Anda di halaman 1dari 7

Rabu, 1 Januari, 2020

Pasundan Ekspres

 Headline
 Subang
 Karawang
 Purwakarta
 Olahraga
 Bandung
 Peristiwa
 Bisnis
 Opini
 Jabar
 Nasional
 DI’S WAY
 Redaksi
 Contact Us

Beranda Opini Mengenal Antibiotik Mikrobiologi

 Opini

Mengenal Antibiotik Mikrobiologi


Oleh
redaksi
-
2 Agustus 2019
380
0

Oleh: Clarisa Damayanti

Jurusan farmasi Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia, Bandung

ANTIBIOTIK

Penggunaan antibiotik dalam pengobatan untuk manusia sudah dimulai sejak tahun 1940.
Selama 63 tahun, penggunaan antibiotik semakin luas. Hal ini mengakibatkan meluasnya
potensi resistensi bakteri. Antibiotik memiliki dua efek utama, secara terapeutik obat ini
menyerang organisme infeksius dan juga mengeliminasi bakteri lain yang bukan penyebab
penyakit. Efek lainnya adalah menyebabkan perubahan keseimbangan ekosistem antara strain
yang peka dan yang resisten, konsekuensinya adalah gangguan ekologi mikrobial alami.
Perubahan ini menyebabkan timbulnya jenis bakteri yang berbeda jenisnya atau varian
resisten dari bakteri yang sudah ada.

Penggunaan antibiotik dalam jumlah yang banyak dan penggunaannya yang salah diduga
sebagai penyebab utama tingginya jumlah patogen dan bakteri komensal resisten di seluruh
dunia. Hal ini menyebabkan peningkatan kebutuhan akan antibiotik-antibiotik baru.
Pengurangan jumlah kejadian penggunaan antibiotik yang tidak tepat merupakan cara terbaik
untuk melakukan kontrol terjadinya resistensi bakteri.Konsep mengontrol penggunaan obat
ini sering disebut dengan pengobatan yang rasional. Atau secara sederhana diartikan sebagai
“meresepkan obat yang tepat, dalam dosis yang akurat untuk durasi yang cukup dan sesuai
dengan kebutuhan klinis pasien serta dengan harga yang paling rendah”.

Sedangkan menurut World Health Organization (WHO) Global Strategy, penggunaan


antibiotik yang tepat adalah penggunaan antibiotik yang efektif dari segi biaya dengan
peningkatan efek terapeutik klinis, meminimalkan toksisitas obat dan meminimalkan
terjadinya resistensi.

PRINSIP KERJA ANTIBIOTIK

Dalam penggunaan antibiotik pada kasus infeksi maka terdapat tiga aspek yang saling
berkaitan, yaitu aspek antibiotik, kuman dan host. Penggunaan antimikroba secara prinsip
berbeda dengan obat pada umumnya oleh karena target antimikroba adalah sel kuman
sedangkan obat lain adalah sel host. Dalam penggunaannya, antibiotik diharapkan mampu
mencapai lokasi infeksi dengan kadar yang cukup (melebihi kadar hambat minimal/KHM),
masuk/penetrasi ke dalam sel bakteri dan bekerja mengganggu proses metabolisme bakteri
sehingga bakteri tersebut menjadi tidak aktif atau mati; namun efek toksik pada sel host
diharapkan seminimal mungkin.
Keberhasilan pengobatan antibiotik dipengaruhi oleh berbagai faktor. Selain jenis antibiotik
dan spektrum antimikroba, aspek farmakologis yaitu farmakokinetik dan farmakodinamik
merupakan faktor yang sangat penting. Aspek farmakokinetik mencakup absorpsi, distribusi,
metabolisme dan ekskresi obat. Sedangkan aspek farmakodinamik mencakup sifat
bakteriostatik/bakterisid.

ASPEK FARMAKOLOGIS

Farmakokinetik merupakan aspek yang menjelaskan mengenai perjalanan dan apa yang
terjadi pada obat saat berada di dalam tubuh. Di antaranya termasuk absorpsi, distribusi,
metabolisme dan ekskresi. Proses absorpsi umumnya dikaitkan dengan penyerapan obat di
saluran cerna pada pemberian oral. Setelah mencapai kadar puncak dalam darah, konsentrasi
obat akan menurun secara cepat dalam fase yang disebut dengan fase alfa (α). Pada fase
selanjutnya yaitu fase beta (β) maka konsentrasi antibiotik akan menurun secara perlahan dan
stabil. Pada fase beta ini yang menentukan waktu paruh (t1/2) dari suatu an-tibiotik. Pada
proses absorpsi ini, tidak semua obat akan mencapai sirkulasi sistemik dalam keadaan
utuh/aktif, dan jumlah persentase obat yang mencapai sirkulasi sistemik dalam keadaan utuh
atau aktif disebut bioavailabilitas. Sedangkan kesetaraan jumlah obat dalam sediaan dengan
kadar obat dalam darah atau jaringan disebut bioekuivalensi. Setelah diabsorpsi, obat akan
berkaitan dengan albumin sebagai protein dominan dalam serum dan kemudian
didistribusikan ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah. Persentase antibiotik yang terikat
secara reversibel terhadap albumin serum digambarkan dengan istilah protein binding. Obat
kemudian akan melepaskan diri dari ikatannya dengan albumin, dan menembus beberapa
membran sel sesuai dengan gradien konsentrasi dan mencapai tempat infeksi lalu berikatan
dengan protein jaringan.

Distribusi obat antara lain dipengaruhi oleh aliran darah, pH, protein binding, dan volume
distribusi. Pasca distribusi obat, obat kemudian akan mengalami metabolisme oleh berbagai
enzim dan yang terpenting di antaranya adalah enzim sitokrom P450, sehingga pemberian
obat-obatan yang dapat meningkatkan atau menghambat kerja enzim ini dapat mempengaruhi
aktivitas antibiotik. Obat yang dalam keadaan aktif akan ditingkatkan kelarutannya sehingga
lebih mudah diek-skresikan, dan umumnya obat menjadi inaktif. Sedangkan untuk obat
dalam bentuk prodrug, enzim akan mengaktivasi obat tersebut menjadi bentuk yang aktif.

Antibiotik umumnya dieliminasi melalui ginjal dan diekskresikan melalui urin dalam bentuk
metabolit aktif dan inaktif. Antibiotik juga dapat dieliminasi melalui empedu dan
diekskresikan ke dalam usus. Dari dalam usus sebagian obat akan dibuang melalui feses, dan
sebagian akan kembali diserap dan dibuang melalui ginjal. Sebagian kecil obat juga
diekskresikan melalui keringat, liur, air mata, dan air susu
Farmakodinamik menggambarkan efek kerja suatu obat. Secara umum, aktivitas antibiotik
dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu bakte-riostatik (menghambat pertumbuhan mikroba)
dan bakterisidal (membunuh mikroba). Contoh antibiotik yang bersifat bakterisidal antara
lain aminoglycoside, beta-lactam, metronidazole, kuinolon, rifampicin, pirazinamide,
vancomycin, isoniazide, dan bacitracin.

Sedangkan antibiotik yang memiliki sifat bakteriostatik antara lain chloramphenicol,


clindamycin, ethambutol, macrolide, sulfonamide, tetracycline dan trimethoprim. Namun
sifat bakteriostatik dan bakterisid dari antimikroba tidak mutlak karena antibiotik dengan sifat
bakteriostatik dapat pula bersifat bakterisid bila kadarnya ditingkatkan. Kadar antibiotik
minimal yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroba dikenal
dengan istilah kadar hambat minimal (KHM) dan kadar bunuh minimal (KBM).
Fungsi antibiotik terhadap KHM dapat dibagi menjadi fungsi terhadap konsentrasinya
(concentration dependent) dan terhadap waktu (time dependent). Pada antibiotik golongan
concentration dependent maka semakin tinggi kadar obat dalam darah maka semakin tinggi
pula daya kerjanya sehingga kecepatan dan efektivitas kerjanya dapat ditingkatkan dengan
menaikkan kadar obat dalam darah hingga jauh di atas KHM. Sedangkan pada antibiotik
jenistime dependent, selama kadarnya dapat dipertahankan sedikit di atas KHM sepanjang
masa kerjanya, kecepatan dan efektivitas kerja obat tersebut akan mencapai nilai maksimal.
Contoh antibiotik golongan concentration dependent adalah quionolone dan aminoglycoside,
sedangkan contoh antibiotik golongan time dependent adalah betalactam.

Beberapa golongan antibiotik masih dapat menunjukkan aktifitas dalam menghambat


pertumbuhan mikroorganisme meskipun kadarnya lebih rendah dari KHM. Fenomena ini
disebut post-antibiotic effect. Efek ini dipengaruhi oleh jenis antibiotik dan
mikrooragnismenya sendiri, contohnya quionolone dan aminoglycoside yang memiliki post-
antibiotic effect yang cukup lama terhadap kuman gram negative

CARA KERJA ANTIBIOTIK

Antibiotik memiliki cara kerja yang berbeda-beda dalam membunuh atau menghambat
pertumbuhan mikroorganisme. Klasifikasi berbagai antibiotik dibuat berdasarkan mekanisme
kerja tersebut, yaitu :

1. Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel bakteri. Contohnya adalah penicilin,
cephalosporin, carbapenem, monobactam dan vancomycin.
2.Antibiotik yang bekerja dengan merusak membran sel mikroorganisme. Antibitoik
golongan ini merusak permeabilitas membran sel sehingga terjadi kebocoran bahan-bahan
dari intrasel. Contohnya adalah polymyxin.

3.Antibiotik yang menghambat sintesis protein mikroorganisme dengan mempengaruhi


subunit ribosom 30S dan 50S. Antibiotik ini menyebabkan terjadinya hambatan dalam
sintesis protein secara reversibel. Contohnya adalah chloramphenicol yang bersifat
bakterisidal terhadap mikroorganisme lainnya, serta macrolide, tetracycline dan clindamycine
yang bersifat bakteriostatik.

4.Antibiotik yang mengikat subunit ribosom 30S. Antibiotik ini menghambat sintesis protein
dan mengakibatkan kematian sel. Contohnya adalah aminoglycoside yang bersifat
bakterisidal.

5. Antibiotik yang menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba. Contohnya adalah
rifampicin yang menghambat sintesis RNA polimerase dan kuinolon yang menghambat
topoisomerase. Keduanya bersifat bakterisidal.

6.Antibiotik yang menghambat enzim yang berperan dalam metabolisme folat. Contohnya
adalah trimethoprime dan sulfonamide. Keduanya bersifat bakteriostatik.

KOMBINASI ANTIBIOTIK

Kombinasi antimikroba digunakan pada infeksi berat yang belum diketahui dengan jelas
kuman-kuman penyebabnya. Dalam hal ini pemberian kombinasi antimikroba ditujukan
untuk mencapai spektrum antimikrobial yang seluas mungkin. Selain itu, kombinasi
antimikroba juga digunakan untuk mencapai efek sinergistik dan juga untuk menghambat
timbulnya resistensi terhadap obat-obatan antimikroba yang digunakan.

EFEK SAMPING ANTIBIOTIK

Efek samping dapat berupa efek toksik, alergi, atau biologis. Efek samping seperti paralisis
respiratorik dapat terjadi setelah instilasi neomicin, gentamicin, tobramycin, streptomycin
atau ami-kacin secara intraperitoneal atau intrapleural. Erithromycin estolac sering
menyebabkan hepatitis kolestatik. Antibiotik seperti rifampicin, cotrimoxazole dan isoniazide
potensial hema-totoksik dan hepatotoksik. Pemakaian chloram-phenicol yang melampaui
batas keamanan akan menekan fungsi sumsum tulang dan berakibat anemia dan neutropenia.
Anemia aplastik secara eksplisit merupakan efek samping yang dapat mengakibatkan
kematian pasien setelah pemakaian chloramphenicol.

Efek samping alergi terutama disebabkan oleh penggunaan penicilin dan cephalosporin.
Keadaan yang paling jarang adalah kejadian syok anafilaktik. Kejadian yang lebih sering
timbul adalah ruam dan urtikaria. Efek samping biologis disebabkan karena pengaruh
antibiotik terhadap flora normal di kulit maupun di selaput-selaput lendir tubuh. Biasanya
terjadi pada penggunaan obat antimikroba berspektrum luas.

Di lingkungan rumah sakit selalu dikhawatirkan penyebaran dari jenis kuman Meticillin
Resist-ant Staphylococcus Aureus (MRSA). Enterokolitis yang berat dan yang membutuhkan
pen-gobatan intensif dapat juga disebabkan oleh penggunaan antibiotik seperti clindamycin,
tetracycline dan obat antibiotik berspektrum luas lainnya.
Aspek Mikrobiologik KumanJenis kuman patogen hendaknya diidentifikasi sebelum
dimulainya terapi. Pemeriksaan biakan dan resistensi sebaiknya dilakukan sebelum
pemberian terapi, namun karena hasilnya membutuhkan waktu lama maka terapi empirik
dapat diberikan dengan panduan pemeriksaan yang lebih sederhana seperti pewarnaan gram.
Dalam pemilihan antibiotik untuk terapi empirik, data mikrobiologi khususnya mengenai
pola kepekaan kuman dan data patogen resisten di rumah sakit setempat merupakan hal yang
sangat penting. Pola kepekaan kuman yang berasal dari komunitas atau kuman nosokomial
terhadap tiap jenis antibiotik merupakan panduan untuk menentukan antibiotik yang akan
diberikan dalam terapi empirik. Semakin luas cakupan suatu antibiotik terhadap patogen akan
meningkatkan probabilitas ke-berhasilan pengobatan.

Selain data mengenai pola kepekaan, data surveilans patogen resisten baik yang berasal dari
komunitas (misalnya penicillin resistance S.pneumoniae/PRSP) atau kuman nosokomial
(methicillin resistance S.aureus/MRSA), extended spectrum beta-lactamase/ESBL juga
merupakan pertimbangan dalam menentukan pilihan anti-biotik.

POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIK

Pola Pemberian Antimikroba berdasarkan ketiga aspek tersebut maka anti-biotik dapat
diberikan berdasarkan beberapa pola tertentu, antara lain :

• Direktif
• Kalkulatif
• in-terventif
• omnisprektif

Pada terapi antibiotik direktif, kuman penyebab infeksi sudah diketahui dan kepekaan
terhadap antibiotik sudah ditentukan, sehingga dapat dipilih obat antibiotik efektif dengan
spektrum sempit. Kesulitan yang akan dihadapi adalah tersedianya fasilitas pemeriksaan
mikrobiologis yang cepat dan tepat.

Terapi antibiotik kalkulatif memberikan obat secara best guess. Dalam hal ini, pemilihan
harus didasarkan pada antibiotik yang diduga akan ampuh terhadap mikroba yang sedang
menyebabkan infeksi pada jaringan atau organ yang dikeluhkan. Penilaian keadaan klinis
yang tepat dan kemungkinan kuman penyebab sangat penting dalam penerapan terapi
antibiotik kalkulatif.

Pada infeksi tertentu metoda penggunaan antibiotik harus selalu berpedoman pada sebuah
protokol pemberian antibiotik dan dapat menambah kelompok obat antibiotik lainnya. Bila
respon yang dida-pat tidak memuaskan, maka protokol-protokol ini akan menyesuaikan
dengan perkembangan dan pengalaman terkini tentang penggunaan berbagai jenis antibiotik
baru. Cara pengobatan ini dikenal sebagai terapi antimikrobial interventif.

Terapi antibiotik omnispektrif diberikan bila hendak dijangkau spektrum antibiotik seluas-
luasnya dan dapat diberikan secara empirik. Beberapa keadaan yang membutuhkan terapi ini
yaitu infeksi pada leukemia, luka bakar, peritonitis dan syok septik.8Sebagai terapi
profilaksis, obat antibiotik dapat digunakan untuk mencegah infeksi baru pada sese-orang
atau untuk mencegah kekambuhan dan terutama digunakan untuk mencegah komplikasi-
komplikasi serius pada waktu dilakukan tindakan pembedahan. (*)

Anda mungkin juga menyukai