk

mengoksidasi senyawa organik secara kimiawi. Hal ini sesuai dengan penelitian

yang dilakukan oleh (Andara et.al., 2014) yang menyatakan bahwa tingginya

nilai COD dapat disebabkan karena banyak sampah yang berserakan yang

menyebabkan kandungan bahan kimiawi yang tinggi. Serta pendapat dari Ali

et.al. (2013) yang menyatakan bahwa Angka COD yang tinggi, mengindikasikan

semakin besar tingkat pencemaran yang terjadi pada suatu perairan.


Merujuk pada Baku Mutu Air pada PP Nomor 82 Tahun 2001, batas

minimum kadar COD perairan untuk kategori perairan kelas II sebesar <25

mg/L. Hasil pengamatan terhadap kadar COD di Sungai Kranji memenuhi

standar kelayakan kadar COD pada kriteria mutu air kelas II. Berdasarkan hal

tersebut dapat dinyatakan bahwa perairan Sungai Kranji dalam kondisi tidak

tercemar dan masih dapat mendukung untuk digunakan pada kepentingan

perikanan dan pertanian, atau masih dalam batas baku mutu air sesuai

peruntukannya (Pujiastuti et.al., 2013). Konsentrasi COD yang tinggi

mengindikasikan semakin besar tingkat pencemaran yang terjadi pada suatu

perairan (Yudo, 2010 dalam Mahyudin et.al., 2015).


V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa :

1. Parameter kimia yang dianalisis pada Sungai Kranji yaitu, pH, O2 terlarut,

CO2 bebas, DO, BOD, dan COD. Hasil analisis perbandingan parameter kimia

dari tiap bagian tengah dan hilir sungai secara berturut-turut yaitu pH(8,18,

dan 8,12.), O2 terlarut atau DO (7,8 mg/L dan 8,6 mg/L), CO2 bebas (2,09

mg/L dan 3,08 mg/L), BOD (3,9 mg/L dan 9,06 mg/L), dan COD (4,06 mg/L

dan 5,568 mg/L).

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi parameter kimia pada Sungai Kranji

yaitu, pH yang dalam suatu perairan dipengaruhi oleh adanya buangan

limbah organik dan anorganik ke sungai. Selain itu adanya senyawa

karbonat, bikarbonat dan hidroksida juga akan menaikkan kebasaan air,

sementara adanya asam-asam mineral bebas dan asam karbonat menaikkan

keasaman suatu perairan. Keadaan pH yang sangat tinggi dapat

menyebabkan terganggunya keseimbangan amonium dan amonia sehingga

perairan akan bersifat sangat toksik. O2 terlarut dipengaruhi suhu dan

mineral terlarut dalam air. Tinggi rendahnya nilai CO2 Bebas yaitu

bertambahnya kedalaman disuatu perairan, proses respirasi dan

dekomposisi bahan organik, DO atau Kelarutan O2 di dalam air sangat

dipengaruhi oleh suhu dan mineral terlarut dalam air. BOD, dipengaruhi

oleh suhu, densitas plankton, konsentrasi bahan organik dan faktor-faktor

lain mempengaruhinya. Nilai BOD dari tengah ke hilir semakin tinggi


diakibatkan pada bagian hilir interaksi sungai dengan ekosistem lain lebih

besar sehingga pengaruh bahan-bahan pencemar dari luar lebih besar yang

masuk ke sungai atau dapat dikatakan sebagai kondisi tercemar dan kadar

COD dalam perairan dipengaruhi oleh tingginya nilai COD dapat disebabkan

karena banyak sampah yang berserakan yang menyebabkan kandungan

bahan kimiawi yang tinggi.

5.2. Saran

Diharapkan para praktikan dapat melakukan praktikum dengan hati-hati

dan serius agar dapat mendapatkan data yang valid.


DAFTAR PUSTAKA

Ahira, A. 2011. Manfaat Belajar Biologi. Jakarta. Erlangga.

Ali, A., Soemarno., dan M. Purnomo. 2013. Kajian Kualitas Air dan Status Mutu
Air Sungai Metro di Kecamatan Sukun Kota Malang. Jurnal Bumi Lestari, 13
(2) : 265-274.

Andara, Diani Riezki., Haerudin., dan A.Suryanto. 2014. Kandungan Total


Padatan Tersuspensi, Biochemical Oxygen Demand dan Chemical Oxygen
Demand serta Indeks Pencemaran Sungai Klampisan di Kawasan Industri
Candi, Semarang. Diponegoro. Journal of Maquares, 3 (3): 177-187.

Andem, A. B., Udofia, U., Okorafor, K. A., Okete, J. A., Ugwumba. 2012. A study
on some physical and chemical characteristics of Ona River, Apata, Ibadan
South-west, Oyo State, Nigeria. European Journal of Zoological Research, 1 (2):
37-46.

Barus, T.A. 2002. Pengantar Limnologi. Universitas Sumatera Utara, Medan. 164
hal.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan. Konsius. Yogyakarta.

Effendi, Hefni., Aloysius, Adimas Kristianiarso., Enan M. Adiwilaga. 2013.


Karakteristik Kualitas Air Sungai CIihideung, Kabupaten Bogor, Jawa
Barat. Ecolab, 7 (2): 49 108.

Fajri, N. E., dan A. Kasry. 2013. Kualitas Perairan Muara Sungai Siak Ditinjau
Dari Sifat Fisik-Kimia Dan Makrozoobentos.Berkala Perikanan Terubuk, 41
(1): 37– 52.

Fisesa, Erni Dian., Isdradjad, Setyobudiandi., Majariana, Krisanti. 2014. Kondisi


Perairan Dan Struktur Komunitas Makrozoobentos Di Sungai Belumai
Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara. Depik, 3 (1): 1-9.
Hasan, H.E. Prasetio., dan S. Muthia. 2016. Analisis Kualitas Perairan Sungai
Ambawang di Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya
untuk Budidaya Perikanan. Jurnal Ruaya, 4 (2): 34-40.

Irawadi., dan Ariwibowo, M.L. 2018. Peran Kelembagaan Formaspesung Dalam


Restorasi Sungai Kranji Purwokerto. Prosiding Seminar Nasional Geografi
UMS IX 2018. ISBN: 978-602-361-137-9.

Katakwar, Muskesh. 2014. Water quality and pollution status of Narmada River’s
Korni Tributary in Madhya Pradesh. International Journal of Chemical
Studies, 2 (2) : 5-9

Kurniadi, Bambang., Sigid Hariyadi., Enam Mulyana. 2015. Kualitas Perairan


Sungai Buaya di Pulau Bunyu Kalimantan Utara pada Kondisi Pasang
Surut. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, 20 (1) : 53-58.

Mahyudin., Soemarno., Prayogo, Tri Budi. 2015. Analisis Kualitas Air Dan
Strategi Pengendalian Pencemaran 1 Air Sungai Metro di Kota Kepanjen
Kabupaten Malang. J-PAL, 6 (2).

Majumder S., dan T.K. Dutta. 2014. Studies on seasonal variations in physico-
chemical parameters in Bankura segment of the Dwarakeshwar River
(W.B.) India. International Journal of Advanced Research, 2 (3): 877-881

McNaughton, David J. Augustine., and Samuel J. 1998. Ungulate Effects on the


Functional Species Composition of Plant Communities: Herbivore
Selectivity and Plant Tolerance. The Journal of Wildlife Management, 62 (4):
1165-1183.

Nisa, Khairatun., Nasution, Zulkifli., Khadijah E.R. 2015. Studi Kualitas Perairan
Sebagai Alternatif Pengmbangan Budidaya Ikan di Sungai Keureuto
Kecamatan Lloksukon Kabupaten Aceh Utara Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Jurnal Aquacostmarine, 10 (5): 1-15.
Olivianti, Asriani., Jemmy Abidjulu., Harry S.J., Koleangan. 2016. Dampak
Limbah Peternakan Ayam Terhadap Kualitas Air Sungai Sawangan Di
Desa Sawangan Kecamatan Tombulu Kabupaten Minahasa. Chem. Prog, 9
(2): 53-58.

Patil. P.N., Sawant. D.V., Deshmukh. R.N. 2012. Physico-chemical parameters for
testing of water – A review. International Journal Of Environmental Sciences,
3 (3) pp. 1194-1207.

Pujiastuti, Peni., Bagus, Ismail., dan Pranoto. 2013. Kualitas dan Beban
Pencemaran Perairan Waduk Gajah Mungkur. Jurnal Ekosains, 5 (1): 59 – 76.

Rafitri, R., T.R Setyawati., dan A.H Yanti. 2015. Struktur Komunitas Fitoplankton
di Perairan Gambut Sungai Ambawang Desa Pancaroba Kecamatan Sungai
Ambawang Kabupaten Kubu Raya. Protobiont, 4 (1) : 253-259.

Siahaan, Ratna., Indrawan, Andry., Soedharma, Dedi., dan B.Prasety, Lilik. 2011.
Kualitas Air Sungai Cisadane, Jawa Barat - Banten (Water Quality Of
Cisadane River, West Java - Banten). Jurnal Ilmiah Sains, 11 (2): 269-272.

Sinambela, Masdiana., Mariyati, Sipayung. 2015. Makrozoobentos Dengan


Parameter Fisika Dan Kimia Di Perairan Sungai Babura Kabupaten Deli
Serdang. Jurnal Biosains, 1 (2), ISSN : 2460-6804.

Suciastuti, Eni., dan Sutrisno, C.T. 2002. Teknologi Penyediaan Air Bersih. Jakarta.
PT. Rineka Cipta.

Suwondo, E. Febrita, Dessy dan M. Alpusari. 2004. Kualitas Biologi Perairan


Sungai Senapelan, Sago dan Sail Di Kota Pekanbaru Berdasarkan
Bioindikator Plankton dan Bentos. Biogenesis, 1 (1): 15-20.

Syahrizal., Nengsih, Yulistiati dan Marpaung, Rida. 2012. Pemanfaatan Saluran


Irigasi Untuk Budi Daya Ikan Di Kecamatan Geragai Kabupaten Tanjung Jabung
Timur Provinsi Jambi. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Edisi
Khusus.

Tanjung, R.H.R, H.K. Maury, & Suwito. 2016. Pemantauan Kualitas Air Sungai
Digoel, Distrik Jair, Kabupaten Boven Digoel, Papua. Jurnal Biologi Papua, 8
(1) : 38–47.

Ukpaka, C. P. 2016. The Concept of Examination of Biochemical and Chemical


Oxygen Demand in Stagnant Water System. Chemistry Research Journal, 1
(1): 35-43.

Yuliastuti, Etik. 2011. Kajian Kualitas Air Sungai Ngringo Karanganyar dalam
Upaya Pengendalian Pencemaran Air. Tesis. Universitas Diponegoro.
Semarang.

Zaki, M., M. Siagian., dan A.H, Simarmata. 2014. The Vertical Profile Of Nitrate
in Pinang Dalam Oxbow Lake Buluh China Village Siak Hulu Sub District
Kampar District Riau Province. JOU Universitas Riau, 1 (2): 1-12.
LAMPIRAN

Lampiran 1

Perhitungan

1. CO2 Bebas T = persen perbandingan antara A0:S0 (1-P)

Diketahui : P = derajat pengenceran

- Stasiun Tengah BOD(5)

1. Ulangan 1 Rumus : BOD5 =


p = 0,9 ml
Keterangan :
q = 0,01 N
Ao = oksigen terlarut sampel pada nol hari
2. Ulangan 2
A5 = oksigen terlarut sampel pada lima hari
p = 1 ml
So = oksigen terlarut blanko pada nol hari
q = 0,01 N
S5 = oksigen terlarut blanko pada lima hari
- Stasiun Hilir
1. Ulangan 1 T = persen perbandingan antara Ao : So

p = 1 ml P = derajat pegenceran

q = 0,01 N

2. Ulangan 2 Stasiun Tengah

p = 1,8 ml DO (0) = x p0 x q x 8 ml/L

q = 0,01 N
= x 3,6 ml x 0,025 x 8
Ditanya:
= 7,2 ml/L
Kadar CO2 Bebas di stasiun tengah, dan
hilir?
DO (5) = x p5 x q x 8 ml/L
Dijawab
1000
CO2 bebas = × p × q × 22 ml/L = x 2,7 ml x 0,025 x 8
100

Keterangan : = 5,4 ml/L

p = jumlah ml Na2CO3 yang terpakai


BOD =
q = normalitas larutan Na2CO3
( 7,2 – 5,4 )– (5,8 – 5,4)×0,6
=
0.4
22 = bobot setara CO2 =
1,8−(0,4)(0,6)
0,4
Stasiun Tengah 1,8−0,24
= 0,4
Ulangan 1
1000
CO2 bebas = × p × q × 22 mg/L
100 = 3,9 mg/L
1000
= × 0,9 × 0,01 × 22
100

= 1,98 mg/L Stasiun Hilir

Ulangan 2 DO (0) = x p0 x q x 8 ml/L


1000
CO2 bebas = × p × q × 22 mg/L = x 3,8 ml x 0,025 x 8
100
1000
= × 1 × 0,01 × 22 = 7,6 ml/L
100

= 2,2 mg/L

DO (5) = x p5 x q x 8 ml/L
Rata- Rata CO2 Bebas
= x 2,3 ml x 0,025 x 8
𝐶𝑂2 𝐵𝑒𝑏𝑎𝑠 1+ 𝐶𝑂2 𝐵𝑒𝑏𝑎𝑠 2
= 2
= 4,6 ml/L
1,98 + 2,2
= 2

= 2,09 mg/L (𝐴0 − 𝐴5 ) − (𝑆0 − 𝑆5 )𝑇


BOD =
𝑃

Stasiun Hilir
(𝐴0 − 𝐴5 ) − (𝑆0 − 𝑆5 )𝑇
Ulangan 1 BOD =
𝑃
1000 ( 7,6 – 4,6 )– (5,8 – 5,4)×0,7
CO2 bebas = × p × q × 22 mg/L =
100 0.3
1000
= × 1 × 0,01 × 22 ml/L =
3−(0,4)(0,7)
100
0,3
= 2,2 mg/L 1,8−0,24
= 0,3
Ulangan 2
= 9,06 mg/L
1000
CO2 bebas = × p × q × 22 mg/L
100
1000
= × 1,8 × 0,01 × 22 5. COD
100

= 3,96 mg/L Diketahui :


 COD Blanko = 5,59 mg/L
 F = 1,1
Rata- Rata CO2 Bebas  KmnO4 Stasiun Tengah = 1,4 ml

𝐶𝑂2 𝐵𝑒𝑏𝑎𝑠 1+ 𝐶𝑂2 𝐵𝑒𝑏𝑎𝑠 2  KmnO4 Stasiun Hilir = 1,5 ml


= 2  Faktor pengenceran tengah = 60%
2,2 + 3,96
= = 3,08 mg/L  Faktor pengenceran hilir = 50%
2
Ditanya:
2. pH
Kadar COD yang ada di stasiun tengah dan
Diketahui:
hilir?
- Stasiun Tengah
Dijawab:
Tepi 1 = 8,02

Tengah = 8,30
1000
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐶𝑂𝐷 = 𝑥{(10 + 𝑎)𝐹 − 10}𝑥 0,01𝑥 31,6 𝑚𝑔/𝐿
Tepi 2 = 8,23 100
(𝐶𝑂𝐷 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 − 𝐶𝑂𝐷 𝑏𝑙𝑎𝑛𝑘𝑜)
- Stasiun Hilir 𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝐶𝑂𝐷 =
𝐹𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛
Tepi 1 = 8,14 Keterangan :
Tengah = 8,10 a = ml KmnO4 yang terpakai
Tepi 2 = 8,12 F = ndika koreksi KmnO4

Ditanya: 31,6 = berat equivalen KmnO4

Nilai pH di stasiun tengah, dan hilir ? Stasiun Tengah


1000
Dijawab: 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐶𝑂𝐷 = 𝑥{(10 + 𝑎)𝐹 − 10}𝑥 0,01𝑥 31,6 𝑚𝑔/𝐿
100
Stasiun Tengah:

Tepi 1 = 8,02 Kadar COD =


1000
𝑥 {(10 + 1,4) 1,1 − 10} 𝑥 0,01 𝑥 31,6
100
Tengah = 8,30 = 10 × {(11 + 1,54) − 10} × 0,01 × 31,6

Tepi 2 = 8,23 = 10 × 2,54 × 0,316

Rata-rata = (8,02 + 8,30 + 8,23) : 3 = 8,18 = 8,026 mg/L


(COD Sampel − COD Blanko)
Nilai COD =
Faktor Pengencer

Stasiun Hilir: Nilai COD =


(8,026−5,59)
= 4,06 mg/L
0,6

Tepi 1 = 8,14 Stasiun Hilir


Tengah = 8,10 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐶𝑂𝐷 =
1000
𝑥{(10 + 𝑎)𝐹 − 10}𝑥 0,01𝑥 31,6 𝑚𝑔/𝐿
100
Tepi 2 = 8,12 1000
Kadar COD = 𝑥 {(10 + 1,5) 1,1 − 10} 𝑥 0,01 𝑥 31,6
100
Rata-rata = (8,14 + 8,10 + 8,12) : 3 = 8,12
= 10 ×(11+1,65) – 10 × 0,316

= 10 × 2,65 × 0,316
3. DO (O2 Terlarut) = 8,374 mg/L

Diketahui: Nilai COD =


(COD Sampel − COD Blanko)
Faktor Pengencer
- Stasiun Tengah (8,374−5,59)
Nilai COD = = 5,568 mg/L
0,5
P = 3,9 ml

q = 0,025 N

- Stasiun Hilir
P = 4,3 ml

q = 0,025 N

Ditanya:
Jumlah Oksigen terlarut pada stasiun
tengah dan hilir ?

Dijawab:
1000
Kadar O2 Terlarut = ×𝑝×𝑞×
100

8 𝑚𝑔/𝐿 keterangan :

p= jumlah ml Na2S2O3 yang terpakai

q= normalitas larutan Na2S2O3

8= bobot setara O2

Stasiun Tengah
1000
Kadar O2 Terlarut = ×𝑝×𝑞×
100

8 𝑚𝑔/𝐿
1000
= × 3,9 × 0,025 × 8
100

= 7,8 mg/L

Stasiun Hilir

1000
Kadar O2 terlarut = 100
× 𝑝 × 𝑞 × 8 𝑚𝑙/𝐿
1000
= 100
× 4,3 × 0,025 × 8

= 8,6 mg/L

4. BOD
Diketahui:
- Stasiun Tengah
A0 = 7,2 ml/L

A5 = 5,4 ml/L

S0 = 5,8 ml/L

S5 = 5,4 ml/L

P = 40 % = 0.4

T = 1 – 0,4 = 0,6

- Stasiun Hilir
A0 = 7,6 ml/L

A5 = 4,6 ml/L

S0 = 5,8 ml/L

S5 = 5,4 ml/L

P = 30 % = 0.3

T = 1 – 0,3 = 0,7

Ditanya:
Kadar BOD yang ada di stasiun tengah
dan hilir ?
Dijawab:
(𝐴0 − 𝐴5 ) − (𝑆0 − 𝑆5 )𝑇
BOD =
𝑃
Keterangan:

A0=oksigen terlarut sampel pada nol hari

A5=oksigen terlarut sampel pada lima hari

S0=oksigen terlarut blanko pada nol hari

S5=oksigen terkarut blanko pada lima hari


Lampiran 2

Foto Kegiatan

Pemanasan COD 5 Stasiun Tengah S. Kranji Hasil COD 5 Stasiun Tengah S. Kranji

Hasil O2 Terlarut
ACARA III

ANALISIS SIFAT BIOLOGI AIR DI SUNGAI KRANJI

Oleh :

Iswardhani Ariyanti

NIM. L1B017035

LAPORAN PRAKTIKUM LIMNOLOGI

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO

2019
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Secara alamiah air tidak pernah dijumpai dalam keadaan betul-betul

murni. Ketika uap air mengembun di udara dan jatuh di permukaan bumi, air

tersebut telah dipengaruhi oleh partikel-partikel yang terkandung di udara.

Kemudian air bergerak mengalir menuju ke berbagai tempat yang lebih rendah

letaknya dan melarutkan berbagai jenis batuan yang dilalui atau zat organic

lainnya (Rahadi & Lusiana, 2013).

Air sungai yang keluar dari mata air biasanya mempunyai kualitas yang

sangat baik. Namun dalam proses pengalirannya air tesebut akan menerima

berbagai macam bahan pencemar dan pada akhirnya terjadi penurunan kualitas

air. Suatu sungai dikatakan terjadi penurunan kualitas air, jika air tersebut tidak

dapat digunakan sesuai dengan status mutu air secara normal (Ali et. al., 2013).

Merujuk dari Peraturan Menteri Kesehatan No. 416 Tahun 1990, kualitas air

harus memenuhi syarat kesehatan yang meliputi persyaratan mikrobiologi,

fisika, kimia, dan radioaktif.

Sungai Kranji merupakan salah satu sungai yang berada di Kabupaten

Banyumas. Sungai tersebut masih dimanfaatkan oleh masyarakat yang berada di

sekitar sungai untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, seperti MCK dan

tempat pembuangan limbah rumah tangga maupun industri. Pemanfaatan

sungai yang dilakukan oleh masyarakat tersebut dapat menurunkan kualitas air

sungai. Bahan buangan yang masuk ke badan sungai akan mengakibatkan

terjadinya perubahan karakteristik fisika, kimia, dan biologi di perairan. Oleh


karena itu, perlu dilakukan analisis mengenai perairan lotik yang menunjukan

hubungan antara faktor-faktor biologi untuk mengetahui kualitas dan kuantitas

suatu perairan.

Untuk mengetahui kualitas air sungai Kranji dilakukan pengamatan terkait

dengan kepadatan dan keberagaman makrozoobenthos yang terdapat di

dalamnya. Karena makroozoobenthos dapat dijadikan sebagai salah satu

biondikator suatu perairan. Hal ini disebabkan karena sifat makrozoobentos

yang cenderung hidup menetap didasar perairan dan mobilitas atau

pergerakannya relatif rendah, sehingga perubahan kualitas perairan akan

memberikan dampak yang signifikan terhadap makrozoobentos.

1.2. Tujuan

Tujuan dari praktikum ini adalah:

1. Mengetahui parameter biologi Sungai Kranji.

2. Mengetahui faktor-faktor yang memepengaruhi parameter biologi pada

Sungai Kranji.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sungai

2.1.1. Sungai

Sungai merupakan tempat berkumpulnya air dari lingkungan sekitarnya

yang mengalir menuju tempat yang lebih rendah. Daerah sekitar sungai yang

mensuplai air ke sungai dikenal dengan daerah tangkapan air atau daerah

penyangga. Kondisi suplai air dari daerah penyangga dipengaruhi aktifitas dan

perilaku penghuninya. Pada umumnya, daerah hulu mempunyai kualitas air

yang lebih baik daripada daerah hilir. Dari sudut pemanfaatan lahan, daerah

hulu relatif sederhana dan bersifat alami seperti hutan dan perkampungan kecil.

Semakin ke area hilir keragaman pemanfaatan lahan meningkat. Sejalan dengan

hal tersebut suplai limbah cair dari daerah hulu yang menuju daerah hilir pun

menjadi meningkat. Pada akhirnya daerah hilir merupakan tempat akumulasi

dari proses pembuangan limbah cair yang dimulai dari hulu (Wibowo, 2005

dalam Yuliastuti, 2011).

2.1.2. Sungai Kranji

Sungai Kranji merupakan sungai yang melintang di Jalan Jenderal

Soedirman Purwokerto atau tepatnya di sebelah barat SMP N 1 Purwokerto dan

masuk wilayah Kecamatan Purwokerto Timur. Sungai Kranji terletak pada

koordinat Latitude S 7° 24' 24" dan Longitude E 109° 14' 15". Sungai Kranji

merupakan salah satu anak Sungai Serayu yang alirannya melewati pemukiman

di tengah kota dan banyak dimanfaatkan sebagai saluran pembuangan limbah

dan berbagai keperluan lain (mandi, cuci dan kakus).


Sungai Kranji terletak tepat membelah Kota Purwokerto, Sub DAS Kranji

memiliki luas lebih dari 20 Km2. Secara kewilayahan berada di 6 (enam)

Kecamatan yaitu Kecamatan Patikraja, Kecamatan Baturraden, Kecamatan

Purwokerto Utara, Purwokerto Barat, Purwokerto Timur, dan Purwokerto

Selatan. Sungai utama Kranji memiliki panjang 9,4 Km dengan jumlah orde 1

(satu) sebanyak 13 buah, orde 2 (dua) sebanyak 7 buah, orde 3 (tiga) sebanyak 2

buah dan orde 4 (empat) sebanyak 1 buah. Saat ini Sungai Kranji mengalami

penurunan kualitas, baik dari sisi kualitas air maupun kuantitas air, disamping

secara morfologi sungai banyak mengalami kerusakan (Irawadi, 2018).

2.2. Parameter Biologi Sungai

2.2.1. Bentos

Benthos adalah organisme yang melekat pada dasar perairan atau yang

hidup dalam sedimen di dasar perairan Organisme ini mempunyai peranan yang

cukup penting dalam mempercepat proses dekomposisi materi organik. Hewan

bentos, terutama yang bersifat herbivor dan detritivor, dapat menghancurkan

makrofit akuatik yang hidup maupun yang mati dan serasah yang masuk ke

dalam perairan menjadi potongan-potongan yang lebih kecil, sehingga

mempermudah mikroba untuk menguraikannya menjadi nutrien bagi produsen

perairan. Benthos juga merupakan sumber makanan yang alami bagi ikan

(Rosmelina, 2009 dalam Safruddin, 2015).

Menurut Hawkes (1979) dalam Dwirastina (2013) bahwa peranan bentos

diperairan sangat penting dan dalam penelitian bentos berperan dalam

menentukan indikator kualitas perairan karena sifat bentos yang diam atau
menetap dan tidak banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan baik arus

ataupun gelombang. Kehidupan bentos dipengaruhi oleh berbagai macam

faktor. Adapun faktor–faktor yang mempengaruhi kehidupan bentos tersebut

yaitu tipe sedimen, salinitas dan kedalaman (Sahala,1985 dalam Dwirastina,

2013).

2.2.2. Makrobentos

Makrozoobentos merupakan salah satu kelompok terpenting dalam

ekosistem perairan sehubungan dengan perannya sebagai organisme kunci

dalam jaring makanan. Tingkat keanekaragaman yang terdapat di lingkungan

perairan dapat digunakan sebagai indikator pencemaran. Makrobentos memiliki

peranan ekologis dan struktur spesifik dihubungkan dengan makrofita air yang

merupakan materi autochthon. Karakteristik dari masing- masing bagian

makrofita akuatik ini bervariasi, sehingga membentuk substratum dinamis yang

komplek yang membantu pembentukan interaksi-interaksi makroinvertebrata

terhadap kepadatan dan keragamannya sebagai sumber energi rantai makanan

pada perairan akuatik. Kecepatan arus akan mempengaruhi tipe substratum,

yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap kepadatan dan keanekaragaman

makrobentos (Rakhmanda, 2011). Makrozoobenthos merupakan organisme

akuatik yang hidup di dasar perairan dengan pergerakan relatif lambat dan

menetap serta daur hidupnya relatif lama sehingga hewan tersebut mempunyai

kemampuan merespon kondisi kualitas air secara terus menerus (Setiawan,

2010).

Makrozoobentos adalah organisme yang sering digunakan sebagai


indikator pencemaran (Minggawati, 2013) dan berperan juga dalam

biomonitoring dari suatu perairan. Karena hidupnya yang cenderung menetap

pada sedimen dasar perairan baik substrat lunak maupun substrat keras

memiliki sifat kepekaan terhadap beberapa bahan pencemar, mobilitas yang

rendah (Kumar et al. 2014).

2.2.3. Kepadatan

Kepadatan makrobenthos adalah jumlah individu per unit luas/unit

volume (m3). Kepadatan merupakan jumlah individu dibagi luas transek dan

dikali jumlah pengambilan sampel. Pada makrobenthos, kepadatan harus

diperhatikan untuk mengetahui seberapa banyak organisme yang berada pada

daerah yang diamati. Dalam mencari kepadatan maka ketelitian harus benar-

benar diperhatikan agar dalam menentukan banyaknya spesies makrobenthos

tidak mengalami kesalahan (Chalid, 2014).

Organisme yang memiliki nilai kepadatan tertinggi menunjukkan bahwa

jenis organisme tersebut memiliki kemampuan beradaptasi dengan lingkungan

yang ditempatinya, sehingga memiliki kemampuan reproduksi yang tinggi

(Odum, 1993 dalam Sinyo dan Idris, 2013). Lebih lanjut dinyatakan oleh

Nybakken (1998) dalam Sinyo dan Idris (2013), organisme yang memiliki nilai

kepadatan tertinggi menunjukkan bahwa jenis tersebut memiliki kemampuan

menempati ruang yang lebih luas sehingga kesempatan untuk berkembang

semakin besar. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepadatan antara lain habitat

dan akifitas manusia.

2.2.4. Keragaman
Nilai keragaman adalah sifat komunitas yang memperlihatkan

keanekaragaman jenis organisme dalam suatu habitat. Suatu komunitas

dikatakan tinggi apabila memiliki nilai keragaman tinggi dengan jumlah

individu yang relatif sama. Apabila suatu komunitas memiliki sedikit jumlah

spesies dan tidak sama jumlah antar individunya maka lingkungan tersebut

memiliki nilai keragaman yang rendah, dan cenderung tidak baik kualitas

lingkungannya (Effendi, 2003).

Adanya dominansi menandakan bahwa tidak semua makrozoobenthos

memiliki daya adaptasi dan kemampuan bertahan hidup yang sama disuatu

tempat Hal ini juga berarti makrozoobenthos di lokasi tidak memanfaatkan

sumberdaya secara merata (Rahma, 2005 dalam Ridwan et.al., 2016). Odum (1993)

dalam Ridwan et.al. (2016) menyatakan bahwa nilai indeks dominansi yang tinggi

menyatakan konsentrasi dominansi yang tinggi (ada individu yang

mendominasi).
III. MATERI DAN METODE

3.1. Materi

3.1.1. Alat

Tabel 1. Alat praktikum

Ukuran/
No Nama alat Merek Fungsi
jumlah

Menangkap

1. Transek 1x1m - makrobenthos dalam

satu luasan transek

Tempat larutan
2. Botol sampel secukupnya -
formalin

Tempat menyimpan
3. Plastic 1 Rose
markobenthos

3.1.2. Bahan

Tabel 2. Bahan praktikum

No Nama bahan Ukuran/jumlah Merek Fungsi

Mencari
1. Sampel substrat Banyak -
makrobenthos

Mengawetkan
2. Formalin 3 tetes -
makrobenthos
3.2. Metode

3.2.1. Makrozoobenthos

Pengambilan sampel dilakukan dengan metode hand sorting

menggunakan transek ukuran 1 x 1 m yang terbuat dari tali rapia. Sampel

diambil dari 3 (tiga) titik sampel, yaitu, tepi, tengah dan tepi pada setiap stasiun

tengah dan hilir. Transek dibentangkan pada titik lokasi sampling, kemudian

dengan menggunakan tangan makrobentos yang terdapat dalam transek diambil

dan dimasukan ke dalam plastik bening. Setelah makrobentos dikumpulkan

kemudia diawetkan menggunakan formalin sebanyak 3 tetes. Makrobentos yang

didapat kemudian dianalisis jenis spesiesnya dan dihitung kepadatan serta

keragaman makrobenthos.

3.2.2. Kepadatan

Kepadatan dihitung dengan rumus :

∑𝒊=𝟏 𝒏𝒊
X=
𝑨𝒙 𝑺

Keterangan :

X = kepadatan individu/m2

A = luas transek pengambilan sampel (m2)

S = jumlah transek pengambilan sampel

Ni = jumlah individu suatu spesies/genus ke-i

3.2.3. Keragaman

Keragaman dihitung dengan rumus :


Indeks Diversitas Shannon-Wiener

𝑆
𝑁𝑖 𝑁𝑖
𝐻= −∑ ln
𝑁 𝑁
𝑖=1

Keterangan:

H’ = indeks keragaman

S = jumlah spesies

Ni = jumlah individu tiap spesies ke-i

N = jumlah total individu semua spesies

3.3. Waktu dan Tempat

Praktikum ini dilakukan pada Sabtu, 16 Maret 2019 pukul 05.00 WIB.

Pengambilan sampel dilakukan pada bagian tengah yang terletak pada jalan Dr.

Angka kel. Sokanegara kec. Purwokerto Utara dengan koordinat 70 25’ 37” N 1090

13’ 57” E, dan bagian hilir sungai yang terletak pada jalan Slamet Riyadi kel.

Kranji kec. Purwokerto Utara dengan koordinat 70 25’ 35” N 1090 13’ 57” E di

Sungai Kranji. Pengamatan dilakukan pada pukul 11.30 WIB. Selanjutnya

analisis laboratorium dilakukan di Laboratorium Pengajaran Fakultas Perikanan

dan Ilmu Kelautan Universitas Jenderal Soedirman

3.4. Analisis Data

Data pengukuran parameter sifat biologi air yang diperoleh dapat

dianalisis secara deskriptif dengan histogram atau diagram balok antara titik

sampling, dan dengan bantuan tabel.


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

Tabel 3. Sifat Biologi Sungai

Jumlah
Kepadat
Tepi Teng Tepi Keragaman
Stasiun Genus Spesies Total an
Kiri ah Kanan (Ind/m2)
(Ind/L)

Sulcosp Sulcosp
ira ira 2 3 - 5 2
Tengah testudi 0,66
naria

Soman Soman
niathel niathel
pusa 2 - - 2 1
pusa
sinensis

Hilir Sulcosp Sulcosp 7 - - 7 3


ira ira
testudi
naria

0,6
Soman
Soman niathel 3 - - 3 1
niathel pusa
pusa sinensis

4.2. Pembahasan

4.2.1. Kepadatan

Kepadatan makrobentos harus diperhatikan untuk mengetahui seberapa


banyak organisme yang berada pada daerah yang diamati. Dalam mencari

kepadatan maka ketelitian harus benar-benar diperhatikan agar kesalahan dalam

menentukan banyaknya spesies makrobentos tidak mengalami kesalahan.

Makrozoobentos merupakan indikator yang baik dari kualitas habitat jangka

panjang daripada kondisi sesaat (Kumar, 2014). Berikut merupakan grafik

kepadatan makrobentos sungai Kranji pada bagian tengah dan hilir :

Kepadatan
3.5
3
3
2.5
2
2
ind/L

Sulcospira testudinaria
1.5
1 1
1 Somanniathelpusa
0.5 sinensis
0
Tengah Hilir
Stasiun

Grafik 1. Kepadatan Makrozoobentos Sungai Kranji

Berdasarkan grafik diatas, menunjukan bahwa kepadatan pada bagian

tengah kepadatan Sulcospira testudinaria sebesar 2 ind/L dan kepadatan

Somanniathelpusa sinensis sebesar 1 ind/L, pada bagian hilir kepadatan Sulcospira

testudinaria sebesar 3 ind/L, kepadatan Somanniathelpusa sinensis sebesar 1 ind/L.

Keberadaan makrobenthos pada perairan mengidentifikasikan pencemaran

pada perairan. Menurut Nugroho (2006) dalam Minggawati (2013), faktor yang

mempengaruhi keberadaan makrozoobenthos dalam perairan adalah suhu air,

kandungan unsur kimia seperti kandungan ion hidrogen (pH), oksigen terlarut

(DO), dan kebutuhan oksigen biologi (BOD). Sedangkan kelimpahan


makrozoobentos bergantung pada toleransi atau sensitifitasnya terhadap

perubahan lingkungan. Setiap komunitas memberikan respon terhadap

perubahan kualitas habitat dengan cara penyesuaian diri pada struktur

komunitas.

Keberadaan beberapa jenis spesies yang ditemukan menunjukan bahwa

kondisi perairan di Sungai Kranji dari tengah ke hilir masih dalam kondisi baik.

Adanya organisme yang hidup di perairan tersebut mengindikasikan bahwa

kondisi perairan masih layak digunakan untuk menunjang kehidupan

organisme akuatik yang hidup di dalamnya. Dengan kondisi yang seperti ini,

memungkinkan kemampuan perairan untuk mendukung kelangsungan hidup

makrozoobenthos (Ratih et. al, 2015).

4.2.2. Keragaman

Perairan dangkal cenderung memiliki keanekaragaman yang lebih tinggi

dibandingkan dengan perairan yang lebih dalam, karena intensitas cahaya

matahari dapat mencapai dasar perairan, daerah dangkal biasanya memiliki

variasi habitat yang lebih besar dari. Pada daerah yang lebih dalam sehingga

cenderung mempunyai makrozoobentos yang beranekaragam dan interaksi

kompetisi lebih kompleks. Pada musim hujan perairan cenderung lebih dalam

jika dibandingkan dengan saat musim kemarau (Minggawati, 2013). Berikut

merupakan grafik keragaman makrobenthos Sungai Kranji pada bagian tengah

dan hilir :
Keragaman
0.68
0.66
0.66
0.64
ind/m2 0.62
0.6
0.6 Keragaman
0.58
0.56
Tengah Hilir
Stasiun

Grafik 2. Keragaman Makrozoobentos Sungai Kranji

Berdasarkan grafik di atas, menunjukan bahwa keragaman pada bagian

tengah sebesar 0,66 ind/m2 dan keragaman pada stasiun hilir sebesar 0,6 ind/m2.

Keragaman tertinggi yaitu di stasiun tengah dengan keragaman sebesar 0,66

ind/m2, dan keragaman terendah pada stasiun hilir dengan keragaman sebesar

0,6 ind/m2. Menunjukan bahwa nilai keragaman tertinggi berada pada daerah

tengah sungai, sedangkan nilai keragaman terendah pada daerah hilir sungai.

Hal ini disebabkan karena pada daerah tengah kondisi perairannya lebih

mendukung makrozoobenthos untuk hidup karena tidak terjadi penumpukan

bahan organik. Pada bagian hilir terdapat banyak sumber makanan yang

terbawa oleh arus dari hulu sungai. Hal ini sesuai dengan, Nurracmi dan

Marwan (2012) dalam Mushthofa (2014), menyatakan hewan benthos erat

kaitannya dengan tersedianya bahan organik yang terkandung dalam substrat,

karena bahan organik merupakan sumber nutrien bagi biota yang pada

umumnya terdapat pada substrat dasar dan bahan organik terbesar ada pada

bagian hilir sungai. Mushthofa (2014) menjelaskan bahwa adanya hubungan


yang bersifat positif antara bahan organik dengan kelimpahan

makrozoobenthos, artinya jika kandungan bahan organik semakin besar maka

kelimpahan makrozoobenthos cenderung semakin besar. Selain itu melihat dari

sifat fisika perairan, pada daerah hulu dan tengah yang memiliki tipe substrat

berbatu memilik nilai keragaman makrobenthos lebih kecil. Hal ini sesuai

dengan pendapat Krisanti (2013) yang menyatakan bahwa perairan denga tipe

substrat seperti batu, kerikil dengan sedikit lumpur, kurang disukai oleh

beberapa kelompok makrozoobenthos.

Keberadaan beberapa jenis spesies yang ditemukan menunjukan bahwa

kondisi perairan di Sungai Kranji dari tengah ke hilir masih dalam kondisi baik.

Adanya organisme yang hidup di perairan tersebut mengindikasikan bahwa

kondisi perairan masih layak digunakan untuk menunjang kehidupan

organisme akuatik yang hidup di dalamnya. Dengan kondisi yang seperti ini,

memungkinkan kemampuan perairan untuk mendukung kelangsungan hidup

makrozoobenthos (Ratih et. al, 2015).


V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan

bahwa:

1. Parameter biologi yang diamati pada Sungai Kranji yaitu kepadatan dan

keragaman makrozoobentos, kepadatan makrozoobentos pada Sungai Kranji

pada bagian tengah terdapat Sulcospira testudinaria sebesar 2 ind/m2 dan

kepadatan Somanniathelpusa sinensis sebesar 1 ind/m2, pada bagian hilir

kepadatan Sulcospira testudinaria sebesar 3 ind/m2, kepadatan

Somanniathelpusa sinensis sebesar 1 ind/m2. Keberadaan makrobenthos pada

perairan mengidientifikasikan pencemaran pada perairan. Keragaman

makrozoobentos pada bagian tengah sebesar 0,66 ind/m2 dan keragaman

pada stasiun hilir sebesar 0,6 ind/m2. Keragaman tertinggi yaitu di stasiun

tengah dengan keragaman sebesar 0,66 ind/m2, dan keragaman terendah

pada stasiun hilir dengan keragaman sebesar 0,6 ind/m2. Menunjukan bahwa

nilai keragaman tertinggi berada pada daerah tengah sungai, sedangkan nilai

keragaman terendah pada daerah hilir sungai. Hal ini disebabkan karena

pada daerah tengah kondisi perairannya lebih mendukung makrozoobenthos

untuk hidup karena pada bagian tengah tidak terjadi penumpukan bahan

organik.

2. Faktor yang mempengaruhi keberadaan makrozoobenthos dalam perairan

adalah faktor fisika kimia lingkungan perairan,seperti suhu air, kandungan

unsur kimia seperti kandungan ion hidrogen (pH), oksigen terlarut (DO), dan
kebutuhan oksigen biologi (BOD). Sedangkan kelimpahan makrozoobentos

bergantung pada toleransi atau sensitifitasnya terhadap perubahan

lingkungan. Sedangkan kelimpahan makrozoobentos bergantung pada

toleransi atau sensitifitasnya terhadap perubahan lingkungan. Setiap

komunitas memberikan respon terhadap perubahan kualitas habitat dengan

cara penyesuaian diri pada struktur komunitas. Faktor keragaman

makrozoobentos yaitu pada jumlah limbah organik, kondisi dari kualitas

perairan dan perairan dangkal cenderung memiliki keanekaragaman yang

lebih tinggi dibandingkan dengan perairan yang lebih dalam, karena

intensitas cahaya matahari dapat mencapai dasar perairan, daerah dangkal

biasanya memiliki variasi habitat yang lebih besar dari pada daerah yang

lebih dalam sehingga cenderung mempunyai makrozoobentos yang

beranekaragam dan interaksi kompetisi lebih kompleks. Pada musim hujan

perairan cenderung lebih dalam jika dibandingkan dengan saat musim

kemarau. Hal tersebut dapat mempengaruhi kepadatan makrozoobentos di

dasar suatu perairan.

5.2. Saran

Saran yang dapat diberikan yaitu ketika pengambilan makrozoobentos

harus berhati-hati dan dalam penghitungan harus lebih teliti.


DAFTAR PUSTAKA

Ali, A., Soemarno., dan M. Purnomo. 2013. Kajian Kualitas Air dan Status Mutu
Air Sungai Metro di Kecamatan Sukun Kota Malang. Jurnal Bumi Lestari, 13
(2): 265-274.

Chalid, H. 2014. Keragaman dan Distribusi Makrozoobenthos pada Daerah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil TAnjung Buli, Halmahera Timur. Skripsi. Universitas
Hasanudin, Makasar.

Dwirastiana. 2013. Teknik Pengambilan Dan Identifikasi Bentos Kelas


Oligochaeta Di Daerah Indakiat Riau Pekanbaru. Buletin Teknik Litkayasa ,
11 (2).

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan. Konsius. Yogyakarta.

Irawadi., dan Ariwibowo, M.L. 2018. Peran Kelembagaan Formaspesung Dalam


Restorasi Sungai Kranji Purwokerto. Prosiding Seminar Nasional Geografi
UMS IX 2018. ISBN: 978-602-361-137-9.

Krisanti, M, E. Susilowati., dan Y. Wardiatno. 2013. Analisis Komunitas


Makrozoobenthos dengan Beberapa Indeks Biologi dalam Penentuan
Tingkat Pencemaran Hulu Sungai Cisadane, Bogor. Jurnal Biologi Tropis, 13
(1): 1-18

Kumar, Ankit., and Vyas, Vipin. 2014. Original Article Diversity of


macrozoobenthos in the selected reach of River Narmada (Central Zone),
India. International Journal of Research in Biological Sciences, 4 (3): 60-68

Minggawati, I. 2013. Struktur Komunitas Makrozoobentos Di Perairan Rawa


Banjiran Sungai Rungan, Kota Palangka Raya. Jurnal Ilmu Hewani Tropika, 2
(2): 64-67.

Mushthofa, Aqil., Max R.M., Siti R. 2014. Analisis Struktur Komunitas


Makrozoobenthos Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan Sungai Wedung
Kabupaten Demak, Diponegoro. Journal Of Maquares, 3 (1) : 81-88.

Rahadi, B., dan N. Lusiana. 2013. Penentuan Kualitas Air Tanah Dangkal Dan
Arahan Pengelolaan (Studi Kasus Kabupaten Sumenep). Jurnal Teknologi
Pertanian, 13 (2): 97-104.

Rakhmanda, A. 2011. Estimasi Populasi Gastropoda di Sungai Tambak Byan


Yogyakarta. Jurnal Ekologi Perairan, 1 (3): 1-7.

Ratih, I, W. Prihanta., dan E. Susetyarini. 2015. Inventarisasi Keanekaragaman


Makrozoobentos di Daerah Aliran Sungai Brantas Kecamatan Ngoro
Mojokerto sebagai Sumber Belajar Biologi SMA Kelas X. Jurnal Pendidikan
Biologi Indonesia, 1 (2) :158-169.

Safruddin, Adriman, Nur El Fajri. 2015. Struktur Komunitas Makrozoobenthos


Di Perairan Sungai Melibur Desa Mayang Sari Kecamatan Merbau
Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau. Jurnal Biologi, 6: 32-45.

Setiawan, Doni. 2010. Studi Komunitas Makrozoobenthos Di Perairan Sungai


Musi Sekitar Kawasan Industri Bagian Hilir Kota Palembang. Prosiding
Seminar Nasional Limnologi, 52: 17-228.

Yuliastuti, Etik. 2011. Kajian Kualitas Air Sungai Ngringo Karanganyar dalam Upaya
Pengendalian Pencemaran Air. Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang.
LAMPIRAN

Lampiran 1

Perhitungan

Diketahui:
- Stasiun Tengah 1. 1. Stasiun Tengah :
5
Sulcospira testudinaria 𝑋𝑆𝑢𝑙𝑐𝑜𝑠𝑝𝑖𝑟𝑎 𝑡𝑒𝑠𝑡𝑢𝑑𝑖𝑛𝑎𝑟𝑖𝑎 = 1 × 3 = 1,7 ind/m2
A=1 2
X𝑆𝑜𝑚𝑎𝑛𝑛𝑖𝑎𝑡ℎ𝑒𝑙𝑝𝑢𝑠𝑎 𝑠𝑖𝑛𝑒𝑛𝑠𝑖𝑠 = 1 𝑥3 = 0,7 ind/m2
S=3
2 2 5 5
H ′ = − {( 𝐼𝑛 ) + ( 𝐼𝑛 )}
Ni = 5 10 10 10 10
Somanniathelpusa sinensis = -{(-0,32) + (-0,34)} = 0,66

A=1 2. 2. Stasiun Hilir


7
S=3 𝑋𝑆𝑢𝑙𝑐𝑜𝑠𝑝𝑖𝑟𝑎 𝑡𝑒𝑠𝑡𝑢𝑑𝑖𝑛𝑎𝑟𝑖𝑎 = 1 × 3 = 2,7 ind/m2
Ni = 2 3
X𝑆𝑜𝑚𝑎𝑛𝑛𝑖𝑎𝑡ℎ𝑒𝑙𝑝𝑢𝑠𝑎 𝑠𝑖𝑛𝑒𝑛𝑠𝑖𝑠 = 1 𝑥3 = 1 ind/m2
- Stasiun Hilir
3 3 7 7
Sulcospira testudinaria H ′ = − {( 𝐼𝑛 )+( 𝐼𝑛 )}
10 10 10 10
A=1 = −{(0,36) + (0,24)} = 0,6

S=3

Ni =7
Somanniathelpusa sinensis

A=1

S=3

Ni = 3

Ditanya :
A. Kepadatan (X) Stasiun Tengah dan Hilir
B. Indeks Shannon Wienner Stasiun
Tengah dan Hilir
Dijawab :
∑ 𝑛𝑖
Kepadatan (𝐗) =
𝐴𝑥𝑆

Keterangan:

X= kepadatan individu/m2

A=Luas transek pengambilan sampel


(...m2)

S=jumlah transek pengambilan sampel


(...m2)

ni=jumlah individu suatu


spesies/genus ke-i...

Indeks Diversitas Shannon-


𝑛𝑖 𝑛𝑖
Wienner (H ′ ) = − ∑𝑠𝑖=1 𝑙𝑛
𝑁 𝑁

Keterangan :

H ′ = indeks keragaman

S=jumlah spesies

Ni=jumlah individu tiap spesies ke-i

N=jumlah total individu semua spesies

Lampiran 2

Foto Kegiatan
ACARA IV

ANALISIS SIFAT FISIK AIR KOLAM PEMBESARAN IKAN

NILA (Oreochromis niloticus) DI BPBAT TAMBAK SOGRA

Oleh :

Iswardhani Ariyanti

NIM. L1B017035

LAPORAN PRAKTIKUM LIMNOLOGI

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO

2019
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Air merupakan sumber daya alam yang diperlukan untuk hajat hidup

orang banyak, bahkan oleh semua makhluk hidup. Pemanfaatan air untuk

berbagai kepentingan harus dilakukan secara bijaksana dengan

memperhitungkan kepentingan generasi sekarang dan generasi mendatang

(Nugroho, 2008 dalam Ali, dkk., 2013). Salah satu pemanfaatan air yaitu untuk

kegiatan budidaya ikan. Usaha budi daya ikan semakin hari semakin bertambah

intensif, sejalan dengan kemajuan zaman dan teknologi. Masyarakat semakin

cenderung untuk memanfaatkan lahan yang tersedia semaksimal mungkin,

sehingga produksi per satuan luas semakin meningkat. Keberhasilan suatu

usaha budi daya sangat erat kaitannya dengan kondisi lingkungan yang

optimum untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan yang dipelihara

(Mulyadi, 2014).

Kolam merupakan tempat yang paling ideal untuk pemeliharaan ikan.

Pemeliharaan ikan dalam kolam dapat dilakukan secara monokultur dan

polikultur. Lokasi perkolaman harus memenuhi persyaratan antara lain sumber

air cukup, letak kolam bebas dari banjir dan pencemaran air, kondisi tanah kolam

liat berpasir, dan sarana lain seperti jalan sudah tersedia (Akbar, 2016).

Kehidupan organisme pada suatu perairan dipengaruhi oleh faktor fisik. Faktor

fisik yang mempengaruhi perairan adalah kedalaman, suhu, warna, kecerahan,

dan bau. Kualitas air (fisika dan kimia) yang khas bagi suatu keperluan

dinyatakan dalam suatu angka atau kisaran angka dalam suatu satuan, disebut
kriteria. Kriteria adalah suatu persyaratan ilmiah yang digunakan sebagai dasar.

Untuk mengetahui kandungan yang terdapat dalam air dan termasuk

kolam yang baik untuk budidaya ikan, maka perlu dilakukan penelitian.

Kualitas air berbeda menurut asalnya. Oleh karena itu dilakukan penelitian

mengenai sifat fisik perairan lentik pada kolam pembesaran di Desa Tambak

Sogra, Baturraden. Parameter fisik yang diteliti meliputi (1) suhu, untuk

mengetahui berapa suhu yang baik untuk kolam pembesaran pada budidaya

ikan nila agar mencapai pembesaran yang maksimal dan terbebas dari penyakit.

Suhu sangat berperan dalam mengendalikan kondisi ekosistem perairan.

Peningkatan suhu juga menyebabkan terjadinya peningkatan dekomposisi

bahan organik oleh mikroba (2) penetrasi cahaya, untik mengetahui sampai

kedalaman berapa cahaya matahari dapat masuk, karena cahaya matahari

merupakan sumber energi yang utama bagi kehidupan organisme termasuk

kehidupan di perairan. Jika cahaya matahari kurang, maka pertumbuhan

plankton sebagai pakan alami ikan akan berkurang, karena cahaya matahari

merupakan sumber energi plankton untuk melakukan proses fotosintesis, dan

jika terlalu banyak juga tidak baik bagi pertumbuhan ikan, maka dari itu

pengukuran penetrasi cahaya dilakukan. (3) Kedalaman, untuk mengetahui

berapahkah kedalaman yang baik untuk budidaya ikan nila pada kolam

pembesaran, karena kedalaman merupakan faktor pembatas kesuburan

perairan. kekeruhan, (4) DHL (Daya Hantar Listrik) atau konduktivitas untuk

mengetahui berapa konduktivitas maksimal yang dapat ditolerir oleh organisme

ikan, karena jika berlebih akan menyebabkan ikan menjadi stres dan
mengakibatkan mortalitas, (5) TDS, untuk mengetahui berapakah kadar TDS

pada kolam tersebut (6) bau air, untuk mengetahui tingkat pencemaran pada

kolam tersebut (7) warna air, untuk mengetahui warna tampak dan warna

sesungguhnya pada kolam pembesaran ikan nila (8) kekeruhan, untuk

mengetahui sampai batas maksimal kekeruhan berapa ikan dapat hidup (9) tipe

substrat, mengetahui tujuan pembuatan kolam untuk ikan jenis apa karena

berpengaruh terhadap komunitas sumber pakan alami dalam suatu kolam.

1.2. Tujuan

Tujuan dari praktikum analisis sifat fisik air kolam adalah:

1. Mengetahui parameter fisik pada kolam pembesara ikan nila di BPBAT

Tambak Sogra.

2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi parameter fisik kolam

pembesara ikan nila di BPBAT Tambak Sogra.


II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kolam

Kolam merupakan perairan semi tertutup yang dibuat oleh manusia.

Kolam merupakan lahan basah buatan yang umumnya dibangun bagi kegiatan

budidaya perairan, khususnya ikan air tawar. Secara umum, kolam merupakan

lahan yang dibuat untuk menampung air dalam jumlah tertentu sehingga dapat

dipergunakan untuk pemeliharaan ikan dan atau hewan air lainnya. Sedangkan

secara teknis, kolam merupakan suatu perairan buatan yang luasnya terbatas

dan sengaja dibuat manusia agar mudah dikelola dalam hal pengaturan air, jenis

hewan budidaya, dan target produksinya (Puspita et.al, 2005).

Kolam merupakan badan air tergenang buatan manusia yang memiliki

ciri ekologis hampir sama dengan danau. Kolam dibangun sebagai sarana

budidaya berbagai macam jenis ikan dengan sumber air umumnya berasal dari

waduk atau sungai yang dialirkan ke kolam-kolam melalui saluran irigasi, baik

yang dibangun khusus untuk mengairi kolam, maupun saluran irigasi yang

dibangun untuk mememuhi kebutuhan air bagi lahan pertanian secara umum

(Ningsih et.al., 2013).

2.1.1. Kolam Pembesaran Ikan Nila

Kolam pembesaran ikan tradisional biasanya berukuran sama atau lebih

besar dibandingkan dengan kolam pembesaran yaitu sekitar 250-600 m2. Namun,

dalam kurun waktu 30 tahun belakangan, telah dikembangkan pemeliharaan

ikan di kolam air deras yang lahannya sempit, tetapi kepadatan yang sangat

tinggi. Untuk pemeliharaan ikan secara intensif ini, debit air harus cukup besar,
yaitu antara 10-15 l/detik (Susanto, 2013).

Untuk kolam pembesaran diperlukan pakan tambahan yang harus

bergizi tinggi. Kini sudah berkembang pemeliharaan ikan di keramba jaring

apung yang bisa menggunakan padat tebar tinggi dan pemberian pakan

tambahan. Selain itu, ada bentuk kolam alternatif untuk pembesaran yang

dikenal dengan nama hampang (pen culture), sawah tambak, keramba yang

panjangnya mencapai puluhan kilometer, kolam comberan, kolam karpet dan

lain sebagainya (Susanto, 2013).

2.1.2. Karakteristik Kolam Pembesaran Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

Karakteristik Kolam Pembesaran Ikan Nila adalah Lokasi kolam yang

berada kurang dari 600 m dpl dengan karakteristik tanah liat berpasir

merupakan daerah yang cocok untuk pembangunan konstruksi kolam

permanen maupun semi permanen. Lokasi dengan karakter tanah yang stabil

dan keras akan lebih baik dalam pembuatan konstruksi kolam beton.

(Suprayitno, 1986 dalam Hidayat, 2018). Daerah terbaik untuk kolam air deras

adalah tanah dengan sedikit kemiringan. Kemiringan optimal 0,5-1 persen,

kemiringan maksimum yang masih bisa digunakan untuk pembuatan kolam

adalah 2,5 persen (Suprayitno, 1989 dalam Hidayat, 2018).

Kolam diusahakan berada dekat dengan sumber air. Perbedaan

ketinggian sumber air dengan air permukaan kolam ±30 cm. Hal ini bertujuan

agar pemasukan dan pengeluaran air dapat dilakukan secara grafitasi

(Suprayitno, 1989 dalam Hidayat, 2018). Aliran yang deras akan meningkatkan

kualitas air terjaga dalam kondisi optimum untuk pertumbuhan ikan. (Boyd,
1982, Suprayitno, 1989 ; RSNI, 2014 dalam Hidayat, 2018).

2.2. Sifat fisik Kolam

2.2.1. Suhu

Suhu merupakan salah satu faktor penting bagi kehidupan ikan, karena

suhu merupakan faktor pengontrol yang mempengaruhi laju perkembangan dan

laju pertumbuhan ikan. Suhu berpengaruh terhadap laju metabolisme ikan

karena sesuai dengan biokimia jaringan tubuhnya, yakni ikan memiliki sifat

poikilotermal yang artinya suhu tubuh ikan mengikuti suhu di sekitarnya,

sehingga suhu tubuh mereka berubah sesuai dengan suhu lingkungannya.

Kenaikan suhu di luar batas toleransi dapat menyebabkan laju metabolisme

dalam tubuh ikan meningkat. Sebagian besar spesies ikan, laju metabolisme di

atas suhu optimum (33-40 0C) akan meningkat dan energi mulai dialihkan dari

pertumbuhan untuk laju metabolisme yang tinggi (Nursyamsi, 2003).

Suhu sangat berperan dalam mengendalikan kondisi ekosistem perairan.

Peningkatan suhu juga menyebabkan terjadinya peningkatan dekomposisi

bahan organik oleh mikroba. Kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan

fitoplankton di perairan adalah 200C – 300C (Effendi dalam Ali, 2013). Menurut

Hutabarat dalam Nisa et al. (2015). Bahwa tingginya suhu disebabkan oleh

tingginya cahaya dan adanya pencampuran air, serta oleh faktor aktifitas yang

ada pada stasiun tersebut. Tingginya suhu air berkaitan dengan besarnya

intensitas cahaya matahari yang masuk keperairan, karena intensitas cahaya

yang masuk menentukan derajat panas.

2.2.2. Penetrasi Cahaya


Kecerahan adalah ukuran transporansi perairan yang ditentukan secara

visual dengan mengunakan scchi disk satuan untuk nilai kecerahan dari suatu

perairan dengan alat tersebut adalah satuan meter (Effendi, 2003). Kecerahan

merupakan tingkat penetrasi cahaya matahari yang dinyatakan dengan satuan

panjang. Alat yang bias digunakan untuk mengukur tingkat kecerahan air

adalah sechi disk, yaitu berupa pirigan yang diberi warna hitam putih dan

dihubungkan dengan tali pegangan yang mempunyai garis garis skala. Pada

perairan tambak, kecerahan erat dikaittanya dan berbanding terbalik dengan

jumlah fitoplankton didalamnya (Marindro, 2008).

Cahaya matahari merupakan sumber energi yang utama bagi kehidupan

organisme termasuk kehidupan di perairan. Penetrasi cahaya dipengaruhi oleh

kedalaman suatu perairan, semakin dalam perairan, intensitas cahaya yang

masuk semakin berkurang. Keadaan tersebut akan mengurangi pertumbuhan

plankton sebagai pakan alami ikan, karena cahaya matahari merupakan sumber

energi plankton untuk melakukan proses fotosintesis. Oleh karena itu, penetrasi

cahaya dapat menjadi tolak ukur kesuburan perairan (Atmawati, 2012).

2.2.3. Kedalaman

Kedalaman perairan berperan penting terhadap kehidupan biota pada

ekosistem tersebut. Peningkatan kedalaman perairan menyebabkan terdapat

zona-zona yang masing-masing memiliki kekhasan tertentu, seperti suhu,

kelarutan gas-gas dalam air, kecepatan arus, penetrasi cahaya matahari dan

tekanan hidrostatik. Perubahan faktor-faktor fisik dan kimiawi perairan tersebut

akibat perubahan kedalaman sehingga menyebabkan respon yang berbeda


pada biota akuatik di dalamnya (Putra, 2015).

Kedalaman perairan dimana proses fotosintesis sama dengan proses

respirasi disebut kedalaman kompensasi. Kedalaman kompensasi biasanya

terjadi pada saat cahaya di dalam kolom air hanya tinggal 1 % dari seluruh

intensitas cahaya yang mengalami penetrasi dipermukaan air (Effendi, 2003

dalam Yumame et.al, 2013). Kedalaman perairan juga merupakan faktor

pembatas kesuburan perairan. Fitoplankton banyak dijumpai pada kedalaman

tidak lebih dari satu meter pada perairan umum, karena pada kedalaman

satu meter merupakan daerah transparansi matahari (Harahap, 2000 dalam

Maresi, 2015)

2.2.4. Kekeruhan

Kekeruhan adalah keadaan buram atau kekaburan dari cairan yang

disebabkan oleh partikel individu (padatan tersuspensi) yang umumnya tidak

terlihat dengan mata telanjang, mirip dengan asap udara. Kekeruhan disebabkan

karena adanya kandungan Total Suspended Solid baik yang bersifat organik

maupun anorganik. Alat untuk mengetahui tingkat kekeruhan air adalah

turbidimeter (Nuzula dan Endarko, 2013).

Kekeruhan dapat disebabkan oleh kehadiran bahan-bahan organik

ataupun anorganik, baik yang tersuspensi maupun terlarut, seperti serpihan,

partikel halus, tanah, plankton, dsb. Hal ini bisa bersumber dari hasil kegiatan

pelapukan batu, limpasan dari tanah (erosi), dan pengaruh antropogenik

(sampah, limbah domestik, industri atau air rawa yang kaya akan bahan

organik).Pengaruh meningkatnya kekeruhan adalah berkurangnya penetrasi


cahaya yang berdampak pada menurunnya produktivitas primer seperti

phytoplankton dan makrophyta bentik dan menurunnya efisiensi pakan dari

ikan-ikan predator akibat kesulitan melihat (Pagoray dan Ghitarina, 2016).

2.2.5. TDS (Total Dissolve Solid)

TDS (Total Dissolved Solid) atau padatan terlarut total adalah bahan-bahan

terlarut dalam air yang tidak larut dan tidak tersaring dengan kertas saring

milipore dengan ukuran pori-pori (porousity) 0,4 μm (Triatmojo, 2008). Sumber

utama TDS dalam perairan adalah limpahan dari pertanian, limbah rumah

tangga, dan industri. Unsur kimia yang paling umum adalah kalsium, fosfat,

nitrat, natrium, kalium, dan klorida. Materi yang tersuspensi mempunyai

dampak buruk terhadap kualitas air karena mengurangi penetrasi cahaya

matahari ke dalam badan air, kekeruhan air meningkat yang menyebabkan

gangguan pertumbuhan bagi organisme produser (Agustira, 2013).

TDS yang tinggi diakibatkan karena dibuang secara langsung ke sungai

sehingga menimbulkan masalah bagi kehidupan hewan dan tumbuhan

disekitarnya serta menimbulkan korosi pada pipa-pipa logam yang ada.

Berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan

pengendalian pencemaran air disebutkan bahwa konsentrasi residu terlarut

(TDS) yang diijinkan adalah 1.000 ppm (Partuti, 2014). Berbagai teknologi

digunakan untuk mengolah air limbah yang mengandung konsentrasi TDS yang

tinggi, diantaranya dengan cara penyulingan (destilasi), osmosis balik,

pembekuan (freezing process), elektrodialisis dan pertukaran ion (Mielke, 1999

dalam Partuti, 2014).


2.2.6. Konduktivitas

Konduktivitas atau daya hantar listrik merupakan partikel-partikel yang

masuk diperairan dari hulu ke hilir. Konduktivitas merupakan jumlah ion-ion

terlarut pervolumenya dan mobilitas ion-ion tersebut. Konduktivitas air yang

baik bagi kehidupan suatu makhluk hidup di perairan adalah di bawah 400 µs.

Konduktivitas yang melebihi 400 µs akan menyebabkan organisme yang

perairan stress dan mati. Jika di perairan sungai terdapat banyak partikel, maka

hantaran listrik tinggi. Secara dominan yang mempengaruhi konduktivitas

adalah temperatur (Pasisingi et al., 2014).

Semakin tinggi kemampuan menghantarkan daya listrik berarti semakin

banyak ion atau mineral yang terlarut di dalam air. Konduktivitas listrik air

secara langsung berhubungan dengan konsentrasi padatan terlarut yang

terionisasi dalam air. Ion dari konsentrasi padatan terlarut dalam air

menciptakan kemampuan pada air untuk menghasilkan arus listrik (Yulianti et

a.l, 2016).

2.2.7. Tipe Substrat

Substrat dasar perairan merupakan salah satu potensi abiotik yang luar

biasa. Substrat berguna sebagai habitat, tempat mencari makan, dan memijah

bagi sebagian besar organisme akuatik (Susanto, 2000 dalam Ningsih dkk, 2013).

Selain itu dasar perairan memiliki komposisi yang sangat kompleks mulai dari

substrat berukuran kecil sampai batu-batuan (Ningsih dkk, 2013).

Tipe substrat dasar suatu perairan kolam dipengaruhi oleh sumber

pemasukan air kolam, semakin keruh air yang masuk ke kolam semakin
berlumpur suatu substrat dasar kolam dan juga dari partikel organik dan

anorganik yang dapat tersebar air masuk melalui inlet. Substrat dasar

dipengaruhi oleh tujuan pembuatan kolam yang sengaja dibuat. Substrat dasar

berpengaruh terhadap komunitas sumber pakan alami dalam suatu kolam,

karena komposisi substrat dasar akan mempengaruhi kekayaan nutrien perairan

(Oktarina & Syamsudin, 2015).

2.2.8. Warna

Warna terbagi menjadi dua yaitu warna sesungguhnya (true color)dan

warna tampak (apparent color). Warna sesungguhnya yaitu warna yang hanya

disebabkan oleh bahan-bahan kimia terlarut. Dalam penentuan warna

sesungguhnya, bahan-bahan tersuspensi yang dapat menyebabkan kekeruhan

dipisahkan dahulu. Warna tampak yaitu warna yang tidak hanya disebabkan

oleh bahan terlarut, tetapi jug disebabkan oleh bahan tersuspensi (Efendi, 2003).

Warna perairan ditimbulkan oleh adanya bahan organik dan bahan

anorganik; karena keberadaan plankton, humus, dan ion-ion logam (misalnya

besi dan mangan), serta bahan-bahan lain. Adanya oksida besi menyebabkan air

berwarna kemerahan, sedangkan oksida mangan menyebabkan air berwarna

kecoklatan atau kehitaman (Peavy et.al., 1985 dalam Ramdani et al., 2016).

Perairan yang banyak bahan organik nabatinya biasanya berwarna coklat gelap.

Biasanya sangat asam dan rendah total alkalinitasnya (Akbar, 2016).

2.2.9. Bau

Bau air merupakan salah satu indikator pencemaran air. Bau air dapat

disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya sampah dan limbah pabrik atau
industri. Banyaknya sampah dan kandungan limbah di perairan akan

menyebabkan bau busuk yang menyengat dan dapat mengganggu kesehatan

masyarakat yang menggunakan perairan tersebut. Hal ini juga dapat

mengakibatkan terganggunya habitat biota air terutama ikan (Triatmojo, 2008).

Bau air kebanyakan berbau tidak enak terjadi pada perairan yang

disebabkan karena adanya senyawa organik dan anorganik yang mengandung

Nitrogen (N), Sulfur (S), Posfor (p) serta berasal dari hasil pembusukan protein

ataupun bahan-bahan organik lainnya. Selain itu bau yang tidak dikehendaki

dalam suatu perairan dapat juga timbul akibat adanya pertumbuhan ganggang,

plankton, tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan lainnya yang mati atau yang

hidup dalam perairan bersangkutan. Keluasan dari pada gangguan bau

tergantung pada besamya nilai pH dari pada perairan dan konsentrasi Sulfida

(S) terlarut yang didapat didalam perairan (Nasution, 2014).


III. MATERI DAN METODE

3.1. Materi

3.1.1. Alat

Tabel 1. Alat praktikum

Ukuran/
No Nama alat Merek Fungsi
jumlah

Thermometer Mengukur suhu pada


1. 1 Pyrex
celcius badan perairan

Menentukan waktu
2. Stopwatch 1 -
pada kecepatan arus

Tempat wadah

sampel dan
3. Botol plastic 6 Aqua
menentukan jarak

arus serta debit air

Keeping Menentukan
4. 1 -
sechidisk penetrasi cahaya

Lutron Menentukan kadar

5. TDS meter 1 YK- TDS dan DHL pada

22CT badan sungai

Leutron Menentukan nilai

6. Turbidimeter 1 TU- kekeruhan pada

2016 badan perairan


3.1.2. Bahan

Tabel 2. Bahan praktikum

Ukuran/
No Nama bahan Merek Fungsi
jumlah

Menentukan parameter

1. Sampel air 6 - fisika pada badan

perairan

Untuk mengkalibrasi

2. Akuades 1 - pada alat pengukuran

seperti TDS meter

Untuk memebersihkan
3. Tissue 1 Nice
alat pengukuran

3.2. Metode

3.2.1. Suhu

Pengukuran suhu dilakukan tiga lokasi sampling yaitu inlet, tengah dan

outlet kolam. Suhu diukur menggunakan termometer celcius. Termometer di

celupkan ke dalam badan air yang akan diteliti selama ± 10 menit. Angka yang

tertera pada skala termometer yang konstan dicatat.

3.2.2. Penetrasi Cahaya

Pengukuran kecerahan dilakukan tiga lokasi sampling yaitu inlet, tengah

dan outlet kolam. Alat secchi disc diturunkan ke suatu kedalaman air tertentu,
yaitu sampai tepat hilang dari pandangan (sebagai X1), kemudian secchidisc

diangkat sampai awal terlihat dari pandangan (sebagai X2). Dihitung penetrasi

cahaya yang didapat dengan rumus :

(X1) + (X2)
PC =
2

PC = Penetrasi cahaya (m)

X1 = Pembacaan Secchidisc awal tidak terlihat (m)

X2 = Pembacaan Secchidisc awal terlihat (m)

3.2.3. Kedalaman

Pengukuran kedalaman dilakukan tiga lokasi sampling yaitu inlet, tengah

dan outlet kolam. Kepping secci diturunkan kedalaman air hingga mencapai

dasar perairan, kemudian catat kedalaman dengan melihat tali yang sudah di

beri batasan tiap 10 cm.

3.2.4. TDS

Pengukuran TDS menggunakan air sampel yang telah dihomogenkan

antara air sampel inlet, tengah dan outlet kolam. Pengukuran TDS dilakukan

dengan menggunakan alat TDS meter. TDS meter terlebih dahulu dikalibrasi

dengan larutan standar yang ada. Kemudian kuvet diisi dengan air sampel,

diukur dan dicatat hasilnya.

3.2.5. DHL

Pengukuran DHL menggunakan air sampel yang telah dihomogenkan

antara air sampel inlet, tengah dan outlet kolam. Konduktivitas diukur

menggunakan alat conductivity meter. Conductivity meter terlebih dahulu


dikalibrasi dengan larutan standar yang ada. Kemudian kuvet diisi dengan air

sampel, diukur, dan hasilnya dicatat.

3.2.6. Kekeruhan

Pengukuran kekeruhan menggunakan air sampel yang telah

dihomogenkan antara air sampel inlet, tengah dan outlet kolam. Pengukuran

kekeruhan dilakukan dengan menggunakan alat turbidimeter. Turbidimeter

terlebih dahulu dikalibrasi dengan larutan standar yang ada. Kemudian kuvet

diisi dengan air sampel, diukur, dan dicatat hasilnya.

3.2.7. Warna Air

Amati warna yang terlihat pada air kolam. Warna yang didapat dan

diperoleh dari pandangan minimal lima orang itulah yang disimpulkan bau air.

3.2.8. Bau Air

Amati warna dan bau dengan metode organoleptik, lalu ambil air dan

akan dibaui oleh 5 orang dan kesimpulan dari hasil bau tersebut dicatat.

3.2.9. Substrat Dasar

Amati subtrat dasar kolam dengan mengambil sampel subtrat dasar

dengan tangan kemudian amati jenis subtrat yang ada di kolam tersebut dan

hasilnya dicatat.

3.3. Waktu dan Tempat

Praktikum dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 30 Maret 2019 di kolam

Pembesaran Ikan Nila (Oreochromis niloticus) di BPBAT Ikan Tambak Sogra

Pengambilan sampel dilakukan 2 (dua) kali yaitu pada pukul 05.30 WIB dan

12.30 WIB. Kemudian pengamatan dilakukan di laboratorium Fakultas


Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Jenderal Soedirman.

3.4. Analisis Data

Data pengukuran parameter sifat fisika air yang diperoleh dapat dianalisis

secara deskriptif dengan histogram atau diagram balok antara titik sampling,

dan dengan bantuan tabel.


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

Tabel 3. Sifat Fisik Kolam C.3 Kolam Pembesaran Ikan Nila Tambak Sogra
Standar
Waktu (WIB) Pustaka
Parameter Satuan Baku Mutu

05.30 12.30

PP RI

Analisis No.82
Celcius 25,3 30,6 25- 30
Suhu Tahun

2001

PP RI

Analisis No.82
mg/L 97 45 1000-2000
TDS Tahun

2001

PP RI

Analisis No.82
NTU 20,793 18,67 18-36
Kekekruhan Tahun

2001

Analisis kepmen
Ηmhos 146 68 20 – 1500
DHL ESDM

penetrasi PP RI
Cm 30,8 cm 7-40
cahaya No.82
Tahun

2001

PP RI

Tidak No.82
Bau - Amis Amis
berbau Tahun

2001

PP RI

Hijau Tidak No.82


Warna - Hijau tua
tua berwarna Tahun

2001

Tipe Lumpur Lumpur Pasisingi


- Lumpur
Substrat berbatu berbatu et.al ., 2014

Prihatman,
Kedalaman cm 62,3 62,66 60-150
2000

4.2. Pembahasan

4.2.1. Suhu

Suhu merupakan parameter yang harus diperhatikan pada proses

budidaya ikan. Secara umum laju pertumbuhan ikan akan meningkat jika

sejalan dengan kenaikan suhu pada batas tertentu (Supratno, 2006 dalam Hasim,

2015). Suhu dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari

permukaan laut (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan,

dan aliran serta kedalaman badan air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap
proses fisika, kimia, dan biologi badan air (Effendi, 2003 dalam Simanullang,

2016). Berikut merupakan grafik suhu kolam pembesaran pada pukul 05.30

WIB dan 12.30 WIB :

35
Suhu
30.6
30
25.3
25

20

15 Suhu

10

0
05,30 12,30
Waktu
Grafik 1. Suhu Kolam Pembesaran Ikan Nila di BPBAT Tambak Sogra

Berdasarkan grafik di atas dapat dilihat bahwa nilai suhu kolam

pembesaran pada ikan nila tertinggi terjadi pada pukul 12.30 WIB sebesar

30,6°C, sedangkan yang terendah terjadi pada pukul 05.30 WIB sebesar 25,3°C.

Waktu siang memiliki nilai temperature tertinggi diperkirakan karena ketika

siang kolam terpapar sinar matahari dengan minimnya vegetasi tutupan di

sekitar kolam membuat panas matahari masuk dan terjadi penyerapan oleh

materi perairan. Hal ini sesuai dengan pendapat Hutabarat (2010) dalam Nisa

(2015) menyatakan bahwa, tingginya suhu disebabkan oleh tingginya cahaya

dan adanya pencampuran air, faktor aktifitas yang ada pada perairan. Semakin

banyak sinar matahari yang masuk maka suhu semakin tinggi. Kamsuri et al.,

(2013) juga berpendapat bahwa temperatur juga merupakan parameter fisika

yang dapat dipengaruhi oleh kecerahan dan kedalaman.


Mengacu pada standar baku PP RI No.82 Tahun 2001 berkisar antara 25-30

°C, hasil penelitian suhu pada Kolam Pembesaran Ikan Nila BPBAT Tambak

Sogra, pada pukul 12.30 melebihi standar baku, namun secara teoritis, ikan tropis

masih hidup normal pada suhu 30 - 35oC apabila konsentrasi oksigen terlarut

cukup tinggi (Kamsuri dkk 2013). Jika kenaikan suhu melebihi batas akan

menyebabkan aktivitas metabolisme organisme air/hewan akuatik meningkat,

hal ini akan menyebabkan berkurangnya gas-gas terlarut didalam air yang

penting untuk kehidupan ikan atau hewan akuatik lainnya. Walaupun ikan

dapat menyesuaikan diri dengan kenaikan suhu, akan tetapi kenaikan suhu

melibihi batas toleransi ekstrim (35°C) waktu yang lama maka akan

menimbulkan stress atau kematian ikan (Hasim, 2015).

4.2.2. Penetrasi Cahaya

Penetrasi cahaya mengindikasikan banyaknya cahaya matahari yang

masih dapat tembus ke dalam suatu perairan. Ketersediaan produktivitas primer

fitoplankton dalam perairan bergantung pada cahaya yang membantu proses

fotosintesis dan mendorong fitoplankton menyediakan energi untuk organisme

lainnya. Faktor yang mempengaruhi penetrasi cahaya yaitu diakibatkan oleh

bahan-bahan yang melayang di air (Mustofa, 2015). Berikut merupakan grafik

penetrasi cahaya kolam Pembesaran Ikan Nila di BPBAT Tambak Sogra pada

pukul 05.30 dan 12.30:


Penetrasi Cahaya
40
35
30.8
30
25
cm

20
Penetrasi Cahaya
15
10
5
0
05,30 12,30
Waktu

Grafik 2. Penetrasi Cahaya Kolam C.3 Pembesaran Ikan Nila di

BPBAT Tambak Sogra

Berdasarkan grafik di atas, nilai kecerahan air pada kolam pembesaran

dengan nilai tertinggi terjadi pada pukul 12.30 WIB yaitu 30,8 cm. Pada jam

05.30 WIB tidak dapat terdefinisi hasilnya, Hal ini karena pada pagi hari

intensitas cahaya matahari tidak terlalu besar sehingga hanya sedikit bahkan

tidak ada cahaya yang dapat masuk ke dalam air. Hal ini sesuai dengan pendapat

Effendi (2003) dalam Yulisa (2016) yang menyatakan bahwa nilai kecerahan

sangat dipengaruhi oleh padatan tersuspensi dan kekeruhan, keadaan cuaca,

waktu pengukuran, serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran. Selain

itu, rendahnya penetrasi cahaya yang terjadi juga diakibatkan karena dalam air

terdapat partikel-partikel yang menghalangi masuknya cahaya. Sari (2015)

mengemukakan pendapatnya bahwa kecerahan perairan dipengaruhi oleh

padatan tersusupensi berupa partikel anorganik, partikel organik atau campuran

dari keduanya. Semakin banyak kandungan partikel cahaya yang masuk akan
terhalang. Kecerahan juga mempengaruhi proses fotosintesis dalam suatu

perairan secara umum tingkat penetrasi cahaya atau kecerahan 25 - 40 cm

sangat baik untuk budidaya ikan (Frasawi, 2013).

Menurut PP RI No.82 Tahun 2001 standar baku penetrasi cahaya berkisar

antara 7-40 cm, namun mengacu pada standar baku mutu air yang ditulis oleh

Frasawi dkk, (2013), hasil penelitian penetrasi cahaya pada Kolam Pembesaran

Ikan Nila BPBAT Tambak Sogra masih memenuhi standar baku air yaitu pada

kisaran 25 – 40 cm. Kondisi ini mengindikasikan bahwa perairan tersebut layak

untuk mendukung kelangsungan hidup biota akuatik. Intensitas cahaya

matahari sangat menentukan laju produktivitas primer perairan, sebagai sumber

energi dalam proses fotosintesis, semakin banyak cahaya yang masuk ke dalam

perairan laju produktivitas primer semakin besar (Yumame et.al., 2013).

4.2.3. Kedalaman

Kedalaman merupakan parameter fisik yang menunjukan ukuran

ketinggian air dari dasar perairan. Kedalaman sangat mempengaruhi suatu

kegiatan budidaya perikanan khususnya untuk kegiatan budidaya di karamba

jaring apung (Hasim, 2015). Kedalaman merupakan sifat fisik yang dapat

diukur dengan menggunakan tiang pancang atau keping secchi yang

ditancapkan pada dasar perairan. Berikut merupakan grafik kedalaman kolam

pembesaran ikan nila BPBAT Tambak Sogra:


Kedalaman
62.7 62.66

62.6

62.5
cm

62.4
Kedalaman
62.3
62.3

62.2

62.1
05,30 12,30
Waktu

Grafik 3. Kedalaman Kolam Pembesaran Ikan Nila di

BPBAT Tambak Sogra

Berdasarkan grafik di atas tentang kedalaman Kolam Pembesaran Ikan

Nila di BPBAT Tambak Sogra kedalaman pada kolam pembesaran pada pukul

05.30 WIB dan pukul 12.30 WIB, yaitu 62,3 cm dan 62,66 cm. Dari kedua waktu

pengamatan didapatkan perbedaan kedalaman. Kedalaman tertinggi pada

pukul 12.30 sebesar 62,66 cm, sedangkan pada pukul 05.30 sebesar 62,3 cm. Hal

ini karena kedalaman dipengaruhi oleh musim dan penumpukan sedimantasi

pada dasar perairan (Hasim et.al., 2013). Asmara (2005) dalam Nisa (2015)

mengatakan bahwa semakin tinggi kedalaman secchi disk semakin dalam

penetrasi cahaya kedalam air, yang selanjutnya akan meningkatkan ketebalan

lapisan air yang produktif. Tebalnya lapisan air yang produktif memungkinkan

terjadinya pemanfaatan unsur hara secara kontinu oleh produsen primer.

Mengacu pada standar baku mutu air yang ditulis oleh (Prihatman, 2000)
hasil penelitian kedalaman pada Kolam Pembesaran Ikan Nila di BPBAT

Tambak Sogra masih memenuhi standar baku air yaitu 60-150 cm. Kedalaman

perairan sangat berpengaruh terhadap kualitas air pada lokasi tersebut.

Kedalaman suatu perairan akan membatasi masuknya cahaya matahari yang

secara Iangsung membatasi kehidupan biota dasar. Penyinaran cahaya

matahari berkurang secara cepat sesuai dengan makin tingginya kedalaman

perairan (Nybakken, 1988 dalam Mantaya, 2016). Kedalaman perairan juga

merupakan faktor pembatas kesuburan perairan. Fitoplankton banyak dijumpai

pada kedalaman tidak lebih dari satu meter pada perairan umum, karena pada

kedalaman satu meter merupakan daerah transparansi matahari (Harahap,

2000 dalam Maresi, 2015).

4.2.4. TDS

Total Dissolved Solid atau TDS merupakan parameter dari jumlah material

yang dilarutkan dalam air. Sumber padatan terlarut total dapat mencakup

semua kation dan anion terlarut, sehingga dapat digunakan sebagai

generelisasi dari hubungan TDS untuk masalah kualitas air (Sarwadi, 2014).

Sebagai contoh adalah air permukaan apabila diamati setelah turun hujan akan

mengakibatkan air sungai maupun kolam kelihatan keruh yang disebabkan

oleh larutnya partikel tersuspensi didalam air, sedangkan pada musim

kemarau air kelihatan berwarna hijau karena adanya ganggang di dalam air

(Situmorang, 2007 dalam Nicola, 2015). Berikut merupakan grafik TDS kolam

pembesaran ikan nila BPBAT Tambak Sogra :


TDS
120

97
100

80
mg/L

60
TDS
45
40

20

0
05,30 12,30
Waktu

Grafik 4. TDS Kolam Pembesaran Ikan Nila di BPBAT Tambak

Sogra

Berdasarkan grafik diatas menunjukan bahwa nilai TDS terendah pada

pukul 12.30 dengan nilai 45 mg/L, kemudian untuk TDS tertinggi pada pukul

05.30 dengan nilai 97 mg/L. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh dari

material organik yang ada dikolam. Menurut Sulawesty (2014), kandungan TDS

disebabkan oleh masukan material organik, khususnya dari porsi makan ikan.

Dengan terbawanya kandungan TDS oleh arus menuju outlet kolam, diiringi

masukan material organik dari biota air menyebabkan kandungan TDS di kolam

sedikit atau tidak mengalami perubahan. Faktor lain yang mempengaruhi

kandungan TDS juga karena tidak adanya penyaringan lebih lanjut pada bak

inlet. Menurut Khusnuryani (2008) dalam Sari (2015), bahwa adanya tanaman air

atau algae yang tumbuh pada permukaan air limbah di kolam sedimentasi dapat

menimbulkan eutrofikasi. Eutrofikasi menyebabkan peningkatan turbiditas atau

kekeruhan dan warna pada badan air.


Mengacu PP No. 82 Tahun 2001 tetang standar baku mutu air, hasil

penelitian kandungan TDS pada Kolam Pembesaran Ikan Nila di BPBAT

Tambak Sogra masih memenuhi standar baku air yaitu 1000-2000 mg/L. Kondisi

ini menunjukan bahwa air kolam layak digunakan untuk kehidupan ikan dan

biota air lainnya. Perubahan dalam konsentrasi TDS dapat berbahaya karena

densitas (massa jenis) air menentukan aliran air masuk dan keluar dari sel–sel

organisme. Namun, jika konsentrasi TDS terlalu tinggi atau terlalu rendah,

pertumbuhan kehidupan banyak air dapat dibatasi, dan kematian dapat terjadi.

Tinginya konsentrasi TDS juga dapat mengurangi kejernihan air, memberikan

penurunan secara signifikan pada proses fotosintesis, serta gabungan dengan

senyawa beracun dan logam berat, dan menyebabkan peningkatan suhu air.

(Sarwadi, 2014). Tingginya kandungan TDS di dalam air juga mempengaruhi

warna perairan (Sastrawijaya, 2000 dalam Pujiastuti et.al., 2013).

4.2.5. DHL

Faktor yang mempengaruhi nilai DHL pada perairan yaitu padatan

terlarut anorganik seperti klorida, nitrat, sulfat, dan anion fosfat atau natrium,

magnesium, kalsium, zat besi dan kation alumunium. Konduktivitas juga

dipengaruhi oleh suhu, semakin hangat air, konduktivitas semakin tinggi

(Lukito, 2015). Konduktivitas merupakan arus konduksi dan dalam

permasalahan perairan juga digunakan untuk mengestimasi nilai total garam

terlarut atau ion dalam air (Pal et al., 2015). Berikut merupakan grafik DHL

(konduktivitas) kolam pembesaran ikan nila di BPBAT Tambak Sogra :


Konduktivitas
160 146
140

120

100
ηmhos

80 68 Konduktivitas
60

40

20

0
05,30 12,30
Waktu

Grafik 5. Konduktivitas Kolam Pembesaran Ikan Nila di BPBAT

Tambak Sogra

Grafik di atas menunjukkan bahwa nilai DHL yang paling tinggi

terdapat pada waktu pukul 05.30 dengan nilai 146 ηmhos dan nilai DHL yang

paling rendah terdapat pada waktu siang pukul 12.30 yaitu 68 ηmhos. Hal ini

disebabkan karena kandungan ion-ion yang tetap berada di dalam kolam.

Seperti yang dijelaskan oleh Soraya et.al. (2013) yang menyatakan bahwa nilai

DHL diperkirakan akibat ionisasi garam-garam terlarut yang ada di perairan.

Menurut Pujiastuti et.al., (2013) kandungan DHL yang ada di kolam dapat

disebabkan pellet yang diberikan pada budidaya ikan. Ion-ion terlarut biasanya

berasal dari hasil sisa pakan ikan yang mengendap di dasar perairan. Pellet

tersebut mengandung klorida dan kalium sehingga akan terlarut di badan air

yang dapat meningkatkan nilai DHL.

Menurut kepmen ESDM, standar baku untuk DHL berkisar antara 20-

1500 ηmhos. Nilai DHL yang paling tinggi terdapat pada waktu pukul 05.30
dengan nilai 146 ηmhos dan nilai DHL yang paling rendah terdapat pada waktu

pagi pukul 12.30 yaitu 68 ηmhos. dan Hal ini sesuai dengan pernyatan Sari

(2015) yang menyatakan bahwa Konduktivitas air yang layak untuk kehidupan

organsme perairan yaitu dibawah 400 µs. Konduktivitas perairan melebihi 400

µs akan membuat organisme atau makhluk hidup stress dan menyebabkan

kematian (Pujiastuti et.al., 2013).

4.2.6. Kekeruhan

Kekeruhan perairan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan

berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan

yang terdapat dalam air (Pujiastuti et.al., 2013). Berikut merupakan grafik

kekeruhan kolam pembesaran ikan nila di BPBAT Tambak Sogra:

Kekeruhan
36

31

26
NTU

20.793 Kekeruhan
21
18.67

16

11
05,30 12,30
Waktu

Grafik 6. Kekeruhan Kolam C.3 Pembesaran Ikan Nila di BPBAT Tambak

Sogra

Grafik di atas menunjukkan bahwa nilai kekeruhan yang paling tinggi


terdapat pada waktu pukul 05.30 dengan nilai 20,793 NTU dan nilai kekeruhan

yang paling rendah terdapat pada waktu siang pukul 12.30 yaitu 18,67 NTU.

Hal ini disebabkan karena pada pagi hari ikan yang ada di kolam aktif bergerak

untuk mencari makan, sehingga partikel-partikel yang ada di dalam air saling

menyebar dan bercampur dengan makanan alami ikan. Sesuai dengan pendapat

yang menyatakan bahwa tingkat kekeruhan akan tinggi karena disebabkan

perairan kolam terkontaminasi oleh makanan, serta disebabkan oleh sisa

metabolisme dari ikan yang ada di kolam (Bachtiar et.al., 2017). Nilai kekeruhan

berbanding lurus dengan nilai TDS di suatu perairan , karena semakin tinggi

nilai TDS maka nilai kekeruhan akan semakin besar (Putra, 2015).

Mengacu pada standar baku mutu air berdasarkan PP RI No.82 Tahun 200,

berkisar antara 18-36 NTU. Kekeruhan pada Kolam Pembesaran ikan nila di

BPBAT Tambak Sogra masih memenuhi standar baku air, pada kisaran 18 – 36

NTU. Kondisi ini layak digunakan untuk kehidupan ikan dan biota air lainnya.

Kekeruhan yang tinggi menyebabkan rendahnya intensitas cahaya yang masuk

ke dalam perairan. Sehingga proses fotosintesis fitoplankton terhambat dan

pertumbuhan fitoplankton tidak optimal (Sitorus, 2015). Kekeruhan yang tinggi

juga dapat menyebabkan penyumbatan pada insang ikan, sehingga ikan akan

kesulitan dalam mengambi l oksigen (Sulawesty, 2014). Semakin tinggi

kekeruhan dapat menyebabkan menurunnya laju fotosintesis fitoplankton,

sehingga menyebabkan terganggunya rantai makanan (Marganof, 2007 dalam

Rahman et al., 2013).

4.2.7. Warna
Warna perairan dipengaruhi oleh kedalaman. Jenis substrat juga

mempengaruhi warna perairan, dipinggir biasanya berwarna gelap atau keruh,

sedangkan didaerah siang lebih terang. Semakin dalam suatu perairan maka

semakin pekat warna perairan (Putra, 2015). Selain itu adanya fitoplankton

sebagai tumbuhan terapung kecil yang tersebar di seluruh kolam juga turut

berperan dalam penentuan warna perairan (Mustofa, 2015). Berdasarkan

pengamatan yang telah di lakukan di Kolam Pembesaran Ikan Nila di BPBAT

Tambak Sogra, warna kolam tersebut pada pengamatan pukul 05.30 dan 12.30

WIB menunjukan warna tampak adalah hijau tua dan warna sesungguhnya

adalah bening.

Hasil ini sesuai dengan standar baku kualitas air menurut PP No. 82 Tahun

2001 yang menghendaki warna air tidak berwarna. Menurut Sastrawijaya (2000)

dalam Pujiastuti et.al., (2013), warna air memiliki hubungan dengan kualitas

perairan. Warna perairan dipengaruhi oleh adanya padatan terlarut dan padatan

tersuspensi. Peningkatan kekeruhan dan warna yang terjadi selama eutroikasi

menyebabkan air tidak sesuai untuk rumah tangga atau sulit dikelola sampai

memenuhi baku mutu air minum. Warna air keruh disebabkan karena

banyaknya aktifitas buangan di sekitar perairan (Gusmaweti, 2015).

Warna perairan dipengaruhi oleh kedalaman. Biasanya jenis substrat juga

mempengaruhi warna perairan, dipinggir biasanya berwarna gelap atau keruh,

sedangkan didaerah siang lebih terang. Semakin dalam suatu perairan maka

semakin pekat warna perairan (Putra, 2015).

4.2.8. Bau
Bau di perairan secara umum disebabkan oleh empat penyebab, antara

lain rendahnya tingkat kandungan oksigen menyebabkan kondisi anaerob,

beberapa tipe alga, polusi kimia dan kondisi geologi. Peningkatan tingkat

kandungan oksigen dan berputarnya air kaya oksigen di dalam air, serta kondisi

anaerob dapat diminimalkan dan gas bau dapat dihilangkan dari air (Putra,

2015).

Berdasarkan pengamatan yang telah di lakukan di Kolam Pembesaran

Ikan Nila di BPBAT Tambak Sogra, bau air pada kolam tersebut pada

pengamatan pukul 05.30 WIB dan 12.30 WIB menunjukan kesamaan bau air

yaitu bau amis. Bau amis didapat dari bau ikan nila yang berada didalam kolam

tersebut karena sisa metabolisme yang berupa amoniak. Amoniak merupakan

salah satu bahan organik yang mempengaruhi bau kolam itu sendiri (Yulianti,

2015). Hal ini tidak sesuai dengan standar baku kualitas air menurut PP No. 82

Tahun 2001 yang menghendaki bau air tidak berbau. Bau yang ditimbulkan

berasal dari substrat dasar perairan yang sudah tercampur oleh sisa metabolisme

organisme air kemudia aromanya naik ke permukaan. (Pancawati dkk, 2014)

mengatakan, bahwa bau pada lingkungan hidup air dapat berasal dari hasil

degradasi oleh mikroba yang hidup dalam air. Organisme tersebut men-

degradasi bahan organic menjadi bahan yang mudah menguap dan berbau

seperti limbah industri makanan.

Munculnya bau busuk yang sangat menyengat, yang menandakan bahwa

telah terjadi pemasukan bahan pencemar yang menyebabkan adanya reaksi

pelepasan gas, baik yang berasal dari proses dekomposisi, oksidasi, maupun gas
dari kandungan senyawa kimia dari limbah itu sendiri (Mustofa, 2015). Air yang

berbau busuk, kemungkinan disebabkan karena campuran dari nitrogen, sulfur

dan pospor. Bau tersebut tercium karena terbentuk asam sulfur dan amoniak.

Bau dapat ditimbulkan oleh pembusukan zat organik seperti bakteri oleh

mikroorganisme air serta kemungkinan akibat tidak langsung dari pencemaran

lingkungan, terutama sistem sanitasi (Pujiastuti et.al., 2013).

4.2.9. Tipe Substrat

Substrat didefinisikan sebagai material-material yang berasal dari

perombakan batuan yang lebih tua atau material yang berasal dari proses

weathering batuan dan ditransportasikan oleh air, udara dan es, atau material

yang diendapkan oleh proses-proses yang terjadi secara alami seperti precitipasi

secara kimia atau sekresi oleh organisme, kemudian membentuk suatu lapisan

pada permukaan bumi (Pancawati dkk, 2014). Pengendapan partikel lumpur di

dasar perairan tergantung pada kecepatan arus, apabila arus lemah maka yang

akan mengendap adalah lumpur halus (Odum, 1971 dalam Fisesa, 2014).

Berdasarkan pengamatan yang telah di lakukan di Kolam Pembesaran

Ikan Nila di BPBAT Tambak Sogra, tipe subtrat di kolam tersebut adalah lumpur

berbatu. Hal ini sesuai dengan standar baku mutu air yang di tulis Pasisingi et.al.,

(2014) bahwa tipe substrat kolam yang baik adalah lunak. Tipe substrat kolam

bersifat lunak karena kolam cenderung tidak mengalami perubahan dalam segi

lingkungan, sedangkan padatan yang masuk dari inlet kolam mempengaruhi

tipe subtrat kolam itu sendiri Astrini et al., (2014).

Kecepatan arus yang kecil pada dasar perairan menyebabkan arus hanya
mampu mengangkut sedimen yang halus sesuai dengan besarnya energi dari

arus tersebut (Pamuji, 2015). Arus dari inlet juga akan mengangkut sedimen

searah dengan arah pergerakan arusnya. Tipe substrat sangat erat kaitannya

dengan ikan yang akan dibudidaya (Wardheni, 2014).


V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan

bahwa :

1. Parameter fisik kolam untuk uji kualitas perairan lentik meliputi suhu,

kecepatan arus, penetrasi cahaya, kedalaman, kekeruhan, TDS,

konduktivitas, warna, dan bau perairan. Nilai parameter fisik rata–rata inlet,

tengah dan outlet pada pukul 05.30 dan 12.30 secara berurutan yaitu, Suhu

(25,30C dan 30,60C), penetrasi cahaya (tidak terdefinisi dan 30,8 cm),

kedalaman (62,3 cm dan 62,66 cm), TDS (97 mg/L dan 45 mg/L),

konduktivitas (146 ηmhos dan 68 ηmhos), kekeruhan (20,793 NTU dan 18,67

NTU), warna air (hijau tua dan hijau tua), dan bau air (amis), tipe substrat

(lumpur berbatu).

2. Faktor yang mempengaruhi parameter fisik pada kolam diantaranya, Suhu

air dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari permukaan

laut (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan

aliran serta kedalaman badan air, waktu siang memiliki nilai temperature

tertinggi diperkirakan karena ketika siang kolam terpapar sinar matahari

dengan minimnya vegetasi tutupan di sekitar kolam membuat panas

matahari masuk dan terjadi penyerapan oleh materi perairan. Penetrasi

cahaya, sangat dipengaruhi oleh padatan tersuspensi dan kekeruhan,

keadaan cuaca, waktu pengukuran, serta ketelitian orang yang melakukan

pengukuran. Selain itu, rendahnya penetrasi cahaya yang terjadi juga


diakibatkan karena dalam air terdapat partikel-partikel yang menghalangi

masuknya cahaya. Kedalaman dipengaruhi oleh musim dan penumpukan

sedimantasi pada dasar perairan. Semakin tinggi kedalaman secchi disk

semakin dalam penetrasi cahaya kedalam air, yang selanjutnya akan

meningkatkan ketebalan lapisan air yang produktif. Tebalnya lapisan air

yang produktif memungkinkan terjadinya pemanfaatan unsur hara secara

kontinu oleh produsen primer. TDS dipengaruhi material organik yang ada

dikolam. Faktor lain yang mempengaruhi kandungan TDS juga karena tidak

adanya penyaringan lebih lanjut pada bak inlet. Konduktivitas, dipengaruhi

oleh suhu, semakin hangat air, konduktivitas semakin tinggi. Kekeruhan

dipengaruhi oleh pergerakan ikan untuk mencari makan, sehingga partikel-

partikel yang ada di dalam air saling menyebar dan bercampur dengan

makanan alami ikan. Warna perairan ditimbulkan oleh adanya bahan

organik dan bahan anorganik; karena keberadaan plankton, humus, dan ion-

ion logam (misalnya besi dan mangan), serta bahan-bahan lain. Warna

perairan dipengaruhi oleh kedalaman. Bau di perairan secara umum

disebabkan oleh empat penyebab, antara lain rendahnya tingkat kandungan

oksigen menyebabkan kondisi anaerob, beberapa tipe alga, polusi kimia dan

kondisi geologi. Tipe substrat dipengaruhi oleh jenis ikan yang akan

dipelihara pada bak pemeliharaan.

5.2. Saran

Saran untuk praktikum selanjutnya yaitu alat praktikum jumlahnya

diperbanyak sehingga waktu praktikum akan lebih cepat.


DAFTAR PUSTAKA

Agustira, Riyanda dkk. 2013. Kajian Karakteristik Kimia Air, Fisika, dan Debit
Sungai pada Kawasan DAS Padang Akibat Pembuangan Limbah Tapioka.
Jurnal Online Agroekoteknologi, 1 (3).

Akbar, Junius. 2016. Buku Ajar : Pengantar Ilmu Perikanan dan Kelautan (Budi Daya
Perairan). Lambung Mangkurat University Press : Banjarmasin. 235 hal.

Ali, A., Soemarno., dan Purnomo, Mangku. 2013. Kajian Kualitas Air dan Status
Mutu Air Sungai Metro di Kecamatan Sukun Kota Malang. Jurnal Bumi
Lestari, 13 (2): 265-274.

Astrini, A. D. R., M. Yusuf., dan A. Santoso. 2014. Kondisi Perairan Terhadap


Struktur Komunitas Makrozoobenthos Di Muara Sungai Karanganyar
DanTapak, Kecamatan Tugu, Semarang. Journal Of Marine Research 3 (1):
27-36.

Atmawati, S.N. 2012. Perbedaan Keanekaragaman Zooplankton di Daerah


Sekitar Keramba dan Sekitar Warung Apung Rawa Jombor Hubungnnya
dengan Kualitas Perairan. Skripsi. Universitas Negeri Yogyakarta,
Yogyakarta. 135 hal.

Bahtiar, A., B. Supenp., dan M.A.P. Negara. 2017. Rancang Bangun Pengontrol
Suhu dan Kekeruhan Air Kolam Ikan Patin Berbasis Fuzzy Logic. Jurnal
Arus Elektro Indonesia, 2 (3): 7-12.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan. Konsius. Yogyakarta. 249 hal

Fisesa,Erni Dian., Isdradjad Setyobudiandi., Majariana Krisanti. 2014. Kondisi


Perairan Dan Struktur Komunitas Makrozoobentos Di Sungai Belumai
Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara. Depik, 3 (1): 1-9.
Frasawi, A., Robert R. dan Juliaan W.. 2013. Potensi Budidaya Ikan di Waduk
Embung Klamalu Sorong Provinsi Papua Barat: Kajian Kualitas Fisika
Kimia Air. Jurnal Budidaya Perairan, 1 (3): 24-30.

Gusmaweti., dan Lisa, Deswanti. 2015. Analisis Parameter Fisika-Kimia sebagai


Salah Satu Penentu Kualitas Perairan Batang Palangki Kabupaten Sijunjung,
Sumatera Barat. Sumatera Utara: 79-801.

Hasim, Yuniarti Koniyo, Faizal Kasim. 2015. Parameter Fisik-kimia Perairan


Danau Limboto sebagai Dasar Pengembangan Perikanan Budidaya Air
Tawar. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan, 3 (4):130-136

Hidayat, A. 2018. Potensi Pembesaran Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.) Kolam
Air Deras Di Daerah Irigasi Banjaran, Purwokerto, Jawa Tengah. Samakia:
Jurnal Ilmu Perikanan, 9 (1): 12-17.

Kamsuri, A. I., N. P. L. Pangemanan dan Reiny A.T., 2013. Kelayakan Lokasi


Budidaya Ikan Di Danau Tondano Ditinjau dari Parameter Fisika Kimia
Air. Jurnal Budidaya Perairan, 1 (3): 31-42.

Lukito, Arwa Farida. 2015. Hubungan Kualitas Air Embung untuk Irigasi dengan
Karakteristik Fisikokimia Lahan Pertanian. Skripsi. Universitas Sebelas
Maret, Surakarta. 44 hal.

Mantaya, S., Mijani Rahman., Zairina Yasmi. 2016. Model Storet dan Beban
Pencemaran untuk Analisis Kualitas Air di Bantaran Sungai Batu
Kambing, Sungai Mali-Mali dan Sungai Riam Kiwa Kecamatan Aranio
Kalimantan Selatan. Fish Scientiae (Jurnal Ilmu-Ilmu Perikanan dan Kelautan)
Universitas Lambung Mangkurat, 6 (11): 35-52.

Maresi, S. R. P., Priyanti., Etyn Yunita. 2015. Fitoplankton sebagai Bioindikator


Saprobitas Perairan di Situ Bulakan Kota Tangerang. Al-Kauniyah: Jurnal
Biologi, 8 (2): 113-122.

Marindro, 2007. Metode Pengelolaan Kualitas Air Tambak 03 - Pemupukan Air


Tambak. Gramedia. Jakarta. 351 hal.

Mulyadi., Subhan, RY., Pamukas, NA. 2014. The application of resirculation


system on domesttication of catfish (Pangasius polyuranodon. Jurnal
Online Mahasiswa (JOM) Bidang Perikanan dan Ilmu Kelautan, 2 (1): 1-12.

Mustofa, A. 2015. Kandungan Nitrat dan Pospat sebagai Faktor Tingkat


Kesuburan Perairan Pantai. Jurnal DISPORTEK, 6 (1): 13-19.

Nasution, Erie Kolya. 2014. Kualitas Faktor Fisik Perairan Kolam Ikan. Skripsi.
Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. 5 hal.

Nicola, F. 2015. Hubungan Antara Konduktivitas, TDS (Total Dissolved Solid) dan
TSS (Total Suspended Solid) Dengan Kadar Fe2+ dan Fe Total Pada Air Sumur
Gali. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Jember, Jember. 80 hal.

Ningsih Ellis N., Supriyadi, Freddy., dan Nurdawati Syarifah. 2013. Pengukuran
dan Analisis Nilai Hambur Balik Akustik untuk Klasifikasi Dasar Perairan
Delta Mahakam. J. Lit. Perikan. Ind, 19 (3): 139-146.

Nisa, Khairatun., Zulkifli, Nasution., Khadijah El Ramija. 2015. Studi Kualitas


Perairan Sebagai Alternatif Pengembangan Budidaya Ikan di Sungai
Keureuto Kecamatan Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. Aquacoastmarine, 10 (5): 113-127.

Nursyamsi, Dani. Pengaruh Naungan Hubungannya Dengan Suhu Air Kolam


Terhadap Tingkat Pertumbuhan Ikan Mas (Cyprinus carpio). Skripsi. Institut
Pertanian Bogor, Bogor. 12 hal.

Nuzula N. I., dan Endarko. 2013. Perancangan dan Pembuatan Alat Ukur
Kekeruhan Air Berbasis Mikrokotroler ATMega 8535. Jurnal Sains dan Seni
Pomits, 2 (1) : 1-5.
Oktarina, A., dan T. S. Syamsudin. 2015. Keanekaragaman dan distribusi
makrozoobentos di perairan lotik dan lentik Kawasan Kampus Institut
Teknologi Bandung, Jatinangor Sumedang, Jawa Barat. Pros Sem Nas Masy
Biodiv Indon, 1 (2): 227-235.

Pagoray, Henny., Ghitarina. 2016. Karaktristik Air Kolam Pasca Tambang


Batubara Yang Dimanfaatkan Untuk Budidaya Perairan. Ziraa’ah, 41 (2):
276-284.

Pancawati, Dika, Nugraini., Djoko, Suprapto., Pujiono, Wahyu Purnomo. 2014.


Karakteristik Fisika Kimia Perairan Habitat Bivalvia di Sungai Wiso
Jepara. Diponegoro Journal of Maquares, 3 (4): 141-146.

Partuti, Tri. 2014. Efektivitas Resin Penukar Kation untuk Menurunkan Kadar
Total Dissolved Solid (TDS) dalam Limbah Air Terproduksi Industri Migas.
Jurnal Integrasi Proses, 5 (1): 1-7.

Pasisingi, N., N. T. M., Pratiwi, M. Krisanti. 2014. Kualitas perairan Sungai


Cileungsi bagian hulu berdasarkan kondisi fisik-kimia. Depik, 3 (1): 56-64.

Patil. P.N, Sawant,. dan D.V, Deshmukh. R.N. 2012. Physico-Chemical


Parameters For Testing Of Water – A Review. International Journal Of
Environmental Sciences, 3 (3): 60-77.

Pujiastuti, Peni., Bagus, Ismail., dan Pranoto. 2013. Kualitas dan Beban Pencemar
Perairan Waduk Gajah Mungkur. Jurnal Ekosains, 5 (1): 59 – 66.

Puspita, L., E. Ratnawati., I N. N. Suryadiputra., A. A. Meutia. 2005. Lahan Basah


Buatan di Indonesia. Wetlands International -Indonesia Programme. Bogor.
366 hal.

Putra, E., 2015. Pengaruh Kerapatan Keramba Jaring Apung (KJA) Terhadap
Kualitas Perairan Waduk Way Tebabeng Kabupaten Lampung Utara.
Tesis. Universitas Lampung, Lampung. 53 hal.
Rahman, A., Kresna, D.M., dan Anni, N. 2013. Analisis Kandungan Merkuri (Hg)
pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus L.) Budidaya Keramba di Sekitar
Waduk Riam Kanan Kecamatan Aranio. Bioscientiae, 10 (1): 125-140.

Ramadhani, Endi., Alif Noor Anna., Munawar Cholil . 2016. Analisis Pencemaran
Kualitas Air Sungai Bengawan Solo Akibat Limbah Industri di Kecamatan
Kebakkramat Kabupaten Karanganyar. Karya Ilmiah Fakultas Geografi
Universitas Muhammadiyah Surakarta. 15 hal.

Sari, N.R., Sunarto, Wiryanto. 2015. Analisis Komparasi Kualitas Air Limbah
Domestik Berdasarkan Parameter Biologi, Fisika Dan Kimia Di Ipal
Semanggi Dan Ipal Mojosong, Surakarta. Universitas Sebelas Maret. Jurnal
Ekosains, 7 (2).

Sarwadi., dan P. Ardian. 2014. Pengaruh Konsentrasi Arang Ampas Tebu


terhadap Daya Serapnya pada Limbah Cair Kelapa Sawit. Jurnal Fisika
Unand, 3 (3): 128-135.

Simanullang, F., Djuwito, & A. Ghofar. 2016. Distribusi dan Kelimpahan Larva
Ikan pada Ekosistem Mangrove di Desa Pasar Banggi Kabupaten
Rembang. Diponegoro Journal of Maquares, 5 (4): 199-208

Sitorus, Hasan., dan Zulham, Apandy Harahap. 2015. Kualitas Perairan Sungai
Ular Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara. AQUACOASTMARINE, 7
(2): 1-11.

Soraya, Z. Hanafiah, & Y. Windusari. 2014 Analisis Fisik Kimia Perairan untuk
Mendeteksi Kualitas Perairan Sungai Rambang Kabupaten Ogan Ilir
Sumatra Selatan. Biospecies 7(2) : 43-46.

Sulawesty, F., Tjandra, Chrismadha., Endang, Mulyana. 2014. Laju Pertumbuhan


Ikan Mas (Cyprinus Carpio) Dengan Pemberian Pakan Lemna (Lemna
Perpusilla Torr.) Segar Pada Kolam Sistem Aliran Tertutup. Limnotek, 21 (2):
177 -184.
Susanto, H. 2013. Aneka Kolam Ikan; Ragam Jenis dan Cara Membuat. Penebar
Swadaya Grup. Jakarta.

Triatmodjo, Bambang, 2008. Hidrologi Terapan. Beta Offset. Yogyakarta.

Wardheni, Alan dkk. 2014. Studi Arus dan Sebaran Sedimen Dasar di Perairan
Pantai Larangan Kabupaten Tegal. Jurnal Oseanografi, 3 (2): 277-283.

Yulianti, Rita., Emi, Sukiyah., Nana, Sulaksana. 2016. Dampak Limbah


Penambangan Emas Tanpa Izin (Peti) Terhadap Kualitas Air Sungai
Limun Kabupaten Sarolangun Propinsi Jambi. Bulletin of Scientific
Contribution, 14 (3): 251 – 262.

Yulisa, E. N., Yar Johan ., Dede Hartono. 2016. Analisis Kesesuaian dan Daya
Dukung Ekowisata Pantai Kategori Rekreasi Pantai Laguna Desa Merpas
Kabupaten Kaur. Jurnal Enggano, 1 (1): 97-111.

Yumame, R. Y., R.Rompas., dan N. P. L. Pangemanan. 2013. Kelayakan kualitas


air kolam di lokasi pariwisata Embung Klamalu Kabupaten Sorong
Provinsi Papua Barat. Budidaya Perairan, 1 (3): 56 – 62.
LAMPIRAN

Lampiran 1

Perhitungan

Parameter Perhitungan

Analisis Suhu diketahui :


suhu inlet : 25 0 C
suhu tengah : 25 0C
suhu outlet : 26 0C

ditanya : nilai rata-rata suhu


Jawab :
25+25+26
suhu rata-rata = 3

= 25,3 0C

Analisis TDS Diketahui :


Pengulangan 1 = 97 mg/L
Pengulangan 2 = 97 mg/L
Pengulangan 3 = 97 mg/L
Ditanya :
Nilai rata-rata TDS
Jawab :
97+97+97
rata-rata TDS = 3

= 97 mg/L

Analisis Kekekruhan diketahui :


pengulangan 1 = 20,92 NTU
pengulangan 2 = 21,97 NTU
pengulangan 3 = 19,51 NTU
ditanya :
Nilai rata-rata kekeruhan
jawab :
20,92+21,97+19,51
rata-rata kekeruhan = 3

= 20,793 NTU

Analisis DHL diketahui :


pengulangan 1 = 147 µmhos
pengulangan 2 = 145 µmhos
pengulangan 3 = 146 µmhos
ditanya :
nilai rata-rata DHL
jawab :
147+145+146
DHL rata-rata = 3

= 146 µmhos

Kedalaman diketahui :
inlet = 55cm
tengah = 60 cm
outlet = 72 cm
ditanya :
kedalaman rata-rata
jawab :
55+60+72
nilai kedalaman rata-rata = 3

= 62,3 cm
warna air hijau tua
bau air Amis

Substrat lumpur berbatu


ACARA V

ANALISIS SIFAT KIMIA AIR KOLAM PEMBESARAN IKAN

NILA (Oreochromis niloticus) DI BPBAT TAMBAK SOGRA

Oleh :

Iswardhani Ariyanti

NIM. L1B017035

LAPORAN PRAKTIKUM LIMNOLOGI

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO

2019
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tingkat produktifitas kolam antara lain ditentukan oleh faktor

lingkungan, terutama kesesuaian kualitas air yang digunakan untuk

mengairinya. Kualitas air pada sumbernya (sungai dan saluran irigasi) maupun

yang telah digunakan sebagai media budidaya ikan di petak-petak kolam, yang

mengalami fluktuasi dari waktu ke waktu. Fluktuasi tersebut dapat terjadi baik

sebagai akibat dari kondisi eksternal harian yang berhubungan dengan cahaya

matahari, iklim dan cuaca, juga dapat diakibatkan secara in situ oleh faktor-

faktor operasional kegiatan budidaya itu sendiri seperti pemberian makanan dan

tindakan operasional lainnya (Ningsih et.al., 2013). Kolam tergolong air

menggenang atau lentic water yang sengaja diciptakan dan dirancang sedemikian

rupa untuk kegiatan budidaya perairan. Selain badan air alami seperti sungai

dan laut, biota air terdapat pula dalam badan air buatan manusia seperti kolam

atau waduk. Kolam merupakan suatu badan perairan, yang berfungsi sebagai

habitat buatan yang diciptakan agar ikan dapat hidup dan dapat berkembang

biak dengan baik (Sayekti et al., 2015).

Faktor-faktor pendukung yang berhubungan dengan budidaya perairan

perlu diperhatikan antara lain, oksigen terlarut (DO), suhu, pH, amoniak, dan

lain-lain. Sumber air yang diperlukan dalam kegiatan budidaya ikan harus

memenuhi beberapa kriteria paremeter yang mendukung kualitas air. Hal

tersebut meliputi sifat kimia dan fisika, yang meliputi suhu, kekeruhan,

kecerahan, derajat keasaman (pH), oksigen terlarut (DO), karbondioksida, BOD,


alkalinitas total, fosfat (PO₄), nitrit (NO₂), nitrat (NO₃) (Yumame et al., 2013).

Oleh karena itu perlu diadakan pengukuran parameter kimia pada kolam,

seperti (1) pH, untuk mengetahu berapa nilai pH yang tepat untuk budidaya ikan

nila (2) O2 terlarut, agar mengetahui kecukupan oksigen bagi kolam pembesaran

ikan nila (3) CO2 bebas, mengetahui kadar CO2 bebas dalam kolam budidaya (4)

DMA, untuk mengetahui kadar DMA pada kolam pembesaran ikan nila.

1.2. Tujuan

Tujuan praktikum analisis sifat kimia air kolam adalah untuk mengetahui :

1. Untuk mengetahui parameter kimia air kolam pembesaran ikan nila di

Tambak Sogra.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi parameter kimia air

kolam pembesaran ikan nila di Tambak Sogra.


II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kolam

Kolam merupakan badan air tergenang buatan manusia yang memiliki

ciri ekologis hampir sama dengan danau. Kolam dibangun sebagai sarana

budidaya berbagai macam jenis ikan dengan sumber air umumnya berasal dari

waduk atau sungai yang dialirkan ke kolam-kolam melalui saluran irigasi, baik

yang dibangun khusus untuk mengairi kolam, maupun saluran irigasi yang

dibangun untuk mememuhi kebutuhan air bagi lahan pertanian secara umum

(Ningsih et.al., 2013).

Kolam merupakan perairan semi tertutup yang dibuat oleh manusia.

Kolam merupakan lahan basah buatan yang umumnya dibangun bagi kegiatan

budidaya perairan, khususnya ikan air tawar. Secara umum, kolam merupakan

lahan yang dibuat untuk menampung air dalam jumlah tertentu sehingga dapat

dipergunakan untuk pemeliharaan ikan dan atau hewan air lainnya. Sedangkan

secara teknis, kolam merupakan suatu perairan buatan yang luasnya terbatas

dan sengaja dibuat manusia agar mudah dikelola dalam hal pengaturan air, jenis

hewan budidaya, dan target produksinya (Puspita et.al, 2005).

2.1.1. Kolam Pembesaran Ikan Nila di BPBAT Tambak Sogra

Kolam pembesaran ikan tradisional biasanya berukuran sama atau lebih

besar dibandingkan dengan kolam pendederan yaitu sekitar 250-600 m2. Namun,

dalam kurun waktu 30 tahun belakangan, telah dikembangkan pemeliharaan

ikan di kolam air deras yang lahannya sempit, tetapi kepadatan yang sangat

tinggi. Untuk pemeliharaan ikan secara intensif ini, debit air harus cukup besar,
yaitu antara 10-15 l/detik (Susanto, 2013).

Untuk kolam pembesaran diperlukan pakan tambahan yang harus bergizi

tinggi. Kini sudah berkembang pemeliharaan ikan di keramba jaring apung yang

bisa menggunakan padat tebar tinggi dan pemberian pakan tambahan. Selain

itu, ada bentuk kolam alternatif untuk pembesaran yang dikenal dengan nama

hampang (pen culture), sawah tambak, keramba yang panjangnya mencapai

puluhan kilometer, kolam comberan, kolam karpet dan lain sebagainya (Susanto,

2013).

2.1.2. Karakteristik Kolam Pembesaran Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

Karakteristik Kolam Pembesaran Ikan Nila adalah Lokasi kolam yang

berada kurang dari 600 m dpl dengan karakteristik tanah liat berpasir

merupakan daerah yang cocok untuk pembangunan konstruksi kolam

permanen maupun semi permanen. Lokasi dengan karakter tanah yang stabil

dan keras akan lebih baik dalam pembuatan konstruksi kolam beton.

(Suprayitno, 1986 dalam Hidayat, 2018).

Daerah terbaik untuk kolam air deras adalah tanah dengan sedikit

kemiringan. Kemiringan optimal 0,5-1 persen, kemiringan maksimum yang

masih bisa digunakan untuk pembuatan kolam adalah 2,5 persen. Kolam

diusahakan berada dekat dengan sumber air. Perbedaan ketinggian sumber air

dengan air permukaan kolam ±30 cm. Hal ini bertujuan agar pemasukan dan

pengeluaran air dapat dilakukan secara grafitasi (Suprayitno, 1989 dalam

Hidayat, 2018). Aliran yang deras akan meningkatkan kualitas air terjaga dalam

kondisi optimum untuk pertumbuhan ikan. (Boyd, 1982, Suprayitno, 1989 ;


RSNI, 2014 dalam Hidayat,2018).

2.2. Sifat Kimia Kolam

2.2.1. pH (Derajat Keasaman)

Nilai pH menggambarkan ion hidrogen dalam suatu perairan. Ikan dan

biota lain di air dapat tumbuh dengan baik pada pH 6-9 (Yusuf, 2008 dalam

Effendi et.al., 2015). Selain berpengaruh terhadap pertumbuhan ikan dan

tanaman, pH juga mempengaruhi proses dekomposisi bahan organik di air. pH

air mengekspesikan intensitas asam maupun basa perairan tersebut (Hanggono,

2007 dalam Samsundari dan Ganjar, 2013). Nilai pH mempunyai pengaruh besar

terhadap kehidupan organisme perairan, sehingga pH perairan dipakai sebagai

salah satu komponen untuk menyatakan baik buruknya sesuatu perairan

(Tatangindatu et.al., 2013).

Derajat keasaman atau pH (French: puissance d’ Hydrogene yang berarti

kekuatan hidrogen) merupakan logaritma negatif konsntrasi ion 𝐻 + . Hal

tersebut menunjukan bahwa konsntrasi ion 𝐻 + yang tinggi menunjukan nilai

derajat keasaman yang rendah atau dalam suasana asam dan sebaliknya (Hadi,

2012). Derajat keasaman merupakan gambaran jumlah atau aktivitas ion

hidrogen dalam perairan. Derajad keasaman menunjukkan suasana air tersebut

apakah masih asam ataukah basa. Secara umum nilai pH menggambarkan

seberapa besar tingkat keasaman atau kebasaan suatu perairan. Perairan dengan

nilai pH = 7 adalah netral, pH < 7 dikatakan kondisi perairan bersifat asam,

sedangkan pH > 7 dikatakan kondisi perairan bersifat basa (Effendi, 2003).

2.2.2. DO (Oksigen Terlarut)


Oksigen terlarut dalam air merupakan parameter kualitas air yang sangat

vital bagi kehidupan organisme perairan. Konsentrasi oksigen terlarut

cenderung berubah-ubah sesuai dengan keadaan atmosfir. Penurunan kadar

oksigen lerlarut mempunyai dampak nyata terhadap makhluk hidup air

(Mantaya et al., 2016).

Oksigen terlarut atau dissolve oxygen sangat menetukan kehidupan biota

perairan. Oksigen merupakan akseptor elektron dalam reaksi respirasi, sehingga

banyak dibutuhkan oleh biota aerobik. Oksigen terlarut juga memegang peranan

penting sebagai indiktor kualitas perairan, karena oksigen terlarut berperan

dalam proses oksidasi dan reduksi bahan organik maupun anorganik. Suatu

perairan yang tingkat pencemarannya rendah dan dapat dikategorikan sebagai

perairan yang baik memiliki kadar oksigen terlarut (DO) > 5 ppm (Salmin, 2005

dalam Yuliastuti, 2011).

2.2.3. CO2 Bebas

Istilah karbondioksida bebas digunakan untuk menjelaskan CO2 yang

terlarut dalam air, selain yang berada dalam bentuk terikat sebagai ion

bikarbonat dan ion karbonat. CO2 bebas menggambarkan keberadaan gas CO2

di perairan yang membentuk kesetimbangan dengan CO2 di atmosfer (Effendi,

2003). Permukaan air biasanya mengandung CO2 bebas kurang dari 10 mg/L,

sedangkan pada dasar air konsentrasinya dapat lebih dari 10 mg/L. Keberadaan

bahan organik total di perairan sangat dipengaruhi oleh keterbukaan perairan

dari daerah sekitarnya (Barus, 2002).

Karbondioksida dalam air pada umumnya merupakan hasil respirasi dari


ikan dan fitoplankton. Kadar CO2 lebih tinggi dari 10 ppm diketahui

menunjukkan bersifat racun bagi ikan. Kadar karbondioksida tinggi juga

menunjukkan lingkungan air yang asam meskipun demikian karbondioksida

diperlukan sebagai buffer (O-Fish, 2003 dalam Sunardi et.al., 2016). Kandungan

CO2 bebas berkisar antara 13,73-23,60 ppm. Kadar CO2 bebas lebih dari 25 mg/l

sudah membahayakan kehidupan ikan (NTAC, 1968 dalam Sunardi et.al., 2016).

2.2.4. DMA (Daya Menggabung Asam)

Daya menggabung asam atau alkalinitas merupakan pengukuran

kapasitas air untuk menetralkan asam-asam lemah, meskipun asam lemah atau

basa lemah juga dapat sebagai penyebabnya. Penyusun alkalinitas perairan

adalah anion bikarbonat (HCO3-), karbonat (CO3-), dan hidroksida (OH-)

(Limbong, 2008). Alkalinitas dalam suatu perairan menurut Murtidjo (2001),

dapat dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu: Perairan dengan daya menggabung

asam tinggi (> 1,3); Perairan dengan daya menggabung asam sedang (0,5–1,3);

dan Perairan dengan daya menggabung asam rendah (0–0,5). Semakin besar

alkalinitas perairan, maka semakin baik untuk menghadapi perubahan tingkat

keasaman (pH) dan sebaliknya.

Perairan dengan nilai alkalinitas yang terlalu tinggi tidak terlalu disukai

oleh biota akuatik karena biasanya diikuti dengan nilai kesadahan yang tinggi

atau kadar garam natrium yang tinggi. Nilai alkalinitas yang baik berkisar antara

30-500 mg/l CaCO3. Nilai alkalinitas di perairan berkisar antara 5 hingga ratusan

mg/l CaCO3.Nilai alkalinitas pada perairan alamiadalah 40 mg/l CaCO3 (Boyd,

1979 dalam Yumame et.al, 2013). Untuk tumbuh optimal, plankton menghendaki
total alkalinitas sekitar 80-120 mg/l CaCO3. Pada kisaran total alkalinitas kurang

atau melebihi dari kisaran tersebut, pertumbuhan plankton terhambat (Yumame

et.al., 2013).
III. MATERI DAN METODE

3.1. Materi

3.1.1. Alat

Tabel 1. Alat Praktikum

Ukuran/
No Nama alat Merek Fungsi
jumlah

Mengambil sampel air


Pyrex
1 Botol winkler 1 (250ml) dari lingkungan
Iwaki
perairan

Pyrex
2 Buret dan Statif 4 Melakukan titrasi
Iwaki

Pyerx Menyimpan sampel air


3 Labu erlenmeyer 8
Iwaki yang mau dititrasi

Menambahkan sampel
Pyerx
4 Pipet tetes 8 air ke dalam labu
Iwaki
enlemeyer

Gelas ukur 100 Pyerx Mengukur air sampel


5 8
ml Iwaki yang akan diukur

Lutron
Mengukur pH air
6 pH meter 1 pH
sampel
208

3.1.2. Bahan
Tabel 2. Bahan Praktikum

Ukuran/
No Nama bahan Merek Fungsi
jumlah

Sampel yang akan


1 Sampel air 6 botol sampel Aqua
dianalisi

2 Larutan 𝑀𝑛𝑆𝑂4 1 ml Mengendapkan O2

3 Larutan KOH-KI 1 ml Mengikat O2

4 Larutan 𝑁𝑎2 𝑆2 𝑂3 0,025 N Larutan untuk titrasi DO

5 Larutan 𝐻2 𝑆𝑂4 4N Menghilangkan endapan

Larutan untuk titrasi pada


6 Larutan 𝑁𝑎2 𝐶𝑂3 0,01 N
pengukuran CO2 bebas

7 Larutan HCL 0,1 N Larutan titrasi uji DMA

Indikator warna pada


8 Indikator amilum 5%
pengukuran DO

Indikator Indikator warna pada


9 5%
phenolphthalein pengukuran CO2 bebas

Indikator methyl Indikator warna pada


10 0,1 %
orange pengukuran uji DMA

Larutan buffer

11 pH 4,0 dan pH Kalibrasi pH meter

7,0
3.2. Metode

3.2.1. Derajat Keasaman (pH)

Melakukan kalibrasi pada pH meter dengan larutan buffer, yaitu pH 7

dan pH 4. Mengatur suhu pada pH meter sesuai dengan suhu larutan yaitu 26

0C, kemudian elektroda pH meter celupkan ke dalam larutan buffer pH 7, skala

pH meter sesuaikan dengan nilai pH buffer 7 dengan cara memutar tombol.

Elektroda angkat dan bilas dengan air destilata dari botol semprot dan keringkan

dengan menggunakan kertas tissu dan ulangi dengan menggunakan pH meter.

Penentuan pH sampel dengan cara sampel air tuang pada gelas beaker setinggi

3 cm. Elektroda turunkan bagi ujungnya tercelup ke dalam sampel air dan pH

sampel air di baca pada panel, catat setelah angka konstan.

3.2.2. Oksigen Terlarut

Sampel air yangada dalam botol Winkler 250 ml, ditambahkan1 mllarutan

MnSO4 dan 1 ml larutan KOH-KI dengan pipet karet. Kemudian dihomogenkan

dan didiamkan selama 2 menit sampai terjadi endapan berwarna coklat, atau

sekurang-kurangnya cairansupernatan menjadi tampak jernih, selanjutnya

dimasukan larutan H2SO4 pekat sebanyak 1 ml dengan bantuan pipet.Botol

ditutup kembali dengan hati-hati dan dikocok dengan membolak-balik agar

seluruh isi bercampur rata, sampai semua endapan menjadi larut dan berwarna

coklat kekuningan. Diambil sebanyak 100 ml dengan gelas ukur dan dimasukkan

ke dalam labu erlenmenyer. Kemudian titrasi dengan larutan Na2S2O3 0,025 N

yang sudah distandarisasi dan labu erlenmeyer dikocok hingga tercampur

merata sampai terjadi perubahan warna larutan dari coklat sampai kuning
muda. Lalu kedalamnya tambahkan indikatoramilum 5 tetes hingga larutan

berwarna biru. Titrasi dilanjutkan kembali sampai warna biru hilang. Volume

titrasi yang dipergunakan dicatat.

Oksigen terlarut diukur menggunakan metode Winkler dengan rumus :

1000
DO   p  q  8ml / L
100
Keterangan :

DO = Kelarutan Oksigen

p = Jumlah larutan Na2S2O3 yang terpakai

q = Jumlah larutan Normalitas larutan Na2S2O3 ( 0,025 )

8 = Bobot setara O2

3.2.3. Karbondioksida Bebas

Sampel air yang telah diambil dengan botol Winkler 250 ml, dengan gelas

ukur ambil 100 ml dan masukkan ke dalam labu Erlenmeyer. Kemudian

tambahkan indikator phenolphthalein sebanyak 10 tetes. Lalu dititrasi dengan

Na2CO3 0,01 N hingga berwarna merah jambu dan titrasi dilakukan duplo.

Karbondioksida bebas diukur menggunakan metode Winkler dengan rumus :


1000
CO2bebas   p  q  22ml / L
100
Keterangan :

p = Jumlah larutan Na2CO3 yang terpakai

q = Jumlah larutan Na2CO3 ( 0,01 )

22 = Bobot setara CO2

3.2.4. Derajat Menggabung Asam (DMA)

Sampel air diambil dengan botol sampel 250 ml, dengan gelas ukur ambil
100 ml dan dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer dan ditambahkan 3 tetes

indicator methyl orange (MO). Selanjutnya dititrasi dengan larutan HCl 0,1 N

hingga larutan berwarna merah bata dan titrasi dilakukan duplo.

DMA diukur menggunakan metode Winkler (APHA, 1985) dengan rumus :

1000
KadarDMA   p  qml / L
100

Keterangan :

p = Jumlah larutan HCl yang terpakai

q = Normalitas larutan HCl ( 0,01 )

3.3. Waktu dan Tempat

Praktikum dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 30 Maret 2019 di kolam

Pembesaran Ikan Nila (Oreochromis niloticus) di BPBAT Tambak Sogra

Pengambilan sampel dilakukan 2 (dua) kali yaitu pada pukul 05.30 WIB dan

12.30 WIB. Kemudian pengamatan dilakukan di laboratorium pengajaran

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Jenderal Soedirman.

3.4. Analisis Data

Data dianalisis secara deskriptif komparatif dengan menggunakan

diagram batang untuk membandingkan parameter sifat kimia kolam pemijahan.

Hasil perhitungan masing-masing parameter dibandingkan dengan Nilai

Standar Baku Mutu untuk perikanan yang terdapat pada referensi yang

digunakan, dari perbandingan tersebut dapat dievaluasi masing-masing kolam.


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

Tabel 3. Sifat Kimia Kolam C.3 Pembesaran Ikan Nila BPBAT Tambak Sogra

Standar

Waktu (WIB) Baku Pustaka


Parameter Satuan
Mutu

05.30 12.30

PPRI

Derajat No.82

Keasaman - 7,66 8,15 6-9 Tahun

(pH) 2001

PPRI

No.82
O2 Terlarut
mg/L 1,8 9,1 5-10 Tahun
(DO)
2001

PPRI

No.82
Tidak
CO2 Bebas mg/L 11,11 2-9 Tahun
terdeteksi
2001
Soesono
DMA Ppm 1,1 1,1 2,0-5,0
,1981

4.2. Pembahasan

4.2.1. pH (Derajat Keasaman)

Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai pH dalam suatu perairan yaitu

adanya buangan limbah organik dan anorganik dari sungai dan dialiri melalui

inlet kolam (Ali et.al., 2013). Selain itu adanya senyawa karbonat, bikarbonat dan

hidroksida juga akan menaikkan kebasaan air, sementara adanya asam-asam

mineral bebeas dan asam karbonat menaikkan keasaman suatu perairan

(Pujiastuti et.al., 2013), grafik pembesaran ikan nila di BPBAT Tambak Sogra :

pH

9 maximum

8.5
8.5

8
7.66
pH
7.5

7 minimum

6.5
05,30 12,30
Waktu

Grafik 1. pH Kolam Pembesaran Ikan Nila di BPBAT Tambak Sogra

Berdasarkan Grafik 1. Menunjukan bahwa nilai pH tertinggi terdapat

pada siang hari pada pengamatan pukul 12.30 WIB sebesar 8,5 sedangkan nilai
pH terendah terdapat pada pagi hari pada pengamatan pukul 05.30 WIB sebesar

7,66. Tingginya nilai pH pada siang hari diakibatkan karena pada siang hari

proses fotosintesis tumbuhan terjadi secara maksimal dimana dari proses

tersebut membutuhkan CO2 dan H2O. Semakin banyak zat yang dibutuhkan

dalam fotosintesis semakin berkurang kandungan zat tersebut dalam air

sehingga menyebabkan derajat keasaman perairan cenderung lebih tinggi. Hal

ini sesuai dengan pendapat Bhagawati (2013) yang menyatakan bahwa nilai pH

berubah sepanjang hari akibat proses fotosintesis tumbuhan air yang

menurunkan CO2 pada siang hari sehingga mengakibatkan pH meningkat.

Merujuk pada baku mutu Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001

tentang pengelolaan kualitas air, yaitu berkisar antara 6-9. Hasil penelitian pH di

Kolam Pembesaran Ikan Nila BPBAT Tambak Sogra memenuhi standar baku

kualitas air pada kelas II dimana air pada kelas ini dimanfaatkan salah satunya

untuk budidaya ikan. Nilai pH menggambarkan seberapa besar tingkat

keasaman atau kebasaan suatu perairan dalam proses pengolahan air untuk

perbaikan kualitas air (Kamsuri, 2013). pH mempengaruhi toksisitas suatu

senyawa kimia, serta mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena

mempengaruhi kehidupan jasad renik. Perairan asam kurang produktif, karena

dapat membunuh ikan (Andara, 2014).

4.2.2. O2 Terlarut (DO)

Nilai DO mengindikasikan adanya kandungan oksigen terlarut dalam

suatu perairan. Semakin tinggi kadar DO, maka semakin baik perairan tersebut.

Faktor yang dapat mempengaruhi kandungan DO di suatu perairan adalah


respirasi biota, dekomposisi bahan organik, kenaikan suhu, dan reduksi

anorganik seperti hidrogen sulfida, amonia, nitrit, besi besi, dll (Katakwar, 2014).

Berikut merupakan grafik O2 Terlarut (DO) di Tambak Sogra:

DO

10 maximum
9.1
9
8
7
6 minimum
mg/L

5 DO
4
3
1.8
2
1
0
05,30 12,30
Waktu

Grafik 2. pH Kolam Pembesaran Ikan Nila di BPBAT Tambak Sogra

Berdasarkan Grafik 2. menunjukan bahwa nilai DO tertinggi terdapat

pada siang hari pada pengamatan pukul 12.30 WIB dengan nilai sebesar 9,1

mg/L, sedangkan nilai DO terendah terdapat pada pagi hari pada pengamatan

pukul 05.30 WIB dengan nilai sebesar 1,8 mg/L. Tingginya nilai DO pada siang

hari diakibatkan adanya proses fotosintesis pada kolam oleh biomassa yang

menutupi kolam. Pada siang hari dengan cahaya matahari yang cukup sehingga

biomassa yang menutupi permukaan air kolam melakukan fotosintesis secara

maksimal. Dari proses fotosintesis tersebut menghasilkan oksigen. Hal ini seperti

penelitian yang dilakukan oleh Andara (2014) yang menjelaskan bahwa pada

pagi hari dimana terjadinya proses fotosintesis sehingga menyebabkan adanya

penambahan oksigen melalui proses fotosintetis dan pertukaran gas antara air
dan udara sehingga menyebabkan kadar oksigen terlarut relatif lebih tinggi pada

pagi dan atau siang hari.

Merujuk pada Baku Mutu Kriteria Kelas Air Peraturan Pemerintah

Nomor. 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air, hasil penelitian DO di

Kolam Pembesaran Ikan Nila Tambak Sogra tidak memenuhi standar baku

kualitas air pada kelas II dimana air pada kelas ini dimanfaatkan salah satunya

untuk budidaya ikan dengan standar 5-10 mg/L. Oksigen terlarut (DO) untuk

biota budidaya adalah 5-9 ml/L. Sedangkan pada pagi hari kadar DO sebesar 1,8

mg/L, itu sangat rendah dan siang hari sangat tinggi, sebesar 9,1 mg.L. Pada

umumnya air yang telah tercemar kandungan oksigennya sangat rendah, makin

banyak bahan buangan organik di dalam air makin sedikit sisa kandungan

oksigen yang terlarut di dalam air (Ali et.al., 2013). Apabila kurang akan

menyebabkan stres pada ikan, kerentanan terhadap serangan parasit dan

penyakit, bahkan kematian (Yumame, 2013). Nilai kandungan oksigen terlarut

yang rendah atau dalam keadaan tercemar berat dapat menyebabkan tingkat

toksisitas logam berat merkuri meningkat dan tidak menunjang untuk

kehidupan biota perairan (Rahman et. al., 2013).

4.2.3. CO2 Bebas

Kandungan CO2 Bebas dalam air berbanding terbalik dengan kandungan

DO. Apabila kandungan DO nya tinggi maka kandungan CO2 nya menjadi

rendah (Rafitri dkk, 2015). Faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya nilai

CO2 Bebas yaitu bertambahnya kedalaman disuatu perairan, proses respirasi dan

dekomposisi bahan organik (Zaki, 2014). Berikut grafik kadar CO2 pada kolam
pembesaran ikan nila Tambak Sogra:

CO2 Bebas

11
10
maximum
9
8
7
6
mg/L

CO2 Bebas
5
4
3
2 minimum
1
0
05,30 12,30
Waktu

Grafik 3. CO2 Bebas Kolam Pembesaran Ikan Nila di BPBAT Tambak Sogra

Berdasarkan grafik diatas menunjukan bahwa nilai Karbondioksida (CO2)

Bebas tertinggi terdapat pada pagi hari pada pengamatan pukul 05.30 WIB

sebesar 11,11 mg/L, dan pada siang hari tidak terdefinisi. Hal ini sesuai dengan

pendapat Zaki (2014) yang menyatakan bahwa sumber CO2 paling besar

disebabkan oleh adanya difusi dari udara, proses dekompossi bahan organik, air

hujan dan air bawah tanah serta hasil respirasi organisme perairan.

Mengacu pada PP No. 82 Tahun 2001 tentang Kriteria Kelas Air, dapat

dinyatakan kondisi Karbondioksida (CO2) Bebas berkisar antara 2-9 mg/L. pada

Kolam Pembesaran Ikan Nila di Tambak Sogra tidak memenuhi standar baku

kualitas air pada kelas II dimana air pada kelas ini dimanfaatkan salah satunya

untuk budidaya ikan. Kadar CO2 Bebas dalam perairan dapat digunakan sebagai

indikator kulaitas perairan tersebut. Kadar karbondioksida sebesar 5-10 mg/L di

dalam air masih dapat ditoleransi oleh hewan air asalkan kadar oksigennya
cukup tinggi. Akan tetapi kadar karbondioksida 50-100 mg/L dapat mematikan

ikan dan udang dalam waktu lama (Yumame et al., 2013). Terjaminnya mutu air

yang memenuhi syarat bagi kehidupan dan pertumbuhan ikan nila selama

pemeliharaan merupakan salah satu faktor keberhasilan dalam budi daya

perikanan (Mulyadi et.al., 2014).

4.2.4. DMA

Nilai DMA di perairan di pengaruhi oleh hidroksida, karbonat,

bikarbonat, nilai kesadahan, kadar natrium yang tinggi serta adanya perubahan

pH. Semakin besar daya menggabung asam di perairan, maka semakin baik

untuk menghadapi perubahan tingkat keasaman (pH) dan sebaliknya

(Krisnawati, 2014). Berikut ini grafik nilai DMA kolam pembesaran Ikan Nila

Tambak Sogra:

DMA
10
9
8
7
6 maximum
ppm

5 DMA
4
3
2 1.1 1.1 minimum
1
0
05,30 12,30
Waktu

Grafik 4. Kadar DMA Kolam Pembesaran Ikan Nila di BPBAT Tambak Sogra

Berdasarkan grafik diatas menunjukan bahwa nilai DMA sama besarnya

pada pukul 05.30 dan 12.30 WIB sebesar 1,1 ppm Tingginya nilai DMA pada
siang hari terjadi karena dipengaruhi oleh adanya kenaikan pH pada siang hari.

Hal ini sesuai dengan pendapat Ningsih et.al., (2013) yang berpendapat bahwa

turunnya alkalinitas beriringan dengan turunnya pH, begitu pula sebaliknya. pH

dan alkalinitas berbanding lurus, namun berbanding terbalik terhadap kadar

CO2 (Sentosa, 2015).

Mengacu pada Standar Baku Mutu Kualitas Air yang ditulis oleh Soeseno

(1981), berkisar antar 2-5 ppm. Hasil penelitian nilai DMA pada Kolam

Pembesaran Ikan Nila di Tambak Sogra berada dibawah batas standar mutu.

Dengan kondisi yang demikian kehidupan ikan di dalam kolam akan terganggu.

Perairan dengan nilai alkalinitas yang terlalu tinggi tidak terlalu disukai oleh

biota akuatik karena biasanya diikuti dengan nilai kesadahan yang tinggi atau

kadar garam natrium yang tinggi (Yumame et.al., 2014). Untuk tumbuh optimal,

bioya akuatik menghendaki total alkalinitas sekitar 80 – 120 mg/L CaCO3. Pada

kisaran total alkalinitas kurang atau melebihi dari kisaran tersebut,

pertumbuhan biota akuatik akan terhambat. Perairan termasuk sadah apabila

nilai alkalinitas > 40 mg/L. (Kadarini et.al., 2015).


V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan

bahwa :

1. Parameter kimia kolam untuk uji kualitas perairan lentik meliputi pH, DO,

CO2 Bebas, dan DMA. parameter kimia rata–rata inlet, tengah dan outlet pada

pukul 05.30 dan 12.30 secara berurutan yaitu, pH (8,5 dan 7,66), DO (1,8 mg/L

dan 9,1 mg/L), CO2 Bebas (11,11 mg/L dan tidak terdefinisi), DMA (1,1 ppm

dan 1,1 ppm).

2. Faktor yang mempengaruhi parameter kimia pada kolam diantaranya, pH,

nilai pH dalam suatu perairan yaitu dipengaruhi adanya buangan limbah

organik dan anorganik dari sungai dan dialiri melalui inlet kolam. Selain itu

adanya senyawa karbonat, bikarbonat dan hidroksida juga akan menaikkan

kebasaan air, sementara adanya asam-asam mineral bebeas dan asam

karbonat menaikkan keasaman suatu perairan. DO, yang mempengaruhi di

suatu perairan adalah respirasi biota, dekomposisi bahan organik, kenaikan

suhu, dan reduksi anorganik seperti hidrogen sulfida, amonia, nitrit, besi

besi. Faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya nilai CO2 Bebas yaitu

bertambahnya kedalaman disuatu perairan, proses respirasi dan

dekomposisi bahan organic, sedamgkan nilai DMA di perairan di pengaruhi

oleh hidroksida, karbonat, bikarbonat, nilai kesadahan, kadar natrium yang

tinggi serta adanya perubahan pH. Semakin besar daya menggabung asam
di perairan, maka semakin baik untuk menghadapi perubahan tingkat

keasaman (pH) dan sebaliknya.

5.2. Saran

Pada saat melakukan praktikum seharusnya bisa lebih tertib dan

terkoordinir agar tidak berantakan dan ribut pada saat di laboratorium.


DAFTAR PUSTAKA

Ali, A., Soemarno., dan M. Purnomo. 2013. Kajian Kualitas Air dan Status Mutu
Air Sungai Metro di Kecamatan Sukun Kota Malang. Jurnal Bumi Lestari,
13 (2): 265-274.

Andara, Diani Riezki., Haerudin., dan A.Suryanto. 2014. Kandungan Total


Padatan Tersuspensi, Biochemical Oxygen Demand dan Chemical
Oxygen Demand serta Indeks Pencemaran Sungai Klampisan di Kawasan
Industri Candi, Semarang. Diponegoro Journal of Maquares, 3 (3): 177-187.

Barus, T.A. 2002. Pengantar Limnologi. Universitas Sumatera Utara, Medan. 164
hal.

Bhagawati, D., M.N Abulias, & A. Amurwanto. 2013. Fauna Ikan Siluriformes
Dari Sungai Serayu, Banjaran, Dan Tajum Di Kabupaten Banyumas. Jurnal
MIPA, 36 (2): 112-122.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan. Konsius. Yogyakarta. 249 hal

Hidayat, A. 2018. Potensi Pembesaran Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.) Kolam
Air Deras Di Daerah Irigasi Banjaran, Purwokerto, Jawa Tengah.
Samakia: Jurnal Ilmu Perikanan, 9 (1): 12-17.

Kadarini, T., S.Z. Musthofa, S. Subandiyah., dan B. Priono. 2015. Pengaruh


Penambahan Kalsium Karbonat (Caco3) dalam Media Pemeliharaan Ikan
Rainbow Kurumoi (Melanotaenia parva) terhadap Pertumbuhan Benih dan
Produksi Larvanya. Jurnal Riset Akuakultur, 10 (2): 187-197.

Kamsuri, A.I, N. P. L. Pangemanan., dan R. A. Tumbol. 2013. Kelayakan Lokasi


Budidaya Ikan di Danau Tondano Ditinjau dari Parameter Fisika Kimia
Air. Jurnal Budidaya Perairan, 1 (3): 31 – 42.
Katakwar, Muskesh. 2014. Water quality and pollution status of Narmada River’s
Korni Tributary in Madhya Pradesh. International Journal of Chemical
Studies, 2 (2): 5-9.

Krisnawati, A., M.R. Sururi., dan S. Ainun. 2014. Pengaruh Karakteristik Lindi
terhadap Ozonisasi Konvensional dan Advanced Oxidation Processes
(AOP). Jurnal Rekayasa Lingkungan, 2 (2): 1-9.

Limbong, Aquarina. 2008. Alkalinitas : Analisa dan Permasalahannya Untuk Air


Industri. Karya Ilmiah. Program Diploma III Kimia Analis. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatera Utara.

Mantaya, S., Mijani, Rahman., Zairina, Yasmi. 2016. Model Storet dan Beban
Pencemaran untuk Analisis Kualitas Air di Bantaran Sungai Batu
Kambing, Sungai Mali-Mali dan Sungai Riam Kiwa Kecamatan Aranio
Kalimantan Selatan. Fish Scientiae (Jurnal Ilmu-Ilmu Perikanan dan Kelautan)
Universitas Lambung Mangkurat, 6 (11): 35-52.

Mulyadi, U. Tang., dan E.S. Yani. 2014. Sistem Resirkulasi dengan Menggunakan
Filter yang Berbeda terhadap Pertumbuhan Benih Ikan Nila (Oreochromis
niloticus). Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia, 2 (2) :117-124.

Murtidjo, Bambang Agus. 2001. Budi Daya Karper dalam Jaring Karamba Apung.
Kanisius. Yogyakarta.

Ningsih F., M. Rahman., dan A. Rahman. 2013. Analisis Kesesuaian Kualitas Air
Kolam Berdasarkan Parameter Ph, Do, Amoniak, Karbondioksida dan
Alkalinitas Di Balai Benih Dan Induk Ikan Air Tawar (BBI-IAT)
Kecamatan Karang Intan Kabupaten Banjar. Fish Scientiae, 4 (6): 102-113.

Pujiastuti, Peni., Bagus, Ismail., dan Pranoto. 2013. Kualitas dan Beban Pencemar
Perairan Waduk Gajah Mungkur. Jurnal Ekosains, 5 (1): 59 – 66.

Sunardi., Syahrizal., Zainal Arifin. 2016. Efektivitas Biodekomposer Saat


Pengangkutan Ikan Lele Sangkuriang (Clarias. gariepinus Var.
Sangkuriang) Dengan Kepadatan Tinggi Pada Transportasi Tertutup
Untuk Kebutuhan Budidaya. Jurnal Akuakultur Sungai dan Danau, 1 (1): 44-
52.

Puspita, L., E. Ratnawati, I N. N. Suryadiputra, A. A. Meutia. 2005. Lahan Basah


Buatan di Indonesia. Wetlands International-Indonesia Programme.
Bogor.

Rahman, A., Kresna, D.M., dan Anni, N. 2013. Analisis Kandungan Merkuri (Hg)
pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus L.) Budidaya Keramba di Sekitar
Waduk Riam Kanan Kecamatan Aranio. Bioscientiae, 10 (1): 125-140.

Sayekti,R. W., E. Yuliani,M. Bisri, P. T. Juwono, L. Prasetyorini, F. Sonia, & A. P.


Putri. 2015. Studi Evaluasi Kualitas Dan Status Trofik Air Waduk Selorejo
Akibat Erupsi Gunung Kelud Untuk Budidaya Perikanan.Jurnal Teknik
Pengairan, 6 (1): 133-145.

Sentosa, A.A., dan H. Satria. 2015. Karakteristik Limnologis Lahan Basah di


Distrik Kimaam, Pulau Dolak, Merauke, pada Musim Peralihan, Mei 2014.
Limnotek, 22 (2): 156-169.

Susanto, Heru. 2013. Aneka Kolam Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Tatangindatu, Frits., Ockstan Kalesaran., Robert Rompas. 2013. Studi Parameter


Fisika Kimia Air pada Areal Budidaya Ikan di Danau Tondano, Desa
Paleloan, Kabupaten Minahasa. Budidaya Perairan, 1 (2): 8-19.

Yuliastuti, Etik. 2011. Kajian Kualitas Air Sungai Ngringo Karanganyar dalam
Upaya Pengendalian Pencemaran Air. Tesis. Universitas Diponegoro.
Semarang.

Yumame R.Y., R. Rompas., dan N. P. L. Pangemanan. 2013. Kelayakan kualitas


air kolam di lokasi pariwisata Embung Klamalu Kabupaten Sorong
Provinsi Papua Barat. Budidaya Perairan, 1 (3): 56 – 62.
Zaki, M., M. Siagian., dan A.H. Simarmata. 2014. The Vertical Profile Of Nitrate
in Pinang Dalam Oxbow Lake Buluh China Village Siak Hulu Sub District
Kampar District Riau Province. JOU Universitas Riau, 1 (2): 1-12.
LAMPIRAN

Lampiran 1

Perhitungan

Parameter Perhitungan

Derajat Keasaman (pH) Inlet = 7,60

Tengah = 7,66

Outlet = 7,74

Rata-rata pH
7,60+7,66+7,77
= 3

= 7,66

O2 terlarut (DO) Rumus perhitungan :

Kadar O2 terlarut
1000
= x p x q x 8 ml/l
100

Keterangan :

P = jumlah ml Na2 S2 O3 yang terpakai

Q = normalitas larutan Na2 S2 O3

8 = bobot setara O2

Pengulangan ke-1

Diketahui :

Volume titrasi

= 11,6 ml – 10,7 ml

= 0,9 ml

Ditanya :
Kadar O2 erlatut?

Jawab :
1000
DO = ×p×q×8
100
1000
= × 0,9 × 0,025 × 8
100

= 1,8 mg/L

Diketahui :

Volume titrasi

= 11,6 ml – 10,7 ml

= 0,9 ml

Ditanya :

Kadar O2 terlatut?

Jawab :
1000
DO ×p×q×8
100
1000
= × 0,9 × 0,025 × 8
100

= 1,8 mg/L

Rata-rata DO
Pengulangan ke − 1 + pengulangan ke − 2
=
2
1,8 = 1,8
=
2
= 1,8 mg/L

CO2 Bebas Rumus Perhitungan

Kadar CO2 bebas


1000
= x p x q x 22mg/L
100

keterangan :

p = jumlah ml Na2 CO3 yang terpakai


q = normalitas larutan Na2 CO3

22 = botol setara CO2

Pengulangan Ke-1

diketahui :

p = 5,8 ml Na2 CO3

q = 0,01 N

di tanya :

Kadar CO2 bebas

Jawab :
1000
CO2 Bebas = 100
× p × q × 22
1000
= 100 × 5,8 × 0,01 × 22

= 12,76 mg/L

diketahui :

p = 4,3 ml Na2 CO3

q = 0,01 N

di tanya :

Kadar CO2 bebas

Jawab :
1000
CO2 Bebas = × p × q × 22
100
1000
= 100 × 4,3 × 0,01 × 22

= 9,46 mg/L

Rata-rata CO2 bebas


pengulangan Ke − 1 + pengulangan ke − 2
=
2
12,76 + 9,46
=
2
= 11,11 mg/L
Daya Menggabung Asam (DMA) Rumus Perhitungan :
1000
Kadar DMA = x p x q mg/L
100

keterangan :

p = jumlah ml larutan HCl terpakai

q = normalitas larutan HCl

pengulangan 1

diketahui :

volume titrasi HCl 0,1 N = 1,1 ml

ditanya :

Kadar DMA ?

Jawab:
1000
Kadar DMA = x p x q mg/L
100

= 1,1 mg/L

Pengulangan 2

diketahui :

volume titrasi HCl 0,1 N = 1,1 ml

ditanya :

Kadar DMA ?

Jawab:
1000
Kadar DMA = x p x q mg/L
100

= 1,1 mg/L

Rata-rata kadar DMA


𝑝𝑒𝑛𝑔𝑢𝑙𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 1+ 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑢𝑙𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 2
= 2
1,1+1,1
= 2

= 1,1 mg/L
Lampiran 2

Foto Kegiatan

Hasil DMA Kolam Pembesaran Ikan Nila Hasil CO2 Bebas Kolam Pembesaran Ikan Nila
Tambak Sogra Tambak Sogra
ACARA VI

ANALISIS SIFAT BIOLOGI AIR KOLAM PEMBESARAN IKAN

NILA (Oreochromis niloticus) DI BPBAT TAMBAK SOGRA

Oleh :

Iswardhani Ariyanti

NIM. L1B017035

LAPORAN PRAKTIKUM LIMNOLOGI

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO

2019
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perairan lentik atau perairan menggenang dapat dibedakan menjadi tiga

bentuk yaitu rawa, danau, dan waduk. Kolam jenis perairan umum tawar yang

menggenang dan merupakan suatu ekosistem juga habitat bagi organisme

akuatik serta dapat digunakan oleh masyarakat untuk usaha perikanan (Barus,

2004). Kolam merupakan perairan lentik yang dipakai untuk menyatakan sebuah

perairan terbatas untuk memelihara ikan dibawah pengawasan. Kolam

berfungsi sebagai tempat untuk pembenihan, pemeliharaan, dan pembesaran

berbagai jenis ikan (Wardoyo, 1981).

Kolam merupakan suatu bentuk badan perairan yang di dalamnya terjadi

interaksi antara faktor biotik dan abiotik, dimana factor abiotik meliputi sifat

fisik dan kimia air sedangkan faktor biotik meliputi sifat biologi air (Susanto,

2002). Kolam merupakan jenis perairan semi tertutup yang merupakan

ekosistem tertutup bagi organisme perairan. Menurut Odum (1971) kolam

merupakan perairan berukuran kecil dan dangkal, mempunyai perbedaan yang

jelas dengan perairan menggenang lainnya. Kolam sering digunakan oleh

manusia untuk berbagai aktifitas yang secara langsung maupun tidak langsung

dapat mempengaruhi kualitas perairan dan juga organisme yang hidup di

dalamnya. Kolam harus memiliki kualitas air yang baik untuk dijadikan tempat

hidup dan berkembang ikan. Air merupakan salah satu lingkungan budaya

untuk ikan dan organisme air lainnya. Berdasarkan hal tersebut maka pasokan

dan kualitas air yang baik sangat penting untuk pembuatan kolam.
Maka dari itu perlu dihitung kelimpahan dan kepadatan plankton pada

kolam pemebesaran ikan nila agar menegetahui kualitas perairan yang ditinggali

ikan nila.

1.2. Tujuan

Tujuan dari praktikum ini adalah :

1. Mengetahui sifat biologi kolam pembesaran ikan nila di Tambak Sogra

2. Mengetahui fakor-faktor sifat biologi kolam pembesaran ikan nila di

Tambak Sogra keragaman plankton.


II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kolam

Kolam merupakan badan air tergenang buatan manusia yang memiliki

ciri ekologis hampir sama dengan danau. Kolam dibangun sebagai sarana

budidaya berbagai macam jenis ikan dengan sumber air umumnya berasal dari

waduk atau sungai yang dialirkan ke kolam-kolam melalui saluran irigasi, baik

yang dibangun khusus untuk mengairi kolam, maupun saluran irigasi yang

dibangun untuk mememuhi kebutuhan air bagi lahan pertanian secara umum

(Ningsih et.al., 2013).

Kolam merupakan perairan semi tertutup yang dibuat oleh manusia.

Kolam merupakan lahan basah buatan yang umumnya dibangun bagi kegiatan

budidaya perairan, khususnya ikan air tawar. Secara umum, kolam merupakan

lahan yang dibuat untuk menampung air dalam jumlah tertentu sehingga dapat

dipergunakan untuk pemeliharaan ikan dan atau hewan air lainnya. Sedangkan

secara teknis, kolam merupakan suatu perairan buatan yang luasnya terbatas

dan sengaja dibuat manusia agar mudah dikelola dalam hal pengaturan air, jenis

hewan budidaya, dan target produksinya (Puspita et.al, 2005).

2.1.1. Kolam Pembesaran Ikan Nila di BPBAT Tambak Sogra

Kolam pembesaran ikan tradisional biasanya berukuran sama atau lebih

besar dibandingkan dengan kolam pendederan yaitu sekitar 250-600 m2. Namun,

dalam kurun waktu 30 tahun belakangan, telah dikembangkan pemeliharaan

ikan di kolam air deras yang lahannya sempit, tetapi kepadatan yang sangat

tinggi. Untuk pemeliharaan ikan secara intensif ini, debit air harus cukup besar,
yaitu antara 10-15 l/detik (Susanto, 2013).

Pakan tambahan untuk kolam pembesaran pun harus bergizi tinggi. Kini

sudah berkembang pemeliharaan ikan di keramba jaring apung yang bisa

menggunakan padat tebar tinggi dan pemberian pakan tambahan. Selain itu, ada

bentuk kolam alternatif untuk pembesaran yang dikenal dengan nama hampang

(pen culture), sawah tambak, keramba yang panjangnya mencapai puluhan

kilometer, kolam comberan, kolam karpet dan lain sebagainya (Susanto, 2013).

2.1.2. Karakteristik Kolam Pembesaran Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

Karakteristik Kolam Pembesaran Ikan Nila adalah Lokasi kolam yang

berada kurang dari 600 m dpl dengan karakteristik tanah liat berpasir

merupakan daerah yang cocok untuk pembangunan konstruksi kolam

permanen maupun semi permanen. Lokasi dengan karakter tanah yang stabil

dan keras akan lebih baik dalam pembuatan konstruksi kolam beton.

(Suprayitno, 1986 dalam Hidayat, 2018). Daerah terbaik untuk kolam air deras

adalah tanah dengan sedikit kemiringan. Kemiringan optimal 0,5-1 persen,

kemiringan maksimum yang masih bisa digunakan untuk pembuatan kolam

adalah 2,5 persen. Kolam diusahakan berada dekat dengan sumber air.

Perbedaan ketinggian sumber air dengan air permukaan kolam ±30 cm. Hal ini

bertujuan agar pemasukan dan pengeluaran air dapat dilakukan secara grafitasi

(Suprayitno, 1989 dalam Hidayat, 2018). Aliran yang deras akan meningkatkan

kualitas air terjaga dalam kondisi optimum untuk pertumbuhan ikan. (Boyd,

1982, Suprayitno, 1989 ; RSNI, 2014 dalam Hidayat, 2018).


2.2. Sifat Biologi Kolam

2.2.1. Plankton

Plankton merupakan biota yang teramat beranekaragam dan terpadat di

laut. Banyak biota laut yang daur hidupnya menempuh lebih dari satu cara

hidup, pada saat mereka menjadi larva atau juvenil, mereka hidup sebagai

plankton. Plankton mempunyai peranan yang sangat penting di dalam

ekosistem bahari, dapat dikatakan sebagai pembuka kehidupan di planet bumi

ini, karena dengan sifatnya yang autotrof mampu merubah hara anorganik

menjadi bahan organik dan penghasil oksigen yang sangat mutlak diperlukan

bagi kehidupan makhluk yang lebih tinggi tingkatannya (Usman, 2013).

fitoplankton berperan sebagai produsen primer yang merupakan mata

rantai pertama dalam ekosistem perairan yang berperan dalam mengkonversi

energi dari matahari dan senyawa anorganik menjadi senyawa organik yang

dapat dimanfaatkan oleh biota lain, khususnya zooplankton. Zoplankton

memiliki peranan penting karena merupakan mata rantai penghubung antara

produsen primer dan biota lain yang memanfaatkan zooplankton. Keberadaan

zooplankton dipengaruhi oleh fitoplankton dikarenakan fitoplankton digunakan

sebagai sumber makanan oleh zooplankton (Retnani, 2001 dalam Purnamasari,

2016)

2.2.2. Kelimpahan

Kelimpahan adalah jumlah fitoplankton dalam tiap liter air di suatu

perairan plankton di setiap tempat, maka membagi perairan berdasarkan

kelimpahan fitoplankton yaitu Perairan Oligotrofik merupakan perairan yang


tingkat kesuburan rendah dengan kelimpahan fitoplankton berkisar antara 0 –

2000 ind/ml Perairan Mesotrofik merupakan perairan yang tingkat kesuburan

sedang dengan kelimpahan fitoplankton berkisar antara 2000 - 15000 ind/ml

Perairan Eutrofik merupakan perairan yang tingkat kesuburan tinggi dengan

kelimpahan fitoplankton berkisar antara >15.000 ind/ml (Suryanto, 2013).

Kepadatan spesies suatu sumberdaya merupakan informasi dasar yang

sangat diperlukan dalam pengembangannya, dimana kehidupan dan

pertumbuhan suatu sumberdaya laut mempunyai syarat hidup yang berbeda-

beda (Papalia, 2015). Kesuburan suatu perairan dapat ditentukan oleh

kelimpahan plankton, khususnya fitoplankton. Hal ini disebabkan kemampuan

fitoplankton untuk melakukan fotosintesis. Fitoplankton menggunakan garam-

garam anorganik, karbondioksida, air, dan energi matahari untuk memproduksi

makanan (Pescod, 1973).

2.2.3. Keragaman

Keragaman adalah sifat suatu komunitas yang memperlihatkan tingkat

keanekaragaman jenis organisme yang ada di dalamnya. Suatu komunitas

dikatakan mempunyai keragaman spesies yang tinggi apabila terdapat hanya

spesies dengan jumlah individu masing-masing spesies yang relatif sama,

sehingga lingkungan tersebut dapat dikatakan sangat baik untuk kehidupan

plankton, tetapi apabila suatu komunitas hanya terdiri dari sedikit spesies

dengan jumlah individu yang tidak merata, maka komunitas ini mempunyai

keragaman yang rendah dan tergolong tidak baik kualitas lingkungannya.

Keragaman besar bila tiap individu berbeda spesies dan tidak adanya dominansi
(Odum, 1971).

Parameter ini mencirikan kekayaan jenis dan keseimbangan dalam suatu

komunitas, akhir-akhir ini terjadi penurunan yang menjadikan keragaman

fitoplankton rendah. Ekosistem dengan keragaman rendah adalah tidak stabil

dan rentan terhadap pengaruh tekanan dari luar dibandingkan dengan

ekosistem yang memiliki keragaman tinggi. Fitoplankton selain berfungsi dalam

keseimbangan ekosistem perairan budidaya, juga berfungsi sebagai pakan alami

di dalam usaha budidaya. Upaya perbaikan lingkungan perairan untuk

mewujud- kan perikanan budidaya secara berkelanjutan dan produktif kini

mulai dilakukan dengan memanfaatkan kemampuan alami yang dibentuk oleh

keragaman hayati. Perbaikan mutu lingkungan menggunakan teknologi tinggi

perlu mempertimbangkan berbagai faktor serta akan menambah biaya dan

beresiko tinggi, sedangkan pengelolaan secara alami merupakan alternatif paling

baik. Tujuan studi ini adalah menelaah kondisi kekayaan dan kestabilan perairan

melalui analisis indeks biologi fitoplankton serta analisis kualitas perairan untuk

pengembangan perikanan budidaya yang produktif dan berkelanjutan (Pirzan,

2008).
III. MATERI DAN METODE

3.1. Materi

3.1.1. Alat

Tabel 1. Alat Praktikum

No Nama alat Ukuran/ jumlah Merek Fungsi

Mengambil substrat

1. Plankton net 1 - atau menangkap

plankton

Tempat menyimpan
2. Botol vial 1 -
mikrobenthos

3.1.2. Bahan

Tabel 2. Bahan Praktikum

No Nama bahan Ukuran/ jumlah Merek Fungsi

1. Sampel air Banyak - Mencari plankton

Mengawetkan
2. Formalin 3 ml -
mikrobenthos

Bereaksi dengan

formalin untuk
3. Lugol 3 tetes
mengawetkan

mikrobenthos

3.2. Metode

3.2.1. Plankton
Pengambilan sampel plankton dilakukan dengan 100L air sampel di tiga

lokasi sampling yaitu inlet, tengah, dan outlet kolam disaring menggunakan alat

Plankton Net No.25. Kemudian air hasil disaring tersebut dimasukan ke dalam

botol sampel. Sampel air diawetkan dengan diberi formalin 4 % sebanyak 3 ml

dan 3 tetes larutan lugol. Kemudian sampel air diidentifikasi dan dihitung

jumlahnya dengan bantuan mikroskop.

3.2.2. Kelimpahan

Kelimpahan plankton dihitung dengan rumus :

Nilai Kepadatan = N x F
𝑄1 𝑉1 1 1
F = 𝑄2 x x x𝑊
𝑉2 𝑃

Keterangan:

N = jumlah plankton rataan pada setiap preparat

Q1 = luas gelas penutup = 324

Q2 = luas lapang pandang = 1.11279

V1 = volume air dalam botol penampung = 25 ml

V2 =volume air dibawah gelas penutup = 2 x 0.05 mL = 0,1 ml

P = jumlah lapisan pandang yang diamati = 30

W = volume air yang disaring = 100 liter

3.2.3. Keragaman

Keragaman plankton dihitung dengan rumus :

Indeks Diversitas Shannon-Wiener Plankton

𝑠
𝑛1 𝑛1
H’ = − ∑ ( 𝑁 (ln ))
𝑡=1 𝑁
Keterangan :

H’ = indeks keragaman

S = jumlah spesies

Ni = jumlah individu tiap spesies ke-i

N = jumlah total individu semua spesies

3.3. Waktu dan Tempat

Praktikum dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 30 Maret 2019 di kolam

Pembesaran Ikan Nila (Oreochromis niloticus) di BPBAT Tambak Sogra

Pengambilan sampel dilakukan 2 (dua) kali yaitu pada pukul 05.30 WIB dan

12.30 WIB. Kemudian pengamatan dilakukan di laboratorium pengajaran

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Jenderal Soedirman.

3.4. Analisis Data

Data pengukuran parameter sifat biologi air yang diperoleh dapat

dianalisis secara deskriptif dengan histogram atau diagram balok antara titik

sampling, dan dengan bantuan tabel.


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

Tabel 1. Sifat Biologi Kolam Pembesaran Ikan Nila BPBAT Tamabak Sogra

Kelimpahan
Waktu Genus Jumlah Keragaman
(Ind/L)

Scenedesmus sp. 16 698

Ankistrodesmus sp. 42 1.833

Coelestrum sp. 112 4.890

Oscillatoria sp. 14 611

Pediastrum sp. 5 218


06.00 0,701

Brachionu sp. 14 611

Choleochaete sp. 1 44

Chlorococcum sp. 1 44

Hazenia sp. 1 44
Schorodia sp. 1 44

Nitzsehia sp. 1 44

Arthrodesmus sp. 1 44

Staurastrum sp. 1 44

Spirogyra sp. 2 87

Total 212 9256 0,701

Diatom sp. 4 175

Rediastrums sp. 9 330

Coelestrum sp. 33 1.440

12.00 0,93

Oscillatoria sp. 16 698

Pediastrum sp. 89 3.886


Mycrosystis sp. 5 218

Ulothrix sp. 2 87

Cosmarium sp. 1 44

Chysidiastrum sp. 1 44

Stauratrum sp. 1 44

Mesotaenium sp. 1 44

Elakatothrix 1 44

Brachionus sp. 1 44

Spirulina sp. 1 44

Eudorina sp.
1 44

Hemiaulus sp.
1 44
Scenedesmus sp. 1 44

Spirogyra sp. 1 44

Cochlodinium sp. 2 349

Closterium sp. 4 175

Chlorella sp. 7 306

Total 182 8148 0,93

4.2. Pembahasan

4.2.1. Kelimpahan

Faktor yang mempengaruhi kelimpahan plankton disuatu perairan yaitu

oleh cahaya (Tasak et.al., 2015). Tingginya kelimpahan juga dapat dipengaruhi

oleh faktor lain seperti kekeruhan. Kelimpahan fitoplankton dipengaruhi oleh

sebaran konsentrasi kekeruhan, karena semakin tinggi konsentrasi kekeruhan

akan menyebabkan adanya penutupan terhadap masuknya cahaya matahari ke

dalam perairan, dan pada akhirnya dapat mengganggu proses fotosintesis oleh
fitoplankton (Wisha et al., 2014). Andriani et al., (2015) juga menyebutkan bahwa

nilai TSS dan TDS berpengaruh terhadap kelimpahan fitoplankton. Cahaya

matahari dapat masuk kedalam kolom perairan dan dapat digunakan oleh

fitoplankton untuk fotosintesis.

Kelimpahan Plankton pukul 05.30 WIB


5040.00
4040.00
3040.00
2040.00
1040.00
40.00
Kelimpahan

Spesies Plankton

Grafik 1. Grafik Kelimpahan Plankton Pukul 05.30 WIB

Kelimpahan Plankton pukul 12.30 WIB


5,000
4,000
3,000
2,000
1,000
0,000
Chysidiastrum…

Mesotaenium…

Scenedesmus…

Cochlodinium…
Elakatothrix

Spirogyra sp.
Diatom sp.

Coelestrum sp.

Ulothrix sp.

Hemiaulus sp.

Chlorella sp.
Rediastrums sp.

Oscillatoria sp.

Mycrosystis sp.

Cosmarium sp.

Spirulina sp.

Closterium sp.
Pediastrum sp.

Branchionus sp.
Stauratrum sp.

Kelimpahan

Spesies Plankton

Grafik 2. Grafik Kelimpahan Plankton Pukul 12.30 WIB


Berdasarkan Grafik 1. menunjukan bahwa kelimpahan tertinggi pada

pukul 05.30 WIB yaitu jenis Coelestrum sp. dengan kelimpahan sebesar 4.890

ind/L; sedangkan kelimpahan terendah dari jenis Choleochaete sp. , Chlorococcum

sp. , Hazenia sp. , Schorodia sp. , Nitzsehia sp. , Arthrodesmus sp. , Staurastrum sp. ,
dengan kelimpahan yang sama yaitu sebesar 44 ind/L. Sedang kan pada

Gambar 2. menunjukan bahwa kelimpahan tertinggi pada pukul 12.30 WIB yaitu

jenis Pediastrum sp. dengan kelimpahan yang sama yaitu sebesar 3.886 ind/L.

Dan kelimpahan terendah jenis Cosmarium sp. , Chysidiastrum sp. ,Stauratrum sp.

,Mesotaenium sp. ,Elakatothrix, Eudorina sp. , Spirulina sp. ,Eudorina sp. ,Hemiaulus

sp. ,Scenedesmus sp. dengan kelimpahan sama yaitu 44 ind/L.

Tingginya kelimpahan pada saat pengamatan pukul 12.30 didominasi

oleh jenis fitoplankton, hal ini disebabkan karena fitoplankton akan melakukan

fotosintesis pada siang hari sehingga keberadaannya melimpah pada siang hari

di permukaan air untuk mendapatkan cahaya matahari. Hal ini sesuai dengan

pendapat Rafitri et.al., (2015) yang menyatakan bahwa kelimpahan dapat

disebabkan oleh pencahayaan matahari. Hal ini membantu dalam proses

fotosintesis dan juga kelimpahan fitoplankton yang melimpah. Pada

pengamatan pukul 05.30 kelimpahan jenis fitoplankton rendah, hal ini

disebabkan karena tidak adanya penetrasi matahari ke perairan yang selanjutnya

digunakan oleh fitoplankton untuk fotosintesis. Namun untuk jenis zooplankton

melimpah, hal ini disebabkan karena plankton jenis zooplankton merupakan

organisme heterotrof yang tidak melakukan kegiatan fotosintesis, sehingga lebih

menyukai kondisi malam hingga pagi hari dan karena zooplankton merupakan

herbivora primer. Hal ini sesuai dengan pendapat Nybakken (1992) dalam Maria

et al., (2014) yang menjelaskan bahwa zooplankton sangat penting artinya bagi

ekonomi ekosistem-ekosistem perairan karena merupakan herbivora primer

dalam air, sehingga zoplankton berperan sebagai mata rantai yang amat penting
antara produksi primer fitoplankton dengan para karnivora besar dan kecil.

Selain itu, menurut Rahman et al., (2014), menurunnya kelimpahan plankton

dapat disebabkan oleh adanya pemangsaan ikan kecil saat terjadinya

perkembangan plankton sehingga terjadi perubahan komposisi dalam

komunitasnya.

4.2.2. Keragaman

Faktor yang memepengaruhi keragaman plakton yaitu dipengaruhi oleh

kualitas perairan serta banyaknya kandungan bahan organik dan gas – gas yang

tedapat dalam kolam tersebut, serta perusakan habitat alami, pencemaran

kimiawi, dan perubahan iklim (Odum, 1998 dalam Faiqoh et.al., 2015).

Keragaman
000,001 0,93

000,001 0,701
ind/m2

000,001
000,000
Keragaman
000,000
000,000
Pukul 05.30 Pukul 12.30
Waktu

Grafik 3. Grafik Keragaman Plankton

Berdasarkan Gambar 3. menunjukan bahwa pada pukul 05.30 WIB terjadi

indeks keragaman yang lebih rendah dengan nilai sebesar 0,701 ind/m2

dibandingkan pada pukul 12.30 WIB sebesar 0,93 ind/m2. Hal ini disebabkan

karena pada pengamatan pukul 05.30 WIB hanya sedikit jenis palankton yang

didapat dibandingkan plankton pada pukul 12.30 WIB, dimana dengan

sedikitnya jenis yang ditemukan membuat angka keragaman menjadi kecil. Hal
ini sesuai dengan pendapat Odum (1971) dalam Chalid (2014), yang menyatakan

bahwa keanekaragaman ditentukan dengan banyaknya jenis serta kemerataan

kelimpahan individu tiap jenis yang didapatkan. Semakin besar nilai suatu

keanekaragaman berarti semakin banyak jenis yang didapatkan dan nilai ini

sangat bergantung kepada nilai total dari individu masing-masing jenis atau

genera. Kolaya et.al., (2014) juga berpendapat bahwa tingginya keragaman pada

pukul 12.30 WIB, dapat disebabkan oleh jumlah genus yang ditemukan adalah

yang terbanyak.

Menurunnya keanekaragaman plankton dari pada pukul 05.30 WIB,

dapat disebabkan oleh adanya faktor cuaca. Ningrum (2015) mengemukakan

pendapatnya dalam penelitiannya bahwa perubahan lingkungan yang terjadi

pada suatu perairan akan mempengaruhi keberadaan zooplankton baik

langsung atau tidak langsung. Rahman et.al., (2014) juga berpendapat bahwa

salah satu perubahan cuaca yang mempengaruhi keanekaramgan plankton

disebabkan karena terjadi hujan.


V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan

bahwa :

1. Parameter biologi kolam untuk uji kualitas perairan lentik meliputi

keragaman dan kelimpahan plankton. Kelimpahan plankton tertinggi

pada pukul 05.30 WIB yaitu jenis Coelestrum sp. dengan kelimpahan

sebesar 4.890 ind/L; sedangkan kelimpahan terendah dari jenis

Choleochaete sp. , Chlorococcum sp. , Hazenia sp. , Schorodia sp. , Nitzsehia sp.

, Arthrodesmus sp. , Staurastrum sp. , dengan kelimpahan yang sama yaitu

sebesar 44 ind/L. Sedang kan kelimpahan plankton tertinggi pada pukul

12.30 WIB yaitu jenis Pediastrum sp. dengan kelimpahan yang sama yaitu

sebesar 3.886 ind/L. Dan kelimpahan terendah jenis Cosmarium sp. ,

Chysidiastrum sp. ,Stauratrum sp. ,Mesotaenium sp. ,Elakatothrix, Eudorina

sp. , Spirulina sp. ,Eudorina sp. ,Hemiaulus sp. ,Scenedesmus sp. dengan

kelimpahan sama yaitu 44 ind/L. Indeks keragaman pukul 05.30 WIB

lebih rendah dengan nilai sebesar 0,701 ind/m2 dibandingkan pada pukul

12.30 WIB sebesar 0,93 ind/m2.

2. Faktor yang mempengaruhi parameter biologi pada kolam diantaranya,

kelimpahan pada saat pengamatan pukul 12.30 didominasi oleh jenis

fitoplankton, hal ini disebabkan karena fitoplankton akan melakukan

fotosintesis pada siang hari sehingga keberadaannya melimpah pada

siang hari di permukaan air untuk mendapatkan cahaya matahari. Pukul


05.30 kelimpahan jenis fitoplankton rendah, hal ini disebabkan karena

tidak adanya penetrasi matahari ke perairan yang selanjutnya digunakan

oleh fitoplankton untuk fotosintesis. Namun untuk jenis zooplankton

melimpah, hal ini disebabkan karena plankton jenis zooplankton

merupakan organisme heterotrof yang tidak melakukan kegiatan

fotosintesis. Faktor yang memepengaruhi keragaman plakton yaitu

dipengaruhi oleh kualitas perairan serta banyaknya kandungan bahan

organik dan gas – gas yang tedapat dalam kolam tersebut, serta perusakan

habitat alami, pencemaran kimiawi, dan perubahan iklim

5.2. Saran

Sebaiknya dalam melakukan praktikum dilakukan dengan teliti agar data

atau hasil yang diperoleh lebih akurat dan agar alat yang digunakan tidak terjadi

kerusakan.
DAFTAR PUSTAKA

Andriani, Susi., Tri. R.S., dan Irwan.L. 2015. Kelimpahan dan Sebaran Horisontal
Fitoplankton di Perairan Muara Sungai Kakap Kabupaten Kubu Raya.
Protobiont, 4 (1): 29-37.

Barus, A.T. 2004. Pengantar Limnologi. Jurusan Biologi. FMIPA. USU. Medan.

Chalid, hamid. 2014. Keanekaragaman dan Distribusi Makrozoobenthos pada Daerah


Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Tanjung Buli, Halmahera Timur. Skripsi.
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin,
Makassar. 99 hal.

Faiqoh, E., I.P. Ayu, B. Subhan, Y.F. Syamsuni, A. W. Anggoro., dan A.


Sembiring. 2015. Variasi Geografik Kelimpahan Zooplankton di Perairan
Terganggu, Kepulauan Seribu, Indonesia. Journal of Marine and Aquatic
Sciences, 1: 19-22.

Hidayat, A. 2018. Potensi Pembesaran Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.) Kolam
Air Deras Di Daerah Irigasi Banjaran, Purwokerto, Jawa Tengah. Samakia:
Jurnal Ilmu Perikanan, 9 (1): 12-17.

Kolaya, Ira., Retno, Hartati., dan Hadi.E. 2014. Kelimpahan Fitoplankton pada
Tambak Tidak Produktif di Desa Mangunharjo, Semarang. Journal of
Marine Research, 3 (4): 492-498.

Maria. A, Agustini., dan Sri O.M. 2014. Identifikasi Dan Kelimpahan Plankton
Pada Budidaya Ikan Air Tawar Ramah Lingkungan. Jurnal Agroknow, 2 (1):
2302-2612.

Ningrum, A.M., dan Wijiyono. 2015. Zooplankton sebagai Indikator Biologi pada
Ekosistem Perairan Kolam Bioremediasi Psta- Batan. Seminar Nasional Xi
Sdm Teknologi Nuklir, 4 (2): 123-128.
Ningsih F., M. Rahman., dan A. Rahman. 2013. Analisis Kesesuaian Kualitas Air
Kolam Berdasarkan Parameter pH, DO, Amoniak, Karbondioksida dan
Alkalinitas Di Balai Benih Dan Induk Ikan Air Tawar (BBI-IAT)
Kecamatan Karang Intan Kabupaten Banjar. Fish Scientiae, 4 (6): 102-113.

Odum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. Third edition. W.B. Saunders Company,
Philadelphia, London, Toronto. 574 pp.

Papalia, Saleh. 2015. Struktur Komunitas Makro Alga di Pesisir Pulau Haruku,
Kabupaten Maluku Tengah. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 7 (1):
129-142.

Pescod, M. B. 1973. Investigation of Rational Effluent and Stream Standards for


Tropical Countries. AIT, Bangkok. 59 p.

Purnamasari, Putri Agung. 2016. Struktur Komunitas Plankton di Perairan


Mangrove Karangsong, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Jurnal Biologi,
5 (5): 39-51.

Puspita, L., E. Ratnawati, I N. N. Suryadiputra, A. A. Meutia. 2005. Lahan Basah


Buatan di Indonesia. Wetlands International-Indonesia Programme. Bogor.

Rafitri, Ria., Tri. R.S., dan Ari.H.Y. 2015. Struktur Komunitas Fitoplankton di
Perairan Gambut Sungai Ambawang Desa Pancaroba Kecamatan Sungai
Ambawang Kabupaten Kubu Raya. Probiont, 4 (1): 253-259.

Rahman, Aditya., Gunawan dan Antung, A. 2014. Kualitas Air Sungai Tutupan
Berdasarkan Keanekaragaman Plankton. Bioscientiae, 11 (2): 41-52.

Suryanto, A., Indrayani, N., dan Anggoro, S. 2013. Indeks Trofik-Saprobik


Sebagai Indikator Kualitas Air di Bendung Kembang Kempis Wedung,
Kabupaten Demak. Diponegoro Journal of Maquares Management of Aquatic
Resources, 3 (4): 161-168.
Susanto, H. 2002. Aneka Kolam Ikan; Ragam Jenis dan Cara Membuat. Penebar
Swadaya Grup, Jakarta.

Susanto. 2002. Aneka Kolam Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Susanto. 2013. Aneka Kolam Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Tasak, A. Rante, Kawaroe, Mujizat., dan T. Prartono. 2015. Keterkaitan Intensitas


Cahaya dan Kelimpahan Dinoflagelata di Pulai Samalona, Makasar,
Indonesian. Journal of Marine Sciences, 20 (2): 113-120.

Usman, Muh. Shabir., Kusen Janny D., dan Rimper, Joice R.T.S.L. 2013. Struktur
Komunitas Plankton Di Perairan Pulau Bangka Kabupaten Minahasa
Utara (Plankton Community Structure At Bangka Island Water North
Minahasa Regency). Jurnal Pesisir Dan Laut Tropis, 2 (1): 51-57.

Wardoyo. 1981. Kriteria Kualitas Air Untuk Keperluan Perikanan. Training


Analisis Dampak Lingkungan. Kerjasama PPLH , UNDIP-PSL dan IPB
Bogor. 41 hal.

Wisha, Ulung Jantama., Muh.Yusuf dan Lilik. M. 2014. Sebaran Muatan Paadatan
Tersuspensi dan Kelimpahan Fitoplankton di Perairan Muara Sungai
Porong Kabupaten Sidoarjo. Jurnal Oseanografi, 3 (3): 454-461.
LAMPIRAN

Lampiran 1

Perhitungan

Rumus Perhitungan Pagi (06.00):

Kelimpahan Plankton

 Jumlah plankton per liter = N x F


𝑄1 𝑉1 1 1
F = 𝑄2 + 𝑉2 + 𝑃 + 𝑊

Keterangan :

N = jumlah plankton rataan pada setiap preparat

Q1 = luas gelas penutup 18 x18 mm (324 mm2 )

Q2 = luas lapang pandang (1,11279 mm2 )

V1 = volume air dalam botol penampung (25 ml)

V2 = volume air dibawah gelas penutup (1 tetes = 0,05ml)

P = jumlah lapang pandang (30x)

W = volume air yang disaring

 Indeks Diversitas Shannon- Wienner (H’)

Rumus Perhitungan
𝑛𝑖 𝑛𝑖
H’ = - ∑𝑠𝑟=1 ln
𝑁 𝑁

Keterangan :

H’ = Indeks keragaman

S = jumlah spesies

ni = jumlah individu tiap spesies ke 1

N = jumlah total individu semua spesies

324 30 1 1
1. Scenedesmus sp. F = 1,11279 x 0.05 x 30 x 100
𝑄1 𝑉1 1 1
F = 𝑄2 + 𝑉2 + 𝑃 + 𝑊 = 291,1 x 600 x 0,03 x 0,01
= 52,398 F = 52,398

Jawab :

 Jumlah plankton per liter = N x F N x F = 112 x 52,398


Dietahui : = 5.868 ind/L
N = 16 4. Oscillatoria sp.
𝑄1 𝑉1 1 1
F = 52,398 F = 𝑄2 + 𝑉2 + 𝑃 + 𝑊
N x F = 16 x 52,398 324 30 1 1
F = 1,11279 x 0.05 x 30 x 100
= 838,368 ind/L
= 291,1 x 600 x 0,03 x 0,01
2. Ankistrodesmus sp.
𝑄1 𝑉1 1 1
= 52,398
F = 𝑄2 + 𝑉2 + 𝑃 + 𝑊
 Jumlah plankton per liter = N x F
324 30 1 1
F = 1,11279 x 0.05 x 30 x 100 Dietahui :

= 291,1 x 600 x 0,03 x 0,01 N = 14

= 52,398 F = 52,398

 Jumlah plankton per liter = N x F Jawab :


Diketahui : N x F = 14 x 52,398
N = 42 = 733,572 ind/L
F = 52,398

Jawab : 5. Pediastrum sp.


𝑄1 𝑉1 1 1
N x F = 42 x 52,398 F = 𝑄2 + 𝑉2 + 𝑃 + 𝑊
= 2.200 ind/L 324 30 1 1
F = 1,11279 x 0.05 x 30 x 100
3. Coelestrum sp.
𝑄1 𝑉1 1 1
= 291,1 x 600 x 0,03 x 0,01
F = 𝑄2 + 𝑉2 + 𝑃 + 𝑊
= 52,398
324 30 1 1
F = 1,11279 x 0.05 x 30 x 100  Jumlah plankton per liter = N x F
= 291,1 x 600 x 0,03 x 0,01 Dietahui :

= 52,398 N=5

 Jumlah plankton per liter = N x F F = 52,398


Diketahui : Jawab :
N = 112 N x F = 5 x 52,398
324 30 1 1
= 261,99 ind/L F = 1,11279 x 0.05 x 30 x 100
6. Branchionus sp.
= 291,1 x 600 x 0,03 x 0,01
𝑄1 𝑉1 1 1
F = 𝑄2 + 𝑉2 + 𝑃 + 𝑊 = 52,398
324 30 1 1
F = 1,11279 x 0.05 x 30 x 100  Jumlah plankton per liter = N x F
Dietahui :
= 291,1 x 600 x 0,03 x 0,01
N=1
= 52,398
F = 52,398
 Jumlah plankton per liter = N x F
Dietahui : Jawab :

N = 14 N x F = 1 x 52,398

F = 52,398 = 52,398 ind/L

Jawab : 9. Hazenia sp.


𝑄1 𝑉1 1 1
N x F = 14 x 52,398 F = 𝑄2 + 𝑉2 + 𝑃 + 𝑊

324 30 1 1
= 733,572 ind/L F = 1,11279 x 0.05 x 30 x 100
7. Choleochaete sp.
= 291,1 x 600 x 0,03 x 0,01
𝑄1 𝑉1 1 1
F= + + + = 52,398
𝑄2 𝑉2 𝑃 𝑊

324 30 1 1
F = 1,11279 x 0.05 x 30 x 100  Jumlah plankton per liter = N x F
Dietahui :
= 291,1 x 600 x 0,03 x 0,01
N=1
= 52,398
F = 43.665
 Jumlah plankton per liter = N x F
Dietahui : Jawab :

N=1 N x F = 1 x 52,398

F = 52,398 = 52,398ind/L

Jawab : 10. Schorodia sp.


𝑄1 𝑉1 1 1
N x F = 1 x 52,398 F = 𝑄2 + 𝑉2 + 𝑃 + 𝑊

324 30 1 1
= 52,398 ind/L F = 1,11279 x 0.05 x 30 x 100
8. Chlorococcum sp.
= 291,1 x 600 x 0,03 x 0,01
𝑄1 𝑉1 1 1
F = 𝑄2 + 𝑉2 + 𝑃 + 𝑊 = 52,398

 Jumlah plankton per liter = N x F


Dietahui : Jawab :

N=1 N x F = 1 x 52,398

F = 43.665 = 52,398 ind/L

Jawab : 13. Staurastrum sp.


𝑄1 𝑉1 1 1
N x F = 1 x 52,398 F = 𝑄2 + 𝑉2 + 𝑃 + 𝑊
= 52,398 ind/L 324 30 1 1
F = 1,11279 x 0.05 x 30 x 100
11. Nitzsehia sp.
= 291,1 x 600 x 0,03 x 0,01
𝑄1 𝑉1 1 1
F = 𝑄2 + 𝑉2 + 𝑃 + 𝑊
= 52,398
324 30 1 1
F = 1,11279 x 0.05 x 30 x 100  Jumlah plankton per liter = N x F
= 291,1 x 600 x 0,03 x 0,01 Diketahui :

= 52,398 N=1

 Jumlah plankton per liter = N x F F = 52,398

Diketahui : Jawab :

N=1 N x F = 1 x 52,398

F = 52,398 = 52,398 ind/L

Jawab : 14. Spirogyra sp.


𝑄1 𝑉1 1 1
N x F = 1 x 52,398 F = 𝑄2 + 𝑉2 + 𝑃 + 𝑊
= 52,398 ind/L 324 30 1 1
F = 1,11279 x 0.05 x 30 x 100
12. Arthrodesmus sp.
= 291,1 x 600 x 0,03 x 0,01
𝑄1 𝑉1 1 1
F = 𝑄2 + 𝑉2 + 𝑃 + 𝑊
= 52,398
324 30 1 1
F = 1,11279 x 0.05 x 30 x 100  Jumlah plankton per liter = N x F
= 291,1 x 600 x 0,03 x 0,01 Dietahui :

= 52,398 N=2

 Jumlah plankton per liter = N x F F = 52,398

Dietahui : Jawab :

N=1 N x F = 2 x 52,398

F = 52,398 = 104,796 ind/L


 Indeks Diversitas Shannon- Wienner (H’)

Rumus Perhitungan
𝑛𝑖 𝑛𝑖
H’ = - ∑𝑠𝑟=1 ln
𝑁 𝑁
16 16 42 42 112 112 4 4 5 5 14
= - ((707 ln 707 ) + (707 ln 707 ) + (707 ln 707 ) + (707 ln 707 ) + (707 ln 707 ) + (707 ln
14 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
) + (707 ln 707 ) + (707 ln 707 ) + (707 ln 707 ) + (707 ln 707 ) + (707 ln 707 ) +
707
1 1 1 1 2 2
(707 ln 707 ) + (707 ln 707 ) + (707 ln 707 ))

= - ((-0,083) + (-0,166) + ( -0,291) + (-0,025) + (-0,034) + (-0,074) + (-0,006) + (-


0,006) + (-0,006) + (-0,006) + (-0,006) + (-0,006) + (-0,006) + (-0,006) + (-0,011)

= 0,701

Rumus Perhitungan Siang (12.00):

Kelimpahan Plankton

 Jumlah plankton per liter = N x F


𝑄1 𝑉1 1 1
F = 𝑄2 + 𝑉2 + 𝑃 + 𝑊

Keterangan :

N = jumlah plankton rataan pada setiap preparat

Q1 = luas gelas penutup 18 x18 mm (324 mm2 )

Q2 = luas lapang pandang (1,11279 mm2 )

V1 = volume air dalam botol penampung (25 ml)

V2 = volume air dibawah gelas penutup (1 tetes = 0,05ml)

P = jumlah lapang pandang (30x)

W = volume air yang disaring

 Indeks Diversitas Shannon- Wienner (H’)

Rumus Perhitungan
𝑛𝑖 𝑛𝑖
H’ = - ∑𝑠𝑟=1 ln
𝑁 𝑁

Keterangan :

H’ = Indeks keragaman
S = jumlah spesies

ni = jumlah individu tiap spesies ke 1

N = jumlah total individu semua spesies

1. Diatom sp. F = 52,398


𝑄1 𝑉1 1 1
F = 𝑄2 + 𝑉2 + 𝑃 + 𝑊 Jawab :

𝑄1 𝑉1 1 1 N x F = 9 x 52,398
F = 𝑄2 + 𝑉2 + 𝑃 + 𝑊
= 471,582 ind/L
324 30 1 1
F = 1,11279 x 0.05 x 30 x 100
3. Coelestrum sp.
= 291,1 x 600 x 0,03 x 0,01 𝑄1 𝑉1 1 1
F = 𝑄2 + 𝑉2 + 𝑃 + 𝑊
= 52,398
324 30 1 1
F = 1,11279 x 0.05 x 30 x 100
 Jumlah plankton per liter = N x F
Diketahui : = 291,1 x 600 x 0,03 x 0,01

N=4 = 52,398

F = 52,398  Jumlah plankton per liter = N x F


Diketahui :
Jawab :
N = 33
N x F = 4 x 52,398
F = 52,398
= 209,592 ind/L
Jawab :

N x F = 33 x 52,398
2. Rediastrums sp.
𝑄1 𝑉1 1 1 = 1.729 ind/L
F = 𝑄2 + 𝑉2 + 𝑃 + 𝑊
4. Oscillatoria sp.
𝑄1 𝑉1 1 1
F = 𝑄2 + 𝑉2 + 𝑃 + 𝑊 𝑄1 𝑉1 1 1
F = 𝑄2 + 𝑉2 + 𝑃 + 𝑊
324 30 1 1
F = 1,11279 x 0.05 x 30 x 100 324 30 1 1
F = 1,11279 x 0.05 x 30 x 100
= 291,1 x 600 x 0,03 x 0,01
= 291,1 x 600 x 0,03 x 0,01
= 52,398
= 52,398
 Jumlah plankton per liter = N x F
 Jumlah plankton per liter = N x F
Diketahui :
Diketahui :
N=9
N = 16
F = 43.665 7. Ulothrix sp.
𝑄1 𝑉1 1 1
Jawab : F = 𝑄2 + 𝑉2 + 𝑃 + 𝑊
N x F = 16 x 52,398 324 30 1 1
F = 1,11279 x 0.05 x 30 x 100
= 838,368 ind/L
= 291,1 x 600 x 0,03 x 0,01
5. Pediastrum sp.
= 52,398
𝑄1 𝑉1 1 1
F = 𝑄2 + 𝑉2 + 𝑃 + 𝑊
 Jumlah plankton per liter = N x F
324 30 1 1
F = 1,11279 x 0.05 x 30 x 100 Diketahui :

= 291,1 x 600 x 0,03 x 0,01 N=2

= 52,398 F = 52,398

 Jumlah plankton per liter = N x F Jawab :

Diketahui : N x F = 2 x 52,398

N = 89 = 104,796 ind/L

F = 52,398 8. Cosmarium sp.


𝑄1 𝑉1 1 1
Jawab : F = 𝑄2 + 𝑉2 + 𝑃 + 𝑊
N x F = 89 x 52,398 324 30 1 1
F = 1,11279 x 0.05 x 30 x 100
= 4.663 ind/L
= 291,1 x 600 x 0,03 x 0,01
6. Mycrosystis sp.
= 52,398
𝑄1 𝑉1 1 1
F = 𝑄2 + 𝑉2 + 𝑃 + 𝑊
 Jumlah plankton per liter = N x F
324 30 1 1
F = 1,11279 x 0.05 x 30 x 100 Dietahui :

= 291,1 x 600 x 0,03 x 0,01 N=1

= 52,398 F = 52,398

 Jumlah plankton per liter = N x F Jawab :

Diketahui : N x F = 1 x 52,398

N=5 = 52,398ind/L

F = 52,398 9. Chysidiastrum sp.


𝑄1 𝑉1 1 1
Jawab : F = 𝑄2 + 𝑉2 + 𝑃 + 𝑊
N x F = 5 x 52,398 324 30 1 1
F = 1,11279 x 0.05 x 30 x 100
= 261,99 ind/L
= 291,1 x 600 x 0,03 x 0,01 N=1

= 52,398 F = 52,398

 Jumlah plankton per liter = N x F Jawab :


Diketahui : N x F = 1 x 52,398
N=1 = 52,398ind/L
F = 52,398

Jawab : 12. Elakatothrix


𝑄1 𝑉1 1 1
N x F = 1 x 52,398 F = 𝑄2 + 𝑉2 + 𝑃 + 𝑊
= 52,398ind/L 324 30 1 1
F = 1,11279 x 0.05 x 30 x 100
10. Stauratrum sp.
= 291,1 x 600 x 0,03 x 0,01
𝑄1 𝑉1 1 1
F = 𝑄2 + 𝑉2 + 𝑃 + 𝑊
= 52,398
324 30 1 1
F = 1,11279 x 0.05 x 30 x 100  Jumlah plankton per liter = N x F
= 291,1 x 600 x 0,03 x 0,01 Diketahui :

= 52,398 N=1

 Jumlah plankton per liter = N x F F = 52,398

Diketahui : Jawab :

N=1 N x F = 1 x 52,398

F = 52,398 = 52,398ind/L

Jawab :

N x F = 1 x 52,398

= 52,398ind/L 13. Branchionus sp.


𝑄1 𝑉1 1 1
11. Mesotaenium sp. F = 𝑄2 + 𝑉2 + 𝑃 + 𝑊
𝑄1 𝑉1 1 1
F = 𝑄2 + 𝑉2 + 𝑃 + 𝑊 324 30 1 1
F = 1,11279 x 0.05 x 30 x 100
324 30 1 1
F = 1,11279 x 0.05 x 30 x 100 = 291,1 x 600 x 0,03 x 0,01

= 291,1 x 600 x 0,03 x 0,01 = 52,398

= 52,398  Jumlah plankton per liter = N x F

 Jumlah plankton per liter = N x F Dietahui :

Diketahui : N=1
F = 52,398 = 52,398ind/L

Jawab :

N x F = 1 x 52,398 16. Scenedesmus sp.


𝑄1 𝑉1 1 1
= 52,398ind/L F = 𝑄2 + 𝑉2 + 𝑃 + 𝑊

324 30 1 1
F = 1,11279 x 0.05 x 30 x 100
14. Spirulina sp.
= 291,1 x 600 x 0,03 x 0,01
𝑄1 𝑉1 1 1
F = 𝑄2 + 𝑉2 + 𝑃 + 𝑊
= 52,398
324 30 1 1
F= x x x  Jumlah plankton per liter = N x F
1,11279 0.05 30 100

= 291,1 x 600 x 0,03 x 0,01 Diketahui :

= 52,398 N=1

 Jumlah plankton per liter = N x F F = 52,398

Diketahui : Jawab :

N=1 N x F = 1 x 52,398

F = 52,398 = 52,398ind/L

Jawab :

N x F = 1 x 52,398 17. Spirogyra sp.


𝑄1 𝑉1 1 1
= 52,398ind/L F = 𝑄2 + 𝑉2 + 𝑃 + 𝑊

15. Hemiaulus sp. 324 30 1 1


F = 1,11279 x 0.05 x 30 x 100
𝑄1 𝑉1 1 1
F = 𝑄2 + 𝑉2 + 𝑃 + 𝑊
= 291,1 x 600 x 0,03 x 0,01
324 30 1 1
F = 1,11279 x 0.05 x 30 x 100 = 52,398

= 291,1 x 600 x 0,03 x 0,01  Jumlah plankton per liter = N x F

= 52,398 Diketahui :

 Jumlah plankton per liter = N x F N=1

Diketahui : F = 52,398

N=1 Jawab :

F = 52,398 N x F = 1 x 52,398

Jawab : = 52,398ind/L

N x F = 1 x 52,398 18. Cochlodinium sp.


𝑄1 𝑉1 1 1
F = 𝑄2 + 𝑉2 + 𝑃 + 𝑊 N=4

324 30 1 1 F = 52,398
F = 1,11279 x 0.05 x 30 x 100
Jawab :
= 291,1 x 600 x 0,03 x 0,01
N x F = 4 x 52,398
= 52,398
= 209,592 ind/L
 Jumlah plankton per liter = N x F
20. Chlorella sp.
Diketahui :
𝑄1 𝑉1 1 1
F = 𝑄2 + 𝑉2 + 𝑃 + 𝑊
N=2
324 30 1 1
F = 52,398 F= x x x
1,11279 0.05 30 100

Jawab : = 291,1 x 600 x 0,03 x 0,01

N x F = 2 x 52,398 = 52,398

= 104,796 ind/L  Jumlah plankton per liter = N x F

19. Closterium sp. Diketahui :


𝑄1 𝑉1 1 1
F = 𝑄2 + 𝑉2 + 𝑃 + 𝑊 N=7

324 30 1 1 F = 52,398
F = 1,11279 x 0.05 x 30 x 100
Jawab :
= 291,1 x 600 x 0,03 x 0,01
N x F = 7 x 52,398
= 52,398
= 366,786 ind/L
 Jumlah plankton per liter = N x F
Diketahui :

 Indeks Diversitas Shannon-


Wienner (H’) pukul (12.00)

Rumus Perhitungan
𝑛𝑖 𝑛𝑖
H’ = - ∑𝑠𝑟=1 ln
𝑁 𝑁
4 4 9 9 33 33 16 16 5 5 1
= -( (263 ln 263 ) + (263 ln 263 ) + (263 ln 263 ) + (263 ln 263 ) + (263 ln 263 )+ + (263
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
ln263 ) + (263 ln 263 ) + (263 ln 263 ) + (263 ln 263 ) + (263 ln 263 ) + (263 ln 263 +
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2
(263 ln 263 ) + (263 ln 263 ) + (263 ln 263 ) + (263 ln 263 ) + (263 ln 263 ) + (263 ln
2 4 4 7 7
) + (263 ln 263 ) + (263 ln 263 )
263
= -((-0,062) + (-0,144) + (-0,259) + (-0,167) + (-0,075) + (-0,003) + (-0,003) + (-0,003)
+ (-0,003) + (-0,003) + (-0,003) + (-0,003) + (-0,003) + (-0,003) + (-0,003) + (-0,003)
+ (-0,034) + (-0,062) + (-0,094)

= 0,93
ACARA VII

EFEK KEKERUHAN TERHADAP IKAN

Oleh :

Iswardhani Ariyanti

NIM. L1B017035

LAPORAN PRAKTIKUM LIMNOLOGI

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO

2019
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ikan nilem merupakan salah satu jenis ikan air tawar potensial yang

terkonsentrasi di Pulau Jawa khususnya di wilayah priangan yang perlu

dikembangkan teknologi budidayanya, dan kebutuhan masyarakat terhadap protein

hewani ikan terus meningkat seiring dengan peningkatan populasi penduduk.

Kebutuhan ikan termasuk ikan air tawar yang terus meningkat menjadikan usaha

budidaya dilakukan dengan sangat intensif. Intensifikasi dicirikan dengan masukan

nutrien berupa pakan dan bahan kimia lainnya serta tingkat kepadatan ikan yang

tinggi. Banyaknya nutrien yang masuk dikhawatirkan akan berdampak negatif

terhadap lingkungan perairan (Herawati, 2018). Sektor perikanan merupakan salah

satu sektor penunjang perekonomian negara. Indonesia adalah negara maritim. Oleh

karena itu, potensi perikanan di Indonesia juga sangat melimpah. Sektor perikanan di

Indonesia ada yang dikembangkan di tambak dan juga di kolam. Ada beberapa faktor

yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam menilai kualitas suatu perairan yaitu

derajat keasaman air (nilai pH), kandungan oksigen, suhu air, kekeruhan air, dan

kesadahan air (Bahtiar,2017).

Kekeruhan dapat disebabkan oleh kehadiran bahan-bahan organik ataupun

anorganik, baik yang tersuspensi maupun terlarut, seperti serpihan, partikel halus,

tanah, plankton, dsb. Hal ini bisa bersumber dari hasil kegiatan pelapukan batu,

limpasan dari tanah (erosi), dan pengaruh antropogenik (sampah, limbah domestik,
industri atau air rawa yang kaya akan bahan organik). Pengaruh meningkatnya

kekeruhan adalah berkurangnya penetrasi cahaya yang berdampak pada

menurunnya produktivitas primer seperti phytoplankton dan makrophyta bentik dan

menurunnya efisiensi pakan dari ikan-ikan predator akibat kesulitan melihat

(Pagoray dan Ghitarina, 2016).

TSS (Total Suspended Solid) atau padatan tersuspensi total merupakan residu

dari padatan total yang tertahan oleh saringan dengan ukuran partikel maksimal 2

μm atau lebih besar dari ukuran partikel koloid. Materi yang tersuspensi mempunyai

dampak buruk tehadap kualitas air karena mengurangi penetrasi cahaya ke dalam

badan air, kekeruhan air meningkat yang menyebabkan gannguan terhadap

organisme lain (Wahyuni, 2018). Oleh karena itu dilakukan pengamatan terhadap efek

kekeruhan terhadap kehidupan ikan.

1.2. Tujuan

Tujuan dari praktikum acara efek kekeruhan terhadap kehidupan ikan

adalah:

1. Untuk mengetahui efek kekeruhan terhadap kehidupan ikan.


II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ikan Nilem (Osteochilus hasselti)

2.1.1. Klasifikasi

Gambar 1. Ikan Nilem (Osteochilus hasselti)


Sumber : Dokumentasi pribadi
Klasifikasi ikan nilem

Kingdom : Animalia Phylum:

Chordata

Class : Pisces

Order : Ostariophysi

Family : Cyprinidae

Genus : Ostheochilus

Spesies : Osteochilus hasselti

(Saanin, 1984)

2.1.2. Morfologi

Morfologi ikan nilem dicirikan dengan ujung mulut runcing dengan moncong

(rostal) terlipat, terdapat sungut peraba pada sudut-sudut mulut. Bentuk tubuh agak

pipih dan bintik hitam besar pada ekor. Sirip punggung terdiri dari tiga jari-jari keras

dan 12-18 jari-jari lunak. Sirip ekor berbentuk simetris dan sirip dubur terdiri dari tiga
jari-jari keras dan lima jari-jari lunak serta jumlah sisik gurat sisi berkisar antara 33-36

keping (Susanto, 2006 dalam Cholifah, 2016).

Hardjamulia dan Atmawinata (1980) dalam Cholifah, (2016) menyebutkan

bahwa spesies ikan nilem dapat dibedakan dari warna sisik pada dasar sirip

punggung yaitu coklat kehitaman yang biasa disebut Osteochilus hasselti sedangkan

hitam kehijauan adalah Osteochilus vittarus. Rata-rata ikan nilem mempunyai panjang

berkisar antara 25-32 cm dengan bobot 150-310 gr. Ikan ini sangat menyukai perifiton.

2.2. Kekeruhan

Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan

banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat

dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh bahan organik dan anorganik. Bahan organik

tersuspensi maupun terlarut seperti lumpur, pasir, bahan organik seperti plankton

dan mikroorganisme lainnya (Irawan dan Lily, 2013).

Menurut Kordi dan Tancung (2007) dalam Mas‘ud (2014) kekeruhan yang baik

adalah kekeruhan yang disebabkan oleh jasad- jasad renik atau plankton. Adapun

tingkat kecerahan yang baik untuk kehidupan ikan adalah 30-40 cm yang di ukur

dengan menggunakan secchi disk. Apabila kedalaman kurang dari 25 cm, maka

pergantian air harus cepat dilakukan sebelum fitoplankton mati berurutan yang

diikuti penurunan oksigen terlarut secara drastis.

2.3. Efek Kekeruhan terhadap Ikan

Kekeruhan yang tinggi dapat menyebabkan penyumbatan pada insang ikan,

sehingga ikan akan kesulitan dalam mengambil oksigen (Sulawesty,2014). Menurut

Siswadi (2004) dalam Hasan (2016), Turbiditas (Kekeruhan) merupakan kandungan


bahan Organik maupun Anorganik yang terdapat di perairan sehingga

mempengaruhi proses kehidupan organisme yang ada di perairan tersebut. Apabila

di dalam air media terjadi kekeruhan yang tinggi maka kandungan oksigen akan

menurun, hal ini disebabkan intensitas cahaya matahari yang masuk kedalam

perairan sangat terbatas sehingga tumbuhan / phytoplankton tidak dapat melakukan

proses fotosintesis untuk mengasilkan oksigen.


III. MATERI DAN METODE

3.1 Materi

3.1.1 Alat

Tabel 1. Alat Praktikum

No. Nama Alat Ukuran/jumlah Merek Fungsi

1. Bak uji coba 2 - Meletakkan ikan

untuk pengamatan

2. Turbidimeter 1 - Mengukur kekeruhan

3. Aerator 1 - Homogenkan

4. Trash bag 1 - Menutup ember

3.1.2 Bahan

Tabel 2. Bahan Praktikum

No. Nama Bahan Ukuran/jumlah Merek Fungsi

1. Air erosi tinggi - - Untuk kekeruhan

terhadap ikan

2. Ikan nilem 10 ekor - Objek pengamatan

3.2 Metode

Pengamatan efek kekeruhan terhadap ikan dilakukan dengan menyiapkan 2

buah ember, satu berisi air kontrol dan satu berisi air yang sudah diberi kekeruhan

sebesar 50 NTU (sampel air erosi tinggi), campurkan. Kemudian aerator dimasukkan

ke air dalam ember agar air dan tanah homogeny dan untuk supali oksigen bagi ikan
nilem. Ikan nilem dimasukkan ke dalam ember, pada masing-masing ember sebanyak

10 ekor. Lalu ember ditutup dengan trash bag dan lubangi trashbag agar ikan dapat

bernapas. Pengukuran efek berbagai kekeruhan dilakukan dengan melihat tingkat

kematian ikan, dengan dilihat setiap hari selama dua hari pada jam yang sama saat

pertama peletakkan ikan.

3.3 Waktu dan Tempat

Praktikum acara Efek Kekeruhan Terhadap Ikan dilakukan pada hari Rabu

tanggal 20 Maret 2019 pukul 15.30 WIB di Laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan, Universitas Jenderal Soedirman.

3.4 Analisis Data

Data mortalitas dan perilaku akibat kekeruhan yang diperoleh dianalisis secara

deskriptif dengan histogram atau diagram balok antara konsentrasi kekeruhan yang

dilakukan.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Tabel 1. Hasil pengukuran kekeruhan terhadap tingkat mortalitas Ikan Nilem

(Osteochilus hasselti)

Dosis Kekeruhan Mortalitas (%)


(NTU) Sebelum Setelah

0 0

25 0

50 10
0
50 30

100 100

100 10

4.2 Pembahasan

Ikan nilem hidup di lingkungan air tawar dengan kisaran kandungan oksigen

terlarut yang cukup yaitu 5-8 mg/L. Pada habitat asli ikan nilem banyak

ditemukanPeryphyton juga berfungsi sebagai indikator penting dari kualitas air, dan

mampu menghilangkan polutan padat dan terlarut serta mampu mengurangi

kekeruhan (Cholik et al., 2005 dalam Mokesh, dkk, 2016). Berdasarkan hasil

pengamatan praktikum yang telah dilakukan diperoleh data dalam bentuk grafik

sebagai berikut :
Mortalitas Ikan
120
100
100
Mortalitas (%)
80

60
Pengulangan 1
40 30 Pengulangan 2

20 10 10
0 0 0 0
0
0 25 50 100
Dosis Kekeruhan NTU

Gambar 1. Grafik Mortalitas Ikan Nilem (Osteochilus hasselti)

Berdasarkan hasil pengamatan pada praktikum efek kekeruhan terhadap

kehidupan ikan diperoleh data hasil dari dosis kekeruhan 0 NTU, 25 NTU, 50 NTU,

dan 100 NTU sebagaimana ditampilkan pada pemaparan hasil diatas. Pada grafik

Mortalitas yang diperoleh paling tinggi adalah kematian ikan pada konsentrasi 100

NTU yaitu sebesar 100% pada pengulangan 1. Pada grafik Mortalitas yang diperoleh

hasil terendah diperoleh pada tingkat kekeruhan 25 NTU dan 0 NTU yaitu sebesar 0%

pada pengulangan 1 dan 2. Pada kekeruhan NTU dosis 25% ikan tidak mengalami

mortalias dikarenakan kadar kekeruhan yang dilarutkan masih dapat diterima oleh

ikan Standar. Sedangkan pada dosis 0 NTU terjadi kematian sebanyak 50% karena

saat pengecekan aerator ditemukan dalam keadaan mati, hal tersebut mempengaruhi

suplai oksigen yang dibutuhkan oleh ikan nilem yang masih berukuran kecil, hal

tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh (Yusvarina, 2016), Semakin tua

dan semakin besar ukuran ikan, konsumsi oksigen semakin rendah. Pada dosis

konsentrasi 100 NTU total mortalitas ikan sebesar 55%, hal ini mungkin dikarenakan

penyumbatan pada insang oleh partikel kekeruhan yang ada didalam air. Hal ini
sesuai dengan jurnal Sulawesty (2014) yang mengatakan Kekeruhan yang tinggi dapat

menyebabkan penyumbatan pada insang ikan, sehingga ikan akan kesulitan dalam

mengambil oksigen.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kematian pada ikan adalah tingkat stress

pada ikan, kandungan TDS yang tinggi juga mempengaruhi karena Tinggi rendahnya

kandungan TDS dalam air berhubungan dengan tingkat kekeruhan dalam air.

Semakin tingkat kekeruhan dalam air maka semakin tinggi tingkat TDS dalam air.

Selain itu kandungan TSS yang tinggi juga mempengaruhi sebagaimana yang

dikatakan oleh Rinawati, (2016) Perubahan secara fisika meliputi penambahan zat

padat baik bahan organik mau pun anorganik ke dalam perairan sehingga

meningkatkan kekeruhan yang selanjutnya akan menghambat penetrasi cahaya

matahari ke badan air. Berkurangnya penetrasi cahaya matahari akan berpengaruh

terhadap proses fotosintesis yang dilakukan oleh fitoplankton dan tumbuhan air

lainnya. Banyaknya TSS yang berada dalam perairan dapat menurunkan kesediaan

oksigen terlarut. Jika menurunnya ketersediaan oksigen berlangsung lama akan

menyebabkan perairan menjadi anaerob, sehinggga organisme aerob akan mati.

Tingginya TSS juga dapat secara langsung menganggu biota perairan seperti ikan

karena tersaring oleh insang.


V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil praktikum didapatkan efek kekeruhan terhadap kehidupan

ikan adalah cukup mempengaruhi dan mortalitas ikan tertinggi dengan kadar

kekeruhan 100 NTU, karena semakin keruh suatu perairan maka tingkat TDS dan TSS

pada perairan tersebut tinggi.

5.2 Saran

Saran saya untuk praktikum efek kekeruhan terhadap kehidupan ikan adalah

memberikan tempat khusus yang tidak ramai dilalui atau digunakan orang agar bisa

terjaga keakuratan dari penelitian tersebut dan tidak tergangu oleh banyak orang saat

melakukan praktikum atau pengamatan.


DAFTAR PUSTAKA

Bahtiar, A., Supeno, B., Agung, P. N. M. 2017. Rancang Bangun Pengontrol Suhu
dan Kekeruhan Air Kolam Ikan Patin Berbasis Fuzzy Logic. Laporan Penelitian.
Universitas Negeri Jember, Jember. 12 Hal.

Hasan, H., Eko, Prasetio, Siti, Muthia. 2016. Analisis Kualitas Perairan Sungai
Ambawang Di Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya
Untuk Budidaya Perikanan. Jurnal Ruaya, 4 (2) : 45-55.

Irawan, Aditya., dan Lily, Inderia Sari. 2013. Karakteristik Distribusi Horizontal
Parameter Fisika-Kimia Perairan Permukaan di Pesisir Bagian Timur
Balikpapan. Jurnal Ilmu Perikanan Tropis, 18 (2): 21-27.

Mas‘ud, F. 2014. Pengaruh Kualitas Air Terhadap Pertumbuhan Ikan Nila


(Oreochromis Sp.) Di Kolam Beton Dan Terpal. Artikel. Grouper Faperik.
Universitas Islam Lamongan, Lamongan.

Mokesh, Faisal Rapsanjani., Sri Fitriyah R., Ulfah Lutfiani,. 2016. Konsumsi
Oksigen Pada Ikan Nilem (Osteochilus Hasselti). Laporan Penelitian.
Universitas Padjadjaran, Jatinagor. 15 Hal.

Pagoray, Henny., dan Ghitarina. 2016. Karaktristik Air Kolam Pasca Tambang
Batubara Yang Dimanfaatkan Untuk Budidaya Perairan. Ziraa’ah, 41 (2):
276-284 .

Rinawati., Diky Hidayat., R. Suprianto., Putri, Sari Dewi. 2016. Penentuan


Kandungan Zat Padat (Total Dissolve Solid Dan Total Suspended Solid)Di
Perairan Teluk Lampung. Analit: Analytical and Environmental Chemistry, 1
(1) : 30-40.

Santoso, B., dan Agung, Dwi A. 2014. Sistem Pengganti Air Berdasarkan
Kekeruhan Danpemberi Pakan Ikan Pada Akuarium Air Tawar Secara
Otomatis Berbasis Mikrokontroler Atmega 16. Jurnal Ilmiah Teknologi dan
Informasi ASIA, 8 (2) : 28-44.
Sulawesty, F., Tjandra, Chrismadha., Endang, Mulyana. 2014. Laju Pertumbuhan
Ikan Mas (Cyprinus Carpio) Dengan Pemberian Pakan Lemna (Lemna
Perpusilla Torr.) Segar Pada Kolam Sistem Aliran Tertutup. Limnotek, 21 (2)
: 177 -184.

Sulvina N., Mahmudah N., Henni W., Siti. H,. 2015. Pengaruh Perbedaan Jenis
Tali Terhadap Tingkat Penempelan Benih Kerang Hijau (Perna viridis). e-
Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan, 4 (1) : 56-63.

Wahyuni, T.R., dan Zakaria A,. 2018. Keanekaragaman Ikan Di Sungai Luk Ulo
Kabupaten Kebumen. Biosfera, 35 (1) : 23 – 28.

Yusvarina, Mela., dan Sumarna. 2016. Rancang Bangun Sistem Kontrol Kadar
Oksigen Di Dalam Air Pada Kolam Pembenihan Ikan Lele Mutiara Di Unit Kerja
Budidaya Air Tawar (Ukbat) Wonocatur Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.
Laporan Penelitian. Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta. 8 hal.
LAMPIRAN

Rumus Mortalitas Kekeruhan = Jumlah Ikan Mati X 100%

Jumlah Total Ikan

0
Mortalitas 0 NTU = x100%
10
=0%

0
Mortalitas 0 NTU = x100%
10
=0%

0%+0%
𝛴Mortalitas 0 NTU = = 0%
2

0
Mortalitas 25 NTU = x100%
10
=0%

0
Mortalitas 25 NTU = x100%
10
=0%

0%+0%
𝛴Mortalitas 25 NTU = = 0%
2
1
Mortalitas 50 NTU = x100%
10
= 10 %

3
Mortalitas 50 NTU = x100%
10
= 30 %
10%+30%
𝛴Mortalitas 50 NTU = = 20%
2

10
Mortalitas 100 NTU = x100%
10
= 100 %

1
Mortalitas 100 NTU = x100%
10

= 10 %
10%+100%
𝛴Mortalitas 50 NTU = = 55%
2

Lampiran 2
Foto Kegiatan

Konsentrasi Kekeruhan Penutupan dengan trasbag


agar ikan tidak loncat
ACARA VIII

EFEK AMONIAK TERHADAP IKAN

Oleh :

Iswardhani Ariyanti

NIM. L1B017035

LAPORAN PRAKTIKUM LIMNOLOGI

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO

2019
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ikan nilem merupakan salah satu jenis ikan air tawar potensial yang

terkonsentrasi di Pulau Jawa khususnya di wilayah priangan yang perlu

dikembangkan teknologi budidayanya, dan kebutuhan masyarakat terhadap

protein hewani ikan terus meningkat seiring dengan peningkatan populasi

penduduk. Kebutuhan ikan termasuk ikan air tawar yang terus meningkat

menjadikan usaha budidaya dilakukan dengan sangat intensif. Intensifikasi

dicirikan dengan masukan nutrien berupa pakan dan bahan kimia lainnya serta

tingkat kepadatan ikan yang tinggi. Banyaknya nutrien yang masuk

dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap lingkungan perairan

(Herawati, 2018).

Air yang secara kimia, hanya terdiri dari atom H dan O mempunyai sifat

yang unik. Tanpa air tidak akan mungkin terdapatkehidupan. Air di alam

dijumpai dalam tiga bentuk, yakni bentuk padat sebagai es, bentuk cair sebagai

air, dan bentuk gas sebagai uap. Bentuk mana yang akan ditemui, tergantung

keadaan cuaca setempat. Kepadatan (density), seperti halnya bentuk, juga

tergantung pada temperatur dan tekanan barometris (P) (Herlambang, 2006).

Kualitas air memegang peranan penting dalam bidang perikanan

terutama untuk kegiatan budidaya serta dalam produktifitas hewan akuatik.

Parameter kualitas air yang sering diamati antara lain suhu, kecerahan, pH,
oksigen terlarut, karbondioksida, alkalinitas, kesadahan, fosfat, nitrogen dan

lainnya (Imam, 2010 dalam Dauhan, 2014). Pengaruh kualitas air terhadap

kegiatan budidaya sangatlah penting, sehingga pengawasan terhadap parameter

kualitas air mutlak dilakukan oleh pembudidaya, maka dari itu perlu diadakan

penelitian tentang efek amoniak terhadap ikan (Dauhan, 2014).

3.1. Tujuan

Tujuan dari praktikum acara efek amonia terhadap kehidupan ikan

adalah:

1. Untuk mengetahui efek amonia terhadap kehidupan ikan.


II. TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Ikan Nilem (Osteochilus hasselti)

1.1.1. Klasifikasi

Gambar 1. Ikan Nilem (Osteochilus hasselti)


Sumber : Dokumentasi pribadi
Klasifikasi ikan nilem

Kingdom : Animalia

Phylum: Chordata

Class : Pisces

Order : Ostariophysi

Family : Cyprinidae

Genus : Ostheochilus

Spesies : Osteochilus hasselti

(Saanin, 1984)

1.1.2. Morfologi

Morfologi ikan nilem dicirikan dengan ujung mulut runcing dengan

moncong (rostal) terlipat, terdapat sungut peraba pada sudut-sudut mulut.

Bentuk tubuh agak pipih dan bintik hitam besar pada ekor. Sirip punggung

terdiri dari tiga jari-jari keras dan 12-18 jari-jari lunak. Sirip ekor berbentuk
simetris dan sirip dubur terdiri dari tiga jari-jari keras dan lima jari-jari lunak

serta jumlah sisik gurat sisi berkisar antara 33-36 keping (Susanto, 2006 dalam

Cholifah, 2016).

Hardjamulia dan Atmawinata (1980) dalam Cholifah, (2016) menyebutkan

bahwa spesies ikan nilem dapat dibedakan dari warna sisik pada dasar sirip

punggung yaitu coklat kehitaman yang biasa disebut Osteochilus hasselti

sedangkan hitam kehijauan adalah Osteochilus vittarus. Rata-rata ikan nilem

mempunyai panjang berkisar antara 25-32 cm dengan bobot 150-310 gr. Ikan

nilem sangat menyukai perifiton.

1.2. Amoniak

Amonia merupakan parameter kualitas air yang berperan penting pada

budidaya ikan. Ikan mengeluarkan limbah dari sisa pakan dan metabolisme

yang banyak mengandung amonia. Permasalahan yang biasa dihadapi adalah

cepatnya akumulasi limbah dari residu pakan dan hasil metabolisme ikan.

Amonia akan terakumulasi dalam sistem resirkulasi dan dapat mencapai

konsentrasi yang merugikan ikan jika terlalu berlebihan (Norjanah, 2015).

Tingginya kadar amoniak suatu perairan diduga adanya buangan limbah

domestik dari penduduk sekitarnya. Sisa-sisa metabolisme atau kotoran ikan

semakin banyak yang mengendap di dasar perairan tersebut sehingga terjadi

kecenderungan tingginya kadar amoniak. Keadaan ini erat hubungannya

dengan Boyd (1990), bahwa amoniak dalam air berasal dari kotoran organisme

(Maniagasi, 2013). Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan konsentrasi

amonia meningkat antara lain membusuknya makanan ikan yang tidak


termakan, menurunnya kadar oksigen terlarut pada kolam yang apabila oksigen

terlarut berkisar antara 1-5 ppm mengakibatkan pertumbuhan ikan menjadi

lambat sedangkan oksigen terlarut yang kurang dari 1 ppm dapat bersifat toksik

bagi sebagian besar spesies ikan (Rully, 2011 dalam Dauhan, 2014). Amonia yang

ada di perairan berasal dari sisa metabolisme ikan yang terlarut dalam air, feses

ikan, serta dari makanan ikan yang tidak termakan dan mengendap di dasar

kolam budidaya (Pillay, 2004 dalam Dauhan, 2014). Ada beberapa hal yang dapat

menyebabkan konsentrasi amonia meningkat antara lain membusuknya

makanan ikan yang tidak termakan, menurunnya kadar oksigen terlarut pada

kolam yang apabila oksigen terlarut berkisar antara 1-5 ppm mengakibatkan

pertumbuhan ikan menjadi lambat sedangkan oksigen terlarut yang kurang dari

1 ppm dapat bersifat toksik bagi sebagian besar spesies ikan (Rully, 2011 dalam

Dauhan, 2014).

Amonia (NH4+) bersifat non toksik, tetapi yang berbentuk tak terionisasi

(NH3) bersifat sangat toksik (Kordi dan Tancung, 2007 dalam Dauhan, 2014).

Higa dan Parr (1994), mengemukakan bahwa bakteri fotosintetik selain dapat

melakukan fotosintesis juga menggunakan amonia sebagai sumber nitrogen

untuk proses dekomposisi bahan organik dan pertumbuhannya. Penurunan

amonia ini juga disebabkan karena adanya proses nitrifikasi yang dilakukan oleh

bakteri nitrosomonas dan nitrobacter yang mengubah amonia menjadi nitrit dan

nitrat, serta proses denitrifikasi yang mengubah nitrat kembali menjadi gas

nitrogen. Peningkatan oksigen terlarut media juga akan meningkatkan proses

oksidasi amonia menjadi nitrit dan dan kemudian menjadi nitrat dengan
demikian kadar amonia menjadi rendah (Hartini, 2013).

1.3. Efek Amoniak Terhadap Ikan

Amonia adalah masalah serius dalam budidaya ikan, khususnya pada

sistem resirkulasi, akuarium dan kolam. Amonia yang terukur pada media

budidaya berkisar antara 0.0002-0.0788 mg/L. Silaban et al. (2012) dalam

Nurkarina (2013) dalam penelitiannya mengatakan bahwa amonia selama masa

pemeliharaan ikan mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya waktu

pemeliharaan. Hal tersebut dikarenakan adanya limbah organik yang semakin

meningkat, baik dari buangan metabolit, feses ikan dan sisa pakan yang

terakumulasi di perairan.

Kadar amonia tertinggi terdapat pada kolam dengan perlakuan biomassa

yang lebih tinggi. Menyebabkan buangan dari feses dan urin ikan yang lebih

banyak sehingga kadar amonia lebih tinggi. Silaban et al., (2012) dalam

Nurkarina (2013) menyatakan bahwa amonia yang baik untuk pertumbuhan dan

perkembangan ikan yaitu kurang dari 0.1 mg/L. Level amonia yang lebih tinggi

dapat merusak insang dan jaringan lain sehingga menurunkan pertumbuhan,

bahkan mematikan ikan (Sumoharjo, 2010 dalam Nurkarina, 2013).


III. MATERI DAN METODE

3.2. Materi

3.2.1. Alat

Tabel 1. Alat Praktikum

No. Nama Alat Ukuran/jumlah Merek Fungsi

Meletakkan ikan
1. Bak uji coba 2 -
untuk pengamatan

Mengukur tingkat
2. Spektrofotometer 1 -
amoniak

3. Aerator 1 - Homogenkan

4. Trash bag 1 - Menutup ember

3.2.2. Bahan

Tabel 2. Bahan Praktikum

No. Nama Bahan Ukuran/jumlah Merek Fungsi

Untuk uji amoniak


1. Limbah bioflok - -
terhadap ikan

2. Ikan nilem 10 ekor - Objek pengamatan

3.3. Metode

Pengamatan efek amoniak terhadap ikan dilakukan dengan menyiapkan

2 buah ember berukuran 15 L, selang aerasi, dan batu aerasi. Salah satu ember
berisi air kontrol dan satu lagi berisi air yang sudah diberi limbah bioflok 25%

(sebagai air ber-amoniak), kemudian aerator dimasukkan ke dalam ember dan

aduk agar air dan limbah bioflok menjadi homogen. Sebanyak 10 ekor ikan nilem

dimasukkan ke dalam masing masing ember, lalu ember ditutup dengan trash

bag dan beri lubang untuk sirkulasi udara di dalam ember. Pengukuran efek air

yang diberi berbagai limbah bioflok dengan konsentrasi berbeda dilakukan

dengan melihat tingkat kematian ikan, selama dua hari pada jam yang sama saat

pertama menaruh ikan kedalam ember ber-amonia dan ember kontrol.

3.4. Waktu dan Tempat

Praktikum acara analisis tingkat mortalitas terhadap amoniak ini

dilaksanakankan pada hari Kamis tanggal 28 Maret 2019 pukul 05.30 WIB di

Laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Jenderal

Soedirman.

3.5. Analisis Data

Data kematian dan perilaku akibat kekeruhan yang diperoleh dapat anda

analisis secara deskriptif dengan histogram atau diagram balok antara

konsentrasi kekeruhan yang dilakukan.


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

Tabel 1. Hasil pengukuran amoniak terhadap tingkat mortalitas Ikan Nilem

(Osteochilus hasselti)

Dosis Amoniak Mortalitas (%)

(ppm) Sebelum Setelah

0 0

0,054 70
0
0,104 100

0,208 60

4.2. Pembahasan

Bentuk tubuh ikan nilem memanjang dan pipih, terdapat dua pasang

sungut peraba pada kedua sudut mulutnya serta bibir tertutup oleh lipatan kulit.

Warna perut kemerahan dan warna punggung coklat kehijauan. Warna sirip

caudal, sirip anal dan sirip ventral kemerahan. Ikan Nilem memiliki sistem

pencernaan yang sama dengan kebanyakan ikan lainnya (Tri, 2015). Ikan nilem

tergolong sebagai herbivora dengan makanan utama berupa

tumbuhan/makrofita sebesar 100% (Hedianto, 2013). Berikut grafik mortalitas

ikan terhadap amonia


Mortalitas Ikan
120
100
100

Mortalitas (%)
80 70
60
60
Mortalitas
40

20
0
0
0 0.054 0.104 0.208
Dosis Amonia (mg/L)

Gambar 1. Grafik Mortalitas Ikan Nilem (Osteochilus hasselti)

Berdasarkan Gambar 1. Mortalitas tertinggi yang dialami ikan nilem yaitu

pada dosis amoniak 0,104 mg/L dengan mortalitas sebesar 100%, mortaitas

terendah terjadi pada dosis amoniak sebesar 0 mg/L dengan mortalitas sebesar

0%. Mortalitas terjadi karena semakin tinggi kadar amonia, maka akan semakin

rendah kadar oksigen terlarutnya sehingga mengakibatkan mortalitas pada ikan

nilem. Ruang gerak yang terbatas mengakibatkan ikan stres dan mengakibatkan

mortalitas dan juga faktor dari aerasi yang tidak terhubung ke sumber listrik

dengan benar sehingga oksigen ikan tidak terpenuhi. Hal ini sesuai dengan

pendapat (Diansari, 2013), jumlah kepadatan yang diberikan tidak efektif dalam

meningkatkan kelulusan hidupan ikan nilem dan kematian yang terjadi pada

saat pemeliharaan dikarenakan adanya faktor ruang gerak ikan yang semakin

sempit sehingga dapat memberikan pengaruh tekanan pada ikan yang

mengakibatkan daya tahan tubuh menjadi menurun. Ikan dapat mengalami

stress dan bahkan dapat menimbulkan kematian dikarenakan padat penebaran

ikan yang terlalu padat. Menurunnya kadar oksigen terlarut pada kolam yang
apabila oksigen terlarut berkisar antara 1-5 ppm mengakibatkan pertumbuhan

ikan menjadi lambat sedangkan oksigen terlarut yang kurang dari 1 ppm dapat

bersifat toksik bagi sebagian besar spesies ikan (Rully, 2011 dalam Dauhan, 2014)

Faktor-faktor yang menyebabkan kematian ikan nilem karena efek

amonia berdasarkan Penelitian Tatangindatu (2013) dalam (Hasan,2016)

mengatakan, apabila kadar ammonia yang terkandung dalam perairan budidaya

terlalu tinggi maka dapat menyebabkan ikan keracunan, stress bahkan berujung

pada kematian. Selain itu adanya amonia dalam perairan, selain menyebabkan

toksitas tinggi, konsentrasi amonia juga membahayakan bagi ikan. Pengaruh

langsung dari kadar amonia tinggi yang belum mematikan adalah rusaknya

jaringan insang, yaitu lempeng insang membengkak sehingga fungsinya sebagai

alat pernafasan akan terganggu. Kadar amonia semakin meningkat karena

semakin lamanya ikan dipelihara dalam bak uji coba, Hal ini sesuai dengan

pendapat Diansari (2013) konsentrasi amonia selama masa pemeliharaan ikan

nilem mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya waktu

pemeliharaan. Hal tersebut dikarenakan adanya limbah organik yang semakin

meningkat, baik dari buangan metabolit, feses ikan dan sisa pakan yang

terakumulasi di wadah pemeliharaan. Sedangkan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Tumembouw (1999) dalam Maniagasi (2013), kadar amoniak

yang diperoleh berkisar 0,01 hingga 0,5 mg/L. Demikian juga untuk baku mutu

air menurut PP. RI No. 82 Tahun 2001 bagi perikanan, kadar atau kandungan

amoniak bebas untuk ikan yang peka adalah < 0,02 mg/ L. Dengan demikian

bila dibandingkan dengan hasil pengamatan yang diperoleh berarti bahwa kadar
amoniak memiliki nilai diatas nilai kepekaan bagi ikan oleh karena itu ikan

mengalami kematian.
V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Kesimpulan pada acara efek amoniak terhadap kehidupan ikan adalah

semakin tinggi kadar amoniak dalam perairan maka akan semakin tinggi juga

mortalitas terhadap ikan, karena ikan akan kekurangan oksigen yang

mengakibatkan ikan mati.

5.2. Saran

Saran pada praktikum kali ini adalah lebih bisa kondusif pada saat

melakukan praktikum dan semuapraktikan harus melakukan praktikum dengan

baik dan benar agar hasil yang didapatkan maksimal.


DAFTAR PUSTAKA

Arie, Herlambang. 2006. Pencemaran Airdan Strategi Penggulangannya. JAI, 2


(1): 16-29.

Cholifah, E.,D. 2016. Pengaruh Induksi Hormon Ooyte Developer (OODEV) Terhadap
Kematangan Gonad Calon Induk Ikan Nilem (Osteochilus hasselti). Skripsi.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Airlangga, Surabaya.
44 hal.

Dauhan, Riska Emilia Sartika., dan Efendi, Eko., Suparmono. 2014. Efektifitas
Sistem Akuaponik Dalam Mereduksi Konsentrasi Amonia Pada Sistem
Budidaya Ikan. Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan, 3 (1):298-
302.

Diansari, RR.Vanya Rhossitha., Arini, Endang., Elfitasari, Tita. Pengaruh


Kepadatan Yang Berbeda Terhadap Kelulushidupan Dan Pertumbuhan
Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Pada Sistem Resirkulasi Dengan Filter
Zeolit. Journal of Aquaculture Management and Technology, 2 (3): 37-45.

Dimas, Angga Hedianto., Kunto Purnomo., dan Andri Warsa. 2013. Interaksi
Pemanfaatan Pakan Alami Oleh Komunitas Ikan Di Waduk Penjalin, Jawa
Tengah. BAWAL, 5 (1): 33-40.

Hartini, Sri., Sasanti, Ade Dwi., Taqwa, Ferdinand Hukama. 2013. Kualitas Air,
Kelangsungan Hidup Dan Pertumbuhan Benih Ikan Gabus (Channa
striata) Yang Dipelihara Dalam Media Dengan Penambahan Probiotik.
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia, 1 (2): 192-202.

Hasan, H., Eko, Prasetio., Siti Muthia. 2016. Analisis Kualitas Perairan Sungai
Ambawang Di Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya
Untuk Budidaya Perikanan. Jurnal Ruaya, 4 (2): 45-55.

Herawati, Heti., Yulianti, Rini., Zahidah., Sahidin, Asep. 2018. Pengaruh Padat
Tebar Untuk Meningkatkan Produktivitas Budidaya Ikan Nilem
(Osteochilus hasseltii) Dengan Penggunaan Batu Aerasi High Oxy. Jurnal
Airaha, 7 (1): 1 – 5.
Maniagasi R., Sipriana, S. Tumembouw., Yoppy, Mundeng. 2013. Analisis
kualitas fisika kimia air di areal budidaya ikan Danau Tondano Provinsi
Sulawesi Utara. E-jurnal Unsrat, 1 (2) : 29-37.

Norjanna, F., Eko E., Qadar H. 2015. Reduksi Amonia Pada Sistem Resirkulasi
Dengan Pengunaan Filter Yang Berbeda. Jurnal Rekayasa dan Teknologi
Budidaya Perairan, 4 (1) : 427 – 432.

Nurkarina, Riska. 2013. Kualitas Media Budidaya Dan Produksi Ikan Nilem
Osteochilus hasselti Yang Dipelihara Pada Sistem Imta (Integrated Multi
Trophic Aquaculture) Dengan Kepadatan Berdeda. Skripsi. Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 20 hal.

Tri, Muryanto., dan Dedi, Sumarno. 2015. Pengamatan Kebiasaan Makan Ikan
Nilem (Osteochilus vittatus) Hasil Tangkapan Jaring Insang Di Danau
Talaga Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah. BTL, 11 (1) : 51-
54.
LAMPIRAN

Lampiran 1

Perhitungan

Rumus Mortalitas Amoniak = Jumlah Ikan Mati X 100%


Jumlah Total Ikan

0
Mortalitas 0 PPM = x100%
10
=0%

0
Mortalitas 0 PPM = x100%
10
=0%

0%+0%
𝛴 Mortalitas 0 PPM = = 0%
2

10
Mortalitas 0,054 PPM= x100%
10
= 100 %
4
Mortalitas 0,054 PPM= x100%
10
= 40 %

40%+100%
𝛴Mortalitas 0,054 PPM = = 70%
2

10
Mortalitas 0,104 PPM= x100%
10
= 100 %
10
Mortalitas 0,104 PPM= x100%
10
= 100 %
100%+100%
𝛴Mortalitas 0,104 PPM = = 100%
2

2
Mortalitas 0,208 PPM= x100%
10
= 20 %
10
Mortalitas 0,208 PPM= x100%
10
= 100 %
20%+100%
𝛴Mortalitas 0,104 PPM = = 60%
2

Lampiran 2

Foto Kegiatan

Memasukkan Ikan Nilem Pada Dosis Amoniak 25%

Anda mungkin juga menyukai