Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN KEPERAWATAN PALIATIF

Dosen Pengampu :

Disusun oleh :
Kelompok 2 :
1. Ayuni Safitri
2. Cerel Fransisco
3. Rahmawati Ahsan
4. Pitri Mitha Sari
5. Tri Sumiati
6. Yeti Maghdalena
7. Yustiti Alif Nur
Kelas : C / KP / V

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI KESEHATAN SURYA GLOBAL YOGYAKARTA
2019/202
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga makalah ini dapat selesai tepat waktu. Makalah ini dibuat untuk
memenuhi tugas “ Keperawatan paliatif “ .
Makalah ini berisi definisi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, penatalaksanaan dan
Asuhan Keperawatan CKD .
Kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun, khususnya dari dosen penanggung
jawab mata kuliah agar dalam pembuatan makalah berikutnya bisa lebih sempurna. Akhir
kata kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi banyak orang.
Terima kasih.

Yogyakarta, 26 Oktober
2019

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gagal ginjal kronik merupakan kerusakan ginjal atau penurunan kemampuan


filtrasi glomelurus (Glomerular Filtration Rate/GFR) kurang dari 60 mL/min/1,73 m2
selama 3 bulan atau lebih yang irreversible dan didasari oleh banyak faktor (NKF
K/DOQI 2000; Kallenbach et al. 2005). Apabila kerusakan ini mengakibatkan laju
filtrasi glomelurus/GFR berkurang hingga di bawah 15 ml/min/1,73 m2 dan disertai
kondisi uremia, maka pasien mengalami gagal ginjal tahap akhir atau disebut dengan
End Stage Renal Disease (ESRD).
Saat ini penderita gagal ginjal kronik di dunia mengalami peningkatan sebesar
20-25% setiap tahunnya (USRDS 2008 dalam Harwood. Lori et al. 2009). Menurut data
PERNEFRI (Perhimpunan Nefrologi Indonesia)mencapai 70.000, namun yang
terdeteksi menjalani gagal ginjal kronis dan menjalani cuci darah/haemodialysis hanya
sekitar 4000 sampai dengan 5000 saja. Angka mortalitas pasien gagal ginjal kronik
semakin meningkat seiring meningkatnya angka kejadian penyakit diabetes mellitus,
hipertensi, dan penyakit jantung sebagai penyebabnya dan komplikasi yang
ditimbulkan oleh penyakit tersebut. Menurut data Profil Kesehatan Indonesia tahun
2006, gagal ginjal kronik menempati urutan ke 6 penyebab kematian yang dirawat di
rumah sakit di Indonesia. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di RSUP
Fatmawati, menurut data Instalasi Rekam Medik RSUP Fatmawati Jakarta jumlah
penderita penyakit ginjal kronik pada tahun 2011 sebanyak 1629 orang.
Penatalaksanaan untuk mengatasi masalah GGK terdapat dua pilihan (Markum
2009) yaitu pertama, penatalaksanaan konservatif meliputi diet protein, diet kalium,
diet natrium, dan pembatasan cairan yang masuk. Kedua, dialisis dan transplantasi
ginjal merupakan terapi pengganti pada pasien. Terapi pengganti yang sering dilakukan
pada pasien GGK adalah dialisis.
Oleh karena permasalahan tersebut, makalah ini disusun agar perawat mampu
memahami dengan baik mengenai gagal ginjal kronik serta mampu menerapkan asuhan
keperawatan yang tepat bagi penderita gagal ginjal kronik.
B. Rumusan Masalah

1. Apa Definisi dari penyakit CKD ?


2. Apa etiologi dari penyakit CKD ?
3. Apa saja manifestasi klinis dari penyakit CKD ?
4. Apa komplikasi dari penyakit CKD ?
5. Penatalaksanaan dari penyakit CKD ?
6. Bagaimana asuhan keperawatan CKD ?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui definisi dari penyakit CKD ?


2. Untuk mengetahui etiologi dari penyakit CKD ?
3. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari penyakit CKD ?
4. Untuk mengetahui komplikasi dari penyakit CKD ?
5. Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan penyakit CKD?
6. Untuk mengetahui bagaimana asuhan keperawatan pada penyakit CKD ?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif dan
ireversibel, yang menyebabkan ketidakmampuan ginjal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan maupun elektrolit, sehingga timbul gejala uremia
(retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Smeltzer 2008). Gagal ginjal kronik
merupakan kerusakan ginjal atau penurunan kemampuan filtrasi glomelurus (Glomerular
Filtration Rate/GFR) kurang dari 60 ml/min/1,73 m2 yang terjadi selama lebih dari 3 bulan
(Kallenbach et al. 2005).
Kondisi ginjal yang gagal melaksanakan fungsi utamanya akan terjadi gangguan
pembuluh darah dan penyakit lebih mudah merusak pembuluh darah tersebut. Akibatnya,
darah yang diterima unit penyaring menjadi lebih sedikit, dan tekanan darah di dalam
ginjal tidak bisa dikendalikan. Bila unit penyaring yang terganggu, maka suplai darah
kurang dan gangguan tekanan darah akan membuat ginjal tidak mampu membuang zat-zat
tidak terpakai lagi. Selain itu ginjal juga tidak bisa mempertahankan keseimbangan cairan
dan zat-zat kimia di dalam tubuh, sehingga zat buangan bisa masuk kembali ke dalam
darah. Juga mungkin terjadi, zat kimia yang dibutuhkan tubuh dan protein akan ikut keluar
bersama urin (Syamsir & Iwan 2007).
Pada gagal ginjal kronik penderita hanya dapat berusaha menghambat laju tingkat
kegagalan fungsi ginjal tersebut, agar tidak menjadi gagal ginjal terminal (GGT), suatu
kondisi dimana ginjal sudah tidak dapat berfungsi lagi. Kondisi gagal ginjal kronik ini
biasanya timbul secara perlahan dan sifatnya menahun, dengan sedikit gejala pada
awalnya, bahkan lebih sering penderita tidak merasakan adanya gejala dan diketahui
fungsi ginjal sudah menurun 25% dari normal. Beberapa penyakit yang memicu terjadinya
penyakit aggal ginjal kronik, antara lain diabetes, hipertensi, dan batu ginjal (Syamsir &
Iwan 2007).
B. Etiologi
Penyebab paling umum dari gagal ginjal kronik adalah diabetes mellitus (tipe 1
atau tipe 2) dan hipertensi, sedangkan penyebab End-stage Renal Failure (ERFD) di
seluruh dunia adalah IgA nephropathy (penyakit inflamasi ginjal). Komplikasi dari
diabetes dan hipertensi adalah rusaknya pembuluh darah kecil di dalam tubuh, pembuluh
darah di ginjal juga mengalami dampak terjadi kerusakan sehingga mengakibatkan gagal
ginjal kronik.
Etiologi gagal ginjal kronik bervariasi antara negara yang satu dengan yang negara
lain. Di Amerika Serikat diabetes melitus menjadi penyebab paling banyak terjadi gagal
ginjal kronik yaitu sekitar 44%, kemudian diikuti oleh hipertensi sebanyak 27% Dan
glomerulonefritis sebanyak 10% (Thomas 2008). Di Indonesia penyebab gagal ginjal
kronik sering terjadi karena glomerulonefritis, diabetes mellitus, obstruksi, dan infeksi
pada ginjal, hipertensi (Suwitra dalam Sudoyo et al. 2009).
Penyebab dari gagal ginjal kronis yang tersering dibagi menjadi 8 kelas, antara lain (Price
& Wilson 2003):

Klasifikasi Penyakit Penyakit


Penyakit infeksi tubulointerstitial Pielonefritis kronis/refluks nefropati
Penyakit peradangan Glomerulonefritis
Penyakit vascular hipertensif Nefrosklerosis benigna
Nefrosklerosis maligna
Stenosis arteri renalis
Gangguan jaringan ikat SLE
Poliarteritis nodosa
Sklerosis sistemik progresif
Gangguan kongenital dan herediter Penyakit ginjal polikistik
Asidosis tubulus ginjal
Penyakit metabolik DM
Gout, hiperparatiroidisme
Amilodosis
Nefropati toksik Penyalahgunaan analgesik, obat TBC
Nefropati timah
Nefropati obstruktif Traktus urinarius bagian atas: batu,
neoplasma, fibrosis retroperitoneal
Traktus urinarius bagian bawah:
hipertropi prostat, striktur uretra,
anomali kongenital leher vesika urinaria
dan uretra

C. Manifestasi Klinis
Gagal ginjal kronis atau penyakit ginjal kronis adalah penurunan secara lambat
dan progresif dari fungsi ginjal. Biasanya terjadi akibat komplikasi dari kondisi medis
lain yang serius. Tidak seperti gagal ginjal akut yang terjadi dengan cepat dan tiba-tiba,
gagal ginjal kronis terjadi secara bertahap. Gagal ginjal kronis terjadi dalam hitungan
minggu, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun sampai ginjal perlahan berhenti
bekerja, mengantarkan pada stadium akhir penyakit ginjal (ESRD). Perkembangan yang
sangat lambat inilah yang mengakibatkan gejala tidak muncul sampai adanya kerusakan
besar.
Manifestasi klinis gagal ginjal kronik (Long 1996):
1. Gejala dini: lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan
berkurang, mudah tersinggung, depresi.
2. Gejala yang lebih lanjut: anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal atau
sesak nafas baik waktu ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai lekukan,
pruritis mungkin tidak ada tapi mungkin juga sangat parah.
Manifestasi klinis gagal ginjal kronik (Smeltzer & Bare 2001):
1. Kardiovaskuler
 Hipertensi, gagal jantung kongestif, udema pulmoner, perikarditis
 Pitting edema (kaki, tangan, sacrum)
 Edema periorbital
 Friction rub pericardial
 Pembesaran vena leher
2. Dermatologi
 Warna kulit abu-abu mengkilat
 Kulit kering bersisik
 Pruritus
 Ekimosis
 Kuku tipis dan rapuh
 Rambut tipis dan kasar
3. Pulmoner
 Krekels
 Sputum kental dan liat
 Nafas dangkal
 Pernafasan kussmaul
4. Gastrointestinal
 Anoreksia, mual, muntah, cegukan
 Nafas berbau ammonia
 Ulserasi dan perdarahan mulut
 Konstipasi dan diare
 Perdarahan saluran cerna
5. Neurologi
 Tidak mampu konsentrasi
 Kelemahan dan keletihan
 Konfusi/perubahan tingkat kesadaran
 Disorientasi
 Kejang
 Rasa panas pada telapak kaki
 Perubahan perilaku
6. Muskuloskeletal
 Kram otot
 Kekuatan otot hilang
 Kelemahan pada tungkai
 Fraktur tulang
 Foot drop
7. Reproduktif
 Amenore
 Atrofi testekuler

D. Patofisiologi
Ginjal merupakan salah satu organ ekskretori yang berfungsi untuk mengeluarkan
sisa metabolisme didalam tubuh diantaranya ureum, kreatinin, dan asam urat sehingga
terjadi keseimbangan dalam tubuh. Penyakit ini diawali dengan kerusakan dan
penurunan fungsi nefron secara progresif akibat adanya pengurangan masa ginjal.
Pengurangan masa ginjal menimbulkan mekanisme kompensasi yang mengakibatkan
terjadinya hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa. Perubahan ini
mengakibatkan hiperfiltrasi yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran
darah glomerulus. Selanjutnya penurunan fungsi ini akan disertai dengan penurunan
laju filtrasi glomerulus (GFR) dan peningkatan sisa metabolisme dalam tubuh.
Perjalanan umum ginjal kronik dapat dibagi menjadi tiga stadium. Stadium satu
dinamakan penurunan cadangan ginjal . Pada stadium ini kreatin serum dan BUN dalam
keadaan normal dan penderita asimtomatik (tanpa gejala). Gangguan fungsi ginjal akan
dapat diketahui dengan tes GFR.
Stadium dua dinamakan insufisiensi ginjal , dimana lebih dari 75% jaringan yang
berfungsi telah rusak dan GFR 25% dari normal. Pada tahap ini BUN baru mulai
stadium insufisiensi ginjal gejala nokturia dan poliuria diakibatkan kegagalan
pemekatan. Nokturia (berkemih pada malam hari) sebanyak 700 ml atau berkemih
lebih dari beberapa kali. Pengeluaran urin normal sekitar 1500 ml perhari atau sesuai
dengan jumlah cairan yang diminum.
Stadium ke tiga dinamakan gagal ginjal stadium akhir uremia . sekitar 90% dari
massa nefron telah hancur atau sekitar 200.000 yang masih utuh. Nilai GFR nya hanya
10% dari keadaan normal dan bersihakan kreatin sebesar 5-10 ml/menit. Penderita
biasanya oliguri (pengeluaran urien kurang dari 500 ml/hari) karena kegagalan
glomelurus uremik. Fungsi ginjal menurun, produk akhir metabolisme protein. Terjadi
uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh.
Menurut Sudoyo et al. (2009) stadium paling dini dari penyakit gagal ginjal kronis,
akan menyebabkan penurunan fungsi yang progresif ditandai dengan peningkatan kadar
ureum dan kreatinin serum. Pasien dengan GFR 60% belum merasakan keluhan, tetapi
sudah ada peningkatan kadar ureum dan kreatinin, sampai GFR 30% keluhan nokturia,
badan lemas, mual, nafsu makan berkurang, dan penurunan berat badan mulai terjadi.
E. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Doenges (2000) pemeriksaan penunjang pada pasien GGK adalah:
1. Volume urin : Biasanya kurang dari 400 ml/ 24 jam (fase oliguria) terjadi dalam
(24 jam – 48) jam setelah ginjal rusak.
2. Warna Urin : Kotor, sedimen kecoklatan menunjukan adanya darah.
3. Berat jenis urin : Kurang dari l, 020 menunjukan penyakit ginjal contoh
glomerulonefritis, pielonefritis dengan kehilangan kemampuan memekatkan :
menetap pada l, 0l0 menunjukkan kerusakan ginjal berat.
4. pH : Lebih besar dari 7 ditemukan pada ISK, nekrosis tubular ginjal dan rasio urin/
serum saring (1 : 1).
5. Kliren kreatinin : Peningkatan kreatinin serum menunjukan kerusakan ginjal.
6. Natrium : Biasanya menurun tetapi dapat lebih dari 40 mEq/ ltr bila ginjal tidak
mampu mengabsorpsi natrium.
7. Bikarbonat : Meningkat bila ada asidosis metabolik.
8. Warna tambahan : Biasanya tanda penyakit ginjal atau infeksi tambahan warna
merah diduga nefritis glomerulus.

Pemeriksaan yang bisa dilakukan dalam menentukan gagal ginjal kronik, antara lain:
1. Gambaran Klinis
Gambaran Klinis Pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Seperti dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi
traktus, urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus,
Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain sebagainya.
b. Syndrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah,
nokturia, kelebihan volume cairan, (Volume Overload) neuropati perifer,
proritus, uremic, frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
c. Gejala komplikasi nya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal,
payah jantung, asidiosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit
(sodium, kalium, khlorida).
2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum
dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault.
Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan
fungsi ginjal.
c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau
hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidiosis metabolik.
d. Kelainan urinalisis meliputi: proteiuria, leukosuria, cast, isostenuria.
3. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan Radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi:
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio opak.
b. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa melewati
filter glomerulus, disamping kehawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh
kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.
c. Pielografi antergrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi
d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks
yang menipis adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, klasifikasi.
e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi.
4. Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal dilakukan pada pasien dengan
ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif
tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui
etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah
diberikan. Biopsi ginjal indikasi kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran
ginjal yang sudah mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang
tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan
obesitas.
F. Penatalaksanaan
Rencana penatalaksanaan penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya
menurut Suwitra (2007) antara lain: Rencana tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai
dengan derajatnya
LFG
Derajat Rencana Tatalaksana
(ml/mn/1,73m2)
1 ≥90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,evaluasi
perburukan (progression) fungsi ginjal, memperkecil
risiko kardiovaskuler
2 60-80 Menghambat perburukan (progession) fungsi ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 ˂15 Terapi pengganti ginjal
Di bawah ini merupakan penjelasan dari penatalaksanaan penyakit ginjal kronik
berdasarkan tabel diatas adalah:
1. Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya
penurunan LFG sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal
yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi
ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya,
bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar
sudah tidak banyak bermanfaat.
2. Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien
Penyakit Ginjal Kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid (superimposed
factors) yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid antara
lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus
urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau
peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.
3. Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi
glomerulus dengan cara penggunaan obat-obatan nefrotoksik, hipertensi berat,
gangguan elektrolit (hipokalemia). Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi
glomerulus adalah:
a. Pembatasan Asupan Protein
Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronik (Suwitra
2007).

LFG ml/mnt Asupan protein g/kg/hr Fosfat g/kg/hr


˃60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi
25-60 0,6-0,8/kg/hr, termasuk ≥ 0,35 gr/kg/hr ≤ 10 g
nilai biologi tinggi
5-25 0,6-0,8/kg/hr, termasuk ≥ 0,35 gr/kg/hr ≤ 10 g
protein nilai biologis tinggi /tambahan
0,3 g asam amino esensial / asam keton
˂60 (SN) 0,8/kg/hr (+ 1 gr protein/ g proteinuria atau ≤ 9 g
0,3 g / kg tambahan asam amino
esensial atau asam keton

Pembatasan asupan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik.


Masalah penting lain adalah asupan protein berlebih (protein overload) akan
mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan
tekanan intraglomerulus (intraglomerulus hyperfiltration), yang akan meningkattkan
progresifitas pemburuan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan
dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari
sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah terjadinya
hiperfosfatemia.
b. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologi bertujuan untuk mengurangi hipertensi, memperkecil risiko
gangguan kardiovaskuler juga memperlambat pemburukan kerusakan nefron.
Beberapa obat antihipertensi, terutama penghambat enzim konverting angiotensin
(Angiotensin Converting Enzym/ ACE inhibitor dapat memperlambat proses
perburukan fungsi ginjal.
G. Komplikasi
Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut Smeltzer dan Bare (2002)
yaitu:
1. Hiperkalemia akibat penurunan eksresi, asidosis metabolik, katabolisme dan
masukan diet berlebihan.
2. Perikarditis, efusi pericardial dan tamponade jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system renin-
angiostensin-aldosteron
4. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah,
perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin dan kehilangan darah selama
hemodialisis.
5. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatic akibat retensi fosfat, kadar kalsium
serum yang rendah, metabolisme vitamin D abnormal dan peningkatan kadar
alumunium.
Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut O’Callaghan (2009) yaitu:
1. Komplikasi Hematologis
Anemia pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh produksi eritropoietin
yang tidak adekuat oleh ginjal dan diobati dengan pemberian eritropoietin
subkutan atau intravena. Hal ini hanya bekerja bila kadar besi, folat, dan
vitamin B12 adekuat dan pasien dalam keadaan baik. Sangat jarang terjadi,
antibodi dapat terbentuk melawan eritropoietin yang diberikan sehingga terjadi
anemia aplastik.
2. Penyakit vascular dan hipertensi
Penyakit vascular merupakan penyebab utama kematian pada gagal ginjal
kronik. Pada pasien yang tidak menyandang diabetes, hipertensi mungkin
merupakan faktor risiko yang paling penting. Sebagaian besar hipertensi pada
penyakit ginjal kronik disebabkan hipervolemia akibat retensi natrium dan air.
Keadaan ini biasanya tidak cukup parah untuk bisa menimbulkan edema, namun
mungkin terdapat ritme jantung tripel. Hipertensi seperti itu biasanya
memberikan respons terhadap restriksi natrium dan pengendalian volume tubuh
melalui dialysis. Jika fungsi ginjal memadai, pemberian furosemid dapat
bermanfaat.
3. Dehidrasi
Hilangnya fungsi ginjal biasanya menyebabkan retensi natrium dan air akibat
hilangnya nefron. Namun beberapa pasien tetap mempertahankan sebagian
filtrasi, namun kehilangan fungsi tubulus, sehingga mengekskresi urin yang
sangat encer, yang dapat menyebabkan dehidrsi.
4. Kulit
Gatal merupakan keluhan keluhan kulit yang paling sering terjadi. Keluhan ini
sering timbul pada hiperparatiroidime sekunder atau tersier serta dapat
disebabkab oleh deposit kalsium fosfat apda jaringan. Gatal dapat dikurangi
dengan mengontrol kadar fosfat dan dengan krim yang mencegah kulit kering.
Bekuan uremik merupakan presipitat kristal ureum pada kulit dan timbul hanya
pada uremia berat. Pigmentasi kulit dapat timbul dan anemia dapat menyebabkan
pucat.
5. Gastrointestinal
Walaupun kadar gastrin meningkat, ulkus peptikum tidak lebih sering terjadi
pada pasien gagal ginjal kronik dibandingkan populasi normal. Namun gejala
mual, muntah, anoreksia, dan dada terbakar sering terjadi. Insidensi esofagitis
serta angiodisplasia lebih tinggi, keduanya dapat menyebabkan perdarahan.
Insidensi pankreatitis juga lebih tinggi. Gangguan pengecap dapat berkaitan
dengan bau napas yang menyerupai urin.
6. Endokrin
Pada pria, gagal ginjal kronik dapat menyebabkan kehilangan libido, impotensi,
dan penurunan jumlah serta motilitas sperma. Pada wanita, sering terjadi
kehilangan libido, berkurangnya ovulasi, dan infertilitas. Siklus hormon
pertumbuhan yang abnormal dapat turut berkontribusi dalam menyebabkan
retardasi pertumbuhan pada anak dan kehilangan massa otot pada orang dewasa.
7. Neurologis dan psikiatrik
Gagal ginjal yang tidak diobati dapat menyebabkan kelelahan, kehilangan
kesadaran, dan bahkan koma, sering kali dengan tanda iritasi neurologis
(mencakup tremor, asteriksis, agitasi, meningismus, peningkatan tonus otot
dengan mioklonus, klonus pergelangan kaki, hiperefleksia, plantar ekstensor,
dan yang paling berat kejang). Aktifitas Na+/K+ ATPase terganggu pada uremia
dan terjadi perubahan yang tergantung hormon paratiroid (parathyroid hormone,
PTH) pada transport kalsium membran yang dapat berkontribusi dalam
menyebabkan neurotransmisi yang abnormal. Gangguan tidur seringterjadi.
Kaki yang tidak biasa diam (restless leg) atau kram otot dapat juga terjadi dan
kadang merespons terhadap pemberian kuinin sulfat. Gangguan psikiatrik
seperti depresi dan ansietas sering terjadi dan terdapat peningkatan risiko bunuh
diri.
8. Imunologis
Fungsi imunologis terganggu pada gagal ginjal kronik dan infeksi sering terjadi.
Uremia menekan fungsi sebagaian besar sel imun dan dialysis dapat
mengaktivasi efektor imun, seperti komplemen, dengan tidak tepat.
9. Lipid
Hiperlipidemia sering terjadi, terutama hipertrigliseridemia akibat penurunan
katabolisme trigliserida. Kadar lipid lebih tinggi pada pasien yang menjalani
dialisis peritoneal daripada pasien yang menjalani hemodialisis, mungkin akibat
hilangnya protein plasma regulator seperti apolipoprotein A-1 di sepanjang
membran peritoneal.
10. Penyakit jantung
Perikarditis dapat terjadi dan lebih besar kemungkinan terjadinya jika kadar
ureum atau fosfat tinggi atau terdapat hiperparatiroidisme sekunder yang berat.
Kelebihan cairan dan hipertensi dapat menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri
atau kardiomiopati dilatasi. Fistula dialysis arteriovena yang besara dapat
menggunakan proporsi curah jantung dalam jumlah besar sehingga mengurangi
curah jantung yang dapat digunakan oleh bagian tubuh yang tersisa.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
1. Anamnesa
Anamnesa adalah mengetahui kondisi klien dengan cara wawancara atau interview.
Mengetahui kondisi klien untuk saat ini dan masa lalu. Anamnesa mencakup
identitas klien, keluhan utama, riwayat kesehatan sekarang, riwayat kesehatan
dahulu, riwayat kesehatan keluarga, riwayat imunisasi, riwayat kesehatan
lingkungan dantempat tinggal.
a. Identitas
Meliputi identitas klien yaitu: nama lengkap, tempat tanggal lahir, jenis kelamin,
agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, suku/bangsa, golongan darah,
tangggal MRS, tanggal pengkajian, no.RM, diagnose medis, alamat.
b. Keluhan utama
Kapan keluhan mulai berkembang, bagaimana terjadinya, apakah secara tiba-
tiba atau berangsur-angsur, apa tindakan yang dilakukan untuk mengurangi
keluhan, obat apa yang digunakan.
Keluhan utama yang didapat biasanya bervariasi, mulai dari urine output sedikit
sampai tidak ada BAK, glisah sampai penurunan kesadaran, tidak selera makan
(anoreksia), mual, muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, napas berbau
(ureum), dan gatal pada kulit.
c. Riwayat kesehatan sekarang (PQRST)
Mengkaji keluhan kesehatan yang dirasakan klien pada saat di anamnesa
meliputi palliative, provocative, quality, quantity, region, radiation, severity
scala dan time.
Untuk kasus gagal ginjal kronis, kaji onset penurunan urine output, penurunan
kesadaran, perubahan pola nafas, kelemahan fisik, adanya perubahan kulit, dan
pemenuhan nutrisi. Kaji pula sudah kemana saja klien meminta pertolongan
untuk mengatasi masalahnya dan mendapat pengobatan.
d. Riwayat penyakit dahulu
Kaji adanya penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah jantung,
penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign Prostatic Hiperplasia, dan
prostektomi. Kaji adanya riwayat penyakit batu saluran kemih, infeksi system
perkemihan yang berulang. Penyakit diabetes mellitus, dan penyakit hipertensi
pada masa sebelumnya yang menjadi predisposisi penyebab. Penting untuk
dikaji mengenai riwayat pemakaian obat-obatan masa lalu dan adanya riwayat
alergi terhadap jenis obat kemudian dokumentasikan.
e. Riwayat kesehatan keluarga
Mengkaji ada atau tidak salah satu keluarga yang mengalami penyakit yang
sama. Baaimana pola hidup yang biasa diterapkan dalam keluarga, ada atau
tidaknya riwayat infeksi sistem perkemihan yang berulang dan riwayat alergi,
penyait hereditas dan penyakit menular pada keluarga.
f. Riwayat psikososial
Adanya perubahan fungsi struktur tubuh dan adanya tindakan dialysis akan
menyebabkan enderita mengalami gangguan pada gambaran diri. Lamanya
perawatan, banyaknya biaya perawatan dan pengobatan menyebabkan klien
mengalami kecemasan, gangguan konsep diri (gambaran diri) dan gangguan
peran pada keluarga.
g. Lingkungan dan tempat tinggal
Mengkaji lingkungan tmpat tinggal klien, mengenai kebersihan lingkungan
tempat tinggal, area lingkungan rumah.
2. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum dan TTV
b. Keadaan umum: klien lemah dan terlihat sakit berat
c. Tingkat kesadaran: menurun esuai dengan tingkat uremia dimana dapat
mempengaruhi system saraf pusat
d. TTV: sering didapatkan adanya perubahan RR meningkat, tekanan darah
terjadi perubahan dari hipertensi ringan sampai berat.
a. Sistem pernapasan
e. Klien bernapas dengan bau uremia didapatkan adanya pernapasa kusmaul.
Pola napas cepat dan dalam merupakan upaya untuk melakukan
pembuangan karbon dioksida yang menumpuk di sirkulasi.
a. Sitem hematologi
f. Pada kondisi uremia berat tindakan auskultasi akan menemukan adanya
friction rub yang merupakan tanda khas efusi pericardial. Didapatkan tanda
dan gejala gagal jantung kongestif. TD meningkat, akral dingin, CRT > 3
detik, palpitasi, nyeri dada dan sesak napas, gangguan irama jantung, edem
penurunan perfusi perifer sekunder dari penurunan curah jantung akibat
hiperkalemi, dan gangguan kondisi elektrikal otot ventrikel.
g. Pada sistem hematologi sering didapatkan adanya anemia. Anemia sebagai
akibat dari penurunan produksi eritropoitin, lesi gastrointestinal uremik,
penurunan usia sel darah merah, dan kehilangan darah, biasanya dari
saluran GI, kecenderungan mengalami perdarahan sekunder dari
trombositopenia.
a. Sistem neuromuskuler
h. Didapatkan penurunan tingkat kesadaran, disfungsi serebral, seperti
perubahan proses berfikir dan disorientasi. Klien sering didapatkan adanya
kejang, adanya neuropati perifer, burning feet syndrome, retless leg
syndrome, kram otot, dan nyeri otot.
a. Sistem kardiovaskuler
i. Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam atau peningkatan aktivitas
system rennin angiostensin aldosteron. Nyeri dada dan sesak napas akibat
perikarditis, efusi pericardial, penyakit jantung koroner akibat
aterosklerosis yang timbul dini, dan gagal jantung akibat penimbunan
cairan dan hipertensi.
a. Sistem Endokrin
j. Gangguan seksual : libido, fertilisasi dan ereksi menurun pada laki-laki
akibat produksi testosterone dan spermatogenesis yang menurun. Sebab
lain juga dihubungkan dengan metabolic tertentu. Pada wanita timbul
gangguan menstruasi, gangguan ovulasi sampaiamenorea.
k. Gangguan metabolism glukosa, resistensi insulin dan gangguan sekresi
insulin. Pada gagal ginjal yang lanjut (klirens kreatinin < 15 ml/menit)
terjadi penuruna klirens metabolic insulin menyebabkan waktu paruh
hormon aktif memanjang. Keadaan ini dapat menyebabkan kebutuhan obat
penurunan glukosa darah akan berkurang. Gangguan metabolic lemak, dan
gangguan metabolism vitamin D.
a. Sistem Perkemihan
l. Penurunan urine output < 400 ml/ hari sampai anuri, terjadi penurunan
libido berat
a. Sistem pencernaan
m. Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia, dan diare sekunder dari
bau mulut ammonia, peradangan mukosa mulut, dan ulkus saluran cerna
sehingga sering di dapatkan penurunan intake nutrisi dari kebutuhan.
a. Sistem Muskuloskeletal
n. Di dapatkan adanya nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki
(memburuk saat malam hari), kulit gatal, ada/ berulangnya infeksi, pruritus,
demam ( sepsis, dehidrasi ), petekie, area ekimosis pada kulit, fraktur
tulang, deposit fosfat kalsium pada kulit jaringan lunak dan sendi,
keterbatasan gerak sendi. Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum
sekunder dari anemia dan penurunan perfusi perifer dari hipertensi.
3. Diganosa keperawatan
1.Kelebihan volume cairan berhubungan dengan mekanisme pengaturan
melemah
2.Resiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan disfungsi renal
3.Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane
kapiler paru
4.Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan sirkulasi
5.Nyeri akut berhubungan dengan agen injury
6.Mual berhubungan dengan paparan toksin
7.Intoleransi aktivitas berhubungan dengan gangguan ketidakseimbangan
suplay oksigen
4. Intervensi keperawatan
Diagnosa Intervensi
No. Tujuan dan Kriteria Hasil
Keperawatan
1. Kelebihan NOC: NIC:
volume cairan Fluid balance Fluid Management:
berhubungan Tujuan : 1. Pertahankan intake dan
dengan Setelah dilakukan output secara akurat
mekanisme tindakan keperawatan 2. Kolaborasi dalam
pengaturan selama 3x24 jam pemberian diuretik
melemah kelebihan volume cairan 3. Batasi intake cairan pada
teratasi dengan kriteria: hiponatremi dilusi dengan
1. Tekanan darah (4)
serum Na dengan jumlah
2. Nilai nadi radial dan
kurang dari 130 mEq/L
perifer (4)
4. Atur dalam pemberian
3. MAP (4)
produk darah (platelets
4. CVP (4)
dan fresh frozen plasma)
5. Keseimbangan intake
5. Monitor status hidrasi
dan output dalam 24
(kelembaban membrane
jam (4)
mukosa, TD ortostatik,
6. Kestabilan berat badan
(4) dan keadekuatan dinding
7. Serum elektrolit (4) nadi)
8. Hematokrit (4) 6. Monitor hasil
9. Asites (4) laboratorium yang
10. Edema perifer (4) berhubungan dengan
retensi cairan
(peningkatan kegawatan
spesifik, peningkatan
BUN, penurunan
hematokrit, dan
peningkatan osmolalitas
urin)
7. Monitor status
hemodinamik (CVP,
MAP, PAP, dan PCWP)
jika tersedia
8. Monitor tanda vital

Hemodialysis Therapy:
1. Timbang BB sebelum dan
sesudah prosedur
2. Observasi terhadap
dehidrasi, kram otot dan
aktivitas kejang
3. Observasi reaksi tranfusi
4. Monitor TD
5. Monitor BUN,Creat, HMT
danelektrolit
6. Monitor CT

Peritoneal Dialysis Therapy:


1. Jelaskan prosedur dan
tujuan
2. Hangatkan cairan dialisis
sebelum instilasi
3. Kaji kepatenan kateter
4. Pelihara catatan volume
inflow/outflow dan
keseimbangan cairan
5. Kosongkan bladder sebelum
insersi peritoneal kateter
6. Hindari peningkatan stres
mekanik pada kateter dialisis
peritoneal (batuk)
7. Pastikan penanganan
aseptik pada kateter dan
penghubung peritoneal
8. Ambil sampel laboratorium
dan periksa kimia darah
(jumlah BUN, serum
kreatinin, serum Na, K, dan
PO4)
9. Cek alat dan cairan sesuai
protokol
10. Kelola perubahan dialysis
(inflow, dwell, dan outflow)
sesuai protokol
11. Ajarkan pasien untuk
memonitor tanda dan gejala
yang mebutuhkan
penatalaksanaan medis
(demam, perdarahan, stres
resipratori, nadi irreguler,
dan nyeri abdomen)
12. Ajarkan prosedur kepada
pasien untuk diterapkan
dialisis di rumah.
13. Monitor TD, nadi, RR, suhu,
dan respon klien selama
dialisis
14. Monitor tanda infeksi
(peritonitis)
2. Resiko NOC: NIC:
ketidakseimba Electrolyte Balance Electrolyte Management
ngan elektrolit Tujuan: 1. Berikan cairan sesuai
berhubungan Setelah dilakukan asuhan resep, jika diperlukan
dengan selama 3x24 jam
2. Pertahankan keakuratan
disfungsi renal ketidakseimbangan intake dan output
elektrolit teratasi dengan
3. Berikan elektrolit
kriteria hasil: tambahan sesuai resep jika
1. Peningkatan sodium diperlukan
(4) 4. Konsultasikan dengan
2. Peningkatan dokter tentang pemberian
potassium (4) obat elektrolit-sparing
3. Peningkatan klorida (misalnya spiranolakton),
(4) yang sesuai
5. Berikan diet yang tepat
untuk ketidakseimbangan
elektrolit pasien
6. Anjurkan pasien dan / atau
keluarga pada modifikasi
diet tertentu, sesuai
7. Pantau tingkat serum
potassium dari pasien
yang memakai digitalis
dan diuretik
8. Atasi aritmia jantung
9. Siapkan pasien untuk
dialisis
10. Pantau elektrolit serum
normal
11. Pantau adanya manifestasi
dari ketidakseimbangan
elektrolit
3. Gangguan NOC: NIC:
pertukaran gas Respiration status: Gas Oxygen Therapy
berhubungan Exchange 1. Pertahankan kepatenan
dengan jalan napas
perubahan Tujuan: 2. Kelola pemberian oksigen
tambahan sesuai resep
membran Setelah dilakukan 3. Anjurkan pasien untuk
kapiler paru keperawatan selama 2x24 mendapatkan resep
jam klien Gangguan oksigen tambahan
pertukaran gas teratasi sebelum perjalanan udara
dengan kriteria hasil: atau perjalanan ke dataran
1. Tekanan oksigen di tinggi yang sesuai
darah arteri (PaO2) (4)
4. Konsultasi dengan tenaga
2. Tekan karbondioksida di
kesehatan lain mengenai
darah arteri (PaCO2) (4)
penggunaan oksigen
3. PH arterial (4)
tambahan saat aktivitas
4. Saturasi oksigen (4)
dan/atau tidur
5. Keseimbangan perfusi
5. Pantau efektivitas terapi
ventilasi (4)
oksigen (pulse oximetry,
6. Sianosis (4)
BGA)
6. Observasi tanda pada
oksigen yang disebabkan
hipoventilasi
7. Monitor aliran oksigen
liter
8. Monitor posisi dalam
oksigenasi
9. Monitor tanda-tanda
keracunan oksigen dan
atelektasis
10. Monitor peralatan oksigen
untuk memastikan bahwa
tidak mengganggu pasien
dalam bernapas

4. Kerusakan NOC: NIC:


integritas kulit Tissue Integrity : Skin and Pressure Management
berhubungan Mucous membrane Anjurkan klien untuk
dengan menggunakan pakaian yang
gangguan Tujuan : longgar.
sirkulasi Setelah dilakukan tindakan 1. Hindari kerutan pada
keperawatan selama 3x24 tempat tidur
jam kerusakan integritas 2. Jaga kebersihan kulit agar
klien teratasi dengan tetap bersih dan kering
criteria hasil : 3. Mobilisasi klien akan adanya
1. Elastisitas (4) kemerahan
2. Hidrasi (4) 4. Oleskan lotion atau minyak
3. Perfusi jaringan (4) baby oil pada daerah yang
4. Integritas kulit (4) tertekan
5. Abnormal pigmentasi 5. Memandikan klien dengan
(4) sabun dan air hangat
6. Lesi pada kulit (4) 6. Ajarkan pada keluarga
7. Lesi membran mukosa tentang luka dan perawatan
(4) luka
7. Kolaborasi ahli gizi
pemberian diet TKTP,
vitamin
8. Cegah kontaminasi feses
dan urin
9. Berikan posisi yang
mengurangi tekanan pada
luka.
10. Observasi luka: lokasi,
dimensi, kedalaman luka,
karakteristik warna cairan,
granulasi, jaringan nekrotik,
tanda-tanda infeksi local,
formasi traktus
11. Monitor aktivitas dan
mobilitas klien
12. Monitor status nutrisi klien
5. Nyeri akut NOC : NIC :
berhubungan Pain Control Pain Management
dengan agen Setelah dilakukan asuhan 1. Tentukan dampak nyeri
injury selama 2x24, nyeri terhadap kualitas hidup
teratasi dengan kriteria klien (misalnya tidur, nafsu
hasil: makan, aktivitas, kognitif,
1. Kenali awitan nyeri (2) suasana hati, hubungan,
2. Jelaskan faktor kinerja kerja, dan tanggung
penyebab nyeri (2) jawab peran).
3. Gunakan obat analgesik 2. Kontrol faktor lingkungan
dan non analgesik (2) yang mungkin
4. Laporkan nyeri yang menyebabkan respon
terkontrol ketidaknyamanan klien
(misalnya temperature
ruangan, pencahayaan,
suara).
3. Pilih dan terapkan berbagai
cara (farmakologi,
nonfarmakologi,
interpersonal) untuk
meringankan nyeri.
4. Observasi tanda-tanda non
verbal dari
ketidaknyamanan, terutama
pada klien yang mengalami
kesulitan berkomunikasi.
6. Mual NOC: NIC:
berhubungan Nausea and Vomitting Nausea Management
dengan Control 1. Dorong pasien untuk
paparan toksin Tujuan: memantau mual secara
Setelah dilakukan sendiri
tindakan keperawatan 2. Dorong pasien untuk
selama 2x24 jam mual mempelajari strategi untuk
mengelola mual sendiri
teratasi dengan kriteria 3. Lakukan penilaian lengkap
hasil: mual, termasuk frekuensi,
1. Mengenali awitan mual durasi, tingkat keparahan,
(4) dengan menggunakan alat-
2. Menjelaskan faktor alat seperti jurnal
penyebab (4) perawatan, skala analog
3. Penggunaan anti emetik visual, skala deskriptif duke
(4) dan indeks rhodes mual dan
muntah (INV) bentuk 2.
4. Identifikasi pengobatan
awal yang pernah dilakukan
5. Evaluasi dampak mual pada
kualitas hidup.
6. Pastikan bahwa obat
antiemetik yang efektif
diberikan untuk mencegah
mual bila memungkinkan.
7. Identifikasi strategi yang
telah berhasil
menghilangkan mual
8. Dorong pasien untuk tidak
mentolerir mual tapi
bersikap tegas dengan
penyedia layanan kesehatan
dalam memperoleh bantuan
farmakologis dan
nonfarmakologi
9. Promosikan istirahat yang
cukup dan tidur untuk
memfasilitasi bantuan mual
10. Dorong makan sejumlah
kecil makanan yang menarik
bagi orang mual
11. Bantu untuk mencari dan
memberikan suport
emosional
7. Intoleransi NOC: NIC:
aktivitas Activity Tolerance Activity Therapy
berhubungan Tujuan 1. Kolaborasikan dengan
dengan Setelah dilakukan Tenaga Rehabilitasi Medik
gangguan keperawatan selama 3x24 dalam merencanakan
ketidakseimba jam pasien bertoleransi program terapi yang tepat.
ngan suplay terhadap aktivitas 2. Bantu klien untuk
oksigen Kriteria hasil: mengidentifikasi aktivitas
1. Saturasi Oksigen saat yang mampu dilakukan
aktivitas (4) 3. Bantu untuk memilih
2. Nadi saat aktivitas (4) aktivitas konsisten yang
3. RR saat aktivitas (4) sesuai dengan kemampuan
4. Tekanan darah sistol fisik, psikologi dan social
dan diastol saat 4. Bantu untuk
istirahat (4) mengidentifikasi dan
5. Mampu melakukan mendapatkan sumber yang
aktivitas sehari-hari diperlukan untuk aktivitas
(ADLs) secara mandiri yang diinginkan
(4) 5. Bantu untuk mendapatkan
alat bantuan aktivitas seperti
kursi roda, krek.
6. Bantu klien untuk membuat
jadwal latihan diwaktu luang
7. Bantu pasien/keluarga untuk
mengidentifikasi
kekurangan dalam
beraktivitas
8. Sediakan penguatan positif
bagi yang aktif beraktivitas
9. Bantu pasien untuk
mengembangkan motivasi
diri dan penguatan
10. Observasi adanya
pembatasan klien dalam
melakukan aktivitas.
11. Monitor nutrisi dan sumber
energi yang adekuat
12. Monitor pasien akan adanya
kelelahan fisik dan emosi
secara berlebihan
13. Monitor respon
kardiovaskular terhadap
aktivitas (takikardia,
disritmia, sesak nafas,
diaphoresis, pucat,
perubahan hemodinamik)
14. Monitor pola tidur dan
lamanya tidur/istirahat
pasien
15. Monitor responfisik, emosi,
social dan spiritual.
BAB 5
PENUTUP

Kesimpulan
Gagal ginjal kronik merupakan kerusakan ginjal atau penurunan
kemampuan filtrasi glomelurus (Glomerular Filtration Rate/GFR) kurang dari 60
mL/min/1,73 m2 selama 3 bulan atau lebih yang irreversible dan didasari oleh banyak
faktor (NKF K/DOQI 2000; Kallenbach, Gutch, Stoner dan Corca 2005). Etiologi
gagal ginjal kronik bercvariasi antara negara yang satu dengan yang negara lain. Di
Amerika Serikat diabetes melitus menjadi penyebaba paling abnyak terjadi gagal
ginjal kronik yaitu sekitar 44%, kemudian diikuti oleh hipertensi sebanyak 27% Dan
glomerulonefritis sebanyak 10% (Thomas 2008). Di Indonesia penyebab gagal ginjal
kronik sering terjadi karena glomerulonefritis, diabetes mellitus, obstruksi, dan infeksi
pada ginjal, hipertensi (Suwitra dalam Sudoyo et al., 2009). Terapi pengganti ginjal
dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari
15ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis
atau transplantasi ginjal.
DAFTAR PUSTAKA

Alam, Syamsir dan Hadibroto, Iwan. 2007. Gagal Ginjal. Jakarta: Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama
Aziz, M. Farid, dkk. 2008. Panduan Pelayanan Medik: Model Interdisiplin
Penatalaksanaan kanker Serviks dengan Gangguan Ginjal.
Baradero, Mary, dkk. 2005. Klien Gangguan Ginjal: Seri Asuhan Keperawatan.
Jakarta: EGC
Doenges, Marilynn E, Mary Frances Moorhouse dan Alice C. Geisser. 2000.
Rencana Asuhan Keperawatan; Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC
Faiz, Omar dan Moffat, David. 2004. Anatomy at a Glance. Jakarta: Penerbit
Erlangga
Ignatavicius, DD,. & Workman. L,. (2006). Medical surgical nursing, critical
thinking for collaborative care. Elsevier Saunders.
James, Joyce, dkk. 2008. Prinsip-prinsip Sains untuk Keperawatan. Jakarta:
Penerbit Erlangga
O’Callaghan, Chris. 2009. At A Glance Sistem Ginjal Edisi Kedua. Jakarta:
Erlangga.
Smeltzer, S.S.B. 2008. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B,.Alwi, I., Simadibrata, M., & Setiati, S. (Ed).
(2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. (Edisi 4). Jilid II. Jakarta: Pusat
Penerbitan Penyakit Dalam FKUI
Suwitra, Ketut. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat
Penerbitan IPD FKUI.

Anda mungkin juga menyukai