Anda di halaman 1dari 37

Clinical Science Session

MANAJEMEN EKSASERBASI PENYAKIT ASMA BERDASARKAN


GINA 2019 DAN PPOK BERDASARKAN GOLD 2019

Oleh:

Yudha Risman 1840312733

Fadel Muhammad 1840312697

Preseptor:

dr. Sabrina Ermayanti, Sp.P (K), FISR, FAPSR

dr. Fenty Anggrainy, Sp.P, FAPSR

BAGIAN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

2019
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Asma adalah penyakit heterogen yang biasanya ditandai dengan
peradangan kronis jalan napas. Hal ini didefinisikan dengan adanya riwayat gejala
pernapasan seperti mengi, sesak napas, dada terasa seperti terhimpit dan batuk
yang bervariasi dari waktu ke waktu dan intensitasnya, serta variasi terhadap
keterbatasan aliran udara ekspirasi.1
Asma merupakan masalah kesehatan global yang serius yang
mempengaruhi seluruh kelompok usia. Prevalensi asma meningkat di berbagai
negara, khususnya pada kelompok usia anak-anak. Sebenarnya pada berbagai
negara telah mengalami penurunan kematian akibat asma dan rawat inap rumah
sakit untuk asma. Namun, asma masih menjadi beban untuk sistem kesehatan,
hilangnya produktivitas dalam sosial pekerjaan serta menganggu keluarga.1
Pada tahun 1993, kerja sama antara National Heart, Lung, and Blood
Institute dan World Health Organization menghasilkan Global Intiative For
Asthma (GINA). Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesadaran akan asma dan
meningkatkan pencegahan dan pengelolahan asma melalui upaya bersama oleh
semua orang yang terlibat di semua layanan dan kebijakan kesehatan untuk
mengurangi prevalensi, morbiditas dan mortalitas asma.1
Eksaserbasi asma merupakan episode yang ditandai dengan peningkatan
progresif gejala sesak napas, batuk, mengi atau rasa berat di dada dan penurunan
progresif fungsi paru, seperti adanya perubahan status pasien dari kondisi biasa
yang membutuhkan perubahan pada terapi. Eksaserbasi dapat terjadi pada pasien
yang sebelumnya telah didiagnosis asma atau kadang sebagai presentasi awal
asma. Eksaserbasi biasanya terjadi sebagai respon terhadap paparan agen tertentu.
Kejadian asma eksaserbasi merupakan salah satu faktor penting dalam
peningkatan angka morbiditas dan mortalitas pasien asma.1
PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik) merupakan penyakit yang
common, preventable dan treatable yang ditandai dengan gejala respirasi yang
persisten dan keterbatasan aliran udara yang disebabkan oleh kelainan jalan napas

2
dan/ atau alveolar yang disebabkan oleh paparan partikel/ gas beracun yang
signifikan.2
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) saat ini merupakan penyebab
utama kematian ke-4 di dunia namun diproyeksikan menjadi penyebab utama
kematian ke-3 pada tahun 2020. Lebih dari 3 juta orang meninggal karena PPOK
pada tahun 2012 yang menyumbang 6% dari semua kematian di seluruh dunia.
PPOK adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas kronis di seluruh dunia;
Banyak orang menderita penyakit ini selama bertahun-tahun, dan meninggal
akibat dari penyakit itu sendiri ataupun akibat komplikasinya. Secara global,
beban PPOK diperkirakan meningkat dalam beberapa dekade yang akan datang
karena terus terpaparnya faktor risiko PPOK dan penuaan di populasi.2
Pada tahun 1998, dengan kerjasama National Heart, Lung, and Blood
Institute, National Institutes of Health dan World Health Organization, Global
Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) diterapkan. Tujuannya
adalah untuk meningkatkan kesadaran akan PPOK dan untuk meningkatkan
pencegahan dan pengelolaan PPOK melalui upaya bersama oleh semua orang
yang terlibat di semua layanan dan kebijakan kesehatan. Pada PPOK dapat terjadi
eksaserbasi yang dicetuskan oleh beberapa faktor. PPOK eksaserbasi adalah
kejadian penting dalam pengelolaan PPOK karena berdampak negatif pada status
kesehatan, tingkat rawat inap dan penerimaan kembali, dan perkembangan
penyakit.2
Asma eksaserbasi dan PPOK eksaserbasi merupakan faktor penting dalam
peningkatan mortalitas dan morbiditas terhadap penderitanya. Oleh karena itu,
diperlukan manajemen yang tepat dalam menangani eksaserbasi untuk
mengurangi mortalitas dan mobiditas pada pasien asma dan PPOK. Dengan hal
ini, dapat dibandingkan perbedaan dalam penatalaksaan eksaserbasi pada asma
dan PPOK.
1.2 Tujuan Penulisan
Penulisan clinical scientific session ini bertujuan untuk memahami serta
menambah pengetahuan tentang manajemen Asma dan memahami tatalaksana
eksaserbasi Asma dan PPOK.

3
1.3 Batasan Masalah
Dalam clinical scientific session ini akan dibahas mengenai manajemen
asma dan PPOK khususnya penatalaksanaan di layanan primer.
1.4 Metode Penulisan
Penulisan clinical scientific session ini menggunakan metode tinjauan
pustaka dengan mengacu pada GINA 2019 dan GOLD 2019.

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Manajemen Asma Eksaserbasi


2.1.1 Definisi Asma Eksaserbasi
Eksaserbasi asma adalah sebuah episode yang ditandai dengan
peningkatan progresif gejala sesak napas, batuk, mengi, dada terasa seperti
terhimpit dan penurunan progresif fungsi paru. Eksaserbasi ini bisa terjadi pada
pasien yang sebelumnya sudah didiagnosis asma, pernah eksaserbasi sebelumnya
atau pasien yang pertama kali asma. Eksaserbasi ini biasanya terjadi karena ada
paparan dengan agen eksternal seperti infeksi virus saluran pernapasan atas,
serbuk sari bunga, polusi, alergi makanan dan perubahan cuaca serta. Eksaserbasi
ini juga bisa terjadi akibat ketidakpatuhan dalam kontrol pengobatan asma
(dengan munculan bisa lebih akut dan tanpa pajanan faktor resiko). Eksaserbasi
berat dapat terjadi pada pasien dengan asma terkontrol atau terkontrol ringan.1
Terminologi Eksaserbasi
Kata ‘eksaserbasi’ sering digunakan dalam literatur klinis dan ilmiah,
sedangkan studi rumah sakit lebih sering menggunakan ‘asma akut berat’. Namun,
kata eksaserbasi tidak cocok digunakan dalam praktik klinis karena sulit diingat
dan diucapkan oleh pasien. Kata ‘flare-up’ lebih sederhana dan menggambarkan
bahwa asma tetap ada meskipun tidak ada gejala. Kata ‘attack’ sering digunakan
oleh pasien dan tenaga kesehatan tetapi memiliki definisi yang luas, dan tidak
termasuk perburukan bertahap. Dalam literatur pediatrik, kata ‘episode’ sering
digunakan, tetapi pemahaman pasien dan tenaga kesehatan mengenai kata ini
tidak diketahui.1
Identifikasi Pasien dengan Risiko Kematian terkait Asma
Ada beberapa faktor risiko pada pasien eksaserbasi yang rentan untuk
terjadinya kematian (asthma related death). Adanya satu atau lebih faktor risiko
harus segera diidentifikasi pada catatan medis pasien dan harus segera ditangani
saat terjadi eksaserbasi.

5
Berikut faktor risiko kematian terkait asma:
 Riwayat asma hampir fatal yang membutuhkan intubasi dan ventilasi
mekanik
 Hospitalisasi atau kunjungan IGD karena asma dalam 1 tahun terakhir
 Sedang atau baru berhenti mengonsumsi kortikosteroid oral (sabagai
penanda severitas)
 Tidak sedang menggunakan kortikosteroid inhalasi
 Penggunaan SABA berlebihan, khususnya penggunaan lebih dari satu
kanister salbutamol (atau obat yang setara) setiap bulan
 Riwayat penyakit psikiatri atau masalah psikososial.
 Ketidakpatuhan terhadap pengobatan asma dan/atau ketidakpatuhan
terhadap asthma action plan yang sudah tertulis.
 Alergi makanan pada pasien asma.

2.1.2 Diagnosis Eksaserbasi


Eksaserbasi menandakan adanya perubahan gejala dan fungsi paru dari
status biasa pasien. Penurunan aliran ekspirasi dapat diukur dengan pengukuran
fungsi paru seperti arus puncak ekspirasi (APE) atau volume ekspirasi paksa 1
detik (VEP1), dibandingkan dengan fungsi paru pasien sebelumnya atau nilai
prediksi. Dalam kondisi akut, pengukuran ini merupakan indikator keparahan
eksaserbasi yang lebih dapat dipercaya daripada gejala. Frekuensi gejala dapat
menjadi pengukuran onset eksaserbasi yang lebih sensitif daripada APE.1
Sebagian kecil pasien dapat mengalami gejala yang buruk dan penurunan
fungsi paru yang signifikan tanpa perubahan jelas pada gejala. Keadaan ini
biasanya lebih sering terjadi pada pasien yang pernah mengalami asma yang fatal
(near-fatal asthma) dan biasanya sering terjadi pada laki-laki.
Eksaserbasi berat dapat mengancam nyawa dan penatalaksanaannya
membutuhkan penilaian yang hati-hati dan pemantauan yang ketat. Pasien
eksaserbasi berat disarankan segera menemui tenaga kesehatan atau layanan
kesehatan terdekat supaya dapat segera ditatalaksana oleh fasilitas kesehatan
dengan akses emergensi untuk pasien asma akut.

6
2.1.3 Manajemen Mandiri Eksaserbasi dengan Menulis Asthma Action Plan
Semua pasien asma harus diberikan edukasi manajemen mandiri terpandu,
termasuk pemantauan gejala dan/atau fungsi paru, rencana Asthma Action Plan,
dan kontrol teratur ke tenaga kesehatan.
Pilihan Terapi untuk Asthma Action Plan
Asthma Action Plan membantu pasien mengenali dan menanggapi dengan
tepat perburukan asma. Asthma Action Plan ini harus berisikan instruksi spesifik
untuk pasien mengenai perubahan obat reliever menjadi controller, cara
menggunakan kortikosteroid oral jika dibutuhkan, kapan, dan bagaimana akses
terhadap pelayanan kesehatan.
Kriteria untuk memulai peningkatan obat controller akan bervariasi antara
satu pasien dengan pasien lain. Pada pasien perawatan konvensional dengan terapi
ICS (Inhalation Corticostreoid), peningkatan terapi dilakukan bila ada perubahan
klinis yang berarti dari level kontrol asma pasien biasanya, sebagai contoh, bila
gejala asma mengganggu aktivitas normal harian, atau terjadi penurunan APE
>20% selama >2 hari.
 Inhaled reliever medication (Kombinasi ICS dosis rendah-formoterol)
 Kombinasi ICS dosis rendah (budesonide atau beklametason) dengan
LABA onset cepat (formoterol)
 Kombinasi lain ICS dan ICS-LABA controller
 Antagonis Reseptor Leukotrien
 Kortikosteroid Oral

Evaluasi Respon
Pasien harus segera menemui dokter atau pergi ke layanan emergensi
ketika asma terus memburuk meskipun telah mengikuti rencana aksi asma tertulis
atau ketika asma mengalami perburukan secara mendadak.

Follow Up setelah penanganan mandiri eksaserbasi


Setelah penatalaksanaan mandiri eksaserbasi, pasien harus mengunjungi
layanan kesehatan primer untuk kontrol semi-urgent (dalam 1-2 minggu), untuk
penilaian kontrol gejala dan faktor risiko eksaserbasi tambahan, serta identifikasi
penyebab potensial eksaserbasi. Rencana aksi asma tertulis harus ditinjau ulang

7
untuk melihat kesesuaian dengan kebutuhan pasien. Terapi controller harian dapat
dilanjutkan pada level sebelumnya 2-4 minggu setelah eksaserbasi, kecuali
eksaserbasi terjadi akibat asma tidak terkontrol lama. Dalam situasi tersebut,
teknik inhaler dan kepatuhan berobat harus terus dicek serta dianjurkan
peningkatan satu langkah terapi.

8
2.1.4 Tatalaksana Asma Eksaserbasi di Layanan Primer
Penilaian Severitas Eksaserbasi
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang relevan harus dilakukan bersamaan
dengan terapi awal yang cepat. Bila pasien menunjukkan tanda eksaserbasi berat
dan mengancam nyawa, terapi dengan SABA, oksigen terkontrol dan
kortikosteroid sistemik harus segera dimulai sementara mempersiapkan
transportasi pasien ke layanan gawat darurat dimana monitor dan tenaga ahli lebih
lengkap dan tersedia. Eksaserbasi ringan dapat ditatalaksana pada layanan primer
sesuai sumber daya dan tenaga ahli.
Anamnesis
Anamnesis harus mencakup:
 Waktu onset dan penyebab eksaserbasi (jika diketahui).
 Gejala asma berat, termasuk keterbatasan latihan atau gangguan tidur
 Gejala anafilaksis
 Faktor risiko kematian terkait asma (asthma related death)
 Semua obat reliever dan contoller, termasuk dosis dan penulisan
resep, pola kepatuhan, perubahan dosis, dan respon terhadap terapi.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus menilai:
 Tanda eksaserbasi berat dan tanda vital, (contoh: tingkat kesadaran,
suhu, frekuensi nadi, frekuensi napas, tekanan darah, kemampuan
dalam melengkapi kalimat, penggunaan otot-otot aksesoris)
 Faktor-faktor yang mempersulit (contoh: anafilaksis, pneumonia,
atelektasis, pneumotoraks)
 Tanda-tanda dari kondisi alternatif yang dapat menjelaskan sesak
napas akut (contoh: gagal jantung, disfungsi saluran napas atas,
terhisap benda asing, atau emboli paru).
Pengukuran Objektif
 Pulse oximetry. Saturasi <90% pada anak atau dewasa menandakan
kebutuhan terapi agresif.
 PEF pada pasien usia >5 tahun.

9
Tatalaksana Eksaserbasi di Layanan Primer
Terapi inisial utama adalah inhalasi berulang bronkodilator kerja singkat,
kortikosteroid sistemik, dan suplementasi oksigen terkontrol. Tujuan pengobatan
yaitu meringankan obstruksi saluran napas dan hipoksemia secara cepat,
mengetahui patofisiologi inflamasi penyebab dan mencegah relaps.
 SABA (short-acting beta2-agonists) Inhalasi
Untuk eksaserbasi ringan-sedang:
1) Diberikan inhalasi SABA berulang 4 – 10 semprot tiap 20 menit
dalam 1 jam pertama. Hal ini sangat efektif dan efisien untuk
mengembalikan aliran udara yang terbatas akibat asma (Evidance
A).
2) Setelah 1 jam pertama, dosis SABA inhalasi bervariasi dari 4 – 10
semprot tiap 3 – 4 jam atau 6 – 10 semprot tiap 1 – 2 jam, atau
lebih sering. Tidak ada penambahan SABA bila respon inisialnya
sudah bagus (PEF >60-80% dari nilai prediksi atau biasanya cukup
diberikan SABA tiap 3 – 4 jam saja)
3) Pemberian SABA lewat pressurized Metered Doses Inhaler
(pMDI) dan spacer atau DPI (Dry Powder Inhaler) sama seperti
pemberian lewat nebu, yaitu dapat meningkatkan fungsi paru.
Evidence A: (kecuali pada acute severe asthma) paling efektif
pemberian lewat MDI atau spacer, tapi pasien harus mengetahui
benar cara pemakaiannya karena static charge pada plastic spacer
harus dicuci terlebih dahulu dengan menggunakan detergen dan
dikeringkan diudara sebelum dipakai.
4) Terapi Oksigen Terkontrol (jika tersedia)
Terapi oksigen harus dititrasi berdasarkan pulse oximetry (jika
tersedia) ini bertujuan untuk menjaga saturasi oksigen 93 – 95%
atau 94 – 98% untuk anak usia 6 – 11 tahun. Terapi oksigen
terkontrol atau dititrasi memberikan hasil klinis yang lebih baik
daripada terapi oksigen 100% aliran tinggi (Evidance B). Bila tidak
ada pulse oximetry, pasien dimonitor terhadap perburukan,
somnolen atau penurunan kesadaran.

10
 Kortikosteroid Sistemik (OCS)
1). OCS harus diberikan secara tepat terutama pada pasien yang
deorientasi atau pasien yang sudah meningkatkan reliever dan
controller medication sebelum muncul eksaserbasi.
2). Evidance B:
Dosis rekomendasi untuk dewasa: 1 mg/kgBB/Hari
metilprednisolone dan dosis maksimal 50mg/hari.
Dosis rekomendasi untuk anak 6 – 11 tahun: 1 – 2 mg/kgBB/Hari
metilprednisolone dan dosis maksimal 40mg/hari.
OCS ini biasanya diberikan lagi sampe 5-7 hari.
OCS memiliki efek samping seperti gangguan tidur, peningkatan
nafsu makan, refluks dan perubahan mood sehingga beri tahu ke
pasien.
 Obat Controller
Pasien yang sebelumnya sudah menggunakan controller dosisnya nanti
akan ditambah pada minggu ke 2 – 4. Jika pasien tidak mengunakan
controller biasanya disarankan untuk menggukanan regular ICS-
containing teraphy agar.
 Antibiotik (tidak direkomendasikan)
Tidak diberikan antibiotik pada pasien eksaserbasi asma kecuali ada bukti
kuat bila seseorang memiliki infeksi paru (adanya demam, sputum purulen
atau rontgen pneumonia).

11
Evaluasi Respon
Selama pengobatan pasien harus dimonitor secara ketat dan titrasi obat
sesuai dengan respon pasien. Pasien dengan eksaserbasi berat atau mengancam
nyawa, yang gagal terhadap pengobatan, atau pasien yang terus memburuk harus
segera dirujuk ke fasilitas emergensi. Pasien dengan respon pengobatan SABA
sedikit atau lambat harus dimonitor secara ketat.

12
Pada kebanyakan pasien, fungsi paru dapat dikontrol setelah terapi SABA
dimulai. Pengobatan tambahan harus dilanjutkan hingga APE dan VEP1 stabil
atau kembali ke nilai terbaik sebelumnya. Kemudian keputusan pulang atau rujuk
ke fasilitas emergensi dapat ditentukan setelahnya.
Follow Up
Obat untuk pulang harus termasuk reliever yang tersedia saat dibutuhkan,
kortikosteroid oral, dan controller rutin. Pemberian SABA saja tidak
direkomendasikan. Teknik inhaler dan kepatuhan berobat harus dinilai sebelum
pemulangan. Pasien harus dinasehati agar menggunakan reliever hanya jika
dibutuhkan. Perjanjian jadwal kontrol berikutnya harus diatur 2-7 hari kemudian,
tergantung kondisi klinis dan sosial.
Saat kontrol, tenaga kesehatan harus menentukan serangan sudah teratasi
atau belum dan kortikosteroid oral dapat dihentikan atau tidak. Asesmen level
kontrol gejala pasien dan faktor risiko, eksplorasi penyebab potensial eksaserbasi,
dan peninjauan ulang rencana aksi asma tertulis harus dilakukan. Terapi
controller harian dapat diturunkan ke tingkat sebelum eksaserbasi pada 2-4
minggu setelah eksaserbasi, kecuali eksaserbasi diawali dengan gejala yang
sugestif menunjukkan asma tidak terkontrol kronik. Dalam situasi tersebut, teknik
inhaler dan kepatuhan berobat harus dicek dan dianjurkan peningkatan satu
langkah terapi.

2.1.5 Tatalaksana Asma Eksaserbasi di Departemen Emergensi


Asma eksaserbasi berat adalah kegawatdaruratan medis yang mengancam
jiwa. Manajemen penyelamatannya dilakukan di perawatan akut seperti di unit
gawat darurat.
Penilaian
Anamnesis
Anamnesis harus mencakup:
 Waktu onset dan penyebab eksaserbasi (jika diketahui).
 Severitas gejala asma, termasuk keterbatasan latihan atau gangguan
tidur
 Gejala anafilaksis

13
 Faktor risiko kematian terkait asma
 Semua obat reliever dan contoller, termasuk dosis dan penulisan
resep, pola kepatuhan, perubahan dosis, dan respon terhadap terapi.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus menilai:
 Tanda eksaserbasi berat dan tanda vital, (contoh: tingkat kesadaran,
suhu, frekuensi nadi, frekuensi napas, tekanan darah, kemampuan
dalam melengkapi kalimat, penggunaan otot-otot aksesoris)
 Faktor-faktor yang mempersulit (contoh: anafilaksis, pneumonia,
atelektasis, pneumotoraks atau pneumomediastinum)
 Tanda-tanda dari kondisi alternatif yang dapat menjelaskan sesak
napas akut (contoh: gagal jantung, disfungsi saluran napas atas, benda
asing atau emboli paru).
Penilaian Objektif
Penilaian objektif juga dibutuhkan sementara pemeriksaan fisik sendiri
mungkin tidak dapat menilai severitas eksaserbasi. Pasien harus menjadi
fokus dalam pengobatan dan bukan nilai laboratorium.
 Pengukuran fungsi paru: ini sangat direkomendasikan. Jika mungkin,
dan tanpa penundaan pengobatan, APE atau VEP1 harus direkam
sebelum pengobatan dimulai, meskipun spirometri tidak
memungkinkan untuk anak-anak dengan asma akut. Fungsi paru harus
dimonitor selama 1 jam dan pada interval sampai respon yang jelas
untuk pengobatan terjadi atau mencapai kestabilan.
 Saturasi oksigen: ini harus dimonitor secara dekat, lebih baik dengan
pulse oximetry. Khusus digunakan pada anak-anak jika tidak bisa
mengukur APE. Pada anak, saturasi oksigen normal >95% dan
saturasi <92% adalah sebuah prediktor membutuhkan perawatan di
rumah sakit. Tingkat saturasi <90% pada anak atau dewasa
mengindikasikan perlunya terapi yang agresif. Sesuai dengan urgensi
klinis, saturasi harus dinilai sebelum oksigen diberikan, atau 5 menit
setelah oksigen dilepas atau ketika saturasi stabil.
 Pengukuran gas darah arteri tidak rutin diperlukan. Hal ini harus

14
dipertimbangkan untuk pasien dengan nilai APE atau VEP1 <50%
prediksi atau bagi pasien yang tidak respon dengan pengobatan awal
atau mengalami perburukan. Tambahan oksigen terkontrol harus
dilanjutkan sementara analisis gas darah diperoleh. PaO2< 60 mmHg
(8 kPa) dan normal atau peningkatan PaCO2 (khususnya <45 mmHg,
6 kPa) mengindikasikan gagal nafas. Kelelahan dan somnolen
menunjukkan bahwa pCO2 mungkin meningkat dan intervensi saluran
napas mungkin diperlukan.
 Rontgen dada (CXR) tidak dianjurkan secara rutin: Pada dewasa,
CXR harus dipertimbangkan jika terdapat komplikasi atau proses
kardiopulmoner alternatif (khususnya pada pasien yang lebih tua),
atau untuk pasien yang tidak respon terhadap pengobatan dimana
pneumotoraks sulit untuk didiagnosis secara klinis. Demikian pula
pada anak-anak, CXR rutin tidak direkomendasikan, kecuali jika ada
tanda-tanda fisik yang mengarah ke pneumotoraks, penyakit parenkim
atau benda asing saluran napas. Kondisi yang terkait dengan temuan
CXR positif pada anak-anak termasuk demam, tidak ada riwayat
keluarga asma, dan temuan pemeriksaan paru terlokalisasi.
Tatalaksana Akut seperti Departemen Emergensi1
 Oksigen
Untuk mencapai saturasi oksigen arteri 93-95% (94-98% untuk anak-
anak 6-11 tahun), oksigen harus diberikan dengan nasal kanul atau
mask. Pada eksaserbasi berat, kontrol terapi oksigen aliran rendah
menggunakan pulse oximetry untuk mempertahankan saturasi pada
93-95% berhubungan dengan hasil fisiologis yang lebih baik daripada
dengan terapi oksigen 100% aliran tinggi. Bagaimanapun terapi
oksigen tidak harus dilakukan jika pulse oximetry tidak tersedia.
Setelah pasien stabil, pertimbangkan penyapihan oksigen dengan
untuk memandu kebutuhan terapi oksigen.
 SABA Inhalasi
Terapi SABA inhalasi harus diberikan secara berkala pada pasien
dengan asma akut. Penggunaan pMDI dengan spacer merupakan

15
pilihan yang paling hemat dan efisien. Bukti-bukti kurang kuat pada
asma berat dan hampir fatal. Tinjauan sistematik dari nebulisasi
intermitten versus terus-menerus dari SABA pada asma akut
memberikan hasil yang bertentangan. Salah satu hasil yaitu tidak
terdapat perbedaan signifikan dalam fungsi paru atau rawatan rumah
sakit, namun penelitian lebih lanjut dengan tambahan variabel
menemukan penurunan angka rawatan di rumah sakit dan fungsi paru
lebih baik dengan membandingkan nebulisasi terus-menerus dan
intermiten khusus pada pasien dengan fungsi paru yang lebih buruk.
Studi terbaru pada pasien rawatan menemukan bahwa terapi
intermiten sesuai kebutuhan mempersingkat lama rawatan, nebulisasi
dan palpitasi lebih sedikit jika dibandingkan dengan terapi intermiten
4 jam. Pendekatan yang masuk akal untuk penggunaan SABA inhalasi
saat eksaserbasi akan menjadi awal terapi kontiniu, yang diikuti terapi
intermiten sesuai kebutuhan untuk pasien rawatan. Tidak ada bukti
yang mendukung penggunaan rutin beta2-agonis intravena pada
pasien dengan asma eksaserbasi berat.
 Epinefrin (untuk anafilaksis)
Epinefrin intramuskular (adrenalin) diindikasikan sebagai tambahan
terapi standar untuk asma akut yang terkait anafilaksis dan
angioedema. Bukan indikasi rutin untuk asma eksaserbasi lainnya.
 Kortikosteroid Sistemik
Kortikosteroid sistemik mempercepat resolusi eksaserbasi dan
mencegah kambuh, dan harus digunakan pada semua eksaserbasi pada
dewasa kecuali yang paling ringan, remaja dan anak-anak 6-11 tahun
(Bukti A). Bila memungkinkan, kortikosteroid sistemik harus
diberikan untuk pasien dengan onset 1 jam. Penggunaan
kortikosteroid sistemik sangat penting di layanan gawat darurat jika:
1) Pengobatan SABA inisial gagal mencapai perbaikan gejala yang
tetap
2) Pasien mengalami eksaserbasi saat pasien mengonsumsi OCS
3) Riwayat eksaserbasi pada pasien yang memerlukan OCS

16
Rute masuk obat: oral sama efektifnya dengan intravena. Rute oral
lebih disarankan karena lebih cepat, tidak invasif dan murah. Untuk
anak-anak, sediaan sirup lebih dianjurkan daripada tablet. OCS
membutuhkan waktu minimal 4 jam untuk menimbulkan perbaikan
klinis. Kortikosteroid intravena dapat diberikan bila pasien terlalu
sesak untuk menelan; jika pasien muntah; atau ketika pasien
memerlukan ventilasi non-invasif atau intubasi. Pada pasien yang
dipulangkan dari unit gawat darurat, kortikosteroid intramuskular
dapat berguna, terutama jika ada kekhawatiran mengenai kepatuhan
terapi oral.
Dosis: dosis harian OCS setara dengan prednisolon 50 mg dosis
tunggal pagi hari, atau 200 mg hidrokortison dalam dosis terbagi,
adekuat untuk kebanyakan pasien (Bukti B). Bagi anak-anak, dosis
OCS 1-2 mg/kg sampai maksimum 40 mg/hari.
Durasi: seri 5 dan 7 hari pada dewasa terbukti sama efektif dengan seri
10 dan 14 hari, dan seri 3-5 hari pada anak-anak biasanya dianggap
cukup (Bukti B). Deksametason oral untuk 1-2 hari juga bisa
digunakan, tetapi ada kemungkinan efek samping metabolik bila
dilanjutkan lebih dari 2 hari. Beberapa penelitian dimana semua
pasien mengonsumsi ICS harian setelah dipulangkan dari IGD
menunjukkan bahwa tidak ada manfaat dosis bertahap OCS, baik
dalam jangka pendek atau beberapa minggu (Bukti B).
 Kortikosteroid Inhalasi
Saat di IGD: dosis tinggi ICS yang diberikan dalam satu jam pertama
onset dapat mengurangi kebutuhan rawat inap pada pasien yang tidak
menerima kortikosteroid sistemik (Bukti A). Bila diberikan sebagai
tambahan kortikosteroid sistemik, bukti bertentangan (Bukti B).
Secara keseluruhan, ICS dapat ditoleransi dengan baik; namun, biaya
merupakan faktor yang signifikan, dan agen, dosis serta durasi
pengobatan dengan ICS dalam penatalaksanaan asma di IGD masih
belum jelas.

17
Saat pulang ke rumah: mayoritas pasien harus diberi ICS reguler
karena eksaserbasi berat merupakan salah satu faktor risiko
eksaserbasi di masa depan (Bukti B), dan obat mengandung ICS
secara signifikan menurunkan risiko kematian terkait asma atau rawat
inap (Bukti A). Untuk target jangka pendek, seperti relaps yang harus
rawat inap, gejala, dan kualitas hidup, tinjauan sistematis
menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan bila ICS
ditambahkan pada kortikosteroid sistemik setelah pulang. Beberapa
bukti menunjukkan, bagaimanapun, ICS setelah pulang memiliki
efektifitas sama dengan kortikosteroid sistemik untuk eksaserbasi
ringan, tetapi batas keyakinannya lebar (Bukti B). Biaya merupakan
faktor signifikan pada pasien dengan ICS dosis tinggi, dan penelitian
lebih lanjut diperlukan.
 Obat Lainnya
1) Ipratropium bromida
Pada dewasa dan anak dengan eksaserbasi sedang-berat,
pengobatan di IGD menggabungkan SABA dan ipratropium,
antikolinergik short-acting, dihubungkan dengan angka rawatan
lebih kecil dan peningkatan APE dan VEP1 dibandingkan dengan
SABA saja. Untuk anak-anak yang dirawat karena asma akut, tidak
ada manfaat penambahan ipratropium, termasuk tidak terdapat
pengurangan lama rawat.
2) Aminofilin dan teofilin
Aminofilin intravena dan teofilin tidak boleh digunakan pada
eksaserbasi, mengingat profil efikasi dan keamanan yang buruk,
dan efektivitas dan keamanan SABA yang lebih tinggi.
Penggunaan aminofilin intravena dihubungkan dengan efek
samping yang parah dan berpotensi fatal, terutama pada pasien
yang telah menerima teofilin lepas cepat. Pada dewasa dengan
eksaserbasi berat, penambahan aminofilin tidak meningkatkan
hasil jika dibandingkan dengan SABA saja.

18
3) Magnesium
Magnesium sulfat intravena tidak dianjurkan sebagai penggunaan
rutin eksaserbasi asma, namun bila infusion tunggal 2 g selama 20
menit, mengurangi angka rawatan pada beberapa pasien, termasuk
dewasa dengan VEP1<25-30% prediksi saat onset, dewasa dan
anak-anak yang gagal respon pengobatan awal dan mengalami
hipoksemia persisten; dan anak-anak dengan VEP1 tidak mencapai
60% prediksi setelah 1 jam rawatan. Penelitian yang mengeksklusi
pasien asma berat menunjukkan tidak ada manfaat penambahan
magnesium intravena atau nebulisasi dibandingkan dengan plasebo
dalam penatalaksanaan rutin asma eksaserbasi pada dewasa, remaja
dan anak-anak. Nebulisasi salbutamol paling sering dimasukkan
dalam larutan fisiologis; namun juga dapat diberikan dalam
magnesium sulfat isotonik. Sementara, efiksasi keseluruhan praktik
ini belum jelas, data gabungan dari tiga percobaan menunjukkan
kemungkinan peningkatan fungsi paru pada pasien dengan asma
eksaserbasi berat (VEP1<50% prediksi).
4) Terapi Oksigen Helium
Penelitian yang membandingkan oksigen helium dengan oksigen
udara menunjukkan bahwa tidak ada peran intervensi ini dalam
perawatan rutin (Bukti B), tetapi dapat dipertimbangkan pada
pasien yang tidak respon terapi standar; namun, ketersediaan, harga
dan teknis harus dipertimbangkan.
5) Antagonis Reseptor Leukotrien
Hanya ada sedikit penelitian yang mendukung peran anagonis
reseptor leukotrien oral atau intravena pada asma akut. Studi kecil
menunjukkan adanya peningkatan fungsi paru-paru, namun peran
klinis agen ini memerlukan peneitian lebih lanjut.
6) Kombinasi ICS/LABA
Peran obat-obatan ini di IGD atau rumah sakit belum jelas. Satu
studi menunjukkan bahwa dosis tinggi budesonid/formoterol pada
pasien di IGD, semua pasien yang menerima prednisolon, memiliki

19
efiksasi dan profil keamanan yang sama. Studi lain menguji
penambahan salmeterol pada OCS untuk pasien rawat inap, tetapi
tidak adekuat sebagai rekomendasi.
7) Antibiotik (tidak direkomendasikan)
Tidak ada bukti yang mendukung peran antibiotik pada eksaserbasi
asma tetapi terdapat bukti kuat pada infeksi paru (misalnya demam
atau dahak purulen atau bukti radiografi pneumonia). Pengobatan
agresif dengan kortikosteroid harus diberikan sebelum
pertimbangan antibiotik.
8) Sedatif
Sedasi harus benar-benar dihindari selama asma eksaserbasi karena
efek depresi saluran nafas dari obat anxiolitik dan hipnotik.
Terdapat hubungan antara penggunaan obat ini dan pencegahan
kematian.
9) Ventilasi Non-Invasif (NIV)
Bukti mengenai peran NIV pada asma masih lemah. Sebuah
peninjauan sistematis pada lima studi yang melibatkan 206 peserta
dengan asma berat akut yang diobati dengan NIV atau plasebo.
Dua studi menunjukkan tidak terdapat perbedaan dalam kebutuhan
intubasi endotrakeal, namun satu studi menunjukkan angka
rawatan lebih kecil pada kelompok NIV. Tak ada kematian yang
dilaporkan dalam studi ini. Mengingat kecilnya ukuran penelitian,
tidak ada rekomendasi yang diberikan. Bila NIV dicoba, pasien
harus dimonitor secara ketat (Bukti D). NIV tidak boleh diberikan
pada pasien yang gelisah, dan pasien tidak boleh disedasi untuk
menerima NIV (Bukti D).
Evaluasi Respon
Status klinis dan saturasi oksigen harus dinilai ulang secara rutin, dan
perawatan lanjut dititrasi sesuai respon pasien. Fungsi paru harus diukur setelah
satu jam, contohnya setelah 3 jam pertama pengobatan bronkodilator, dan pasien
yang memburuk meski pengobatan bronkodilator intensif dan kortikosteroid harus
dievaluasi ulang untuk pemindahan ke ICU.

20
 Kriteria Rawat Inap vs Perencanaan Pulang
Berdasarkan analisis retrospektif, status klinis (termasuk kemampuan
untuk berbaring datar) dan fungsi paru 1 jam setelah pengobatan dimulai adalah
prediktor yang lebih reliabel untuk kebutuhan rawat inap dibandingkan status
pasien saat datang.
Rekomendasi konsensus dalam penelitian lain sebagai berikut:1
1) Jika APE dan VEP1 sebelum pengobatan <25% prediksi atau terbaik,
atau APE dan VEP1 setelah pengobatan <40% prediksi atau terbaik,
rawat inap disarankan
2) Jika fungsi paru pasca-pengobatan 40-60% prediksi, pemulangan
dapat dilakukan setelah mempertimbangkan faktor risiko pasien dan
ketersediaan layanan kesehatan untuk follow up.
3) Bila fungsi paru pasca-pengobatan >60% prediksi atau terbaik,
pemulangan disarankan setelah mempertimbangkan faktor risiko dan
ketersediaan layanan follow up.
Faktor lain yang berhubungan dengan peningkatan kebutuhan rawatan:1
1) Jenis kelamin wanita, usia lebih tua dan ras bukan putih
2) Penggunaan lebih dari delapan semprot beta2-agonis dalam 24 jam
sebelumnya
3) Severitas eksaserbasi (contohnya kebutuhan resusitasi atau intervensi
medis cepat saat datang, frekuensi napas >22 kali/menit, saturasi
oksigen <995%, APE akhir <50% prediksi)
4) Riwayat eksaserbasi parah sebelumnya (misalnya intubasi, rawatan
asma)
5) Kunjungan emergensi tidak terjadwal yang membutuhkan OCS.
Secara keseluruhan, faktor risiko ini harus dipertimbangkan oleh dokter
saat membuat keputusan tentang biaya masuk untuk pasien asma yang ditangani
di tempat perawatan akut.

21
Perencanaan Pulang
Sebelum dikeluarkan dari IGD atau rumah sakit ke rumah, perjanjian
kontrol berikutnya harus diatur dalam waktu satu minggu, dan strategi untuk
meningkatkan manajemen asma termasuk obat-obatan, keterampilan
menggunakan inhaler dan rencana aksi asma tertulis, harus dilakukan.
Follow Up setelah kunjungan IGD atau Rawat Inap
Setelah keluar, pasien harus dievaluasi oleh petugas kesehatan secara
teratur selama beberapa minggu hingga kontrol gejala yang baik tercapai dan
fungsi paru-paru terbaik diperoleh atau dilampaui. Insentif seperti transportasi
gratis dan telepon pengingat meningkatkan follow-up layanan primer namun tidak
menunjukkan efek jangka panjang.
Pasien yang pulang dari IGD atau rawat inap, harus menjadi target utama
program edukasi asma, jika tersedia. Pasien yang dirawat di rumah sakit mungkin
dapat menerima informasi dan saran tentang penyakit mereka. Tenaga kesehatan
harus mengambil kesempatan untuk meninjau kembali:1
 Pemahaman pasien mengenai penyebab eksaserbasi asma
 Faktor risiko dapat dimodifikasi untuk eksaserbasi (bila relevan,
merokok)
 Pemahaman pasien mengenai tujuan dan cara penggunaan obat yang
benar
 Tindakan yang perlu dilakukan pasien sebagai respon atas gejala
perburukan atau penurnan arus puncak
Setelah presentasi di IGD, program intervensi komprehensif mencakup
manajemen controller yang optimal, teknik inhaler dan elemen edukasi
manajemen mandiri (self-monitoring, rencana aksi asma tertulis dan tinjauan
berkala) hemat biaya dan telah menunjukkan peningkatan signifikan pada hasil
asma (Bukti B).
Rujukan untuk saran ahli harus dipertimbangkan untuk pasien yang telah
dirawat di rumah sakit karena asma, atau yang berulang kali mengunjungi
perawatan akut walaupun memiliki penyedia layanan kesehatan primer. Tidak ada
studi terbaru yang tersedia, namun penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa

22
follow up oleh spesialis berhubungan dengan kunjungan gawat darurat berikutnya
lebih sedikit atau rawat inap dan kontrol asma yang lebih baik.1

23
24
2.2 Manajemen Eksaserbasi PPOK dalam Panduan GOLD 2019
2.2.1 Pendahuluan

Eksaserbasi pada COPD atau diindonesia lebih sering disebut PPOK


merupakan suatu proses klinis yang harus mendapatkan perhatian oleh tenaga
medis. Pada saat eksaserbasi pasien PPOK dengan suatu proses patofisiologi akan
menunjukan berbagai peristiwa kompleks berupa peradangan saluran nafas
meningkatnya produksi sputum dan menyebabkan terperangkapnya udara atau
peristiwa Air Trapping. Peristiwa tersebut akan menimbulkan gejala klinis berupa
meningkatnya frekuensi batuk dan akan terdengar suara nafas yang menciut pada
pasien. Apabila peristiwa eksaserbasi pada pasien PPOK sering terjadi hal ini
akan berdampak negatif pada status kesehatan, dan memperburuk perkembangan
penyakit pasien. Namun dalam hal eksaserbasi hendaklah dibedakan secara klinis
dengan penyakit lain seperti sindrom koroner akut, gagal jantung kongestif,
emboli paru atau pneumonia. Sehingga penting bagi tenaga medis layanan primer
untuk mengenali eksaserbasi PPOK secara dini dan dapat menangani kondisi
eksaserbasi secara cepat, tepat dan terpadu.

Eksaserbasi pada pasien PPOK terutama dipicu oleh infeksi virus,


terutama infeksi rhinovirus, yang masih dapat dideteksi hingga seminggu setelah
onset eksaserbasi terjadi. Selain virus, infeksi bakteri, polusi udara dan suhu
lingkungan yang cendrung dingin dapat menginduksi terjadinya eksaserbasi pada
pasien, namun tetap saja eksaserbasi yang dipicu oleh virus memiliki klinis yang
lebih parah, lebih lama, dan memerlukan rawat inap pada pasien. Pasien yang
mengalami eksaserbasi sering tidak menyadari dan mengabaikan gejala yang
timbul, hal ini dapat mengakibatkan lambatnya tingkat pemulihan pasien nantinya
karena terlambat mencari pengobatan.

Gejala eksaserbasi PPOK biasanya terjadi antara 7 hingga 10 hari,


menurut studi pada 8 minggu perawatan dikatakan bahwa sebanyak 20% pasien
masih memiliki gejala eksaserbasi dan belum pulih sepenuhnya, hal ini dapat
mengakibatkan progresifitas PPOK akan berkembang lebih cepat. Selain itu
pasien yang mengalami dua atau lebih eksaserbasi dalam setahun dapat memiliki
morbiditas dan status kesehatan yang buruk hal ini berdampak pada produktivitas

25
pasien yang mana mereka tidak dapat lagi menjalankan aktifitas berat yang biasa
dilakukan sebelum mengalami eksaserbasi. Tingkat keparahan eksaserbasi juga
dapat dinilai dari CT-Scan berupa rasio arteri paru terhadap diameter aorta >1 ,
dan ada atau tidaknya brongkitis kronis.

Standar penatalaksanaan eksaserbasi pada PPOK (GOLD) telah


mengklasifikasikan tingkat perburukan pernafasan secara akut dalam tiga
kategori:

1. Kategori ringan yang hanya diobati dengan bronkodilator kerja singkat


2. Kategori sedang dapat diobati dengan bronkodilator kerja singkat
ditambah antibiotik dan/ kortikosteroid oral
3. Kategori berat, pada kategori ini pasien memerlukan penganan gawat
darurat dan persiapan rawat inap dikarenakan dapat menimbulkan
gagal nafas.

Dalam panduan penatalaksanaan ppok tahun 2019 (GOLD 2019) ada


beberapa poin utama dalam managemen eksaserbasi pada PPOK, yaitu pertama
eksaserbasi PPOK didefinisikan sebagai gejala perburukan pernapasan akut yang
memerlukan terapi tambahan. Kedua, eksaserbasi PPOK dapat dipicu oleh
beberapa faktor, penyebab paling umum adalah infeksi saluran pernapasan.
Ketiga, tujuan pengobatan eksaserbasi PPOK adalah untuk meminimalkan
dampak negatif dari eksaserbasi saat ini dan mencegah kejadian eksaserbasi
berulang. Keempat, inhalasi SABA, dengan atau tanpa antikolinergik kerja
pendek, direkomendasikan sebagai bronkodilator awal untuk mengobati
eksaserbasi akut. Kelima, terapi pemeliharaan dengan bronkodilator jangka
panjang harus dimulai sesegera mungkin sebelum pasien dipulangkan.

Poin ketujuh yaitu kortikosteroid sistemik dapat meningkatkan fungsi


paru-paru (FEV1), oksigenasi dan mempercepat waktu pemulihan dan
memperpendek durasi rawat inap dengan durasi terapi tidak boleh lebih dari 5-7
hari. Kedelapan pemberian antibiotik atas indikasi yang tepat dapat
mempersingkat waktu pemulihan, mengurangi risiko kekambuhan, kegagalan
pengobatan, dan durasi rawat inap dengan durasi terapi harus 5-7 hari.
Kesembilan, methylxanthine tidak direkomendasikan karena efek samping lebih

26
besar daripada manfaat. Kesepuluh penatalaksanaan berupa ventilasi mekanik
non-invasif dapat digunakan sebagai mode ventilasi pertama saat eksaserbasi
pasien PPOK apabila tidak memiliki kontraindikasi absolut. Hal tersebut
bermanfaat karena dapat meningkatkan pertukaran gas, mengurangi kerja
pernapasan dan kebutuhan untuk intubasi, mengurangi durasi rawat inap dan
meningkatkan kualitas hidup. Setelah eksaserbasi selesai ditatalaksana, langkah-
langkah atau planning yang tepat untuk pencegahan eksaserbasi harus dimulai.

2.2.2 Manajemen Penatalaksanaan

Manajemen pengobatan eksaserbasi akut pada PPOK dapat dikelola secara


rawat jalan atau rawat inap dengan terapi farmakologi, bronkodilator,
kortikosteroid dan antibiotik. Apabila pasien dengan eksaserbasi PPOK datang ke
unit gawat darurat, pasien harus diberikan oksigen, dilakukan penilaian apakah
eksaserbasi tersebut mengancam nyawa atau tidak, memerlukan perawatan atau
tidak, dan persiapan untuk manajemen ventilasi non-invasif maupun invasif.
Manajemen eksaserbasi berat namun tidak mengancam nyawa dirangkun pada
gambar dibawah ini:

27
Selain itu berikut merupakan penilaian yang dilakukan terhahadap pasien,
dirangkum pada tabel dibawah ini :

Presentasi klinis dari eksaserbasi PPOK berbeda dari individu dengan


individu lainnya, pada pasien yang mengalami eksaserbasi ketika dirawat inap
tingkat keparahannya menggunakan klasifikasi sebagai berikut:

1. Bukan gagal nafas : Frekuensi nafas 20-30/ menit, tidak menggunakan otot
nafas tambahan, tidak mengalami perubahan status mental, keadaan
hipoksemia dapat diperbaiki dengan pemberian oksigen via masker venturi
dengan FiO2 (28-35%), dan tanpa peningkatan PaCO2.
2. Gagal nafas akut tidak mengancam jiwa: Frekuensi pernapasan >
30x/menitmenggunakan otot pernapasan tambahan, tidak ada perubahan
status mental, hipoksemia membaik dengan oksigen tambahan melalui
masker ventur 25-30% FiO2, Hypercarbia yaitu ketika PaCO2 meningkat
50-60 mmHg.
3. Gagal pernapasan akut - mengancam jiwa: Frekuensi pernafasan >
30x/menit; menggunakan bantuan otot nafas tambahan, perubahan akut
dalam status mental, keadaan hipoksemia tidak membaik dengan oksigen
melalui masker venturi atau membutuhkan FiO2 > 40%, keadaan
hiperkarbia dengan PaCO2 > 60 mmHg atau adanya asidosis (pH ≤ 7,25).

28
Eksaserbasi pada pasien PPOK merupakan suatu kondisi gawat darurat
sehingga penilaian tersebut haruslah dilakukan sesegera mungkin dan ada
beberapa poin managemen awal pada eksaserbasi pasien PPOK, dapat dilihat pada
gambar dibawah ini:

2.2.3 Manajemen Farmakologis


Tiga kelas obat yang paling umum digunakan pada pasien PPOK yaitu:
bronkodilator, kortikosteroid, dan antibiotik.

Bronkodilator

Bronkodilator yang dianjurkan yaitu SABA (short-acting beta2-agonists)


inhalasi dengan atau tanpa short-acting anticholinergics agen. Pemberian dapat
diberikan dengan MDI, selain itu juga dapat diberikan melalui nebulizer.
Walaupun menurut studi kedua metode tersebut tidak memiliki perbedaan
signifikan dalam perbaikan FEV1 pasien, namun tetap disarankan menggunakan
menggunakan nebulizer karena tidak memerlukan koordinasi antara alat dan
pernafasan pasien.

Direkomendasikan juga agar pasien tidak menerima nebulisasi terus


menerus, tetapi menggunakan MDI inhalasi dengan dosis dua sampai 3kali untuk
satu jam pertama dan dilanjutkan setiap 2-4jam berdasarkan respon pasien.
Kemudian pasien diberikan terapi bronkodilator long-acting inhalasi (baik
beta2agonis maupun antikolinergik atau kombinasi) dengan atau tanpa

29
kortikosteroid inhalasi selama eksaserbasi, terapi dapat dimulai segera setelah
eksaserbasi atau sebelum keluar dari rawatan rumah sakit. Terapi metilxantin
intravena seperti (theophilin atau aminofilin) tidak direkomendasikan pada pasien
PPOK karena efek samping yang signifikan.

Glukokortikoid

Data penelitian menunjukan bahwa penggunaan gukokortikoid sistemik di


eksaserbasi PPOK mempersingkat waktu pemulihan dan meningkatkan fungsi
paru. Selain itu glukokortikoid juga meningkatkan oksigenasi, mengurangi resiko
kekambuhan dini, kegagalan obat dan mempersingkat durasi rawat inap. Dosis
yang diberikan yaitu berupa predniso 40mg perhari selama 5 hari. Pemberian
secara oral maupun intravena dalam data penelitian menunjukan tingkat
keefektifan yang sama.

Terapi budesonide inhalasi juga merupakan salah satu terapi yang


dianjurkan pengobatan eksaserbasi pada beberapa pasien, manfaat yang diberikan
serupa dengan metil prednisolon intravena, dengan keuntungan berupa obat
inhalasi, langsung menuju organ target sehingga minim efek samping,
penggunaan nudesonide harus dipertimbangkan bagi pasien karena memiliki cost
yang lebih mahal dibanding prednison, atau prednisolon oral maupun intravena.
Selain itu penggunaan kombinasi terapi ICS dengan LABA selama 10 hari saat
onset dapat mengurangi frekuensi eksaserbasi pada pasien, terutama dengan
serangan tingkat berat. Penelitian juga menunjukan bahwa glukokortikoid kurang
efektif diberikan pada pasien PPOK yang memiliki kadar eosinofil yang rendah
dalam darah.

Antibiotik

Sebuah tinjauan sistematis studi terkontrol plasebo telah menunjukkan


bahwa antibiotik mengurangi risiko kematian jangka pendek sebesar 77%,
kegagalan pengobatan sebesar 53% dan purulensi dahak sebesar 44%.Tinjauan ini
memberikan bukti untuk mengobati pasien yang sedang atau berat dengan
eksaserbasi PPOK dan peningkatan batuk dan purulensi dahak dengan antibiotik.
Data ini didukung oleh RCT terbaru pada pasien dengan diagnosis COPD sedang.

30
Dalam RCT baru-baru ini, memaparkan bahwa penambahan doksisiklin ke
kortikosteroid oral dan pengaturan rawat jalan dapat mengurangi frekuensi
eksaserbasi.

Singkatnya, antibiotik harus diberikan pada pasien dengan eksaserbasi


PPOK yang memiliki 3 gejala utama: peningkatan dyspneu, volume sputum
(semakin banyak, semakin direkomendasikan), sputum purulen. Dua dari tiga
gejala tersebut dengan syarat sputum purulen merupakan gejala wajib sudah
merupakan indikasi wajib untuk diberikan terapi antibiotik. Selain itu pasien yang
menggunakan ventilasi mekanis baik invasif maupun noninvasif juga
direkomendasikan mendapat antibiotik. Terapi antibiotik diberikan selama 5-7
hari dan sebelum antibiotik diberikan direkomendasikan terlebih dahulu untuk
mengkultur sputum.

Pilihan antibiotik yang direkomendasikan yaitu aminopenicilin dengan


asam klavulanat, makrolid, dan tetrasiklin. Antibiotik dapat diberikan secara oral
maupun secara intravena tergantung kondisi pasien apakah dapat makan atau
tidak.

Terapi Tambahan

Pemberian terapi tambahan dapat berupa terapi cairan, penggunaan


diuretik (sesuai indikasi), antikoagulan, pengobatan komorbid seperti dm atau
hipertensi dan terapi nutrisi. Selain itu terapi konseling untuk berhenti merokok
perlu dilakukan.

2.2.4 Manajemen Airway


Terapi Oksigen

Terapi oksigen merupakan tatalaksana awal yang menjadi komponen kunci


dari perawatan eksaserbasi. Target saturasi pasien yaitu antara 88-92%, penelitian
yang dilakukan oleh McKeever menyatakan bahwa pemeriksaan AGD vena
lebihakurat dalam menilai kadar dan pH bikarbonat dibandingkan AGD arteri,
selain itu penggunaan masker venturi lebih baik karena dapat menyuplai fraksi
oksigen lebih akurat dan terkontrol.

31
Terapi Oksigen Aliran Tinggi Dengan Nasal Kanul (HFNC)

Terapi ini ditujukan pada pasien hipoksemia akut dan untuk meningkatkan
oksigenasi, ventilasi dan hiperkarbia, beberapa penelitian mendukung bahwa
pemberian HFNC pada pasien hipoksemik akut menunjukan hasil bahwa HFNC
dapat mengurangi tingkat intubasi pada pasien. Penelitian RCT kecil(n=29)
melaporkan bahwa enam minggu terapi nasal kanul aliran tinggi dapat
mengurangi hiperkapnia dan mempercepat pemulihan pasien.

Persiapan ICU

Persiapan intensive care unit (ICU) perlu dilakukan, akibat beberapa


pasien dengan eksaserbasi yang merujuk pada gagal nafas mengancam jiwa
setidaknya membutuhkan bantuan alat ventilasi. Dukungan ventilasi dapat
diberikan dengan ventilasi noninvasif maupun ventilasi invasif. Indikasi untuk
perisapan ICU pagi pasien gangguan respirasi sebagai berikut:

Ventilasi Mekanis Noninvasif

NIV (NonInvasif mechanical ventilation) lebih direkomendasikan


dibandingkan ventilasi invasif. Dalam sebuah studi RCT ditunjukan bahwa tingkat
keberhasilan yaitu berkisar 80-85%. Hal tersebut diperkirakan karena NIV dapat
meningkatkan oksigenasi dan memperbaiki asidosis respiratori pasien, selain itu
NIV juga berfungsi mengurangi tingginya frekuensi pernafasan, mengurangi kerja
pernafasan dikarenakan alatnya akan memberikan tekanan positif sehingga lebih
minim WOB, dan sekaligus menghindari komplikasi pneumonia akibat

32
ventilator. Indikasi dalam penggunaan NIV dapat dilihat pada gambar dibawah
ini:

Ventilasi Mekanis Invasif

Metode ini merupakan metode bantuan nafas pilihan terakhir, apabila


pasien masih tetap mengalami perburukan dengan NIV. Metode ini dilakukan
dengan bantuan intubasi dan ventilator mekanik, metode ini memiliki komplikasi
berupa: pneumonia dari ventilator terutama ketika terinfeksi organisme
multiresisten, barotrauma, volutrauma, dan resiko bantuan ventilasi
berkepanjangan. Indikasi penggunaan ventilasi mekanis invasif sebagai berikut:

2.2.5 Pemulangan Pasien Dan Kontrol Ulang


Pasien biasanya memiliki masa rawatan selama 7-10 hari, sehingga dalam
masa itu pasien dapat dipulangkan apabila gejala eksaserbasi sudah mereda.
Kontrol ulang pada pasien dapat dilakukan <4minggu awal pasca pasien keluar

33
rumah sakit, kontrol ulang ditujukan untuk menilai saturasi oksigen darah dan
AGD dan memungkin kan untuk penentuan terapi oksigen dirumah atau pelepasan
terapi oksigen, dan untuk membuat perubahan yang diperlukan terhadap terapi
antibiotik dan glukokortikoid pasien.

Kemudian kontrol ulang pada tiga bulan selanjutnya dianjurkan untuk


memastikan kembali keadaan klinis, termasuk peninjauan gejala, tanda vital,
fungsi paru dengan spirometri, sistem skoring menggunakan BODE, penilaian
AGD pasien, pemeriksaan CT-Scan untuk melihat adanya bronkiektasis dan
empisema, ditambah kontrol ulang untuk komorbid pasien.

34
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Asma adalah penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan peradangan
jalan napas kronis.
2. Asma adalah masalah kesehatan global yang serius yang mempengaruhi
seluruh kelompok usia khususnya pada kelompok usia anak-anak
mengalami peningkatan di berbagai negara.
3. Penegakan diagnosis asma dilakukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan beberapa pemeriksaan penunjang.
4. Eksaserbasi asma merupakan episode yang ditandai dengan peningkatan
progresif gejala sesak napas, batuk, mengi atau rasa berat di dada dan
penurunan progresif fungsi paru, seperti adanya perubahan status pasien
dari kondisi biasa yang membutuhkan perubahan pada terapi.
5. Eksaserbasi asma menandakan perubahan gejala dan fungsi paru dari
status biasa pasien. Penurunan aliran ekspirasi dapat diukur dengan
pengukuran fungsi paru seperti arus puncak ekspirasi (APE) atau volume
ekspirasi paksa 1 detik (VEP1) dibandingkan dengan fungsi paru pasien
sebeumnya atau nilai prediksi.
6. Penatalaksanaan asma eksaserbasi dapat dilakukan secara mandiri
menggunakan rencana aksi tertulis atau dengan mengunjungi layanan
kesehatan primer dan departemen emergensi.
7. Eksaserbasi PPOK didefinisikan sebagai gejala perburukan pernapasan
akut yang memerlukan terapi tambahan.
8. Eksaserbasi PPOK dapat dipicu oleh beberapa faktor, penyebab paling
umum adalah infeksi saluran pernapasan.
9. Tujuan pengobatan eksaserbasi PPOK adalah untuk meminimalkan
dampak negatif dari eksaserbasi saat ini dan mencegah kejadian
eksaserbasi berulang.
10. Inhalasi SABA, dengan atau tanpa antikolinergik kerja pendek,
direkomendasikan sebagai bronkodilator awal untuk mengobati PPOK
eksaserbasi akut.

35
11. Terapi pemeliharaan dengan bronkodilator jangka panjang harus dimulai
sesegera mungkin sebelum pasien PPOK dipulangkan.
12. Kortikosteroid sistemik dapat meningkatkan fungsi paru-paru (FEV1),
oksigenasi dan mempercepat waktu pemulihan dan memperpendek durasi
rawat inap dengan durasi terapi tidak boleh lebih dari 5-7 hari.
13. Pemberian antibiotik atas indikasi yang tepat dapat mempersingkat waktu
pemulihan, mengurangi risiko kekambuhan, kegagalan pengobatan, dan
durasi rawat inap dengan durasi terapi harus 5-7 hari.
14. Methylxanthine tidak direkomendasikan pada PPOK karena efek samping
lebih besar daripada manfaat.
15. Penatalaksanaan berupa ventilasi mekanik non-invasif dapat digunakan
sebagai mode ventilasi pertama saat eksaserbasi pasien PPOK apabila
tidak memiliki kontraindikasi absolut. Hal tersebut bermanfaat karena
dapat meningkatkan pertukaran gas, mengurangi kerja pernapasan dan
kebutuhan untuk intubasi, mengurangi durasi rawat inap dan
meningkatkan kualitas hidup.
16. Setelah eksaserbasi PPOK selesai ditatalaksana, langkah-langkah atau
planning yang tepat untuk pencegahan eksaserbasi harus dimulai.

36
DAFTAR PUSTAKA
1. Global Initiative For Asthma. Global Stragtegy for Asthma Management and
Prevention , 2019. Tersedia di: www.ginasthma.org
2. Global Initiative For Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). 2019.
Management of Exacerbation:112-129. Tersedia di: www.goldcopd.org

37

Anda mungkin juga menyukai