Anda di halaman 1dari 11

1

BELL’S PALSY DAN PENATALAKSANAANNYA

Abel Tasman Yuza*, Alwin Kasim**

* Peserta Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Bedah Mulut FKG UNPAD
**Bagian Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi UNPAD/Perjan RS. Hasan Sadikin Bandung

Abstrak
Bell’s Palsy atau paralisis wajah yang idiopatik merupakan gambaran paralisis
otot wajah yang mendadak dan dapat sembuh sendiri yang disebabkan kerusakan
nervus VII (Fasialis). Penyebab penyakit ini tidak diketahui namun dicurigai adanya
riwayat keluarga dengan adanya reaktivasi virus herpes simpleks atau herpes zoster
pada ganglion genikulatum, demyelisasi saraf, kekejangan pada pembuluh saraf
maupun trauma.
Gejala dari kelainan ini adalah rasa sakit, keluarnya air mata, menetesnya air
liur, peka terhadap suara dan gangguan pengecapan, 75% pasien mencapai
penyembuhan sempurna dalam 2-3 minggu namun 15 % mengalami kekambuhan dan
didapatkan asimetri wajah yang permanen.
Pemberian prednison dengan atau tanpa acyclovir memberikan hasil
kesembuhan yang signifikan untuk Bell’s Palsy.
Kata Kunci : Paralisis otot wajah, idiopatik, prednison

Abstract
Bell’s Palsy or idiophatic face paralysis is a state of facial muscle paralysis,
which attacks suddenly and self limiting, that is caused the damaged of nervus VII
(facialis). This disease is etiologically unknown but suspected coming from familys
medical history by the presence of herpes simplex or herpe s zoster virus reactivation
in geniculatum ganglion, nerve demyelization, convulsion at nerve cell and also
trauma.
The symptoms of this disorder arepain, tear and saliva excretion, sensitive to
sound and taste disorder, 75% patients gained perfect cures within 2-3 weeks but
15% suffered recurrences and gained permanent face asymmetry.
Prednison medication with or without acyclovir has showed significant result
for Bell’s Palsy.
Key Word: Paralysis of facial muscles, idhiophatic, prednison

Pendahuluan
Bell’s Palsy merupakan salah satu kelainan neurologik yang melibatkan saraf
fasialis. Terjadi tiba-tiba, terisolasi, unilateral, peripheral facial paralysis dengan
penyebab yang tidak bisa dideteksi. Sindroma paralisis fasialis yang idiopatik
2

pertama kali digambarkan satu abad yang lalu oleh Sir Charles Bell (Gambar 1) , tapi
sampai sekarang masih terdapat kontroversi mengenai etiologi dan
penatalaksanaannya (Lee, 1997).
Penyebab penyakit ini tidak diketahui namun dicurigai adanya riwayat
keluarga dengan adanya reaktivasi virus herpes simpleks atau herpes zoster pada
ganglion genikulatum, demyelisasi saraf, kekejangan pada pembuluh saraf maupun
trauma (Lee, 1997).
Pada serangan satu sisi wajah , terjadi gangguan menutup kelopak mata.
Gejala dari kelainan ini adalah rasa sakit, keluarnya air mata, menetesnya air liur,
peka terhadap suara, dan gangguan pengecapan. (Neville, 2002).

Gambar 1. Sir Charles Bell

Anatomi Nervus Fasialis


Nervus facialis terdiri dari dua komponen. Bagian yang besar terdiri dari
serat efferent yang menstimulasi otot-otot ekspresi wajah. Bagian yang lebih kecil
berisi serat-serat perasa pada duapertiga lidah, serat sekremotor ke glandula
salivarius dan lakrimalis dan beberapa serat rasa sakit. Setelah meninggalkan otak
pada cerebellopontine angle, melintasi posterior cranial fossa masuk ke meatus
akustikus internus, melalui facial canal di tulang temporal, lalu menyudut tajam
kebelakang melewati bagian belakang telinga tengah dan keluar dari kranium pada
3

foramen stylomastoid. Dari sini nervus fasialis membagi dua glandula parotis dan
cabang terminal keluar dari parotid plexus untuk mensuplai otot-otot ekspresi wajah
(Gambar 2) (Adams, 1989).

Gambar 2. Anatomi nervus fasialis (Adams, 1989)

Etiologi
Penyebab Bell”s Palsy sampai saat ini masih belum diketahui, para ahli
berpendapat bahwa penyebabnya adalah idiopatik. Meskipun demikian banyak teori
dikemukakan antara lain teori iskemi vaskuler dan infeksi virus (Greenberg 2003).
Teori iskemi vaskuler menerangkan bahwa nervus fasialis dapat menjadi
parese secara tidak langsung karena gangguan sirkulasi darah di Canalis Fallopi.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh tekanan pada nervus fasialis perifer terutama
berhubungan dengan oklusi dari pembuluh darah yang mengaliri saraf tersebut, bukan
karena akibat tekanan darah langsung pada sarafnya. Meskipun epineurium nervus
fasialis dikelilingi oleh jaringan yang kaya vaskuler tetapi nervusnya sendiri relatif
avaskuler, sehingga jika terjadi penurunan pembuluh darah di daerah Canalis faloppi
maka aliran darah ke nervus juga akan terganggu (Lee, 1997).
4

Teori infeksi virus berhubungan dengan infeksi HSV tipe 1. Virus ini sesudah
suatu infeksi akut primer dalam jangka waktu cukup lama dapat berdiam di dalam
ganglion genikulatum. Reaktivasi virus ini dapat terjadi bila daya tahan tubuh
menurun sehingga terjadi neuritis dengan proses inflamasi, edema dan kemudian
terjadi gangguan vaskuler sekunder yang akhirya menimbulkan degenerasi lebih
lanjut di nervus fasialis perifer. Secara histolgis ditemukan sedikit infiltrasi sel-sel
radang dan rusaknya selubung mielin. Sehingga memperkuat dugaan sebelumnya
bahwa paralisis fasialis ini disebabkan oleh reaktifasi dari HSV tipe 1 (Lee, 1997) .
Bell’s Palsy mempunyai beberapa penyebab potensial seperti :
o Otitis media akut
o Perubahan tekanan atmosfir, terpapar udara dingin
o Iskemik pada daerah foramen stylomastoid
o Infeksi lokal dan sistemik (HSV tipe 1 dan Borelia burgdoferi penyebab penyakit
Lyme)
o Diabetes melitus , kehamilan semester tiga
o Neoplasma

Frekuensi
Insidensi Bell’s Palsy adalah 20 – 30 kasus per 100.000 orang per tahun,
jumlahnya sekitar 60-70% dari seluruh kasus facial paralysis unilateral. Rata-rata
terjadi pada umur 40 tahun, tetapi bisa terjadi pada semua umur. Insidensi lebih
rendah pada anak dibawah umur 10 tahun, meningkat pada umur 10 sampai 29
tahun, stabil pada umur 30 sampai 69 tahun dan paling tinggi pada usia diatas 70
tahun. Jenis kelamin pria dan wanita mempunyai resiko yang hampir sama. Sebagian
besar penderita akan sembuh sempurna (Gilden, 2004) .

Patofisiologis
Nervus fasialis mengatur beberapa fungsi seperti berkedip, dan menutup mata,
tersenyum, menyeringai, lakrimasi dan salivasi. Nervus ini juga menginervasi otot-
5

otot stapes di telinga tengah dan membawa sensasi rasa ke daerah duapertiga anterior
lidah (Ahmed, 2005).
Setiap nervus fasialis berjalan melewati canalis yang sempit , pada tengkorak
diantara telinga ke otot pada setiap sisi regio inflamasi akut dan oedem dari nervus
fascialis dianggap terjebaknya nervus pada bone canal , yang menyebabkan kompresi
sistemik (Ahmed, 2005).
Bukti eksperimental yang akan mengatakan bahwa HSV tipe 1 berperan
penting pada Bells Palsy. Pada pemeriksaan polymerase chain reaction assays
mengidentifikasi HSV pada cairan endoneurial, otot posterior auricula dan pada
saliva pasien dengan Bell’s Palsy (Greenberg 2003).

Tanda klinis
Bell’s Palsy klinisnya biasanya terjadi sangat cepat, dalam beberapa jam atau
dalam semalam, dimulai dengan adanya rasa sakit disekeliling telinga, diikuti dengan
paralysis otot wajah pada satu sisi secara tiba-tiba (Gambar 3) (Adams, 1989).
Tanda klinisnya meliputi (Greenberg 2003)
 Rasa sakit pada daerah muka disekitar teling pada daerah yang terkenan selama
beberapa hari
 Wajah akan terasa mati rasa pada sisi yang terkena.
 Pada saat tersenyum hanya satu sisi wajah yang bergerak
 Mata pada sisi yang terkenan akan berair atau menjadi kering dan tidak dapat
menutup secara sempurna
 Tidak dapat mengunyah secara sempurna
 Tidak dapat mengerutkan dahi
 Kehilangan rasa pengecapan pada sisi yang terkena
 Kesulitan bicara
 Kehilangan rasa pada duapertiga antrior lidah pada sisi yang terkena
 Berkurangnya sekresi saliva
Kira-kira 80% penderita akan mengalami perbaikan dalam tiga minggu dan
akan sembuh sempurna dalam 2 – 3 bulan. Lebih dari 90% akan sembuh semparna
6

dalam satu tahun, Sekitar 5%-10% penderita mengalami kelemahan yang menetap.
Sangat jarang yang mengalami perbaikan minimal atau tidak ada perbaikan .

Gambar 3. Gambaran klinis Bell’s Palsy (Adams, 1989)

Pemeriksaan
Pemeriksaan dimulai dari anmnesa, pemeriksaan fisik, dan beberapa
pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan MRI dan CT Scan dilakukan apabila tidak
ada perbaikan pada paresis setelah satu bulan, adanya hearing loss, adanya multiple
cranial nerve deficits (Ahmed, 2005). MRI dengan gadolinium merupakan test
pilihan untuk menyingkirkan cerrebellopontine angle tumor, stroke dan multiple
sclerosis. CT direkomendasikan jika diduga ada fraktur tulang temporal. Test
pendengaran dilakukan untuk menyingkirkan adanya suatu acoustic neuroma
(Ahmed, 2005).

Diagnosa banding
Diagnosa banding dari Bel’ls palsy adalah :
 Lyme Disease
 Sindroma Melkerson Rosenthal
7

 Sarcoidosis
 Sindroma Ramsay Hunt

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Bell’s Palsy masih kontroversial. Penatalaksanaannya masih
sulit untuk dievaluasi sebab duapertiga pasien Bell’s Palsy sembuh spontan dan dapat
sembuh mendekati fungsi yang normal. Banyak pasien mulai perbaikan setelah hari
ke sepuluh setelah serangan, walaupun tanpa pengobatan. Penatalaksanaan Bell’s
Palsy meliputi (Lee, 1997):
Perlindungan terhadap mata
Mata yang tidak terlindung pada penderita pada penderita Bell’s Palsy
beresiko terjadinya kekeringan pada kornea dan terkena benda asing. Penanganannya
dengan pemberian airmata artifisial, lubrikan dan proteksi terhadap mata. Airmata
artifisial digunakan selama pasien tidak tidur untuk menggantikan tidak adanya
lakrimasi. Lubrikan diberikan selama pasien tidur. Perlindungan mata dengan
menggunakan kaca mata untuk mencegah mata dari benda asing.
Penatalaksanaan dengan obat.
Kortikosteroid
Kortikosteroid bekerja sebagai anti inflamasi dengan cara menghambat kerja
enzim fosfolipase sehingga pelepasan asam arakhidonat oleh fosfolipid membran sel
tidak terjadi. Dengan demikian prostaglandin yang akan menimbulkan vasodilatasi
dan oedema juga pelepasan leukotrein yang akhirnya akan menyebabkan peningkatan
permeabilitas kapiler dapat dihambat, sehingga reaksi inflamasi lebih lanjut bisa
dihambat (Robbins, 1999).
Penatalaksanaan dengan obat yang terdiri dari pemberian kortikosteroid
dengan atau tanpa antivirus. Bila hanya dengan kortikosteroid diberikan prednison
1mg/kg bb/hari (maksimal 80mg) secara oral selama 3-5 hari, lalu dilanjutkan dengan
penurunan dosis secara bertahap hingga total berhenti dalam 10 hari. Penggunaan
steroid bermanfaat bila diberikan dalam 2-3 minggu awitan, jika lebih dari 3 minggu
8

terapi steroid kurang bermanfaat karena sudah terjadi kerusakan saraf yang maksimal
(Lee, 1997).
Antiviral
Penelitian terbaru menemukan peranan virus sebagai etiology Bell,s Palsy,
sehingga para ahli tertarik untuk menambahkan terapi antiviral seperti asiklovir
sebagai penatalaksanaan kombinasi dengan kortikosteroid. Kombinasi ini lebih
efektif dibandingkan dengan penggunaan kortikosteroid saja (Ahmed, 2005).
Pemberian kortikosteroid dengan acyclovir, prednison 60 mg/ hari selama 5
hari dilanjutkan dengan prednison 10 mg/ hari selama lima hari ditambah acyclovir
sebanyak 400 mg secara oral 5 kali sehari selama 7-10 hari. Pemberian prednison
ditambah dengan acyclovir hasilnya lebih baik dibandingkan dengan pemberian
prednison saja (Ahmed, 2005).
Metilkobalamin
Vitamin B12 dikenal sebagai kobalamin yang terdiri dari 3 bentuk yaitu
sianakobalamin, hidrokobalamin dan metilkobalamin. Metilkobalamin adalah bentuk
aktif dari vitamin B12 yang diperlukan sebagai nutrisi essensial untuk aktifitas
esensial untuk aktifitas normal sel-sel saraf (Jalaludin, 1995).
Pemberian 500 g metilkobalamin secara intramuskuler 3 kali seminggu
selama paling sedikit 8 minggu secara bermakna mempercepat waktu penyembuhan
sempurna paralisis fasialis dibandingkan hanya pemberian yang hanya mendapatkan
kortikosteroid saja (Jalaludin, 1995).

Prognosa
Kelainan ini memiliki prognosa pada umumnya baik (82% dari kelainan ini
dapat sembuh spontan dalam 6 bulan sejak serangan) walau didapat sejumlah sequele
(Neville, 2002). Faktor yang sangat penting untuk menentukan prognosa adalah
apakah paralisis nervus fasialis komplit atau tidak. Penderita yang tidak mengalami
paralisis komplit memiliki prognosa yang sangat baik untuk berfungsinya motorik
fasialis dengan 94% sembuh sempurna. Awitan yang cepat, pemulihan fungsi awal,
usia muda dan tidak adanya penyakit sistemik merupakan prognosa yang baik
9

Kesimpulan
Bell’s Palsy atau paralisis wajah yang idiopati merupakan gambaran paralisis
otot wajah yang mendadak dan dapat sembuh sendiri yang disebabkan kerusakan
nervus VII (Fasialis). Penyebab penyakit ini tidak diketahui namun dicurigai adanya
iskemi vaskuler dan adanya reaktivasi HSV tipe I pada ganglion genikulatum.
Penatalaksanaan yang cepat dan tepat dengan pemberian kortikosteroid,
kortikosteroid dengan antivirus atau kortikosteroid dengan Metilkobalamin dapat
memberikan penyembuhan yang sangat baik.
10
11

Daftar Pustaka
Adams, R.D and Victor M, 1989, Principles of Neurology, 4th ed, Singapore,
McGraw-Hill Book Co.
Ahmed A, 2005, When is Facial Paralysis Bell Palsy, Cleveland Clinic Journal of
Medicine, Volume 72
Greenberg, M.S and Glick, M, 2003, Burket’s Oral Medicine Diagnosis and Therapy,
10th ed, New Jersey, BC Decker Inc.
Gilden, G.H, 2004, Bell’s Palsy, The New England Journal of Medicine, 351, 1323-
31.
Jalaudin MA, 1995, Methylcobalamin Treatment of Bell’s Palsy. Methods Find Exp
Clin Pharmacol
Lee. E. Herman, 1997, Bell’s Palsy. Physical Exam. Vitals-T-98
Neville BW, et all. 2002. Oral and Maxillofacial Pathology. WB Saunders Company.
Philadelphia
Robbins, 1999, Phatologic Basis of Disease, 6th ed, WB Saunders Co.
Scully C, 2004, Oral and Maxillofacial Medicine, 1st ed, Elsevier Science Limited.

Anda mungkin juga menyukai