Anda di halaman 1dari 4

Pengaruh Islam Terhadap Budaya Sunda; Beberapa Catatan Perbandingan

dan Pencerahan
Posted on Jumaah, 11 Januari 2008 by Ki Santri
Oleh H. WAHYU WIBISANA
SEMINAR Pengaruh Islam terhadap Budaya Jawa diselenggarakan pada 31 Oktober 2000 di
Jakarta. Presiden Abdurrahman Wahid pada kata sambutannya, secara selintas, mengatakan
bahwa seminar ini perlu juga didengar oleh orang Sunda. Beliau pun memberi tahu para peserta
seminar bahwa PB Paguyuban Pasundan sengaja diundangnya untuk tujuan itu.
Ucapan presiden tersebut dapat ditafsirkan macam-macam. Pertama, pengaruh Islam tidak
hanya terdapat dalam budaya Jawa, namun juga jelas terlihat pada budaya Sunda; dan karena
itu, bila pada seminar ternyata lebih banyak membicarakan partisipasi Jawa, dipandang perlu
untuk melengkapinya dengan bahasan-bahasan yang berisi pengaruh Islam terhadap budaya
Sunda, mengingat kedua etnis itu berada dalam satu pulau akan tetapi masing-masing
mempunyai kebuyaannya sendiri. Kedua, mungkin sebaliknya dari yang pertama adalah
anggapan bahwa dengan mencermati isi makalah-makalah pada seminar itu akan makin jelas
bagaimana pengaruh Islam itu terhadap budaya Sunda, karena Jawa dan Sunda itu sudah
berhubungan dalam tempo yang amat panjang dan menunjukkan pula bagaimana besar
pengaruh budaya Jawa terhadap budaya Sunda. Saya sendiri lebih cenderung menafsirkan
seperti yang dikemukakan pada kemungkinan pertama, walaupun tidak menafikan kenyataan
seperti yang dikemukakan pada kemungkinan kedua.
Pengaruh bahasa dan budaya Jawa terhadap bahasa dan budaya Sunda memang amat besar,
sehingga Ayatrohaedi (1988) mempunyai dugaan bahwa bahasa Jawa Kuno di Tatar Sunda
dahulu banyak digunakan untuk membahas hal-hal yang berhubungan dengan agama
(Hindu/Budha). Bahkan menurut Krom (1931), dalam aspek kultural Sunda itu mencontoh
Jawa, walaupun kerajaan-kerajaan di Tatar Sunda dahulu mempunyai kedaulatan penuh. Kedua
pendapat itu benar, karena disertai banyak bukti tertulis sebagai hasil penelitian diakronis.
Akan tetapi, bila kenyataannya sekarang jelas mempunyai budaya tersendiri yang berbeda
dengan budaya Jawa, maka dapatlah disimpulkan bahwa ternyata etnis Sunda itu dapat
mempertahankan eksistensi budayanya betapapun pengaruh dari luar amat besar dan kuat. Hal
ini ada hubungannya dengan unsur-unsur budaya yang bersifat stabil dan lokal genius yang
dapat ditunjukkan secara sinkronis horisontal serta akan lebih baik lagi bila didukung oleh
penelitian dengan pendekatan historis vertikal.
Saya kira, bila kita bermaksud mengadakan seminar yang membahas pengaruh Islam terhadap
budaya Sunda, selain memperhatikan apa-apa yang telah dikemukakan pada Seminar Pengaruh
Islam terhadap Budaya Jawa, kita pun harus mengidentifikasi kekhasan-kekhasan yang
terdapat dalam budaya Sunda dengan, antara lain, memperhatikan segala sesuatunya yang ada
dan terjadi di Tatar Sunda. Dalam hal ini kita pun harus membatasi masalah yang diawali
dengan pendefinisian budaya atau kebudayaan seperti yang telah dikemukakan Zoetmulder
pada Historiografi Indonesia (1955:288):
Manusia, yang hidup di dalam alam serta merupakan bagiannya, sejak lahir sampai mati
berusaha mengungkapkan bentuk kehidupannya. Bersama dengan sesamanya yang tergabung
dalam kesatuan masyarakat yang lebih luas. Dalam proses memberi dan menerima, mereka
membentuk cara hidup yang menjadi sifat masyarakat tersebut. Cara hidup demikian inilah
yang kita sebut kebudayaan.
Cara hidup orang Sunda, yang telah menerima Islam sebagai agamanya, tentu saja berbeda
dengan cara hidup orang Sunda dahulu yang, antara lain, mengacu kepada isi naskah Siksa
kandang Karesian (1518), sebuah naskah yang (menurut berita yang sampai kepada saya) telah
ditelaah oleh para mahasiswa IAIN Sunan Gunung Djati, untuk mengetahui adeg-adeg orang
Sunda dahulu. Cara hidup yang bersendikan ajaran atau akidah sebuah agama dapat diobservasi
dan ditelusuri proses kesejarahnnya yang pada akhirnya sampai pada kesimpulan seperti
dikemukakan Christoper Dawson (1948) yang dicuplik Zoetmulder (1955:289):
Agama adalah kunci sejarah. Kita tidak dapat memahami bentuk dalam suatu masyarakat jika
kita tidak memahami agama(nya)… Dalam semua zaman, hasil karya kreatif pertama dari suatu
kebudayaan muncul dari inspirasi agama dan diabadikan pada tujuan-tujuan keagamaan.
Pengaruh agama Islam terhadap budaya Jawa telah banyak ditelaah, antara lain oleh beberapa
pemakalah pada Seminar di Jakarta 31 Oktober 2000 yang beberapa di antaranya sejalan
dengan pendapat Dawson tersebut. Di bawah ini saya berusaha memaparkan hasil penyerapan
saya terhadap beberapa makalah pada seminar tadi, akan tetapi bukan berupa ringkasan
melainkan berupa catatan tentang perbedaan atau variabel dalam budaya Jawa dan Sunda
dalam hal menerima pengaruh Islam.
Catatan Pertama
HASIL penelitian Clifford Geertz (1960), yang menunjukkan adanya lapisan sosial masyarakat
Jawa, tampaknya masih menjadi perhatian beberapa pemakalah pada Seminar Sehari Pengaruh
Islam terhadap Budaya Jawa. Dipertanyakan kapan munculnya istilah abangan, karena pada
awal abad ke-19 istilah itu tidak ada. Istilah itu ada saat itu adalah kaum dan santri. Istilah
abangan dan putihan baru muncul pada pertengahan abad ke-19 yang diumumkan oleh para
pengamat sosial bangsa Belanda.
Keterangan di atas dapat dibandingkan dengan struktur sosial di Tatar Sunda. Setidaknya
sampai dengan awal ke-20, di masyarakat kota ada yang disebut dengan menak (bangsawan
atau priyayi menurut istilah Clifford Geertz), urang kaum (lingkungan mesjid), dan urang pasar
(para pedagang atau saudagar), di samping sonah (rakyat kebanyakan). Sementara itu di setiap
pesantren terdapat ajengan (kyai) dan santri, sama seperti di Jawa.
Urang kaum di tingkat ibu kota kabupaten dipimpin oleh penghulu besar atau penghulu, di
tingkat kewedanaan dan kecamatan oleh naib, sedangkan di tingkat desa oleh lebe. Tampaknya
urang kaum di tingkat kabupaten itu mempunyai hubungan baik dengan para ajengan, seperti
Penghulu Besar Hasan Mustapa (1900) dengan Kyai Kurdi di Singaparna dan Ajengan
Bangkonol di daerah Bandung.
Catatan Kedua
PERANAN kepala pemerintahan dalam kehidupan dan perkembangan agama Islam di Jawa
jelas-jelas tercatat dalam sejarah, seperti peranan Sultan Agung yang beralih orientasi kepada
pemuka-pemuka Islam. Pada tahun 1633 Sultan Agung berziarah ke makam Sunan Bayat di
Tembayat dan pada tahun itu pula kelender Jawa disesuaikan dengan kalender tahun Hijriyah.
Catatan serupa itu ada pula di Tatar Sunda seperti peranan Sunan Gunung Djati yang telah
diuraikan oleh P.S. Sulendraningrat dalam buku Babad Tanah Sunda, Babad Cirebon (tanpa
Tahun). Peranan dan pengaruh Sunan Gunung Djati ini terekam pula dalam beberapa cerita
rakyat di wilayah Cirebon, sama seperti peranan Sultan Hasanuddin di Provinsi Banten.
Agaknya peranan pangagung lainnya setelah itu belum banyak dibahas dan diteliti seperti
Pangeran santri di Sumedang atau Dalem Haji (R.A.A. Wiranatakusumah V) di Bandung.
Memang, menurut sejarah yang dipercayai sampai saat ini, orang Sunda menerima Islam lebih
kemudian daripada orang Jawa, yakni setelah Cirebon dan Banten mendapat pengaruh dari
Demak. Setelah itu, kecuali Cirebon dan banten, di derah lainnya di Tatar Sunda tidak terdapat
pangagung-pangagung yang dapat dibandingkan dengan sultan-sultan di Jawa, karena
semuanya hanya setingkat bupati. Bahkan adakalanya hubungan menak dengan urang kaum
kurang akrab, walaupun nama Kanjeng Dalem selalu di sebut pada khutbah Jum’at di mesjid
agung sampai akhir masa penjajahan Belanda (1942). Bila memang demikian, tokoh-tokoh
berpengaruh lainnya dapat dikedepankan seperti Syeikh Qura di Karawang (abad ke-15), Arif
Muhammad di Cangkuang Garut (abad ?), dsb. Sehingga peranannya dapat diungkapkan
seperti Syeikh Abdul Muhyi di Tasikmalaya (abad ke-17), dan Syeikh Nawawi di Banten (abad
ke-19).
Catatan Ketiga
BERBAGAI kepercayaan orang Jawa yang terungkap dalam upacara adat dikemukakan pada
beberapa makalah. Hal ini sama dengan yang ada di masyarakat Sunda masa lalu seperti
dikemukakan oleh Hasan Mustapa pada buku Bab Adat Oerang Priangan djeung Oerang
Soenda Lian ti Eta (1913). Demikian pula cerita wayang yang berasal dari India dan
mengandung ajaran agama Hindu, berkat usaha para wali telah diberi nuansa Islami sehingga
dapat diterima oleh masyarakat yang beragama Islam (Lihat K.H. Saifuddin Zuhri dalam
Guruku Orang-Orang dari Pesantren, 1977).
Agaknya, penjelasan-penjelasan dari beberapa makalah mengenai kedua hal itu yang pada
dasarnya menggambarkan adanya garis kelanjutan dari zaman pra-Islam masih tampak sampai
saat ini, baik di Jawa maupun di Sunda. Adapun yang harus ditelaah dan sekaligus dijadikan
ancar-ancar adalah batas toleransi, bila kenyataan itu dihubungkan dengan syari’at Islam dalam
budaya Sunda masa lalu dan dewasa ini.
Garis kelanjutan masa lalu tidak menunjuk pada suatu titik yang terpusat pada tokoh-tokoh raja
pra-Islam yang masih hidup dalam kenangan orang Jawa, seperti Hayam Wuruk. Mungkin
karena raja ini tidak ada hubungannya dengan Islam, sehingga tidak diungkapkan pada semua
makalah. Lain halnya dengan orang Sunda yang selalu mengenang kebesaran Kerajaan
Pajajaran dengan rajanya (menurut tuturan cerita pantun) Prabu Siliwangi. Dalam hubungan
dengan Islam, raja ini telah diceritarakyatkan menjadi dua versi, yakni versi kaleran (termasuk
Cirebon) dan versi Priangan.
Pada versi kaleran, Prabu Siliwangi itu akhirnya Prabu Siliwangi itu akhirnya menganut agama
Islam, karena mempersunting santri peremuan yang dididik oleh Syeikh Quro, bernama Nyi
Subanglarang. Dari pernikahannya ini lahir Pangeran Walangsungsang dan Nyi Rara Santang
yang kedua-duanya berhubungan dengan sejarah Cirebon (diceritakan bahwa Syarif
Hidayatullah itu putera Rara Santang dari pernikahannya dengan seorang bangsawan Mesir).
Versi ini menggambarkan keberterimaan Prabu Siliwangi terhadap Islam.
Berbeda dengan versi Priangan yang menggambarkan ketidakberterimaan Prabu Siliwangi
terhadap Islam seperti terungkap dalam cerita, Kian Santang mengejar dan memaksa Prabu
Siliwangi agar mau menganut agama Islam, Ketidakberterimaan sebagian masyarakat Sunda
terhadap Islam yang dilambangkan dengan tokoh Siliwangi menurut versi ini agaknya sejalan
dengan adanya umpatan pejajaran di Jakarta dan anjing galuh di Priangan (minus Ciamis).
Lepas dari kedua versi tersebut, nama Siliwangi tetap hidup dalam sanubari orang Sunda
seperti tersirat pada seni sastra dan seni karawitan Sunda. Hal ini menjadi menarik bila
dihubungkan dengan pendapat yang menyatakan bahwa junjunan orang Sunda sampai saat ini
sebenarnya ada dua, yakni Nabi Muhammad (bila mereka menempatkan diri sebagai umat
Islam) dan Prabu Siliwangi (bila mereka sedang menyadari kesundaannya). Akan lebih
menarik lagi bila hal itu dihubungkan pula dengan anggapan yang menyatakan bahwa Sunda
itu identik dengan Islam, karena sampai saat ini dirasakan janggal bila asa orang Sunda yang
tidak beragama Islam.
Catatan Keempat
PADA beberapa makalah digambarkan bahwa keberterimaan orang Jawa terhadap agama
Islam lebih meningkat manakala disertai unsur sufinya. Digambarkan bahwa budaya kejawen
yang berpusat di keraton-keraton amat berkesuaian dengan Islam sufi. Kemudian dikemukakan
tokoh-tokoh tasawuf yang amat berperan dalam mengembangkan budaya Jawa, seperti Sunan
Kalijaga dengan konsep pancamaya atau sangkan paran dumadi dan ilmu kesempurnaan atau
insan kamil yang bermuara pada konsep ajaran munggaling kawula gusti.
Sufisme atau tasawuf seperti itu banyak mempengaruhi alam pikiran orang Jawa dan
melahirkan banyak karya sastra seperti Sastra Gending (Sultan Agung), Wulangreh (Paku
Buwono IV), dan Wirid Djati (Rangga Warista). Salah seorang tokoh yang juga ditonjolkan
pada makalah ini Abdul Muhyi Pamijahan dengan ajaran yang disebut Martabat Alam Tujuh.
Yang menarik adalah kesimpulan yang menyatakan bahwa karya-karya sastra dalam
kepustakaan Islam kejawen tersebut sejalan dengan tradisi Jawa dengan unsur keIslaman.
Sebutan “Islam Kejawen” yang jelas-jelas menunjuk nama agama (Islam) ternyata masuk juga
ke dalam budaya Sunda. Agama Jawa Sunda yang diumumkan oleh Madrais (1925) atau
Paham Perjalanan dalam Agama Kuring yang dikembangkan oleh Mei Kartawinata (1935)
patut diduga sedikit banyak berbandingan dengan lahirnya Kejawen. Hal ini perlu diteliti lebih
lanjut untuk mendapat kejelasan dalam rangka melengkapi keterangan tentang pengaruh Islam
(melalui Islam yang telah dijawakan) ke dalam budaya (sekali lagi: budaya) Sunda.
Catatan Kelima
AGAMA Hindu amat berpengaruh terhadap kebudayaan Jawa. Berbeda dengan di Sunda,
karena naskah Siksa Kandang Karesian atau naskah-naskah Sunda Kuno lain tidak secara
keseluruhan berisi ajaran Hinduisme. Ada paparan pada sebuah makalah yang menjelaskan
bahwa Hinduisme mengakar dalam budaya Jawa sehingga pada gilirannya menjadi penyangga
kebudayaan priyayi kejawen. Sementara itu, Hinduisme hanya menyentuh sedikit saja pada
budaya petani pedesaan, karena pihak ini amat dipengaruhi oleh budaya animisme dan
dinamisme.
Kita dapat saja memperkirakan bahwa keadaan seperti itu terjadi pula di Sunda, terutama yang
menyangkut budaya petani pedesaan. Adapula yang menyangkut budaya priyayi, mungkin kita
dapat mengajukan hipotesis bahwa budaya priyayi Sunda bukan dibentuk langsung oleh
Hinduisme, melainkan merupakan “cangkokan” dari priyayi Jawa. Diperkirakan hal ini terjadi
pada masa pengaruh Mataram di Priangan yang berlangsung pada abad ke-17 dan berlanjut
sampai dengan pertengahan abad ke-19.
Perhatian dan kegemaran para menak Sunda pada kesenian substil yang lazim di Jawa disebut
“seni keraton”, dalam bentuk lain terdapat juga di Sunda, seperti tembang Sunda lagam
Cianjuran yang dikembangkan oleh R.A.A. Kusumaningrat, Bupati Cianjur (1834-1862). Hal
ini tidak berkaitan dengan keagamaan, melainkan berhubungan dengan bagian akhir pada
catatan ketiga. Walaupun demikian, dapat pula dihubungkan dengan budaya Islam bila kita
menerima anggapan sementara orang yang menyatakan bahwa teknik vokal tembang Sunda
Cianjuran itu ada hubungannya dengan teknik vokal dalam pelantunan ayat suci al-Qur’an.
Wallahu a’lam bishshawab.***
Sumber: Makalah pada Forum Diskusi Reguler Dosen Fakultas Adab, IAIN Sunan Gunung
Djati Bandung, 01 Pebruari 2001.

Anda mungkin juga menyukai