Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan jiwa menurut UU Kesehatan Jiwa No. 18 Tahun 2014


tentang Kesehatan Jiwa, menjelaskan bahwa kesehatan jiwa adalah kondisi
dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan
soial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat
mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan
kontribusi untuk komunitasnya. Karl Menninger mendefinisikan orang yang
sehat jiwanya adalah orang yang mempunyai kemampuan untuk
menyesuaikan diri pada lingkungan, serta berintegrasi dan berinteraksi
dengan baik, tepat, dan bahagia. Begitu juga sebaliknya, orang yang tidak
mampu untuk menyesuaikan diri, serta berintegrasi dan berinteraksi dengan
baik adalah orang yang mengalami gangguan jiwa.
Gangguan jiwa menurut PPDGJ III adalah sindrom pola perilaku
seseorang yang secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan
(distress) atau hendaya (impairment) di dalam satu atau lebih fungsi yang
penting dari manusia, yaitu fungsi psikologik, perilaku, biologik, dan
gangguan itu tidak hanya terletak di dalam hubungan antara orang itu tetapi
juga dengan masyarakat (Maramis, 2010). Gangguan jiwa yang merupakan
permasalahan kesehatan di seluruh dunia salah satunya adalah skizofrenia,
sebanyak 21 juta orang di dunia terkena skizofrenia (WHO, 2016).
WHO memperkirakan angka insidens untuk skizofrenia sebesar 13,37
per 100.000 pria dan 12,94 per 100.000 wanita. Angka tertinggi terjadi pada
kelompok usia 20-64 tahun. Angka prevalensi secara keseluruhan untuk pria
dan wanita adalah 0,4% (Winifred Z. Kennedy, 2014). Prevalensi gangguan
jiwa di indonesia menurut riskesdas tahun 2018 mengalami peningkatan
jumlah menjadi 7 per mil rumah tangga. Sehingga jumlahnya diperkirakan
sekitar 450 ribu Orang Dengan Gangguan Jiwa berat. Prevalensi gangguan

2
3

jiwa di provinsi jawa timur sebanyak 6,7 per 1.000 rumah tangga. Artinya
dari 1.000 rumah tangga terdapat 6,7 rumah tangga yang mempunyai anggota
rumah tangga (ART) yang mengalami skizofrenia/psikosis.
Skizofrenia merupakan gangguan kesehatan serius yang perlu
mendapatkan perhatian. Stuart (2013) mengatakan skizofrenia merupakan
gangguan neurobiologikal otak yang persisten dan serius, sindroma secara
klinis yang dapat mengakibatkan kerusakan hidup baik secara individu,
keluarga dan masyarakat. Menurut Maslim (2013) dalam buku PPDGJ III
skizofrenia merupakan sindrom dengan variasi penyebab dan perjalanan
penyakit yang luas serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan
pengaruh genetik, fisik dan sosial budaya.
Pada dasarnya skizofrenia memiliki beberapa subtipe, diantaranya
Skizofrenia Paranoid, Skizofrenia Hebefrenik, Skizofrenia Katatonik,
Skizofrenia Tak Terinci, Skizofrenia Residual, dan Skizofrenia Simpleks.
Skizofrenia yang paling sering muncul adalah skizofrenia tak terinci.
Berdasarkan pengamatan saya selama 1 minggu praktek di Rumah Sakit Jiwa
Menur Surabaya, Dari ... pasien laki-laki yang ada di ruang Gelatik sekitar ...
pasien mengalami skizofrenia tak terinci. Skizofrenia tak terinci
(Undifferentiated) merupakan satu diantara bebebapa jenis skizofrenia
dimana gejala-gejala yang muncul sulit untuk digolongkan pada tipe
skizofrenia tertentu. Skizofrenia tak terinci memenuhi kriteria umum untuk
diagnosis Skizofrenia. Tapi tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis
Skizofrenia paranoid, hebefrenik, katatonik, residual maupun depresi pasca-
skizofrenia.
Skizofrenia pada umumnya dideskripsikan sebagai gejala positif dan
negatif (atau defisit). Gejala negatif merupakan adanya defisit terhadap
respon emosi normal atau proses berpikir lainnya, dan reaksinya kurang baik
terhadap pengobatan meliputi afek yang mendatar atau tumpul, miskin bicara
(alogia), avolition/apatis, anhedonia/asosialitas dan defisit perhatian.
sedangkan gejala positif merupakan gejala yang tidak dialami oleh
kebanyakan individu secara normal tetapi dialami oleh seorang penderita
skizofrenia di antaranya waham (delusi) dan halusinasi.
4

Berdasarkan gejala-gejala yang ditunjukan, pasien skizofrenia


seringkali memerlukan rawat inap di rumah sakit dengan berbagai alasan.
Pasien skizofrenia memerlukan rehabilitasi intensif, social, industrial tetap
yang sesuai dengan kebutuhan individu. Penatalaksanaan klien dengan
skizofrenia perlu dikelola secara integrasi. Menurut Keliat (2011)
penatalaksanaan pada pasien skizofrenia dengan terapi keperawatan,
psikofarmakologis dan psikologis. Sedangkan menurut Durand (2007) dapat
berupa terapi biologis (obat anti psikosis, elektrokonvulsif) dan terapi
psikososial seperti rehabilitasi berorientasi-keluarga, latihan keterampilan
sosial, terapi kognitif dan lain-lain. Penatalaksanaan yang diberikan secara
komprehensif pada klien skizofrenia menghasilkan perbaikan yang optimal.
Untuk menghasilkan perkembangan yang optimal diperlukan peran
perawat jiwa dalam memberikan asuhan keperwatan yang berkualitas untuk
membantu pasien berdaptasi terhadap stress yang dialami dan bersifat
terapeutik. Untuk memenuhi kebutuhan klien, Perawat harus memiliki
kemampuan dan tekhnik komunikasi terapeutik dalam membina hubungan
saling percaya dengan pasien. Perawat harus mampu melakukan pendekatan
khususnya klien sebagai manusia yang utuh yang meliputi aspek biopsiko-
sosial-spritual melalui proses keperawatan yang komprehenshif.

Pada pasien skizofrenia yang telah mendapatkan asuhan keperawatan


secara komprehensif, memiliki hasil akhir yang sama yaitu terkontrol tetapi
perkembangan yang terjadi pada setiap pasien skizofrenia berbeda. Dimana
pada setiap pasien skizofrenia memiliki perkembangan yang berbeda
bergantung pada proses pemberian terapi.

Melihat fenomena diatas, maka penulis tertarik untuk mengetahui dan


mengidentifikasi lebih dalam mengenai perkembangan pada pasien
skizofrenia yang diberikan perawatan di ruang Glatik Rumah Sakit Jiwa
Menur Surabaya
5

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimanakah perkembangan yang terjadi pada pasien skizofrenia tak


terinci dalam menjalani perawatan di ruang Gelatik Rumah Sakit Jiwa Menur
Surabaya?

1.3 Tujuan Studi Kasus

1.3.1 Tujuan Umum

Menggambarkan perkembangan yang terjadi pada pasien skizofrenia


tak terinci dalam menjalani perawatan di ruang Gelatik Rumah Sakit
Jiwa Menur Surabaya.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Menggambarkan proses pengkajian keperawatan pada pasien


skizofrenia tak terinci dalam menjalani perawatan di ruang
Gelatik Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya.

b. Menggambarkan proses diagnosa keperawatan pada pasien


skizofrenia tak terinci dalam menjalani perawatan di ruang
Gelatik Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya.

c. Menggambarkan proses perencanaan keperawatan pada pasien


skizorenia tak terinci dalam menjalani perawatan di ruang
Gelatik Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya.

d. Menggambarkan proses tindakan keperawatan pada pasien


skizofrenia tak terinci dalam menjalani perawatan di ruang
Gelatik Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya.

e. Menggambarkan proses evaluasi keperawatan pada pasien


skizofrenia tak terinci dalam menjalani perawatan di ruang
Gelatik Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya.
6

1.4 Manfaat Studi Kasus

1.4.1 Bagi Masyarakat

Hasil studi kasus ini dapat menambah pengetahuan masyarakat


tentang proses perkembangan yang terjadi pada pasien skizofrenia tak
terinci yang menjalani perawatan di ruang Gelatik Rumah Sakit Jiwa
Menur Surabaya.

1.4.2 Bagi Perkembangan Ilmu Keperawatan

Hasil studi kasus ini dapat menambah keluasan ilmu dan teknologi
terapan dalam bidang keperawatan untuk melakukan proses asuhan
keperawatan guna mengetahui perubahan yang terjadi pada pasien
skizofrenia tak terinci yang menjalani perawatan di ruang Gelatik
Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya.

1.4.3 Bagi Penulis

Studi kasus ini memberikan pengalaman dalam mengimplementasi


dan mengevaluasi proses perkembangan yang terjadi pada pasien
skizofrenia tak terinci yang menjalani perawatan di ruang Gelatik
Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai