Anda di halaman 1dari 50

BAB II

DASAR TEORI

2.1 Gelombang
2.1.1 Teori Gelombang
Gelombang seismik adalah strain dinamik atau strain elastik yang berubah
terhadap waktu yang merambat melalui material elastik seperti batuan sebagai
tanggapan terhadap suatu gangguan dinamik. Terdapat beberapa parameter untuk
mengenali suatu gelombang, yaitu periode (𝑇), frekuensi (𝑓), panjang gelombang
(𝜆), kecepatan (𝑉), dan amplitudo(𝐴) (Hirose and Lonngren, 1985). Gelombang
terdiri dari beberapa komponen yaitu amplitudo, puncak, palung, zero crossing,
tinggi dan panjang gelombang. Berikut adalah gambaran komponen gelombang
(Gambar 2.1).

Gambar 2.1 Komponen gelombang (Modifikasi Hirose and Lonngren, 1985)

1
Ada beberapa bentuk gelombang yang dapat dikenal, yang datang paling awal
disebut gelombang kompresi atau gelombang primer yang biasa disebut sebagai
gelombang P (P-wave). Gelombang ini akan bergerak searah dengan arah
perambatan gelombangnya. Berikutnya terdapat gelombang shear atau gelombang
sekunder yang biasa disebut gelombang S (S-wave). Gelombang ini merambat tegak
lurus terhadap arah perambatannya. Gelombang P dan gelombang S disebut sebagai
gelombang badan atau body waves. Gelombang Rayleigh dan gelombang Love
disebut sebagai gelombang permukaan atau surface waves (Hirose and Lonngren,
1985) (Gambar 2.2).

Gambar 2.2 Penjalaran gelombang P, S, Love, dan Rayleigh pada suatu medium
(Rawlinson et al, 2010)

2.1.2 Teori Penjalaran Gelombang


Gelombang seismik merambat mengikuti hukum-hukum Fisika pada sinar
optik seperti hukum Snellius, prinsip Huygens dan Azas Fermat. Selain itu, untuk
memudahkan dalam pengolahan diasumsikan medium bawah permukaan dianggap
berlapis-lapis dan tiap lapisan menjalarkan gelombang seismik dengan kecepatan
yang berbeda. Asumsi lainnya adalah dengan bertambahnya kedalaman, maka

2
lapisan bumi semakin kompak yang dapat berakibat pada kecepatannya menjadi
semakin tinggi (Kinsler et al, 2000). Beberapa hukum dalam penjalaran gelombang:
1. Hukum Snellius
Gelombang seismik yang menjalar di bawah permukaan bumi akan
mengalami pembiasan ke medium yang lain dan pemantulan ke medium yang sama,
dikarenakan batas-batas perlapisan di bawah permukaan bumi. Gelombang P yang
datang akan menghasilkan gelombang P dan S terefleksi dan tertransmisi. Sesuai
dengan Hukum Snellius pada persamaan (3.1). Hal ini dapat dilihat pada (Gambar
2.3)

1’

Gambar 2.3 Gelombang pantul dan bias di bidang batas dua bidang elastik untuk
gelombang datang P (Russell, 1999).

Lintasan gelombang tersebut mengikuti hukum Snellius, yaitu :


sin  1 sin  1 sin  2 sin 1 sin  2
'

     p (2.1)
VP1 VP1 VP2 VS1 VS 2

dengan 1 : sudut datang gelombang P (°)


1’ : sudut pantul gelombang P (°)
2 : sudut bias gelombang P (°)
1 : sudut pantul gelombang S (°)
2 : sudut bias gelombang S (°)

3
VP1 : kecepatan gelombang P pada medium pertama (m/s)
VP2 : kecepatan gelombang P pada medium kedua (m/s)
VS 1 : kecepatan gelombang S pada medium pertama (m/s)
VS2 : kecepatan gelombang S pada medium kedua (m/s)
p : parameter gelombang,
1 : 1’

2. Prinsip Huygens
Energi gelombang seismik yang merambat di bawah permukaan bumi
mempunyai bentuk muka gelombang setengah bola bila mejalar dalam lapisan yang
mempunyai kecepatan seragam (Gambar 3.4). Ketika terdapat suatu lapisan yang
mempunyai perbedaan impedansi akustik yang cukup signifikan maka gelombang
seismik akan menjalar dengan bentuk muka gelombang yang tidak berbentuk
setengah bola sempurna tetapi mendekati hiperbola. Efek ini terjadi karena
penjalaran gelombang seismik di bawah peermukaan bumi mengikuti prinsip
Huygens, yaitu setiap titik pada muka gelombang merupakan suatu sumber
gelombang yang baru (Kinsler et al, 2000).

Gambar 2.4 Prinsip Huygens (Rawlinson et al, 2010)

4
3. Azas Fermat
Azas Fermat menyatakan bahwa gelombang akan merambat melalui lintasan
tercepat atau terpendek di dalam suatu medium isotropi (Gambar 3.5). Melalui
azas ini maka dalam tahapan pengolahan data seismik dapat ditentukan jenis-jenis
noise yang terkandung dalam rekaman data seismik. Hal ini dapat dilihat melalui
waktu penjalaran gelombang dari sumber ke receiver, seperti ground roll, refraksi,
first break, dll. Azas Fermat mengandung pengertian bahwa gelombang menjalar
dari satu titik ke titik yang lain melalui jalan tersingkat waktu penjalarannya
(Rawlinson et al, 2010).

Gambar 2.5 Azas Fermat (Rawlinson et al, 2010)

Variasi warna mencerminkan variasi dari kecepatan setiap strukturnya.


Kecepatan yang terendah digambarkan oleh warna merah dan kecepatan yang
paling tinggi digambarkan oleh warna ungu. Jadi gelombang yang menjalar tersebut
lebih memilih pada kecepatan yang tinggi dari pada kecepatan yang rendah.

2.1.3 Identifikasi Gelombang


Identifikasi gelombang dalam survei seismik dapat dilakukan dengan
mengenal jenis-jenis gelombang dengan mempelajari sifat gelombang terutama dari
sudut geometri rambatan dan kurva waktu rambatnya terhadap offset (Gambar
2.6).

5
Gelombang
langsung
Gelombang
refleksi Ground roll

Gambar 2.6 Ilustrasi bentuk gelombang refleksi dan refraksi (Yilmaz, 2001)

2.2 Konsep Seismik Refleksi


2.2.1 Penjalaran Gelombang Seismik
Metode seismik refleksi merupakan metode geofisika aktif yaitu dilakukan
dengan membuat sumber sinyal yang berupa getaran di permukaan. Gelombang
yang dihasilkan akan menjalar masuk ke dalam bumi secara hiperbolik. Dalam
perambatannya, gelombang seismik mengalami perubahan kecepatan, fase, energi
dan amplitudo dikarenakan perbedaan sifat fisis misalnya densitas dan kecepatan
medium. Sifat medium yang tidak kontinyu menyebabkan gelombang seismik
dipantulkan ke permukaan oleh bidang pantul yang mempunyai kontras impedansi
akustik.
Sinyal gelombang pantul akan direkam oleh geophone di permukaan.
Semakin jauh offset maka semakin lama waktu yang dibutuhkan oleh gelombang
untuk merambat dari source sampai geophone. Secara sederhana, prinsip penjalaran
gelombang seismik dapat dilihat pada (Gambar 3.7). Penjalaran gelombang pantul
dapat direkonstruksi berdasarkan waktu tempuh dan kecepatan gelombang seismik.
Tujuan dari metode seismik pantul adalah untuk mengetahui informasi tentang
batuan, terutama perlapisannya (dalam penggunaan yang terbatas) dari variasi
amplitudo dan frekuensi (Telford et al, 1976).

6
Gambar 2.7 Prinsip penjalaran gelombang dalam survei seismik refleksi (Kearey and
Brooks, 2002)

2.2.2 Trace Seismik


Trace seismik data seismik yang terekam oleh satu perekam (geophone).
Trace seismik mencerminkan respon dari medan gelombang elastik terhadap
kontras AI pada batas lapisan batuan satu dengan batuan yang lain. Secara
matematis, trace seismik merupakan konvolusi antara wavelet sumber gelombang
dengan reflektivitas bumi, sehingga:
𝑆(𝑡) = 𝑊(𝑡) ∗ 𝑟(𝑡) + 𝑛(𝑡) (2.2)

dengan 𝑆(𝑡) : trace seismik


𝑊(𝑡) : wavelet seismik
𝑟 (𝑡 ) : reflektivitas bumi, dan
𝑛(𝑡) : noise
* : operator konvolusi

Konvolusi didefinisikan sebagai “penggantian (replacing)” setiap koefisien refleksi


dalam skala wavelet kemudian menjumlahkan hasilnya (Sukmono, 2001).

7
Gambar 2.8 Konvolusi antara reflektivitas dengan wavelet (Sukmono, 2001)

Sudah diketahui bahwa refleksi utama bersosiasi dengan perubahan nilai


impedansi. Selain itu wavelet seismik umumnya lebih panjang daripada spasi antara
kontras impedansi yang menghasilkan koefisien refleksi (Gambar 2.8). Dapat
diperhatikan bahwa konvolusi dengan wavelet cenderung “mereduksi” koefisien
refleksi sehingga mengurangi resolusi untuk memisahkan reflektor yang berdekatan
(Sukmono, 2001).

2.2.3 Polaritas Gelombang Seismik


Untuk memeudahkan diskusi mengenai rekaman seismik, maka digunakan
istilah polaritas. Polaritas merupakan hal yang penting dalam interpretasi data
seismik. Polaritas adalah penggambaran suatu bentuk koefisien refleksi pada
gelombang seismik yang bernilai positif maupun negatif (Sukmono, 2001).
Polaritas yang digunakan pada proses interpretasi disesuaikan dengan polaritas
pada pengolahan data seismik. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kesalahan
interpretasi akibat perbedaan polaritas yang digunakan. Pemahaman mengenai
polaritas ini adalah penting untuk menganalisis anomali amplitudo pada penampang
seismik yang berhubungan dengan hidrokarbon terutama gas.

8
Gambar 2.9 Konvensi polaritas gelombang seismik menurut SEG (Society of Exploration
Geophysicist) dan standar Eropa (Modifikasi Sukmono, 2001)

Pada saat ini terdapat dua jenis konvensi polaritas yaitu Standar SEG (Society
of Exporation Geophysicist) dan Standar Eropa yang menjelaskan polaritas normal
dan polaritas reverse untuk sebuah wavelet fase nol (zero phase) dan fase minimum
(minimum phase) dalam dua standar konvensi. Contoh kasus yang dijelaskan adalah
kasus koefisien refleksi (KR) meningkat (KR positif) yang terjadi pada contoh batas
air laut dengan lempung (Gambar 2.9).

2.3 Pengolahan Data Seismik


Menurut Van Der Kruk (2001) tujuan dari pengolahan data seismik adalah
untuk memperoleh gambaran yang mewakili lapisan-lapisan di bawah permukaan
bumi. Tujuan utama pemrosesan data seismik adalah :
1. meningkatkan signal to noise ratio (S/N)
2. memperoleh resolusi yang lebih tinggi dengan mengadaptasikan bentuk
gelombang sinyal
3. mengisolasi sinyal-sinyal yang diinginkan (mengisolasi sinyal refleksi dari
multiple dan gelombang-gelombang permukaan)
4. memperoleh gambaran yang realistik dengan koreksi geometri
5. memperoleh informasi-informasi mengenai bawah permukaan (kecepatan,
reflektivitas, dan lain-lain).

9
Proses-proses yang dilakukan dalam pengolahan data seismik antara lain:
2.3.1 Field Tape
Data seismik direkam ke dalam pita magnetik dengan standar format tertentu.
Standarisasi ini dilakukan oleh SEG (Society of Exploration Geophysics). Magnetic
tape yang digunakan biasanya adalah tape dengan format: SEG-A, SEG-B, SEG-
C, SEG-D, dan SEG-Y. Format data terdiri dari header dan amplitudo. Header
berisi informasi mengenai survei, seperti nomer lintasan, laju pencuplikan dan
nomer proyek (Sismanto, 1996).

2.3.2 Demultiplex
Gelombang seismik yang terpantul beserta noise dan gelombang lainnya
diterima oleh penerima masih berupa analog. Gelombang analog ini dicuplik
menjadi digital dengan menggunakan multiplexer pada interval tertentu di saat
perekaman. Proses ini dikenal dengan demultiplexing.
Pekerjaan Demultiplexing adalah mengatur kembali urutan sampel tersebut
berdasarkan kelompok kanal dan mengkoreksi kesalahan multiplexing, polaritas
dan statik (Sismanto,1996). Demultiplexing diperlukan karena data seismik yang
direkam dalam media penyimpanan pada umumnya masih dalam format
multiplexer (biasanya dalam format SEG-A, SEG-B, SEG-C, SEG-D) sehingga
menyebabkan data yang diperoleh bukan lagi gelombang-gelombang menurut trace
(biasanya dalam format SEG-Y) akan tetapi berupa gelombang-gelombang
menurut sampel. Jadi data demultiplex adalah data yang terurut berdasarkan trace
(trace sequential) yaitu data diurutkan berdasarkan nomor sampel untuk setiap satu
trace, sedangkan multiplex adalah data yang tersusun berdasarkan urutan channel.

2.3.3 Gain Recovery


Gain (penguatan) yang dikenakan pada data trace seismik di lapangan
berbentuk suatu fungsi yang tidak smooth, karena harganya bias naik turun secara
otomatis, maka mengakibatkan distorsi. Tetapi fungsi gain tersebut ikut terekam
dalam pita magnetik. Di pusat pengolahan data akan ditentukan parameter fungsi
gain yang baru sehingga fungsi gain yang digunakan menjadi lebih smooth.

10
Fungsi gain yang benar akan menghasilkan trace seismik dengan perbandingan
amplitudo-amplitudo sesuai dengan perbandingan masing-masing koefisien
refleksinya (Sismanto, 1996). Proses ini dikenal dengan istilah Automatic Gain
Control (AGC). Proses Automatic Gain Control (AGC) nantinya menghasilkan
kenampakan data seismik yang lebih mudah diinterpretasi.

2.3.4 Editing dan Muting


Trace yang terekam termasuk pula noise. Noise yang koheren bisa diredam
dengan berbagai cara di dalam pemrosesan. Tetapi noise yang tidak koheren,
dimana amplitudonya sangat tinggi, sulit/tidak bisa diredam kecuali dimatikan
seluruhnya atau sebagian saja. Mematikan sebagian atau seluruhnya dari trace
disebut editing dan muting (Sismanto,1996). Jenis noise yang biasanya di edit
adalah:
1. Trace mati, karena geophone sengaja tidak dipasang, sehingga kanalnya
akan berisi noise instrument atau karena kerusakan kanal
2. Trace yang mengandung noise elektro static, biasanya frekuensi tinggi
3. Trace yang merekam getaran langkah orang yang berjalan
4. Cross feed
5. Polaritas terbalik (bisa dikoreksi pada komputer)
6. Daerah first arrival (gelombang bias, pakai initial muting)
7. Noise dalam trace yang mengelompok ( pakai surgical muting)

2.3.5 Koreksi statik


Koreksi statik terdiri dari koreksi weathering layer (lapisan lapuk) dan
koreksi elevasi. Koreksi statik biasanya sangat diperlukan pada data seismik darat
untuk kompensasi beda waktu tempuh karena perbedaan ketinggian dari sumber
seismik ke sumber lainnya dan dari geophone ke geophone lainnya dan juga karena
tebal lapisan lapuk yang tidak sama serta adanya kecepatan rambat gelombang yang
bervariasi didalam lapisan lapuk (Sismanto, 1996).
Bidang referensi atau datum yang digunakan disebut sebagai Seismic
Reference Datum (SRD) dan biasanya diambil rata-rata dari ketinggian permukaan
laut (Mean Sea Level atau MSL). Proses koreksi statik dilakukan dengan cara

11
menggeser waktu tiap trace, sehingga didapatkan kemenerusan yang baik dari tiap
even seismik yang ada. Satu ketentuan pada perhitungan koreksi statik yang harus
diingat adalah bahwa bidang datum sebagai bidang waktu nol detik, dan di bawah
bidang datum tidak boleh adalapisan lapuk lagi. Hal ini berarti material lapuk telah
terganti (replaced) dengan material pengganti (Sismanto, 1996).

2.3.6 Filter
Penggunaan filter dalam pengolahan data seismik dikarenakan adanya noise
di dalam event seismik. Selain proses muting dan editing, proses filtering
mempunyai peranan sangat vital untuk reduksi noise. Data seismik mengandung
informasi sinyal yang harus terjaga selama dalam pemrosesan, tetapi data tersebut
juga mengandung noise yang harus dihilangkan atau dikurangi karena noise
tersebut akan mengaburkan informasi. Proses menjaga sinyal tetap utuh dan
peredaman noise disebut sebagai filtering (Sismanto, 1996). Bandpass filter adalah
metoda meloloskan sinyal seismik dengan batas-batas frekuensi tertentu yang
dikehendaki. Bandpass filter ini digunakan karena sinyal seismik banyak
mengandung noise yang berfrekuensi rendah seperti ground roll dan frekuensi
tinggi yang disebabkan oleh angin, air blast, statik atau petir.

Gambar 2.10 Berbagai jenis filter frekuensi satu dimensi (Sismanto, 1996)

12
Noise dapat dipisahkan dari sinyal dalam domain frekuensi. Daerah di bawah
garis putus-putus pada (Gambar 2.10) merupakan domain frekuensi (pita
frekuensi) yang dikehendaki, sedangkan di luar itu merupakan kawasan frekuensi
yang dihilangkan atau noise. Sering data seismik mempunyai kandungan frekuensi
yang sama dengan kandungan frekuensi noise tetapi berbeda bilangan
gelombangnya.apabila untuk menghilangkan noise tersebut dilakukan dengan filter
frekuensi biasa, maka informasi data akan ikut hilang. Oleh karena itu untuk
menjaga agar informasinya tetap utuh dapat digunakan filter f-k.
Even-even dalam data seismik mempunyai banyak kemiringan even (dalam
milidetik per trace, bukan kemiringan dari struktur geologi). Tiap kemiringan yang
berbeda dalam domain T-X akan berubah menjadi garis dengan kemiringan yang
berbeda pula dalam domain F-K. Even horisontal dalam domain T-X mempunyai
nilai bilangan gelombang sama dengan nol sehingga dalam domain F-K akan diplot
sepanjang sumbu frekuensi. Semakin besar kemiringan suatu even dalam domain
T-X semakin dekat plotnya ke sumbu bilangan gelombang.
Sinyal dengan kemiringan positif akan mempunyai bilangan gelombang
positif dan sinyal dengan kemiringan negatif akan mempunyai bilangan gelombang
yang negatif . Noise semacam groundroll, memiliki kemiringan yang rendah
terhadap bilangan gelombangnya (Gambar 2.11).. Terpisahnya noise ini akan
memudahkan filter F-K untuk memisahkan frekuensi-frekuensi yang tidak
diinginkan (Sismanto,1996).

Gambar 2.11 Frekuensi (f) versus bilangan gelombang (k), (Sismanto,1996)

13
2.3.7 Dekonvolusi
Dekonvolusi dilakukan untuk menghilangkan atau mengurangi pengaruh
ground roll, multiple, reverberation, ghost serta memperbaiki bentuk wavelet yang
kompleks akibat pengaruh noise. Dekonvolusi merupakan proses invers filter
karena konvolusi merupakan suatu filter. Bumi merupakan low pass filter yang baik
sehingga sinyal impulsif diubah menjadi wavelet yang panjangnya sampai 100 ms
(Gambar 2.12). Wavelet yang terlalu panjang mengakibatkan turunnya resolusi
seismik karena kemampuan untuk membedakan dua event refleksi yang berdekatan
menjadi berkurang (Sukmono, 2001).
Secara garis besar dekonvolusi dibagi menjadi dua yaitu dekonvolusi
deterministik dan dekonvolusi statistik. Deterministik artinya dekonvolusi
menggunakan operator filter yang sudah diketahui atau didesain untuk
menampilkan suatu bentuk tertentu. Contoh adalah spiking deconvolution. Apabila
desain filter tidak diketahui, desain filter dapat diperoleh secara statistik dari data
itu sendiri (Sismanto,1996). Metode ini disebut dekonvolusi statistik. Contohnya
adalah Predictive Deconvolution.
a. Spiking deconvolution
Dekonvolusi jenis ini pada prinsipnya ditujukan untuk membentuk
sinyal. Di dalam penapisan dengan dekonvolusi spike, diharapkan bahwa
wavelet yang keluar berupa spike (zero lag spike) yaitu (1, 0, 0, 0…). Proses
tersebut disebut Wiener Spiking Filter. Filter Wiener adalah sebuah proses
operasi matematika yang menganut azas kuadrat terkecil (least square creteria)
dalam menjalankan operasinya. Tahap operasinya dibagi menjadi dua tahap
yakni tahap perancangan (filter design) dan tahap pemakaian (filter
application).
b. Predictive Deconvolution
Dekonvolusi jenis ini memakai predictive filter. Predictive Filter
adalah suatu filter yang berusaha menghilangkan efek multiple. Prediksi waktu
tunda filter ini dapat diperkirakan dari selisih waktu tiba rambatan gelombang
pantul utama (primer) terhadap waktu tiba rambatan gelombang multiple-nya.
Operator predictive filter serupa dengan filter Wiener, hanya data keluarannya

14
untuk sinyal utama harus terjaga baik, dan nol untuk sinyal multiple-nya
(Sismanto,1996).

Gambar 2.12 Dekonvolusi (Yilmaz, 1987)

Dekonvolusi prediktif dilakukan dengan cara mencari bagian-bagian yang bisa


diprediksi dari trace seismik untuk kemudian dihilangkan. Dekonvolusi prediktif
biasanya dipergunakan untuk prediksi dan eliminasi event-event yang berulang
secara periodik seperti multiple periode panjang maupun pendek, dan Prediksi dan
eliminasi ekor wavelet yang panjang dan kompleks.

2.3.8 Trace Gathering


Trace Gathering merupakan penggabungan atau pengelompokan trace
seismik menurut kesamaan masing-masing trace, yang dapat berupa Common
Source Point (CSP), Common Depth Point (CDP), Common Offset, Common
Receiver, dan lain-lain (Gambar 2.13). Pengelompokan ini memudahkan analisis
dan mempercepat pemrosesan sesuai keperluan (Sismanto,1996).

15
Gambar 2.13 CDP/CMPgather (Liner, 1999)

2.3.9 Analisa Kecepatan


Analisa kecepatan merupakan suatu proses coba-coba (trial and error)
untuk memperoleh kecepatan yang tepat (Munadi, 2002). Tujuan dari analisa
kecepatan adalah untuk menentukan kecepatan yang sesuai untuk memperoleh
stacking yang terbaik. Pada grup trace dari suatu titik pantul, sinyal refleksi yang
dihasilkan akan mengikuti bentuk pola hiperbola. Prinsip dasar analisa kecepatan
pada proses stacking adalah mencari persamaan hiperbola yang tepat sehingga
memberikan stack yang maksimum. Menurut Sismanto (1996) ada beberapa jenis
kecepatan dalam pengolahan data seismik, antara lain:

2.3.9.1 Kecepatan NMO (Normal Move Out)


Kecepatan Normal Move Out (NMO) merupakan kecepatan yang memiliki
nilai empiris untuk menghilangkan perbedaan waktu tempuh gelombang seismik
akibat efek perubahan jarak antara sumber dan penerima terhadap jarak vertikal
titik reflektor ke permukaan. Waktu tempuh gelombang bertambah seiring dengan
bertambahnya offset. Persamaan matematis kecepatan NMO dapat dilihat pada
persamaan (2.3).

𝑿𝟐 (2.3)
𝑽𝑵𝑴𝑶 = √ 𝟐
(𝑻𝒙 − 𝑻𝟐𝟎 )

dengan 𝑇𝑥 : waktu tempuh dua arah pada jarak x (ms)


𝑇0 : waktu tempuh dua arah pantulan normal (ms)
𝑋 : jarak dari offset nol ke offset x (m)

16
2.3.9.2 Kecepatan RMS (Root Mean Square)
Model bumi tersusun atas beberapa pelapisan batuan yang horizontal, setiap
lapisan memiliki kecepatan gelombang seismik tertentu. Kecepatan RMS secara
teori adalah kecepatan yang diperoleh dari time migration. Kecepatan RMS secara
matematik berkaitan dengan kecepatan interval. Kecepatan RMS untuk n lapis
dilihat pada persamaan (2.4).

𝟏/𝟐
[∑𝒏 𝟐
𝒊=𝒍 𝑽𝒊 𝒕𝒊 ]
𝑽𝒓𝒎𝒔 = [ ∑𝒏
] (2.4)
𝒊=𝒍 𝒕𝒊

dengan 𝑽𝒊 : kecepatan masing-masing lapisan (m/s)


𝒕𝒊 : waktu tempuh masing-masing lapisan (ms)

2.3.9.3 Kecepatan Interval


Kecepatan interval adalah kecepatan muka gelombang rata-rata antara dua
titik dalam satu medium yang diukur tegak lurus diantara dua lapisan yang
diasumsikan mendatar. Kecepatan interval biasanya dapat diperoleh dari kecepatan
RMS atau kecepatan Stack dengan menggunakan persamaan Dix. Persamaan Dix
dapat dilihat pada persamaan (2.5).

𝑽𝟐𝒏 𝒕𝒏 −𝑽𝟐(𝒏−𝟏) 𝒕(𝒏−𝟏)


𝑽𝟐 𝒊𝒏𝒕 = (2.5)
𝒕𝒏 −𝒕(𝒏−𝟏)

dengan 𝑽𝒏 : kecepatan RMS lapisan n (m/s)


𝒕𝒏 : waktu tempuh pada lapisan n (ms)

2.3.9.4 Kecepatan Sesaat (Instantneous Velocity)


Kecepatan sesaat merupakan tambahan jarak yang kecil dari jarak dibagi
dengan waktu yang diperlukan untuk gelombang akustik (P-wave) menjalar
melewati jarak tersebut. Kecepatan ini lebih menggambarkan kecepatan yang
sesungguhnya karena merupakan kecepatan yang khusus pada lokasi tersebut.
Secara matematis dapat dilihat pada persamaan (2.6).

∆𝒛 𝒅𝒛
𝑽𝒊𝒏𝒔 = 𝐥𝐢𝐦 = (2.6)
∆𝒙→𝟎 ∆𝒕 𝒅𝒕

17
dengan ∆𝒛: kedalaman (m)
∆𝒕 : waktu tempuh gelombang (ms)

2.3.9.5 Kecepatan Stacking


Stacking merupakan proses penggabungan trace CDP menjadi trace tunggal
dan merupakan mekanisme utama untuk menghilangkan multiple dan noise lainnya.
Kecepatan stacking digunakan untuk membuat penampang stack yang ditunjukan
dengan gather lurus menggunakan persamaan NMO.

2.3.9.6 Kecepatan Migrasi


Kecepatan migrasi merupakan kecepatan yang menghasilkan penampang
migrasi yakni kecepatan RMS untuk time migration atau kecepatan interval untuk
depth migration.

2.3.10 Koreksi Dinamik/Koreksi NMO


Koreksi NMO diperlukan karena untuk satu titik di bawah permukaan akan
terekam oleh sejumlah geophone sebagai garis lengkung (hiperbola). Di dalam CDP
gather koreksi NMO diperlukan untuk mengoreksi masing-masing CDPnya agar
garis lengkung tersebut menjadi lurus, sehingga saat di stack diperoleh sinyal yang
maksimal (Sismanto,1996). Koreksi NMO dapat dilihat pada persamaan (2.7).

𝑋 2 1/2
𝑇𝑥 = [𝑇02 + (𝑉 ) ] (2.7)
𝑁𝑀𝑂

dengan 𝑻𝒙 : waktu tempuh dua arah pada jarak x


𝑻𝟎 : waktu tempuh dua arah pantulan normal
X : jarak dari offset nol ke offset x
VNMO : kecepatan Normal Move Out

NMO (Normal Move Out) adalah perbedaan antara waktu jalar gelombang
yang diterima oleh zero offset dan offset sesudahnya. Perbedaan ini dikarenakan
jarak dari near offset dengan far offset, akibatnya energi gelombang akan semakin

18
banyak teredam dalam perjalanannya. Berkurangnya kecepatan ini akan
memperlambat receiver menerima first break (Gambar 2.14).

Gambar 2.14 Koreksi NMO dalam mengubah reflektor yang hiperbolik (Yilmaz, 1987)

Koreksi NMO merupakan koreksi yang bertujuan untuk mengembalikan


masing-masing reflektor sehingga rekaman di subsurface yang tadinya berupa garis
lengkung menjadi garis lurus pada zero offset dan sinyal yang diperoleh menjadi
maksimal (Gambar 2.15). Bila kecepatan NMO yang digunakan bernilai benar,
maka rekaman seismik akan terlihat datar. Sedangkan jika kecepatan yang dipakai
terlalu rendah maka even seismik akan terlihat melengkung ke atas (overcorrected),
dan jika kecepatan yang dipakai terlalu cepat maka even seismik akan terlihat
melengkung ke bawah (undercorrected) (Yilmaz, 2001).

Uncorrected Velocity correct Overcorrected Undercorrected

Gambar 2.15 Koreksi NMO dengan variasi kecepatan (Yilmaz, 2001).

2.3.11 Stacking
Stacking adalah proses penjumlahan trace-trace dalam satu gather data yang
bertujuan untuk mempertinggi sinyal to noise ratio (S/N). Proses ini biasanya

19
dilakukan berdasarkan CDP yaitu trace-trace yang tergabung pada satu CDP dan
telah dikoreksi NMO kemudian dijumlahkan untuk mendapat satu trace yang tajam
dan bebas noise inkoheren (Gambar 3.16) .

Gambar 2.16 Konsep Stacking (Liner, 1999)

2.3.12 Migrasi
Migrasi adalah proses yang dilakukan untuk memindahkan titik reflektor data
seismik pada posisi yang benar secara horizontal maupun vertikal. Ketidaktepatan
posisi reflektor ini disebabkan oleh efek difraksi yang terjadi ketika gelombang
seismik mengenai ujung atau puncak dari suatu diskontinuitas akibat adanya
struktur geologi seperti lipatan atau sesar (Kearey and Brooks, 2002).

Gambar 2.17 Titik refleksi yang tidak sesuai (Yilmaz, 1987)

20
Migrasi dilakukan dengan cara menggeser reflektor ke arah up-dip sepanjang
garis kurva hiperbolik dimana bentuk dari hiperbola tersebut bergantung pada
kecepatan medium tempat gelombang seismik tersebut merambat (Gambar 2.17).
Migrasi secara umum merubah reflektor menjadi lebih curam yang mempengaruhi
penampilan data seismik setelah migrasi. Struktur antiklin setelah migrasi menjadi
lebih sempit dibandingkan dengan ketika sebelum migrasi. Struktur sinklin setelah
migrasi menjadi lebih lebar dibandingkan dengan ketika sebelum migrasi (Yilmaz,
1987) (Gambar 2.18).

Gambar 2.18 Migrasi (a) struktur antiklin sebelum migrasi, (b) struktur antiklin setelah
migrasi, (c) struktur sinklin sebelum migrasi, (d) struktur sinklin setelah
migrasi (Yilmaz, 1987)

Migrasi seismik merupakan bagian dari pengolahan data seismik yang


bertujuan untuk menghilangkan efek difraksi dan pengaruh kemiringan reflektor.
Melalui proses migrasi kondisi bawah permukaan dapat digambarkan secara
realistik dan meningkatkan resolusi (memfokuskan energi). Migrasi dapat
diklasifikasikan kedalam beberapa bagian berdasarkan kawasan dimana migrasi
bekerja, berdasarkan urutan tipe migrasi dan berdasarkan algoritma yang digunakan
(Anonim, 2008). Banyaknya metode migrasi dalam pengolahan data seismik
dikarenakan meningkatnya kebutuhan untuk menggambarkan kondisi bawah

21
permukaan secara realistik dengan mempertimbangkan efisiensi, efektivitas dan
kebutuhan masing-masing pengguna.
2.3.13 Migrasi Berdasarkan Kawasan
Migrasi berdasarkan kawasan terbagi menjadi dua yaitu migrasi pada
kawasan waktu (time) dan migrasi pada kawasan kedalaman (depth). Perbedaan
mendasar antara Time Migration dengan Depth Migration bukanlah masalah
domain waktu ataupun kedalaman, akan tetapi yang membedakan adalah model
kecepatan yang digunakan (Holt, 2007). Time Migration memiliki variasi kecepatan
yang smooth dan Depth Migration memiliki kecepatan yang kompleks (Gambar
2.19).

(a) (b)

Gambar 2.19 Ilustrasi penjalaran gelombang (a) Time Migration, (b) Depth Migration
(Yilmaz, 1987)

Time migration berasumsi bahwa gelombang merambat lurus di bawah


permukaan. Hasil akhir dari proses Time Migration adalah penampang seismik
yang ditampilkan dalam skala waktu. Migrasi ini berasumsi bahwa model
kecepatan merupakan gradien kecepatan vertikal. Dari asumsi tersebut perbedaan
antara waktu dan kedalaman hanya dalam skalanya saja. Pada proses kontinuasi
kebawah proses pencuplikan dilakukan dengan Δt konstan. Sehingga berlaku
persamaan (3.8).

𝑉
∆𝑧 = ∆𝑡 2 (2.8)

dengan Δt : interval pencuplikan waktu (ms)


Δz : interval pencuplikan kedalaman (m)

22
V : kecepatan penjalaran gelombang pada medium yang dilewati (RMS
Velocity) ( m/s)
Migrasi dalam kawasan kedalaman adalah migrasi menggunakan asumsi
perambatan gelombang sesuai dengan kondisi aslinya. Hasil akhir proses Depth
Migration adalah penampang seismik yang ditampilkan dalam kawasan kedalaman
(depth). Sebagai input untuk migrasi kedalaman adalah interval velocity. Model
kecepatan ini didapat dengan menelusuri jejak-jejak sinar dari titik difraksi di
permukaan (Holt, 2007). Dari model kecepatan itu hasil penampang seismik dapat
ditampilkan dalam bentuk kawasan kedalaman (depth).

2.3.14 Migrasi Berdasarkan Tipe


Migrasi Setelah Stack (Post Stack Migration)
Migrasi Post Stack adalah migrasi seismik yang dilakukan pada data yang
telah mengalami proses stacking. Post Stack Migration dilakukan setelah proses
NMO dan Stack. Migrasi Post Stack dilakukan pada reflektor-reflektor yang
sederhana atau memiliki kecuraman yang relatif datar. Metode Post Stack adalah
metode yang lebih sederhana dibandingkan dengan metode Pre Stack terutama
dalam proses dan algoritma yang digunakan (Yilmaz, 2001). Adapun kelebihan dan
kekurangan metode Post Stack disajikan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Kekurangan dan kelebihan metode Post Stack (Bancroft, 2001)

No Kelebihan Kekurangan
Terbatas pada event reflektor yang
1 Biaya yang relatif murah
tidak terlalu kompleks
Waktu pengolahan data yang Kualitas penampang seismik yang
2
lebih singkat tidak lebih baik dibanding Pre Stack

Migrasi Sebelum Stack (Pre Stack Migration)


Migrasi Pre Stack adalah migrasi seismik yang dilakukan sebelum proses
stacking. Pada suatu reflektor miring, pengaruh reflektor miring dan offset yang
besar akan menyebabkan Stacking Velocity lebih besar dari RMS Velocity. Sehingga
bila diasumsikan Stacking Velocity sama dengan RMS velocity untuk menentukan

23
kecepatan interval maka hasil yang diperoleh tidak akurat. Model kecepatan yang
tidak akurat akan mempengaruhi penggambaran kondisi bawah permukaan pada
penampang seismik.
Proses pengolahan data migrasi Pre Stack meliputi pengaturan trace dalam
tiap-tiap common offset gather. Migrasi setiap common offset gather dari offset
terdekat (near offset) sampai dengan offset terjauh (far offset), pengembalian lagi
kedalam bentuk CDP gather, dan koreksi NMO (Anonim, 1983). Pada pengolahan
data seismik Pre Stack dilakukan dengan cara memfokuskan energi event seismik
sebelum proses stack, sehingga data untuk proses stack lebih sederhana. Event
seismik akan ditempatkan pada tempat yang sebenarnya sebelum proses stack.
Sehingga akan membantu dalam proses stack dan proses Pre Stack Migration akan
mengkoreksi ketidaktepatan reflektor. Kelebihan dan kekurangan metode Pre Stack
disajikan pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Kekurangan dan kelebihan metode Pre Stack (Bancroft, 2001)

No Kelebihan Kekurangan
Dapat digunakan pada struktur Proses pengolahan yang relatif
1 geologi yang kompleks dan reflektor lebih lama dibanding metode
curam Post Stack
Dapat digunakan pada kondisi Biaya yang lebih mahal
2 geologi dengan perubahan kecepatan dibanding metode Post Stack
yang bervariasi
3 Akurat dalam pemodelan salt diapir -

2.3.15 Migrasi Berdasarkan Algoritma


Migrasi Finite Diffrence
Asumsi yang digunakan pada proses migrasi ini adalah teori reflektor
meledak. Berawal dari teori tersebut maka migrasi merupakan proses kontinuasi
kebawah (Claerbout, 1985). Teknik migrasi ini didasarkan pada penyelesaian
persamaan diferensial gelombang skalar. Migrasi finite difference dikenal sebagai
migrasi domain waktu atau migrasi persamaan gelombang.

24
Pada migrasi jenis ini digunakan pendekatan deterministik prosedur
migrasinya dimodelkan melalui persamaan gelombang. Persamaan tersebut
kemudian didekati oleh persamaan yang lebih sederhana, dan setelah itu
penyelesaiannya didekati oleh algoritma finite difference (Sismanto,1996).
Keuntungan dari metode ini adalah kenampakan yang baik bila data seismik
mempunyai S/N yang rendah. Rekaman data seismik menunjukan respon
gelombang seismik di permukaan yang dituliskan U(x,0,t) dalam penjalarannya di
bawah permukaan maka akan tercatat dan ditransformasikan menjadi U(x,z,0)
merupakan hasil dari data yang telah di migrasi.

Migrasi Frekuensi-Bilangan Gelombang


Pada umumnya migrasi dilakukan pada kawasan jarak (offset) dan waktu
(time). Migrasi F-K adalah migrasi yang dilakukan dalam kawasan yang berbeda
yaitu kawan frekuensi dan bilangan gelombang (Stolt, 1978). Menggunakan Fourier
Transform dapat mengilustrasikan proses migrasi ini (Gambar 2.20). Meskipun
migrasi F-K hanya ideal untuk data seismik yang memiliki kecepatan konstan, tapi
metode ini memiliki sebuah nomor dan aplikasi tambahan yang dapat digunakan
untuk meningkatan kecepatan dan keakuratan proses migrasi. Migrasi ini dilakukan
berdasarkan frekuensi dan bilangan gelombang yang terdapat pada data seismik.
Proses migrasi dilakukan dengan rentangan frekuensi tertentu dengan melihat
kandungan sinyal pada data seismik. Algoritma Migrasi F-K dapat digunakan
dengan baik pada daerah yang tidak memiliki variasi kecepatan yang kompleks
(smooth velocity variation) seperti: lingkungan laut, cekungan sedimen, atau
basement yang tersingkap untuk pertambangan granit (Bancroft, 2001).

Gambar 2.20 Ilustrasi proses Migrasi F-K, (a) input data dalam time section, (b) input
Fourier Transform section, (c) migrasi Fourier transform section, (d) depth
section setelah proses Fourier Transform (Bancroft, 2001).

25
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Diagram Alir

Mulai

SEG-D Input

Geometri

Editing

Trace Editing

Velocity Analysist I

True Amplitudo Recovery


(TAR)

Dekonvolusi

Velocity Analysist II

Normal Moveout Correction


(NMO)

Residual Tidak
Statik

Ya

26
1

Pre-Stack Time Migration


(PSTM)

Seismic Section

Selesai

Gambar 3.1 Diagram Alir

27
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Langkah-Langkah Pengolahan Data Seismik


Langkah-langkah dalam pengolahan data seismik dapat di bahas satu persatu
dalam bab ini.
1. Instal software promax, setelah itu masuk ke dalam software promax yang
telah di instal.

2. Memindahkan data kedalam promax dengan menggunakan flash disk. Klik


device – USB – masukan nama FD) maka akan muncul pada jendela promax
“No name” kemudian klik, copy dan pindahkan data kedalam software
promax dengan cara : klik computer – file sytem – paste data kedalam file
system.
3. Klik kanan pada jendela promax – open terminal – ketik “promax” – enter.

28
Maka akan masuk pada tahap flow promax.
4. Setelah masuk pada tahapan flow, pertama akan add nama lokasi, line, dan
masuk pada tahap flow pengolahan. Klik add dan masukan nama lokasi
“Kasuri”

Klik pada “Kasuri” – add (masukan nama line) “150”

29
5. Klik pada line “150” selanjutnya akan membuat flow chart pengolahan data
seismik. Buatlah flow input data 1.SEG-D Input seperti di bawah ini.

 Klik tengah SEG-D Input menggunakan mouse, ubahlah type of


storage to use ubah menjadi disk. Pada browse for disk file path
name klik browse kemudian buka pada file 150_DVD2 – pilih file
SEG-D – normal – copy data – add (Lakukan cara yang sama
dengan data yang berbeda pada satu line)
*Karena ini format SEG-D maka akan di copy satu persatu data pada
tiap file SEG-D*
Input AUXILIARY trace pilih No.
 Klik tengah Disk data output - output dataset filename “Raw Data”
kemudian EXECUTE.
--- Add Flow Comment ---
 Kemudian klik tengah pada disk data input – masukan nama file
“Raw Data” yang telah di execute pada tahap pertama. Ganti Trace
read option dengan select primary traces header entri dengan FFID.
 Trace Display kemudian EXECUTE. (matikan tahap pertama)
 Maka akan muncul trace-trace seismik, pilih file – save – file – exit
flow.

30
6. Exit dari jendela 1.SEG-D Input kemudian lanjut membuat flow baru dengan
flow 2.Geometri.

 Nyalakan 2D Land Geometry Spreadsheet* dan trace display


kemudian EXECUTE, maka akan keluar tabel seperti di bawah ini :

 Pilih Setup kemudian masukan nilai Nominal receiver dan


nominal source stastion interval sesai dengan tabel
pengontrolnya yang dapat di liat pada folder observeLog.
Masukan juga nilai azimuthnya sesuai dengan peta
penelitian dan posisi line nya. Kemudian OK.

31
 Pilih Receiver – file – import – Filter (*/) – 150_DVD1 –
Geometry – RPS – OK. Hapus data yang tidak digunakan
dengan cara klik pada bagian atas huruf terdepan kemudian
klik tengah mouse pada batas data yang akan di ignore
dengan cara ctrl+D. Copy data station, koordinat X,
koordinat Y dan elevasi. Klik Format – RPS (Masukan
nama) – OK – klik Filter – OK – Apply – OK – file – save –
file – exit.

 Pilih Source – file – import – Filter (*/) – 150_DVD1 –


Geometry – SPS – OK. Hapus data yang tidak digunakan

32
dengan cara klik pada bagian atas huruf terdepan kemudian
klik tengah mouse pada batas data yang akan di ignore
dengan cara ctrl+D. Copy data source, station, koordinat X,
koordinat Y, elevasi, uphole dan hole depth. Klik Format –
SPS (Masukan nama) – OK – klik Filter – OK – Apply – OK
– file – save – file – exit.
 Masih dalam kolom hijau SPS klik file – import – Filter (*/)
– 150_DVD1 – Geometry – XPS – OK. Hapus data yang
tidak digunakan dengan cara klik pada bagian atas huruf
terdepan kemudian klik tengah mouse pada batas data yang
akan di ignore dengan cara ctrl+D. Copy data FFID dan Num
Chn. Klik Format – FFID (Masukan nama) – OK – klik
Filter – OK – Apply – OK – file – save – file – exit. Pada
kolom pattern akan di isikan data seperti kolom mark block.
Pilih kolom pertama pada mark block kemudian shift+klik
kolom terakhir pada mark block kemudian klik tengah pada
pada kolom pattern (maka akan ter copy data mark block
kedalam kolom pattern). Isikan Starting values dan
increment dengan angka 1 kemudian OK.

 Pilih pattern – Recording sytem channels – max number of


data (masukan nilai max chan), pilih varying number of
channels/record – OK. Pilih file – import – Filter (*/) –
150_DVD1 – Geometry – XPS – OK. Hapus data yang tidak
digunakan dengan cara klik pada bagian atas huruf terdepan
kemudian klik tengah mouse pada batas data yang akan di
ignore dengan cara ctrl+D. Copy data Min chan, max chan,

33
chan inc, receiver min chan, receiver max chan, receiver inc.
Klik Format – XPS (Masukan nama) – OK – klik Filter –
OK – Apply – OK – file – save – file – exit. Pada kolom
pattern akan di isikan data seperti kolom mark block. Pilih
kolom pertama pada mark block kemudian shift+klik kolom
terakhir pada mark block kemudian klik tengah pada pada
kolom pattern (maka akan ter copy data mark block kedalam
kolom pattern). Isikan Starting values dan increment dengan
angka 1 kemudian OK.
*Bila terjadi eror mungkin rechording system chanelsnya
harus dirubah dengan cara dilihat nilai max/gap chan
maksimumnya.* Edit – Nchans – Ganti nilai max number
data channels/record.

 Pilih setup ganti nilai first live station number dan last live
station number dengan nilai minimal dan maximal station
(dapat dilihat di dalam tabel pengontrol). Ganti Assign
Midpoints Method (Required) dengan Matching pattern
number using pattern station shift – OK.
 Pilih bin – OK – pilih binning (Add source and receiver
stations user defined OFB parameters) – OK – pilih binning
(Grid using nominal receiver azimuth and interval user
defined OFB parametrs) – OK- pilih finalize – OK.

34
 Pilih TraceQC, Pilih view – View all – XY graph.– klik kiri
pada CDP* - klik tengah pada Offset*.

Maka akan muncul seperti pada gambar dibawah ini.

--- Add Flow Coment ---


 Klik tengan pada disk data input – select dataset – 1.Raw Data
(masukan data yang telah di execute pada tahap awal)
 Aktifkan Inline geom header load

35
 Klik tengah pada disk data output – select data – add – 2.Geometri
(masukan nama file). Matikan tahap pertama dan EXECUTE.
7. Selanjutnya masuk pada tahap 3.Editing yang mempunyai 3 tahapan.

 Tahap pertama adalah tahapan dispay gather. Klik tengah


pada disk data input – 2.Geometri (masukan data dari hasil
execute pada tahapan sebelumnya) aktifkan beserta dengan
trace display kemudian EXECUTE. Maka akan muncul
trace-trace seismik yang kemudian akan dilakukan killing
dan muting. Klik picking – kill trace – “killing” (masukan
nama) – OK – OK.

36
*Killing dilakukan pada tiap trace yang mempunyai
amplitudo yang buruk seperti amplitudo yang terlalu tinggi
dan yang berbentuk spike* file – save pick.
 Setelah dilakukan tahapan killing selanjutnya akan dilakukan
tahap mutting, tahapnya hampir sama dengan killing. Picking
– pick top mute – “topmute” (masukan nama) – OK – OK

*Muting dilakukan hanya pada bagian atas saja dan di


usahakan jangan sampai mengenai atau memotong data,
karena tujuan dari muting sendiri hanya menghilangkan efek
dari noise dan gelombang yang mengganggu data* file – save
pick.
 Kemudian pada tahap kedua klik tengah pada trace
kill/reverse, select trace kill parameter – “killing” (masukan
nama file pada trace yang telah dilakukan killing). Klik
tengah pada muting, type of mute pilih “top” (karena hanya

37
melakukan muting pada bagian atas), select mute parameter
file “topmute” (masukan nama file pada data yang telah
dilakukan muting pada tahap sebelumnya).
 Klik tengah pada disk data output, output dataset file nama
– add – 3.Trace Editing (masukan nama baru). Kemudian
matikan tahap pertama dan EXECUTE.
 Untuk melihat trace pada hasil killing dan muting, masukan
disk data input pada tahap ke tiga ini. Disk data input –
3.Trace Editing, trace display. Aktifkan hanya pada tahap
ketiga ini saja kemudian EXECUTE.
8. Tahap selanjutnya adalah tahap 4.Velocity Analisi I, pada tahap ini hanya
di lakukan velan pada 1 CDP saja yang dianggap paling baik. Terdapat 3
tahapan :

 Pada tahap pertama, klik tengah pada 2D supergather formation* -


select dataset – 3.Trace Editing (masukan data pada tahap
sebelumnya).
 Bandpass Filter
 Klik tengah pada velocity analysis precompute, Minimum semblance
analysis value (masukan nilai 1500) dan Maximum semblace
analysis value (masukan 6500).
 Klik tengah pada disk data output – dataset – add – 4.Velan1
(masukan nama baru). Nyalakan hanya pada tahap 1 saja kemudian
EXECUTE.

38
 Pada tahap kedua klik tengah pada disk data input – select dataset –
4.velan (masukan nama file pada data sebelumnya).
 Klik tengah pada velocity analysis, select dataset – 4.Velan
(masukan file yang sama), table to store velocity pick – add – VO1
Table (simpan dengan nama file baru), Get guide funcition from an
existing parameter table (NO), guide min value (masukan nilai
1500), guide max time value (masukan nilai 4000). Parameter nilai
guide yang dimasukan berdasarkan kecepatan batuan. Matikan tahap
ke 3 dan 4 kemudian EXECUTE, maka akan mucul seperti ini :

*Pada tahap ini pilhlah 1 CDP yang paling bagus untuk dilakukan
velan. Picking dilakukan pada gambar yang bewarna merah atau
yang menunjukan semblance. Untuk melihat hasil nya klik gather –
apply NMO*
 Pada tahap ketiga dan ke empat akan di munculkan gambar
persebaran kecepatan nya.

9. Setelah dilakukan velocity analisis tahap selanjutnya membuat flow 5.TAR,


yang mempunyai 2 tahapan.

39
 Pada tahap pertama klik tengah pada disk data input – select dataset
(masukan data pada tahap sebelumnya 3.Trace Editing), yang
dimasukan bukan data velan karena velan bukan data seismik tetapi
velan hanya menunjukan semblance saja.
 Klik tengah pada true amplitude recovery – masukan data yang telah
dilakukan velan1 (VO1-Table), apply spherical divergence
correction (yes), basic for spherical spreading (1/(time*vel*2),
select velocity parameter file – masukan data velan (VO1-Table),
apply dB/sec correction (yes). dB/sec correction start time (time
zero), dB/sec correction contant (masukan nilai yang dapat diganti
tergantung dari trace displaynya, jika amplitudo bagian bawah
masih sangat kuat akan diganti nilai yang akan dimasukan).
 Klik tengah pada disk data output, output dataset filename – add –
5.TAR
--- Add Flow Comment ---
 Pada tahap kedua klik tengah pada disk data input, select dataset –
5.TAR (pilih file hasil dari tahap pertama)
 Trace display. Aktifkan semua tahap 1 dan tahap 2 kemudian
EXECUTE.
*Jika hasil trace nya masih menunjukan kontras yang sangat
berbeda, atau menunjukan amplitudo yang sangat besar dapat di
ganti nilai dari dB/sec correction contant pada tahap 1)

40
 Sebelum masuk pada tahap selanjutnya dalam pengolahan
data seismik, nyalakan flow pada TAR tahap kedua saja
kemudian EXECUTE.
 Pada trace display kali ini akan dilakukan gate yang akan
digunakan pada tahap dekonvolusi. Klik picking – pick
missellaneous time gate – enter new table name “Gate” –
OK – pilih dengan format CHAN – OK.
 Klik kanan pada mouse – new layer “Gate2”
 Picking gate akan dilakukan dengan cara picking gate dan
picking gate2. Picking gate dilakukan dengan cara
melakukan picking dibawah dirrect wave atau dapat dilihat
pada trace dibawah amplitudo yang sangat tinggi. Sedangan
picking gate2 di lakukan di bawah. Lakukan picking gate
sampai pada CDP terakhir.

10. Selanjutnya adalah tahap dekonvolusi, terdapat 2 tahapan pada tahap


deonvolusi.

41
 Pada tahapan 1 klik tengah pada disk data input – masukan 5.TAR
(data yang telah dibuat pada tahapan sebelumnya).
 Klik tengah pada spike & noise burst edit (dapat memilih salah satu
antara freq rendah atau freq tinggi yang akan digunakan) dengan
cara membuat flow baru untuk mengetahui freq ground roll atau
spike.

 Klik tengah pada disk data input – masukan data 5.TAR dan
kemudian EXECUTE (hanya disk data input saja yang
dinyalakan).
 Klik tengah pada Interactive Spectral Analysis, ganti data
selectio method dengan (single subset), number of traces per
analysis location (di isikan dengan data max chan).

42
 Setelah muncul tampilan trace, frekuensi akan diperbesar
pada kotak frekuensi dan dapat dilihat pada ground roll
terletak pada frekuensi brapa.
 Kembali lagi pada tahapan spike & noise burst edit – Freq of
noise burst relative to data (Higher). Tergnatung pada
proses ETC, spike / ground roll berada pada freq brapa.
 Klik tengah pada surface wave noise attenuation akan di isikan
dengan kecepatan gelombang S yang dapat dilihat pada trace display
tahap TAR. Klik gambar dx/dt, klik kiri mouse pada awal gelombang
S dan klik kanan untuk mengetahui kecepatan gelombang S
(masukan kecepatan gelombang S ini pada surface wave noise
attenuation.
 Klik tengah pada surface consisten dekon, select time gate
parameter file – “gate” masukan data gate yang telah dibuat pada
trace display pada flow TAR. TYPE of deconvolution (predictive),
prediction distance ms (8), decon operator lenght (120).
*Pada prediction distance dan decon operator lenght dapat dirubah-
rubah jika data yang dihasilkankurang baik*
 Klik tengah pada bandpass filter, ormsby filter frequency values (8-
12-200-250) masukan range nilai freq terendah dan tertinggi.
 Klik tengah pada disk data output, output dataset filename – add –
6.Dekon. Hidupkan tahap 1 saja kemudian EXECUTE.
--- Add Flow Comment ---

43
 Klik tengah pada disk data input – masukan 6.Dekon pada tahap
sebelumnya yang telah di execute.
 Trace display. Matikan tahap 1 kemudian EXECUTE.

11. Tahap selanjutnya 7.Velocity analisis 2, pada tahapan velan2 sama seperti
tahap velan1 yang mempunyai 2 tahapan sebagai berikut :

 Pada tahap pertama klik tengah pada 2D supergather formation*,


select dataset – add – 6.Dekon CDP incement diganti dengan 80
untuk mempermudah waktu picking velan jarak CDP nya tudak
berdekatan.
 Automatic Gain Control (samakan dengan tahap velan1)
 Velocity analisis precompute (samakan dengan tahap velan1)
 Klik tengah pada disk data output, output dataset filename – add –
7.velan2 kemudian EXECUTE.
--- Add Flow Comment ---
 Pada tahap kedua ini klik tengah pada disk data input – 7.velan2
masukan pada tahap sebelumnya yang telah di execute.
 Klik tengah pada velocity analysis, table to store velocity picks – add
– “VO2-Table” (masukan nama file baru). Selebihnya samakan
dengan proses pada velan1. Nyalakan tahap 1 dan tahap kedua
kemudian EXECUTE.

44
 Picking velan2 ini sama seperti pada tahap velan1 yang
membedakan hanyalah pada velan2 dilakukan picking pada tiap
CDP.

12. Selanjutnya buat flow baru, flow 8.NMO yang mempunyai 2 tahap.

 Pada tahap pertama klik tengah pada disk data input, select dataset
– add – 6.Dekon (masukan data dekonvolusi). Trace read option
(sort), select primary trace header entry (CDP)
 Klik tengah pada NMO Correction – masukan file picking velan2
“VO2-Table”, direction for NMO application (Forward), select
velocity parameter file (pilih file hasil dari velan2).
 Klik tengah pada disk data output, output dataset filename – add –
“8.NMO”. Nyalakan tahap 1 saja kemudian EXECUTE.
--- Add Flow Comment ---
 Klik tengah pada disk data input, select dataset “8.NM0” (data
sebelumnya), trace read option (sort), select primary trace header
entry (CDP).
 Automatic Gain Control (samakan dengan sebelumnya)
 Klik tengah pada CDP/Ensable stack, sort order of input ensemble
(CDP).
 Klik tengah pada disk data output – add – “9.Brush Stack”. Matikan
tahap 1 dan nyalakan tahap 2 saja kemudian EXECUTE.

45
 Tambahkan disk data input dan trace display, disk data input akan
diisi dengan 9.Brush Stack. Aktifkan disk data input dan trace
display saja kemudian EXECUTE. Akan muncul trace seismik yang
kemudian akan dilakukan picking horizon, picking – picking
autostatic horizon – “PickHorizon” – OK. Lakukan picking pada
reflektor yang terlihat.
13. Tahapan selanjutnya adalah 9.Residual Statik yang mempunyai 3 tahapan
sebagai berikut :

 Pada tahapan pertama klik tengah pada max power autostatic*,


select trace data file (masukan data NMO yang sebelumnya telah di
trace display). Kemudian EXECUTE.
--- Add Flow Comment ---
 Pada tahap kedua klik tengah pada disk data input – “8.NMO’
(masukan data NMO yang telah di execute pada tahap pertama).
 Klik tengah pada apply residual statics, type of residual statics to
apply (Max. Power Autostatic).
 Klik tengah pada normal move out correction pilih data hasil velan
kedua “VO2-Table”, direction for NMO application (inverse) yang
dilakukan UN-NMO, select velocity parameter file (VO2-Table)
masukan data velan2 karena untuk mencocokan hasil velas2 dengan
velan3 yang akan di picking.

46
 Klik tengah pada disk data output , output dataset filename – add –
“10.Residual Statik”. Kemudian EXECUTE.
--- Add Flow Comment ---
 Pada tahap ketiga ini akan dimasukan data setelah dilakukan velan3.
 Klik tengah pada disk data input – 10.Residual Statik
(masukan data residual statik yang telah di execute pada
tahap sebelumnya). Trace read option (sort)(CDP).
 Klik tengah pada normal move out correction (masukan
velan3 yang sudah di picking), direction for NMO
application (forward), select velocity parameter file (VO3-
Table) pilih file hasil picking velas3.
 Automatic Gain Control (sesuaikan dengan sebelumnya)
 CDP/Ensemble Satack (sesuaikan dengan sebelumnya)
 Trace display kemudian EXECUTE. Maka akan terlihat hasil
trace yang telah dilakukan velan3 dan sudah di residual
statik.
14. Tahapan selanjutnya adalah tahapan velocity analisis setelah dilakukan
proses residual statik, 10.Velan3 yang mempunyai 2 tahapan :

47
 Pada tahap pertama klik tengah pada 2D Supergather Formation*,
select dataset – add – 10.Residual Statik. CDP increment (40) ini
yang akan diganti interval antar CDP nya.
 Bandpass Filter (samakan dengan velan1 dan velan2)
 Automatic Gain Control (samakan dengan velan1 dan velan2)
 Klik tengah pada velocity analisis precompute – “VO2-Table”
masukan data hasil velan2. Max & Min semblance analysis value
(samakan dengan tahap velan1 dan velan2), velocity guide function
table name – “VO2-Table” masukan data hasil velan kedua.
 Klik tengah pada disk data output – add – “11.Velan3”. Kemudian
EXECUTE.
--- Add Flow Comment ---
 Pada tahap kedua klik tengah pada disk data input – “11.velan3”
masukan hasil execute pada tahap sebelumnya.
 Klik tengah pada velocity analysis – “VO3-Table” masukan hasil
velan3, table to store velocity picks (VO3-Table) masukan hasil
velan3, velocity guide function table name (VO2-Table) masukan
hasil velan2. Matikan tahap 1 dan nyalakan tahap 2 kemudian
EXECUTE.
 Setelah muncul trace kemudian akan dilakukan picking velan3,
setelah picking selesai save dan masukan pada flow residual statik
tahap ke 2 untuk melihat hasil trace setelah di residual statik dan
dilakukan velan3.
15. Tahapan selanjutnya adalah tahap PSTM (Pre-Stack Time Migration),
mempunyai 2 tahapan 11.Pre-Stack Time Migration :

48
 Pada tahap pertama klik tengah pada disk data input – “10.Residual
Statik”
 Klik tengah pada True Amplitude Recovery, select velocity
parameter file (VO1-Table) masukan hasil velan1, dB/sec correction
constant (-2), apply or remove amplitudo correction (remove).
 Automatic Gain Control (samakan dengan tahap sebelumnya)
 Klik tengah pada Pre-stack kirchoff 2D Time Mig – “VO3-Table”
masukan hasil velan3.
 Klik tengah pada disk data output – add – “12.PRE-STM”.
Kemudian EXECUTE.
 Dibawah ini adalah hasil dari Pre-Stack Time Migration/PSTM

49
50

Anda mungkin juga menyukai