Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PRAKTIKUM BIOFARMASETIKA DAN FARMAKOKINETIKA

Pengaruh Formulasi Terhadap Laju Disolusi ( Perbandingan Tablet Generik )

Oleh :

Virgo Eri Sendi


(2016.01.00.02.004)

Dosen Pengampu : Widyastuti, S.Si, M.Farm., Apt.

LABORATORIUM KIMIA

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

UNIVERSITAS MOHAMMAD NATSIR


BUKITTINGGI

2019
BAB I PENDAHULUAN

Tujuan Percobaan :

1. Memahami laju disolusi berbagai obat dalam bentuk generik


2. Melihat pengaruh formulasi sediaan obat terhadap profil disolusi

Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat ke
dalam media pelarut. Pelarutan suatu zat aktif sangat penting artinya karena ketersediaan
suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut
sebelum diserap ke dalam tubuh.

Laju disolusi atau kecepatan melarut obat-obat yang relatif tidak larut dalam air telah
lama menjadi masalah pada industri farmasi. Obat-obat tersebut umumnya mengalami proses
disolusi yang lambat demikian pula laju absorpsinya. Dalam hal ini partikel obat terlarut akan
diabsorpsi pada laju rendah atau bahkan tidak diabsorpsi seluruhnya. Dengan demikian
absorpsi obat tersebut menjadi tidak sempurna. Oleh karena itu pengetahuan mengenai
disolusi dirasa sangat penting dalam pembuatan sediaan obat.

Dalam dunia kefarmasian para apoteker dan pakar-pakar kimia senantiasa merancang
sediaan obat supaya mampu menrancang terobosan baru dalam menciptakan suati produk
yang berkualitas, baik dari segi kesetabilan obat maupun efek yang ditimbulkan. Sudah
sepantasnya. Sebagai seorang farmasis kita harus selalu menggali informasi terkini
mengenai teknologi obat dari berbagai segi.

Disini yang paling ditekankan yaitu pada preformulasi.Preformulasi merupakan


metode perancangan suatu riset dalam rangka menyusun konsep baru yang nantinya
harusmampu menghasilkan suatu maha karya yang bernilai.Dibutuhkan kearifan dan
kecerdasan yang mumpuni dalam menyusun preformulasi suatu sediaan. Terutama dalam
mengenal monografi,spesifikasi mencakup sifat-sifat suatu zat dan reaksi yang mungkin
terjadi apabila bercampur dengan zat lain saat dikombinasikan.

Diantara semua sifat dan reaksi yang penting untuk kita ketahui bersama yang paling
kami soroti disini yaitu mengenai Disolusi suatu zat.Dimana ini merupakan suatu tahapan
yang yang sangat berperan penting dalam menentukan hasil suatu efek obat dalam tubuh
Manusia.Laju disolusi atau kecepatan melarut obat-obat yang relatif tidak larut dalam air
telah lama menjadi masalah pada industri farmasi. Obat-obat tersebut umumnya mengalami
proses disolusi yang lambat demikian pula laju absorpsinya. Dalam hal ini partikel obat
terlarut akan diabsorpsi pada laju rendah atau bahkan tidak diabsorpsi seluruhnya. Dengan
demikian absorpsi obat tersebut menjadi tidak sempurna.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Uji Disolusi Tablet yaitu untuk menentukan kesesuaian dengan persyaratan disolusi
yang tertera dalam masing-masing monografi (missal Farmakope) untuk sediaan tablet dan
kapsul, kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah. Persyaratan disolusi
tidak berlaku untuk kapsul gelatin lunak kecuali bila dinyatakan dalam masing-masing
monografi.

Perlu diketahui terlebih dahulu sebelumnya, bahwa obat generik pun sebenarnya
terbagi menjadi menjadi 2 jenis yang berbeda. Yakni obat generik bermerk dan obat generik
berlogo. Obat generik sendiri sebenarnya merupakan obat yang sudah habis masa patennya.
Oleh sebab itulah jenis obat tersebut dapat di produksi oleh hampir seluruh perusahaan
farmasi yang ada tanpa harus membayar royalti.

Sebenarnya, khasiat obat generik sendiri tidak kalah bagus dari obat paten. Karena
obat generik juga memiliki kandungan zat aktif serta tingkat efektivitas yang sama dengan
obat paten. Hanya saja karena kondisinya tersebut, obat generik dapat dijual dengan kisaran
harga yang jauh lebih murah. Mengapa demikian? Karena ada dua faktor yang
mempengaruhi hal tersebut, yakni karena memproduksi obat generik tidak membutuhkan
biaya untuk riset atau penelitian serta tidak membutuhkan biaya untuk pematenan obat.

Untuk mencapai absorbsi sistemik, suatu obat padatan akan mengikuti beberapa
proses seperti disintegrasi, disolusi dan absorbsi melalui membran sel. Pada proses tersebut,
laju obat mencapai sirkulasi sistemik ditentukan oleh tahapan yang paling lambat “rate
limiting step”. Obat yang memiliki kelarutan yang buruk dalam air, maka disolusi merupakan
tahap penentu dalam proses tersebut.

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi disolusi obat, di antaranya sifat fisikokimia
bahan obat, faktor formulasi, anatomi dan fisiologi saluran cerna, dll. Salah satu faktor yang
akan diamati adalah pengaruh formulasi sediaan obat.

A. Parasetamol

Parasetamol merupakan metabolit aktif yang bertanggung jawab bagi efek


analgesiknya. Ia menghambat prostaglandin yang lemah dan efek antiinflamasinya tidak
bermakna. Asetaminofen di Indonesia dikenal dengan nama parasetamol dan diberikan secara
per oral, parasetamol kurang mengiritasi lambung dan karena itu secara umum lebih disukai

Sifat Fisika dan Kimia

Parasetamol mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 101,0%,
mempunyai rumus molekul C8H9NO2 dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan, dengan
bobot molekul 151,16. Parasetamol mempunyai bentuk hablur atau serbuk putih, tidak
berbau, rasa pahit, memiliki suhu lebur 169 C sampai 172 C. larut dalam 70 bagian air, dalam
7 bagian etanol (95%)P, dalam 13 bagian aseton P, dalam 40 bagian gliserol P dan dalam 9
bagian propilenglikol P, larut dalam larutan alkali hidroksida.
B. Disolusi

Disolusi adalah suatu perubahan proses dari bentuk padat ke bentuk cairan atau larut,
dimana dimulai dengan disintegrasi kemudian melarut sehingga menghasilkan bentuk larutan.
Laju disolusi merupakan waktu yang diperlukan obat untuk melarut dalam cairan. Laju
disolusi dinyatakan sebagai milligram zat yang dilarutkan permenit sentimeter persegi (mg/
menit/ cm2). Disolusi dapat mengakibatkan perbedaan aktifitas biologi dari suatu zat obat
mungkin diakibatkan oleh laju dimana obat menjadi tersedia untuk diserap tubuh.

Faktor-faktor yang mempengaruhi laju disolusi yaitu:

1. Sifat fisiko-kimia obat.

a. Karakteristik fase padat.

Bentuk amorf dari obat lebih memberikan kelarutan yang besar dan
laju disolusi yang lebih tinggi daripada bentuk kristal.

b. Polimorfisme.

Merupakan bentuk kristal obat yang terdiri lebih dari satu bentuk
kristal. polimorfisme dalam bentuk hidrat, solvate atau kompleks secara
nyata mempengaruhi karakteristik disolusi & obat.

c. Karakteristik partikel.

Jika daerah permukaan diperbesar dengan memperkecil ukuran


partikel, laju disolusi menjadi tinggi disebabkan pengurangan ukuran
partikel

2. Faktor formulasi

a. Bahan tambahan.

Laju disolusi suatu obat murni dapat berubah secara bermakna saat
dicampur dengan berbagai bahan tambahan selama proses pencetakan
bentuk sediaan.

b. Ukuran partikel.

Untuk meningkatkan laju disolusi dipilih ukuran partikel optimal yaitu


cukup kecil untuk memberikan luas permukaan spesifik yang berarti, tetapi
tidak terlalu kecil agar kesulitan pembasahan yang disebabkan oleh
muatan partikel yang terjadi selama penggerusan dapat dihindari.
BAB III CARA KERJA

I. Alat dan Bahan


A. Alat-Alat:
1. Labu ukur 100 mL, 25 mL 5. Batang pengaduk
2. Gelas ukur 6. Pipet ukur 5 mL
3. Dissolution Tester 7. Timbangan digital
4. Spektrofotometer UV-Vis 8. Beaker glass 250 mL

B. Bahan
1. Parasetamol tablet generik dari berbagai pabrik
2. HCL 0,1 N
3. Aqua dest

II. Prosedur Kerja


A. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Parasetamol dalam HCl 0.1 N
1. Buat larutan standar parasetamol dalam HCl 0.1 N dengan konsentrasi 15
μg/ml. (ppm)
2. Ukur serapannya dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada
panjang gelombang 220-350 nm.
3. Buat spektrum serapan (Absorbansi vs Panjang Gelombang).

B. Pembuatan Kurva Baku Larutan Standar Parasetamol dalam HCl 0.1 N


1. Buat larutan standar parasetamol dengan konsentrasi 5, 10, 15, 20, 25 μg/ml.
2. Ukur serapannya dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada
panjang gelombang maksimum.
3. Buat kurva baku parasetamol (Absorbansi vs Konsentrasi).

C. Penentuan Profil Disolusi Parasetamol


1. Wadah diisi dengan air, atur suhu 37 ºC.
2. Labu disolusi diisi dengan medium disolusi yang telah ditentukan (HCl 0.1 N)
sebanyak 900 ml.
3. Tablet parasetamol dicelupkan ke dalam medium disolusi, kemudian diputar
dengan kecepatan 50 rpm.
4. Larutan dalam labu disolusi dipipet sebanyak 5 ml pada menit ke-5, 10, 15, 20
dan 30 (setiap pemipetan medium diganti dengan medium yang sama jenis dan
jumlah yang dipipet), dimasukkan ke dalam labu ukur 25 ml.
5. Masing-masing larutan yang telah dipipet ditambahkan HCl 0.1 N hingga
tanda batas labu ukur.
6. Masing-masing larutan yang dipipet, diukur serapannya dengan menggunakan
spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimum.
7. Hitung kadar parasetamol yang terdisolusi per satuan waktu, dihitung
menggunakan kurva baku.

8. Buat grafik disolusi ( Waktu vs % Terdisolusi)


BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

1. Pengolahan Data
a. Panjang gelombang maksimum paracetamol HCl 0,1 N
b. Kurva baku larutan standar paracetamol daam HCl 0,1 N

Konsentrasi Absorbansi
A = 0,0357 (μg/ml)
1 0,640
B = 0,123
2 1,263
r = 0,47
3 1,918

4 2,552

5 3,055

No. X Y X² Y² XY

1 1 0,640 1 0,2916 0,640

2 2 1,263 4 1,595169 2,526

3 3 1,918 9 3,678724 5,754

4 4 2,552 16 6,512704 10,208

5 5 3,055 25 9,333025 15,275

6 Ʃ = 15 Ʃ = 9,428 Ʃ = 55 Ʃ= 21,411222 Ʃ=34,403

Menghitung nilai :
b = n. ƩXY- ƩX . ƩY / n. ƩX² (ƩX)²
= 5 . 34,403 – 15 . 9,428 / 5 . 55 . (15) ²
= 0,611
a = ƩY – b . ƩX / n
= 9,428 – 0,6046 . 15 / 5
= 0,050
r = n ƩXY – (ƩX) (ƩY) / √ {n . ƩX² - ( ƩX)²} {n . ƩY² - (ƩY)²}
= 5 . 34,403 – (15) ( 9,428 ) √ {5 ( 55 ) – (15)²} { 5 . 21,411222 – ( 9,428 )²
= 857,575 – 699,6 / √908,4463
= 30,095 / 30,140
= 0,998
Pembuatan PCT Induk dalam HCL 0,1N 100 ml

10 g paracetamol + HCl 0,1 N ad 50 ml

Pengenceran larutan PCT Induk 5, 10, 15, 20, 25 µg / ml


a. V1. 25 µg/ml = 25 ml . 1 µg/ml
V1 = 1 ml
b. V1. 25 µg/ml = 25 ml . 2 µg/ml
V1 = 2 ml
c. V1. 25 µg/ml = 25 ml . 3 µg/ml
V1 = 3 ml
d. V1. 25 µg/ml = 25 ml . 4 µg/ml
V1 = 4 ml
e. V1. 25 µg/ml = 25 ml . 5 µg/ml
V1 = 5 ml

c. Profil disolusi paracetamol


Absorbansi Kadar % Terdisolusi
Waktu
(Menit) G1 G2 G3 G1 G2 G3 G1 G2 G3

5 4,000 0,260 0,749 145,35 7,71 25,42 29,07 % 1,54 % 5,08 %

10 4,000 0,588 1,357 145,35 19,80 47,92 29,20 % 4,04 % 9,61 %

15 4,000 1,094 1,678 145,35 38,80 59,85 29,23 % 7,70 % 12,02 %

20 4,000 1,463 1,732 145,35 52,02 61,87 29,23 % 10,44 % 12,44 %

30 4,000 1,625 1,757 145,35 58,05 63,00 29,23 % 11,67 % 12,67 %

Y= a + bx
Y = 0,050 + 0,611 x

 Generik 1 ( Kadar )

𝑦−𝐴 4,000 − 0,050


a. X1 = = = 6,46 mg / ml
𝐵 0,611
𝑦−𝐴 4,000 − 0,050
b. X2 = = = 6,46 mg / ml
𝐵 0,611
𝑦−𝐴 4,000 − 0,050
c. X3 = = = 6,46 mg / ml
𝐵 0,611
𝑦−𝐴 4,000 − 0,050
d. X4 = = = 6,46 mg / ml
𝐵 0,611
𝑦−𝐴 4,000 − 0,050
e. X3 = = = 6,46 mg / ml
𝐵 0,611

Fp = ( Volume labu ukur / Volume pipet larutan ) 2


= ( 25 ml / 5 ml )
= 25

Kadar = X0 . V0 . HCl . Fp

1000

6,46 . 900 .25


a. Kadar = = 145,35 mg
1000
6,46 . 900 .25
b. Kadar = = 145,35 mg
1000
6,46 . 900 .25
c. Kadar = = 145,35 mg
1000
6,46 . 900 .25
d. Kadar = = 145,35 mg
1000
6,50 . 900 .25
e. Kadar = = 145,35 mg
1000

𝑽𝒐𝒍.𝒑𝒊𝒑𝒆𝒕 𝒍𝒂𝒓𝒖𝒕𝒂𝒏 𝒅𝒊𝒔𝒐𝒍𝒖𝒔𝒊


Fk = ( ) x ( kadar sebelumnya + Fk Sebelumnya )
𝑽𝒐𝒍𝒖𝒎𝒆 𝑯𝑪𝒍

( 𝑲𝒂𝒅𝒂𝒓+𝑭𝒌 )
% terdisolusi = x 100 %
𝑫𝒐𝒔𝒊𝒔

a. Fk 5 “ = 0
( 145,35 +0 )
% terdisolusi = x 100 %
500
= 29,07 %
b. Fk 10 “ = ( 5 / 900) x (145,35 + 0 ) = 0,80
( 145,35 +0,80)
% terdisolusi = x 100 %
500
= 29,20 %
c. Fk 15” = ( 5 / 900) x (145,35 +0,80) = 0,81

( 145,35+0,81 )
% terdisolusi = x 100 %
500
= 29,23 %
d. Fk 20” = ( 5 / 900) x (145,35 + 0,81) = 0,81
( 145,35 +0,81 )
% terdisolusi = x 100 %
500
= 29,23 %
e. Fk 30” = ( 5 / 900) x (145,35 +0,81) = 0,81
( 145,35 +0,81 )
% terdisolusi = x 100 %
500
= 29,23 %

 Generik 2 ( Kadar )

𝑦−𝐴 0,260 − 0,050


a) X1 = = = 0,343 mg / ml
𝐵 0,611
𝑦−𝐴 0,588 − 0,050
b) X2 = = = 0,880 mg / ml
𝐵 0,611
𝑦−𝐴 1,094 − 0,050
c) X3 = = = 1,708mg / ml
𝐵 0,611
𝑦−𝐴 1,463 − 0,050
d) X4 = = = 2,312 mg / ml
𝐵 0,611
𝑦−𝐴 1,625 − 0,050
e) X3 = = = 2,580mg / ml
𝐵 0,611

Fp = ( Volume labu ukur / Volume pipet larutan ) 2


= ( 25 ml / 5 ml )
= 25

Kadar = X0 . V0 . HCl . Fp

1000

0,343 . 900 .25


a) Kadar = = 7,71 mg
1000
0,880 . 900 .25
b) Kadar = = 19,80 mg
1000
1,708 . 900 .25
c) Kadar = = 38,43 mg
1000
2,312 . 900 .25
d) Kadar = = 52,02 mg
1000
2,580 . 900 .25
e) Kadar = = 58,05 mg
1000
𝑽𝒐𝒍.𝒑𝒊𝒑𝒆𝒕 𝒍𝒂𝒓𝒖𝒕𝒂𝒏 𝒅𝒊𝒔𝒐𝒍𝒖𝒔𝒊
Fk = ( ) x ( kadar sebelumnya + Fk Sebelumnya )
𝑽𝒐𝒍𝒖𝒎𝒆 𝑯𝑪𝒍

( 𝑲𝒂𝒅𝒂𝒓+𝑭𝒌 )
% terdisolusi = x 100 %
𝑫𝒐𝒔𝒊𝒔

a. Fk 5 “ = 0
(7,71 +0 )
% terdisolusi = x 100 %
500
= 1,542%
b. Fk 10 “ = ( 5 / 900) x ( 7,71+ 0 ) = 0,042
(19,80+ 0,042)
% terdisolusi = x 100 %
500
= 4,044 %
c. Fk 15” = ( 5 / 900) x (19,80+ 0,042) = 0,110

(38,43+0,110 )
% terdisolusi = x 100 %
500
= 7,708 %
d. Fk 20” = ( 5 / 900) x ( 38,43 + 0,110 ) = 0,214
( 52,02+0,214 )
% terdisolusi = x 100 %
500
= 10,446 %

e. Fk 30” = ( 5 / 900) x (52,02+ 0,214) = 0,290


( 58,05 + 0,290 )
% terdisolusi = x 100 %
500
= 11,670 %

 Generik 3 ( Kadar )

𝑦−𝐴 0,749 − 0,050


a. X1 = = = 1,13 mg / ml
𝐵 0,611
𝑦−𝐴 1,357 − 0,050
b. X2 = = = 2,13 mg / ml
𝐵 0,611
𝑦−𝐴 1,678 − 0,050
c. X3 = = = 2,66 mg / ml
𝐵 0,611
𝑦−𝐴 1,732− 0,050
d. X4 = = = 2,75 mg / ml
𝐵 0,611
𝑦−𝐴 1,757 − 0,050
e. X3 = = = 2,80mg / ml
𝐵 0,611

Fp = ( Volume labu ukur / Volume pipet larutan ) 2


= ( 25 ml / 5 ml )
= 25
Kadar = X0 . V0 . HCl . Fp

1000

1,13 . 900 .25


a. Kadar = = 25,42 mg
1000
2,13. 900 .25
b. Kadar = = 47,92 mg
1000
2,66. 900 .25
c. Kadar = = 59,85 mg
1000
2,75 . 900 .25
d. Kadar = = 61,87 mg
1000
2,80 . 900 .25
e. Kadar = = 63,00mg
1000

𝑽𝒐𝒍.𝒑𝒊𝒑𝒆𝒕 𝒍𝒂𝒓𝒖𝒕𝒂𝒏 𝒅𝒊𝒔𝒐𝒍𝒖𝒔𝒊


Fk = ( ) x ( kadar sebelumnya + Fk Sebelumnya )
𝑽𝒐𝒍𝒖𝒎𝒆 𝑯𝑪𝒍

( 𝑲𝒂𝒅𝒂𝒓+𝑭𝒌 )
% terdisolusi = x 100 %
𝑫𝒐𝒔𝒊𝒔

a. Fk 5 “ = 0
( 25,42+0 )
% terdisolusi = x 100 %
500
= 5,084 %
b. Fk 10 “ = ( 5 / 900) x ( 25,42 + 0 ) = 0,141
( 47,92 + 0,141)
% terdisolusi = x 100 %
500
= 9,612 %
c. Fk 15” = ( 5 / 900) x ( 47,92 + 0,141) = 0,267

( 59,85 + 0,267)
% terdisolusi = x 100 %
500
= 12,023 %
d. Fk 20” = ( 5 / 900) x ( 59,85 + 0,267 ) = 0,333
( 61,87,+0,333 )
% terdisolusi = x 100 %
500
= 12,440 %
e. Fk 30” = ( 5 / 900) x ( 61,87 + 0,333) = 0,345
( 63,00+ 0,345 )
% terdisolusi = x 100 %
500
= 12,670 %
2. Grafik

Absorbansi Pct
5000
4000
3000
2000
1000
0
1 2 3 4 5
Waktu 5 10 15 20 30
G1 4,000 4,000 4,000 4,000 4,000
G2 0.26 0.588 1.094 1.463 1.625
G3 0.749 1.357 1.678 1.732 1.757

Kadar Pct
35
30
25
20
15
10
5
0
1 2 3 4 5
Waktu 5 10 15 20 30
G1 2907.00% 2920.00% 2923.00% 2923.00% 2923.00%
G2 154.00% 404.00% 770.00% 1044.00% 1167.00%
G3 508.00% 961.00% 1202.00% 1244.00% 1267.00%

% Terdisolusi Pct
35
30
25
20
15
10
5
0
1 2 3 4 5
Waktu 5 10 15 20 30
G1 2907.00% 2920.00% 2923.00% 2923.00% 2923.00%
G2 154.00% 404.00% 770.00% 1044.00% 1167.00%
G3 508.00% 961.00% 1202.00% 1244.00% 1267.00%
4.2 Pembahasan

Disolusi adalah proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat daalam
media pelarut, atau dengan kata lain disolusi adalah jumlah zat aktif dari obat yang dapat
larut dalam cairan tubuh. Sedangkan laju disolusi adalah laju zat aktif untuk melarut
dalam media pelarut seingga apabila zat aktif memiliki kecepatan melarut yang cepat
maka efek yang ditimbulkan juga cepat dan begitupun sebaliknya.

Mekanisme disolusi suatu obat khususnya tablet yaitu tablet yang ditelan akan
masuk kedalam lambung akan pecah, mengalami disentigrasi menjadi banyak granul
kecil, yang terdiri dari zat aktif yang tercampur dengan zat pengisi dan pelekat. Setelah
granul-granul ini pecah zat aktif terlepas dan jika daya larutan cukup besar, akan larut
dalam cairan lambung atau usus. Tergantung pada tempat dimana saat itu obat berada.
Hal ini ditentukan oleh waktu pengosongan lambung, yang pada umunya berkisar pada 2-
3 jam setelah makan. Baru setelah obat larut, proses reabsorbsi oleh usus dapat
dimulai.peristiwa ini disebut sebagai pharmasheutican availability.

Pada percobaan ini akan ditentukan tetapan disolusi dari tablet paracetamol 500
mg dalam media air suling, dimana besarnya tetapan tersebut menunjukkan cepat
lambatnya disolusi atau kelarutan dari tablet paracetamol tersebut. Di sini digunakan air
suling sebagai media disolusi karena air merupakan cairan penyusun utama dalam tubuh
manusia, jadi diumpamakan obat berdisolusi di dalam tubuh. Selain itu juga karena
paracetamol kelarutannya dalam air sangat baik. Adapun volume dari labu disolusi yang
digunakan adalah 900 ml. Hal ini dianalogikan terhadap suatu gelembung udara, maka
gelembung udara tersebut akan masuk ke pori-pori dan bekerja sebagai barier pada
interfase sehingga mengganggu disolusi obat. Adapun suhu yang digunakan,
dipertahankan 37° C, dengan maksud agar sesuai dengan suhu fisiologis suhu tubuh
manusia. Hal ini sebagai pembanding jika obat tersebut berada dalam tubuh manusia,
adapun waktu yang digunakan yaitu 30 menit karena waktu yang digunakan paracetamol
untuk dapat terdisolusi adalah 30 menit.

Untuk media disolusi digunakan pelarut seperti yang tertera dalam masing-masing
monografi. Bila media disolusi adalah suatu larutan dapar, diatur pH larutan sedemikian
hingga berada dalam batas 0.05 satuan pH yang tertera pada masing-masing monografi.
Untuk memilih media disolusi dapat dipertimbangkan seperti halnya jika kelarutan zat
aktif tidak dipenggaruhi oleh pH, maka sebagai media disolusi dipakai air suling.
Sedangkan jika kelarutan zat aktif dipengaruhi pH, maka sebagai media disolusi dipakai
cairan lambung buatan atau cairan usus buatan.

Pertama-tama alat uji disolusi diaktifkan, kemudian diatur waktu, suhu, interval
waktu, dan rpmnya, kemudian setelah 45 menit dan terdengar suara beep yang panjang
dari alat uji disolusi maka paracetamol dimasukkan kedalam alat uji disolusi. Setelah obat
dimasukkan ke dalam alat uji disolusi, dilakukan pemipetan dalam tiap interval waktu 5,
10, 15, 20, 25, dan 30 menit, tetapi pada saat dilakukan pemipetan dari alat uji disolusi,
maka larutan yang diambil dalam alat uji disolusi harus diganti dengan air steril sesuai
dengan volume yang diambil.

Setelah melakukan pemipetan / pengambilan sampel, dilakukan analisis dengan


absorbansi melalui alat spektrovotometer uv-vis. Tahapan yang dilakukan setelah
pengujian disolusi adalah pengukuran absorbansi melalui alat spektrovotometer uv-vis
dipanjang gelombang 2,43 nm.

Hasil yang didapat adalah :

a. Parasetamol generik 1 : Menit ke 5 = 4,000


Menit ke 10 = 4,000
Menit ke 15 = 4,000
Menit ke 20 = 4,000
Menit ke 30 = 4,000
b. Parasetamol generik 2 :Menit ke 5 = 0,260
Menit ke 10 = 0,588
Menit ke 15 = 1,094
Menit ke 20 = 1,463
Menit ke 30 = 1,625
c. Parasetamol generik 3 :Menit ke 5 = 0,749
Menit ke 10 = 1,357
Menit ke 15 = 1,678
Menit ke 20 = 1,732
Menit ke 30 = 1,757

Dari hasil perhitungan terlihat bahwa kadar dari parasetamol dan % nilai disolusi
selalu terjadi kenaikan disetiap menitnya. Pada kadar parasetamol generic 1 nilainya
tetap, yaitu 43,35. Pada parasetamol generic 2 terjadi kenaikan nilai, mulai dari 7,71
sampai 58,05. Begitu juga dengan parasetamol generic 3, terjadi juga kenaikan nilai
mulai dari 25,42 sampai 63,00.
Sedangkan % terdisolusi dari parasetamol juga terjadi kenaikan disetiap menitnya.
Pada % terdisolusi parasetamol generic 1 nilainya yaitu, 29,07 % sampai 29,23 %. Pada
parasetamol generic 2 terjadi kenaikan nilai, mulai dari 1,54 % sampai 11,67 %. Begitu
juga dengan parasetamol generic 3, terjadi juga kenaikan nilai mulai dari 5,08 % sampai
12,67 %.
BAB V KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Setelah melakukan pemipetan / pengambilan sampel, dilakukan analisis dengan


absorbansi melalui alat spektrovotometer uv-vis. Tahapan yang dilakukan setelah
pengujian disolusi adalah pengukuran absorbansi melalui alat spektrovotometer uv-vis
dipanjang gelombang 2,43 nm. Hasil yang didapat adalah :

Parasetamol generik 1 : Menit ke 5 = 4,000, Menit ke 10 = 4,000, Menit ke 15 =


4,000, Menit ke 20 = 4,000, Menit ke 30 = 4,000. Parasetamol generik 2 :Menit ke 5 =
0,260, Menit ke 10 = 0,588, Menit ke 15 = 1,094, Menit ke 20 = 1,463, Menit ke 30 =
1,625. Dan Parasetamol generik 3 :Menit ke 5 = 0,749, Menit ke 10 = 1,357, Menit ke 15
= 1,678, Menit ke 20 = 1,732, Menit ke 30 = 1,757.

Dari hasil perhitungan terlihat bahwa kadar dari parasetamol dan % nilai disolusi
selalu terjadi kenaikan disetiap menitnya. Pada kadar parasetamol generic 1 nilainya
tetap, yaitu 145,35. Pada parasetamol generic 2 terjadi kenaikan nilai, mulai dari 7,71
sampai 58,05. Begitu juga dengan parasetamol generic 3, terjadi juga kenaikan nilai
mulai dari 25,42 sampai 63,00.
Sedangkan % terdisolusi dari parasetamol juga terjadi kenaikan disetiap menitnya.
Pada % terdisolusi parasetamol generic 1 nilainya yaitu, 29,07 % sampai 29,23 %. Pada
parasetamol generic 2 terjadi kenaikan nilai, mulai dari 1,54 % sampai 11,67 %. Begitu
juga dengan parasetamol generic 3, terjadi juga kenaikan nilai mulai dari 5,08 % sampai
12,67 %.

B. Saran
Dalam praktikum ini hendaknya mahasiswa memahami dan mengikuti praktikum
sampai selesai, karena praktikum ini saling berkaitan satu sama lain. Selain itu para
mahasiswa harus memerhatikan praktikum ini agar dapat memahami bagaimana cara
pemakaian alat yang digunakan dalam praktikum ini. Jika ada hal yang dirasa tidak
dimengerti dalam melakukan praktikum ini bias ditanyakan kepada asisten labor.
BAB VI DAFTAR PUSTAKA

Ditjen POM., (1979), “Farmakope Indonesia”, Edisi III, Departemen Kesehatan RI,
Jakarta.

Ansel.C, Howard. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: UI Press. Hal 118
– 124.

Martin, A., Swarbrick, J., & Cammarata, A. 2008. Farmasi Fisik 2. Universitas Indonesia
Press. Jakarta.

Martin, Alfred et al. 1990. Farmasi Fisik Edisi Ketiga Jilid I. Jakarta : Penerbit
Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai