A. Pengelolaan Resep
Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker untuk
menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
(Kep.Menkes, No. 1027 tahun 2004)
Pasal 15 ayat 1 Permenkes No. 922 tahun 1993 “Apotek wajib melayani resep dokter, dokter gigi dan
dokter hewan”.
Permenkes No. 26 tahun 1981 pasal 10 menyebutkan “resep harus ditulis dengan jelas dan lengkap”
selain itu dalam Kepmenkes No. 280 tahun 1981;
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004,
Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek, Standar pelayanan resep di apotik adalah
sebagai berikut.
Pelayanan Resep.
Skrining resep.
Apoteker melakukan skrining resep meliputi :
Persyaratan administratif :
- Nama,SIP dan alamat dokter.
- Tanggal penulisan resep.
- Tanda tangan/paraf dokter penulis resep.
- Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien.
- Nama obat , potensi, dosis, jumlah yang minta.
- Cara pemakaian yang jelas.
- Informasi lainnya.
Kesesuaian farmasetik: bentuk sediaan, dosis,potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan
lama pemberian.
Pertimbangan klinis: adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi, jumlah
obat dan lain-lain). Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada
dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu
menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan.
Penyiapan obat.
Peracikan.
Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas dan memberikan
etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap
dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar.
Etiket
Etiket harus jelas dan dapat dibaca.
Kemasan obat yang diserahkan.
Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga
kualitasnya.
Penyerahan Obat.
Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap
kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai
pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan.
Informasi Obat.
Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat,
tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya
meliputi: cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas
serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi.
Konseling.
Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan
perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang
bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan
farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya. Untuk penderita penyakit tertentu seperti
cardiovascular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus
memberikan konseling secara berkelanjutan.
Monitoring Penggunaan Obat.
Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan
penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti cardiovascular, diabetes , TBC,
asthma, dan penyakit kronis lainnya.
Penyimpanan obat juga diatur dalam Kepmenkes No. 1332 tahun 2002 pasal 12 ayat 1 yang
menyebutkan bahwa apoteker berkewajiban menyediakan, menyimpan dan menyerahkan sediaan
farmasi yang bermutu baik dan yang keabsahannya terjamin.
PELAYANAN OBAT WAJIB APOTEK (OWA)
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 347/ MenKes/SK/VII/1990 Tentang Obat Wajib Apotik,
mendefenisikan Obat Wajib Apotek (OWA) yaitu obat keras yang dapat diserahkan oleh Apoteker
kepada pasien di Apotik tanpa resep dokter. Yang pada diktum ke dua pada putusan, dijelaskan
bahwa Obat yang termasuk dalam OBAT WAJIB APOTIK ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
Permenkes No. 919 tahun 1993 juga mengatur tentang kriteria obat yang dapat diserahkan tanpa
resep yakni sebagai berikut:
1. Tidak dikontaraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak dibawa usia 2 tahun
dan orang tua diatas 65 tahun
2. Pengobatan sendiri dengan obat yang dimaksud tidak memberikan resiko pada kelanjutan
penyakit
3. Penggunaannya tidak memerlukan cara dan alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga
kesehatan
4. Penggunaan diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia
5. Obat dimaksud memiliki resiko khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk
pengobatan sendiri.
Pada diktum ke empat dalam putusan Menteri Kesehatan Nomor : 347/ MenKes/SK/VII/1990, juga di
tuliskan “Apoteker di Apotik dalam melayani pasien yang memerlukan obat dimaksud diktum kedua
(Obat yang termasuk dalam OBAT WAJIB APOTIK ditetapkan oleh Menteri Kesehatan) diwajibkan :
1. Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang disebutkan dalam Obat
Wajib Apotik yang bersangkutan.
2. Membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan.
3. Memberikan informasi meliputi dosis dan aturan pakainya, kontraindikasi, efek samping dan
lain-lain yang perlu diperhatikan oleh pasien.
Jenis obat yang temasuk dalam daftar OWA, tertulis dalam kepmenkes tentang OWA 1, OWA 2, dan
OWA 3. Dalam OWA 2 merupakan tambahan dari daftar obat yang telah ditetapkan dalam OWA 1,
demikian juga OWA 3, merupakan tambahan dari OWA 1 dan OWA 2.
1. Apoteker memiliki tanggung jawab profesional untuk memberikan nasehat dan informasi yang
benar, cukup dan objektif tentang swamedikasi dan semua produk yang tersedia untuk
swamedikasi.
2. Apoteker memiliki tanggung jawab profesional untuk merekomendasikan kepada pasien agar
segera mencari nasehat medis yang diperlukan, apabila dipertimbangkan swamedikasi tidak
mencukupi.
3. Apoteker memiliki tanggung jawab profesional untuk memberikan laporan kepada lembaga
pemerintah yang berwenang, dan untuk menginformasikan kepada produsen obat yang
bersangkutan, mengenai efek tak dikehendaki (adverse reaction) yang terjadi pada pasien yang
menggunakan obat tersebut dalam swamedikasi.
4. Apoteker memiliki tanggung jawab profesional untuk mendorong anggota masyarakat agar
memperlakukan obat sebagai produk khusus yang harus dipergunakan dan disimpan secara
hati-hati, dan tidak boleh dipergunakan tanpa indikasi yang jelas.
Selain melayani konsumen secara bertatap muka di apotek, Apoteker juga dapat melayani
konsumen jarak jauh yang ingin mendapatkan informasi atau berkonsultasi mengenai pengobatan
sendiri. Suatu cara yang paling praktis dan mengikuti kemajuan zaman adalah dengan membuka
layanan informasi obat melalui internet atau melalui telepon. Slogan “Kenali Obat Anda”. “Tanyakan
Kepada Apoteker” kini semakin memasyarakat. Para Apoteker sudah semestinya memberikan
respons yang baik dan memuaskan dengan memberikan pelayanan kefarmasian yang profesional
dan berkualitas.
http://heartburner.wordpress.com/2012/03/20/pelayanan-farmasi-di-apotek/
3. Pelayan Farmasi di Industri
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 245/Menkes/SK/V/1990
tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Izin Usaha Industri Farmasi Pasal 10,
suatu industri farmasi obat jadi dan bahan baku obat setidaknya harus mempekerjakan secara tetap
minimal tiga orang apoteker WNI sebagai manager atau penanggung jawab produksi, pengawasan
mutu (Quality Control/QC), dan pemastian mutu (Quality Assurance/QA). Ketiga bagian ini (produksi,
pengawasan mutu, dan pemastian mutu) harus dipimpin oleh orang yang berbeda yang tidak saling
bertanggung jawab satu terhadap yang lain (indipenden) agar tidak terjadi tumpang tindih tugas dan
perannya. Dari peraturan tersebut, sudah jelas bahwa apoteker diperlukan di industri farmasi,
setidaknya untuk memimpin ketiga bagian tersebut. Baik manager produksi, QC, maupun QA,
ketiganya haruslah merupakan apoteker yang sudah berpengalaman di industri farmasi dan
memenuhi kualifikasi yang ditentukan. Oleh karena itu, seorang apoteker yang bekerja di industri
farmasi tidak serta merta dapat menduduki posisi-posisi tersebut tetapi harus memulai karirnya dari
bawah, misalnya dari level staff. Produksi hendaknya dilaksanakan dengan mengikuti prosedur yang
telah ditetapkan dan memenuhi ketentuan pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). CPOB
sendiri menjamin produk yang dihasilkan memenuhi persyaratan mutu serta memenuhi ketentuan
izin pembuatan dan izin edar (registrasi). Oleh karena itu, bagian produksi bertugas untuk
menjalankan proses produksi sesuai prosedur yang telah ditetapkan dan sesuai dengan ketentuan
CPOB. Bagian pengawasan mutu (QC) bertanggung jawab penuh dalam seluruh tugas pengawasan
mutu mulai dari bahan awal, produk antara, produk ruahan, dan produk jadi. Sementara bagian
pemastian mutu (QA) bertugas untuk memverifikasi seluruh pelaksanaan proses produksi,
pemastian pemenuhan persyaratan seluruh sarana penunjang produksi, dan pelulusan produk jadi.
Dalam hal ini, pemastian mutu adalah suatu konsep luas yang mencakup semua hal yang akan
mempengaruhi mutu dari obat yang dihasilkan, seperti personel, sanitasi dan higiene, bangunan,
sarana penunjang, dan lain-lain. Selain ketiga bidang tersebut masih banyak wilayah pekerjaan di
industri farmasi yang juga sebenarnya membutuhkan peran apoteker di dalamnya, antara lain:
Pembelian (Purchasing)
Bagian pembelian melayani pembelian bahan baku dan bahan kemas yang dibutuhkan baik untuk
proses produksi, proses penelitian dan pengembangan produk, maupun untuk pengujian-pengujian
yang dilakukan QC. Kepala atau manager pembelian sebaiknya seorang apoteker karena apotekerlah
yang mengetahui tentang bahan baku dan bahan kemas itu sendiri beserta dokumen-dokumen
penyertanya sehingga perusahaan tidak salah memilih atau tertipu oleh supplier (pemasok bahan
baku atau bahan kemas).
Registrasi
Dalam registrasi obat ke Badan POM diperlukan dokumen-dokumen yang harus disiapkan, seperti
dokumen bahan aktif, formula, proses pembuatan, data uji disolusi terbanding, data uji stabilitas,
dan lain-lain. Data-data tersebut yang mengerti adalah seorang farmasis.
SHALSHA FAUNIA
051411131077
A