Anda di halaman 1dari 26

DESOLUSI DAN PENERAPANNYA

DALAM BIDANG FARMASI

Disusun Oleh :

Alfin syahrian dwi nugraha : 1911102415008

Annisa Wulandari : 1911102415031

Azizah Nur Aini : 1911102415085

Dinda Putri Lestari : 1911102415068

Fitri Ana Karanina : 1911102415133

Khairunnisa Febriana : 1911102415122

Leniastri Dwi Andini : 1911102415108

Muhammad Bagus Setiawan : 1911102415106

Nazwa Fitrah Maulaya : 1911102415071

Novia Misnawati Aisyiyah : 1911102415132

Rabiatul Demiati : 1911102415054

Rahmadinda Umi Khansa : 1911102415004

Program Studi Farmasi

Fakultas Ilmu Kesehatan dan Farmasi

Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur

2019

1
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Disolusi ini tepat pada
waktunya.Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas [ibu
wirnawati] pada [farmasitika dasar). Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan tentang DESOLUSI DAN PENERAPANNYA DALAM BIDANG FARMASI bagi
para pembaca dan juga bagi penulis. Kami mengucapkan terima kasih kepada [bapak/ibu] [nama
guru/dosen], selaku [guru/dosen] [bidang studi/mata kuliah] [nama bidang studi/mata kuliah]
yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai
dengan bidang studi yang kami tekuni.Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

21 Desember 2019

Penilis

2
1. Definisi Disolusi
Disolusi merupakan suatu proses dimana suatu bahan kimia atau obat menjadi terlarut
dalam suatu pelarut. Disolusi secara singkat didefinisikan sebagai proses melarutnya suatu
solid. Bentuk sediaan farmasetik padat terdispersi dalam cairan setelah dikonsumsi seseorang
kemudian akan terlepas dari sediaannya dan mengalami disolusi dalam media biologis, diikuti
dengan absorpsi zat aktif ke dalam sirkulasi sistemik dan akhirnya menunjukkan respons
klinis.
1. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Disolusi
Beberapa faktor yang mempengaruhi laju disolusi zat aktif adalah :
a. Faktor yang berkaitan dengan sifat fisikokimia zat aktif.
Sifat – sifat fisikokimia zat aktif memiliki peranan dalam
pengendalian disolusinya dari bentuk sediaan. Kelarutan zat aktif dalam
air diketahui sebagai salah satu dari berbagai faktor yang menentukan laju
disolusi. Faktor ini meliputi : Efek kelarutan obat. Kelarutan obat dalam
air merupakan faktor utama dalam menentukan laju disolusi. Kelarutan
yang besar menghasilkan laju disolusi yang cepat. Efek ukuran partikel.
Ukuran partikel berkurang dapat memperbesar luas permukaan obat yang
berhubungan dengan medium, sehingga laju disolusi meningkat.
b. Faktor yang berkaitan dengan formulasi sediaan.
Faktor yang berkaitan dengan sediaan meliputi :
1) Efek formulasi.
Laju disolusi suatu bahan obat dapat dipengaruhi bila dicampur
dengan bahan tambahan. Bahan pengisi, pengikat dan penghancur
yang bersifat hidrofil dapat memberikan sifat hidrofil pada bahan obat
yang hidrofob, oleh karena itu disolusi bertambah, sedangkan bahan
tambahan yang hidrofob dapat mengurangi laju disolusi.
2) Efek faktor pembuatan sediaan.
Metode granulasi dapat mempercepat laju disolusi obat-obat yang
kurang larut. Penggunaan bahan pengisi yang bersifat hidrofil seperti
laktosa dapat menambah hidrofilisitas bahan aktif dan menambah laju
disolusi.
c. Faktor yang berkaitan dengan bentuk sediaan.
Faktor yang berkaitan dengan bentuk sediaan solid yang mempengaruhi
proses disolusi meliputi metode granulasi atau prosedur pembuatan, ukuran
granul, interaksi zat aktif dan eksipien, pengaruh gaya kempa, pengaruh
penyimpanan pada laju disolusi.

3
d. Faktor yang berkaitan dengan alat disolusi

Faktor yang berkaitan dengan alat disolusi dapat menyebabkan hasil


disolusi berubah – ubah dari uji ke uji pada semua teknik pengujian yang
digunakan. Faktor ini meliputi :
1) Tegangan permukaan medium disolusi.
Tegangan permukaan mempunyai pengaruh nyata terhadap laju
disolusi bahan obat. Surfaktan dapat menurunkan sudut kontak, oleh
karena itu dapat meningkatkan proses penetrasi medium disolusi ke
matriks. Formulasi tablet dan kapsul konvensional juga menunjukkan
penambahan laju disolusi obat-obat yang sukar larut dengan
penambahan surfaktan kedalam medium disolusi.
2) Viskositas medium.
Semakin tinggi viskositas medium, semakin kecil laju disolusi
bahan obat.
3) pH medium disolusi.
Larutan asam cenderung memecah tablet sedikit lebih cepat
dibandingkan dengan air, oleh karena itu mempercepat laju disolusi.
Obat-obat asam lemah disolusinya kecil dalam medium asam, karena
bersifat nonionik, tetapi disolusinya besar pada medium basa karena
terionisasi dan pembentukan garam yang larut.
e. Faktor yang berkaitan dengan parameter uji
Beberapa faktor parameter uji disolusi mempengaruhi karakteristik
disolusi zat aktif. Faktor – faktor tersebut seperti sifat dan karakteristik media
disolusi, pH, lingkungan dan suhu sekeliling telah mempengaruhi daya guna
disolusi suatu zat aktif.

2. Disolusi Terbanding
Dua produk obat yang mempunyai dosis yang sama disebut bioekivalen apabila
jumlah dan kecepatan obat aktif yang dapat mencapai sirkulasi sistemik dari keduanya
tidak mempunyai perbedaan yang signifikan. Saat ini jenis obat yang beredar di pasaran
terbagi dua, yaitu obat inovator atau paten dan obat generik. Obat inovator merupakan
obat yang ditemukan berdasarkan penelitian dan memiliki masa paten dalam jangka
waktu tertentu.
Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) melalui Peraturan Kepala
BPOM-RI, 29 Maret 2005, tentang: Pedoman Uji Bioekivalensi dan Peraturan Kepala
BPOM-RI, 18 juli 2005 tentang: Tata Laksana Uji Bioekivalensi, mewajibkan uji
bioavailabilitas/ bioekivalensi (BA/BE) terhadap obat “copy” yang beredar. Produk-
produk tertentu bioavailabilitas dapat ditunjukan dengan fakta yang diperoleh secara in
vitro yang dilakukan dalam lingkungan seperti in vivo yang sering disebut sebagai
disolusi terbanding. Obat-obat ini bioavailabilitasnya terutama bergantung pada obat

4
yang berada dalam keadaan terlarut. Data laju disolusi in vitro harus berhubungan dengan
data bioavailabilitas in vivo untuk obat tersebut.
Uji disolusi terbanding dilakukan sebagai uji pendahuluan untuk mengetahui
pengaruh dari proses formulasi dan fabrikasi terhadap profil disolusi dalam
memperkirakan bioavailabilitas dan bioekivalensi antara produk uji dan pembanding. Uji
disolusi terbanding dapat juga digunakan untuk memastikan kemiripan kualitas dan sifat-
sifat produk obat dengan perubahan minor dalam formulasi atau pembuatan setelah izin
pemasaran obat.
Pedoman WHO untuk memilih pembanding atau produk referensi peringkat
sebagai berikut:
a. Pilih inovator untuk produk di bawah penyelidikan di tingkat nasional.
b. Gunakan daftar referensi WHO untuk pembanding.
c. Gunakan Konferensi Internasional tentang Harmonisasi (ICH) daftar untuk inovator.
d. Jika tidak ada di atas tersedia, komparator cocok (termasuk generik) yang telah
terbukti untuk menjadi serupa di keselamatan, kualitas, dan khasiat untuk inovator dapat
bekas.
Uji disolusi menggunakan alat disolusi model United Stated Pharmacopeia (USP)
tipe 2 dengan pengaduk dayung (USP XXXII, 2008). Medium cairan lambung buatan
(tanpa pepsin) pH 1,2 sebanyak 900,0 ml dimasukkan ke dalam labu disolusi, pengaduk
dayung diatur pada kecepatan 100 rpm dengan jarak pengaduk dayung dari dasar adalah
2,5 cm. Tablet ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu disolusi. Suhu percobaan
dipertahankan berada dalam kisaran 37±0,2 °C. Sampel 5,0 mL diambil pada menit ke-5,
15, 30, 45, 60, 90, 120, 180, 240, 300, dan 360. Sampel yang diambil diganti dengan
medium disolusi baru dalam jumlah yang sama sehingga volume medium disolusi tetap.
Serapan sampel diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 268 nm.

2. Terminologi Produk Obat, Zat Aktif, Salut Entrik, Pelepasan Segera, Termodifikasi,
Tertunda, Terkontrol, Dan Ivivc
a. Produk Obat
Produk obat adalah sebuah produk manufaktur yang berisi obat. Ada banyak
bentuk produk obat, termasuk tablet (pil), kapsul, krim, atau cairan. Sebuah produk obat
seringkali berisi bahan kimia lain yang tidak berbahaya bagi kebanyakan orang. Mereka
termasuk produk untuk membuat rasa yang lebih baik atau mengikat tablet sehingga tidak
buyar.

b. Zat Aktif
Bahan aktif obat (active pharmaceutical ingredient) juga dikenal sebagai bahan
obat aktif, mengacu pada campuran zat atau zat apa pun yang digunakan dalam
pembuatan obat-obatan, zat tersebut dalam diagnosis, pengobatan, pengampunan gejala,

5
pengobatan atau pencegahan penyakit memiliki farmakologi. Aktivitas atau efek
langsung lainnya atau dapat mempengaruhi fungsi atau struktur tubuh.

c. Salut Entrik
Disalut suatu bahan atau zat penyalut yang tidak hancur dalam suasana asam
lambung tetapi hancur dan larut dalam suasana yang relative basa di usus dan
membebaskan obat yangterkandung dalam tablet (enteric coating ).
d. Pelepasan Segera

e. Termodifikasi
Sistem penghantaran obat dengan pelepasan yang dimodifikasi (modified release
drug delivery system) merupakan sistem penghantaran obat yang mendekati ideal.
Namun, obat yang diberikan secara oral, memiliki keterbatasan dalam hal lamanya obat
(residence time) berada dalam saluran pencernaan, sehingga merupakan salah satu dari
pelepasan obat dimana waktu pasti dan/atau lokasi dipilih untuk mencapai tujuan
terapeutik atau kenyamanan yang tidak ditberikan oleh bentuk sediaan konvensional
seperti larutan atau bentuk sediaan padat seperti kapsul dan tablet. Bentuk sediaan
pelepasan tertunda (delayed release) dan bentuk sediaan pelepasan diperpanjang
(extended release) adalah dua jenis bentuk sediaan dengan pelepasan termodifikasi.
Controlled release, prolonged action, dan sustained release digunakan sebagai sinonim
dari pelepasan diperpanjang (extended release) (USP XXXII, 2009).

f. Tertunda
Pelepasan obat dari bentuk sediaannya dapat dengan sengaja diperlambat supaya
obat dapat sampai pada usus mengingat beberapa alasan. Diantara alasan-alasan ini,
mungkin kenyataaannya bahwa obat dirusak oleh cairan lambung atau dapat juga
menimbulkan rangsangan (iritasi) yang berlebihan pada lambung atau obat yang
menimbulkan rasa mual atau mungkin obat lebih baik diabsorbsi dalam usus daripada
dalam lambung. Kapsul dan tablet disalut sehingga tetap utuh dalam lambung dan baru
melepaskan obatnya pada usus, disebut juga salut enterik (Ansel, 2005). Contoh: Tablet
lepas tunda aspirin.

g. Terkontrol
Bentuk sediaan controlled release menyampaikan obat ke dalam tubuh pada laju
yang terkendali dan direncanakan (Ansel, 2005). Sediaan controlled release ditujukan
untuk mempertahankan kadar obat agar senantiasa berada dalam level terapi yaitu di
antara MEL (level efek minimum) dan MSL (level aman maksimum).
Contoh: Profenid CR.
Kelebihan-kelebihannya termasuk:
 Aktivitas obat diperpanjang di siang dan malam hari

6
 Mampu untuk mengurangi terjadinya efek samping
 Mengurangi frekuensi pemberian obat
 Meningkatkan kepatuhan pasien
 Biaya pasien lebih rendah

h. Ivivc
Menurut FDA (Food And Drug Administration) IVIVC ialah suatu model
matematis prediktif yang menjelaskan hubungan antara sifat in vitro suatu bentuk sediaan
oral (biasanya laju atau besar disolusi/ pelepasan obat ) dan respon in vivo yang terkait (
misalnya konsentrasi obat dalam plasma atau jumlah obat yang diabsorbsi ).USP atau
Farmakope Amerika Serikat mendefinisikan IVIVC sebagai pembentukan hubungan
antara keadaan biologis maupun parameter lain yang berasal dari keadaan biologis dan
dihasilkan dari suatu bentuk sediaan serta memiliki karakteristik fisikokimia yang
sama.Korelasi in vitro in vivo menetapkan suatu sifat biologis obat dan suatu
sifatfisikokimia produk obat yang mengandung bahan obat, seperti laju pelarutan. Untuk
mempunyai IVIVC, beberapa pelepasan obat dari produk obat in vitro dibawah kondisi
tertentu, harus berkolerasi dengan tampilan obat in vitro. Korelasi in vitro in vivo yang
baik dilaporkan untuk modifikasi pelepasan produk obat tetapi menjadi leih sulit untuk
menentukan pelepasan obat yang cepat. IVIVC dievaluasi untuk menujukkan prediksi
tampilan in vivo suatu produk obat dari karakterisktik pelarutan in vitro yang
dipertahankan pada suatu rentang laju pelepasan pelarutan in vitro dan perubahan
fabrikasi.IVIVC bermanfaat untuk penetapan spesifikasi pelarutan batas atas dan bawah
untuk suatu sediaan oral padat. Untuk produk obat dari banyak sumber seperti produk
obat dengan nama dagang dan produk obat generik yang dipasarkan mengandung obat
aktif yang sama. IVIVC memiliki peran penting dalam pengujian produk obat, yang
pertama berfungsi sebagai pengganti dari in vivo dan membantu dalam mendukung
bioavailabilitas, kedua untuk mendukung dan atau memvalidasi penggunaan metode
pembubaran serta spesifikasi dan yang ketiga membantu dalam kontrol kualitas selama
pemilihan formulasi yang tepat.
Langkah pertama yang dilakukan untuk membentuk IVIVC ialah dengan
menggunakan uji disolusi sebagai pengganti untuk pengujian pada manusia. Keuntungan
dari hal tersebut untuk meminimalkan sejumlah uji bioekivalensi yang telah dilakukan
sejak awal. Keuntungan lain dari IVIVC adalah membantu memvalidasi atau pengubahan
pengaturan spesifikasi yang telah ditetapkan berdasarkan kinerja biobatch in vivo.
Spesifikasi pengubahan pengaturan berbasis IVIVC juga dapat digunakan sebagai
pengendalian mutu kinerja produk. Tetapi, kontrol kualitas ini kemungkinan lebih ketat
daripada standar kontrol biasa karena tergantung pada bioavailabilitas produk.
Kekurangandari penggunaan IVIVC adalah terbatas hanya pada produk obat tertentu dan
pada formulasi tertentu.

7
Pertimbangan yang kedua adalah jumlah pengadukan dan sifat pengaduk.
Kecepatan pengadukan harus dikendalikan, dan spesifikasi yang membedakan antar
produk obat. Sifat media pelarutan juga akan mempengaruhi ujii pelarutan. Kelarutan
maupun jumlah obat dalam bentuk sediaan harus dipertimbangkan. Media pelarutan
hendaknya tidak jenuh dengan obat . Suhu media pelarutan juga harus di kendalikan dan
variasi suhu dihindarkan. Sebagian besar uji kelarutan dilakukan pada suhu 37 C.
Kategori IVIVC menurut FDA menjadi 4 tingkatan berdasarkan kemampuan
korelasi merefleksikan kadar obat dalam plasma.
 Level A

Merupakan tingkatan tertinggi kolerasi IVIVC yang menjelaskan hubungan


antara hasil disolusi in vitro dengan in vivo. Korelasi level A menunjukkan ada
hubungan yang nyata antara data in vivo dan in vitro. Contoh : Metoprolol,
Diltiazem,Verapamil, Propranolol.

 Level B

Tidak menggambarkan kadar obat dalam plasma yang sebenarnya.


Membandingkan nilai mean in vitro disolution time (MDT vitro) dengan mean in
vivo disolution time (MDT vivo). Contoh Glibenklamid Fenitoin, Danazol,
Ketokonazol, asam mefenamat, Nifedinpine.

 Level C

Level ini merupakan korelasi yang paling lemah disebabkan oleh tidak
digambarkannya bentuk lengkap dari kadar obat dalam plasma berbanding
waktu.Menghubungkan antara 1 titik pada uji disolusi in vitro dengan salah satu
parameterfarmakokinetik seperti AUC, tmax, Cmax. Contoh : Simetidin, Acyclovir,
Neomycin B,Captopril.

 Level Multiple C

Level ini harus berdasarkan profil disolusi pada 3 titik, yaitu bagian awal,
tengah, akhir serta menghubungkan banyaknya obat terlarut pada beberapa titik dari
profil disolusi dibandingkan 1 atau lebih parameter farmakokinetik.

 Level D

Korelasi ini merupakan analisis kualitatif dan tidak dapat digunakan untuk
tujuan regulasi. Hanya berfungsi dalam prosedur pengembangan formulasi obat.
Contoh : Taxol, hidroklorotiazid

8
3. Kinetika Pelepasan Obat Orde Nol dan Orde Satu
Studi kinetika pelepasan obat bermanfaat untuk mengetahui pengaruh satu atau
beberapa parameter terhadap bioavabilitas obat. Kinetika laju pelepasan obat dapat
menggambarkan laju pelepasan obat terhadap waktu. Laju pelepasan obat diamati
menggunakan parameter waktu paruh (t1/2). Studi ini juga dapat digunakan untuk
mendesain obat yang lebih sistematis dan suatu sediaan farmasetik dengan mekanisme
pelepasan yang lebih baik.

a. Orde Nol
Pelepasan obat yang mengikuti kinetika orde nol terjadi melalui mekanisme erosi.
Bentuk sediaan yang mengikuti kinetika orde nol melepaskan jumlah obat yang konstan
setiap waktu dan merupakan pelepasan obat yang ideal untuk mencapai kerja
farmakologi yang diperpanjang.
Orde Nol merupakan model yang ideal pelepasan obat dalam rangka mencapai aksi
farmakologis berkepanjangan. Obat didisolusi dari bentuk sediaan dan melepaskan obat
secara perlahan diwakili oleh persamaan berikut (Bhowmik, et al., 2012):

Qt = Qo + Ko t
Dimana Qt merupakan jumlah obat dalam waktu t, Qo sebagai jumlah awal obat
dalam larutan dan Ko adalah konstanta pelepasan orde nol. Sediaan memiliki pelepasan
orde nol akan melepaskan zat aktif dengan kecepatan konstan. Peningkatan konsentrasi
obat berbanding lurus dengan waktu (Aiache, 1993). Data pelepasan obat yang
diperoleh secara in vitro diplot sebagai jumlah kumulatif obat terlepas terhadap waktu
dan dihasilkan grafik linear jika kondisi yang ditetapkan terpenuhi seperti Gambar 2
(Lokhandwal, et al., 2013)
Model orde nol dapat digunakan untuk menggambarkan disolusi obat dari beberapa
jenis modifikasi bentuk pelepasan sediaan obat, seperti beberapa sistem transdermal,
matriks tablet dengan obat yang kelarutan rendah, sistem osmotik, dll (Ramteke, dkk.,
2014).

9
Model Orde Nol Fomulasi Obat

b. Orde Satu
Kinetika ini menggambarkan sistem dimana pelepasan zat aktif bergantung pada
konsentrasi zat aktif di dalamnya. Semakin tinggi konsentrasi zat aktif, jumlah obat
yang dilepaskan semakin banyak. Profil kinetika orde satu biasanya dijumpai pada
bentuk sediaan farmasetik yang berisi obat larut dalam air dalam matriks berpori,
dimana obat yang terlepas sebanding dengan jumlah obat mula-mula dalam sediaan.
Sediaan yang memiliki pelepasan orde nol akan melepaskan zat aktif dengan
kecepatan konstan. Peningkatan konsentrasi obat berbanding lurus dengan waktu.
Sedangkan sediaan yang memilki pelepasan orde satu menunjukkan bahwa logaritma
pengurangan konsentrasi zat aktif pada saat tertentu konstan.
Wagner mengasumsikan bahwa luas permukaan terpapar dari tablet menurun
secara eksponensial dengan waktu selama proses disolusi yang menunjukkan bahwa
pelepasan obat dari sebagian besar tablet lepas lambat dapat dijelaskan oleh kinetika
orde Satu. Persamaan yang menggambarkan kinetika orde satu adalah (Ramteke, dkk.,
2014):
log Qt = logQ0 + (K1/2.303).t

Dimana, Q adalah fraksi obat yang dilepaskan pada waktu t dan k1 adalah
konstanta pelepasan obat orde pertama. Plot logaritma fraksi obat terhadap waktu akan
linear jika pelepasan mememnuhi kinetika pelepasan orde satu.

10
Pelepasan Model Orde Satu Fomulasi Obat Sustained Release

4. Kecepatan Disolusi Intrinsik Dan Driving Force Disolusi


a) DISOLUSI INTRINSIK
Kecepatan disolusi merupakan kecepatan zat aktif larut dari suatu bentuk sediaan
utuh/pecahan/ partikel yang berasal dari bentuk sediaan itu sendiri. Kecepatan disolusi
zat aktif dari keadaan polar atau dari sediaannya didefinisikan sebagai jumlah zat aktif
yang terdisolusi per unit waktu di bawah kondisi antar permukaan padat-cair,
suhu dan kompisisi media yang dibakukan.
Uji hancur pada suatu tablet didasarkan pada kenyataan bahwa, tablet itu pecah
menjadi partikel-partikel kecil, sehingga daerah permukaan media pelarut menjadi
lebuh luas, dan akan berhubungan degan tersedianya obat dalam cairan tubuh. Namun,
sebenarnya uji hancur hanya menyatakan waktu yang diperlukan tablet untuk hancur
di bawah kondisi yang ditetapkan. Uji ini tidak memberikan jaminan partikel-partikel
itu akan melepas bahan obat dalam larutan dengan kecepatan yang seharusnya. Oleh
sebab itu, uji disolusi dan ketentuan uji dikembangkan bagi hampir seluruh produk
tablet. Laju absorpsi dari obat-obat bersifat asam yang diabsorpsi dengan mudah
dalam saluran pencernaan sering ditetapkan dengan laju larut obat dalam tablet.
(Voight, 1971)
Agar diperoleh kadar obat yang tinggi di dalam darah, maka kecepatan obatdan
tablet melarut menjadi sangat menentukan. Karena itu, laju larut dapat berhubungan
langsung dengan efikasi (kemanjuran) dan perbedaan bioavaibilitas dari berbagai
formula. Karena itu, dilakukannya evaluasi mengenai apakah suatu tablet melepas
kandungan zat aktifnya atau tidak bila berada di saluran cerna, menjadi minat utama
dari para ahli farmasi. (Voight, 1971)
Tes kecepatan melarut telah didesain untuk mengukur berapa kecepatan zat aktif
dari satu tablet atau kapsul melarut ke dalam larutan. Hal ini perlu diketahui sebagai

11
indikator kualitas dan dapat memberikan informasi sangat berharga tentang
konsistensi dari “batch” satu ke “batch” lainnya. Tes disolusi ini didesain untuk
membandingkan kecepatan melarutnya suatu obat, yang ada di dalam suatu sediaan
pada kondisi dan ketentuan yang sama dan dapat diulangi. (Shargel, 1998)
Kecepatan disolusi sediaan sangat berpengaruh terhadap respon klinis dari
kelayakan sistem penghantaran obat. Disolusi menjadi sifat sangat penting pada zat
aktif yang dikandung oleh sediaan obat tertentu, dimana berpengaruh terhadap
kecepatan dan besarnya ketersediaan zat aktif dalam tubuh. Jika disolusi makin cepat
maka absorbs makin cepat. Zat aktif dari sediaan padat (tablet, kapsul, serbuk,
suppositoria), sediaan sistem terdispersi (suspense dan emulsi), atau sediaan-sediaan
semi solid (salep, krim, pasta) mengalami disolusi dalam media/cairan biologis
kemudiaan diikuti absorpsi zat aktif ke dalam sirkulasi sistemik. (Voight, 1971)
Kecepatan disolusi dalam berbagai keadaan dapat menjadi tahap
pembatasankecepatan zat aktif ke dalam cairan tubuh. !pabila zat padat ada dalam
saluran cerna,mama terdapat dua kemungkinan tahap pembatasan kecepatan zat aktif
tersebut, yaitu :

a. Zat aktif mula-mula harus larut


b. Zat aktif harus dapat melewati membrane saluran cerna (Voignt, 1995)

b) DRIVING FORCE DISOLUSI


Driving force proses ini adalah gradien konsentrasi, sehingga prosesnya tidak bisa
melawan greadien konsentrasi. Beberapa senyawa bersifat sangat polar, sehingga kecil
kemungkinan bisa melarut dalam membraneyang lipofil. Tetapi faktanya obat-obat
seperti glukosa dan gula yang lainnya, vitamin-vitamin larut ar, dan ion ion mineral
bisa diabsorbsi. Maka transport aktif dan dan difusi fasilitatif berperan disini. Pada
difusi fasilatif, transport tidak perlu energy, tetapi perlu gardien konsentrasi. Transport
aktif tidak perlu gradient konsentrasi karena driving force-nyaa adalah energi yang
diperoleh dari pemecahan ATP. Bukan berarti mekanisme ini berjalan dari konsentrasi
rendah ke konsentrasi tinggi, tetapi transportnya satu arah, misalnya dari saluran
gastrointestinal ke darah. Berapapun konsentrasinya di kedua komartemen tersebut.
Transport tetap menuju ke darah. Bisa juga obat menembus membrane dengan
melewati celah-celah hidrofil pada membrane. Celah tersebut bisa berupa pori maupun
space antar sel. Transport ini disebut transport konvektif, dan umumnya terjadi saat
filtrasi glomerulus, di ginjal.

5. Luas Permukaan Terhadap Kecepatan Disolusi


Luas Permukaan ( ↓ukuran partikel = ↑luas permukaan = ↑laju disolusi)
Bila suatu partikel zat dikurangi sampai menjadi partikel partikel yang lebih kecil dalam
jumlah yang besar, luas permukaan total yang diciptakan ditingkatkan. Untuk zat yang sukar

12
larut atau larut dengan perlahan ini umumnya mengakibatkan peningkatan dalam laju disolusi.
Kelarutan actual dari suatu obat murni tetap sama.
Dalam farmasi, untuk mencapai luas permukaan yang meningkat, dibuat sediaan farmasi
dalam serbuk micronized dalam produk sediaan padat. Terkadang laju absorbs obat yang
cepat tidak dikehendaki dalam preparat farmasi, sehingga dapat digunakan ukuran partikel
yang besar sehingga disolusi cepat dihindari dalam menghasilkan proses disolusi perlahan
yang baik.

6. Model Disolusi Dan Pelepasan Hixson-Crwell, Noyes-Whitney Dan Higuchi


Laju disolusi obat dapat dijelaskan dengan persamaan Noyes dan Whitney sebagai
berikut :
adalah laju disolusi obat, D adalah konstanta laju difusi, A adalah luas permukaan
kontak antara partikel dan medium, Cs adalah konsentrasi obat pada lapisan tetap, C
adalah konsentrasi obat dalam pelarut di luar lapisan tetap, K adalah koefisien partisi dan
h adalah ketebalan lapisan tetap.
Dari persamaan Noyes dan Whitney dapat dilihat bahwa kinetika disolusi
dipengaruhi oleh fisikokimia obat, formulasi dan pelarut. Selain ketiga faktor di atas,
suhu medium dan laju pengadukan juga mempengaruhi laju disolusi. Peningkatan pada
suhu akan meningkatkan energi kinetik molekul dan konstanta difusi D. Sebaliknya
peningkatan pengadukan dari medium pelarut akan mengurangi ketebalan h lapisan tetap
sehingga proses disolusi menjadi lebih cepat.

Model Higuchi

Kinetika pelepasan obat yang diselidiki oleh T. Higuchi sering disebut orde
Higuchi. Orde Higuchi. Model Higuchi mendefinisikan ketergantungan linear dari fraksi
aktif yang dilepaskan per unit (Q) dari akar kuadrat waktu.

Q = K 2t ½
Dimana, K2 adalah konstanta laju pelepasan. Plot fraksi obat yang dilepaskan
terhadap akar kuadrat waktu akan linear jika pelepasan mengikuti persamaan Higuchi,
seperti Gambar 4. Persamaan ini menjelaskan pelepasan obat sebagai proses difusi
berdasarkan hukum Fick.

13
Pelepasan Model Higuchi Fomulasi Obat Sustained Release

Model Hixson-Crowell

Hixson-Crowell (1931) memahami bahwa luas permukaan partikel sebanding


dengan akar kubik volume yang berasal dari persamaan yang dijelaskan dengan cara
berikut:

Qo1/3 - Qt1/3 = Ks t

Dimana Qo adalah jumlah awal obat dalam bentuk sediaan farmasi. Qt adalah
jumlah sisa obat bentuk sediaan farmasi pada waktu t. Ks adalah konstanta
menggabungkan hubungan volume permukaan. Plot akar pangkat tiga fraksi obat yang
tersisa terhadap waktu akan linear jika pelepasan mengikuti persamaan Hixson-Crowell

Pelepasan Model Hixson-Crowell Fomulasi Obat Sustained Release

14
7. BSC Dan Peran Permeabelitas dan kelarutan
a) Definisi BCS (Biopharmaceutical Classification System)
BCS (Biopharmaceutical Classification System) atau sistem klasifikasi
biofarmasetika adalah suatu model eksperimental yang mengukur permeabilitas dan
kelarutan suatu zat dalam kondisi tertentu. Sistem ini dibuat untuk pemberian obat secara
oral. Untuk melewati studi bioekivalen secara in vivo, suatu obat harus memenuhi
persyaratan kelarutan dan permeabilitas yang tinggi (Bethlehem, 2011).
Bioavaibilitas obat merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk
menilai efektifitas suatu sediaan farmasi. Kecepatan disolusi dan waktu tinggal obat
dalam saluran cerna merupakan faktor yang dapat mempengaruhi bioavaibilitas. Sistem
dispersi padat dan sistem penghantaran obat mukoadhesif merupakan salah satu cara
yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan kecepatan disolusi dan waktu
tinggal obat dalam saluran cerna (Sutriyo dkk., 2007).
b) Klasifikasi BCS BCS (Biopharmaceutical Classification System) atau sistem klasifikasi
biofarmasetika diklasifikasikan menjadi empat kelas, diantaranya adalah :
 Kelas I (Permeabilitas tinggi, Kelarutan tinggi).
Misalnya Metoprolol, Diltiazem, Verapamil, Propranolol. Obat kelas I
menunjukkan penyerapan yang tinggi dan disolusi yang tinggi. Senyawa ini
umumnya sangat baik diserap. Senyawa Kelas I diformulasikan sebagai produk
dengan pelepasan segera, laju disolusi umumnya melebihi pengosongan lambung.
Oleh karena itu, hampir 100% penyerapan dapat diharapkan jika
setidaknya 85% dari produk larut dalam 30 menit dalam pengujian disolusi in
vitro dalam berbagai nilai pH, oleh karena itu data bioekivalensi in vivo tidak
diperlukan untuk menjamin perbandingan produk (Wagh dkk., 2010).

 Kelas II (Permeabilitas tinggi, Kelarutan rendah.


Misalnya Fenitoin, Danazol, Ketokonazol, asam mefenamat, Nifedipine.
Obat kelas II memiliki daya serap yang tinggi tetapi laju disolusi rendah. Dalam
disolusi obat secara in vivo maka tingkat penyerapan terbatas kecuali dalam
jumlah dosis yang sangat tinggi. Penyerapan obat untuk kelas II biasanya lebih
lambat daripada kelas I dan terjadi selama jangka waktu yang lama. Korelasi in
vitro-in vivo (IVIVC) biasanya diterima untuk obat kelas I dan kelas II.
Bioavailabilitas produk ini dibatasi oleh tingkat pelarutnya. Oleh karena
itu, korelasi antara bioavailabilitas in vivo dan in vitro dalam solvasi dapat
diamati (Reddy dkk., 2011).

 Kelas III (Permeabilitas rendah, Kelarutan tinggi)


Misalnya Simetidin, Acyclovir, Neomycin B, Captopril. Permeabilitas
obat berpengaruh pada tingkat penyerapan obat, namun obat ini mempunyai laju

15
disolusi sangat cepat. Obat ini menunjukkan variasi yang tinggi dalam tingkat
penyerapan obat. Karena pelarutan yang cepat, variasi ini disebabkan perubahan
permeabilitas membran fisiologi dan bukan faktor bentuk sediaan tersebut. Jika
formulasi tidak mengubah permeabilitas atau waktu durasi pencernaan, maka
kriteria kelas I dapat diterapkan (Reddy dkk., 2011).
 Kelas IV (Permeabilitas rendah, Kelarutan rendah)
Misalnya taxol, hydroclorthiaziade, furosemid. Senyawa ini memiliki
bioavailabilitas yang buruk. Biasanya mereka tidak diserap dengan baik dalam
mukosa usus. Senyawa ini tidak hanya sulit untuk terdisolusi tetapi sekali
didisolusi, sering menunjukkan permeabilitas yang terbatas di mukosa GI. Obat
ini cenderung sangat sulit untuk diformulasikan (Wagh dkk., 2010)
c) Peran permeabilitas dan kelarutan
1. Kelarutan
Tujuan dari pendekatan BCS adalah untuk menentukan kesetimbangan
kelarutan suatu obat dalam kondisi pH fisiologis. Profil kelarutan terhadap pH
suatu obat uji harus ditentukan pada 37 ± 1oC dalam media air dengan rentang pH
1-7,5. Kondisi pH untuk penentuan kelarutan dapat didasarkan pada karakteristik
ionisasi obat uji. Misalnya, ketika pKa obat berada di kisaran 3-5, kelarutan harus
ditentukan pada pH = pKa, pH = pKa +1, pH = pKa-1, dan pada pH = 1 dan 7,5.
Minimal dilakukan tiga kali percobaan. Larutan buffer standar yang dijelaskan
dalam USP dapat digunakan dalam studi kelarutan. Jika buffer ini tidak cocok
untuk alasan fisik atau kimia, larutan penyangga lainnya dapat digunakan. PH
larutan harus diverifikasi setelah penambahan obat untuk buffer (Wagh dkk.,
2010).
2. Permeabilitas
Permeabilitas didasarkan langsung pada tingkat penyerapan usus suatu
obat pada manusia atau tidak langsung pada pengukuran laju perpindahan massa
melintasi membran usus manusia.
Suatu obat dikatakan sangat permeabel ketika tingkat penyerapan pada
manusia adalah 90% atau lebih dari dosis yang diberikan, berdasarkan pada
keseimbangan massa atau dibandingkan dengan dosis pembanding intravena
(Reddy dkk., 2011).

8. Pengaruh Viskositas, pH Medium, Lipit dan Surfaktan terhadap Disolusi


a) Faktor yang berkaitan dengan alat disolusi
Faktor yang berkaitan dengan alat disolusi dapat menyebabkan hasil disolusi berubah –
ubah dari uji ke uji pada semua teknik pengujian yang digunakan. Faktor ini meliputi :
1. Tegangan permukaan medium disolusi. Tegangan permukaan mempunyai pengaruh
nyata terhadap laju disolusi bahan obat. Surfaktan dapat menurunkan sudut kontak, oleh
karena itu dapat meningkatkan proses penetrasi medium disolusi ke matriks. Formulasi

16
tablet dan kapsul konvensional juga menunjukkan penambahan laju disolusi obat-obat
yang sukar larut dengan penambahan surfaktan kedalam medium disolusi.
2. Viskositas medium. Semakin tinggi viskositas medium, semakin kecil laju disolusi bahan
obat.
3. pH medium disolusi. Larutan asam cenderung memecah tablet sedikit lebih cepat
dibandingkan dengan air, oleh karena itu mempercepat laju disolusi. Obat-obat asam
lemah disolusinya kecil dalam medium asam, karena bersifat nonionik, tetapi disolusinya
besar pada medium basa karena terionisasi dan pembentukan garam yang larut
b) Faktor yang berkaitan dengan parameter uji
Beberapa faktor parameter uji disolusi mempengaruhi karakteristik disolusi zat aktif.
Faktor – faktor tersebut seperti sifat dan karakteristik media disolusi, pH, lingkungan dan
suhu sekeliling telah mempengaruhi daya guna disolusi suatu zat aktif

9. Peralatan Uji Disolusi


Dissolution Tester memiliki beberapa nama lain yang mungkin saja familiar di teling
anda, seperti : alat uji disolusi dissolution test atau alat disolusi. Pengertian dissolution tester
adalah sebuah alat laboratorium yang digunakan untuk mengetahui proses melarutnya zat atau
senyawa aktif(obat) dalam media pelarut. Alat dissolution test sangat erat kaitannya dengan
sediaan padat dan semi padat, beberapa jenis sediaan yang sering dilakukan pengujian
disolusion tester adalah :
 Tablet
 Kaplet
 Kapsul
 Serbuk
 Salep
Beberapa pengertian disolusion tester yang mungkin juga sering anda temui adalah :
Dissolution Tester adalah sebuah alat pengujian yang digunakan pada industri farmasi untuk
mengkarakterisasi sifat peleburan dari obat aktif.
Pengertian Dissolution Tester adalah sebuah alat laboratorium yang digunakan untuk
pengujian yang dilakukan terhadap sediaan padat.
Dalam bahasa yang sangat sederhana dissolution tester merupakan alat yang digunakan
sebagai simulasi lambung manusia. Dalam simulasi ini cairan asam pada lambung biasanya
digantikan dengan HCl 0,1N atau Buffer Phosphate.
Fungsi Dissolution Tester
Pada artikelnya sebelumnya kita sudah pernah membahas tentang shaker laboratorium yang
memiliki fungsi untuk membuat larutan yang homogen. Jika dilihat sekilas, alat dissolution
tester juga memiliki fungsi yang sama, yakni : melarutkan sebuah obat(sediaan) supaya
menjadi homogen. Lalu, apa sih fungsi dissolution tester sebenarnya?
Fungsi dissolution tester adalah alat yang digunakan untuk menganalisa banyaknya jumlah zat
aktif larut dalam cairan tubuh(simulasi). Pada bidang industri dissolution tester memiliki

17
fungsi untuk merumuskan bentuk dosis obat dan mengembangkan spesifikasi kualitas.
Dissolution test merupakan uji biofarmasetik penting untuk menjamin efektifitas obat dan
memiliki korelasi dengan profil farmakokinetik.
Karena pentingnya pemahaman tentang dissolution tester pada bidang farmasi, maka
sebaiknya mahasiswa atau laboran pemula farmasi memahami :
 Cara menggunakan dissolution tester
 Menganalisa kecepatan disolusi suatu zat atau obat
 Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi

Bagian-Bagian Alat Dissolution Tester

Sebagai pengguna awam dari dissolution tester, tentunya anda perlu mengetahui bagian-
bagian dari alat dissolution tester. Berikut adalah beberapa bagian dari alat dissolution
tester yang perlu anda ketahui :
1. Panel Controller

Panel kontrol pada dissolution tester mungkin memiliki bentuk yang berbeda-beda.
Penggunaan panel kontrol pada dissolution tester digunakan untuk mengatur kecepatan
putaran, lama proses pengadukan, dan temperatur atau suhu dari bath vessel.

2. Batang Pengaduk

Dissolution drive shaft atau versi bahasa indonesia adalah batang pengaduk, fungsi
dasarnya hanya sebagai konektor antara motor dan dayung atau basket. Batang pengaduk ini
bisa di naik-turunkan untuk mengatur ketinggian pada vessel.

18
3. Vessel

Vessel merupakan media yang digunakan untuk menampung cairan pelarut. Jenis vessel
yang sering kita temui biasanya memiliki daya tampung 1 liter. Namun pada beberapa kasus
terdapat vessel dengan ukuran yang lebih kecil. Berikut adalah gambaran ukuran vessel yang
lebih kecil dari vessel pada umumnya.

4. Paddle

Paddel atau dayung merupakan bagian yang bisa dipilih oleh user pada
menggunakan dissolution tester. Pengguna bisa memilih tipe dayung, basket atau tipe-tipe
yang lainnya. Pastikan anda mengerti dan mengetahui cara menggunakan dissolution
tester sebelum memilih paddle Basket

19
Perbedaan yang paling mecolok ketika menggunakan dissolution tester dengan tipe
paddle dan basket adalah penempatan obat. Pada dissolution tipe basket, obat akan disimpan
di dalam keranjang. Lama kelamaan obat akan larut dan habis keluar dari keranjang tanpa bisa
di amati. Sedangkan pada tipe paddle atau dayung akan terlihat pada vessel.

5. Disk Holder
Bagian yang satu ini sebetulnya merupakan komponen pendukung pada dissolution
tester. Fungsi dari disk holder adalah untuk menahan obat agar tidak berada pada posisi dasar
vessel.

20
Berikut adalah gambaran penempatan disk holder pada vessel :

6. Rubber Seal
Bagian Rubber seal pada dissolution tester merupakan bagian yang digunakan untuk
melindungi vessel dari chamber. Vessel dan chamber pada dissolution tester sebetulnya
banyak yang terbuat dari kaca. Nah, karena kaca rawan pecah, maka digunakanlah media
rubber atau seal sebagai penyangga atau pelapis. Selain sebagai penyangga agar tidak mudah
goyang, fungsi rubber seal juga digunakan sebagai media pengunci vessel terhadap chamber.

Penggunaan rubber seal biasanya mendukung bagian lain pada dissolution tester. Sebagai
contoh lihatlah automatic tablet drop pada gambar berikut:

21
7. Cannula
Komponen yang satu ini bentunya sama seperti suntikan ya. Fungsi cannula
pada dissolution tester adalah untuk mengambil sample cairan pada vessel secara manual.
volume maksimal yang diambil biasanya berkisar di 20ml. Pada beberapa kasus cannula
sering juga disebut syringe disolusi.

8. Resident Probe
Jika pada cannula digunakan dengan cara yang manual dan mungkin saja tercampur
antara satu vessel dengan vessel yang lainnya. Maka penggunaan resident probe
pada dissolution tester adalah untuk membuat pengambilan sample bersifat otomatis.

9. Temperature Sensor
Hal yang mempengaruhi kecepatan larutnya sebutir obat tentu bukan hanya kecepatan
putaran pada alat dissolution tester. Chamber dan cairan didalamnya tentu juga bisa

22
disesuaikan suhunya, sehingga mempengaruhi kecepatan larutnya sebutir obat. Temperature
sensor diharapkan dapat memonitoring suhu di dalam chamber.

Tentunya masih banyak lagi bagian-bagian pada dissolution tester yang tidak bisa penulis
sebutkan satu per satu. Penggunaan main unit dissolution tester bisa digabungkan dengan unit
pendukung, seperti heating chamber, dissomate preparation dan dissofract sampling sistem.
Cara Menggunakan Alat Dissolution Tester
Setiap pengguna alat dissolution tester diharapkan mengetahui cara menggunakan alat
tersebut dengan baik dan benar. Hal ini untuk memimalisir kerusakan alat karena kecerobohan
pengguna. Adapun cara menggunakan dissolution tester secara umum sebagai berikut:
1. Persiapkan media disolusi dan sample yang akan dianalisa. Pastikan juga anda sudah
membaca-baca metode yang digunakan pada alat dissolution tester.
2. Isi chamber dissolution tester dengan air atau aquades sesuai dengan batas yang telah
ditentukan.
3. Pasangkan vessel pada chamber sesuai dengan kebutuhan. jika anda menggunakan
dissolution dengan jumlah chamber 6 atau 8, lakukan hingga semua terpasang dengan
baik kemudian kunci hingga rapat.
4. Naikan head unit hingga posisi paling tinggi.
5. Pasangkan gagang pengaduk(drive shaft), dayung(paddle) atau keranjang(basket) dan
komponen lainnya sesuai dengan kebutuhan analisa dengan benar.
6. Turunkan kembali head unit dengan hati-hati hingga batas yang telah ditentukan.
7. Setting posisi batang pengaduk pada posisi tengah dengan ketinggian sekitar 2,5cm.
(gunakan alat pendukung – lihat pada buku manual)
8. Masukan media disolusi dengan jumlah volume 900ml atau sesuai dengan kebutuhan.
9. Nyalakan dissolution tester dengan cara menekan tombol on. lalu setting suhu(berkisar di
37C), kecepatan putaran dan lama waktu pengadukan.
10. Setelah suhu pada temperatur controller menunjukan di kisaran 37C, masukan obat secara
bersamaan dan tekan tombol start untuk memulai proses.
11. Tutup semua vessel untuk mencegah kotoran atau benda asing masuk kedalam vessel.
12. Setelah mencapai waktu yang telah ditentukan, ambil sample secara
bersamaan(usahakan). Sample yang tersebut sudah bisa digunakan untuk analisa pada
alat spektrofotometer.

23
13. Jika anda melakukan pengambilan sample pada waktu terjeda, misal : di menit ke lima,
sepuluh dan lima belas. Pastikan menambahkan media disolusi sesuai dengan jumlah
yang di ambil pada periode sebelumnya.
Setelah menggunakan dissolution tester, diharapkan pengguna meninggalkan alat dalam
keadaan bersih dan kering. Beberapa bagian yang harus dibersihkan setelah digunakan adalah
vessel, paddle dan basket.

Gambar Alat Dissolution Tester

24
Kesimpulan

Disolusi merupakan suatu proses dimana suatu bahan kimia atau obat menjadi terlarut dalam
suatu pelarut. Disolusi secara singkat didefinisikan sebagai proses melarutnya suatu solid. Pelepasan
suatu obat dipengaruhi oleh laju disolusi. Faktor yang dapat mempengaruhi laju disolusi yaitu
Suhu,Viskositas, ph pelarut, Pengadukan, Ukuran partikel, Polimorfisme, Sifat permukaan zat. Peralatan
yang di gunakan untuk melakukan uji disolusi adalah Dissolution Tester yang di gunakan untuk
mengetahui proses melarutnya zat atau senyawa aktif (obat) dalam media pelarut.

Daftar Pustaka

25
 Maharani, Intan Riyanty. 2017. Uji Disolusi Terbanding. Purwokerto : UMP. Siswanto,
Agus. dkk. "Pemodelan Pelepasan In Vitro Tablet Floating Teofilin dengan Program Dd
solver". dengan jurnal Pharmacy, vol. 13 No. 01 Juli 2016.
 USP XXXII . 2009. USP 32: United States Pharmacopeia. Rocville: United States
Pharmacopeial Convention. 1209-1210.
 Ansel, H. C., 2005, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, diterjemahkan oleh Ibrahim, F.,
Edisi IV, 605-619, Jakarta, UI Press.
 Joenoes Z Nanizah.,2011. ARS prescribendi Resep Yang Rasional.Edisi 1.pusat
penerbitan dan pencetakan Unair.Surabaya
 Mariyam, R. 2011. Preparasi dan Karakterisasi Kitosan Suksinat Sebagai Matriks Pada
Tablet Enterik Lepas Lambat. Depok : Universitas Indonesia.
 Intan Riyanty Maharani,2017 Uji Disolusi Terbanding Ump 2017. 6
 Bethlehem. (2011). Biopharmaceutical Classification System and Formulation
Development. Technical Brief 2011 Volume 9
 Sutriyo., Rachmat, Hasan., & Rosalina, Mita. (2007). Pengembangan Sediaan dengan
Pelepasan Dimodifikasi Mengandung Furosemid sebagai Model zat aktif Menggunakan
Sistem Mukoadhesif. Majalah Ilmu Kefarmasian, 5(1), 1-8.
 Reddy, Kumar., & Karunakar. (2011). Biopharmaceutics Classification System: A
Regulatory Approach. Dissolution Technologies, 31-37.
 Wagh P., Millind., & Patel, Jatis. (2010). Biopharmaceutical Classification System:
Scientific Basis for Biowaiver Extensions. International Journal of Pharmacy and
Pharmaceutical sciences, 2(1), 12-19.
 Voight. 1971. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. UGM Press. Yogyakarta
 Shargel. 1998. Biofarmasetika dan Farmakakinetika Terapan. Airlangga University
Press. Surabaya
 Simala,Santi.2016. Farmaasi Fisik. Jakarta. Pusdik SDM Kesehatan
 Shaikh, H.K., Kshirsagar, R. V. and Patil, S. G. (2015). Mathematical Model for Drug
Release Characterization: A Review. World Journal of Pharmaceutical Research. 4(4):
324-338
 Bhowmik, D., Gopinath and Kumar,K.P.S., (2012). Controlled Release Drug Delivery
Systems. The Pharma Innovation Journal. 1(10): 24-32
 Aiache, J.M. (1993). Farmasetika 2. Biofarmasi. Edisi Kedua. Surabaya: Airlangga
University Press. Hal. 154-177, 195-210 dan 338-339.
 Lokhandwala, H., Deshpande, A., and Deshpande, S. (2013). Kinetic Modeling and
Dissolution Profil Comparison: An Overview. Int. J. Pharm. Bio. Sci. 4(1): 728 – 737

26

Anda mungkin juga menyukai