Anda di halaman 1dari 6

Kebijakan Energi Dalam Rangka Keamanan Energi Nasional 2009-2015

Sektor energi merupakan sektor strategis dan vital dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara. Energi merupakan penggerak bagi seluruh sendi kehidupan manusia modern.

Seluruh negara di dunia berupaya untuk mendapatkan sumber energi, tak jarang melalui

peperangan. Sebegitu vitalnya energi bagi sebuah negara pun membuat mantan Presiden

Jimmy Carter mengeluarkan doktrin yang dikenal sebagai Doktrin Carter pada tahun 1980an.

Doktrin Carter berisi tentang upaya Amerika Serikat (AS) untuk melindungi dan

memastikan stabilitas dan keamanan pasokan minyak dari Timur Tengah menuju AS,

dengan cara apapun. Cara apapun ini jika dijabarkan maka dapat berarti juga dengan cara-

cara militer, jika negosiasi dan diplomasi damai gagal dilakukan. Begitu vitalnya arti energi

bagi sebuah negara bangsa, tercukupinya kebutuhan energi berarti sektor produksi dapat

berjalaan, aktivitas warga negara dapat berjalan normal, stabilitas pembangunan, serta yang

paling penting adalah stabilitas politik dan keamanan sebuah negara.

Kebutuhan energi semakin lama semakin meningkat, negara berusaha untuk

memenuhi kebutuhan energinya melalui eksplorasi dalam negeri maupun mencari sumber-

sumber energi di luar negeri. Energi merupakan kebutuhan, tidak hanya berhenti pada entitas

negara namun juga menjadi kebutuhan personal atau individu. Pasokan dan ketersediaan

energi pun harus dapat menjangkau hingga pada kebutuhan individu.

Kebutuhan energi dunia masih didominasi oleh bahan bakar yang bersumber dari

fosil. Menurut Chandrawati (2007) hingga tahun 2020 tiga komoditas konsumsi energi utama

didominasi oleh minyak, gas alam, dan batubara, diikuti oleh nuklir dan sumber energi

terbarukan lainnya.

Keamanan Energi
Perubahan pemikiran keamanan terjadi secara signifikan pada masa pasca Perang

Dingin. Konsepsi keamanan bergeser dan mengalami proses redefinisi. Kemanan tidak lagi

menjadi domain negara, sifat dari ancaman tidak hanya bersifat militer namun juga ancaman

non militer. Referent object ancaman meluas hingga pada tataran individu. Individu menjadi

aktor rentan terdampak masalah keamanan seperti keamanan politik, ekonomi, hukum,

budaya, dan lainnya.

Menurut United Nations Development Program (UNDP) pada tahun 1994 keamanan

insani mencakup economic security, food security, health security, enviromental security,

personal security, community security, dan political security. Definisi ringkas keamanan

insani menurut UNDP adalah pertama, aman dari ancaman kronis seperti kelaparan,

penyakit, dan tekanan. Kedua, perlindungan dari gangguan tiba-tiba dan penganiayaan pada

kehidupan sehari-hari. Secara umum definisi keamanan insani menurut UNDP adalah bebas

dari ketakutan dan bebas dari ketakutan tidak terpenuhinya kebutuhan sehari-hari. Saat ini

energi merupakan kebutuhan sehari-hari bagi manusia, pemenuhan kebutuhan menjadi

permasalahan ketika suplai terbatas sementara kebutuhan tinggi, serta daya beli masyarakat

yang rendah.

Sementara itu Yergin (2007) memiliki pandangan terhadap situasi energi dunia yang

ia sebut sebagai Sistem Keamanan Energi. Sistem keamanan energi tersebut merupakan

respon terhadap siatuasi krisis minyak dunia yang terjadi pada tahun 1973. Menurut Yergin

ada tiga situasi dasar isu keamanan energi yaitu pertama, peak oil atau situasi ketika produksi

minyak global pada situasi produksi maksimun atau puncak namun situasi tersebut berubah

menjadi penurunan produksi dalam waktu cepat. Situasi tersebut dapat diperparah dengan

tidak adanya ladang minyak baru, yang kemudian secara otomatis akan menaikkan harga

minyak, memicu instabilitas di berbagai sektor, serta ketidakamanan energi.


Kedua, perubahan iklim global. Disebabkan oleh efek rumah kaca akibat menipisnya

lapisan ozon yang dibabkan oleh produksi karbon dioksida. Produksi karbondioksida secara

masif oleh sektor industri dan transportasi yang tidak ramah terhadap lingkungan. Konsumsi

energi dunia telah memberikan efek negatif terhadap lingkungan, begitu juga ketika pola

konsumsi tersebut dirubah.

Ketiga, faktor Timur Tengah. 60 persen cadangan minyak dunia berada di Timur

Tengah. Sementara Kawasan Timur Tengah merupakan kawasan yang paling bergejolak di

dunia. Konflik bisa terjadi kapan saja di wilayah produksi. Instabilitas situasi tersebut

berdampak pada stabilitas produksi dan akan sangat berdampak pada keamanan energi dunia.

Ketiga faktor di atas menjadi instrumen kuat dalam stabilitas ketersediaan energi

khususnya minyak di dunia. Terdapat satu faktor lain yang penulis sisipkan yaitu faktor

keamanan pelayaran. Distribusi minyak dunia dari wilayah produksi menuju wilayah

pengolahan dan konsumsi dilakukan melalui jalur laut. Jalur laut dipilih karena faktor

efektifitas dan efisiensi. Dewasa ini beberapa wilayah laut yang menjadi choke points

pelayaran dunia seperti Teluk Aden yang merupakan jalur keluar masuk rute Terusan Suez –

Laut Merah – Samudera Hindia atau sebaliknya dan wilayah Selat Malaka merupaka wilayah

terorisme laut terbesar di dunia. Ancaman perompakan menjadi ancaman terbesar dalam

distribusi sektor energi. Selain ancaman perompakan, konflik perebutan wilayah laut seperti

di wilayah Laut Tiongkok Selatan atau wilayah laut yang sarat konflik seperti Teluk Arab dan

Selat Hormuz juga menjadi faktor ketidakamanan distribusi energi.

Keamanan Energi Indonesia

Indonesia dikenal sebagai wilayah penghasil energi di dunia. Pada saat terjadi

booming harga minyak dunia tahun 1973 dari 2,9 US Dollar menjadi 11,65 US Dollar akibat

negara-negara Arab membatasi produksi minyak mereka untuk Barat, Indonesia mendapatkan
keuntungan besar. Indonesia mendapatkan keuntungan besar saat itu dan menjadi penggerak

pembangunan era Orde Baru, karena saat itu Indonesia merupakan produsen minyak besar di

luar Timur Tengah. Cadangan minyak Indonesia saat itu masih melimpah. Situasi berbalik

saat ini, dari berbagai laporan studi menyatakan bahwa cadangan minyak kita tidak akan

bertahan lebih dari 25 tahun.

Indonesia pada tahun 2014 mengimpor minyak sebesar 24 juta kiloliter atau separuh

dari jumlah total konsumsi BBM tahun 2014. Konsekuensi sebagai negara pengimpor minyak

menjadikan Indonesia bukan lagi sebagai anggota OPEC (Organization of the Petroleum

Exporting Countries) sejak tahun 2008. Alarm krisis energi di masa depan bagi Indonesia

telah meraung, perlu upaya khusus, cepat, dan bekelanjutan untuk menanggulangi ancaman

tersebut. Setidaknya oleh dua pemerintahan terakhir yaitu Susilo Bambang Yudhoyono dan

Joko Widodo telah dimulai upaya peralihan mindset nasional sumber energi.

Pemerintahan baru Presiden Joko Widodo dalam visi dan misinya mencanangkan

program kedaulatan energi. Dari visi misi tersebut dapat ditarik tiga strategi utama yaitu,

Pertama, diversifikasi energi nasional melalui perubahan konsumsi energi bagi industri dan

rumah tangga dari minyak menuju batu bara dan gas.

Kedua, pengurangan impor energi minyak dan meningkatkan eksplorasi serta eksploitasi

minyak di dalam dan luar negeri.

Ketiga, pengembangan energi terbarukan.

Pada strategi pertama selain melakukan diversifikasi energi, juga harus dilakukan

ekplorasi sumber minyak baru di dalam negeri dan luar negeri serta memastikan terjaminnya

pasokan impor minyak yang stabil. Impor minyak harus tetap dilakukan namun kuantitasnya

harus diturunkan dari tahun ke tahun dan dibarengi dengan proses diversifikasi yang stabil

dan kontinyu sehingga di masa mendatang minyak bukanlah komoditas utama energi di
Indonesia. Harus digaris bawahi bahwa pun proses diversifikasi merupakan strategi yang

temporer mengingat cadangan batu bara dan gas alam Indonesia yang terbatas. Pada strategi

ini ekploitasi juga merupakan fase vital, eksploitasi sumber energi di Indonesia harus secara

bertahap dijalankan oleh aktor dalam negeri baik BUMN maupun swasta. Jika diperlukan

untuk melakukan kebijakan moratorium pemberian konsesi eksploitasi energi bagi asing

Khusus untuk upaya eksplorasi di luar negeri dapat dilakukan melalui saluran diplomasi

ataupun dalam kerangka investasi di negara lain.

Program energi terbarukan tidak boleh hanya sebatas slogan dalam kebijakan

pemerintah. Program energi terbarukan seperti bahan bakar nabati, tenaga surya, tenaga

angin, maupun nuklir harus sudah dijalankan, minimal pada fase pengembangan advance.

Strategi di atas harus diikuti edukasi pada masyarakat. Pendidikan merupakan sarana

yang ampuh untuk merubah pola pikir masyarakat. Pola pikir lama yang menyatakan bahwa

sumber energi utama adalah minyak harus diubah. Masyarakat harus paham pada situasi

energi terkini, sehingga ketika program diversifikasi dilakukan tidak menjadikan masyarakat

resisten. Edukasi tidak terbatas hanya pada diversifikasi energi menuju batu bara dan gas

bumi, namun juga edukasi untuk memberikan pemahaman mengenai energi terbarukan yang

kemudian diikuti dengan kebijakan energi terbarukan nasional.

Permasalahan energi di Indonesia tidak hanya pada hal-hal yang bersifat teknis,

namun juga pada hal-hal yang sifatnya non teknis. Seperti permasalahan mafia BBM dan

sektor energi lainnya, juga permasalahan korupsi di sektor hulu maupun hilir. Kebijakan

energi pemerintahan Joko Widodo haruslah holistik, tidak hanya menyangkut hal-hal teknis

namun juga hal non teknis. Harus ada political will yang kuat dari pemerintah serta bebas dari

kepentingan aktor tertentu untuk mengawal proses kebijakan tersebut.


Paradigma keamanan modern sekali lagi menekankan bahwa untuk bebas dari

ancaman, bebas dari rasa takut, dan terpenuhi kebutuhan pokoknya adalah inti dari keamanan

insani. Negara bertanggungjawab untuk menghadirkan rasa aman tersebut kepada setiap

warga negara tanpa terkecuali.

Anda mungkin juga menyukai