Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

PASIEN DENGAN CEDERA KEPALA

OLEH :
NAMA : MUHAMMAD ASNUL HUSNI
NPM : 019020963

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) MATARAM

MATARAM

2019
LAPORAN PENDAHULUAN
CIDERA KEPALA

A. KONSEP CEDERA KEPALA


1. Pengertian
Cedera kepala adalah cedera yang dapat mengakibatkan
kerusakan otak akibat perdarahan dan pembengkakan otak sebagai
respon terhadap cedera dan penyebab peningkatan tekanan intra cranial
(TIK) (Brunner & Suddarth, 2002).
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit
kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara
langsung maupun tidak langsung pada kepala (Suriadi & Rita Yuliani,
2001).
Cedera kepala adalah kerusakan jaringan otak yang diakibatkan
oleh adanya trauma (benturan benda atau serpihan tulang) yang
menembus atau merobek suatu jaringan otak, oleh pengaruh suatu
kekuatan atau energi yang diteruskan ke otak dan akhirnya oleh efek
percepatan prlambatan pada otak yang terbatas pada kompartemen yang
kaku (Price & Wilson, 2002).

2. Anatomi Fisiologi Kepala


Anatami Fisiologi Kepala Menurut Brunner & Suddarth (2002) Meliputi:
a. Kulit Kepala
Anatomi kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yaitu :
1) Skin atau kulit.
2) Connective Tissue atau jaringan penyambung.
3) Aponeurosis atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat
berhubungan langsung dengan tengkorak.
4) Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar yang
merupakan tempat terjadinya perdarahan subgaleal (hematom
subgaleal).
5) Pericranium yaitu lapisan kulit kepala bagian dalam.
b. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari
3 lapisan yaitu :
1) Dura mater
2) Selaput Arakhnoid
3) Pia mater
c. Tulang Tengkorak
Menurut Evelyn C. Pearce (2006), tulang tengkorak tersusun atas
tulang kranial dan tulang wajah. Tulang kranial tersebut meliputi :
Tulang frontal, temporal, parietal, oksipital, sphenoid, ethmoid,
mandibula, maksila, nasal, lakrimal, zigomatikum, palatin, vomer
d. Otak
Menurut Evelyn C. Pearce (2006), otak manusia terdiri dari : Batang
otak, serebrum, serebelum, frontal lobe, occipital lobe, pariental
lobe, temporal lobe, left hemisphere, right hemisphere.

3. Klasifikasi
Menurut Arief Mansjoer (2000), klasifikasi cedera kepala
berdasarkan patofisiologinya dibagi menjadi dua :
a. Cedera kepala primer
Adalah kelainan patologi otak yang timbul akibat langsung pada
mekanisme dinamik (acelerasi-decelerasi rotasi) yang menjadi
penyebab gangguan pada jaringan. Pada cedera primer dapat terjadi :
1) Gegar kepala ringan
2) Memar otak
3) Laserasi
b. Cedera kepala sekunder
Adalah kelainan patologi otak disebabkan kelainan biokimia,
metabolisme, fisiologi yang timbul setelah trauma. Pada cedera
kepala sekunder akan timbul gejala, seperti :
1) Hipotensi sistemik
2) Hipoksia
3) Hiperkapnea
4) Udema otak
5) Komplikasi pernafasan
6) Infeksi/komplikasi pada organ tubuh yang lain
Menurut Brunner & Suddarth (2002), trauma/cedera kepala dapat
diklasifikasikan berdasarkan Gasgow Coma Scale (GCS) atau Skala
Koma Glasgow yaitu :
a. Ringan (Minor)
1) Total GCS 13-15
2) Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang
dari 30 menit.
3) Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur serebral,
hematoma.
b. Sedang
1) Total GCS 9-12
2) Kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi
kurang dari 24 jam.
3) Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Berat
1) Total GCS 3-8
2) Kehilangan kesadaran atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
3) Juga dapat terjadi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma
intracranial.
Glasgow Coma Scale
 Reaksi membuka mata
4 Buka mata spontan
3 Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara
2 Buka mata bila dirangsang nyeri
1 Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun
 Reaksi berbicara
5 Komunikasi verbal baik, jawaban tepat
4 Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang
3 Dengan rangsangan, reaksi hanya kata, tak berbentuk kalimat
2 Dengan rangsangan, reaksi hanya suara, tak terbentuk kata
1 Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun
 Reaksi pergerakan
6 Lengan/tungkai mengikuti perintah
5 Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan
4 Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan
3 Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal
2 Dengan rangsangan nyeri timbul reaksi ekstensi abnormal
1 Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi

4. Etiologi
Menurut Arief Mansjoer (2000), cedera kepala berdasarkan
penyebabnya dapat dibagi menjadi :
a. Cedera kepala primer yaitu cedera yang terjadi akibat langsung dari
trauma yaitu :
1) Kulit : Vulnus, laserasi, hematoma subkutan, hematoma
subdural.
2) Tulang : Fraktur lineal, fraktur bersih cranial, fraktur infresi
(tertutup dan terbuka).
3) Otak : Cedera kepala primer, robekan dural, contusion (ringan,
sedang, berat), difusi laserasi.
b. Cedera kepala sekunder yaitu cedera yang disebabkan karena
komplikasi yaitu :
1) Oedema otak
2) Hipoksia otak
3) Kelainan metabolic
Menurut Suriadi & Rita Yuliani (2001), trauma kepala / cedera
kepala dapat disebabkan oleh beberapa peristiwa, diantaranya :
a. Kecelakaan lalu lintas
b. Benturan pada kepala
c. Jatuh dari ketinggian dengan dua kaki
d. Menyelam di tempat yang dangkal
e. Olah raga yang keras

5. Patofisiologi
Cedera kepala dapat bersifat terbuka (menembus melalui
durameter) atau tertutup (trauma tumpul tanpa penetrasi menembus
dura). Cedera kepala terbuka memungkinkan patogen-patogen
lingkungan memiliki akses langsung ke otak. Apabila terjadi perdarahan
dan peradangan akan menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial
(Elizabeth, J. 2001).
Berdasarkan patofisiologinya kita mengenal dua macam cedera
otak, yaitu cedera otak primer dan cedera otak sekunder. Cedera otak
primer adalah cedera yang terjadi disaat atau bersamaan dengan kejadian
trauma, dan merupakan suatu fenomena mekanik. Umumnya
menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa kita lakukan
kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa
mengalami proses penyembuhan yang optimal. Sedangkan cedera otak
sekunder merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan (on going
process) sesudah atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih
merupakan fenomena metabolik. Proses berkelanjutan tersebut
sebenarnya merupakan proses alamiah. Tetapi bila ada faktor-faktor lain
yang mempengaruhi dan tidak ada upaya untuk mencegah atau
menghentikan proses tersebut maka cedera akan terus berkembang dan
berakhir pada kematian jaringan yang cukup luas. Pada tingkat organ, ini
akan berakhir dengan kematian/kegagalan organ. Cedera otak sekunder
disebabkan oleh keadaan-keadaan yang merupakan beban metabolik
tambahan pada jaringan otak yang sudah mengalami cedera (neuron-
neuron yang belum mati tetapi mengalami cedera). Beban ekstra ini bisa
karena penyebab sistemik maupun intra cranial (Bajamal AH, 2000).

6. Manifestasi Klinis
Menurut Elizabeth, J (2001), manifestasi klinis dari cedera kepala
diantaranya :
a. Pada kontusio kehilangan kesadaran segera, pada hematoma
kesadaran mungkin hilang atau bertahap seiring dengan
membesarnya hematom
b. Abnormalitas pupil
c. Pola nafas dapat muncul segera progresif menjadi abnormal
d. Nyeri kepala dapat muncul segera atau bertahap seiring dengan
peningkatan TIK
e. Dapat timbul muntah akibat peningkatan TIK
f. Mungkin timbul gangguan penglihatan dan pendengaran serta
disfungsi sensori.

7. Penatalaksanaan dan Terapi Pengobatan


Adapun penatalaksanan dan terapi pengobatan secara umum pada
kasus cedera kepala menurut Elizabeth, J (2001) meliputi :
a. Kontusio ringan atau sedang biasanya diterapi dengan observasi dan
tirah baring.
b. Mungkin diperlukan ligasi pembuluh darah yang pecah dan evakuasi
hematoma searah bedah.
c. Untuk cedera kepala terbuka diperlukan antibiotik.
d. Pemberian diuretic obat inflamasi.

8. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan diagnostik tengkorak dengan sinar X dapat
mengidentifikasi lokasi fraktur atau hematoma.
b. CT-Scan atau MRI dapat dengan cermat menentukan letak dan luas
cedera, mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran
ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
c. Angiografi serebral menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
d. Analisa gas darah mendeteksi ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
e. Elektrolit untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intracranial.

8. Komplikasi
Menurut Brunner & Suddarth (2002), komplikasi yang muncul
pada kasus cedera kepala yaitu :
a. Dapat menyebabkan kemunduran pada kondisi pasien karena
perluasan hematoma intrakranial, edema serebral progressif dan
herniasi otak. Edema serebral adalah penyebab paling umum dari
peningkatan tekanan intrakranial pada pasien yang mendapat cedera
kepala.
b. Komplikasi lain yaitu defisit neurologi dan psikologi (tidak dapat
mencium bau-bauan, abnormalitas gerakan mata, afasia, defek
memori dan epilepsi).

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN CEDERA KEPALA


1. Pengkajian
Pengkajian data dasar pada kasus Cedera Kepala menurut
Doenges (2000), adalah : Aktivitas/istirahat, sirkulasi, integritas ego,
eliminasi, makanan/cairan, neuro sensori, nyeri/kenyamanan, pernafasan,
keamanan, interaksi sosial, penyuluhan/pembelajaran
Pengkajian neurologi pada kasus cedera kepala menurut Brunner
& Suddarth (2002), meliputi :
a. Nervus Olfaktorius atau urat saraf penghidu
b. Nervus Optikus atau urat saraf penglihat
c. Nervus Okulo-motorius atau urat saraf yang reflek terhadap cahaya
d. Nervus Trokhealis kearah otot mata
e. Nervus Trigeminus mempersarafi otot-otok pengunyah
f. Nervus Abdusens (motorik) menuju satu otot mata yaitu rektus
lateralis
g. Nervus Fasialis untuk otot-otot mimik pada wajah
h. Nervus akustikus untuk pendengaran
i. Nervus Glosso-faringeus menuju salah satu otot konstriktor farinx,
sementara sekreto-motorik menuju kelenjar parotis, dan saraf
sensorik menuju posterior ketiga pada lidah dan sebagian palatum
lunak.
j. Nervus Vagus mempersarafi belakang kepala, merangsang kontraksi
(Bronkhi, lambung, usus) dan menghambat finkter atau sebaliknya.
k. Nervus Aksesorius terbelah menjadi dua bagian, yang pertama
menyertai vagus menuju larinx dan farinx, yang kedua adalah saraf
motorik adalah yang menuju otot sterno-mastoid.
l. Nervus Hipoglosus menuju otot lidah.

A. Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan perfusi jaringan serebral
2. Pola nafas tidak efektif
3. Hamabatan mobilitas fisik
B. Rencana Keperawatan

No Diagnosa Tujuan & Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC) Rasional

1 Perubaha Setelah dilakukan asuhan 1. Tentukan faktor–faktor yang 1. Menentukan pilihan intervensi, penurunan
n perfusi keperawatan selama... x 24 jam berhubungan dengan tanda/gejala neurologis atau kegagalan dalam
jaringan diharapkan pasien tidak keadaan tertentu atau yang pemulihannya setelah serangan awal mungkin
serebral mengalami perubahan perfusi menyebabkan menunjukkan bahwa pasien itu perlu
jaringan serebral dengan koma/penurunan perfusi dipindahkan ke perawatan intensif.
kriteria hasil : jaringan otak dan potensial 2. Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat
1. Mempertahankan tingkat peningkatan TIK. kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan
kesadaran biasa/perbaikan, 2. Pantau/catat status bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan
kognisi, dan fungsi neurologis secara teratur dan dan perkembangan kerusakan SSP.
motorik/sensori. bandingkan dengan nilai 3. Meningkatkan aliran balik vena dari kepala,
2. Mendemonstrasikan tanda standar (misalnya skala sehingga akan mengurangi kongesti dan edema
vital stabil dan tak ada koma gaslow). atau resiko terjadinya peningkatan TIK.
tanda–tanda peningkatan 3. Tinggikan kepala pasien 15– 4. Pembatasan cairan mungkin diperlukan untuk
TIK. 45 derajat sesuai menurunkan edema serebral, meminimalkan
indikasi/yang dapat fluktuasi aliran vaskuler, tekanan darah (TD)
ditoleransi. dan TIK.
4. Batasi pemberian ceiran 5. Menurunkan hipoksemia, yang mana dapat
sesuai indikasi. Berikan meningkatkan vasodilatasi dan volume darah
cairan melalui IV dengan serebral yang meningkatkan TIK.
alat kontrol. 6. Diureetik dapak digunakan pada fase akut untuk
5. Berikan oksigen tambahan menurunkan air dari sel otak, menurunkan
sesuai indikasi. edema otak, dan TIK.
6. Berikan obat sesuai dengan
indikasi (Diuretik, Steroid,
Antikonvulsan,
Klorpromasin, Analgetik
sedang, Sedatif,
Antipiretik).
2 Pola Setelah dilakukan asuhan 1. Pantau frekuensi, irama, 1. Perubahan dapat menandakan awitan
nafas keperawatan selama ...X24 kedalaman pernafasan. Catat komplikasi pulmonal (umumnya mengikuti
tidak jam diharapkan pasien ketidakteraturan pernafasan. cedera otak) atau menandakan lokasi/luasnya
efektif mengalami pola nafas 2. Catat kompetensi refleks keterlibatan otak.
efektif dengan kriteria hasil: gangguan menelan dan 2. Kemampuan memobilisasi atau membersihkan
1. Mempertahankan pola kemampuan pasien untuk sekresi penting untuk pemeliharaan jalan nafas.
pernafasan melindungi jalan nafas Kehilangan refleks menelan atau batuk
normal/efektif, bebas sendiri. Pasang jalan napas menandakan perlunya jalan nafas buatan atau
sianosis, dangan GDA sesuai indikasi. intubasi.
dalam batas normal 3. Angkat kepala tempat tidur 3. Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi
pasien. sesuai aturannya, posisi paru dan menurunkan adanya kemungkinan
miring sesuai indikasi. lidah jatuh yang menyumbat jalan nafas.
4. Anjurkan pasien untuk 4. Mencegah / menurunkan atelektasis.
melakukan nafas dalam 5. Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru
yang efektif jika pasien seperti atelektasis, kongesti, atau obstruksi jalan
sadar. nafas yang membahayakan oksigenasi serebral
5. Auskultasi suara nafas, dan atau menandakan terjadinya infeksi paru
perhatikan daerah (umumnya merupakan komplikasi dari cedera
hipoventilasi dan adanya kepala).
suara - suara tambahan yang 6. Memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan
tidak normal (seperti membantu dalam pencegahan hipoksia.
krekels, ronki, mengi). 7. Menentukan kecukupan pernafasan,
6. Kolaborasi pemberian keseimbangan asam basa dan kebutuhan akan
oksigen. terapi.
7. Pantau atau gambarkan
analisa gas darah, tekanan
oksimetri
3 Hamabat Setelah dilakukan asuhan 1. Periksa kembali 1. Mengidentifikasi kemungkinan kerusakan
an keperawatan selama...x 24 jam kemampuan dan keadaan secara fungsional dan mempengaruhi pilihan
mobilitas diharapkan pasien tidak ada secara fungsional pada intervensi yang akan dilakukan.
fisik hambatan mobilitas fisik kerusakan yang terjadi. 2. Untuk mengetahui tingkat kemampuan
dengan kriteria hasil pasien 2. Kaji derajat imobilisasi mobilisasi atau aktifitas pasien
akan : pasien dengan 3. Keterlibatan pasien dalam perencanaan dan
1. Mempertahankan posisi menggunakan skala kegiatan adalah sangat penting untuk
fungsi optimal, dibuktikan ketergantungan (0-4) meningkatkan kerjasama pasien atau
oleh tidak adanya 3. Intruksikan/bantu pasien keberhasilan dari suatu program tersebut.
kontraktur. dengan program latihan dan 4. Untuk memenuhi cairan yang digunakan dalam
2. Meningkatkan kekuatan penggunaan alat mobilisasi. melakukan aktifitas
dan fungsi bagian tubuh 4. Berikan cairan dalam batas-
yang sakit dan atau batas yang dapat ditoleransi
kompensasi.
3. Mempertahankan integritas
kulit, kandung kemih, dan
fungsi usus.
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito-Moyet,Lynda Juall.2012.BukuSaku Diagnosa Keperawatan Edisi


13.Jakarta:EGC
Huda,Amin.,Kusuma,Hardhi.2013.Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC.Yogyakarta: MediAction
NANDA International. 2017.Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi
2015-2017.Jakarta: EGC
Potter, Patricia A., Perry, Anne G.2009.Fundamental Keperawatan, Edisi 7 Buku
3.Jakarta: Salemba Medika
Potter, Perry.2005.Buku Ajar Fundamental Keperawatan: konsep, Proses, dan
Praktik, Edisi 4.Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai